Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada Al-Quran dan
Sunnah. Ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sudah ada sejak zaman
Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian Ushul Fiqih, seperti
ijtihad, qiyas, nash, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat.

Pada masa tabiin , cara mengistibath hukum semakin berkembang. Diantara


mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas disamping
berkembang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabiin inilah mulai
tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari
perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
Perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah Al-Alimmat Al-
Mujtahidin. Kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas. Abu
Hanafiah menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang
pada amalan orang-orang Madinah. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan
bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabiin dan sesudahnya, pemikiran hukum islam
mengalami perkembangan. Namun, pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan
yang sistematis.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diketahui rumusan masalah sebagai
berikut:

a) Apa pengertian dengan Ushul Fiqih?


b) Bagaimana hukumnya mempelajari Ushul Fiqih?
c) Bagaimana pembukuan Ushul Fiqih?
d) Bagaimana tahap-tahap perkembangan Ushul Fiqih?

1|Page
e) Apa saja aliran-aliran Ushul Fiqih?
f) Seperti apa peranan Ushul Fiqih dalam islam?

C. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka dapat diketahui tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui pengertian Ushul Fiqih.


b) Untuk mengetahui bagaimana hukumnya mempelajari Ushul Fiqih.
c) Untuk mengetahui bagaimana pembukuan Ushul Fiqih secara garis besarnya.
d) Untuk mengetahui bagaimana tahap-tahap perkembangan Ushul Fiqih.
e) Untuk mengetahui apa saja aliran-aliran Ushul Fiqih.
f) Untuk mengetahui seperti apa peranan Ushul Fiqih dalam islam.
g) Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Fiqih.

2|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. USHUL FIQIH

1. Pengertian Ushul Fiqih

Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqh dapat dilihat dari dua aspek: Ushul
Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.

Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk
jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas.
Ashl secara etimologi diartikan sebagai fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi
ataupun bukan.

Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini :

1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih bahwa
ashl dari wajibnya shalat 5 waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah
Rasulullah

2. Qaidah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad
SAW :

Artinya :

Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).1

3. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :

Artinya :
1
Rachmat Syafei, ILMU USHUL FIQIH, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015), hal17

3|Page
Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah makna hakikat dari
perkataan tersebut.

Ibnu Subki mendefinisikan ushul fiqh sebagai himpunan dalil-dalil secara


global. Jumhur ulama mendefinisikan ushul fiqh sebagai himpunan kaidah norma
yang berfungsi sebagai alat penggalian syara dari dalil-dalilnya. Ibnu Humam dari
kalangan Ulama Hanafiyah mendefinisikan ushul fiqh sebagai pengethuan sebagai
kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqh. Sementara,
Abdul Waham Khalaf mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu pengetahuan tentang
kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum syara mengenai perbuatan manusia
(amaliyah) dari dalil-dalil terperinci.

Menurut Imam Al-Baidawi, mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu


pengetahuan tentang dalil fiqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut dan
keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya. Sementara menurut Khudairi
Beik, mendefinisikan ushul fiqh sebagai himpunan kaidah norma yang berfungsi
sebagai alat penggali syara dan dalil-dalilnya.2

Al-Ghazali menakrifkan ushul Fiqih dengan ilmu yang membahas tentang dalil-
dalil hukum syara, dan tenang bentuk-bentuk penunjukkan dalil-dalil terhadap
hukum.

Al-Syawkani mendefinisikan ushul Fiqih dengan ilmu untuk mengetahui kaidah-


kaidah, yang kaidah tadi bisa digunakan untuk mengeluarkan hukum syara berupa
hukum furu (cabang) dari dalil-dalilnya yang terperinci3

B. HUKUM MEMPELAJARI USHUL FIQIH

2
Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hal 14
3
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: PRENADAMEDA, 2005), hal7

4|Page
Menurut hukum syara, mempelajari ilmu ini bagi orang yang mukallaf (yang
baligh dan berakal) adalah Fardhu Kifayah, yaitu fardhu yang diwajibkan kepada
msyarakat islam seluruhnya di dalam satu-satu negeri. Sehingga jika todak seorang
pun yang mahir ilmu ini dalam negeri itu, berdosa lah seluruhnya. Tetapi jika telah
ada yang mahir, walau agak seorang, lepaslah yang lain dari tuntutan untuk
mempelajarinya.

