Anda di halaman 1dari 41

PRAKTIK SEWA MENYEWA TANAH LAHAN PERTANIAN

DALAM KEADILAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


(STUDI KASUS DESA GUNUNG RAYA KECAMATAN
MARGA SEKAMPUNG KABUPATEN
LAMPUNG TIMUR)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Proposal Pembuatan Tugas Akhir/Skripsi


Sarjana Strata Satu Program Studi Hukum Keluarga Islam
(HKI) Universitas Islam An-Nur Lampung

OLEH

DEDI HARAPAN
NIM. 2027103010038

FAKULTAS SYARI’AH PROGRAM STUDI HUKUM


KELUARGA ISLAM UNIVERSITAS
ISLAM AN-NUR UNISAN LAMPUNG
TAHUN 2023
2

KATA PENGANTAR

Segala Puja dan Puji hanya bagi Allah SWT atas berkat Hidayah dan

Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul

“Praktik Sewa Menyewa Tanah Lahan Pertanian Dalam Keadilan Menurut

Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Desa Gunung Raya Kecamatan Marga

Sekampung Kabupaten Lampung Timur)”.

Selama menyusun proposal skripsi ini, penulis banyak mendapatkan

bimbingan, dorongan dan batuan dari berbagai pihak, sehingga proposal skripsi

ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang penulis harapkan.

Walaupun demikian, penulis menyadari masih banyak terdapat

kejanggalan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan

saran yang sifatnya membangun sehingga proposal skripsi ini dapat

mempermudah penulis dalam menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat

menyelesaikan studi.

Akhirnya kepada Allah jalan kita menyerahkan diri semoga rahmat dan

kasih sayang-Nya selalu dilimpahkan kepada kita semuanya.

Jati Agung, 20 Agustus 2023


Penulis,

Dedi Harapan
3

BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan adalah syarat dasar manusia dalam kehidupan, setiap

manusia membutuhkan makanan, air, udara, pakaian dan tempat tinggal untuk

bertahan hidup. Diluar kebutuhan akan makanan, air, udara, pakaian dan

tempat tinggal, manusia juga mempunyai keinginan yang kuat untuk rekreasi,

hiburan, pendidikan, dan lain sebagainya. Setiap manusia mempunyai pilihan

akan macam dan merek tertentu dari barang dan jasa yang mereka butuhkan

dan inginkan.1

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan antara

satu sama lain. Manusia memerlukan kerja sama yang saling menguntungkan

antar manusia lainnya, guna untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Baik itu dalam rangka kegiatan sosial, politik maupun ekonomi. Oleh karena

itu manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia

merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berinteraksi antara satu

dengan yang lainnya. Dari interaksi tersebut akan timbul hubungan timbal

balik yang akan tercapai sebuah tatanan hidup yang komplek dan

memerlukan aturan hukum yang mengatur hubungan antar manusia, hal ini

dikenal dengan istilah Fiqih Muamalah.2

1
Nurul Huda, dkk, Pemasaran Syariah Teori dan Aplikasi, Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2017),
hlm.1
1 2
Nina Anggraini, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Praktek Sewa Menyewa
Tanah Sawah dalam Sistem Tahunan dan Oyotan,” Skripsi (Lampung: IAIN Metro Lampung, 2018),
hlm. 1
4

Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (ganti).

Menurut pengertian syara, al-ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil

manfaat dengan jalan pengganti. Al- ijarah adalah akad pemindahan hak guna

atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan

pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri, Menurut Fatwa Dewan

Syarah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah merupakan akad

pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu

tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan

kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada

perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang

menyewakan kepada penyewa.3

Secara terminologi pengertian Ijarah adalah sebagaiamana yang

dikemukakan oleh para ulama antara lain:

Menurut Ulama Syafi‟iyyah Ijarah adalah


“Akad suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,

serta menerima penganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”.4

Menurut Ulama Malikiyyah :

“Nama bagi akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk
Sebagian yang dapat dipindahkan”.5

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sewa menyewa

adalah suatu akad yang berarti pengambilan manfaat sesuatu dengan jalan

3
Harun Santoso dan Anik, “Analisis Pembiayaan Ijarah Pada Perbankan Syariah,” Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam, Vol: 1 No.2 (Juli 2015), hlm. 107
4
Muhammad al-khathib asy-sarbini, Mughni Al-Muhtaj, (Beirut-Lebanon: Daar Ihyau At-
Taurats Al-Arabi), Juz II, hlm. 323
5
Abd. Al-Rahman al-Jahiri, Fiqih „Ala Madzahibil Arba‟ah,(Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubro,
1969) juz III, hlm.94-97
5

memberikan imbalan dalam jumlah tertentu sesuai dengan perjanjian.6

Dalam buku Fikih muamalah disebutkan pengertian fiqih menurut

Muhammad Yusuf Musa adalah salah satu bidang ilmu di dalam syariat Islam

yang secara khusus membahas persoalan tentang hukum yang mengatur

berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi,

bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Fikih

membahas tentang bagaimana cara beribadah, tentang prinsip rukun Islam

dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam

Al- Qur'an dan Sunnah.7

Dasar hukum Ijarah :

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,


yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”.8

Dasar Hukum di perbolehkannya akad Ijarah terdapat dalam

Al- Qur‟an dan Al-Hadist Nabi Muhammad SAW.

6
Lolyta, “Sewa Menyewa Tanah Menurut Ibnu Hazm dalam Perspektif Fiqih Muamalah,”
Jurnal Hukum Islam, Vol. 14 No.1, (November 2014), hlm. 129
7
Farida Nuraeni dan Dewi Tresnawati, ”Pengembangan Aplikasi Fiqih Jual Beli, Hutang
Piutang dan Riba dengan Menggunakan Sistem Multimedia,” Jurnal Algoritma, Vol. 12 No. 1,
(2015), hlm. 93
8
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2): 233
6

“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “wahai ayahku !
jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling
baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
dan dapat di percaya”9
Sedangkan di dalam Hadist Nabi Muhammad SAW. Dijelaskan

bahwa memberikan ujrah (upah) pada orang yang bekerja pada kalian,

perintah Nabi Muahammad SAW. Berikanlah ujrah (upah) pekerja sebelum

keringatnya kering, Nabi Muhammad saw. Bersabda;

“Rasulullah SAW, bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya


kering” 10

Desa Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten

Lampung Timur merupakan suatu Desa yang penduduknya memiliki lahan

pertanian cukup luas, mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani, dan

untuk memenuhi kebutuhan setiap hari dengan hasil pertanian, namun tidak

semua masyarakat bekerja sebagai petani, ada yang bekerja sebagai guru,

buruh pabrik, tenaga borongan, kuli dan masih banyak lagi.

Dalam melakukan kegiatan bertani, tidak semua masyarakat memiliki

lahan pertanian yang dapat dikelola sendiri, tetapi dapat juga dengan

menyewa lahan pertanian orang lain, kebiasaan masyarakat Desa Gunung

Raya adalah menyewakan lahannya dengan sistem tahunan, artinya dalam

sistem ini penyewaan lahan dilakukan selama masa waktu yang telah

ditentukan, atau di dalam masyarakat sering menyebutnya dengan sistem

gebal.

Sitem gebal merupakan penyewaan lahan yang dilakukan oleh pemilik

9
Al-Qashash (385): 26
10
Jamaluddin, “Elastisitas Al-Ijarah (Sewa-menyewa) Dalam Fiqih Muamalah Perspektif Ekonomi
Islam,” Jurnal At-Tanwil, Vol. 1 No. 1 (Maret 2019), hlm. 26.
7

lahan kepada calon penyewa, dimanaa pemilik menyewakan lahannya dalam

jangka waktu yang cukup lama, banyak masyarakat yang menyewakan

lahannya dalam masa sewa 5 tahun sampai 10 tahun, maka kepemilikan

selama masa waktu yang telah ditentukan di pegang oleh penyewa, dimana

penyewa berhak untuk mengelola lahan tanpa adanya campur tangan dari

pihak pemilik lahan. Dalam praktiknya sewa menyewa dengan sistem gebal

menjadikan harga sewa menjadi rendah hal ini dikarenakan pihak penyewa

yang merasa pengerjaan masih menunggu waktu yang sangat lama. Dimana

penentuan harga pihak pemilik menawarkan harga kepada penyewa, tetapi

Ketika penyewa tidak setuju dengan harga yang ditawarkan maka dapat

melakukan tawar menawar terkait harga sewa tersebut, kebanyakan yang

terjadi pihak penyewa menawar atau menego harga sewa dengan harga yang

sangat rendah, sampai terjadilah kesepakatan terhadap harga sewa lahan.

Harga sewa yang berlaku dalam masyarakat setempat ketika lahan

tersebut disewakan dalam waktu 1 tahun maka dapat disewakan dengan harga

Rp.3000.000, ketika petani menyewakan lahannya selama 10 tahun yang

mana petani tersebut seharusnya mendapatkan untung sebesar Rp.

30.000.000 tetapi dalam praktiknya petani tersebut hanya mendapatkan

untung sebesar Rp.12.000.000 dari lahan yang disewakan selama 10 tahun.

Praktik sewa-menyewa dilakukan karena adanya kebutuhan yang

sangat mendesak, maka masyarakat melakukan sewa menyewa tersebut.

Dalam perjanjian tersebut pemilik menyewakan lahan sehingga mendapatkan

uang, dan penyewa tersebut mendapatkan lahan untuk digarap dalam kurun

waktu yang sudah ditentukan dan hasil panen dimiliki oleh penyewa lahan
8

tersebut. Setelah perjanjian sewa menyewa selesai maka lahan tersebut akan

kembali lagi ke pihak pemilik lahan.

Dari latar belakang di atas penyusun tertarik untuk mengadakan

penelitian dan membahas tentang Praktik sewa menyewa lahan sistem Gebal

di Desa Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung

Timurserta bagaimana sistem Keadilan dalam kegiatan sewa menyewa

tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan

permasalahan sebegai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan praktik sewa meyewa lahan dengan sistem Gebal

di Desa Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung Timur?

2. Bagiamana motivasi mengenai praktik sewa menyewa yang terjadi di Desa

Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung Timur?

3. Bagaimana dampak terhadap praktik sewa menyewa yang terjadi di Desa

Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung Timur?

4. Bagaimana pandangan keadilan dalam hukum islam mengenai sewa

menyewa lahan di masyarakat Desa Gunung Raya Kecamatan Marga

Sekampung Kabupaten Lampung Timur?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui praktik pelaksanaan sewa menyewa lahan di Desa

Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung Timur

.
9

2. Untuk mengetahui motivasi pihak penyewa dan pemilik lahan terkait

dengan pelaksaan sewa menyewa lahan.

3. Untuk mengenai dampak terkait praktik sewa menyewa yang terjadi di

Desa Ngijo Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung Timur

4. Untuk mengetahui pandangan keadilan dalam Hukum Islam dalam praktik

sewa menyewa lahan di Desa Gunung Raya Kecamatan Marga

Sekampung Kabupaten Lampung Timur .

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum dalam masyarakat pada

umumnya.

2. Kegunaan Praktis, dengan adanya penelitian ini kita dapat memperkaya

ilmu tentang pengetahuan hukum terhadap permasalahan yang

menyangkut dengan sewa menyewa lahan

3. Gebal pada masyarakat Desa Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung

Kabupaten Lampung Timur .

E. Penegasan Istilah

1. Sewa menyewa (Ijarah) adalah Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa

atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu

tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.11

2. Sewa lahan sistem Gebal penyewaan lahan di lakukan selama satu tahun

11
Laila Nur Amalia, “Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Penerapan Akad Ijarah Pada Bisnis Jasa
Laundry,” Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 5 No. 2 (2015), hlm. 167.
10

atau dalam masa waktu yang telah ditentukan tanpa adanya pemindahan

hak kepemilikan, dengan tiga kali tanam (tancep) yang menghasilan

tiga kali panen.

3. Keadilan atau al- a‟dalah adalah penerapan prinsip keadilan dalam

bidang muamalah yang bertujuan agar harga tidak hanya dikuasai oleh

segelintir orang saja, tetapi harus di distribusikan secara merata diantara

masyarakat.12

4. Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, perintah-perintah

Allah yang mengatur seluruh perilaku kehidupan orang Islam dalam

seluruh apeknya13

12
Miko Polindi, “Filosofi dan Perwujudan Prinsip Tauhidullah dan Al-„adalat dalam Ijarah dan
Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT)”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1 No.1, hlm : 19
13
Rohidin,”Pengantar Hukum Islam dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia,”
(Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2017), hlm. 4.
1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Ijarah (Sewa-menyewa)

a. Pengertian Ijarah (Sewa-menyewa)

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadh

(ganti), dari sebab itu ats-tsawab (pahala) dinamai ajru atau upah.14

Sedangkan Ijarah menurut bahasa adalah upah, sewa, jasa atau

imbalan.15 Sedangkan menurut pengertian syara’ sewa menyewa

(Ijarah) adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan

jalan penggantian.16 Syari‟at Islam menganjurkan manusia untuk

mengadakan sewa menyewa (Ijarah), untuk melaksanakannya harus

diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang mengatur tentang

sewa menyewa (Ijarah). Dengan demikian hukum sewa menyewa

(Ijarah) layak untuk diketahui, karena tidak ada bentuk kerja sama

yang dilakukan manusia diberbagai tempat dan waktu yang berbeda,

kecuali hukumnya telah ditentukan dalam Syari’at Islam.17

Dalam bahasa yang lain, Ijarah adalah sewa menyewa yang

jelas manfaat dan tujuannya, dapat diserah terimakan, boleh dengan

ganti (upah) yang telah diketahui. Pemilik yang menyewakan manfaat

disebut mu’jir (orang yang menyewakan) sedangkan pihak lain yang

14
Sri Sudiarto, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Sumateta Utara: FEBI UIN-SU Press,2018), hlm.
193.
15
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003),hlm. 227
16
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung: PT al-Ma‟arif, 1987), hlm. 15.
17
Saleh al-Fauzan, Fikih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 481.
1

memberikan sewa disebut musta‟jir (orang yang menyewa/penyewa)

dan sesuatu yang diakadkan untuk diambil manfaatnya disebut ma‟jur

(sewaan), sedangkan jasa yang diberikan sebagai akad Ijarah telah

berlangsung terhadap yang menyewakan yang berhak mengambil

upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad ini

disebut pula mu‟adhah (pengganti).18

Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

perbankan syariah pada penjelasan pasal 19 huruf F, akad Ijarah

merupakan akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak

guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi

sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu

sendiri.19Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional

No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah Akad pemindahan hak guna

(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui

pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan

barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad Ijarah tidak ada

perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari

yang menyewakan kepada penyewa.20 Menurut istilah para ulama

berbeda-beda dalam mendefinisikan Ijarah:

18
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.194
19
Dr. Sri Sudiarto, MA, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Sumateta Utara: FEBI UIN-SU
Press,2018), hlm. 198.
20
Fatwa DSN NO.09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.
1

a. Menurut Ulama Hanafiah, bahwa Ijarah adalah akad untuk

memungkinkan kepemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja

dari suatu zat yang disewakan dengan imbalan.

b. Menurut Ulama Syafi‟iyah, Ijarah adalah transaksi

terhadap manfaat yang diinginkan secara jelas harta yang bersifat

mudah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu.

c. Menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, Ijarah adalah menjadi

milik suatu kemanfaatan yang mudah dalam waktu tertentu dengan

pengganti.

d. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa Ijarah adalah akad yang

objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu

pemilikan manfaat dengan imbalan sama menjual manfaat.21

Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau

jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan

pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu

sendiri22, dengan demikian Ijarah itu merupakan akad yang

melibatkan dua pihak, yaitu penyewa (musta‟jir) sebagai orang yang

mengambil manfaat dengan perjanjian yang ditentukan oleh syara‟,

sedang pihak yang menyewakan (mu‟jir) yaitu orang yang

memberikan barang untuk diambil manfaatnya dengan penggantian

atau tukaran yang telah

21
Sriono, “Telaah Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa (Al-Ijarah) dalam Perbankan Syari‟ah,”
Jurnal Ilmiah Advokasi, Vol. 1 No. 1 (Maret 2013), hlm. 91-92.
22
M Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 117.
2

ditentukan oleh syara‟. Sedangkan uang sewa atas imbalan

pemakaian manfaat barang disebut dengan ujrah.23

b. Dasar Hukum Ijarah

Sewa menyewa atau Ijarah merupakan salah satu praktik

bermuamalah yang dilakukan manusia dalam kehidupannya. Islam

sangat menganjurkan kepada umat manusia untuk saling bekerjasama.

Karena mustahil manusia hidup berkecukupan tanpa saling tolong

menolong dengan manusia lain, pada dasarnya merupakan salah satu

cara untuk memenuhi hajat manusia, oleh sebab itu para ulama

menilai bahwa Ijarah merupakan suatu hal yang boleh dilakukan.24

Para Ulama Fiqih mengatakan bahwa dasar hukum diperbolehkannya

akad sewa- menyewa adalah Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟

para ulama. Beberapa uraian mengenai dasar hukum dari sewa-

menyewa diantaranya yaitu:

a. Dalam Al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan

tentang sewa-menyewa, diantaranya terdapat dalam surat Al-

Qur‟an yang berbunyi :

“Apabila mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami


telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan kami telah meninggalkan, sebahagia mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”25

23
Chairuman, pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam,( Jakarta: Sinar Grafika, 1994)
24
Lolyta, “Sewa Menyewa Tanah Menurut Ibnu Hazm Dalam Perspektif Fiqih Muamalah,” Jurnal
Hukum Islam, Vol. 14 No.1 (November 2014), hlm: 129.
25
Az-Zukhruf (43): 32.
2

“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya


kering” 26

Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar merupakan dalil

lain diperbolehkannya akad Ijarah. Menurut Ibnu Hajar,

kedudukan hadist ini adalah lemah. Hadist ini memerintahkan

kepada penyewa untuk memberikan upah orang yang disewa

sebelum kering keringatnya. Hadist ini memberikan sebuah etika

dalam melakukan akad Ijarah, yakni memberikan pembayaran

upah secepat mungkin.27

Dari Rafi bin khudaij, dia berkata,”tadinya kami adalah orang-


orang anshar yang paling luas ladangnya dan kami menyewakan
tanah, dengan ketentuan, kami mendapatkan hasil dari lahan itu
dan mereka (para penggarap) mendapatkan hasil dari lahan yang
lain, padahal boleh jadi lahan ini mengeluarkan hasil dan lahan
yang lain tidak mengeluarkan hasil. Lalu beliau melarang kami
melakukan hal itu, Adapun untuk uang, belai tidak melarang
kami”.28

Kesimpulan dari hadist di atas :

1) Diperbolehkan sewa-menyewa tanah untuk ditanami.

2) Uang sewa harus jelas, dan tidak sah jika tidak diketahui secara

jelas

3) Larangan memasukkan syarat yang bathil dalam perjanjian

sewa- menyewa, seperti menetapkan lahan sewa tertentu dari

tanaman

26
Hendi Suhendi, “Fiqih Muamalah”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 116
27
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqih Muamalah”, Cet-3 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2015), hlm. 156
28
Abdullah Bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah hadist pilihan Bukhari-Muslim, Di
Terjemahkan Oleh Kathur Suhardi, Dari Judul Asli Taisirul- Allam Syarh Umdatul-Ahkam,
(Jakarta: PT. Darul Falah, 2011) Cet.10, hlm. 796, Hadist No 282
2

dan mengkhususkan lahan di pinggir saluran sungai atau

sejenisnya dari lahan tanaman yang subur bagi pemilik tanah,

maka yang demikian itu merupakan muzara‟ah atau ijarah

yang tidak sah, karena di dalamnya terkandung gharar,

ketidakjelasan dan kezhaliman bagi salah satu pihak, padahal

dasarnya harus keadilan dan persamaannya, yang boleh di

lakukan ialah dengan sewa tertentu terhadap sewa lahan tanah,

atau dengan sistem muzara‟ah, yang kedua belah

pihak memiliki kedudukan yang sama, baik hasil maupun

kerugian.29

b. Kemudian dalam Ijma‟ para ulama pada zaman sahabat telah

sepakat akan kebolehan akad Ijarah, hal ini di dasari pada

kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa tertentu seperti halnya

kebutuhan akan barang. Ketika akad jual beli diperbolehkan, maka

terdapat suatu kewajibann untuk membolehkan akad Ijarah atas

manfaat/jasa. Karena pada hakikatnya, akad Ijarah juga merupakan

akad jual beli, namun dengan objek manfaat/jasa, dengan adanya

Ijma‟ akan memperkuat keabsahan akad Ijarah.30

c. Macam-macam Ijarah

Akad sewa menyewa merupakan perjanjian yang bersifat

konsensual, perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat

sewa menyewa berlangsung, maka pihak yang menyewakan (mu‟ajir)

29
Ibid, hlm. 798-799
30
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqih Muamalah” Cet-3 , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), hlm. 158
2

berkewajiban untuk menyerahkan barang (ma‟jur) kepada pihak

penyewa (musta‟jir) dan dengan di serahkan manfaat barang atau

benda maka pihak penyewa berkewajiban untuk menyerahkan uang

sewa.31

a. Ijarah A‟mal atau asykhas

yaitu akad sewa atas jasa/pekerjaan seseorang, Ijarah yang

digunakan untuk memperoleh jasa dari seseorang dengan

membayar upah atas jasa yang diperoleh, pengguna jasa disebut

mustajir dan pekerja disebut mu‟ajir dan upah yang diberikan

disebut ujrah (fee)49

b. Ijarah Ayn (muthlaoqoh) atau ‘ala al-a’yan

yaitu akad sewa atas manfaat barang, Ijarah yang di gunakan untuk

penyewaan aset dengan tujuan untuk mengambil manfaat aset.

Objek sewa dari Ijarah ini adalah barang dan tidak ada klausul

yang memberikan pilihan kepada penyewa untuk membeli aset

selama masa sewa atau pada masa akhir masa sewa.32

c. Ijarah Muntahiya bittamlik

Yaitu transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dengan

penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang di

sewakan dengan obsi perpindahan hak milik objek sewa baik

dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai

dengan akad. Akad ijarah atas manfaat barang yang disertai

dengan janji

31
Hasan, M. Ali, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah)”, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003)
32
Ibid, hlm. 115-116
2

pemindahan hak milik atas barang sewa kepada penyewa, setelah

selesai atau diakhirinya akad ijarah.33

d. Ijarah maushufah fi al-dzimmah

Akad ijarah atas manfaat suatu barang dan/ jasa („amal) yang pada

saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas

dan kualitas)34

e. Ijarah Tasyghiliyyah

yaitu akad Ijarah atas manfaat barang yang tidak disertai dengan

janji pemindahan hak milik atas barang sewa kepada penyewa. 35

Sedangkan dilihat dari objeknya, akad al-Ijarah dibagi menjadi

dua, yaitu:

Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko,

kendaraan, pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan

manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para

ulama fiqih sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa

menyewa.

f. Ijarah yang bersifat pekerjaan yaitu dengan cara memperkerjakan

seorang untuk melakukan suatu pekerjaan, Al- Ijarah seperti ini

menurut para ulama fiqih hukumnya boleh, apabila jenis pekerjaan

itu jelas.36

d. Rukun dan Syarat Ijarah

33
Ibid, hlm. 115-116
34
Ibid, hlm. 115-116
35
Ibid, hlm. 115-116
36
Rosita Tehuayo, “Sewa Menyewa (Ijarah) dalam Sistem Perbankan Syariah”, Jurnal Tahkim,
Vol. XIV No. 1, (Juni 2018), hlm. 90.
2

Syarat yang berkaitan dengan para pihak yang melakukan akad

yaitu berakal. Dalam akad Ijarah tidak dipersyaratkan mumayiz.

Dengan adanya syarat ini maka transaksi yang dilakukan oleh orang

gila maka tidak sah, menurut Hanafiah dalam hal ini tidak di

isyaratkan baligh, transaksi yang dilakukan anak kecil yang sudah

mumayiz adalah hukumnya sah. Menurut malikiyah, mumayiz adalah

syarat bagi pihak yang melakukan akad jual beli dan Ijarah.

Sementara baligh adalah syarat bagi berlakunya akibat hukum Ijarah

(syuruth al- nafadz). Sementara kalangan Hanafiah dan Hambaliyah

menjelaskan bahwa syarat bagi para pihak yang melakukan akad

adalah baligh dan berakal. Beberapa syarat-syarat sah pada akad

Ijarah :

a. ‘Aqid terdiri atas mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan

akad sewa menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah orang

yang menerima upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah

orang yang memberi upah untuk melakukan susuatu, di syaratkan:

1) Mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan

tasarruf (mengendalikan harta) dan saling meridhoi. Bagi orang-

orang yang berakad Ijarah, di isyaratkan juga mengatahui

manfaat barang yang di akadkan dengan sempurna, sehingga

dapat mencegah terjadinya perselisihan.37

2) Ada kerelaan pada kedua belah pihak atau tidak ada paksaan.

Orang yang sedang melakukan akad Ijarah berada pada posisi

37
Ruf‟ah Abdullah, Fikih Muamlah, (Bogor: Ghaila Indonesia, 2011), hlm. 170.
3

bebas untuk berkehendak, tanpa ada paksaan salah satu atau

kedua belah pihak oleh siapapun.38

b. Sighat akad berupa ijab dan qabul harus berupa pernyataan

kemauan dan niat dari dua pihak yang melakukan akad, baik secara

verbal maupun bentuk lain.39

c. Ujarah, diiyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak,

baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah mengupah.40

d. Manfa’ah (manfaat) yang menjadi objek Ijarah harus diketahui

secara jelas41

Menurut Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar,

Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq dan Dr. Muhmmad

bin Ibrahim Al-Musa. Dapat disimpulkan syarat-syarat dalam

melakukan Ijarah Sebagai berikut:

1) Ijarah dilakukan oleh orang yang mempunyai hak tasharruf

(membelanjakan harta). Syarat ini berlaku bagi semua jenis

mu’amalah.

2) Manfaat yang disewakan harus jelas.

3) Upah nya harus diketahui sejak awal.

4) Manfaat dalam Ijarah adalah mubah, tidak sah manfaat yang

38
M.Yazid Afandi, Fiqih Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syari‟ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 184
39
Dimyuddin Djuwani, Pengantar Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm. 158
40
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.118
41
Ibid, hlm. 118
3

haram.42

Sedangkan syarat kelaziman Ijarah terdiri atas dua hal berikut :

a) Ma‟qud alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat jika terdapat

cacat pada ma‟qud alaih (barang sewaan), penyewa boleh

memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau

membatalkannya.

b) Tidak ada unsur yang dapat membatalkan akad, Ulama Hanafiyah

berpendapat bahwa Ijarah dapat batal karena adanya uzur sebab

kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang

dimaksud adalah sesuatu yang baru dan menyebabkan

kemadaratan bagi yang akad. Sedangkan Uzur dikategorikan

menjadi 3 macam :

(1) Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam

memperkerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan

sesuatu atau pekerjaan menjadi sia-sia.

(2) Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang di sewakan

harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain,

kecuali menjualnya.

(3) Uzur pada barang yang disewakan, seperti menyewa kamar

maandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa

harus pindah.43

42
Abdullah bin Muhammad Ath- Thayyar.dkk, “Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam
Pandangan 4 Madzab”, Cet-4 (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2017). hlm. 313
43
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hlm. 129-130
3

e. Berakhirnya Sewa-menyewa (Ijarah)

Sewa menyewa (Ijarah) merupakan bentuk akad lazim, yaitu

akad dimana salah satu pihak tidak di perbolehkannya terdapat fasakh

(rusak) pada suatu benda/barang yang akan disewkan, karena Ijarah

merupakan akad Pertukaran, terkecuali apabila terdapat hal-hal yang

mewajibkan fasakh. Sewa-menyewa/ Ijarah dapat rusak/batal apabila

terdapat hal-hal sebagai berikut :

1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan

penyewa.

2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh

dan sebagainya.

3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ala’ih), seperti baju yang

diupahkan untuk dijahitkan Terpenuhinya manfaat yang diakadkan,

berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesai pekerjaannya.

4. Menurut Hanafiyyah, boleh fasakh Ijarah dari salah satu pihak

yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada

yang mencuri, maka di bolehkan memfasakhan sewaan itu.44

Dalam akad Ijarah, waktu memiliki pengaruh yang sangat

besar,berbeda dengan obyek jual beli yang berpindah tangan tanpa ada

Batasan waktu. Dalam Ijarah waktu berakhirnya sangat penting untuk

diketahui, akad Ijarah dapat berakhir dengan beberapa kondisi

diantaranya :

44
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 122
3

a. Menurut mazhab Hanafiyah, Ijarah dapat berakhir dengan

meninggalnya salah seorang pelaku akad. Hal ini berkaitan dengan

pemahaman mazhab Hanafiyah dalam persoalan waris. Menurut

mereka kematian seseorang menyebabkan hilangnya haknya atas

manfaat tersebut sehingga tidak dapat diwariskan sehingga akad

harus diperbaharui antara, aqid dengan ahli waris.

b. Jumhur Ulama berbeda dengan Mazhab Hanafiyah dalam masalah

ini, mereka menilai bahwa akad Ijarah bersifat mengikat sehingga

kematian salah seorang aqid tidak membatalkan akad. Penyewa

memiliki hak penuh manfaat dalam satu transaksi akad sehingga

hak atas manfaat dapat diwariskan. Akad dapat berakhir dengan

adanya pembatalan, hal ini dibenarkan karena Ijarah termasuk dari

akad mu’awadhah atau pertukaran harta dengan harta.

c. Akad Ijarah dapat berakhir dengan rusak atau hancurnya barang

tertentu yang disewa seperti rumah atau kendaraan. Berakhirnya

akad ini dikarenakan tidak adanya manfaat yang dihasilkan dengan

meneruskan akad. Berbeda halnya bila obyek akad adalah sesuatu

manfaat yang dapat dialihkan atau dipindah fungsikan seperti

memindahkan barang, bila kendaraan yang akan digunakan

memindahkan barang rusak sedangkan pihak ekspedisi bisa

mengganti dengan kendaraan yang lain maka akad tetap diteruskan

karena obyek akad adalah pemindahan barang dan bukan pada

kendaraan tertentu.
3

d. Akad berakhir dengan berakhirnya waktu penyewaan sesuai dengn

kesepakatan. Batas waktu merupakan salah satu hal yang harus di

pertegas dalam akad Ijarah sehingga tidak menimbulkan

perselisihan di masa yang akan datang dan akad berakhir ketika

sampai pada batas waktu yang disepakati. 45

f. Asas-asas Mu’amalah

Dalam muamalah, harus dilandasi beberapa asas, karena tanpa

asas suatu Tindakan tidak dinamakan sebagai muamalah, asas

muamalah terdiri dari :

a. Asas Mu’awanah

Asas mu’awanah mewajibkan seluruh muslim untuk tolong

menolong dan membuat kemitraan dengan melakukan muamalah,

yang dimaksud dengan kemitraan adalaah suatu strategi bisnis

yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu

tertentu, untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling

membutuhkan dan saling membesarkan.

b. Musyarakah Asas

Asas ini menghendaki bahwa setiap bentuk muamalah kerja sama

antar pihak yang saling menguntungkan bukan saja bagi pihak

yang terlibat, melainkan bagi keseluruhan masyarakat, oleh

karena itu ada harta yang dalam muamalah di perlukan sebagai

milik bersama dan sama sekali tidak dibenarkan dimiliki

perorangan.

45
Rahmat Hidayat, Buku Ajar Pengantar Fikih Muamalah, (Medan : Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, 2020), hlm. 66
3

c. Asas manfaah (tabadulul manafi‟)

Asas manfaah yang berarti bahwa segala bentuk kegiatan

muamalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi

pihak yang terlibat.

d. Antaradhin Asas

Asas Antaradhin atau suka sama suka, menyatakan bahwa setiap

bentuk muamalah antar individu atau antar pihak harus

berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan yang dimaksud

dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat

maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau

menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk

mumalat lainnya.

e. Asas Adamul Gharar,

Asas adamul gharar yang berarti bahwa pada setiap bentuk

muamalah tidak boleh ada garar atau tipu daya atau sesuatu

yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh

pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan

salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi.

f. Kebebasan membuat akad.

Kebebasan berakad atau kontrak merupakan prinsip hukum yang

menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis

apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan

dalam Undang- Undang Syari‟ah dan memasukkan klausul apa

saja dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan


3

kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta bersama

dengan jalan batil

g. Al-musāwah (kesetaraan atau kesamaan)

Asas ini memiliki makna kesetaraan atau kesamaan, artinya

bahwa setiap pihak pelaku muamalah berkedudukan sama,

h. Ash-Shiddiq
3

Dalam bermuamalah kejujuran dan kebenaran harus

dikedepankan, apabila kedua hal tersebut tidak dikedepankan

maka akan berpengaruh terhadap keabsahan perjanjian.

Perjanjian yang di dalamnya terdapat unsur kebohongan menjadi

batal atau tidak sah.46

i. Asas”adalah

Asas’adalah (keadilan) atau pemerataan adalah penerapan

prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang bertujuan agar

harga tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, tetapi

harus didistribusikan secara merata diantara masyarakat. Dalam

istilah hukum Islam, prinsip memiliki makna yang sama dengan

hukum atau aturan. Prinsip hukum Islam atau mabadi al-

syari’ah diberlakukan kepada Hukum Islam secara

menyeluruh.47 Dalam ajaran Islam keadilan merupakan

ketetapan Allah bagi semua Makhluk ciptaan-Nya, oleh

karenanya melanggar keadilan adalah melanggar ketetapan

Allah SWT, dan ketidakadilan akan mempunyai dampak

kehancuran terhadap tatanan masyarakat. Oleh sebab itu segala

tindakan manusia harus didasari dengan adanya rasa keadilan,

hal ini dapat menjaga kelestarian kehidupan umat manusia.48

46
Abdul Munib, “Hukum Islam dan Muamalah (Asas-Asas Hukum Islam dalam Bidang
Muamalah),” Jurnal Penelitian dan Pemikiran KeIslaman, Vol. 5 No. 1 (Februari 2018) hlm. 74-
75.
47
Miko Polindi, “Filosofi dan Perwujudan Prinsip Tauhidullah dan Al-„adalah dalam
Ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT)”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1 No.1, hlm:2.
48
Mahir Amin, “Konsep Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam”, Jurnal Hukum
dan Perundangan Islam, Vol. 4 No.2 (Oktober 2014), hlm: 324.
3

Keadilan dalam Bahasa Arab disebut al-‘adalat dan dalam

Bahasa inggris disebut justice, keadilan merupakan lawan dari

kezhaliman. Islam menempatkan kata ‘adil kedalam tiga tempat,

yaitu: keseimbangan, kesamaan atau nondiskriminasi dan

pemberian hak kepada yang berhak. makna ‘adil merupakan

suatu gabungan nilai- nilai moral dan sosial yang menunjukkan

kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan dan keterusterangan.49

Para ulama mendefinisikan ‘adil adalah menempatkan sesuatu

pada tempatnya, memberikan hak kepada pemilik hak-haknya,

dan tidak mengurangi dan juga tidak melebihi. Prinsip keadilan

ini ada di setiap bagian-bagian dari berbagai kajian tentang

hukum Islam, baik itu dalam bidang fiqih muamalah,

pernikahan, waris dan bagian-bagian fiqih lainnya. Prinsip

Al-‘Adalah/ keadilan dipahami sebagai ketidakberpihakan

kepada salah satu dari dua pihak, dalam makna yang khusus

maka keadilan yang dimaksud adalah tidak terjadi pertentangan

antara seseorang dengan orang lainnya, karena tidak adanya

kedua belah pihak yang dizalimi. dari beberapa macam makna

keadilan, para pakar agama Islam merumuskan kedilan menjadi

4 makna :

a. Adil dalam arti sama (al-musawat)

Jika seseorang dikatakan adil berarti ia memperlakukan sama

49
Miko Polindi, “Filosofi dan Perwujudan Prinsip Tauhidullah dan Al-„adalah dalam
Ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT)”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1 No.1,
hlm:7
3

antara orang yang satu dengan yang lain, maksud dalam

persamaan ini adalah persamaan dalam hak, seperti di

jelaskan dalam Surat An-Nisa : 58, kata al-adl pada ayat ini

menurut Quraisy Shihab, berarti persamaan dalam arti bahwa

seseorang hakim harus memperlakukan sama antara orang

orang yang berperkara.

b. Adil dalam arti seimbang (Al-Mizan)

Dalam hal ini keadilan identik dengan

kesesuaian/proporsional. Keseimbangan tidak mengharuskan

persamaan kadar bagi semuanya. seperti dijelaskan dalam

Surat Ar-Rahman (7), menyatakan bahwa

keadilan mengandung pengertian keseimbangan

Sunnatullah yang berlaku bagi seluruh umat.

c. Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak in dividu dan

memberikan hak-hak kepada para pemiliknya, lawan

keadilan dalam pengertian ini adalah kezaliman.

d. Adil yang dinisabkan kepada Ilahi. Adil disini mempunyai

arti memelihara kewajiban atas berlanjutnya eksistensi.

Keadilan Allah SWT pada dasarnya merupakan rahmat dan

kebaikan- Nya.50 Dalam Ijarah terdapat prinsip keadilan,

yang mana untuk mengetahui keadilan dalam Ijarah, harus

mengetahui

50
Tamyiez Dery, Keadilan dalam Islam, “Jurnal Sosial dan Pembangunan”, Vol. 18 No.
3, hlm: 343-344
4

mengenai rukun dan syarat, Adapun syarat dan rukun dalam

Ijarah sebagai berikut :

Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad

sewa- menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang

memberikan upah dan yang menyewakan, sedangkan

musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan

sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir

dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan

tasharruf (mengendalikan harta) dan saling meridhoi.

1) Sighat atau Ijab Kabul, antara mu’jir dan musta’jir

2) Ujrah (Sewa/Upah), disyaratkan diketahui jumlahnya oleh

kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun

dalam upah-mengupah.

3) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan

dalam upah- mengupah, diisyaratkan pada barang yang di

sewakan dengan beberapa syarat berikut ini:

a) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-

menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan

kegunaannya.

b) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang

mubah (boleh) menurut syara‟ bukan hal yang

dilarang (diharamkan)

c) Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-Nya


4

hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian

dalam akad.51

Dalam transaksi yang menggunakan akad Ijarah apabila rukun

dan syarat telah terpenuhi maka pemberian sewa upah (ujrah) dalam

transaksi ini adalah hak yang harus di berikan kepada yang berhak.

Sehingga dalam Ijarah terdapat prinsip yang memberikan nilai-nilai

keadilan yang memelihara hak individu dan memberikan hak kepada

yang berhak. Serta prinsip keadilan merupakan prinsip yang bertujuan

untuk menghindari kerugian dari kedua belah pihak dan rasa dizalimi

dari salah satu pihak. Prinsip tauhidullah dan al-„adalah merupakan

pondasi utama yang harus dijadikan pedoman dalam menerapkan sistem

Ijarah, karena dengan adanya perwujudan kedua prinsip ini nilai-nilai

syariah akan terjadi dalam transaksi tersebut.52

B. Penelitian Relevan

Berdasarkan dari persoalan di atas maka peneliti mengambil penelitian

terdahulu yang berupa karya Ilmiah Skripsi yang menjadi acuan dan

perbandingan bagi penelitian serta sebagai tambahan referensi dalam

penelitian.

Skripsi Hasnah Khoirul Nikmah (2018) dengan judul “Tinjaun Hukum

Islam Terhadap Praktek Sewa Lahan Gledek (Studi kasus di dusun

semanding desa tahunan baru kecamatan tegalombo kabupaten pacitan)”.

Lahan Gledek

51
Hendi Suhendi, “Fiqih Muamalah”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hlm: 117-118
52
Miko Polindi, “Filosofi dan Perwujudan Prinsip Tauhidullah dan Al-„adalah dalam
Ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT)”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1:1, hlm: 8-9.
4

yaitu lahan milik desa yang di kelola oleh setiap dusun dan dari setiap dusun

menyewakan lagi untuk warganya dengan sistem bergilir atau bergantian

dengan jangka waktu 1 tahun untuk setiap orang. Setiap tahunnya perdusun

akan membayar sewa tanah tersebut kepada desa dengan harga yang sama

pada semua dusun di Desa Tahunan baru. Akan tetapi pada kenyataan yang

terjadi di dusun semanding desa tahunan baru ini, berbeda dengan dusun lain

yang ada di desa tahunan baru. Pihak dusun semanding, mematok harga sewa

lahan gledek dengan harga paling tinggi di antara beberapa dusun lain yang

ada di desa tahunan baru, sedangkan kondisi ekonomi masyarakat masih

sangat minim. Dalam Skripsi di atas menggunakan jenis penelitian lapangan

serta dianalisi menggunakan metode deduktif dengan pendekatan hukum

islam. Dalam skripsi ini di tekankan pembahasan mengenai tinjauan hukum

Islam terhadap akad sewa lahan gledek serta tinjaun hukum Islam terhadap

penetapan harga sewa lahan. 53

Skripsi Dwi Laila Dzulfa (2019), yang berjudul “Sewa Menyewa

Lahan Uyudan dalam Perspektif Hukum Islam di Desa Banjar Kulon

Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara” Desa banjar kulon

kecamatan banjarmangu kabupaten banjarnegara yang mayoritas mata

pencariaanya adalah sebagai petani, masyarakat setempat mengenal sewa

dengan sistem uyudan yang merupakan masa sewanya dari awal pengolahan

lahan penanaman sampai panen. Dalam sewa menyewa lahan uyudan ini

terdapat akad secara lisan antara pemilik lahan dan penyewa lahan, akad

dilakukan di awal dan

53
Hasnah Khoirul Nikmah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Sewa Lahan
Gledek,” Skripsi, Ponorogo: IAIN Ponorogo (2018)
4

berlaku untuk akad yang berikutnya. Dalam Skripsi diatas ditekankan

pembahasan mengenai sistem sewa menyewa lahan uyudan, serta pandangan

hukum Islam terhadap sewa menyewa lahan uyudan di desa banjarkulon.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, sumber

data yang digunakan adalah sumber data primer serta sumber data sekunder.54

Skripsi Kusniatul Latifah (2017) yang berjudul “Tinjauan Fiqih

Terhadap Praktik Sewa Menyewa Alat Resepsi (Yusuf Jaya) di Desa

Kadipaten Kecamatan Bababalan Kabupaten Ponorogo”. Salah satu bentuk

praktik Ijarah terjadi di persewaan Yusuf Jaya, pada pelaksanaanakad

perjanjian sewa dilakukan melalui media telfon tanpa adanya barang bukti

tertulis sehingga jika dikemudian hari terjadi permasalahan akan

memeprsulit pihak persewaan. Pada kasus pembatalan akad yang dilakukan

secara sepihak oleh pihak penyewa, pihak penyewa tidak mau membayar

ganti rugi kepada pihak pemberi sewa sedangkan menurut teori fiqiah

seharusnya ganti rugi ditanggung oleh pihak penyewa. Kemudian jika ada

kerusakan barang maka harus diganti dengan barang yang sama atau dengan

jumlah uang yang nilainya sama dengan barang tersebut, namun pada

praktiknya barang yang rusak tidak diganti dengan barang yang baru atau

dengan sejumlah uang tertentu. Penelitian dalam Skripsi ini menggunakan

penelitian lapangan dengan menggunakan metode penulisan induktif, yaitu

menggunakan data yang bersifat khusus kemudian di akhiri dengan

kesimpulan yang bersifat umum dari hasil penelitian yang ada di

54
Dwi Laila Dzulfa, “Sewa Menyewa Lahan Uyudan dalam Perspektif Hukum Islam di
Desa Banjarkulon Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara,” Skripsi, Purwokerto : IAIN
Purwokerto (2019)
4

persewaan Yusuf Jaya Desa Kadipaten Kecamatan Babadan Kabupaten

Ponorogo.55

Dengan demikian, adanya penelitian terdahulu dapat memperjelas

mengenai sewa menyewa. Maka dari itu penelitian yang dilakukan penulis

berbeda dengan penelitian terdahulu. Hal tersebut terletak pada fokus dari

penelitian ini yaitu mengenai pelaksanaan sewa menyewa lahan dengan

sistem Gebal serta bagaimana pandangan keadilan dalam hukum islam

mengenai sewa menyewa lahan di Desa Gunung Raya Kecamatan Marga

Sekampung Kabupaten Lampung Timur .

55
Kusniatul Latifah, “Tinjauan Fiqih Terhadap Praktik Sewa Menyewa Alat Resepsi
(Yusuf Jaya) di Desa Kadipaten Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo,” Skripsi,Ponorogo:
IAIN Ponorogo (2017)
1

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metode Penelitian adalah proses penelitian yang digunakan mulai dari

perumusan masalah, kerangka teori yang dipakai, pengumpulan data dan

penarikan kesimpulan.56 Maka dalam hal untuk mencapai tujuan dari

penyusunan skripsi, maka penulis menggunakan metode-metode sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research)

dalam fakta yang sebenarnya yaitu suatu penelitian yang mengungkap

fakta yang ada di lapangan dengan wawancara serta menggunakan data

kepustakaan, jenis penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan,

mengungkap, dan menjelaskan.57 Dari tujuan tersebut, penyusun akan

menggambarkan mengenai Praktik sewa menyewa lahan sistem gebal

dalam teori keadilan menurut perspektif hukum Islam.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Yuridis

Empiris. Pendekatan yuridis empiris merupakan penelitian terhadap

identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), dimaksudkan untuk mengetahui

hukum yang tidak tertulis berdasarkan hukum yang berlaku dalam

56
Yulinus Slamet, “Pendekatan Penelitian Kualitatif”, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2019), hlm.57
57
1

masyarakat, hukum tidak tertulis pendekatan yang menjelaskan mengenai

aturan hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dapat

diketahui mengenai boleh tidaknya aturan hukum yang berlaku di dalam

masyarakat. Hukum tidak tertulis dalam sistem hukum di Indonesia yaitu

hukum adat dan hukum Islam.58

3. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian merupakan lokasi yang akan dijadikan tempat

penelitian, dalam penelitian ini penulis akan meniliti Desa Gunung Raya,

Kecamatan Marga Sekampung, Kabupaten Sragen, yang masyarakatnya

melakukan praktik sewa menyewa lahan dengan sistem gebal.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu

menggunakan 2 sumber data yaitu :

a. Data Primer

Data Primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau

pertama, data ini tidak tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun

dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui narasumber atau

dalam istilah tekhnisnya responden, yaitu orang yang kita jadikan objek

penelitian atau orang yang kita jadikan sebagai sarana informasi data. 59

Dengan demikian maka data primer dalam penelitian ini adalah data

yang

58
Zainuddin Ali, “Metodologi Penelitian Hukum” (Sinar Grafika : Jakarta, 2016), hlm
30.
59
Nuning Indah Pertiwi, “Penggunaan Media Vidio Call dalam Teknologi Komunikasi”,
Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial, Vol. 1 No. 2 (2017), hlm. 221
1

dihimpun pertama yaitu peneliti mengambil data dari masyarakat yang

melakukan praktik sewa menyewa lahan dengan sistem gebal, yaitu dari

pemilik lahan sebanyak 4 orang dan penyewa sebanyak 3 orang.

a. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data atau informasi yang diperoleh

secara tidak langsung dari objek penelitian yang bersifat publik yang

terdiri atas struktur organisasi data kearsipan, dokumen, laporan-

laporan serta buku-buku dan lain sebagainya yang berkaitan dengan

penelitian ini. Dengan kata lain data sekunder diperoleh secara tidak

langsung melalui perantara atau diperoleh dengan catatan dari pihak

lain.60 Jadi sumber data sekunder yang di dapat dari penelitian ini

adalah data- data yang di peroleh dari kelurahan Desa Gunung Raya .

5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data harus dilakukan secara sistematis, terarah, dan

sesuai dengan masalah penelitian, karena hasil penelitian sangat

bergantung pada hasil olahan data. Pengumpulan data yang baik dan benar

dapat menghasilkan penelitian yang di percaya.61

a. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

proses tanya jawab lisan dari dua orang atau lebih dengan berhadapan

secara fisik, serta dapat saling melihat dan mendengarkan melalui alat

60
Wahyu Purhantara “Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Bisnis”, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), hlm 79.
61
Victorianus Aries Siswanto, “Strategi dan Langkah-langkah Penelitian”, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012), hlm. 54.
1

pendengar sendiri.62 Penulis melakukan wawancara dengan pihak yang

bersangkutan yaitu pihak pemilik lahan dan pihak penyewa lahan,

dimana dalam melakukan kegiatan sewa menyewa lahan dengan sistem

gebal di Desa Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten

Lampung Timur masih terdapat beberapa orang yang dirugikan atas

kegiatan praktik tersebut.

b. Metode Pengamatan (Observasi)

Observasi adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik

secara langsung maupun tidak langsung dengan melibatkan semua indra

(pengelihatan, pendengaran, penciuman dan perasa), untuk memperoleh

data yang harus dikumpulkan dalam penelitian, manfaat metode

observasi peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam

keseluruhan situasi sosial, jadi akan memperoleh data secara

menyeluruh.63 Maksudnya adalah penulis melakukan peninjauan di

lokasi penelitian melalui proses pengamatan dan pencatatan secara

sistematis terhadap praktik sewa menyewa lahan dengan sistem gebal

yang terjadi di Desa Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung

Kabupaten Lampung Timur .

c. Metode dokumen /Arsip dokumen

Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh

informasi dari bermacam-macam sumber tertulis atau dokumen yang

ada pada

62
Muh Nazir, “Metode Penelitian”, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), hlm. 215
63
Danu Eko Agustinova, “Memahami Metode Penelitian Kualitatif, Teori & Praktik”,Yogyakarta:
Calpulis, 2015), hlm. 33
1

responden atau tempat, dimana responden bertempat tinggal atau

melakukan kegiatan sehari-hari. Teknik ini merupakan teknik

pengumpulan data dengan berbagai buku, dokumen, dan tertulis yang

relevan untuk menyusun konsep penelitian serta mengungkap objek

peneliti.64 Selain bentuk dokumen tersebut, bentuk lain dalam teknik

pengumpulan data adalah foto, dengan menggunakan foto akan dapat

mengungkapkan suatu situasi pada detik tertentu sehingga dapat

memberikan informasi deskriptiif yang berlaku saat itu.65 Dalam

penelitian ini penulis mencari data dari buku mengenai sewa menyewa

(Ijarah), mengambil rekaman dan foto Ketika melakukan wawancara

kepada yang bersangkutan yaitu pihak pemilik lahan dan pihak

penyewa lahan, sehingga data-data tersebut dapat digunakan untuk

menambah data pada penelitian.

F. Analisis Data

Dalam analisis data, penulis menggunakan metode Kualitatif

Deskriptif dimana penulis menggambarkan serta menjelaskan secara

jelas dan nyata mengenai fakta praktik sewa lahan sistem gebal yang

berada di Desa Gunung Raya Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten

Lampung Timur, sehingga dapat di tarik kesimpulan apakah sewa

menyewa tersebut sudah sesuai dengan Hukum Islam.

64
Ibid, hlm.39
65
Dony Setiawan dan Hendro Prasetyo,”Metodologi Penelitian Kesehatan untuk
Mahasiswa Kesehatan”, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 83.
1

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan pembuatan Skrispi, maka penulis membagi lima bab

agar mempermudah dalam memahami skripsi serta tersusun secara sistematis,

yang masing-masing bab mempunyai sub bab dengan susunan sebagai berikut :

Bab Pertama, pendahuluan. Bab ini membahas mengenai latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan

istilah, tinjuan Pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, merupakan pembahasan teoritis yang mencakup tentang

tinjauan umum sewa menyewa meliputi pengertian, dasar hukum, macam-

macam sewa menyewa, rukun dan syarat sewa menyewa, serta berakhirnya

sewa- menyewa. Kemudian pembahasan mengenai asas-asas mu’amalah,

meliputi asas

„adalah, asas mu‟awanah, asas musyarakah, asas manfaah, asas antaradhin, asas

adamul gharar, kebebasan membuat akad, asas al-mulahan, asas ash shiddiq.

Bab ketiga, pelaksanaan sewa menyewa lahan dengan sistem gebal. Bab

ini membahas mengenai pemaparan yang menjelaskan gambaran umum Desa

Gunung Raya Kec. Marga Sekampung. Meliputi keadaan geografis dan

demografis, visi dan misi Desa Gunung Raya, kondisi sosial ekonomi, profil

kelompok tani yang meliputi struktur organisasi, fungsi dan kegiatan kelompok

tani Desa Gunung Raya , serta pelaksanaan praktik sewa menyewa lahan dengan

sistem gebal, motivasi pemilik dan penyewa lahan dalam melakukan sewa

menyewa lahan dengan sistem gebal, serta dampak positif dan dampak negatif

dari sewa menyewa lahan dengan sistem gebal.


2

Bab Keempat, bab ini berisi tentang analisis dan argumen terhadap

praktik sewa menyewa lahan dengan sistem gebal, motivasi penyewa dan

pemilik lahan, dampak positif dan dampak negatif dari sewa-menyewa lahan

dengan sistem gebal, serta pandangan keadilan dalam hukum islam mengenai

praktik sewa menyewa lahan dengan sistem gebal.

Bab Kelima, Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi

kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai