Anda di halaman 1dari 42

Nama : Ahmad Muftih Izzulhaq

NIM : 052 2019 0057


Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah
Judul Skripsi : "Bagi Hasil Pengelolaan BUMDes 'Mitra Mandiri' dalam Tinjauan Hukum
Islam"

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT. menciptakan manusia tiada lain ialah untuk mengabdikan diri Kepada-Nya.
Bentuk pengabdian manusia kepada Allah SWT. ialah dengan senantiasa mendekatkan diri
Kepada-Nya. Salah satu cara ialah dengan saling berwasiat dalam hal kebaikan dan mencegah
kepada kezaliman. Oleh karena itu Allah SWT. Menjadikan Islam sebagai Agama dan Jalan
hidup yang mampu menghantar manusia meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, Sebagaimana
yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW.1

Maka dari itu seorang muslim dalam keseluruhan hidupnya wajib untuk bertingkah laku
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Agar kiranya dapat
membedakan/memisahkan antara yang benar (halal) dan yang salah (haram). Wahyu Allah yang
tertuang dalam Al-Qur'an, memuat hukum Islam yang utama (al-Syari'ah). Kata syari'ah
kemudian dijelaskan,diberi contoh, dan dirincikan oleh Rasulullah Saw. dengan ijtihad-
ijtihadnya yang berwujud pada sunnah. Adapun al-Fiqh adalah proses pemahaman terhadap al-
Syari'ah, yang tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial masyarakat.2

Al-Qur'an menetapkan bahwa Allah SWT. menghendaki setiap muslim melaksanakan


hukum-hukum-Nya. Secara garis besar hukum Islam terbagi kepada, pertama fikih ibadah
meliputi aturan tentang salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur
hubungan antarmanusia dengan Tuhannya. Kedua, fikih muamalah, mengatur hubungan antara

1
Luthfiyah Makhfudh, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penerapan Bagi Hasil Dalam Pengelolaan Wisata
Teropong Kota, Lampung: UIN Raden Intan, 2021, h. 2.
2
Ibid.
manusia dengan sesamanya, seperti kerjasama bagi hasil yang sifatnya menguntungkan kedua
belah pihak. Adapun bagi hasil menurut syariah Islam salah satunya adalah mudharabah yakni
bagi hasil antara pemilik modal usaha dan pengelola usaha.3

Dalam hal ini mudharabah dijelaskan pada firman Allah Swt:

‫ۗ َفِاْن َاِم َن َبْعُض ُك ْم َبْعًضا َفْلُيَؤ ِّد اَّلِذ ى اْؤ ُتِم َن َاَم اَنَتٗه َو ْلَيَّتِق َهّٰللا َر َّبٗه‬

“Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” QS. Al-
Baqarah (2): 283.4

‫ۙ َو ٰا َخ ُرْو َن َيْض ِر ُبْو َن ِفى اَاْلْر ِض َيْبَتُغ ْو َن ِم ْن َفْض ِل ِهّٰللا‬

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”. Q.S. Al-
Muzzammil [73]: 20.5

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik:

‫و خذلني مالك َع ْن اْلَع اَل ِء ْبن َع ْبِد الَّرْح َمِن َع ْن َأِبيِه َع ْن َج ده أن عثمان بن عفان أعطاة‬
‫ماال قراضًا َيْع َم ُل ِفيِه َع َلى َأَّن الَّرَّبَح َبْيَنُهَم ا‬
“Telah menceritakan kepadaku Malik dari (Al Ala' bin Abdurrahman) dari (Bapaknya) dari
(Kakeknya) bahwa (utsman bin affan) pernah memberinya pinjaman harta untuk berdagang
dengan persyaratan; untungnya dibagi antara mereka berdua”.6

Mudharabah juga disyariatkan berdasarkan ijma' sahabat. Ulama juga tidak ada yang
mengingkari mengenai diperbolehkan mudharabah, dalam hal ini Ibnu Mundzir mengatakan:
“Ulama bersepakat mengenai diperbolehkannya mudharabah”.7

Berdasarkan prariset yakni pada BUMDes Mitra Mandiri di Desa Alesipitto Kecamatan
Ma'rang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan melakukan akad kerjasama dengan
3
Ibid., h. 3.
4
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemah.... h. 3.
5
Ibid., h. 3-4
6
Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwatta Imam Malik Ibn Annas. Hadits no 1196, edisi 1,
cetakan Ke-1 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1999), h. 4.
7
Imam Mustofa, Fiqh Mu’amalah Kontemporer, edisi 1 (Depok: PT Raja Grafindo Persada ,2018), h. 4.
menggunakan sistem bagi hasil (mudharabah) antara pemilik modal dengan pengelola Bumdes
Mitra Mandiri sebagai berikut:

1. Kerjasama dilakukan dengan cara pemilik modal (BUMDes Mitra Mandiri) memberi modal
dan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola BUMDes Mitra Mandiri Desa Alesipitto
Kecamatan Ma'rang Kabupaten Pangkep. Dengan modal sekurang-kurangnya senilai 60% yang
diserahkan kepada pengelola BUMDesa Mitra Mandiri,dan hasil dibagi berdasarkan persentase
yang disepakati.

2. Empat puluh lima per seratus (45%) digunakan untuk penambahan modal BUMDes Mitra
Mandiri.

3. Bagi hasil dilakukan dengan perjanjian awal bahwa '20% (Dua puluh per seratus) digunakan
untuk tunjangan prestasi bagi pengurus dan karyawan (pengelola).

Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
permasalahan bagi hasil dalam pengelolaan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dan
menjelaskan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul “BAGI HASIL
PENGELOLAAN BUMDes MITRA MANDIRI (Kedai Rindu dan Ternak Ayam Potong)
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM”. (Studi pada BUMDes di Desa Alesipitto Kecamatan
Ma'rang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok
permasalahan yang selanjutnya akan menjadi objek pembahasan. Adapun rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sistem pengelolaan Bumdes Mitra Mandiri (Kedai dan Ternak Ayam Potong)
dalam perspektif hukum islam?

2. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap bisnis/usaha dalam islam?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka dapat diketahui bahwa tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana bagi hasil dalam pengelolaan Bumdes Mitra
Mandiri ( Kedai dan Ternak Ayam Potong) di Desa Alesipitto Kecamatan Ma'rang Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan.

2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana pandangan/pemahaman masyarakat tentang


bisnis/usaha dalam islam.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Penelitian ini sebagai upaya memberikan pengetahuan serta pemahaman sehingga dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan terutama bagi kalangan umat muslim yang
mampu memperkaya khazanah keislaman khususnya dalam hal bermuamalah.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan yang dapat memberikan informasi
mengenai bagi hasil pengelolaan BUMDes Mitra Mandiri (Kedai dan Ternak Ayam Potong)
dalam tinjauan hukum islam di Desa Alesipitto Kecamatan Ma'rang Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan.

E. Penegasan Judul
Sebagai kerangka awal untuk memudahkan memahami penjelasan, maka penulis terlebih
dahulu akan menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul proposal ini, sehingga lebih
memudahkan pembaca terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam memahaminya.

Adapun proposal ini berjudul "BAGI HASIL PENGELOLAAN BUMDes MITRA


MANDIRI (Kedai dan Ternak Ayam Potong) DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM" berikut
istilah-istilah penting yang perlu dijelaskan :

1. Bagi Hasil : adalah suatu akad atau perjanjian kerjasama usaha antara dua orang atau lebih,
dimana pihak pertama(pemilik modal) menyediakan modal usaha atau aset berupa usaha kedai
dan ternak ayam potong , sedangkan pihak lainnya (pengelola) menyediakan tenaga dan keahlian
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang
mereka tetapkan.8

2. Pengelolaan : Suatu proses untuk melakukan kegiatan tertentu disertai dengan pengoptimalan
tenaga/usaha maksimal untuk mencapai suatu tujuan.9

3. Tinjauan : Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki,


mempelajari, dan sebagainya).10

4. Hukum Islam : Hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua ummat yang beragama Islam.11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

8
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, edisi 1, (Jakarta: Amzah, 2017), h. 1-2.
9
https://id.m.wiktionary.org, diakses pada tanggal 19 Januari 2023.
10
https://kbbi.web.id/tinjau, diakses pada tanggal 19 januari 2023.
11
Ismail Muhammad Syeh, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara. 1999), h. 1.
A. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan

Berdasarkan tinjauan pustaka ini, penulis menjelaskan beberapa penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, relevan dengan judul proposal ini yaitu :

1 Penelitian karya Luthfiyah Makhfudh (2021) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
yang berjudul "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN BAGI HASIL
DALAM PENGELOLAAN WISATA TEROPONG KOTA" (Studi Pada Objek Wisata
Teropong Kota di Desa Sumur Kumbang Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa penerapan kerjasama bagi hasil dilakukan
dengan cara pemilik modal memberi modal kepada pengelola untuk mengelola objek wisata
Teropong Kota. Pembagian hasil berdasarkan persentase yang disepakati yakni 40% : 60% laba
bersih dari hasil yang didapat setelah dikurangi modal dan biaya operasional. Apabila terjadi
kerugian akibat kelalaian pengelola, maka yang harus bertanggung jawab adalah pihak yang
mengelola modal, Sedangkan apabila kerugian terjadi di luar dari kelalaian pengelola, maka yang
akan bertanggung jawab atas kerugian finansial adalah pihak yg mengeluarkan modal sedangkan
pihak pengelola akan kehilangan waktu/tenaga dan pikirannya. Dalam hal ini praktik kerjasama
bagi hasil yang diterapkan tersebut adalah mudharabah muqayyadah. Ketentuan yang diterapkan
dalam praktik kerjasama bagi hasil ini adalah sah sesuai Syariat Islam karena sudah memenuhi
syarat- syarat dan rukun mudharabah muqayyadah. Akan tetapi ada sedikit perbedaan bahwa
bagi hasil dalam Islam dijelaskan ketika akan melakukan pembagian hasil seharusnya didapati
dari hasil pendapatan wisata (keuntungan) dikurangi biaya operasional dan tidak ada
pengembalian modal. Dan ketika terjadi kerugian yang diakibatkan adanya bencana alam
maupun bencana Nasional dalam hal ini adalah akibat dampak adanya virus Covid-19, kerugian
ditanggung oleh pihak pemilik modal, hal ini sejalan dan selaras dengan hukum Islam. 12 Adapun
penelitian yang akan dilakukan penulis meskipun terlihat hampir sama karena sama-sama
meneliti bagi hasil (mudharabah) namun, berbeda dalam obyek penelitiannya dimana penelitian
sebelumnya meneliti pada obyek wisata teropong kota,sedangkan penulis meneliti akad bagi
hasil (mudharabah) dalam pengeloaan BUMDes Mitra Mandiri (kedai dan ternak ayam).

12
Luthfiyah Makhfudh, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penerapan Bagi Hasil Dalam Pengelolaan
Wisata Teropong Kota (Skripsi, Lampung: UIN Raden Intan Lampung, 2021), h. 5.
2. Penelitian karya Elin Dwi Pristiana (2021) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
yang berjudul "TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH TENTANG SISTEM BAGI
HASIL DALAM KERJA SAMA BUDI DAYA LEBAH MADU ANTARA PEMODAL
DENGAN PENGELOLA" (Studi pada Penangkaran Lebah Madu di DesaTempel Rejo
Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
(penelitian ini dapat dikemukakan) bahwa pelaksanaan bagi hasil dalam kerja sama yang terjadi
di Desa Tempel Rejo adalah pembagian keuntungan yakni 60% untuk pemodal dan 40% untuk
pengelola. Akan tetapi pada praktiknya pembagian keuntungan tersebut tidak sesuai dengan apa
yang ada di akad awal. Praktiknya pembagian keuntungan setelah hasil panen terjadinya
kerugian yang harus ditanggung oleh pengelola, yang mengakibatkan pembagian hasil nya
berbeda dari akad di awal, yaitu pengelola hanya mendapatkan bagian 30% dan pemodal
mendapatkan 70%. Dalam hal ini praktik kerja sama yang terjadi di Desa Tempel Rejo
Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran merupakan kerja sama yang tidak sah dan
dilarang oleh Islam, berdasarkan ayat Al-quran Surat An-Naml:14, karena dalam pembagian
keuntungannya tidak seperti yang diakadkan di awal. 13 Perbedaan penelitian terdahulu dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis ialah terletak pada bentuk kerja sama yang
dilakukan,dimana penelitian terdahulu menggunakan akad kerja sama (syirkah) pada pengeloaan
penangkaran lebah madu sedangkan penelitian penulis menggunakan akad bagi hasil
(mudharabah) yang diterapkan pada pengelolaan Bumdes Mitra Mandiri.

3. Penelitian karya Habib Musthofa (2021) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
yang berjudul "BAGI HASIL PENGELOLAAN PARKIR TURNAMEN SEPAK BOLA
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM" (Studi di Desa Pejambon Kecamatan Negeri Katon
Kabupaten Pesawaran). Berdasarkan hasil penelitian tersebut bagi hasil parkir open turnamen
sepak bola di Desa Pejambon Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran. 1) Bagi hasil
dilakukan oleh pengelola dengan pemilik lahan yaitu dengan cara pembagian hasilnya
disamaratakan antara pemilik lahan satu dengan yang lainnya, sedanggkan lahan yang dimiliki
mempunyai ukuran yang berbeda-beda sehingga secara tidak langsung membuat pemilik lahan
yang besar merasa dirugikan. sedangkan bagi hasil yang dilakukan pengelola dengan pekerja
parkir yaitu bagi hasil dengan ketetapan 50% dari hasil parkir perharinya dan dibagi merata ke
13
Elin Dwi Pristiana, Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Tentang Sistem Bagi Hasil Dalam Kerja Sama
Budi Daya Lebah Madu Antara Pemodal Dengan Pengelola (Skripsi, Lampung: UIN Raden Intan Lampung, 2021),
h. 5.
10 pekerja sedangkan lahan parkir yang dijaga oleh setiap pekerja berbeda-beda ada yang ramai
dan ada yang sepi, sehingga secara tidak langsung hal ini cukup menambah tanggung jawab yang
dibebankan kepada pekerja parkir yang lahan parkirnya ramai sedangkan upah yang diperoleh
harus disamaratakan dengan pekerja parkir yang lahan parkirnya sepi. 2) Bagi hasil yang
dilakukan antara pihak pengelola dengan pemilik lahan serta pengelola dengan pekerja parkir
tidak sesuai dengan hukum Islam (hukum ekonomi syariah) karena tidak memenuhi syarat
mudharabah, tidak adanya kejelasan pembagian keuntungan baik pengelola dengan pemilik
lahan maupun pengelola dengan pekerja parkir.14 Hubungan penelitian terdahlu dengan
penelitian penulis ialah terletak pada kesamaan akad yang diterapkan yaitu akad bagi hasil
(mudharabah) dalam kegiatan usahanya. Sedangkan perbedaannya terletak dimana dalam
penelitian terdahulu tidak ada kejelasan dalam pembagian keuntungan dalam
pengeloaannya(pengelola dengan pemilik lahan maupun pengelola dengan pekerja).

4. Penelitian karya Dewi Maya Sari (2021) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
dengan judul "PRAKTIK BAGI HASIL ANTARA PEMILIK AMBULANCE DENGAN
PENGELOLA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM" (Studi kasus di Kelurahan Penengahan
Kecamatan Kota Bandar Lampung) Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa
praktik bagi hasil antara pemilik ambulance dengan pengelola iiidi Kelurahan Penengahan
Kecamatan Kedaton Kota Bandar Lampung menggunakan akad Mudharabah dengan ketetapan
tarif setiap mobil ambulance miliknya yakni Rp 100.000,- menggunakan sistem panggilan via
telepon atau WA (Whatsapp) bagi konsumen yang membutuhkan mobil ambulance, dan
sedangkan ditinjau dalam hukum Islam praktik bagi hasil antara pemilik ambulance dengan
pengelola di Kelurahan Penengahan Kecamatan Kedaton Kota Bandar Lampung tidak
diperbolehkan atau tidak sah dalam hukum Islam, dikarenakan belum memenuhi syarat akad
Mudharabah dalam Islam. Tidak terpenuhinya pada syarat ke empat akad Mudharabah yakni
keuntungan. Karena, dalam praktiknya terdapat kecurangan dan ketidak jujuran dalam presentase
keuntungan yang didapat, hal itu dilarang dalam Islam. 15 Hal yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini berfokus pada bagi hasil (mudharabah) pada
14
Habib Musthofa (2021) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung yang berjudul "Bagi Hasil
Pengelolaan Parkir Turnamen Sepak Bola DalamTinjauan Hukum Islam(Studi di Desa Pejambon Kecamatan Negeri
Katon Kabupaten Pesawaran)
15
Dewi Maya Sari (2021) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung dengan judul "PRAKTIK BAGI
HASIL ANTARA PEMILIK AMBULANCE DENGAN PENGELOLA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM"
(Studi kasus di Kelurahan Penengahan Kecamatan Kota Bandar Lampung).
pengelolaan Bumdes Mitra Mandiri dan kesesuaiannya menurut Hukum Ekonomi
Syariah/Hukum Islam. Sedangkan penelitian terdahulu bagi hasil (mudharabah) antara pemilik
ambulance dan pengelola itu sudah jelas-jelas tidak dibenarkan/diperbolehkan/tidak sah menurut
hukum islam. Dikarenakan belum memenuhi syarat akad mudharabah secara
keseluruhan,khususnya dalam hal keuntungan/laba. Setelah penulis melakukan penelusuran
terhadap judul penelitian sebelumnya dan kesimpulannya di atas, maka dapat diketahui
perbedaan dalam segi pembagian hasil, meskipun pada dasarnya penelitian sebelumnya memiliki
permasalahan yang hampir sama, namun substansi yang diajukan penulis dalam penelitian ini
berbeda. Karena disini penulis akan membahas bagi hasil yang dilakukan dengan perjanjian awal
bahwa Empat puluh lima per seratus (45%) digunakan untuk penambahan modal Bumdes Mitra
Mandiri , Dua puluh per seratus (20%) digunakan untuk tunjangan prestasi bagi pengurus dan
karyawan.

B. Landasan Teori dan Kerangka Pikir

1. Mudharabah dalam Fiqih Muamalah

a. Pengertian Bagi Hasil (Mudharabah)

Bagi hasil dalam transaksi mudharabah merupakan pembagian atas hasil usaha yang
dilakukan mudharib atas modal yang diberikan oleh shahibul maal. Bagi hasil atas kerja sama
usaha ini diberikan sesuai dengan nisbah yang telah dituangkan dalam akad mudharabah.16

Dalam literatur fiqh, terdapat dua istilah yang menunjukkan pengertian mudharabah. Yang
pertama istilah muqaradah dan yang kedua istilah qiradh.

Namun pengertian keduanya adalah sama saja. Istilah mudharabah adalah bahasa penduduk Irak
dan kebanyakan digunakan oleh mazhab Hanafi,Hambali dan Zaydi dan qiradh adalah bahasa
istilah yang digunakan penduduk Hijaz dan kebanyakan digunakan oleh mazhab Maliki dan
Syafi‟i. Sedangkan penduduk Madinah menggunakan istilah muqaradah, di mana perkataan ini

16
Hana Inasty Hanifah, “Penerapan Sistem Pembiayaan Mudharabah Terhadap Risiko Gagal Bayar Di
KJKS An-Nur Jatitujuh Majalengka,” Jurnal Ekonomi Syariah dan Bisnis, Vol. 1, No. 1 (2018): h. 19.
diambil dari kata qard yang berarti menyerahkan. Di dalam al-Qur‟an dan Hadits kata
mudharabah tidak disebutkan secara jelas.17

Menurut bahasa mudharabah dijelaskan sebagai berikut:

1. Secara kata bahasa, mudharabah diambil dari kalimat dharaba fil ardh. Artinya, melakukan
perjalanan dalam rangka berdagang. Mudharabah dinamakan pula dengan qiradh yang berasal
dari kata al- hartanya untuk diperdagangkan dan mendapat sebagian dari keuntungannya.
Demikian dijelaskan Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh as-Sunnah.18

2. Wahbah az-Zuhaily mengemukakan, mudharabah, qiradh, atau muamalah termasuk diantara


bermacam-macam perserikatan. Ia menurut bahasa Irak dinamakan dengan mudharabah dan
menurut bahasa Hijaz ia dinamakan dengan qiradh yang diambil dari kata al-qiradh, artinya
potongan. Karena pemilik harta memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada
pengusaha yang mengelola harta tersebut. Kemudian, pekerja memberi pemilik harta sebagian
dari keuntungan yang diperoleh.19

Jadi, akad ini disebut mudharabah, karena pekerja (mudharib) biasanya membutuhkan
suatu perjalanan untuk menjalankan bisnis. Adapun perjalanan dalam bahasa Arab disebut juga
dharb fil ardh.20
Menurut istilah, mudharabah dijelaskan sebagai berikut:

1. Menurut Abdur Rahman L. Doi, mudharabah, dalam terminologi hukum, adalah suatu kontrak
di mana suatu kekayaan (property) atau persediaan tertentu ditawarkan oleh pemiliknya atau
pengurusnya (shahibul maal) kepada pihak lain untuk membentuk suatu kemitraan yang di
antara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Pihak yang lain berhak untuk
memperoleh keuntungan karena kerjanya mengelola kekayaan itu. Orang ini disebut mudharib.21

17
Moh Nurul Qomar, “Mudharabah Sebagai Produk Pembayaran Perbankan Syariah Perspektif Abdullah
Saeed,”.Jurnal of Islamic Banking and Finance, Vol. 2, No. 2 (2018): h. 19.
18
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah (Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah), edisi
1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2018), h. 20.
19
Ibid.
20
Luthfiyah Makhfudh, op.cit., h. 20.

21
Luthfiyah Makhfudh, op.cit.
2. Menurut Kazarian, mudharabah didefinisikan sebagai suatu perjanjian antara sekurang-
kurangnya dua pihak di mana satu pihak, yaitu pihak yang menyediakan pembiayaan,
memercayakan dana kepada pihak lainnya,yaitu pengusaha (mudharib), untuk melaksanakan
suatu kegiatan.mudharib mengembalikan pokok dari dana yang diterimanya kepada shahibul
maal ditambah suatu bagian dari keuntungan yang telah ditentukan sebelumnya.22

3. Menurut para Fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung,
salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian
yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan.

a. Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain
punya jasa mengeola harta itu.

b. Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah ialah ibarat pemilik harta menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang
diketahui.

c. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad yang menentukan seseorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.23

d. Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah penyerahan uang dimuka oleh pemilik
modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seseorang yang akan menjalankan usaha
dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.24

Berdasarkan penjelasan dari para ulama di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal
tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.

22
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah, edisi 1, (Jakarta: Prenada media group, 2014), h. 21.

23
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.... h. 21-22.
24
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Cetakan Ke-1
(Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 22.
Dan apabila terjadi kerugian selama bukan dari kelalaian pengelola maka yang akan
menanggung adalah pemilik modal.25

b. Dasar Hukum Mudharabah

Islam mensyari'atkan dan membolehkan kepada umatnya untuk memberikan kemudahan


kepada manusia lainnya. Sebagian orang terkadang memiliki harta, akan tetapi dia tidak
memiliki kemampuan untuk menjadikan harta tersebut berkembang, dan sebaliknya ada orang
yang tidak memiliki harta tetapi ia mampu mengembangkan harta. Hal tersebut menjadi salah
satu alasan Islam mensyari'atkan untuk bermuamalah, agar kedua belah pihak tersebut dapat
mengambil manfaat.26

Banyak ayat al-Quran dan hadist Nabi Saw. yang memerintahkan manusia agar bekerja.
Manusia dapat bekerja apa saja menurut kemampuan yang dimilikinya yang penting tidak
melanggar garis-garis yang telah ditentukannya. Manusia bisa melakukan aktifitas produksi,
pertanian, perkebunan, peternakan serta pengelolahan makan dan minum. Manusia juga dapat
melakukan aktifitas distribusi, seperti perdagangan atau dalam bidang jasa, seperti transportasi,
kesehatan dan sebagainya.27

Akad mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara
pemilik modal dengan pakar atau ahli dalam memutar modal dan sama-sama mencari
keuntungan. Banyak diantaranya pemilik modal yang tidak mampu dalam mengelola dan
memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula yang memiliki kemampuan dibidang
perdagangan namun tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam
pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerjasama antara pemilik
modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal
tersebut.28 Adapun dasar hukum yang disyari'atkan dalam Islam adalah sebagai berikut :

a. Al-Qur'an

a) Al-Qur'an Surah Al-Muzammil ayat 20 disebutkan:

25
Luthfiyah Makhfudh, op.cit., h. 22.

26
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 18.
27
Ibid.
28
Ibid., h. 19.
‫وناخُروَن َيْض ِرُبوَن ِفي اَأْلْر ِض َيْبَتُغ وَن ِم ن َفْض ِل ِهَّللا‬

Artinya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah.”29

b) Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah ayat 198 disebutkan:

‫ليَس َع َليُك م ُجَناٌح َأن َتْبَتُغ وا َفْض اًل ِّم ن َّرِّبُك م‬

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.”30

Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari rizki dari
Tuhan kalian untuk mengambil keuntungan dari perniagaan pada hari-hari haji. 31 Kalimat ini
memberikan perasaan kepada orang yang melakukannya bahwa ia sedang mencari karunia Allah
ketika ia berdagang, bekerja, dan ketika mencari sebab-sebab rezeki kepada dirinya dengan
pekerjaan. Tetapi ia hanya mencari karunia dari Allah, lalu Allah memberikannya. Oleh karena
itu, patutlah baginya untuk tidak melakukan hakikat ini, yaitu bahwa ia mencari karunia Allah. Ia
akan mendapatkan karunia ini ketika berusaha dan bekerja, dan memperoleh rezekinya melalui
sebab-sebab yang dilakukan untuk mendapatkan rezeki.32

c) Al-Qur'an Surah Al-Jumu'ah ayat 10 disebutkan:

‫َفِاَذ ا ُقِضَيِت الَّص ٰل وُة َفاْنَتِش ُرْو ا ِفى اَاْلْر ِض َو اْبَتُغ ْو ا ِم ْن َفْض ِل ِهّٰللا َو اْذ ُك ُروا َهّٰللا َك ِثْيًرا َّلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحْو َن‬

Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.33

29
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, (Bandung: CV Penerbit J-ART, 2014), h. 19.

30
Ibid.
31
Syaihk Al-alamah, Shalih Bin Muhammad Alu asy-Syakh , Tafsir Muyassah, (Jakarta: Darul Haq, 2016),
h. 20.
32
Departemen Agama RI, op.cit., h. 20.
33
Ibid., h. 20.
Maksud dari ayat di atas adalah apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian
di muka bumi, perintah ini menunjukan pengertian ibadah atau oleh (dan carilah) rezeki (karunia
Allah, dan ingatlah Allah) dengan ingatan sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung, yakni
memperoleh keberuntungan. Pada hari jumat, Nabi Saw. berkhutbah akan tetapi tiba-tiba
datanglah rombongan kafilah membawa barang-barang dagangan, lalu dipukulan gendrang
menyambut kedatangan sebagaimana biasanya. Maka orang-orang pun berhamburan keluar dari
masjid untuk menemui rombongan itu kecuali hanya dua belas orang saja masih tetap bersama
nabi saw. lalu turunlah ayat ini.34

Hubungan ketiga ayat di atas adalah sama-sama mendorong kaum muslimin untuk
melakukan upaya perjalanan usaha atau bisnis lainnya seperti usaha yang ada pada sistem bagi
hasil mudharabah dan syirkah salah satunya. Selain itu, Al-Quran tidak secara langsung menuju
istilah mudharabah melainkan melalui hasil kata Arab yang diungkapkan sebanyak lima puluh
delapan kali. Dari beberapa kata inilah kemudian mengalami konsep mudharabah, meskipun
tidak disangkal bahwa mudharabah suatu perjalanan jauh yang bertujuan bisnis dan mencari
keuntungan.35 Nabi dan para sahabat juga pernah menjalankan usaha kerja sama berdasarkan
prinsip ini.36

b. Hadis

‫ وخلط البر بالشعير البيت عن صهيب ال‬،‫ البيع إلى أحل َو اْلُم عارضة‬:‫ ثالث فيهن البركة‬: ‫أن النبي َص َّلى هللا َع َلْيِه َو آِلِه َو َس َّلَم َقاَل‬
) ‫للبيع (رواه ابن ماجه‬37

34
Al-Imam Jalaludin Muhammad, et. Al., Tafsir Jalalain, (Surabaya: PT. Elbah Mandiri Sejahtera), h. 21.

35
Asad Muhammad, The Message of the Quran, (Gibraltar: Dar Al Andalus, 1985), h. 21.

36
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 21.

37
Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah…., h. 22.
Artinya: “Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampurkan gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah
tangga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Maksud dari hadis di atas adalah bahwa mudharabah bukan hanya dibolehkan bahkan
diberkahi. Karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah) maka dalam
mudharabah tidak ada ganti rugi. Masing-masing pihak berkontribusi sesuai fungsinya, shahibul
mal dengan hartanya dan mudharib dengan tenaga dan waktunya. Apabila terjadi keuntungan
keduanya berhak atas nisbah keuntungan sesuai kesepakatan.38

‫ َو اَل َيْش َتِر َي‬، ‫ َو َال َيْنِز َل ِبِه َو اِد ًيا‬، ‫َس ِّيُدَنا اْلَع ّباُس بن َع ْبِد اْلُم َطلِب ِإَذ ا َد َفَع اْلَم اَل ُمَض اَرَبٌة ِاْش َتَر َط َع َلى َص اِح ِبِه َأْن اَل َيْس ُلَك ِبِه َبْح ًرا‬
‫ َفَبَلَغ َشْر ُطُه َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو آِلِه َو َس َّلَم َفَأَج اَز ُه ( رواه الطبراني في‬، ‫ َفِإْن َفَعَل َذ ِلَك َضِم َن‬،‫ِبِه َد اَّبٌة َذ اَت َك ِبِد َر ْطَبٍة‬
)‫األوسط عن ابن عباس‬39

Artinya: “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah,
serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu abbas).

Maksud dari hadits di atas adalah mengacu pada Mudharabah Muqayyadah (terikat),
penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan, seperti persyaratan
bahwa pengusaha harus berdagang di daerah Bandung atau harus berdagang sepatu, atau
membeli barang dari orang tertentu,dan lain-lain. Dan apabila mudharib bertindak bertentangan
dengan pengawasan tersebut, maka mudharib harus bertanggung jawab sendiri atas konsekuensi
yang ditimbulkan.40

‫ البيع الى اخل والفارض و خلط البري الشعير‬:‫َع ْن ُص َهْيٍب رضياللهعنو ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال ثل ت فيِهَّن الَبركة‬
)‫كلب بت ال تلبيع (رواه ابُن َم ا َج ْو ِباْثناٍد َضِع يف‬41

Artinya: “Shuaib ra.Telah menceritakan, bahwa Nabi saw pernah bersabda, “ada tiga macam
perkara yang bertempo, meminjamkan modal, dan mencampurkan jewawut dengan gandum
38
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 22.
39
Dewan Syariah Nasional MUI, loc.cit.
40
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 23.
41
Ibnu Hajar Al-Asqolani, Bulughul Marom Adilatil Ahkam, (Surabaya: Daarun Nasyr Al-Mishriyah), h. 23.
untuk dikonsumsi sendiri, bukan untuk diperjualbelikan.” Hadits ini mungkar menurut syaikh
nashiruddin al-albani”.

Maksud dari hadis di atas adalah jual beli yang diberikan tempo maksudnya seperti kredit
tapi tanpa bunga itu sangat membantu orang yang pada saat itu sangat memerlukan uang. Dan
jangan pernah kalian meminta kelebihan karena kelebihan itulah yang dinamakan riba dan riba
itu diharamkan. Peminjaman yang dimaksud adalah peminjaman mudharabah sebagaimana
disabdakan oleh Rasul pada hadits tersebut. dengan menunjukan adanya keberkahan ini, hal ini
mengidentifikasikan diperbolehkannya praktek jual beli yang dilakukan secara tempo, begitu
juga dengan pembiayaan murabahah yang dilakukan secara tempo, dalam artian nasabah diberi
tenggang waktu untuk melakukan pelunasan atas harga sesuai kesepakatan. Sedangkan
mencampurkan gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual,
yang dimaksud disini seperti gandum, biji-bijian bukan untuk dijualbelikan ketika panen tetapi
hanya untuk kebutuhan keluarga saja.42

c. Ijma

Ibn Taymiyah menetapkan landasan hukum mudharabah dengan ijma yang berlandaskan
pada nash. Mudharabah sudah terkenal dikalangan bangsa Arab jahiliah, terlebih dikalangan
suku Quraish. Mayoritas orang Arab bergelut dibidang perdagangan. Para memilik modal
memberikan modal mereka kepada para pengelola. Rasulullah Saw. pun pernah mengadakan
perjalanan dagang dengan membawa modal orang lain sebelum beliau diangkat menjadi nabi.
Beliau juga pernah mengadakan perjalanan dagang dengan mengelola modal Khadijah. 43

Kesepakatan ulama akan bolehnya mudharabah dikutip dari Dr.Wahbah Zulaihi ulama
dari kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh.Diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat melakukan
mudharabah dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak seorangpun dari
mereka yang menyanggah atau menolak. Beliau itu antara lain Umar ibn al-Khattab, Utsman ibn
Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas'ud, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Amir dan
Aisyah.44 Jika praktik sahabat suatu amalan tertentu yang disaksikan oleh sahabat yang lain lalu

42
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 23-24.

43
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…., h. 24.
44
Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) h. 24-25.
tidak seorang pun menyanggah, maka hal itu merupakan ijma. Ketentuan ijma ini secara sharih
mengakui keabsahan praktik pembiayan mudharabah dalam sebuah perniagaan.45

Para sahabat telah menyerahkan harta para anak yatim untuk dijadikan mudharabah.
Mereka adalah Umar bin al-khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud,
Abdullah bin Umar, Ubaidilah bin Amr, dan Aisyah. Menurut riwayat tidak ada seorang pun
yang menolak apa yang mereka lakukan tersebut, dan ini telah menjadi Ijma. Oleh karena itu,
mudharabah ini telah dipraktikan sejah zaman Nabi sampai sekarang, tanpa ada seorang pun
yang menolaknya. Dan Ijma (kesepakatan) setiap masa adalah hujjah. 46 Mudharabah
disyariatkan berdasarkan Ijma (kesepakatan) para sahabat dan berdasarkan kesepakatan para
imam yang menyatakan kebolehannya. Hal ini didasarkan dalil yang mengungkapkan bahwa
tolong menolong dalam kebaikan dan saling mencegah dalam hal kemungkaran.47

d. Qiyas

Mudharabah qiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun).


Selain diantara manusia, ada yang kaya dan ada pula yang fakir, dan di antara masyarakat ada
yang mempunyai modal, namun ia tidak memiliki keahlian dalam berbisnis atau mengelola
modalnya tersebut, dan sebaliknya ada masyarakat yang tidak mempunyai modal, namun ia
mempunyai keahlian dalam berbisnis, maka keduanya saling membutuhkan. Oleh karena itu,
disyariatkannya mudharabah ini untuk kemaslahatan manusia, dalam hal ini untuk memenuhi
kebutuhan diantara manusia.48

e. Fikih Kaidah

‫اَألْص ُل في الَع اَم َلِة اِإل َباَح ُة اَألَأْن َيُدُّل َد ِلْيٌل َع َلى َتْح ِريِمَها‬

Artinya: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”49

45
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 25.
46
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016), h. 25.
47
Elin Dwi Pristiana, loc.cit.

48
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h. 25-26.
49
Ridho Rokamah, al-Qawa’id al-Fiqiyyah, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2014), h. 26.
Hukum asal dari akad transaksi muamalah, apapun bentuk dan modelnya, adalah
mubah (boleh), dengan catatan selama tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkannya, atau
akad tersebut tidak menyelisihi konsep aturan dari dalil-dalil umum yang telah ada. 50

c. Rukun dan Syarat Mudharabah

Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafazh yang menunjukan ijab dan qabul
dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti
dengannya.51

Menurut ulama Syafiiyah52 rukun mudharabah ada enam, yaitu:

a. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya (shahibul mal)

b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang

c. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang

d. Mal yaitu harta pokok atau modal

e. Amal yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba

f. Keuntungan

Menurut ulama Malikiyah53 ada beberapa rukun mudharabah, yaitu :

a. Modal adalah sejumlah uang atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib
untuk tujuan usaha.

b. Amal

c. Laba adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal

d. Pihak yang mengadakan perjanjian

50
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 26.
51
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah…., h. 26-27.
52
Hendi Suhendi, op.cit., h. 27.
53
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 27.
e. Sighat (ijab dan qabul)

Menurut Abdullah Al-Muslih54, seperti bentuk usaha lain, bisnis bagi hasil ini juga memiliki tiga
rukun, yaitu :

a. Dua pihak yang melakukan akad

Kedua pihak adalah investor dan pengelola modal. keduanya disyaratkan memiliki
kompetensi beraktivitas. Yakni orang yang tidak dalam kondisi bangkrut terlilit hutang,
anak kecil, orang gila, semuanya tidak boleh melakukan transaksi ini.

b. Objek akad

Objek akad dalam rangka kerjasama bagi hasil ini tidak lain adalah modal,jenis
usaha dan keuntungan.

c. Modal

Modal disyaratkan harus alat tukar sperti emas atau uang secara umum. Penanaman
modal ini tidak boleh dilakukan dengan menggunakan barang kecuali bila disepakati
untuk menetapkan nilai harga dengan uang. Sehingga nilainya itulah yang menjadi modal
yang digunakan untuk memulai usaha. Atas itulah hitung-hitungan dianggap selesai
untuk masa kemudian.

d. Jenis usaha

Asal dari usaha dalam bisnis bagi hasil (penanaman modal) adalah dibidang
perniagaan atau bidang-bidang terkait lainnya. Pengelola tidak boleh bekerja sama dalam
penjualan barang-barang haram berdasarkan kesepakatan ulama seperti jual beli bangkai,
darah, daging babi, minuman keras,dan jual beli riba atau yang sejenisnya.55

e. Keuntungan

54
Abdullah Al-Muslih, Fikih Keuangan Ekonomi Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 27-28.
55
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 28.
Keuntungan dalam sistem penanaman modal dan ditegaskan presentase tertentu
bagi pemilik modal dan pengelola modal yang sifatnya merata seperti, setengah, sepertiga
atau seperempat sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah keuntungan bagi slaah satu
pihak, sementara sisanya untuk pihak yang lain, maka itu adalah usaha investasi yang
tidak sah. Karena bisa jadi keuntungan dari usaha itu hanyalah sebagian, sehingga
kerjasama harus diberhentikan. Lebih rusak lagi dari modalnya yang tidak terkait dengan
usaha penanaman modal karena itu berarti mengkompromikan antara usaha melalui
sistem penanaman modal ini dengan usaha berbasis riba. 56

Menurut jumhur ulama bahwa rukun mudharabah ada 3, yaitu: ‘aqidyni (kedua
orang yang melakukan perjanjian), ma’qud ‘alayh (saham/modal), dan sighat (pernyataan
ijab dan qabul dari kedua belah pihak).57

Rukun mudharabah adalah pemodal, pengelola, modal, nisbah, keuntungan, dan


shighat atau akad.

1. Pemodal dan Pengelola

a. Pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum

b. Keduanya harus mampu bertindak sebagai wakil dan wafil dari masing-masing pihak

c. Sah sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan dalam penawaran, dan akad bisa dilakukan
secara lisan atau verbal, secara tertulis maupun ditandatangani.58

2. Modal

Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola untuk
tujuan menginvestasikannya dalam aktivitas mudharabah. Untuk itu, modal disyaratkan harus59:

56
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Nadirsyah Hawari, 2010), h. 29.
57
Abu Hazam Al-Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017), h. 29.
58
Faturrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, h.
29-30.
59
Ibid. h. 30.
a. Dinyatakan dengan jelas jumlah dan jenisnya (yaitu mata uang). Apabila modal berbentuk
barang, maka barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar
(atau sejenisnya).

b. Harus berbenuk tunai bukan piutang (namun sebagian ulama membeolehkan modal
mudharabah berbentuk aset perdagangan misalnya inventory).

c. Harus diserahkan kepada mudharib untuk memungkinkannya melakukan usaha.

3. Keuntungan

Keuntungan dalam sistem penanaman modal (bagi hasil) ini hendaknya diketahui secara
jelas dan ditegaskan presentase tertentu bagi pemilik modal dan pengelola modal yang sifatnya
merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah
keuntungan bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak yang lain, maka itulah usaha
investasi yang tidak sah. Karena bisa jadi keuntungan dari usaha itu hanyalah bagian, sehingga
kerja sama itu harus diberhentikan dalam keuntungannya. Lebih rusak lagi dari ini adalah apabila
pemilik memberikan syarat presentase tertentu dari modalnya yang tidak terikat dengan usaha
penanaman modal karena itu berarti memusyawarahkan antara usaha berbasis riba. Ada sejumlah
kode etik dalam sistem pembagian keuntungan dalam usaha kerja sama bagi hasil yaitu 60:

a. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua pihak, namun kerugian hanya ditanggung oleh
pemilik modal saja dengan syarat kerugian terjadi bukan karena kelalaian pengelola.

b. Keuntungan dijadikan sebagai cadangan modal. Kalau ada keuntungan disatu sisi dan kerugian
atau kerusakan disisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu oleh
keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa dibagi-bagikan berdua sesuai dengan kesepakatan.

c. Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian. Alasan tidak
dibolehkannya pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa
pembagian karena bisa saja terjadi kerugian setelah itu, sehinga bukan hanya dengan pembagian
saja, tetapi agar hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga.

60
Elin Dwi Pristiana, op.cit., h. 30-31.
Keuntungan adalah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. keuntungan adalah tujuan
akhir mudharabah. Keuntungan dipersyaratkan sebagai berikut61 :

a. Harus dibagi untuk kedua belah pihak.

b. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam presentase dari keuntungan yang mungkin
dihasilkan nantinya.

c. Rasio presentase (nisbah) harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.

d. Waktu pembagian keuntungann dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh (atau


sebagian) modal kepada shahibul mal.

Sementara itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi mudharabah adalah sebagai
berikut :

a. Modal harus tunai.

b. Modal harus jelas sehingga dapat dibedakan antara modal dan keuntungan yang akan dibagi
untuk kedua belah pihak sesuai kesepakatan.

c. Pembagian keuntungan mudharabah harus jelas presentasenya, untuk pihak pekerja dan
pemilik modal, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat.

d. Mudharabah harus bersifat mutlak. Pihak pemilik modal tidak boleh membatasi pihak pekerja
untuk berdagang di negeri tertentu, barang tertentu, waktu tertentu, orang tertentu atau ketentuan
lain.62

d. Ketentuan Hukum Pembiayaan Mudharabah

Dalam Fatwa Dewan Syariah No 07/DSN/MUI/IV/2000 ketentuan hukum pembiayaan


mudharabah sebagai berikut:

1. Mudharabah boleh dibatasi periode tertentu.

61
Ibid., h. 32.

62
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004), h. 32-33.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu‟allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum
tentu terjadi.

3. Pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiannya atau jika terjadi perselisihan di antara
kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Syariah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.63

e. Macam-macam Mudharabah

Mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu mudharabah muthlaqah,


mudharabah muqayyadah dan mudharabah musyarakah.64

a. Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah muthlaqah yaitu penyerahan modal secara mutlak tanpa syarat dan
pembatasan.65 Mudharabah muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan
kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. Dalam mudharabah
muthlaqah, pengelola dana memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja dalam pelaksanaan
bisnis bagi keberhasilan tujuan mudharabah itu.

Jenis mudharabah ini tidak ditentukan masa berlakunya, di daerah mana usaha tersebut
akan dilakukan, dikerjakan. Namun kebebasan ini bukan kebebasan yang tak terbatas. Modal
yang ditanamkan tetap tidak boleh digunakan untuk membiayai proyek atau investasi yang
dilarang oleh Islam seperti untuk perdagangan minumann keras, peternakan babi, ataupun
berkaitan dengan riba dan lain sebagainya. Namun, apabila ternyata pengelola dana melakukan
kelalaian atau kecurangan, maka pengelola dana harus bertanggung jawab atas konsekuensi-

63
Majelis Ulama Indonesia, “Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)” Dewan Syariah Nasional MUI, h. 28.
64
Luthfiyah Makhfudh, op.cit., h. 35.
65
Muhammad Fahmul Iltiham, “Implementasi Akad Mudharabah Berdasarkan PSAK 105 Tentang
Akuntansi Mudharabah Dan Fatwa DSN MUI Pada Produk Pembiayaan, “Journal Ekonomi Islam, Vol. 11, No. 1
(2019): h. 35.
konsekuensi yang ditimbulkan. Apabila terjadi kerugian atas usaha yang bukan karena kelalaian
dan kecurangan pengelola dana maka kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana.66

b. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu. Dalam


akad dicantumkan bahwa modal tersebut hanya untuk usaha yang telah ditentukan (terikat pada
usaha tertentu).67 Batasannya antara lain:

1) Tempat dan cara berinvestasi.

2) Jenis investasi.

3) Objek investasi.

4) Jangka waktu.68

Batasan-batasan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan modalnya dari resiko


kerugian. Syarat-syarat itu harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila mudharib melanggar
batasan-batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.69

Jenis mudharabah muqayyadah ini dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat)

Mudharabah muqayyadah on balance sheet (investasi terikat) yaitu pemilik dana


(shahibul maal) membatasi atau memberi syarat kepada mudharib dalam pengelolaan
dana seperti misalnya hanya melakukan mudharabah bidang tertentu, cara, waktu, dan
tempat tertentu saja. Contoh pengelolaan dana dapat diperintahkan untuk tidak
mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya; tidak menginvestasikan dananya
pada transaksi penjualan cicilan, tanpa pinjaman, tanpa jaminan; mengharuskan
pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga.70

66
Rozalinda, op.cit., h. 36.
67
Mansur, “Seluk Beluk Ekonomi Islam” (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2009), h. 36.
68
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 37.
69
Nurul Huda, Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis), edisi 1,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 37.
70
http://www.sanabila.com/2015/08/mudharabahmuqayyadah.html#:~:text=Mudharabah
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus dimana pemilik dana dapat menetapkan
syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh perusahaan. Adapun karakteristik jenis simpanan
ini adalah:

a) Pemilik dana wajib menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh perusahaan
dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.

b) Perusahaan wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara rasio yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.

c) Sebagai tanda bukti simpanan peruahaan menerbitkan bukti simpanan khusus.


Perusahaan wajib memisahkan dana ini dari rekening lainnya.71

2) Mudharabah muqayyadah Off Balance Sheet

Mudharabah muqayyadah off balance sheet ini merupakan jenis mudharabah dimana
penyaluran dana mudharabah langsusng kepada pelaksana usahanya, dimana perusahaan
bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan
pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh
perusahaan dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya. 72
Adapun karakteristik jenis simpanan ini adalah:

a) Sebagai tanda bukti simpanan perusahaan memberikan bukti simpanan khusus.


Perusahaan wajib memisahkan dana ini dari rekening lainnya. Simpanan ini khusus
dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.

b) Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang
diamanatkan oleh pemilik dana.

%20muqayyadah%20on%20balance%20sheet%20adalah%20akad%20Mudharabah%20yang%20disertai,
pengelolaan%20dana%20dapat%20diperintahkan%20untuk%3A&text=Mengharuskan%20pengelola%20dana
%20untuk%20melakukan%20investasi%20sendiri%20tanpa%20melalui%20pihak%20ketiga.
71
Adiwarman Karim, Bank Islam.... h. 38.
72
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), h. 38-39.
c) Perusahaan menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara
pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.73

c. Mudharabah Musyarakah

Mudharabah musyarakah adalah mudharabah di mana pengelola dana menyertakan modal


atau dananya dalam kerja sama investasi.di awal kerja sama, akad yang disepakati adalah akad
mudharabah dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi usaha dengan
pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik dana. Pengelola dana ikut menanamkan
modalnya dalam usaha tersebut. Jenis mudharabah ini disebut mudharabah musyarakah
merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah.74

f. Penyelesaian Perselisihan dalam Mudharabah

Dalam bisnis sering terjadi adanya konflik antar pelaku ekonomi, baik secara individu
maupun secara kelembagaan untuk mengatasi konflik tersebut. 75 Sengketa muamalah adalah
sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang mana objek sengketa adalah transaksi
keharta bendaan. Mahmud Hilmy memandang sengketa muamalah dengan sengketa yang terjadi
dalam lingkup pemindahan harta dan hak, dari satu pihak lain melalui proses akad. 76 Dalam
ajaran Islam terdapat tiga sistem penyelesaian sengketa atau perselisihan yaitu damai (al-shulh),
arbitrase (al-tahkim), dan peradilan (al-qadha).77

1) Damai (al-shulh)

Al-Shulh secara bahasa berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh”
berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan atau pertengkaran antara
dua pihak yang bersengketa secara damai.78
73
Adiwarman Karim, op.cit., h. 39.
74
Rozalinda, op.cit., h. 39.
75
Luthfiyah Makhfudh, op.cit., h. 40.
76
Syahrizal Abbas, Medisi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h. 40.
77
Luthfiyah Makhfudh, loc.cit.
78
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 40.
Menurut mazhab Hanafi, rukun sulh hanya dua perkara yaitu ijab(tawaran) dan qabul
(penerimaan) ataupun apa saja yang memberikan pengertian keduanya. Sedangkan menurut
pendapat jumhur ulama terdapat empat rukun sulh seperti berikut:

a) Dua pihak yang berakad (mushalih).

b) Ijab dan qabul(sighat).

c) Perkara yang dipertikaikan (mushalih anhu).

d) Hal-hal yang dilakukan salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan
perselisihan(mushalih alaih).79

2) Tahkim

Tahkim secara bahasa dari kata“hakkama” secara terminologi, tahkim berarti menjadikan
seseorang sebagai pencegah sesuatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang
sama dengan abitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih, guna
menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan
“hakam”.80

Arbitrase mempunyai arti sebagai salah satu cara dalam menyelesaikan sengketa para
pihak yang dilakukan di luar pengadilan. Hal ini dilakukan karena para pihak didasarkan atas
perjanjian arbitrase secara tertulis yang disepakatinya, untuk mengambil upaya arbitrase dalam
hal menyelesaikan sengketa. Kesepakatan yang berupa klausula arbitrase tercantum dalam
perjanjian tertulis dalam perjanjian yang dibuat sebelum bersengketa pada lazimnya disebut
sebagai perjanjian arbitrase.81

Ruang lingkup tahkim hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut “huququl ibad”
(hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak
perseorangan yang berkaitan dengan harta bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi

79
Mohd Norman Shah bin Mohd Yaziz “Pelaksanaan Sulh dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah: Studi
kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia”. (Skripsi, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2008), h. 40-41.
80
Abdul Manan, op.cit., h. 41.
81
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 41.
atas diri seseorang yang telah merusak harta orang lain, hak seseorang pemegang gadai dalam
pemeliharaannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa menyewa, dan utang piutang.82

3) Al-Qadha

Menurut arti bahasa, al-qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah
berarti menetapkan hukum syara pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya
secara adil dan mengikat. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah al-ahwal
asy-syaksiyah yaitu masalah keperdataan, termasuk di dalamnya hukum keluarga dan masalah
jinayat yakni hal-hal yang menyangkut pidana. Orang yang diberi wewenang menyelesaikan
perkara disebut dengan qadhi (hakim).83

g. Prinsip-prinsip Mudharabah

Terdapat beberapa prinsip dalam mudharabah yaitu :

1. Modal

Modal atau barang yang diserahkan oleh pemilik modal kepada pengelola untuk
melakukan kegiatan usaha.

2. Manajemen

Ketika pengelola (mudharib) telah siap dan menyediakan tenaga untuk


kerjasama maka saat itulah ia mulai mengelola modal shahib al-mal (pemilik modal).
tugas pengelola dalam menjalankan kontrak mudharabah yaitu mengelola dan mengatur
semuan kegiatan usaha yang telah di tetapkan, sehingga usaha tersebut bisa berjalan
dengan baik.
82
Abdul Manan, op.cit., h. 41-42.
83
Ibid., h. 42.
3. Masa berlakunya kontrak

Kontrak tidak memuat aturan khusus mengenai batas berlakunya suatu kontrak,
Jika adanya batasan dalam kontrak maka masa berlakunya kontrak akan membuat
kontrak batal.

4. Jaminan

Investor atau yang biasa disebut dengan pemilik modal tidak dapat meminta
jaminan dari pihak pengelola untuk memastikan Kembalinya modal yang telah diberikan
kepada pengelola beserta keuntungannya.

5. Prinsip bagi hasil

Kontrak mudharabah terdapat pembagian hasil dari usaha atau yang disebut dengan
pembagian keuntungan, dalam pembagian keuntungan dilakukan dengan menetapkan
tingkat keuntungan (profit) bagi tiap-tiap pihak. Pembagian keuntungan dilakukan
melalui tingkat perbandingan rasio, bukan ditetapkan dalam jumlah yang pasti.84

h. Hak dan Kewajiban dalam Mudharabah

Manusia adalah mahluk sosial. Ia hidup bermasyarakat dan bertolong-tolongan dalam


menghadapi berbagai macam tantangan hidup. Adakalanya sesuatu yang dibutuhkan seseorang
ada pada orang lain. Kadang-kadang seseorang mampu pada satu bidang. Namun ia tidak ahli
pada bidang yang lain. Misalnya seseorang yang ahli perabot ia tidak mampu untuk memasarkan
barang dagangannya. Untuk itu ia membutuhkan orang yang ahli di bidang pemasaran. Disinilah
timbul interaksi sosial antara sesama manusia. Dari proses interaksi sosial ini munculah hak dan
kewajiban. Jadi hak muncul dari hubungan interaktif manusia dengan sesama manusia.85

Menurut syariat segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia bersumber
dari Allah SWT, termasuk masalah hak. Para ulama sepakat sumber dari hak adalah syarak dan
karena syarak pula manusia mempunyai hak, seperti perintah untuk ibadah, perintah untuk

84
Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2012), h. 24.
85
Habib Musthofa, op.cit., h. 31.
menafkahi keluarga dan lain sebagainya. Disamping itu hak juga muncul karena ada sebab yang
melatarbelakanginya seperti munculnya hak timbal balik antara suami istri disebabkan karena
perkawinan, yakni suami berkewajiban memberi nafkah, istri juga punya hak untuk dinafkahi.
Aturan yang berkenaan dengan hak ini adalah syariat islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadis yang padat dengan segala aturan yang mengatur kehidupan manusia baik didunia maupun
diakhirat dan didalam kehidupan bermasyarakat maupun untuk kepentingan individu manusia itu
sendiri.86

a. Pengertian Hak dan Kewajiban

Hak menurut bahasa adalah ats-tsubut wa al-wujuh artinya tetap dan wajib. Sementara itu
pengertian hak secara istilah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih, yakni hukum yang
telah tetap menurut syariat. Dalam definisi lain hak adalah kewenangan menguasai sesuatu yang
wajib atas seseorang terhadap orang lain. Hak adalah kewenangan atas sesuatu atau sesuatu yang
wajib atas seseorang untuk orang lain. Definisi hak yang dikemukakan mustafa Az-Zaraqa diatas
dipandang sebagai definisi yang lengkap sesuai dengan konsep fiqh muamalah yang
pembahasannya mencangkup hak dan kebendaan maka yang dimaksud dengan hak dalam
pembahasan ini adalah kekuasaan seseorang untuk menguasai sesuatu berupa benda atau dengan
istilah lain kaidah yang mengatur tentang orang dan benda yang harus ditaati orang lain. 87

Secara etimologi kewajiban dari bahasa arab, iltizam yang bermakna keharusan atau
kewajiban. Kewajiban berasal dari kata wajib, berarti sesuatu yang harus dilakukan. Wajib ini
merupakan salah satu kaidah hukum taklif. Substansi hukum taklif keharusan yang terbebankan
pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedangkan dari sisi pelaku disebut kewajiban
(iltijam). Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang pemilik hak
dinamakan multazam lahu atau shahibul haq. Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitan ddalam
suatu hubungan timbal balik, sebagaimana hubungan antara perbuatan menerima dan memberi.
Secara istilah, kewajiban adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat
untuk melakukan sesuatu, atau melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Pihak-
pihak yang terlibat dalam akad mu’awadhah, masing-masing mempunyai hak penyeimbang atas

86
Rozalinda, op.cit., h. 32.
87
Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. Cetakan 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),

h. 33.
kewajiban yang dibebankan kepadanya, atau masing-masing mempunyai kewajiban sebagai
penyeimbang atas hak yang diterimanya.88

b. Hak dan Kewajiban Pemilik Modal

1. Hak shahibul maal (Pemilik Modal)

a. kewajiban utama dari pemilik modal yaitu menyerahkan modal kepada pengelola. Bila hal ini
tidak dilakukan maka perjanjian mudharabah tidak sah.

b. Pemilik modal berkewajiban untuk menyediakan dana yang akan dipercayakan kepada
pengelola untuk membiayai suatu kegiatan usaha.

c. Pemilik modal tidak diperkenankan mengelola kegiatan usaha yang telah dibiayai olehnya.
Pengelolaan kegiatan usaha sepenuhnya dilakukan oleh pengelola dana. Pemilik modal berhak
untuk melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa pengelola mentaati syarat dan ketentuan
perjanjian mudharabah. Bagaimanapun juga pemilik modal sebagai pihak yang menyediakan
dana dan harus memikul seluruh resiko finansial yang terjadi dan karena tidak boleh ikut campur
di dalam pengelolaan usaha yang bersangkutan. Maka hak itu dapat mengurangi kemungkinan
pengelola menyimpangi ketentuan dalam perjanjian mudharabah. Melakukan kelalaian dalam
mengelola usaha yang bersangkutan, bahkan kemungkinan melakukan kecurangan yang dapat
membahayakan investasi pemilik modal dalam usaha tersebut.

d. Pemilik modal berhak untuk memperoleh kembali investasinya dari hasil likuidasi usaha
mudharabah tersebut apabila usaha itu telah diselesaikan oleh pengelola dan jumlah hasil
likuidasi usaha tersebut cupu untuk pengembalian dana investasi dari usaha tersebut.89

c. Hak dan Kewajiban Pengelola (mudharib)

a. Pengelola berkewajiban menyediakan keahlian,pikiran, waktu, upaya untuk mengelola usaha


tersebut serta berusaha untuk memperoleh keuntungan seoptimal mungkin.

88
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah (Klasik dan Kontemporer), (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2017),
h. 33.

89
Ibid., h. 34-35.
b. Pengelola berkewajiban untuk bertindak degan hati-hati atau bijaksana dan beritikad baik dan
bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terjadi karena kelalaiannya. Pengelola
diharapkan untuk menggunakan dan mengelola modal yang ditamanmkan sedemikian rupa
sehingga memperoleh keuntungan seoptimal mungkin. Sehingga mudharabah yang dimaksud
tidak melanggar nilai-nilai Islam.

c. Pengelola berkewajiban mengembalikan pokok dari dana investasi kepada pemilik modal
ditambah sebagian dari keuntungan dan pembagiannya telah ditentukan sebelumnya. Ketentuan
dan syarat perjanjian mudharabah selama mengurus kegiatan usaha mudharabah.

d. Pengelola melakukan tugasnya tanpa boleh ada campur tangan dari pemilik modal yang
menjalankan dan mengelola usaha mudharabah tersebut.90

i. Hikmah dan Berakhirnya Mudharabah

Islam membolehkan bagi hasil karena memberikan kemudahan pada manusia.


Mudharabah mengandung hikmah yang sangat besar, yaitu memupuk setiap orang untuk
memiliki sifat tolong menolong dan jiwa gotong royong sesama manusia. Allah tidak
mensyariatkan suatu akad kecuali untuk mewujudkan kemashlahatan dan menolak kerusakan.
Sebelum membahas tentang hikmah mudharabah terlebih dahulu memaparkan manfaat
mudharabah bagi shahibul mal dan bagi mudharib, yaitu91:

a. Bagi Shahibul Maal

Berkembangnya harta dan semakin banyaknya kekayaan dari pengembangan bisnis


yang dilakukan sesuai dengan bidangnya masing-masing.92

b. Bagi Mudharib

90
Ibid., h. 35-36.
91
Adiwarman Karim, op.cit., h. 37-38.
92
Hendi Suhendi, op.cit., h. 38.
1) Tidak harus memiliki modal dalam bentuk uang atau barang, mudharib cukup
memiliki keahlian dan kepiawaian dalam berusaha dan dapat menguasai peluang pasar.

2) Biaya bagi hasil hanya akan diperhitungkan setelah mudharib membukukan usahanya.
Sehingga mudharib tidak menanggung beban tetap diawal, karena beban bagi hasil sangat
tergantung dengan penjualan.

3) Mendapatkan pekerjaan atau penghasilan.93

Adapun hikmah mudharabah adalah sebagai berikut :

a. Dapat menumbuhkan sikap tolong menolong dan kepedulian terhadap sesama.


Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

): ‫َو َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اْلِبِّر َو الَّتْقٰو ۖى َو اَل َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اِاْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن ۖ َو اَّتُقوا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َش ِد ْيُد اْلِع َقاِب (المائدة‬

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan
tolong- menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh
Allah sangat berat siksa-Nya” (Q.S. Al-Maidah (5): 2)

b. Terciptanya hubungan persaudaraan yang harmonis antara pemilik modal dan pengelola
modal.

c. Memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yaitu pemilik modal maupun pengelola
modal.

d. Terciptanya lapangan pekerja baru, sehingga dapat membantu mengurangi sedikit angka
pengangguran.94

Hikmah mudharabah menurut syara' adalah untuk menghilangkan kefakiran atau kesulitan
sesama manusia, serta untuk menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama. Dalam praktik
seperti ini, terdapat keuntungan ganda bagi pemilik modal, yaitu:95
93
Habib Musthofa, op.cit., h. 38.
94
Ibid., h. 38-39.
95
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Penerjamah Faisal Saleh dkk, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), Cet. 1, h. 39.
a. Pahala yang besar dari Allah swt dimana dia ikut menyebabkan hilangnya kehinaan rasa
fakir dan kesulitan pada orang tersebut. Namun, apabila mitranya tersebut sudah kaya,
juga masih ada keuntungan yaitu tukar-menukar manfaat diantara keduanya

b. Berkembangnya modal awal dan bertambahnya kekayaan. Kesulitan orang fakir menjadi
hilang, kemudian dia mampu menghasilkan penghidupan sehingga tidak lagi meresahkan
masyarakat. Disamping itu juga masih ada faidah yang lain yaitu ketika suatu amanah
menjadi sebuah syair dan kejujuran menjadi rahasia umum, maka mudharabah akan
banyak diminati orang. Barangkali suatu saat nanti dia akan menjadi kaya padahal
sebelumnya fakir. Semua adalah hikmah yang bernilai tinggi dari Allah SWT

Hikmah lain diperbolehkannya kerjasama dengan menggunakan sistem bagi hasil


atau mudharabah ini adalah terciptanya rasa persaudaraan (ukhuwah) dan rasa tolong-
menolong (ta'awun) yang erat diantara kaum muslimin yang memiliki suatu keahlian
dalam bidang tertentu, sehingga kecemburuan sosial antara umat Islam dalam suatu
masyarakat dapat dihindarkan.96

Islam mensyariatkan akad kerjasama mudharabah untuk memudahkan orang, karena


sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang
yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya. Maka syariat membolehkan kerjasama ini agar mereka bisa saling
mengambil manfaat diantara mereka. Shohib al mal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib
(pengelola) dan mudharib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah
kerjasama harta dan amal. Allah ta'ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kerusakan. Dalam ekonomi syariah ada lima prinsip yang mendasar
selain konsep ta'awuniyah dan amanah yang dalam pelaksanaan usaha ini hendaknya juga harus
diterapkan, agar usaha ini sesuai dengan prinsip islam dan tidak merugikan salah satu pihak yang
melakukan akad kerjasama. Adapun lima prinsip tersebut adalah :97

96
Ibid., h. 39-40.
97
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Penerjemah Faisal Saleh dkk:penyunting, Harlis
Kurniawan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), cet. 1, h. 40.
a. Dalam melakukan usaha, modal yang diberikan tersebut tidak digunakan untuk usaha
yang haram.

b. Dalam melakukan usaha tersebut diusahakan untuk usaha yang banyak manfaatnya
bukan untuk usaha yang banyak mudharat-nya.

c. Usahah yang dijalankan itu tidak menzalimi salah satupihak yang bekerjasama.

d. Usaha yang dilakukan tidak mengandung unsur riba.

e. Usaha dalam kerjasama itu tidak mengandung kesamaran atau gharar

Dengan demikian sistem mudharabah ini masing-masing pihak mempunyai hak yang
ditetapkan bersama, sehingga kemungkinan terjadi pelanggaran amat kecil. Adapun hak-hak
tersebut adalah:

a. Hak Pekerja.

Seorang pekerja mendapat keuntungan sesuai dengan keterampilannya.

1) modal yang diguanakan adalah sebagai amanah yang wajib dijaga,sekiranya terjadi
kerugian maka tidak ada ganti rugi dan tuntutan.

2) Kedudukan pekerja adalah sebagai agen, yang dapat menggunakan modal atas
persetujuan pemilik modal. Tetapi tidak berhak membeli dan menjual barang tersebut.

3) Apabila ada keuntungan, maka dia berhak mendapatkan imbalan atas usaha dan
tenaganya, sekiranya usaha itu rugi, dia berhak mendapatkan upah.

4) Apabila pekeitu tidak bekerja di daerahnya sendiri, seperti di kota yang jauh, maka dia
pun berhak mendapatkan uang makan dan sebagainya.

b. Hak Pemilik Modal

Keuntungan dibagi di hadapan hak pemilik modal dan pekerja pada saat pekerja
mengambil bagian keuntungan. Pekerja tidak boleh mengambil bagiannya tanpa
kehadiran pemilik modal.
c. Kontrak Berakhir
Kontrak bisa berakhir atas persetujuan kedua belah pihak. Kontrak berakhir apabila
salah satu pihak meninggal dunia. Kontrak dapat diteruskan oleh ahli waris dengan
kontrak yang baru. Apabila sistem mudharabah ini dapat diterapkan dengan baik di dalam
masyarakat di indonesia ini, maka kecemburuan sosial yang sering mencuat (muncul)
dapat diperkecil dan pembangunan ekonomi yang berlandaskan syari'ahislamiyah
berangsur-angsur dapat diwujudkan.98

Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai mudharabah ini adalah hal-hal yang
menyebabkan batalnya mudharabah serta masa berakhirnya mudharabah tersebut.

Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:99

a. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah


Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah
dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan maka pengelola mendapat sebagian
keuntungannya sebagai upah. Jika ada kerugian, kerugian itu menjadi tanggung jawab
pemilik modal karena pengelola adalah buruh yang hanya berhak menerima upah dan
tidak bertanggung jawab sesuatu apapun kecuali atas kelalaiannya.

b. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau


pengelola modal berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Keadaan seperti ini maka
pengelola modal bertanggung jawab apabila terjadi kerugian karena ialah penyebab
kerugian.

c. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi
batal.

Akad mudharabah juga dapat berakhir disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:100
98
Habib Musthofa, op.cit., h. 41.
99
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, h. 42.
100
Rahman Ambo Masse, Konsep Mudharabah Antara Kajian Fiqh dan Penerapan Perbankan, Jurnal
Hukum Diktum, (Volume 8, Nomor 1, Januari 2010), h. 42.
a. Meninggalnya salah satu pihak, baik pihak pemilik modal atau pihak pengelola atau
pekerja. Karena akad mudharabah hukumnya sama seperti akad wakalah yang berakibat
batal karena meninggalnya salah satu pihak baik pihak yang mewakilkan atau pihak yang
diwakilkan, dan sesuatu yang menyebabkan batalnya akad wakalah maka batal juga
dalam akad mudharabah. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah,Syafi’iyah
dan Hanabilah. Adapun menurut ulama Malikiyah meninggalnya salah satu pihak tidak
menyebabkan batalnya akad mudharabah, karena ahli warisnya dapat meneruskannya.

b. Hilangnya kecakapan dalam bertindak dari kedua belah pihak, seperti hilangnya akal karena
gila dan pingsan.

c. Kedua belah pihak atau salah satunya mengundurkan diri.

d. Musnah atau hilangnya modal secara keseluruhan di tangan pihak pengelola modal sebelum
dibelanjakan, sehingga tidak mungkin bisa melaksanakan pengelolaan modal, seperti karena
dicuri orang lain atau terbakar. Adapun kalau hilangnya hanya sebagian maka modal yang
tersisa tidak batal dan bisa dilanjutkan.

e. Pihak pemilik modal menarik kembali modal yang telah diberikan kepada pihak pengelola
atau pekerja.

f. Pihak pemilik modal murtad (keluar dari agama islam), karena murtad dapat menghilangkan
keahlian kepemilikan modal dan harta orang murtad dibagikan kepada para ahli warisnya. Akan
tetapi jika kembali lagi kepada Islam, maka akad tersebut bisa diteruskan lagi. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.

Menurut Wahbah al-Zuhayli ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya mudharabah,
yaitu:101

a. Pembatalan dan larangan tasharruf atau pemecatan


Pembatalan mudharabah karena pembatalan dan larangan tasharruf atau pemecatan
apabila ditemukan syarat pembatalan dan larangan yang diketahui oleh pemiliknya serta

101
Yadi Janwari, Fikih Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 43-44.
apabila ra's al-mal yang berupa uang atau mata uang itu telah diserahkan pada waktu
pembatalan dan larangan. Namun apabila ‘amil tidak mengetahui bahwa mudharabah
telah dibatalkan maka ‘amil dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.

b. Salah seorang yang berakad meninggal dunia


Menurut jumhur ulama, apabila rab al-mal atau ‘amil meninggal dunia, maka dengan
sendirinya mudharabah menjadi batal.

c. Salah seorang yang berakad gila


Mudharabah itu menjadi batal apabila salah satu pihak yang berakad terkena
penyakit gila. Hal ini disebabkan karena secara hukum, gila dapat menghilangkan
kecakapan hukum.

d. Rab al-mal murtad dari Islam


Menurut Hanafiyah apabila rab al-mal murtad dari Islam dan meninggal atau
terbunuh dalam keadaan murtad atau bergabung dengan musuh dan telah diputuskan
hakim tentang pembelotannya maka dapat membatalkan mudharabah. Hal ini disebabkan
murtad dapat menghilangkan kecakapan hukum rab al-mal.

e. Modal rusak di tangan ‘amil

Apabila modal rusak di tangan „amil sebelum membelikan sesuatau maka


mudharabah itu menjadi batal karena harta itu menetukan pada akad mudharabah dengan
penerimaan. Batalnya akad karena rusaknya modal seperti halnya dalam wadi'ah.

2. Konsep BUMDes

a. Pengertian BUMDes

Badan usaha milik desa (atau diakronimkan menjadi BUM Desa) merupakan usaha
desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa, dan berbadan hukum. Pemerintah Desa dapat
mendirikan BUM Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi Desa. Pembentukan BUM Desa
ditetapkan dengan Peraturan Desa. Kepengurusan BUM Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan
masyarakat desa setempat. Permodalan BUM Desa dapat berasal dari Pemerintah Desa, tabungan
masyarakat, bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
pinjaman, atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling
menguntungkan. BUM Desa dapat melakukan pinjaman, yang dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan Badan Pengawas Desa.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APB Desa adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa
dan BPD, yang ditetapkan dengan Peraturan Desa. Alokasi Dana Desa adalah dana yang
dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk desa, yang bersumber dari bagian dana
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota.

b. Dasar Hukum BUMDes

Dasar hukum pendirian Badan Usaha Milik Desa adalah Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-
undang ini, pemerintah desa dapat mendirikan BUM Desa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dasar hukum BUM Desa diperbaharui lagi dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, dasar
hukumnya juga dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa. Pemerintah Indonesia menetapkan BUM Desa sebagai salah satu program
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan ekonomi yang berisfat
mandiri di desa guna memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi seluruh warga desa.
Hasil akhir dari pengelolaan BUM Desa yang direncanakan oleh pemerintah adalah
adanya pendapatan asli yang berasal dari sumber daya yang ada di desa. Dampak yang
akan dihasilkannya adalah peningkatan jumlah pendapatan, penurunan jumlah
pengangguran serta penurunan tingkat kemiskinan. Pemerintah di Tahun 2021
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik
Desa yang menjadi kekuatan hukum baru bagi BUM Desa yang diakui kedudukannya
sebagai Badan Hukum di desa yang sebelumnya hanya berstatus Badan Usaha.
Selanjutnya diterbitkan pula Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan dan
Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa
Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama yang menjadi payung hukum
dalam pendaftaran BUM Desa menjadi berstatus Badan Hukum. Sehingga kedudukan
BUM Desa dapat disejajarkan dengan Badan Hukum lainnya seperti Perseroan Terbatas
(PT), CV, dan lain-lain.

c. Pengelolaan BUMDes

Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa berkaitan dengan pendirian dan pengeleolaan
selama pendirian. Pendirian BUM Desa diadakan oleh pemerintah desa. Sedangkan
kepemilikan modal dan pengelolaan usahanya diselenggarakan bersama oleh pemerintah
desa dan masyarakat. Pendirian BUM Desa diprakarsai oleh pemerintah pusat.
Pengelolaan BUM Desa harus sesuai dengan tujuan pendiriannya. Badan Usaha Milik
Desa dikelola hingga taraf hidup masyarakat meingkat secara ekonomi. Pengelolaan BUM
Desa juga harus mampu meningkatkan kemampuan keuangan pemerintahan desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, pengelolaan BUM Desa harus meningkatkan
kegiatan dan perekonomian warga masyarakat di pedesaan. Pendirian BUM Desa
dilakukan dengan musyawarah bersama antara penduduk desa dan pemerintah desa.
Dalam pengelolaannya, BUM Desa menerapkan asas kekeluargaan dan gotong royong.
Pengelolaan BUM Desa juga harus memenuhi dua fungsi yaitu sebagai lembaga komersial
dan lembaga sosial bagi masyarakat desa. Fungsi pengelolaan sebagai lembaga sosial
adalah untuk menyediakan pelayanan sosial, sedangkan fungsi sebagai lembaga komersial
adalah untuk mengembangkan sumber daya lokal guna memperoleh keuntungan bagi
masyarakat desa. Jenis usaha dasar yang dikelola oleh BUM Desa meliputi bidang jasa,
penyaluran sembilan bahan pokok, hasil pertanian, atau industri kecil dan rumah tangga.
Usaha dasar ini dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kemampuan desa.
Pengelolaan BUM Desa juga harus sesuai dengan peraturan undang-undang yang
diterbitkan oleh menteri yang mengurusi urusan pedesaan.
Dalam pembinaan Badan Usaha Milik Desa, Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melakukan pemeringkatan status bagi BUM Desa dan
BUM Desa bersama menjadi 4 klasifikasi yaitu Perintis, Pemula, Berkembang dan Maju.
Pemeringkatan ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan
dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa
Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama.

d. Sektor

Badan Usaha Milik Desa telah didirikan di berbagai sektor, mulai dari pertambangan
dan perkebunan hingga ritel, pariwisata, dan telekomunikasi.[8][9][10][11] Namun,
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik
Indonesia secara khusus menyatakan bahwa BUM Desa dirancang untuk fokus pada tiga
sektor utama pedesaan Indonesia, yaitu perikanan, pertanian, dan pariwisata.102
102
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Badan_usaha_milik_desa

Anda mungkin juga menyukai