Anda di halaman 1dari 9

Mengupas Unsur-unsur Peradilan Islam dan

Kualifikasi Hakimnya

M. Afrizal Rahman, M. Hamdan Syakur


Hukum Keluarga Islam IAIN Ponorogo, Indonesia
afrizalrahman@gmail.com mhamdansya@gmail.com

Abstrack: Hakim merupakan salah satu unsur terpenting dalam lembaga peradilan.
Tidak hanya di umum saja, di Agama Islam hakim juga termasuk unsur penting
didalam lembaga peradilan agama (Islam). Ia memainkan peranan yang sangat
penting dalam melaksanakan pemberlakuan hukum (Islam) dan merupakan orang
yang paling bertanggungjawab sepenuhnya dalam menjaga dan mempertahankan
hukum (Islam). Demikian beratnya tugas hakim, tentu tidak semua orang mampu
melaksanakannya. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pemberian kriteria
khusus dan penyaringan tersendiri bagi orang yang akan diangkat menjadi hakim. Ini
bertujuan untuk memastikan bahwa orang yang memegang jabatan ini benar-benar
berwibawa dan berkelayakan. Di samping itu, seorang hakim harus mampu
melakukan pemeriksaan, penilaian dan akhirnya memberikan keputusan terhadap
suatu perkara yang diajukan kepadanya. Kewenangan yang demikian itulah yang
disebut dengan kekuasaan kehakiman. Untuk itulah dalam pembuatan jurnal ini
nantinya akan diuraikan apa saja syarat-syarat menjadi seorang hakim dan
bagaimana kompetensinya. Agar pembahasan tentang persyaratan dan kompetensi
hakim ini lebih menarik dan sistematis, dalam tulisan ini akan dijelaskan dari sudut
peradilan Islam dan sistem peradilan sekarang (Peradilan Agama di Indonesia).

Kata Kunci: Hakim, Peradilan agama, Hukum.

A. Pendahuluan
Peradilan Islam merupakan bagian integral dari sistem hukum yang
didasarkan pada prinsip-prinsip agama islam. Dengan dasar hukum yang berasal
dari Al-Qur’an, hadis, dan tradisi-tradisi islam, peradilan islam memiliki unsur-
unsur khas yang membedakannya dari sistem peradilan lainnya. Artikel ini akan

[1]
mengupas beberapa unsur sentral yang membentuk kerangka peradilan islam,
menyoroti pentingnya keadilan, etika, dan norma-norma agama dalam
menjalankan fungsi peradilan. antara lain Hakim atau qadhi, hukum, mahkum
bihi,mahkum alaih, mahkum lahu, dan lain-lain.
Peran seorang hakim dalam sistem peradilan adalah sangat penting,
karena mereka bertugas untuk yang adil dan menyelenggarakan keadilan. Untuk
memastikan bahwa keputusan yang diambil memiliki kredibilitas dan integritas,
terhadap serangkaian syarat yang harus dipenuhi oleh individu yang ingin
menjalankan tugas sebagai hakim. diantaranya syarat menjadi hakim
pendidikan hukum yang memadai, pengetahuan mendalam tentang hukum,
pengalaman praktis dalam hukum.

B. Pembahasan
1. Unsur-Unsur Peradilan Islam
Dalam literator fikih islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik
dan normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni:
a) Hakim atau qadhi
Yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi
hakim dalam menyelesaikan gugatan menggugat, oleh karena penguasa
sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan, pentingnya hakim
memilikidampak besar bagi kehidupan masyarakat. pentingnya posisi
hakim dapat dilihat dari sabda Nabi Saw. yang menyebutkan bahwa
hakim terbagi menjadi tiga kelompok, satu kelompok masuk surge dan
dua kelompok lainnya masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hakim itu ada
tiga golongan, dua dineraka dan saru di surga, hakim yang mengetahui
kebenaran lalu memutuskan perkara tersebut dengan ilmunya, ia berada
di surge. Hakim yang memberikan putusan kepada manusia atas dasar
kebodohan, ia di neraka. Dan hakim yang berlaku curang saat memberi
keputusan, ia di neraka, niscaya kami akan mengatakan, ‘sesungguhnya
seorang hakim apabila berijtihad dia akan berada di dalam surga’’ (HR
Ibnu Majah).
[2]
b) Hukum
Yaitu putusan hakim yang diterapkan untuk menyelesaikan suatu
perkara. Hukum ini adakalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim
berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada
yang yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah menetapkan
sesuatu dengan dasar yang meyakinkan seperti berhaknya seseorang
anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedangkan qadha istiqaq
ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad,
seperti seorang tetengga mengajukan hak syuf’ah.
c) Mahkum bihi
Di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh
qadhi si tergugat harus memenuhinya. Dan, di dalam qadha tarki ialah
menolak gugatan. Karena demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
mahkum bihi itu adalah suatu hak.
d) Mahkum alaih (si terhukum)
Yakni orang yang dijatuhkan hukuman atasnya. mahkum alaih
dalam hak-hak syara’ adalah yang diminta untuk memenuhi suatu
tuntutan yang dihadapkan kepadanya. Baik ia muddah’alaih (tergugat)
atau mudda’I (penggugat).
e) Mahkum lahu
Yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni
bagianya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
f) Perkara atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara
hanyalah dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang
terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dpat
diterima. Oleh karena itu, sesuatu yang bukan merupakan peristiwa tapi
masuk dalam bidang ibadah tidak masuk dalam bidang peradilan.1

2. Syarat-Syarat Pengangkatan Hakim

1
Basiq Djalil, peradilan agama Di indonesia cet. 3, Jakarta perandana media grup , Kencana, 2017, h 5

[3]
Dalam hal pengangkata seorang hakim, dalam literatur fikih, para ahli
meberikan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi hakim,
walau ada perbedaan dalam syarat-syarat yang mereka berikan, namun ada
pula yang disepakati. syarat yang dimaksudkan (syarat yang diperlukan
seorang hakim) ada enam, yaitu:
a.) Laki-laki yang Merdeka
Anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim, menurut Imam
Malik, Syafi’I, dan Ahmad. Sedang tentang hakim wanita, Hanafiah tidak
memperbolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan
kisas. Alasannya karena dalam kedua hal tersebut kesaksiannya tidak
dapat diterima. didasarkan kepada firman Allah dalam Surah Annisa ayat
34.

ٍ ۡ‫ض ُه ۡم َع ٰلى بَع‬


‫ض َّوبِّ َم ۤا‬ َ ۡ‫ّللاُ بَع‬ َ ِّ‫اَ ِّلر َجا ُل قَ َّوا ُم ۡونَ َعلَى الن‬
َّ َ‫سا ٓ ِّء بِّ َما ف‬
ٰ ‫ض َل‬
‫اَ ۡنفَقُ ۡوا ِّم ۡن اَمۡ َوا ِّل ِّه ۡم‬
Terjemahan: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan
nafkah dari hartanya.2
Adapun ulama ber-mazhab Hanafi berpendapat bahwa wanita
boleh diangkat sebagai hakim dalam sengketa harta dan keuangan (al-
qadhaa' al- madani). Alasannya karena dalam masalah muamalah,
kesaksian wanita dapat diterima
b.) Berakal (mempunyai kecerdasan).
Syarat ini disepakati seluruh ulama. Hakim haruslah cerdas,
bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang
muskil.
c.) Beragama Islam
Adapun alasan kenapa keislaman seseorang menjadi syarat
seorang hakim adalah, karena keislaman merupakan syarat untuk

2
Kementrian Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya

[4]
menjadi saksi atas muslim, demikian jumhur ulama’. Karenanya hakim
bukan Muslim tidak boleh memutuskan perkara orang muslim.
Berdasarkan surah An-nisa ayat 141.

ۖ ‫ّللاِّ قَالُ ۡۤـوا اَلَ ۡم نَـ ُك ۡن َّم َع ُك ۡم‬ ٰ َ‫ص ۡونَ ِّب ُك ۡم ۚ فَا ِّۡن َكانَ َلـ ُك ۡم فَ ۡت ٌح ِّمن‬ ُ َّ‫الَّذ ِّۡينَ َيتَ َر ب‬
ؕ َ‫ب قَالُ ۡۤـوا اَلَ ۡم ن َۡستَ ۡح ِّو ۡذ َعلَ ۡي ُك ۡم َونَمۡ نَعۡ ُك ۡم ِّمنَ ا ۡل ُم ۡؤ ِّمنِّ ۡين‬ ِّ ‫َوا ِّۡن َكانَ ِّل ۡل ٰك ِّف ِّر ۡينَ ن‬
ٌ ٌۙ ‫َص ۡي‬
‫س ِّب ۡيل‬ َ َ‫ّللاُ ِّل ۡل ٰك ِّف ِّر ۡينَ َعلَى ا ۡل ُم ۡؤ ِّمنِّ ۡين‬
ٰ ‫اّٰللُ يَ ۡح ُك ُم بَ ۡينَ ُك ۡم يَ ۡو َم ۡال ِّق ٰي َم ِّةؕ َولَ ۡن ي َّۡج َع َل‬
ٰ َ‫ف‬
Terjemahnya : (yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang
akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah
mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan
jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, “Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah
akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak
akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang
beriman.3
Dalam hal ini Hanafi berpendapat lebih perinci, yakni
memperolehkan mengangkat hakim bukan muslim untuk memutuskan
perkara yang bukan muslim, karena orang yang dipandang cakap untuk
menjadi saksi harus pula cakap menjadi hakim, tetapi tidak pula boleh
seorang kafir zimi memutus perkara orang Muslim. Karena kafir zimi
tidak boleh menjadi saksi orang muslim. Banyak pula yang membolehkan
hanya dalam hal syafar dan wasiat. Ulama Muta’akhirin
banyak berpendapat seorang saksi tidaklah harus seorang Muslim. Tapi
diperlukan orang-orang yang kebaikannya lebih banyak dari
keburukannya.
d.) Adil.
Hakim haruslah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan
haram, dipercaya kejujurannya, baik di waktu marah atau diwaktu
tenang dan perkataannya harus benar. Allah SWT berfirman :

3
ibid
[5]
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik
datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya,
agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
(kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.
Dalam hal ini perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi’I
golongan Hanafi, berpendapat bawha putusan hakim yang fasik adalah
sah sesuai dengan syara’ dan undang- undang. Adapun As- Syafi’I tidak
memperbolehkan mengkat orang fasik menjadi hakim alasannya karena
seorang fasik tidak diterima sebagai saksi.
e.) Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-cabangnnya.
Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum
agar dia memperoleh jalan mengetahui hukum-hukum yang harus
diberikan bagi perkara yang diajukan kepadanya.
Dalam hak ini, Imam Hanafi memperbolehkan mukholid (orang
yang berani, cerdar, dan pekerja keras) menjadi hakim sesuai pendapat
Imam Gazali. Karena mencari orang adil dan ahli ijtihad sangat sulit. Yang
penting diangkat oleh penguasa.
f.) Menguasai sumber Hukum Islam.
Yang dimaksud dengan sumber hukum disini adalah al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mengetahui tentang al-Qur’an dalam tataran
seorang hakim mengetahui mana yang masuk dalam kategori nasikh,
Mansukh, muhkam mutasyabih, aam, khas, mutlak muqayyad.
Mengetahui tentang Sunnah sehingga bisa mengetahui status hadist yang
dipergunakan, serta bisa menggunakannya sesuai dengan keadaan,
dilihat dari asbabul wurud hadist tersebut. Mengetahui tentang Ijma’
sehingga seorang hakim tidak keluar dari sebuah kesepakatan yang telah
mencapai derajat Ijma’, serta mampu berijtihad dalam hal yang masih
masuk dalam tataran hal yang diperselisihkan (belum masuk kategori
ijma’). Mengetahui Qiyas agar seorang hakim bisa dengan benar
mengikutkan ketentuan masalah baru yang belum ada ketentuannya
kepada masalah yang telah ada ketentuannya.

[6]
Keempat hal ini tidak boleh lepas dari seorang hakim, agar bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik. Berlandaskan pada pijakan yang
kuat, serta mengakomodir keadaan zaman. Empat diantara tujuh syarat
diatas, disepakati bersama oleh ulama dari berbagai madzhab. Keempat
syarat tersebut adalah Sehat jasmani rohani, Kecerdasan dan
kemampuan, Bebas merdeka, dan Islam. Sedangkan tiga syarat lainnya
masih diperdebatkan oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah laki-
laki, keadilan dan penguasaan sumber hukum (dan Ijtihad).4
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa, persyaratan
menjadi hakim baik dalam kitab-kitab fiqih maupun dalam peraturan
perundangan yang berlaku dekimikian ketat, karena mengingat implikasi
putusan hakim sangat menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat.
g.) Mendengar, Melihat, dan Tidak Bisu.
Orang bisu tidak boleh diangkat menjadi hakim karena orang bisu
tidak bisa menyebutkan putusan yang dijatuhkannya. Demikian pula
orang tuli tidak dapat melihat orang-orang yang beperkara. Syafi’I
membolehkan orang buta, tapi memangakui lebih utama orang yang
tegap dan sehat.
Syarat-syarat tersebut dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama tampaknya telah terangkumkan bahkan dengan
beberapa tambahan, karena sebagai warga negara Indonesia hal tersebut
dapat dilihat pada Pasal 13 yang berbunyi: Untuk dapat diangkat menjadi
hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Warga negara Indonesia;
2. Beragama Islam;
3. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
5. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia
termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat

4
Al-Mawardi Abul Hasan, al-Ahkaam as-sulthoniyyah, kairo: Dar al hadist 2006. hal 110

[7]
langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G-
30-S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;
6. Pegawai negeri;
7. Sarjana syariah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
8. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
9. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.5

C. Penutup
Secara umum syarat-syarat untuk menjadi hakim dalam peradilan Islam
ialah Islam, berakal, laki-laki, adil, mujtahid, dan sehat pancaindera. Sementara
itu, dalam pasal 13 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 menerangkan
bahwa syarat-syarat menjadi hakim Pengadilan Agama adalah warga negara
Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bukan bekas anggota
organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya
atau bukan seseorang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam
“Gerakan Kontra Revolusi G. 30. S. /PKI” atau organisasi terlarang lainnya,
pegawai negeri, sarjana syari`ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Adapun kompetensi/kewenangan seorang hakim dalam peradilan Islam
mencakup kewenangan umum yang tidak hanya terletak dalam menyelesaikan
sebuah persengketaan semata, akan tetapi, lebih dari pada itu juga punya
kewajiban untuk memperhatikan aspek kehidupan manusia terutama orang-
orang yang lemah. