Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai pembahasan

proposal judul ini, diperlukan beberapa penjelasan yang berkaitan dengan

proposal judul ini yakni : Tinjauan Hukum Islam Tentang Mudharib

Mempekerjakan Pihak Ketiga Dalam Kerjasama Bagi Hasil Ternak

Kambing (Studi Pada Peternak Yanto di Desa Pesawaran, Kecamatan

Kedondong, Kabupaten Pesawaran) sebagai berikut :

1. Hukum Islam adalah rangkaian kata ‘hukum’ dan ‘Islam’, secara terpisah

hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan tentang tingkah laku

manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun oleh orang-orang

yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh

anggotanya. Maka hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan

wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia Mukallaf

yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.

1
2. Mudharib adalah manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan

untuk mengelola suatu usaha yang produktif dan halal. Dilengkapi dengan

otak kemampuan yang tinggi untuk berfikir dan bekerja dalam kehidupan

sehari-hari.1

3. Bagi hasil (Mudharabah) adalah Akad yang dilakukan oleh shahibul mal

dengan mudharib untuk usaha tertentu dengan pembagian keuntungan

sesuai kesepakatan.2

4. Pihak ketiga adalah orang lain dengan kesepakatan bagi hasil dari hak

mudharib setelah diperoleh dari shahibul mal.

Berdasarkan uraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dari judul: Tinjauan Hukum Islam Tentang Mudharib

memperkerjakan pihak ketiga Dalam kerjasama bagi hasil Ternak Kambing

(Studi Pada Peternak Yanto di Desa Pesawaran, Kecamatan Kedondong,

Kabupaten Pesawaran ) ialah untuk mengetahui apakah hukum Islam tentang

mudharib mempekerjakan pihak ketiga dalam kerjasama bagi hasil ternak

kambing tersebut sudah sah atau tidak.

Pada kasus Pada Peternak Yanto di Desa pesawaran, Kecamatan Kedondong,

Kabupaten Pesawaran tersebut terdapat kerja sama antara mudharib dengan


1
Oni Sahroni, Fiqih muamalah Kontemporer (Jakarta: Republika Penerbit, 2020), 222
2
Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar (Sukoharjo: Darul Aqidah, 2009), 695.

2
shohibul mal dimana bahwasannya shohibul mal melakukan kerja sama

dengan mudharib yang dimana hasil dari kerja sama tersebut dibagi dua sesuai

kesepakatan awal, tetapi pada kenyataan bahwa mudharib tidak bisa

melaksanakan kewajiban tersebut dan meminta pihak ketiga untuk membantu

dalam mengelola ternak kambing tersebut, ternyata setelah pembagian hasil

dari ternak kambing tadi senilai Rp 5000.000 dan dibagi dua antara shohibul

mal dan mudharib yaitu Rp 2.500.000 per 1 orang, tetapi mudharib membagi

lagi kepada pihak ketiga senilai Rp 1.250.000 dan mudharib mengatakan

bahwa uang yang diberikan kepada pihak ketiga tersebut dinamakan upah,

sedangkan kita ketahui bahwa upah berbeda dengan bagi hasil dan

mudharabah, maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul tersebut.

ada 2 pihak sebagai subjek yaitu shahibul mal dan mudharib keterlibatan

shahibul mal dalam akad ini adalah modal. Sementara keterlibatan mudharib

adalah kerja yang dia lakukan dalam mengelola modal. Karena itulah masing-

masing memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan, sebagaimana pula

masing-masing juga memiliki peluang terjadinya resiko kerugian. Untuk

itulah keterlibatan ini tidak ada, maka masing-masing tidak memiliki hak

untuk mendapatkan keuntungan. Misalnya mudharib tidak mau berkerja, tapi

semua di limpahkan ke pihak ketiga yang mengerjakannya, kemudian gaji

orang bekerja itu diambilkan dari modal.

3
Menurut Prof. Dr. Hasan Abdul Ghani dalam risalahnya al-ahkam al-

fiqiyah al-mutaaliqah bi aqd al-mudharabah menyebutkan bahwa untuk

mengukur kerja apa yang boleh meminta bantuan orang lain dirinci menjadi 2

yaitu sebagai berikut :

1. Kerja yang tidak mungkin ditangani mudharib itu sendiri. Karena tidak

mampuannya mengelola itu atau karena factor lain, misalnya jika di

tangani mudharib bias membahayakan kelangsungan mudharabah. Dalam

hal ini, mudharib bias memperkerjakan orang lain dan upahnya dijadikan

sebagai biaya operasional mudharabah

2. Kerja yang sangat mungkin dilakukan mudharib, sehingga tidak perlu

bantuan orang lain dalam hal ini mudharib tidak boleh memperkerjakan

orang lain dan dibebankan sebagai biaya operasional mudharabah. Dan

ukuran berat dan tidaknya kerja semacam ini kembali lagi kepada urf

(Tradisi) yang berlaku di masyarakat.

B. Latar Belakang Masalah

4
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk

berinteraksi, karena pada dasarnya manusia tidak biasa memenuhi kebutuhan

hidupnya sendiri. Sebagai makhluk sosial berusaha untuk memenuhi

kebutuhannya, termasuk kebutuhan sosialnya. Kehidupan manusia cukup

beragam, seperti kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, kebutuhan

keamanan, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan kesehatan. Untuk memenuhi

semua kebutuhan manusia harus bekerja dengan berbagai cara yang baik salah

satunya dengan bermudharabah atau bagi hasil. Sesuatu yang dilakukan oleh

seorang pelaku usaha pada umumnya tidak ingin mengalami kerugian.

Dapat dipahami bahwa bermudharabah adalah suatu kegiatan usaha

antara pemilik modal dengan pengelola modal yang hasilnya dibagi sama rata

sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati kedua belah pihak. Salah

satu yang termasuk bermudharabah adalah dalam sistem peternakan karena di

dalam sistem tersebut terdapat bagi hasil antara pemilik ternak (shahibul mal)

dengan pengelola ternak (mudharib). Namun tentu saja untuk orang yang

menjalankan usaha peternakan secara Islam, dituntut menggunakan cara

khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang

muslim berusaha dalam bidang peternakan agar berkah dan di ridhoi allah swt

di dunia dan di akhirat.

Di dalam prakteknya di masyarakat sistem bagi hasil yang berlaku di

kalangan peternakan khususnya kambing antara daerah satu dengan daerah

lainnya berbeda-beda. Meski berbeda-beda bentuknya, tetapi ada titik

5
persamaan dalam pelaksanaannya terutama yang menyangkut hak dan

kewajiban antara pemilik ternak kambing dengan pengelola ternak kambing.

Memperkerjakan pihak ketiga adalah menggunakan tenaga dan

kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa

uang maupun bentuk lainnya kepada yang memberikan pekerjaannya.

Kegiatan praktik mudharabah Pada Peternak Yanto di Desa Pesawaran,

Kecamatan Kedondong mempekerjakan pihak ketiga dalam usaha bagi hasil

antara pemilik ternak (shahibul mal) pemilik modal berupa ternak kambing

dan pengelola ternak (mudharib) pengelola usaha ternak kambing. pada

mulanya pemilik ternak mengajak pengelola ternak kambing ingin

bekerjasama dengan kesepakatan apabila kambing terjual hasilnya dibagi

sama rata.

Dalam prosesnya mudhorib atau pengelola ternak melibatkan pihak ketiga

untuk melakukan kerjasama karena mudhorib ini tidak bisa mengelola ternak

kambing ini dengan sendiri karena adanya pekerjaan yang harus dilakukan

dan tidak dapat digantikan yaitu mengurus pertanian sawah. Adanya pihak

ketiga ini untuk mengurus ternak kambing mudhorib dalam mengelola ternak

kambing. Adapun kesepakatan antara mudhorib dengan pihak ketiga apabila

ternak kambing tersebut terjual dan telah diurus oleh pihak ketiga hasil nya di

bagi sama rata. setelah dari hak mudharib diperoleh dari shahibul mal atas

kesepakatan bagi hasil ternak kambing dengan shahibul mal yang mana

kambing tersebut di miliki oleh shahibul mal bukan pemilik mudharib. Pada

6
penelitian ini penulis mengangkat permasalahan yang muncul akibat

persoalan itu.

Dalam ajaran Islam sendiri bagi hasil harus diberikan sesuai kesepakatan

akad diawal setelah ia melakukan kerjasama ternak kambing, Maka dalam hal

ini penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini dengan mengangkat

sebuah judul penelitian yaitu: Tinjaun Hukum Islam tentang Mudharib

mempekerjakan pihak ketiga dalam kerjasama Bagi Hasil Ternak Kambing

( Studi di Desa Pesawaran, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran).

C. Fokus dan Sub Fokus Penelitian


Penelitian ini berfokus pada mudharabah sedangkan Sub Fokus nya

adalah Mudharabah ternak kambing dimana mudharib melibatkan pihak

ketiga dengan sistem bagi hasil dari hak mudharib yang terindikasi adanya

ketidakjelasan bagi hasil yang melanggar hukum Islam. Dari fokus penelitian

ini dibagi lagi menjadi 2 sub fokus penelitian yaitu:

1. Praktik mudharib memperkerjakan pihak ketiga yang terindikasi adanya

ketidakjelasan bagi hasil yang diterima tersebut.

2. Tinjauan hukum Islam terkait mudharib memperkerjakan pihak ketiga

dalam kerjasama bagi hasil ternak kambing.

D. Rumusan masalah

7
Berdasarkan praktik mudharib memperkerjakan pihak ketiga dalam

kerjasama bagi hasil ternak kambing yang terjadi di Desa Pesawaran,

Kecamatan Kedondong, kabupaten Pesawaran terdapat beberapa

ketidakjelasan dalam bagi hasilnya. Dengan demikian rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik mudharib memperkerjakan pihak ketiga dalam

kerjasama bagi hasil ternak kambing Pada Peternak Yanto di Desa

Pesawaran, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran ?

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam tentang mudharib Memperkerjakan

pihak ketiga dalam kerjasama bagi hasil ternak kambing tersebut Pada

Peternak Yanto di Desa Pesawaran, Kecamatan Kedondong, Kabupaten

Pesawaran?

E. Tujuan Penelitian
Adapun yang ingin dicapai dalam peneltian ini adalah :

1. Untuk mengetahui praktik mudharib memperkerjakan pihak ketiga dalam

kerjasama bagi hasil ternak kambing Pada Peternak Yanto di Desa

Pesawaran, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran.

2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Islam tentang mudharib

memperkerjakan pihak ketiga dalam kerjasama bagi hasil ternak kambing

tersebut Pada Peternak Yanto di Desa Pesawaran, Kecamatan

Kedondong, Kabupaten Pesawaran.

F. Manfaat Penelitian

8
1. Secara teoritis penelitian ini sangat bermanfaat, untuk menambah

wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai mudharib memperkerjakan

pihak ketiga dalam kerjasama bagi hasil ternak kambing menurut

Tinjauan hukum Islam.

2. Secara praktis penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat memenuhi

tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.

G. Kajian Terdahulu
Sejauh pengetahuan penulis, saat ini terdapat beberapa karya ilmiah

seperti jurnal, artikel, ataupun karya ilmiah lainnya yang membahas tentang

mudharabah ataupun praktiknya mudharabah maupun masalah yang berkaitan

lainnya yang terjadi di masyarakat. Maka dari itu, dalam penulisan skripsi

penulis melakukan kajian pustaka dengan tujuan untuk menambah literatur

sebagai bukti bahwa penulis telah memahami masalah yang sedang akan

diteliti.

Adapun yang menjadi literatur dalam kajian pustaka adalah:

1. Skripsi Ratih Apriliana Dewi dengan judul: Tinjauan Hukum Islam

Tentang Praktek Bagi Hasil Antara Pemilik Dan Penggarap Kebun Pada

Petani kopi. Studi Kasus Dusun Bedeng 9 Desa Ogan Lima Lampung

Utara. Pada penelitian ini hasil penelitiannya, bahwa praktik musaqoh

atau kerjasama bagi hasil perkebunan kopi dilakukan antara pemilik dan

penggarap/pengelola kebun kopi dilakukan secara lisan (tidak tertulis)

9
dan tanpa saksi hanya didasari saling percaya, sedangkan batasan

waktunya tidak ditentukan dalam praktiknya ada yang 2 sampai 7 tahun.

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analisis

dan metode berfikirnya menngunakan metode induktif. Persamaan

penelitian ratih apriliana dewi dengan penelitian yang akan penulis teliti

adalah keduanya sama-sama menggunakan jenis penelitian kualitatif dan

menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Sedangkan

perbedaannya skripsi ratih apriliana dewi dengan penelitian yang akan

penulis teliti terdapat pada jumlah pihak yang terlibat dalam kesepakatan.3

2. Skripsi Abdullah Fikri dengan judul: Analisis Ekonomi Islam Terhadap

Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Antara Pemilik Modal Dan Pekerja

Didesa Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung

Barat. Pada penelitian ini hasil penelitiannya, bahwa Penelitian ini

bersifat deskriptif kualitatif Berdasarkan pembahasannya dapat

disimpulkan bahwa sistem bagi hasil pertanian yang ada di Desa Way

Mengaku Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat terdiri dari

3 macam yaitu 1) sistem pemilik lahan dan dikerjakan sendiri, 2) sistem

bagi hasil (parohan), dan 3) sistem buruh tani.

3. Rizal Datwis, IAIN Sultan Amai Gorontalo tahun 2016, dengan jurnalnya

yang berjudul: Sistem Bagi Hasil Pertanian Pada Masyarakat Petani

3
Ratih apriliana dewi “Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktek Bagi Hasil Antara Pemilik Dan
Penggarap Kebun Pada Petani Kopi”(skripsi, uin raden intan 2017), 1

10
Penggarap, Hasil penelitiannya Menunjukan bahwa dampak bagi hasil

terhadap aspek perekonomian petani penggarap adalah berdampak positif

yakni penambah penghasilan pendapatan perkapita sekaligus dapat

meningkatkan taraf perekonomian para petani penggarap, sehingga

kebutuhan hidup keseharian petani penggarap dapat terpenuhi.4

Dalam jurnal tersebut terdapat kesamaan dengan skripsi ini yaitu

mengkaji tentang sistem bagi hasil terhadap pemilik modal dengan

penggarap ataupun pengelolanya dan persamaanya sama-sama menggunakan

jenis penelitian kualitatif yang menjadi perbedaan ialah adanya jumlah pihak

yang terlibat dalam kesepakatan bagi hasil ini.

Persamaan kajian penelitian terdahulu yang relavan diatas peneliti mendapati

kesamaan dengan penelitian skripsi ini yaitu keduanya sama-sama

menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sedangkan perbedaannya dengan

penelitian yang akan penulis teliti terdapat pada jumlah pihak yang terlibat

dalam kesepakatan.5

H. Metode Penelitian
Sebelum dikemukakan metode penelitian yang digunakan dalam

penulisan proposal ini, maka akan dijelaskan definisi metode penelitian.


4
Rizal Darwis, “Sistem Bagi Hasil Pertanian Pada Masyarakat Petani Penggarap”, Jurnal Hukum
Ekonomi 13, no. 13 (2016), 23, http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
5
Abdullah fikri “Analisis Ekonomi Islam Terhadap Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Antara Pemilik
Modal Dan Pekerja Didesa Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat”(skripsi, uin raden
2018), 1

11
Metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melakukan suatu teknis

dengan menggunakan fikiran secara seksama untuk mencapai tujuan,

sedangkan penelitian sendiri merupakan upaya dalam bidang ilmu

pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta secara

sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Menurut kartini kartono metode

penelitian adalah cara berfikir dan berbuat yang dipersiapkan secara baik

untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai tujuan penelitian”.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka jelaslah yang dimaksud

dengan metode penelitian yaitu suatu ilmu pengetahuan yang membahas

tentang cara-cara yang digunakan dalam mengadakan penelitian yang

berfungsi sebagai acuan atau cara yang dilakukan untuk mendapatkan

informasi dalam melaksanakan suatu perintah ilmiah sumber data.

Untuk mencapai pengetahuan yang benar, maka diperlukan metode

yang mampu mengantarkan penulis mendapat data yang valid dan otentik,

adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Jenis penelitian dan Sifat penelitian

a. Jenis peneltian

Jenis penelitiann ini merupakan penelitian lapangan (field

research) yaitu suatu penelitian dengan karakteristik masalah yang

berkaitan dengan latar belakang kondisi saat ini dari subjek yang

diteliti serta interaksinya dengan lingkungan. Menurut Koenjoro

Diningrat, penelitian lapangan (field research) yaitu meneliti segala

12
segi social dari suatu kelompok atau golongan tertentu yang masih

kurang diketahui.

Sedangkan menurut Kartini kartono, penelitian lapangan (field

research) yaitu penelitian lapangan yang dilakukan dalam kancah

kehidupan yang sebenarnya. Penelitian ini menggunakan penelitian

lapangan dikarenakan kegiatan ini benar-benar terjadi dilingkungan

peneliti. Kemudian peneliti melakukan penelitian mendalam

mengenai,memperkerjakan orang lain dalam bagi hasil ternak

kambing di desa pesawaran.

b. Sifat penelitian

Sifat penelitian ini deskriptif analitis, yaitu setatus metode

dalam meneliti sutau objek yang bertujuan membuat deskripsi,

gambaran, atau lukisan secara sistematis dan objektif, mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri serta hubungan diantara unsur-unsur

yang ada atau fenomena tertentu. Dalam penelitian ini akan

digambarkan bagaimana tujuan Hukum Islam tentang mudharib

memperkerjakan pihak ketiga dalam kerjasama bagi hasil ternak

kambing.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

13
Sumber data primer adalah data yang langsung memberikan

data kepada pengumpul data.6 Baik melalui wawancara, maupun

laporan dalam bentuk dokumen yang kemudian diolah oleh peneliti.

Data primer dalam penelitian ini berupa informasi-informasi hasil

dari wawancara dengan masyarakat Pada Peternak Yanto Desa

Pesawaran, Kecamatan Kedondong mengenai memperkerjakan

orang lain dalam bagi hasil ternak kambing. Peneliti akan

mewawancarai langsung kepada pihak-pihak yang terlibat dalam

praktek memperkerjakan orang lain dalam bagi hasil ternak kambing.

Sehingga data yang didapat oleh peneliti merupakan data yang benar.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah kesaksian atau data yang tidak

berkaitan langsung dengan sumber yang asli. 7 Data sekunder dalam

penelitian ini sebagai pelengkap dari data primer yang diperoleh dari

perpustakaan atau laporan-laporan atau disebut juga data tersedia

yang berhubungan dengan implementasi memperkerjakan orang lain

dalam bagi hasil ternak kambing.

3. Populasi dan sampel

a. Populasi

6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2016), h. 225.
7
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: Pt. Citra Aditiya Bakti, 2004), h.
115-116.

14
Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas:

objek/subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulan.8 Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga benda-

benda alam yang lainnya. Objek penelitian sebagai sasaran untuk

mendapatkan dan mengumpulkan data disebut populasi. Adapun

jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 3, yakni 1 orang

shahibul mal dan 1 orang mudharib serta 1 pihak ke tiga.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti.

Dalam hal ini sampel yang digunakan adalah random sampling yaitu

data yang memiliki kelompok subjek didasari atas ciri-ciri atau sifat-

sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkutan yang erat

dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang sudah diketahui sebelumnya

Berdasarkan jumlah populasi yang diketahui penulis yaitu

sebagaimana yang dikemukakan kriteria di atas maka yang menjadi

sampel dalam penelitian ini 3 orang yaitu 1 orang shahibul mal,1

orang mudharib dan 1 orang pihak ke tiga Oleh karena itu, penelitian

ini merupakan penelitian populasi yang dianggap representatif dan

menjawab setiap permasalahan yang tengah dihadapi sesuai dengan

tujuan penelitian.
8
Sugiyono, (Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif),h. 215.

15
4. Pengumpulan data

Metode pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data yang

diperlukan, baik yang berhubungan dengan studi literatur maupun data

yang dihasilkan dari data empiris. Penulis menggunakan beberapa

metode, yaitu:

a. Wawancara

Wawancara adalah proses percakapan untuk mengontruksi

mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisai, motivasi, perasaan

dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu peristiwa

pewawancaraan yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang

diwawancarai.9 Ini untuk memperoleh data atau informasi yang

diperlukan. Metode ini digunakan dalam pengumpulan data untuk

menegetahui secara detail bagaimana pelaksanaan memperkerjakan

orang lain dalam bagi hasil ternak kambing.

Dalam hal ini, yang menjadi interview adalah orang yang yang

sering melakukan kegiatan tersebut. Cara yang digunakan dalam

mendapatkan informasi dari wawancara ini dengan merekam dan

mencatat percakapan antara peneliti dan pihak yang melakukan

memperkerjakan orang lain.

b. Dokumentasi

9
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakatra: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), 124.

16
Dokumentasi adalah mencari data-data mengenai variable berupa

catatan, buku, agenda, dan sebagainya.10Salah satu metode yang

digunakan untuk mencari data yang otentik yang bersifat

dokumentasi baik data itu yang berupa catatan harian, memori atau

catatan penting lainnya. Adapun yang dimaksud dengan dokumen

disini adalah data atau dokumen tertulis.

5. Pengolahan data

a. Pemeriksaan data (editing) yaitu mengoreksi apakah data yang

terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar dan sudah sesuai

dengan masalah. Peneliti memeriksa kembali data yang didapat

dengan cara mengulang kembali hasil rekaman dan catatan yang

didapat dari wawancara.

b. Penandaan data (coding) yaitu memberikan catatan atau tanda yang

menyatakan jenis sumber data (buku, literature, atau dokumen);

pemegang hak cipta (nama penulis, tahun penerbit); atau urutan

rumusan masalah (masalah pertama, masalah kedua B dan

seterusnya). Penandaan ini berfungsi untuk membedakan bagia-

bagian yang sesuai dengan pembahasan yang akan digunakan oleh

peneliti.

c. Rekontruksi data (reconstructing) yaitu menyusun ulang data secara

terarur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan


10
Lexy J. Moeloeng, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1987), 140.

17
diinterprestasikan. Peneliti menyusun kembali data yang didapat agar

menjadi data yang logis dan mudah dipahami banyak pihak.

d. Sistematisasi data (systematizing) yaitu penempatan data menurut

kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah. 11 Data

yang didapat peneliti kemudian disusun sesuai dengan sistemasi

yang berlaku pada penelitian ini.

6. Analisa data

Analisa data yang digunakan pada penelitian ini merupakan analisis

kualitatif. Analisa kualitatif merupakan upaya sistematis dalam penelitian

yang bersifat pemaparan. Tujuannya untuk memperoleh gambaran yang

lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu.

Analisa kualitatif ini menggunakan metode deduktif yaitu berangkat

dari pengetahuan yang bersifat umum yang bertitik tolak dengan

pengetahuan umum mengenai kejadian yang khusus.12

I. Sistematika Pembahasan

11
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,( Jakarta: Pustaka Belajar, 2001), 90-91.
12
Saifudin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999), 40.

18
Supaya pembahasan dalam skripsi ini sistematis dan dapat terarah,

maka disusun sistematika pembahasan sebagai berikut :

Bab Pertama, yaitu Pendahuluan yang terdiri dari penegasan judul,

latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, kajian penelitian terdahulu yang relevan, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua, penulis melandasi landasan teori konsep mudharib

mempekerjakan pihak ketiga dengan menguraikan tentang Pengertian

Muamalat, Mudharabah (Bagi hasil) dan juga mengenai Akad.

Bab Ketiga, penulis menguraikan hasil laporan penelitian berupa

gambaran umum geografis tempat penelitian dan praktik yang terjadi ditempat

penelitian.

Bab Keempat, penulis menganalisa data hukum mudharib

mempekerjakan pihak ketiga dalam bagi hasil ternak kambing serta penerapan

praktek mempekerjakan pihak ketiga dalam bagi hasil ternak kambing.

Bab Kelima, berisi tentang, di bagian akhir ini memuat tentang

kesimpulan,dan saran.

J. Kerangka teoritik

19
Kata kunci : mudharib Memperkerjakan pihak ketiga dalam bagi hasil

Memperkerjakan pihak ketiga dibolehkan karena kita memang

membutuhkannya, atau karena tidak bisa bekerja sendiri. Karena hal yang

berkaitan dengan pekerjaannya tidak memungkinkan buat mudharib itu

sendiri.

Namun menurut prof. Dr. Hasan Abdul Ghani dalam risalahnya al-

Ahkam al-Fiqhiyah al-Mutta’alliqah bi ad- mudharabah menyatakan bahwa:

“untuk mengukur kerja apa bolehnya meminta bantuan orang lain dirinci

menjadi 2”

1. Kerja yang tidak mungkin di tangani oleh mudharib itu sendiri. Baik

karena ketidakkemampuannya mengelola itu atau faktor lain, misal jika di

tangani mudharib bisa membahayakan kelangsungan mudharabah. Oleh

karena itu dibolehkan meminta bantuan.

2. Kerja yang sangat mungkin dilakukan mudharib, sehingga tidak perlu

bantuan orang lain.13

Dapat dipahami bahwa bermudharabah adalah suatu kegiatan usaha

antara pemilik modal dengan pengelola modal yang hasilnya dibagi sama rata

sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati kedua belah pihak. Salah

satu yang termasuk bermudharabah adalah dalam sistem peternakan karena di

dalam sistem tersebut terdapat bagi hasil antara pemilik ternak (shahibul mal)

dengan pengelola ternak (mudharib).


13
Hasan Abdul Ghani, (al-Ahkam al-Fiqhiyah al-Mutta’alliqah bi ad-mudharabah), 101-10

20
Mengenai Keuntungan harus dibagi secara proporsional kepada kedua

belah pihak, dan proporsi (nisbah) keduanya harus dijelaskan pada waktu

melakukan kontrak. Pembagian keuntungan harus jelas dan dinyatakan dalam

bentuk prosentase seperti 50:50, 60:40, 70:30, atau bahkan 99:1 menurut

kesepakatan bersama. Maka dari itu keuntungan akan terlihat jelas tanpa

adanya unsur gharar.

21
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Pengertian Mudharabah dan Dasar Hukum Mudharabah

Salah satu bentuk kerja sama dalam menggerakkan antara pemilik modal

dan seseorang adalah bagi hasil, yang dilandasi oleh rasa tolong menolong.

Sebab ada orang yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian

dalam menjalankan roda perusahaan. Ada juga orang yang mempunyai modal

dan keahlian, tetapi tidak mempunyai waktu. Sebaliknya ada orang yang

mempunyai keahlian dan waktu, tetapi tidak mempunyai modal. Dengan

demikian, apabila ada kerja sama dalam menggerakkan roda perekonomian,

maka kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan modal dan skill

(keahlian) dipadukan menjadi satu.14

Istilah mudharabah ialah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak,

sedangkan penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah

atau qiradh, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan

qiradh juga mengacu pada makna yang sama. Secara lughowi mudharabah

berasal dari kata ad-dharb (‫( الضرب‬derivasi dari wazan fi’il – ‫رب‬P‫ یض‬- ‫ربا‬P‫ض‬

14
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
169.

22
‫ ضرب‬berarti memukul dan berjalan.15 Selain ad-dharb ada juga qiradh (‫القراض‬

(dari kata (‫( القرض‬yang berarti pinjaman atau pemberian.

modal untuk berdagang dengan memperoleh laba. Muhammad Syafi’I

Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori Ke Praktek, menuliskan

bahwa pengertian berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang dalam

menjalankan usaha. Dari sini dapat dipahami bahwa mudharabah secara

lughowi adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan

usahanya dengan berdagang untuk memperoleh laba.16

Secara istilah mudharabah adalah menyerahkan modal kepada orang yang

berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan.17 Definisi

mudharabah menurut Sayyid Sabiq adalah :

Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah

uang (sebagai modal) kepada lainnya untuk diperdagangkan. Laba dibagi

sesuai dengan kesepakatan.18

Adapun definisi mudharabah menurut Wahbah Az-Zuhaili adalah :

Akad didalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada ‘amil

(pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama

sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Sedangkan, kerugiannya hanya

15
Adib Bisri dan Munawwir, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999),432.
16
Ibid, 592
17
Abdullah Al-Muslih, Fiqih Ekonomi Islam Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2004), 168.
18
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4 (Jakarta: Darul Fath, 2004),217.

23
menjadi tanggungan pemilik modal saja, ‘amil tidak menanggung kerugian

apa pun kecuali usaha dan kerjanya saja.19

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian

mudharabah adalah akad yang dilakukan oleh shahibul mal dengan mudharib

untuk usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.

Keuntungan yang dituangkan dalam kontrak ditentukan dalam bentuk nisbah.

Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu

ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian

mudharib. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib,

maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Dasar Hukum Mudharabah

Para imam madzhab sepakat bahwa hukum mudharabah adalah boleh,

walaupun di dalam Al-Qur’an tidak secara khusus menyebutkan tentang

mudharabah dan lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini

tampak dalam ayat dan hadits sebagai berikut :

a. Al –Qur’an

ِ ‫ض ِل ٱهَّلل‬ ِ ‫ض ِربُونَ فِي ٱَأۡل ۡر‬


ۡ َ‫ض يَ ۡبتَ ُغونَ ِمن ف‬ ۡ َ‫َو َءاخَ رُونَ ي‬

Artinya : Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian

karunia Allah ( Qs. Al-Muzammil : 20)20

19
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 476.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), 575

24
Dalam ayat di atas dasar dilakukannya akad mudharabah adalah kata

“yadhribun” (‫( یضربون‬yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki

makna melakukan suatu perjalanan usaha.21

‫يرا‬ ْ ‫ض ِل ٱهَّلل ِ َو ۡٱذ ُكر‬


ٗ ِ‫ُوا ٱهَّلل َ َكث‬ ْ ‫ض َو ۡٱبتَ ُغ‬
ۡ َ‫وا ِمن ف‬ ِ ‫ُوا فِي ٱَأۡل ۡر‬
ْ ‫صلَ ٰوةُ فَٱنت َِشر‬
َّ ‫ت ٱل‬ ِ ُ‫فَِإ َذا ق‬
ِ َ‫ضي‬
١٠ َ‫لَّ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِحُون‬
Artinya : Apabila telah ditunaikan Shalat, Maka bertebaranlah kamu di

muka bumi ; dan carilah karunia Allah. (Qs. Al-Jumuah : 10)22

         

             

 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah

adalah Maha Penyayang kepadamu.Larangan membunuh diri

sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab

21
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
225
22
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), 554

25
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena

umat merupakan suatu kesatuan.

Ketiga ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudarabah,

yang menjelaskan bahwa mudharib (pengelola) adalah orang berpergian di

bumi untuk mencari karunia Allah.23

b. Hadist

Diantara hadist yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadist yang

di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib:

،‫ اَ ْلبَ ْي ُع ِإلَى َأ َج ٍل‬:ُ‫ث فِ ْي ِه َّن ْالبَ َر َكة‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم ق‬
ٌ َ‫ ثَال‬:‫ال‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

)‫ت الَ لِ ْلبَي ِْع (رواه ابن ماجه عن صهيب‬


ِ ‫ َوخ َْلطُ ْالبُرِّ بِال َّش ِعي ِْر لِ ْلبَ ْي‬،ُ‫ضة‬ َ َ‫َو ْال ُمق‬
َ ‫ار‬

Artinya : Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah adalah

jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada

orang lain), dan mencampurkan gandum kualitas baik dengan gandum

kualitas rendah untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual (HR

Ibnu Majah)24

23
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 477.
24
Hafidz Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah Jilid 2,( Darul Fikri, 207-
275 M),768.

26
Dari hadits di atas mengandung tentang kebolehan mudharabah,

seperti yang sudah di sabdakan oleh nabi, bahwa memberikan modal

kepada orang lain termasuk salah satu perbuatan yang berkah.

c. Ijma dan Qiyas

Adapun ijma’ dalam mudharabah, adanya hadist riwayat yang

menyatakan bahwa golongan dari para sahabat menggunakan harta anak

yatim yaitu mudharabah, dan perbuatan tersebut tidak dilarang oleh

sahabat lainnya.

Sedangkan Mudharabah diqiyaskan dengan al-musaqah (menyuruh

seseorang untuk mengelola kebun), selain di antara manusia, ada yang

miskin dan ada pula yang kaya. sedangkan, banyak orang kaya yang tidak

dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin

yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal, dengan demikian, adanya

mudharabah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia agar mereka

saling bermanfaat.25

d. Kaidah Fiqih

‫احةُ إالَّ َأ ْن یَ ُدلُّ َدلِ ْی ٌل َعلَى تَحْ ِر ْی ِمھَا‬ ِ ‫اَاْل َصْ ُل فِى ْال ُم َعا َماَل‬
َ َ‫ت اِإْل ب‬

25
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001), 224-226

27
Artinya : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali

ada dalil yang mengharamkannya.26

Berdasarkan landasan hukum diatas dapat dipahami bahwa mudharabah

disyariatkan oleh firman Allah, hadist, ijma’ dan qiyas dan diberlakukan pada

masa Rasulullah saw dan beliau tidak melarangnya, karena manusia dapat

saling bermanfaat untuk orang lain.

2. Rukun dan Syarat Mudharabah

1. Rukun Mudharabah

Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh

ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, tetapi para ulama berbeda

pendapat tentang rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yakni lafadz yang

menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah,

muamalah, atau kata-kata searti dengannya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah, menurut

ulama Malikiyah bahwa rukun mudharabah terdiri dari : Ra’sul mal (modal),

al-‘amal (bentuk usaha), keuntungan, ‘aqidain (pihak yang berakad). Adapun

menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan

lafal yang menunjukkan makna ijab dan qabul itu. Sedangkan menurut ulama

Syafi’iyah rukun mudharabah ada enam yaitu :

26
5 H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Masalah- masalah yang
Praktis, (Jakarta : Pranamedia, 2011), 185.

28
b. Pemilik dana (shahibul mal)
c. Pengelola (mudharib)
d. Ijab qabul (sighat)
e. Modal (rasul’mal)
f. Pekerjaan (amal)
g. Keuntungan atau nisbah27

Menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga,

yaitu :

a. Dua orang yang melalukan akad (al-aqidani)

b. Modal (ma’qud alaihi)

c. Sighat (ijab dan qabul)

Dari perbedaan para ulama diatas dipahami bahwa rukun pada akad

mudharabah pada dasarnya adalah :

a. Pelaku (shahibul mal dan mudharib)

Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, dimana ada yang

bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal) dan yang lainnya menjadi

pelaksana usaha (mudharib).

b. Obyek Mudharabah ( modal dan kerja)

Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang

dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyertakan modalnya

sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan

kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bentuk

27
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), 139

29
uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja

yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill,

management skill, dan lain-lain.

Para fuqaha sebenarnya tidak memperbolehkan modal mudharabah

berbentuk barang. Modal harus uang tunai karena barang tidak dapat

dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar)

besarnya modal mudharabah.28 Namun para ulama mazhab Hanafi

membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus

disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.

Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang,

tanpa adanya setoran modal berarti shahibul mal tidak memberikan

kontribusi apa pun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i

dan Maliki melarang itu karena merusak sahnya akad.

c. Persetujuan antara kedua belah pihak (ijab dan qabul)

Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip

an-taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara

rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik

dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si

pelaksana usaha pun setuju dengan perannnya untuk mengkontribusikan

kerja.

28
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ( Jakarta : PT RajaGrafino Persada,
2014), 205

30
d. Nisbah keuntungan

Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus dalam akad mudharabah.

Nisbah ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh shahibul mal

ataupun mudharib. Shahibul mal mendapatkan imbalan dari penyertaan

modalnya, sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari kerjanya.29

3. Syarat Mudharabah

Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun

mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah yang harus dipenuhi

adalah sebagai berikut :

a. Shahibul mal dan Mudharib

Syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai

majikan dan wakil.30 Hal itu karena mudharib berkerja atas perintah dari

pemilik modal dan itu mengandung unsur wakalah yang mengandung arti

mewakilkan. Syarat bagi keduanya juga harus orang yang cakap untuk

melakukan perbuatan hukum, dan tidak ada unsur yang menggangu

kecapakan, seperti gila, sakit dan lain-lain. Selain itu, jumhur ulama juga

tidak mensyaratkan bahwa keduanya harus beragama Islam, karena itu

akad mudharabah dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk non-

muslim.

29
Ibid, 205
30
Dimyauddin djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 228

31
b. Sighat (ijab dan qabul)

Sighat harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan

kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan

sebuah kontrak.31 Lafadz-lafadz ijab, yaitu dengan menggunakan asal kata

dan derivasi mudharabah, muqaradhah dan muamalah serta lafadz-lafadz

yang menunjukkan makna-makna lafadz tersebut. Sedangkan lafadz-

lafadz qabul adalah dengan perkataan ‘amil (pengelola), “saya setuju,”

atau, “saya terima,” dan sebagainya. Apabila telah terpenuhi ijab dan

qabul, maka akad mudharabah-nya telag sah.

c. Modal

Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul mal kepada

mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Syarat yang

berkaitan dengan modal, yaitu :

1. Modal harus berupa uang ataupun barang berharga

2. Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya

3. Modal harus tunai bukan utang

4. Modal harus diberikan kepada mitra kerja.32

Sebagaimana dikutip dari M. Ali Hasan bahwa menurut Mazhab

Hanafi, Maliki dan Syafi’i apabila modal itu dipegang sebagiannya oleh

pemilik modal tidak diserahkan sepenuhnya, maka akad itu tidak

31
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan
sosial, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012,),143
32
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), 62

32
dibenarkan. Namun, menurut Mazhab Hanbali, boleh saja sebagian modal

itu berada ditangan pemilik modal, asal saja tidak menganggu kelancaran

jalan perusahaan tersebut.

d. Nisbah Keuntungan

Keuntungan atau nisbah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan

dari modal. Keuntungan harus dibagi secara proporsional kepada kedua

belah pihak, dan proporsi (nisbah) keduanya harus dijelaskan pada waktu

melakukan kontrak. Pembagian keuntungan harus jelas dan dinyatakan

dalam bentuk prosentase seperti 50:50, 60:40, 70:30, atau bahkan 99:1

menurut kesepakatan bersama.33

Biasanya, dicantumkan dalam surat perjanjian yang dibuat dihadapan

notaris. Dengan demikian, apabila terjadi persengketaan, maka

penyelesaiannya tidak begitu rumit.

Karakteristik dari akad mudharabah adalah pembagian untung dan

bagi rugi atau profit and loss sharring (PLS), dalam akad ini return dan

timing cash flow tergantung kepada kinerja riilnya. Apabila laba dari

usahanya besar maka kedua belah pihak akan mendapatkan bagian yang

besar pula. Tapi apabila labanya kecil maka keduanya akan mendapatkan

bagian yang kecil pula. Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan

kesepakatan masing-masing pihak yang melakukan kontrak, jadi angka

33
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008),
206

33
besaran nisbah ini muncul dari hasil tawar menawar antara shahibul mal

dengan mudharib, dengan demikian angka nisbah ini bervariasi seperti

yang sudah disebutkan diatas, namun para fuqaha sepakat bahwa nisbah

100:0 tidak diperbolehkan.34

Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama

mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila

pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung bersama,

maka akad itu batal menurut mazhab Hanafi, sebab kerugian tetap

ditanggung sendiri oleh pemilik modal, oleh sebab itu mazhab Hanafi

menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua bentuk, yaitu mudharabah

shahihah dan mudharabah faasidah.

Jika mudharabah itu fasid, maka para pekerja (pelaksana) hanya

menerima upah kerja saja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan

pedagang didaerah tersebut. Sedangkan keuntungan menjadi milik

pemilik modal (mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali). Sedangkan ulama

mazhab Maliki menyatakan, bahwa dalam mudharabah faasidah, status

pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah yaitu tetap mendapat

bagian keuntungan yang telah disepakati bersama.

e. Pekerjaan atau usaha

Pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi pengelola

(mudharib) dalam kontrak mudharabah yang disediakan oleh pemilik


34
Ibid, 209

34
modal. Pekerjaan dalam kaitan ini berhubungan dengan manajemen

kontrak mudharabah dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh

kedua belah pihak dalam transaksi.35

3. Macam-macam Mudharabah

Secara umum, berdasarkan kewenangan yang diberikan pada

mudharib, akad mudharabah yang dilakukan oleh pemilik modal

(shahibul mal) dengan pekerja (mudharib), mudharabah terbagi menjadi

dua, yaitu :

a. Mudharabah Muthalaqah

Mudharabah muthlaqah yaitu mudharabah tanpa syarat, pekerja

bebas mengolah modal itu dengan usaha apa saja yang menurut

perhitungannya akan mendatangkan keuntungan dari arah mana saja yang

diinginkan.36 Misalnya jenis barang apa saja, didaerah mana saja, dengan

siapa saja, asal saja apa yang dilakukan itu diperkirakan akan

mendapatkan keuntungan. Mudharib diberikan otoritas oleh shahibul mal

untuk menginvestasikan modal ke dalam usaha yang dirasa cocok dan

tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu.

b. Mudharabah Muqayyadah

35
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan
sosial, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), 143
36
M. Ali Hasan, Berbagai Macam transaksi dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo), 172

35
Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-

syarat tertentu, pekerja mengikuti syarat-syarat yang dicantumkan dalam

perjanjian yang dikemukanan oleh pemilik modal. Misalnya harus

memperdagangkan barang-barang tertentu, di daerah tertentu, dan

membeli barang pada toko (pabrik) tertentu.37 Shahibul mal boleh

melakukan hal ini guna menyelamatkan modalnya reisiko kerugian.

Apabila mudharib melanggar syarat-syarat/batasan maka mudharib harus

bertanggung jawab atas kerugian yang timbul

Dalam praktik perbankan syariah modern, kini dikenal dua bentuk

mudharabah muqayyadah yaitu:

a. Mudharabah Muqayyadah on balance sheet

Mudharabah muqayyadah on balance sheet (investasi terikat) yaitu

aliran dana dari shahibul mal kepada mudharib dan shahibul mal

mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk

pembiayaan di sektor tertentu, misalnya pertanian, pertambangan.38

b. Mudharabah Muqayyadah of balance sheet

Mudharabah muqayyadah of balance sheet ini merupakan jenis

mudharabah di mana penyaluran dana mudharabah langsung kepada

pelaksana usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara

(arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan


37
Ibid, 172
38
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2008),172

36
pelaksana usaha.39 Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat

tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha

yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.

Jumhur ulama’ menetapkan bahwa pengelola usaha tidak boleh

melakukan akad mudharabah lagi dengan orang lain dengan uang tersebut,

karena modal (uang) yang diberikan kepadanya merupakan amanah.

Sementara penyerahan modal oleh pengelola kepada pihak (orang) lain

merupakan bentuk pengkhianatan yang nantinya akan merugikan pemberi

modal yang sebenarnya, karena apabila akad mudharabah telah terjadi dan

pekerja telah menerima modalnya, maka usaha yang dilakukan adalah amanat

yang harus dijaga sebaik-baiknya. Apabila dia tidak mengusahakan dengan

baik, maka dia harus menanggung resiko yang ada, termasuk mengganti

modal tersebut jika mengalami kerugian.40

Hikmah disyariatkannya mudharabah adalah untuk memberikan

kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan hartanya dan sikap

tolong menolong di antara mereka, selain itu, guna menggabungkan

pengalaman dan kepandaian dengan modal untuk memperoleh hasil yang

terbaik.

4. Hikmah Mudharabah dan Batalnya Mudharabah


39
Ibid, 213
40
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta : Teras, 2011),116-117

37
Islam mensyariatkan akad kerja sama mudharabah untuk

memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak

mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki

harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan

mengembangkannya. Maka syariat membolehkan kerja sama ini agar

mereka bisa saling mengambil manfaat di antara mereka.

Shohibul mal (pemilik modal) memanfaatkan keahlian mudharib

(pengelola) dan mudharib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan

demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah ta’ala tidak

mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan

menolak kerusakan.41

Dalam ekonomi syariah ada lima prinsip yang mendasar selain konsep

ta’awuniyah dan amanah yang dalam pelaksanaan usaha ini hendaknya

juga harus diterapkan, agar usaha ini sesuai dengan prinsip islami dan

tidak merugikan salah satu pihak yang melakukan akad kerjasama.

Adapun lima prinsip tersebut adalah:

a. La’haram : dalam melakukan usaha, modal yang diberikan tersebut

tidak digunakan untuk usaha yang haram.

b. La’Mudharar : dalam melakukan usaha tersebut diusahakan untuk

usaha yang banyak manfaatnya bukan untuk usaha yang banyak

mudharatnya.
41
Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar (Sukoharjo: Darul Aqidah, 2009), 699.

38
c. La’dzolimun : usahah yang dijalankan itu tidak menzalimi salah satu

pihak yang bekerja sama.

d. La’riba : usaha yang dilakukan tidak mengandung unsur riba.

e. La’Gharar : usaha dalam kerjasama itu tidak mengandung kesamaran

atau gharar.

Hikmah mudharabah menurut syara’ adalah untuk menghilangkan

hinanya kekafiran dan kesulitan dari orang-orang fakir serta menciptakan

rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia, yaitu ketika ada seseorang

memiliki kemampuan untuk berdagang, sedangkan untungnya dibagi di

antara keduanya sesuai kesepakatan. Dalam praktik seperti itu, terdapat

keuntungan ganda bagi pemiliki modal.

1. Pahala yang besar dari Allah SWT, dimana ia ikut menyebabkan

hilangnya kehinaan rasa fakir dan kesulitan pada orang tersebut.

Namun, apabila mitranya tersebut sudah kaya, juga masih ada

keuntungannya, yaitu tukar-menukar manfaat diantara keduanya.

2. Berkembangnya modal awal dan bertambah kekayaannya. Kesulitan

orang fakir menjadi hilang, kemudian ia mampu menghasilkan

penghidupan sehingga tidak lagi meresahkan masyarakat. Disamping

itu juga masih ada faedah yang lain yaitu ketika suatu amanah

menjadi sebuah syair dan kejujuran menjadi rahasia umum, maka

mudharabah akan banyak diminati orang. Dan barang kali suatu saat

39
nanti ia akan menjadi kaya, padahal sebelumnya fakir. Semua adalah

hikmah yang bernilai tinggi dari Allah SWT.42

Dengan sistem mudharabah pemilik modal mendapat keuntungan dari

modalnya, sedangkan tenaga kerja (skill) mendapat upah dari pekerjaan itu,

bisa juga bahwa tenaga kerja tidak mendapat upah tetapi mendapatkan

sebagian keuntungan dari hasil usahanya itu. Persentase juga di tetapkan atas

kesepakatan. bersama. Sewaktu menandatangani surat perjanjian kerja sama.

Kontrak mudharabah dengan bentuk kedua ini sebenarnya memberi kesan

yang amat baik bagi tenaga kerja, karena mereka merasa puas mendapatkan

keuntungan dari kerjasama itu. Hal ini merupakan motivasi yang amat kuat

bagi mereka sehingga bekerja lebih giat untuk mendapatkan keuntungan yang

lebih banyak pula. Para tenaga kerja (skill) merasa memiliki usaha yang

mereka jalankan itu.

Dengan demikian sistem mudharabah ini masing-masing pihak mempunyai

hak yang ditetapkan bersama, sehingga kemungkinan terjadi pelanggaran

amat kecil. Adapun hak-hak tersebut adalah:

1. Hak pekerja

a. Seorang pekerja mendapat keuntungan sesuai dengan

keterampilannya

42
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, indahnya syariat islam, penerjemah Faisal Saleh dkk: penyunting,
Harlis Kurniawan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 482.

40
b. Modal yang diguanakan adalah sebagai amanah yang wajib dijaga,

sekiranya terjadi kerugian maka tidak ada ganti rugi dan tuntutan

c. Kedudukan pekerja adalah sebagai agen, yang dapat menggunakan

modal atas persetujuan pemilik modal. Tetapi tidak berhak membeli

dan menjual barang tersebut.

d. Apabila ada keuntungan, maka dia berhak mendapatkan imbalan atas

usaha dan tenaganya, sekiranya usaha itu rugi, dia berhak

mendapatkan upah

e. Apabila pekerja itu tidak bekerja di daerahnya sendiri, seperti di kota

yang jauh, maka dia pun berhak mendapatka uang makan dan

sebagainya.

2. Hak pemilik modal

a. Keuntungan dibagi di hadapan hak pemilik modal dan pekerja pada

saat pekerja mengambil bagian keuntungan

b. Pekerja tidak boleh mengambil bagiannya tanpa kehadiran pemilik

modal.

3. Kontrak Berakhir

a. Kontrak bisa berakhir atas persetujuan kedua belah pihak.

b. Kontrak berakhir apabila salah satu pihak meninggal dunia. Kontrak

dapat diteruskan oleh ahli waris dengan kontrak yang baru.43

43
M. Ali Hasan, masail fiqliyah, (jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Ed. Revisi, cet. 4, 119-
120.

41
Apabila sistem mudharabah ini dapat diterapkan dengan baik di dalam

masyarakat di indonesia ini, maka kecemburuan sosial yang sering

mencuat (muncul) dapat diperkecil dan pembangunan ekonomi yang

berlandaskan syari’ah islamiyah berangsur-angsur dapat diwujudkan.

Hal-hal yang membatalkan Mudharabah

Bagi hasil mudharabah dianggap batal apabila terdapat hal-hal berikut:

a. Pembatalan, larangan berusaha, dan pemecatan.

Mudharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan

mudharabah, larangan untuk mengusahakan (tasyaruf), dan

pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan

larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan

dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika

pembatalan atau larangan. Akan tetapi jika pengusaha tidak

mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan, pengusaha

(mudharib) dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.

b. Salah seorang Akid Meninggal Dunia

Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal jika salah

seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun

pengusaha. Hal ini karena mudharabah berhubungan dengan

perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil tau yang

42
mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna dan sah, baik

diketahui salah seorang yang melakukan akad atau tidak.

c. Salah seorang akid gila

Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah,

sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah

d. Pemilik modal murtad

Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam) atau terbunuh

dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah

diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu

Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan

musuh sama saja dengan mati. Hal itu menghilangkan keahlian dalam

kepemilikan harta, dengan dalil bahwa harta orang murtad dibagikan

di antara para ahli warisnya.

e. Modal rusak di tangan pengusaha

Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal.

Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal

rusak, mudharabah batal.

Begitu pula, mudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada

orrang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa umtuk diusahakan.44

44
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, indahnya syariat islam, penerjemah Faisal Saleh dkk: penyunting,
Harlis Kurniawan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 498

43
5. Mudharabah Sebagai Lingkup Muamalah

Muamalah adalah hubungan antar manusia, hubungan sosial, atau hablum

minannas. Dalam syariat Islam hubungan antar manusia tidak dirinci jenisnya,

tetapi diserahkan kepada manusia mengenai bentuknya. Islam hanya

membatasi bagian-bagian yang penting dan mendasar berupa larangan Allah

dalam Al-Quran atau larangan Rasul-Nya yang didapat dalam As-Sunnah.

Darisegibahasa,muamalahberasa dari kata ‘aamala, yu’amilu, mu’amalat yang

berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan

(seperti jual-beli, sewa dsb). Sedangkan secara terminologis muamalah berarti

bagian hukum amaliah selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang

mukallaf antara yang satu dengan lainnya baik secara individu, dalam

keluarga, maupun bermasyarakat.

Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam

masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi,

kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya dalam masalah ibadah. Oleh

karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan

melalui ijtihad. Kalau dalam bidang ibadah tidak mungkin dilakukan

modernisasi, maka dalam bidang muamalah sangat memungkinkan untuk

dilakukan modernisasi. Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang sedemikian maju, masalah muamalah pun dapat disesuaikan

sehingga mampu mengakomodasi kemajuan tersebut. Karena sifatnya yang

44
terbuka tersebut, dalam bidang muamalah  berlaku asas umum, yakni pada

dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang

membatalkan dan melarangnya. Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa

semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah boleh saja

dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh

karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring

dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam. Dilihat

dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup syariah dalam bidang muamalah,

menurut Abdul Wahhab Khallaf, meliputi:

Pertama, Ahkam al-Ahwal al-Syakhiyyah (Hukum Keluarga), yaitu

hukum-hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami, istri dan

anak. Ini dimaksudkan untuk memelihara dan membangun keluarga sebagai

unit terkecil.

Kedua, al-Ahkam al-Maliyah (Hukum Perdata), yaitu hukum tentang

perbuatan usaha perorangan seperti jual beli (Al-Bai’ wal Ijarah), pegadaian

(rahn), perserikatan (syirkah), utang piutang (udayanah), perjanjian (‘uqud ).

Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur orang dalam kaitannya dengan

kekayaan dan pemeliharaan hak-haknya.

Ketiga, Al-Ahkam al-Jinaiyyah (Hukum Pidana), yaitu hukum yang

bertalian dengan tindak kejahatan dan sanksi-sanksinya. Adanya hukum ini

untuk memelihara ketentraman hidup manusia dan harta kekayaannya,

45
kehormatannnya dan hak-haknya, serta membatasi hubungan antara pelaku

tindak kejahatan dengan korban dan masyarakat.

Keempat, al-Ahkam al-Murafa’at (Hukum Acara), yaitu hukum yang

berhubungan dengan peradilan (al-qada), persaksian (al-syahadah) dan

sumpah (al- yamin), hukum ini dimaksudkan untuk mengatur proses peradilan

guna meralisasikan keadilan antar manusia.

Kelima, Al-Ahkam al-Dusturiyyah (Hukum Perundang-undangan),

yaitu hukum yang berhubungan dengan perundang-undangan untuk

membatasi hubungan hakim dengan terhukum serta menetapkan hak-hak

perorangan dan kelompok.

Kenam, al-Ahkam al-Duwaliyyah (Hukum Kenegaraan), yaitu

hukum yang berkaitan dengan hubungan kelompok masyarakat di dalam

negara dan antar negara. Maksud hukum ini adalah membatasi hubungan antar

negara dalam masa damai, dan masa perang, serta membatasi hubungan antar

umat Islam dengan yang lain di dalam negara.

Ketujuh, al-Ahkam al-Iqtishadiyyah wa al-Maliyyah (Hukum

Ekonomi dan Keuangan), yaitu hukum yang berhubungan dengan hak fakir

miskin di dalam harta orang kaya, mengatur sumber-sumber pendapatan dan

masalah pembelanjaan negara. Dimaksudkan untuk mengatur hubungan

ekonomi antar orang kaya (agniya),  dengan orang fakir miskin dan antara

hak-hak keuangan negara dengan perseorangan.

46
Itulah pembagian hukum muamalah yang meliputi tujuh bagian hukum

yang objek kajiannya berbeda-beda. Pembagian seperti itu tentunya bisa saja

berbeda antara ahli hukum yang satu dengan yang lainnya. Yang pasti hukum

Islam tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum publik dan hukum

privat. Hampir semua ketentuan hukum Islam bisa terkait dengan masalah

umum (publik) dan juga terkait dengan masalah individu (privat). Wallahu

a’lam bisshawab.45

1. Pengertian Akad dalam Islam

Dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah

akad (perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memproleh harta dalam

syariat Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad

merupakan cara yang diridhoi Allah swt dan harus ditegakkan isinya.46

Kata “Akad” berasal dari bahasa arab al-aqdu dalam bentuk jamak

disebut al-uquud yang berarti ikatan atau simpul tali. Menurut para ulama

fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai

dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum

dalam objek perikatan. Rumusan akad di atasmengindikasikan bahwa

45
Sumber : Tabloid Gema Baiturrahman, Jum’at – 6 Juni 2014 / 8 Syakban 1435 H | Nomor :
1067 Tahun XXI
46
Muhammad Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2012).5-6.

47
perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan

diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam satu hal yang khusus. 47

Akad ini diwujudkan pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai

dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan.

Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat

diartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai nilai syariah.

Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad

seseorang untuk melaksankan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti

wakaf, talak, sumpah maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli,

sewa, wakalah, dan gadai. Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab

(pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan

penerimaan kepemilikan) dalam ruang lingkup yang disyariatkan dan

berpengaruh pada sesuatu.48

Menurut kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang dimaksud dengan akad

adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk

melakukan dan/tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Akad dalam bahasa arab juga dapat diartikan sebagai perikatan,

perjanjian, dan permufakatan. Akad menurut istilah adalah keterikatan

keinginan diri dengan sesuatu yang lain dengan cara memunculkan adanya

komitmen tertentu yang di syariah kan. Terkadang kata aqad menurut istilah

47
T.M. Hasbi Ash-Shidiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),.8.
48
Fathurrahman Jamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam komplikasi Hukum Perikatan
Oleh Mariam Darus Badrul Zaman, (Bandung: PT Cipta Adiya Bhakti, 2001),.247.

48
dipergunakan dalam pengertian umum, yakni sesuatu yang diikatkan seorang

bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus.

Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti suatu yang menjadi tekad

seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti

wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak seperti jual

beli, sewa, wakalah, dan gadai. 49

Apabila kita mengikuti definisi akad yang umum yang mencakup semua jenis

tassaruf yang dibenarkan oleh syara‟ , maka rukun akad akan berbeda

tergantung kepada jenis tasarrufnya yang dibenarkan oleh syara‟, apabila

tassaruf bisa sempurna denga kehendak satu pihak, seperti talak dan waqaf

maka tasarrufnya sah dengan pernyataan pihak yang memiliki kehendak untuk

melakukan akad tanpa menjawab pernytaan pertama. Akan tetapi apabila

tasarruf nya tidak sempurna kecuali dengan kesepakatan dua kehendak,

seperti jual beli dan ijarah, maka untuk keabsahan akad diperlukan adanya

pernyataan yang menggambarkan kerelaan kedua belah pihak.

Apabila kita mengikuti pendapat yang mengartikan akad dalam pengertian

yang khusus, maka untuk keabsahan akad harus ada dua pernyataan

yangmenunjukan kecocokan dan kesepakatan dua kehendak, dua pernyataan

tersebut dikalangan fuqaha dikenal dengan istilah ijab dan kabul. Ulama-

49
Abdullah Al-mushlih dan shalah Ash-shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta:Darul
Haq, 2008),26.

49
ulama ushul dari kalangan hanafiah berpendapat bahwa rukun adalah

sesuatu.50

2. Syarat Sah nya Akad

Untuk sahnya akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur

asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah:

1) Al- Aqid atau pihak-pihak yang ber akad adalah orang,

persekutuan,atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam

melakuka perbuatan hukum. Karena itu, orang gila dan anak kecil

yang belum mumayyid tidak sah melakukan transaksi jual beli,

kecuali membeli sasuatu yang kecil-kecil atau murah seperti korek

api, korek kuping, dan lain-lain.51

2) Shighat, atau perbuatan yang menunjukan terjadinya akad berupa ijab

dan kabul. Dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yangdiucapkan

oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan setuju atau rela yang

berasal dari pembeli

3) Al- Ma‟qud alaih atau objek akad. Objek akad adalah amwal atau

jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak.

4) Tujuan pokok akad itu jelas dan diakui syara dan tujuan akad itu

terkait erat dengan berbagai bentuk yang tujuan dilakukan

misalnya,tujuan akad jual beli adalah untuk memindahkan hak penjual

50
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2017),.114
51
Mardani, Praktik Jual Beli Via Telepon dan Internet, ( Tanggerang Hukum dan Ham Vol,
IV No. 8 Agustus 2009), h.26

50
kepada pembeli dengan imbalan. Dalam akad ijarah tujuannya adalah

pemilikan manfaat orang yang menyewa dan pihak yang menyeakan

mendapatkan imbalan. Oleh sebab itu jika tujuan akad tidak sesuai

dengan tujuan aslinya maka suatu akad itu tidak sah.52

BAB III
Deskripsi Objek Penelitian

A. Gambaran umum Desa Pesawaran

1. Sejarah Desa

Desa Pesawaran asal mulanya adalah merupakan hutan belantara

dengan status tanah marga yang termasuk didalam wilayah

Pemerintahan Desa Gunung Sugih Kecamatan Kedondong bagian

Timur . Seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di Pulau

Jawa, maka mulai tahun 1923 berdatanganlah penduduk dari Pulau

Jawa melalui program Transmigrasi swadaya, para penduduk

52
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2017), h. 114

51
pendatang tersebut membuka hutan belantara diwilayah ini untuk

dijadikan lahan pertanian. Maka dari itu sebagian besar suku

bahasanya terdiri dari suku Jawa dan suku Sunda.

Karena faktor kesuburan tanah untuk dijadikan lahan pertanian

diwilayah ini, jumlah penduduk pendatang dari pulau Jawa semakin

meningkat pesat. Oleh karena itu pada tahun 1979 diresmikan

pembentukan dusun diwilayah Dusun Gunung Sugih I, Dusun Gunung

Sugih II dan Dusun Gunung Sugih III. Mengingat sangat luasnya

wilayah Desa Gunung Sugih Kecamatan Kedondong Kabupaten

Lampung Selatan maka pada tanggal 13 April tahun 2001 diadakan

musyawarah pembentukan / pemekaran Desa Induk Gunung Sugih

menjadi 3 ( tiga ) Desa, yaitu Desa Induk menjadi Desa Gunung Sugih

dan Desa Teba Jawa.

Kemudian pada tanggal 13 April tahun 2002 Desa Gunung Sugih

resmi dimekarkan menjadi Desa Gunung Sugih dan Desa Persiapan

Pesawaran berdasarkan Keputusan Gubernur Lampung.

Pejabat sementara Kepala Desa Pesawaran dijabat oleh Bapak

Suroto. Setelah berlangsung selama 1 ( satu ) tahun tepatnya tanggal

13 April 2003 Desa Persiapan Pesawaran resmimejadi Desa Defenitif

yaitu Desa Pesawaran. Dan Pejabat sementara Kepala Desa dijabat

oleh Bapak Suroto sampai tahun 2007

52
DAFTAR URUTAN PEJABAT KEPALA DESA PESAWARAN

No MASA JABATAN NAMA NAMA

(TAHUN) KEPALA DESA SEKRETARIS

DESA

1. 2003-2007 Suroto Makmur Munajat

2. 2007-2013 Saridi Makmur Munajat

3. MufrizanSaleh (PJ. Kepala

2013-2014 Desa Makmur Munajat

4. 2014–2018 Hi.Suroto Makmur Munajat

5. 2018-2019 H. Suroto Antoni

6. 2019- sekarang Azwan Feri Arif Setiawan

2. Demografi

a. Batas Wilayah Desa

Letak
Sebelah Utara : Desa Sukamandi Kec. Way Lima

Sebelah Selatan : Desa Tempel Rejo Kec. Kedondong

Sebelah Barat : Desa Pasar Baru Kec. Kedondong

Sebelah Timur : Desa Margodadi Kec. Way Lima

b. Luas Wilayah Desa

53
1) Luas Desa Pesawaran 734,5 ha

2) Pemukiman 250 ha

3) Pertanian Sawah 65 ha

4) Ladang/tegalan 35 ha

5) Hutan 245 ha

6) Rawa-rawa 0,25 ha

7) Perkantoran -

8) Sekolah 0,75 ha

9) Jalan 10 km

10) Lapangan Sepak Bola 1 ha

c. Orbitasi

1) Jarak ke Ibu Kota Kecamatan terdekat : 5 KM

2) Lama jarak tempuh ke ibu kota Kecamatan : 15 Menit

3) Jarak ke Ibu Kota Kabupetan : 12 KM

4) Lama jarak tempuh ke Ibu Kota Kabupaten : 30 Menit

3. Data penduduk

a. Jumlah penduduk Berdasarkan jenis kelamin

1) Kepala Keluarga : 100 KK


182
2) Laki-laki : Jiwa
6
3) Perempuan Jiwa
180

54
Jumlah Penduduk 362 Jiwa

4. Fasilitas public

a. Pendidikan

1) SD/ MI 852 Orang

2) SLTP/ MTs 627 Orang

3) SLTA/ MA 485 Orang

4) S1/ Diploma 82 Orang

5) Putus Sekolah 21 Orang

6) Buta Huruf 41 Orang

5. Keadaan Ekonomi

a. Pertanian

1) Padi sawah : 65 Ha

2) Padi Ladang : - -

3) Jagung : 4 Ha

4) Palawija : 5 Ha

5) Tembakau : - -

6) Tebu : - -

7) Kakao/Cokelat : 182 Ha

55
8) Sawit

9) Karet

b. Peternakan

1) Kambing 276 Ekor

2) Sapi 52 Ekor

3) Kerbau 112 Ekor

4) Ayam 1500 Ekor

5) Itik 700 Ekor

6) Burung - -

7) Lain-lain - -

c. Perikanan

1) Kolam Ikan 4,5 Ha

2) Tambak udang

3) Lain-lain

d. Struktur mata pencarian

1) Petani 415 Orang

56
2) Pedagang 66 Orang

3) PNS 33 Orang

4) Tukang 86 Orang

5) Guru 75 Orang

6) Bidan/ Perawat 14 Orang

7) TNI/ POLRI 6 Orang

8) Pesiunan 54 Orang

9) Sopir / Angkutan - -

10) Buruh 20 Orang

e. Pembagian Wilayah

Nama Dusun Jumlah RT

1) Dusun Pesawaran Induk Jumlah 3 RT

2) Dusun Pesawaran I Jumlah 2 RT

3) Dusun Pesawaran II Jumlah 3 RT

4) Dusun Pesawaran III Jumlah 3 RT

5) Dusun Pesawaran IV Jumlah 3 RT

6) Dusun Pesawaran V Jumlah 2 RT

7) Dusun Pantis Jumlah 2 RT

8) Tanjung Sari Jumlah 2 RT

Jumlah 20 RT

57
B. Kesepakatan Kerja Sama Antara Shohibul Mal dengan Mudharib di
Desa Pesawaran, Kecamatan Kedondong.

Salah satu bentuk kerja sama dalam menggerakkan antara pemilik

modal dan seseorang adalah bagi hasil, yang dilandasi oleh rasa tolong

menolong. Sebab ada orang yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai

keahlian dalam menjalankan roda perusahaan. Ada juga orang yang

mempunyai modal dan keahlian, tetapi tidak mempunyai waktu. Sebaliknya

ada orang yang mempunyai keahlian dan waktu, tetapi tidak mempunyai

modal. Dengan demikian, apabila ada kerja sama dalam menggerakkan roda

perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan modal

dan skill (keahlian) dipadukan menjadi satu. ada 2 pihak sebagai subjek yaitu

shahibul mal dan mudharib keterlibatan shahibul mal dalam akad ini adalah

modal. Sementara keterlibatan mudharib adalah kerja yang dia lakukan dalam

mengelola modal. Karena itulah masing-masing memiliki hak untuk

mendapatkan keuntungan, sebagaimana pula masing-masing juga memiliki

peluang terjadinya resiko kerugian. Untuk itulah keterlibatan ini tidak ada,

maka masing-masing tidak memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan.

Misalnya mudharib tidak mau berkerja, tapi semua di limpahkan ke pihak

58
ketiga yang mengerjakannya, kemudian gaji orang bekerja itu diambilkan dari

modal.

Menurut Prof. Dr. Hasan Abdul Ghani dalam risalahnya al-ahkam al-

fiqiyah al-mutaaliqah bi aqd al-mudharabah menyebutkan bahwa untuk

mengukur kerja apa yang boleh meminta bantuan orang lain dirinci menjadi 2

yaitu sebagai berikut :

1. Kerja yang tidak mungkin ditangani mudharib itu sendiri. Karena tidak

mampuannya mengelola itu atau karena factor lain, misalnya jika di

tangani mudharib bias membahayakan kelangsungan mudharabah.

Dalam hal ini, mudharib bias memperkerjakan orang lain dan upahnya

dijadikan sebagai biaya operasional mudharabah

2. Kerja yang sangat mungkin dilakukan mudharib, sehingga tidak perlu

bantuan orang lain dalam hal ini mudharib tidak boleh

memperkerjakan orang lain dan dibebankan sebagai biaya operasional

mudharabah. Dan ukuran berat dan tidaknya kerja semacam ini

kembali lagi kepada urf (Tradisi) yang berlaku di masyarakat.

Dapat dipahami bahwa bermudharabah adalah suatu kegiatan usaha

antara pemilik modal dengan pengelola modal yang hasilnya dibagi sama

rata sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati kedua belah pihak.

59
Salah satu yang termasuk bermudharabah adalah dalam sistem peternakan

karena di dalam sistem tersebut terdapat bagi hasil antara pemilik ternak

(shahibul mal) dengan pengelola ternak (mudharib). Namun tentu saja

untuk orang yang menjalankan usaha peternakan secara Islam, dituntut

menggunakan cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana

seharusnya seorang muslim berusaha dalam bidang peternakan agar

berkah dan di ridhoi allah swt di dunia dan di akhirat.

Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip

an-taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara

rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik

dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si

pelaksana usaha pun setuju dengan perannnya untuk mengkontribusikan

kerja Mudharabah dalam pandangan masyarakat desa Pesawaran

merupakan akad Bagi hasil dengan menjaminkan hewan ternak kambing

sebagai Modal usaha Ternak.

Dimana dalam praktiknya, Menurut keterangan dari narasumber yaitu

Bapak Yanto selaku pemilik kambing dalam proses awal bagi hasil

berlangsung Shahibul mal (pemilik kambing) mendatangi Mudharib

(pengelola kambing) dengan maksud bekerjasama untuk merawat

kambing tersebut dan diperjualbelikan kambing tersebut dengan harga

Rp.5.000.000 per ekor dalam Akad bagi hasil dan apabila terjual hasilnya

60
di bagi sama rata antara hak shahibul mal dan mudhorib 53, dengan bagian

hasil 1 pihak mendapatkan senilai Rp 25000.00 dari hasil penjualan

kambing tersebut.

Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama

mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila

pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung bersama,

maka akad itu batal menurut mazhab Hanafi, sebab kerugian tetap

ditanggung sendiri oleh pemilik modal, oleh sebab itu mazhab Hanafi

menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua bentuk, yaitu mudharabah

shahihah dan mudharabah faasidah.

Jika mudharabah itu fasid, maka para pekerja (pelaksana) hanya

menerima upah kerja saja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan

pedagang didaerah tersebut. Sedangkan keuntungan menjadi milik

pemilik modal (mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali). Sedangkan ulama

mazhab Maliki menyatakan, bahwa dalam mudharabah faasidah, status

pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah yaitu tetap mendapat

bagian keuntungan yang telah disepakati bersama.

C. Mudharib Memperkerjakan Pihak Ketiga di Desa Pesawaran,

Kecamatan Kedondong.
53
Katno, Pemilik Kambing (Wawancara Dengan Penulis, (Pesawaran 05 November 2021)

61
Proses awal mudharib mengapa memperkerjakan pihak ketiga tersebut

adalah dikarenakan dalam prosesnya mudharib tidak bisa mengurus

kambing dan menjualkan dikarenakan mudharib ada sebuah kerjaan yang

tidak bisa ditinggalkan yaitu sebagai petani sawah maka dari itu

Mudharib mempekerjakan pihak ketiga dalam usaha bagi hasil antara

pemilik ternak (shahibul mal) pemilik modal berupa ternak kambing dan

pengelola ternak (mudharib) si pengelola usaha ternak kambing, dengan

akad bagi hasil dari stengah hak mudharib yang diproleh dari shohibul

mal yaitu Rp 2.500.000 dibagi dua untuk pihak ketiga senilai

Rp .1.250.000.

Dalam prosesnya mudharib atau pengelola ternak melibatkan pihak

ketiga untuk melakukan kerjasama karena mudharib ini tidak bisa

mengelola ternak kambing ini dengan sendiri karena adanya pekerjaan

yang harus dilakukan dan tidak dapat digantikan yaitu mengurus

pertanian sawah.54 Tetapi pada kenyataannya masyarakat Pesawaran

Khususnya di Kecamatan Kedondong hasil yang diterima oleh Pihak

Ketiga tersebut yang didapat dari mudharib dinamakan upah bukan

disebut dengan bagi hasil sedangkan itu seharusnya bukan upah tetapi

bagi hasil.

54
Yanto, Pengelola Ternak Kambing (Wawancara Dengan Penulis, (Pesawaran 06 November 2021)

62
Merujuk kembali pada pembahasan mengenai muamalah, semua

bentuk akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia

hukumnya sah dan dibolehkan, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan umum yang ada dalam syara‟. Hal tersebut sesuai dengan

kaidah.

Menurut bapak Yudis selaku Pihak ketiga Akad kesepakatan antara

mudharib dengan pihak ketiga apabila ternak kambing tersebut terjual dan

telah diurus oleh pihak ketiga hasil nya di bagi sama rata. Mereka

menggunakan Akad bagi hasil, setelah dari hak mudharib diperoleh dari

shahibul mal atas kesepakatan bagi hasil ternak kambing dengan shahibul

mal yang mana kambing tersebut di miliki oleh shahibul mal bukan

pemilik mudharib. Tetapi masayrakat sana menyebutkan bahwasannya

bagi hasil yang diberikan mudharib kepada pihak ketiga dinamakan

upah.55

Nisbah atau keuntungan juga harus jelas Keuntungan atau nisbah

adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Keuntungan

harus dibagi secara proporsional kepada kedua belah pihak, dan proporsi

(nisbah) keduanya harus dijelaskan pada waktu melakukan kontrak.

Pembagian keuntungan harus jelas dan dinyatakan dalam bentuk

prosentase seperti 50:50, 60:40, 70:30, atau bahkan 99:1 menurut

kesepakatan bersama.
55
Yudis, Pihak Ketiga Pengelola Ternak, Wawancara dengan Penulis, (Pesawaran 07 november 2021).

63
Pada masyarakat pesawaran bentuk kerja sama yang dilakukan

mudharib kepada pihak ketiga itu sama seperti upah, sedangkan yang

dinamakan bagi hasil itu antara shohibul mal dan mudharib menurut

pengakuan masyarakat di daerah tersebut. akad awal itu antara shohibul

mal dan mudharib yaitu bagi hasil antara keduanya. Padahal bagi hasil itu

misal dalam kerja sama mendapat keuntungan senilai 1 juta rupiah, jadi

bagi hasilnya dibagi dua sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak

sedangkan upah itu berbanding terbalik dengan bagi hasil yang dilakukan

mudharib dan shohibul mal tersebut.

mengukur kerja apa yang boleh meminta bantuan orang lain dirinci

menjadi 2 yaitu sebagai berikut :

3. Kerja yang tidak mungkin ditangani mudharib itu sendiri. Karena tidak

mampuannya mengelola itu atau karena factor lain, misalnya jika di

tangani mudharib bias membahayakan kelangsungan mudharabah.

Dalam hal ini, mudharib biasa memperkerjakan orang lain dan

upahnya dijadikan sebagai biaya operasional mudharabah.

4. Kerja yang sangat mungkin dilakukan mudharib, sehingga tidak perlu

bantuan orang lain dalam hal ini mudharib tidak boleh

memperkerjakan orang lain dan dibebankan sebagai biaya operasional

mudharabah. Dan ukuran berat dan tidaknya kerja semacam ini

kembali lagi kepada urf (Tradisi) yang berlaku di masyarakat.

64
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama

mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila

pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung

bersama, maka akad itu batal menurut mazhab Hanafi, sebab kerugian

tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal, oleh sebab itu mazhab

Hanafi menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua bentuk, yaitu

mudharabah shahihah dan mudharabah faasidah, karena sesuai dengan

kesepakatan awal bahwa shohibul mal melakukan kerja sama dengan

mudharib yaitu ternak kambing yang hasil dibagi dua sesuai

kesepakatan aal tanpa adanya pihak ketiga yang mebuat nisbah atau

keuntungan ini menjadi tidak jelas.

mazhab Hanafi menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua

bentuk, yaitu mudharabah shahihah dan mudharabah faasidah. Jika

mudharabah itu fasid, maka para pekerja (pelaksana) hanya menerima

upah kerja saja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang

didaerah tersebut. Sedangkan keuntungan menjadi milik pemilik

modal (mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali). Sedangkan ulama

mazhab Maliki menyatakan, bahwa dalam mudharabah faasidah, status

pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah yaitu tetap mendapat

bagian keuntungan yang telah disepakati bersama.

65
BAB IV

ANALISA DATA

A. Praktik Mudharib mempekerjakan pihak ketiga dalam kerjasama bagi


hasil ternak Kambing Pada Peternak Yanto di Desa Pesawaran,
Kecamatan Kedondong, Kabupataen Pesawaran.
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil wawanacara bahwasannya adalah,

data kepustakaan dan dari sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan

judul penelitian yaitu : Tinjauan Hukum Islam Tentang Mudharib

Mempekerjakan pihak ketiga Dalam Kerjasama Bagi Hasil Ternak

Kambing (Studi Pada Peternak Yanto di Desa Pesawaran, Kecamatan

Kedondong, Kabupaten Pesawaran). Praktik yang dilakukan masyarakat

pesawaran dalam ternak kambing yang terdiri dari shohibul mal (pemilik

kambing) dan mudharib (pengelola kambing), dimana pemilik kambing

meminta bantuan atau melakukan kerja sama dengan mudharib atau pengelola

untuk merawat kambingnya, dan setelah terjual hasil dibagi dua sesuai

kesepakatan bersama tetapi dikarenakan mudharib menggunakan pihak ketiga

dalam kerja sama bagi hasil antara shohibul mal dan mudharib tersebut maka

pembagian hasil yang harusnya Rp 5000.000 juta rupiah dibagi dua, mudharib

membaginya lagi dari Rp 2500.000 menjadi Rp 1.250.000 untuk pihak ketiga

dan pada masyarakat pesawaran pembagian dari mudharib kepada pihak

66
ketiga dinamakan upah sedangkan dalam islam upah itu berbeda dengan bagi

hasil.

Keuntungan harus dibagi secara proporsional kepada kedua belah pihak,

dan proporsi (nisbah) keduanya harus dijelaskan pada waktu melakukan

kontrak. Pembagian keuntungan harus jelas dan dinyatakan dalam bentuk

prosentase seperti 50:50, 60:40, 70:30, atau bahkan 99:1 menurut kesepakatan

bersama.

Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-

taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela

bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana

setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si

pelaksana usaha pun setuju dengan perannnya untuk mengkontribusikan kerja.

Dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah

akad (perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memproleh harta dalam

syariat Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad

merupakan cara yang diridhoi Allah swt dan harus ditegakkan isinya.

Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus dalam akad mudharabah.

Nisbah ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh shahibul mal

ataupun mudharib. Shahibul mal mendapatkan imbalan dari penyertaan

modalnya, sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari kerjanya. Tetapi

disini pembagian hasilnya terdapat gharar (ketidakpastian) dikarenakan

67
mudharib menggunakan pihak ketiga untuk merawat kambing tersebut bukan

dengan bagi hasil tetapi membayar upah, pentingnya akad dan ijab qabul

sebelum meksanakan kerja sama itu penting, jadi bisa ditentukan bahwa itu

mudharabah atau ijarah dan ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal yaitu

bagi hasil.

Jumhur ulama’ menetapkan bahwa pengelola usaha tidak boleh

melakukan akad mudharabah lagi dengan orang lain dengan uang tersebut,

karena modal (uang) yang diberikan kepadanya merupakan amanah.

Sementara penyerahan modal oleh pengelola kepada pihak (orang) lain

merupakan bentuk pengkhianatan yang nantinya akan merugikan pemberi

modal yang sebenarnya, karena apabila akad mudharabah telah terjadi dan

pekerja telah menerima modalnya, maka usaha yang dilakukan adalah amanat

yang harus dijaga sebaik-baiknya.

B. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam tentang mudharib Memperkerjakan


pihak ketiga dalam kerjasama bagi hasil ternak kambing Pada Peternak
Yanto di Desa Pesawaran, Kecamatan Kedondong, Kabupaten
Pesawaran.

Manusia hidup pasti membutuhkan pertolongan satu dengan yang lainnya

oleh karena itu kita sering melakukan kerja sama antara satu, dua bahkan 3

orang sekalipun, dalam kerja sama ini penggarap membantu pemilik lahan

untuk merawat serta menjaga lahan tersebut dengan baik. Penggarap pun sama

membutuhkan pekerjaan yang akan membantu perekonomian keluarganya.

68
Jelas disini bahwa manusia sama-sama membutuhkan dalam urusan dunia.

Ada seseorang yang bingung mencari pekerjaan jadi ketika mendapat

pekerjaan dengan hasil berapapun diterima asal menutupi kebutuhan

keluarganya dibandingkan harus menganggur tanpa mendapatkan sesuatu.

Sighat (ijab dan qabul) Sighat harus diucapkan oleh kedua pihak untuk

menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam

melakukan sebuah kontrak atau kerja sama. Sama hal nya dengan shohibul

mal atau pemilik kambing tersebut dan mudharib atau pengelola kambing

tersebut kesepakatan di awal bagi hasil bagiamana dan apakah ada pihak

ketiga atau tidaknya, Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka

menurut ulama mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak).

Jumhur ulama’ menetapkan bahwa pengelola usaha tidak boleh

melakukan akad mudharabah lagi dengan orang lain dengan uang tersebut,

karena modal (uang) yang diberikan kepadanya merupakan amanah.

Sementara penyerahan modal oleh pengelola kepada pihak (orang) lain

merupakan bentuk pengkhianatan yang nantinya akan merugikan pemberi

modal yang sebenarnya, karena apabila akad mudharabah telah terjadi dan

pekerja telah menerima modalnya, maka usaha yang dilakukan adalah amanat

yang harus dijaga sebaik-baiknya. Maka dari itu mudharib menjaga

kepercayaan yang diberikan shohibul mal yang berupa kerja sama bagi hasil

dalam ternak kambing tersebut dan menjaga amanah dengan sebaik-

69
baiknya.karna takutnya ada ketidakjelasan dalam pembagian hasil yang

dilakukan antara pihak-pihak yang terkait dalam kerja sama tersebut.

Apabila dia tidak mengusahakan dengan baik, maka dia harus

menanggung resiko yang ada, termasuk mengganti modal tersebut jika

mengalami kerugian. Maka dari itu seharusnya mudharib menjaga amanah

dari pemilik kambing jangan sampai yang harusnya bagi hasil antara

keduanya tetapi melakukan kerja sama lagi oleh pihak ketiga walaupun

masyarakat sana menamai nya dengan upah. Sesuai dengan firman Allah

SWT

         

             

 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan

yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu.Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan

membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri

sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. (QS An-Nisaa 29)

70
Hikmah disyariatkannya mudharabah adalah untuk memberikan

kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan hartanya dan sikap

tolong menolong di antara mereka, selain itu, guna menggabungkan

pengalaman dan kepandaian dengan modal untuk memperoleh hasil yang

terbaik.

Dapat dipahami bahwa bermudharabah adalah suatu kegiatan usaha

antara pemilik modal dengan pengelola modal yang hasilnya dibagi sama rata

sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati kedua belah pihak. Salah

satu yang termasuk bermudharabah adalah dalam sistem peternakan karena di

dalam sistem tersebut terdapat bagi hasil antara pemilik ternak (shahibul mal)

dengan pengelola ternak (mudharib). Namun tentu saja untuk orang yang

menjalankan usaha peternakan secara islam, dituntut menggunakan cara

khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang

muslim berusaha dalam bidang peternakan agar berkah dan di ridhoi allah swt

di dunia dan di akhirat.

Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-

taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela

bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana

setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si

pelaksana usaha pun setuju dengan perannnya untuk mengkontribusikan

kerjaDengan sistem mudharabah pemilik modal mendapat keuntungan dari

71
modalnya, sedangkan tenaga kerja (skill) mendapat upah dari pekerjaan itu,

bisa juga bahwa tenaga kerja tidak mendapat upah tetapi mendapatkan

sebagian keuntungan dari hasil usahanya itu.

Persentase juga di tetapkan atas kesepakatan. bersama. Sewaktu

menandatangani surat perjanjian kerja sama. Kontrak mudharabah dengan

bentuk kedua ini sebenarnya memberi kesan yang amat baik bagi tenaga kerja,

karena mereka merasa puas mendapatkan keuntungan dari kerjasama itu. Hal

ini merupakan motivasi yang amat kuat bagi mereka sehingga bekerja lebih

giat untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak pula. Para tenaga kerja

(skill) merasa memiliki usaha yang mereka jalankan itu.

Dengan demikian sistem mudharabah ini masing-masing pihak

mempunyai hak yang ditetapkan bersama, sehingga kemungkinan terjadi

pelanggaran amat kecil.

BAB V
KESIMPULAN

72
A. Kesimpulan

1. Bagaimana praktik mudharib memperkerjakan pihak ketiga dalam kerjasama

bagi hasil ternak kambing Pada Peternak Yanto di Desa Pesawaran,

Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran bahwasannya praktik yang

dilakukan pada masyarakat pesawaran tersebut adalah shohibul mal (pemilik

kambing) dan mudharib (pengelola) melakukan kerja sama bagi hasil dalam

perawatan kambing dan ketika kambing sudah dijual maka hasil dibagi dua

Rp 5000.000 menjadi Rp 2.500.000 per orang tetapi dari mudharib

menggunakan pihak ketiga yang membantu dalam merawat kambing tersebut

dan pembagian dari mudharib tersebut dibagi lagi dengan pihak ketiga senilai

Rp 1.250.000 tetapi yang berbeda dari mudharib ini dinamakan upah bukan

kerja sama bagi hasil.

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam tentang mudharib Memperkerjakan pihak

ketiga dalam kerjasama bagi hasil ternak kambing Pada Peternak Yanto di

Desa Pesawaran, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran adalah

menurut hukum islam itu sah karna sudah terpenuhi syarat dan rukun kerja

sama tetapi seharusnya mudharib menjaga amanah yang disampaikan oleh

shohibul mal(pemilik kambing) jangan sampai ada pembagian hasil yang

ghrarar atau tidak pasti dan juga mudharib seharusnya menjaga kepercayaan

dari shohibul mal itu sebaik baiknya, dan antara mereka akad awal itu bagi

hasil bukan upah karena upah dan bagi hasil itu tidak sama.

73
B. Rekomendasi

Untuk para pelaku usaha sebaiknya menjaga amanah sebaik-baiknya

dalam melakukan kerja sama, jangan sampai kerja sama tersebut dapat

merugikan salah satu pihak, dan juga menghindari unsur kerja sama tersebut

tidak ada kejelasan dan terdapat unsur gharar karna pada dasarnya manusia

akan membutuhkan satu sama dengan yang lainnya maka hendaklah tolong

menolong dalam berbuat kebaikan agar di Ridhoi oleh Alla SWT.

74

Anda mungkin juga menyukai