Ilmu ushul ini seakan-akan batu ujian untuk membedakan mana yang emas
dan mana yang Loyang, membedakan mana yang benar dengan yang salah mana
pekerjaan yang di akui dan dipuji syara dan mana yang dicelananya. Semuanya itu
tidak dapat diketahui dan tidak dapat dibedakan, kecuali dengan mengetahui ilmu
ushul fiqh. Apalagi dimasa sekarang; sudah amat banyak orang mengada-adakan
sesuatu yang tidak berpokok-pangkal dari agama, tetapi digolongkannya juga kepada
agama.

Demi, jika tidaklah berusaha orang-orang yang ahli dalam ilmu ini mengarang
atau mengajarkannya, niscaya bersimaharajalela sejalah orang yang menghidup-
hidupkan bidah. Sedang bidah itu kalau telah lama, dikerjakan orang turun-temurun
dan banyak pula orang yang mengikutinya, niscaya datanglah rayuan syetan
membisikkan di telinga mereka, bahwa pekerjaan itu adalah sunnah. Padahal telah
tersebut dalam hadits Nabi Saw. Bahwa apabila suatu bidah telah dihidupkan, berarti
suatu sunnah telah dibunuh. Pendeknya orang yang menimbulkan suatu bidah, adalah
seolah-olah menghilangkan suatu sunnah dan yang menghidupkan suatu bidah adalah
membunuh suatu sunnah.

Menilik keterangan tersebut diatas bertambah tegaslah betapa fardhunya


menumpahkan minat yang besar kepada ilmu ini, baik mempelajari, mengajarkan
maupun menyiarkan. Karena syubhat (kesamaran) dan bidah yang di masukkan
orang ke dalam agama wajib ditolak, dan tidaklah akan tertolak jika tidak ada ilmu
penolaknya dan ilmu itu ialah Ushul Fiqh. Oleh sebab itu jelaslah bahwa ilmu ini

5|Page
wajib pula dikembangkan untuk mencapai maksud yang utama, yaitu mematikan
bidah dan menghidupkan sunnah. 4

C. PEMBUKUAN USHUL FIQIH

Salah satu pendorong diperlukannya pembukan ushul fiqh adalah perkembangan


wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya
berbagai persoalan yang belum diketahui keduudkan hukumnya. Untuk itu, para
ulama islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqh, ulama-ulama terdahulu telah


membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. Tak
heran para pengikut ulam-ulama tersebut mengklaim bahwa guru nya lah yang
pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.

Golongan Hanafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama-tama menyusun


ilmu Ushul Fiqh ialah Abu Hanafiyah, Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Ali Al-Hasan.
Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang pertama yang menjelaskan
metode istinbath dalam bukunya Ar-Ray. dan Abu Yusuf adalah orang pertama
menyusun Ushul Fiqih dalam mazhab Hanafi. Demikian pula Muhammad Ibnu Al-
Hasan telah menyusun kitab Ushul Fiqh sebelum Asy-Syafii, bahkan As-Syafii
berguru kepadanya.

Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul


Fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabiin. hal ini tidak
diperselisihkan lagi. Namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula
mengarang kitab Ushul FIqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat
umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu, kita perlu mengetahui teori-teori

4
Nasrun Haroen, USHUL FIQIH, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 9

6|Page
penulisan dalam Ushul Fiqih. Secara garis besar, ada dua teeori penulisan yang
dikenal yakni :

Pertama, merumskan kaidah-kaidah fiqliyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih
menganalisasinya serta mengaplikasikan masalah furu atas kaidah-kaidah tersebut.
Misalnya, kaidah-kaidah jual-beli secara umum. Kemudian menetapkan batasan-
batasannya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikannya dalam kaidah-kaidah itu.
Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya

Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk


meng-istinbat hukum dari sember hukum syari, tanpa terikat oleh pendapat seorang
faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan.
Cara inilah yang ditempuh Al-Syafi dalam kitabnya Ar-Raisalah, suatu kitab yang
tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab semacam
ini belum pernah ada sebelumnya, menurut ijma ulama dan catatan sejarah.5

D. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

Secara garis besarnya, perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga tahun
yaitu: Tahap awal (abad 3 H), tahap perkembangan (abad 4). Dan tahap
penyempurnaan (abad 5 H).

Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh
dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunah. Dengan kata lain,
Ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh.
Seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan
sahabat.

Dijaman Rasulullah SAW, sumber hukum;


5
opcit, hal 28-30

7|Page
Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad
yang dilakukan oleh Muaz Ibnu Jabal (Abu Daud, IX, 509). Sebagai konsekuensi
dari ijihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang
bersifat juziyah harus dengan qiyas (Ar-Rahman Asy-Syaidi : 16) contoh qiyas, yang
dapat dikemukakan adalah ucapan Ali dan Abd. Ar-Rahmam Ibnu Auf mengenai
hukuman peminum khamar yang berbunyi :

Artinya :

Bila seorang meminum khamar, ia akan mengigau. Bila mengigau, ia akan


menuduh orang berbuat zina, sedangkan had (hukuman) bagi orang yang menuduh
itu 80 dera.

Adapun pemahan tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Masud
ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddah-nya
berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4dan 6 surat
At-Thalaq.

Menurutnya ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang ada pada
surat Al-Baqarah ayat 228. Dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa
nash yang datang kemudian dapat me-naskh atau me-takhsis yang datang terdahulu.

Pada masa tabiin, cara meng-istinbath hukum semakin berkembang. Di antara


mereka ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas disamping
perpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabiin inilah mulai
tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari
perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.

Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabiin pada
masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang
digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode

8|Page
qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan orang-orang
Madinah. Menurutnya, amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadis Ahad.

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi, Sahabat,
Tabiin dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu.6

1. Tahap Awal (Abad 3 H)

Pada abad 3 H, dibawah pemerintahan Abbasiyah wilayah Islam semakin meluas


ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa dalam abad ini adalah:
Al-Mamun (w.218 H), Al-Mutaslim (w. 227 H), Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-
Mutawakkil (w.247 H). Pada masa inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan
islam, yang dimulai sejak kalangan islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan
khalifah Ar-Rasyid. Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya
semangat penerjemahan dikalangan ilmuan muslim.7

Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dari semangat keilmuan islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqih, yang pada gilirannya mendorong untuk
disusunnya metode berpikir fiqih, yang disebut Ushul Fiqih.

Seperti telah dikemukan, kitab Ushul Fiqih yang pertama-tama tersusun secara
utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah, karangan Asy-Syafii. kitab
ini dinilai para ulama sebagai kitab yang paling bernilai tinggi. Ar-Razzi berkata,
kedudukan Asy-Syafii dalam ilmu Ushul Fiqih setingkat dengan kedudukan Aristo
dalam ilmu manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Arud. Ulama
sebelum Asy-Syafii berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikannya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum
yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syariat dan cara memegangi serta
6
Maman Abd. Djaliel, Ilmu USHUL FIQIH, (BANDUNG: CV PIUSTAKA, 2010), hal 26
7
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqih, (BANDUNG: CV PUSTAKA, 2012) hal, 130

9|Page
men-tarjih-kannya, maka datanglah Al-SyafiI menyusun ilmu Ushul Fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum (qanun kulliy) dan dijadikan rujukan untuk
mengetahui tingkatan-tingkatan dalil Syari. Dan adapun orang yang padamenyusun
kitab UShul Fiqih sesudah Asy-Syafi mereka tetep bergantung pertama pada Asy-
Syafi, karena Asy-Syafi-lah yang membuka jalan untuk kalinya

Selain kitab Ar-Risalah pada abad ke 3 H. telah tersusun pula sejumlah kita
UShul Fiqih lainnya. Isa Ibnu Iban (w. 221 H/835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas.
Khabar Al-Wahid, Ijtihad Ar-Ray. Ibrahim Ibnu Syiyar Al-Nazhzham (w. 221 H/835
M) menulis kitab An-Nakl, Daud Ibnu Ali Ibnu Daud Azh-Zhairi (w. 270 H/883 M)
menulis kitab Al-Ijma, Al-Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, Al-Khabar Al-Mujib ki
A-llm, Al-Hujjat, Al-Khushus wa Al-Umm, Al-Mufassar wa Al-Mujmal, dan juga
kitab Ushul. Dalam kitab Al-Ushul ini, Azh-Zhahiri menyatakan tidak perlu
menetapkan hukum atas dasar qiyas dan istihsan. Selain itu, Muhammad Ibnu Daud
Ibnu Ali AL-Khalf Azh-Zhahiri (w. 297 H/909 M). juga menullis kitab AL-Ushul Fi
Marifat Al-Ushul, dan masih banyak lagi kitab-kitab Ushul Fiqih yang ditulis oleh
ulama-ulama lainnya.8

Kitab-kitab UShul Fiqih Pada abad ke 3 H ini tidak mencerminkan pemikiran-


pemikiran ushul fiqih yang utuh dan mencakup permasalahn-permasalahan ushuliyah
yang menjadi pusat perhatian para fuwaha pada zaman itu. Hal lain yang daoat
ducatatm pada abad ini adalah lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar
berdirinya mazhab-madzhab fiqih. Para pengikut mereka semakin menunjukkan
pernadaan anatara mengungkapkan pemikiran ushul fiqih dari pada imamnya. Asy-
Syafii misalnya, tidak menerima fara penggunaan istihsan yang mahsyur dikalangan
Hanafiyah, seabliknya Hanafiyah idak menggunakan car-cara penggambilan hukum
berdasarkan hadis-hadis yang dipegang oleh Asy-Syafii .

2. Tahap Perkembangan (Abad 4 H)

8
Opcit,hal 31

10 | P a g e
Merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik.
Pada abad ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang
masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelamahan bidang
politik ini tidak mempengaruhi perkembanagn semangat keilmuan dikalangan ulama
ketika itu. Hal ini anatra lain disebabkan masing-masing penguasa daulah-daulah
kecil itu berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum intelektual,
juga disebabkan terjadinya desentralisasi ekonomi yang membawa daulah-daulah
kecil itu semakin makmur dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan
dinegerinya.9

Khusus dibidang pemikiraan fiqih Islam, abad 4 H. ini mempunyai karakteristik


tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan
ijtihad muthalaq berhentu pada abad ini. Mereka menggap ulama terdahulu suci dari
kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang
khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja. Akibatnya aliran-aliran fiqih yang ada
semakin mantap eksistensinya, apabila disertai oleh fanatisme di kalangan
penganutnya. Hal ini ditandai dengan kewajiban menganut satu madzhab tertentu dan
larangan melakukan perpindahan mazhab sewaktu-waktu..10

Namun demikian pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid ,karena


masing-masing pengikut mazhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya. Usaha mereka antara
lain : (lihat Sulaiman, 1983-106)

1. Memperjelas illat-illat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam mereka,


mereka itulah yang disebut ulama takhrij.

2. Men-tarjih-kan pendapat-pendapat ang berbeda dalam mazhab, baik yang segi


riwayat dan dirayah.

9
Ibid, hal 32
10
Ibid, hal 22

11 | P a g e
3. Setiap golongan mendukung mazhab nya sendiri dan men-tarjih-kannya
dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusun kitab AL-Khilaf, yang
di dalamnya diungkapkan masalah-masalah yang diperselisihkan, dan men-
tarjih-kan pendapat atau pendirian mazhab yang dianutnya

Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah
tertutup. Akibatnya bagi perkembangan fiqih islam adalah sebagai berikut:11

a. Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada,
mereka cenderung hanya men-syarah-kan kitab-kitab terdahulu atau
memahami dan meringkasnya

b. Menghimpum masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uraian


yang singkat

c. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.

Keadaan tersebut, sangat jauh berbeda di bidang ushul fiqih . Tehentinya ijtihad
dalam fiqih dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama-
ulama terdahulu men-tarjih-kannya justru memainkan peranan yang sangat besar
dalam bidang Ushul Fiqih.

Hal ini karena dalam menelilti dan men-tarkhrij pendapat para ulama terdahulu,
diperlukan penelusuran sampai pada akar-akarnya dan pengevaluasian kaidah-kaidah
ushul yang menjadi dasarnya.dengan demikian, semakin berkembanglah ilmu ushul
yang menjadi dasarnya. Dan dengan sendirinya Ushul Fiqih pun semakin
berkembang, apalagi masing-masing madzhab menyusun kitab Ushul Fiqih.

Sebagai tanda berkembangnya ilmu Ushul Fiqih pada abad ke 4 H. yaitu munculnya
kitab-kitab Ushul Fiqih yang merupakan hasil karya dari para ulama fiqih.

Kitab-kitab yang paling terkenal diantaranya ialah :

11
Ibid, hal 33

12 | P a g e
A. kitab Ushul Al-Kharki, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadillah Ibnu Al-Husain Ibnu
Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 304 H). kitab ini bercorak Hanafiyah, memuat 39
kaidah-kaidah Ushul Fiqih. Salah satu kaidah yang menurut sebagian ulama
menunjukan kefanatikan penulisnya terhadap mazhab-nya, ialah kaidah yang
berbunyi,Pada dasarnya setiap ayat yang bertentangan dengan perkataan sahabat-
sahabat kami mengandung arti Nasakh atau tarjih sehingga harus di-takwil-kan untuk
menyesuaikannya jelas sekali bahwa perkataan ini menunjukkan sikap lebih
mementingkan perkataan imam-imamnya daripada teks ayat sunah.

B. Kitab Al-Fushul fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim
yang juga dikenal dengan Al-Jashshash (305-370 H). kitab ini juga bercorak
Hanafiyah dan banyak mengkritik isi kitab Ar-Risalah, terutama dalam masalah Al-
Bayan dan istihsan.

C. kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud
Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi. Kitab ini di tahqiq oleh Dr. Muhammad Hasan
Musthafa Asy-Syalaby.. ia mengatakan bahwa kitab tersebut mere]upakan kamus
yang menerangkan arti lafazh dan arti definisi-definisi yang sangat dibutuhkan oleh
para Qadi dan Mufti. Kitab ini mengandung sekitar 128 lafazh/tarif dan tidak
tersusun berdasarkan abjad, tetapi dengan cara antara lain menurut kaitan pengertian
kata-katanya, misalnya kata Al-Kull, Al-Bad dan Al-Juzu.12

berdasarkan uraian diatas ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas
perkembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 4 H. yaitu munculnya kitab-kitab Ushul
Fiqih yang membahas masalah Ushul Fiqih secara utuh .

dalam abad 4 H ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak
filsafat, khusunya metode berpikir menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Ushul Fiqih.
Hal ini terlihat dalam masalah mencari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam
ilmu Ushul Fiqh Al-Hudud merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam

12
Ibid, hal 35-36

13 | P a g e
perkembangan (kitab-kitab) sebelumnya. Akibat dari pengaruh ini sekurang-
sekurangnya ada dua yakni :

A. ketergantungan penulis dalam bidang Ushul Fiqih pada pola acuan dan kriteria
manthiq dalam menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah. Hal ini membuka jalan
bagi mereka untuk melakukan kriteria dan keabsahan berpendapat, yang pada
gilirannya mendorong pertumbuhan ilmu Ushul Fiqih selanjutnya

B. Munculnya berbagai karangan dalam beberapa bentuk baru yang independen


dalam memberikan definisi dan pengertian terhadap peristilahan-peristilahan yang
khusus dipakai dalam ilmu Ushul Fiqih

3. Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6)

Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah


kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam
tidak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota, seperti Cairo, Bukhara,
Gahznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan,
raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan
peradaban.

Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu Ushul
Fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusunya untuk
mendalaminya antara lain Al-Baqilani , Al-Qadhi Abd. Al Jabar, Abd Al-Wahab Al-
Baghdadi, Abu Zayd Ad-Dabusy, Abu Husain Al-Bashri, Imam Al-Haramain, Abd Al-
Malik Al-Juwaini, Abu Hamid Al-Ghazaii, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor
keilmuan islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari
mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam
bidang ilmu Ushul Fiqih yang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan
pengkajian keislaman.

14 | P a g e
Dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqih pada abad 5 dan 6 H. ini
merupakan periode penulisan kitab Ushul Fiqih terpesat yang diantaranya terdapat
kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu uushul fiqih
selanjutnya.

Kitab-kitab ushul fiqih yang paling penting, antara lain sebagai berikut :

A. Kitab Al-Muaghni fi Al-Abwah Al-Adl wa At-Tawhid. Ditulis oleh Al-Qadhi Abd


Al-Jabbar (w. 415 H/1024 M). dalam kitab ini ditak hanya ditulis kaidah-kaidah fiqih,
tetapi juga kaidah-kaidah ilmu kalam yang bercorak Mutazilah. Baginya ilmu kalam
dan ilmu fiqih saling menyempurnakan anatara satu dengan yang lainnya.

B. Kitab AL-Muamad fi Al-Ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashari (w.
436 H/1044 M). yang juga beraliran Mutazilah. Kitab ini adalah karya yang paling
sempurna dan menjadi sumber utama bagi para ulama Mutazilah pada umumnya,
bahkan dinilai sebagai salah satu dari empat standaar kitab Ushul Fiqih, yang
dijadikan rujukan oleh umumnya pengkaji ilmu Ushul Fiqih sesudahnya. Meskipun ia
penganut aliran Mutazilah dan pernah berguru pada Abd. Al-Jabbar, ia sering tidak
sependapat dengan gurunya. Ia berbeda pendapat dengan Abd. Al-Jabbar antara lain
dalam amsalah Ijza Al-Ibadat (kesempurnaan ibadah), dan soal umum yang diiringi
dengan qayd (sifat). Dia juga mengkritik pengertian Al-Bayan yang diberikan Asy-
Syafii

C. Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqh, ditulis Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Yala
Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al-Farra (w. 458/1065 M), yang
dianggap sebagai ulama besar mazhab pada abad 5 H. pengaruhnya dikalangan
Hambali sangat besar dan berlanjut sampai ke generasi sunni sesudahnya, khusus
kaum Hambali, melalui berbagai karangan tentang Al-Quraan, akidah, fikhdan ushul
fikh. Juga terpengaruh oleh kitab Al-ushul karya Abu Bakar Al-Jashshash dalam
masalah Al-Bayan dan macam-macamnya, dan kitab Al-Mutamad karya Abu Al-
Husain Al-Bashri dalam corak pemikiran Mutazilah.

15 | P a g e
D. Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Maali Abd. Al-Malik Ibnu
Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juwaini Imam Al-Haramain (w. 478 H/1094 M). kitab ini
dinilai sebagai salah satu standar ushul fiqih. Ibnu Kaldun menilai kitab ushul fiqh
yamg terbaik dari kalangan mutakallimin, disamping kitab al-mustasyfa yang ditulis
oleh Abu Hamid Al-Ghazali. Kitab Al-Ahd yang ditulis oleh Abu Hamid Abd. Al-
Jabbar, dan kitab Al-Mutamad oleh Al-Husen Al-Bashri (Ibnu Khaldun: 455).
Meskipun kitab ini merupakan kebanggaan aliran Asy-Syafii, ulama-ulama
terkemuka dan madzhab Malikiyah menaruh perhatian dan membuat syarah
untuknya, antara lain: Abu Abdillah Al-Maziri (w. 536 H./1141 M.), Abu Al-Hasan,
Ali Ibnu Ismail Al-Ayyari (w. 616 H./1219 M.), dan Ash-Shaf Abu Yahya. Hal ini
mungkin disebabkan adanya kemiripan pendapat dengan pendapat Imam Malik dalam
masalah istihsan dan maslahah mursalah.

E. Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505
H./1111 M.), yang dikenal sebagai hujjah Al-Islam. Al-Ghazali telah berguru kepada
Imam Al-Haramain, dan pernah memimpin madrasah Nizhamiyah. Kitabnya Al-
Mustashfa, menurut Ibnu Khaldun adalah kitab terakhir dari seluruh kitab standar
Ushul Fiqih. Hasil Ijtihad Al-Ghazali yang terpenting dalam Al-Mustashfa, antara
lain adalah penolakannya terhadap hadis mursal; dalam hal ini, ia berbeda pendapat
dengan Malik dan Abu Hanifah. Ia juga menolak pendapat bahwa fatwa-fatwa
sahabat dapat dijadikan hujjah jika sahabat lainnya mendiamkannya. Menurut Al-
Ghazali fatwa itu tidak dapat menjadi hujjah sebelum yakin bahwa diamnya sahabat
itu menyetujui fatwa itu.13

E. ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQIH

Dalam sejarah pekembangan fiqih dikenal du aliran ushul fiqh yang berbeda.
Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-

13
Ibid, hal 37-39

16 | P a g e
masing dalm menggali hukum islam.Aliran pertama disebut aliran Syafiiyah dan
Jumbur Mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh mereka secara
teoritis, tanpa terpengaruh oleh masakah-masalah furu (masalah keagamaan yang
tidak pokok). Dalam membangun teori aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan
alasan yang kuat, baik dalail naqli maupun dalil aqli, tanpa dipengaruhi oleh masalah-
masalah furudari berbagai madzhab, sehinnga teori ini adakalanya sesuai furu dan
ada kalanya tidak. Setiap permasalahan yang bditerima akal dan didukung oleh dalil
naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu madzhab maupun
tidak, sejalan dengan kaidah yang ditetapkan imam madzhab atau tidak.

Dalam kenyataannya ada ulama Syafiiyah yang berupaya menyusun teori


tersendiri, sehingga terdpat pertentangan dengan teori yang dibangun. Imam Al-
Amidi dan Imam Al-Qarafi (ahli usul fiqh Maliki), berupaya menggabungkan teori
Syafiiyah/Mutakalimin dengan aliran fuqaha. Hal ini mereka lakukan untuk
mencarai jalan terbaik dalan masalah usul fiqh.Oleh sebab itu ada teori usul fiqh
mereka yang bertentangan dengan pendapan madzhab mereka sendiri.

Akibat dari perhatian yang hanya tertuju kepada masalah-masalah teoritis, teri
yang dibangun aliran Syafii/Mutakallimin sering tidak membawa pengaruh pada
keperluan prektis. Aspek-aspek bahasa sangat dominan dalam pembahsan usul fiqh
mereka. Misalnya masalah tahsin (mengannagap suatu perbuatan baik dan dapat
dicapai oleh akal atau tidak) dan taqbih (mengannagap suatu perbuatan buruk dan
dapat dicapai oleh akal atau tidak). Pembahasan seperti ini biasanya dikemukakan
oleh ahli usul fiqh berkaitan dangan pembahasan hakim (pembuat hukum). Kedua
konsepp ini berkaitan erat dengan pembahasan ilmu kalam yang juga berpengaruh
dalam penetuan teori usul fiqh. Akibat lain dari teori ini adalah terjebak dengan
masalah-masalah yang terkadang mustahil terjadi, seperti persoalan talif al-madum
(pembebanan hukum atas sesuatu yang tidak ada), atau terjebak dalam permasalahan
aqidah, seperti ke-mashum-an (terpelihara dari kesalahan) Rasul.

17 | P a g e
Kitab ushul fiqh standar dalam aliran Syafiiyah/Mutakallimin ini adalah al-
Risalah yang disusun Imam Syafii, kitab al-Mutamad, disusun Abu al-Husain
Muhammad Ali al-Bashri (w.463 H), kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh disusun Imam
Haramain al-Juwaini (w. 487 H), dan tiga rangkaian kitab ushul fiqh Imam Abu
Hamid al-Ghazali (450-505 H/1085-1111 H), yaitu: al Mankhul min Taliqat al-
Ushul; Syifa al Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al Ta lil; dan al-
Mustashfa fi Ilm al-Ushul. Sekalipun kutab ushul fiqih aliran
Syafiiyah/Mutakallimin cukup banyak, tetapi yang menjadi sumber dan standar
dalam aliran ini adalah kitab ushul fiqh diatas.

Aliran kedua dalam aliran ilmu ushul fiqh adalah aliran fuqaha, uang dianut
ulama-ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha , karena aliran ini dalam
membangun teori ushuk fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu dalam
madzhab mereka. Artinya mereka tidsk membangun suatu teori kecuali setelah
melakukan analisis terhadap masalah-maslah furu, yang ada dalam madzhab mereka.
Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang
ada dengan hukum furu tersebut. Oleh sebab itu aliran ini berupaya agar kaidah
mereka sesuai dengan hukum-hukum furu yang berlaku dalam madzhabnya,
sehingga tidak satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan. Berbeda dangan aliran
Syafiiyah/Mutakallimin yang ama sekali tidak terpengaruh dengan furu yang ada
dalam madzhabnya, sehingga sering terjadi pertentanga kaidah dengan hukum furu
dan terkdang kaidah yang dibangun sulit untuk diterapkan. Apabila suatu kaidah
bertentangan dengan furu, maka mereka berusaha untuk mengubah kaidah tersbut
dan membangun kaidah lain yang sesuia dengan masalah furu yang emreka hadapi.
Misalnaya, mereka menetapkan kaidah bahwa dalil yang umum itu bersifat qati
(pasti). Akibatnya apabila terjadi pertentangan dengan dalil umum denga hadits
ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qathi;
yang qathi tidak bisa dikalahkan dan di khususkan oleh zhanni.

18 | P a g e
Di kalangan aliran fuqaha sendiri ada ahli ushul fiqh yang berupaya
utkompromikan kedua aliran tersebut, di antaranya adalah Imam KamalIibn al-
Humam dalam kitab ushul fiqhnya, al-tahrir. Dari sekian banyak kitab ushul fiqh
standar dalam aliran ini adalah Kitab al-Ushul yang disusun Imam Abu al-Hasan al-
Kharki, Kitab al-Ushul, disusun Abu Bakar al-Jashshash, Usuhl al-Sharakhsi, disusun
Imam al-Sharakhsi Tasis al-Nazhar, disusun Imam Abi Zaid al-Dabusi (w. 430 H),
dan kitab Kasyif al-Asrar, disusun Imam al-Basdawi.

Adapun kitab-kitab ushul fiqh yang menggabungkan teori


Syafiiyah/Mutakallimin dengan teori fuqoha, diantaranya:

1. Tankih al-Ushul, yang disusun Shadr(w, 747 H). Kitab ini merupakan
rangkuman dari tiga kitab ushuk fiqh, yaitu Kasyif al-Asrar, karya Imam
al-Bazdawi al-hanafi, al-Mahshul karya Fakh al-Din al-Razi al-Syafii,
dan Mukhtashat ibn al-Hijab karya ibn al-Hijab al-Maliki.
2. Al Tahrir, disusun Kamal al-Din Ibn al-Humam al-Hanafi (w. 861 H)
3. Jumu al-Jawani, disusun Taj al-Din Adb al-Wahhab al-Subki al-Syafii
(w. 771 H).
4. Mussalam al-Tsubut, disususn Muhibbulah ibn Abd al-Syakur (w. 1119
H).

Pada abad ke-8 Hijriah muncul Imam Abu Ishaq al-Shatibi (w. 790 H) dengan
bukunya al-Muwafaqat fi al-Ushul al-Syariah. Pembahasan ushul fiqh yang
dikemukakan Imam Ashatibi dalam kitabnya ini, disamping menguraikan berbagai
kaidah yang berkitan dennga spek-aspek kebahasaan ia juga mengemukakan
maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariat dalam menetapkan hukum), yang selama
in kurang diperhatiak oleh ulama ushul fiqh. Setiap permaslahan dan kaidah
kebahasaan yang ia kemukakan senantiasa dikaitkan dengan tujuan syara dalam
menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam Asyatibi memberikan warna baru
dibidang ushul fiqh dan kitabnya al-Muwafaqat fi al-Ushul al-Syariah yang oleh para

19 | P a g e
ahli ushukl fiqh kontemporer dianggap sebagai sebagai buku ushul fiqh yang
komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.14

F. PERANAN USHUL FIQIH DALAM ISLAM

Kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqih merupakan salah satu upaya
dalam menjaga keasrian hukum syara dan menjabarkan pada kehidupan social yang
berubah-ubah. Kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyyah yang terus
berkembang menuju kesempurnaannya hingga puncaknya pada abad kelima dan awal
abad keenam hijriyyah, abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ilmu
ushul fiqih. Pada abad inilah muncul kitab-kitab ushul fiqih yang menjadi standar dan
rujukan untuk perkembangan ushul fiqih selanjutnya.

Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqih adalah tercapainya kemampuan
seseorang untuk mengetahui hukum syara yang bersifat furu dan kemampuannya
untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang
benar. Selain itu, agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar
dari kekeliruan. Sejarah At-Tasyri Al-Islami dan mengikuti perkembangan fiqih Islam
serta periode yang dilaluinya, setelah madzhab fiqih terbentuk, hukum fiqih hanya
terbekukan pada berbagai kita madzhab. Banyak ulama yang berpendapat bahwa
mulai tahun 400 H. pintu ijtihad tertutup, fiqih Islam hanya terbatas pada pendapat
para imam dan yang tertulis dalam kitab-kitab fiqih tanpa ada yang berusaha untuk
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.

Fiqih Islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul fiqih. Hal ini karena mujtahid
madzhab yang tidak sampai ke tingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-
kaidah dan undang-undang ushul fiqih dan bagi mujtahid madzhab yang hendak
mempertahankan imam madzhab-nya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan
baik tanpa mengetahui ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya. Demikian pula bagi para
ulama yang hendak men-tarjih pendapat imam madzhab-nya, ia pun memerlukan

14
Ibid, hal 45-46

20 | P a g e
ilmu ushul fiqih sebab tanpa mengetahui ilmu tersebut, ia tidak dapat men-tarjih
dengan baik dan benar. Dengan demikian, peranan ushul fiqih dalam pengembangan
fiqih Islam dapat dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-
hukum syara dan dalil-dalilnya. Bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang
dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran fiqih Islam dan sebagai
penyaringan pemikiran-pemikiran seorang mujtahid.15

15
Ibid, hal 42-44

21 | P a g e
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Apa yang telah dikemukan di dalam makalah ini bahwa Sebagaimana ilmu-ilmu
keagamaan lain dalam islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap
berpijak pada Al-Quran dan Sunah. Dengan kata lain, Ushul Fiqh tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan
sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh. Seperti ijtihad, qiyas,
nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat.

Sejarah Ushul Fiqih juga berkembang dengan melalui beberapa tahap :

3. Tahap Awal (Abad 3 H)

Pada abad 3 H, dibawah pemerintahan Abbasiyah

4. Tahap Perkembangan (Abad 4 H)

Merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik.


Pada abad ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil
yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan.

3. Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6)

Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah


kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam
tidak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota, seperti Cairo, Bukhara,
Gahznah, dan Markusy.

22 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Syafei, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia

Anwar ,Syahrul. 2010. Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia

Saebani, Ahmad, Beni. 2012. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih 1. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu

Djazuli A, 2005. Ilmu Fiqih. Jakarta: PRENADAMEDA

Syafei, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia

23 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai