Anda di halaman 1dari 6

1.

Pengertian:
Akad secara bahasa dalam Bahasa Arab dapat diartikan secara literally sebagai sebuah
kontrak, sambungan atau sebuah ikatan. Sedangkan secara terminologi akad diartikan
sebagai sebuah kontrak yang melibatkan dua pihak atau lebih dengan sebua subjek yang
diikut sertakan dalam sebuah penawaran.1
Menururt Hasan S. Karmi, akad didefinisikan sebagai sebuah perjanjian yang mengikat
secara hukum di antara dua pihak atau lebih yang dalam pertimbangannya salah satu
dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebbut menyepakati untuk melakukan
sesuatu hal.2 Kata akad juga bermakna covenants or contract yang berarti menurut
Muhammad Qadri Basah merupakan sebuah ekspresi atas persamaan penawaran di
antara kedua pihak yang dibuat oleh salah satu pihak yang disetujui oleh pihak lainnya
yang memiliki dampak pada setiap subjek yang terlibat dalam kontrak. 3 Atau Ikatan
atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara serah terima.
Hasbi Ash-Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad
ialah: “ perikatan ijab kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua
belah pihak”.4
2. Rukun dan Syarat Akad
A. Rukun Akad
1) Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masing-masing
pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang.
Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak
satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang
lain yang terdiri dari beberapa orang.
2) Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad),
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau
pemberian, gadai, dan utang. Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut :
a) Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
b) Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang
diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh
pemiliknya.
c) Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau
dimungkinkan dikemudian hari.
d) Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e) Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3) Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda
akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya,

1
Mohd. Ma’sum Billah, Shariah Standard of Business Contract, (Kuala Lumpur: A.S.Noorden, 2006),hlm, 01.
2
Ibid, hlm.2.
3
Siti Salwani Razali, Islamic Law of Cotract, (Malaysia: Cengage Learning Asia, 2010), hlm.03.
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah; ed. Revisi,(Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra), 2009, hlm. 82.
tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli
dengan diberi ganti.
4) Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali
dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan
kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab
kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang
lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak
berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang
melakukan akad, misalnya yang berlangganan majalah, pembeli mengirim
uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari kantor
pos.
B. Syarat Akad
1) Syarat-Syarat Akad sebagai berikut:
a) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).
b) Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan
oleh masing-masing pihak.
3. Macam-macam Akad
A. Dilihat dari sisi ditentukan nama atau tidak, akad dibedakan menjadi dua:
1) Al Aqd Al-Musamma atau Kontrak yang sudah dinamai, adalah akad yang
bertujuan dan namanya sudah ditentukan oleh pembuat hukum dan
ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan
tidak berlaku terhadap akad lain. Misalnya, Jual Beli (bai’), Sewa Menyewa
(Ijarah) yang sedikitnya ada 25 macam.
2) Aqdun Ghair Musamma atau akad tidak bernama, yaitu akad yang namanya
tidak ditentukan oleh pembuat hukum yang khusus serta tidak ada
pengaturan tersendiri mengenainya. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan
oleh para pihak sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Contohnya:
transaksi produksi, perjanjian penginapan di hotel, dan lain-lain.
B. Dilihat dari aspek formalitasnya,akad dibedakan menjadi dua yaitu:
1) al-aqd al-radla’i atau akad konsensus, yaitu akad yang terwujud atas
kesepakatan para pihak dimana hubungan antara penawaran dan
penerimaan tidak mengharuskan untuk menyimpukannya kembali dan
hanya membutuhkan kesepakatan para pihak saja. Misalnya jual beli.
2) al-aqd al-shakli akad konfiguratif, ialah akad yang dalam pelaksanaannya
membutuhkan persetujuan di antara dua belah pihak dan juga membutuhkan
persyaratan khusus seperti dituliskannya perjanjian tersebut.5
C. Jika dilihat dari keabsahannya menurut syara:
1) Akad Shahih, adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat
hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang
berakad.
Akad ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua
macam:

5
Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philosophy of Islamic Law of Transaction, (Kuala Lumpur: Cert, 2009),
hlm.56.
a) Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), adalah akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad mawquf, adalah akad yang dilakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang
dilangsungkan oleh anak kecil yang mumayiz.
2) Akad ghairu Shahih, adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya, sehinga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan
tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
a) Akad batil ialah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau
ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak
jelas. Atau terdapat unsaur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan,
atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
b) Akad fasid ialah akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan tetapi
sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau
kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang
akan dijual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan
pembeli.6
Sedangkan dalam KHES Pasal 27 bahwa akad terbagi dalam tiga kategori
a. Akad yang sah
b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan.
c. Akad yang batal demi hukum
4. Berakhirnya Akad dalam Islam
1. Berakhirnya akad karena fasakh (pembatalan), pembatalan akad kadang terjadi
secara total, dalam arti mengabaikan apa yang sudah disepakati, seperti
dalam khiyar, dan kadang-kadang dengan menetapkan batas waktu ke depan,
seperti dalam ijarah (sewa-menyewa) dan ‘iarah (pinjaman) dan inilah
arti fasakh dalam pengertian yang umum.
Pembatalan dalam akad ghair lazimah terjadi karena watak akadnya itu sendiri,
baik akadnya dilakukan oleh dua pihak, maupun satu pihak. adapun pembatalan
(fasakh) dalam akad-akad lazimah terdapat beberapa bentuk :
a. Fasakh karena akadnya rusak : Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad
harusdi fasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan
atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanyahal-hal yang tidak dibenarkan
syara’ seperti akad rusak.
b. Fasakh (batal) karena khiyar:
c. Fasakh (batal) karena iqalah : Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain
membatalkan karena merasa menyesal.
d. Fasakh (batal) karena tidak bisa dilaksanakan: Karena kewajiban yang
ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

6
Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.55.
Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi
pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barangdalam batas waktu
tertentu.
e. Fasakh (batal) karena habisnya masa yang disebutkan dalam akad atau karena
tujuan akad telah terwujud: Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah
berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya
menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
2. Berakhirnya akad karena kematian, akad bisa fasakh (batal) karena meninggalnya salah
satu pihak yang melakukan akad. diantara akad yang berakhir karena meninggalnya
salah satu dari dua pihak adalah sebagai berikut:7
a. Ijarah (sewa-menyewa), berakhir karena meninggalnya salah satu pihak yang
melakukan akad, meskipun akad ini termasuk akad yang lazim (mengikat) yang
dilakukan oleh dua pihak. alasan mereka adalah bahwa orang yang menyewa
memiliki manfaat sejati terjadinya akad dengan sedikit demi sedikit. maka manfaat
yang tersisa setelah meninggalnya salah satu pihak bukan miliknya lagi, sehingga
dengan demikian akad sudah berakhir dan tidak boleh dilanjutkan lagi. Namun
menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad
ijarah. Menurut jumhur fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan
berakhirnya akad ijarah
b. Kafalah (jaminan), kafalah ada dua macam, yaitu kafalah (jaminan) terhadap harta
dan kafalah (jaminan) terhadap jiwa. dari kedua jenis kifalah tersebut, kafalah bin
nafs dapat batal karena meninggalnya ashil atau meninggalnya penjamin (kafil).
c. syirkah dan wakalah termasuk akad ghair lazim yang dilakukan oleh dua pihak.
kedua akad tersebut berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang
melakukan akad.
d. Muzara’ah dan musaqah, apabila pemilik lahan meninggal sebelum tanaman
matang untuk di panen maka tanaman tetap pada penggarapnya sampai setelah
dipanen.

5. Asas-asas dalam Islam

A. Asas Ibahah
Asas ini merupakan asas umum dalam hukum islam. Kepadanya berlaku kaidah
fiqih “Pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu itu boleh kecuali ada dalil
yang melarangnya”. Kaidah diatas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh
muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak
bertentangan larangan universal dalam hukum islam.
B. Asas Kebebasan
Asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki
kebebasan dalam Islam, tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas dengan
persyaratan tertentu. Asas ini berdasarkan kaidah : “Kebebasan seseorang
terbatasi oleh kebebasan orang lain”. Berdasarkan kaidah tersebut Islam

7
Muslich Wardi Ahmad, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2015:,hlm.27
memberikan batasan-batasan tertentu terhadap sesuatu yang didalamnya
terkandung kebebasan. Bebas yang ada batasannya dimaksudkan untuk
menghormati kebebasan orang lain.
C. Asas Konsesualisme
Asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan
tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-
formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu
bersifat konsensual. Dalam asas ini berlaku kaidah. ”Pada dasarnya perjanjian itu
adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka
tetapkan melalui janji”.
D. Asas ”Janji itu Mengikat”
Artinya bahwa janji atau kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak dipandang
mengikat terhadap pihak-pihak yang telah membuatnya. Atas dasar ini, dua orang
yang telah mengikatkan diri dengan kesepakatan tertentu, salah satu pihak tidak
bisa membatalkan kesepekatan tersebut tanpa persetujuan pihak lain.
E. Asas Keseimbangan
Hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang
yang berakad baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima
maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan antara apa yang
diberikan dan apa yang diterima tercemin pada dibatalkannya suatu akad yang
mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam
memikul resiko tercemin pada larangan riba.
F. Asas Kemaslahatan
Bahwa akad yang dibuat oleh para pihak yang dimaksudkan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh mendatangkan kerugian dan keadaan
yang memberatkan. Inilah yang menjadi alasan tidak bolehnya mentransaksikan
barang-barang yang memabukkan, dikarenakan dalam barang tersebut terkandung
sesuatu yang mendatangkan madarat.
G. Asas Amanah
Dengan asas ini dimaksudkan bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad
haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak
dibenarkan mengeksploitasi tidak tahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam
dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur
dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Jika pada suatu saat ditemukan
sebuah informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena sebuah ketidak
jujuran, maka ketidakjujuran tersebut bisa dijadikan sebagai alasan untuk
membatalkan akad.
H. Asas Keadilan
Keadilan adalah sebuah sendi yang hendak mewujudkan oleh para pihak yang
melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan
salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan oleh klausul akad tanpa
dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau
yang lainnya. Dalam hukum Islam kotemporer telah diterima suatu asas bahwa
demi keadilan syarat baku itu telah diubah oleh pengadilan apabila memang ada
alasan untuk itu.8

8
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Jogjakarta: Logung Pustaka, 2009, hlm. 46-49.

Anda mungkin juga menyukai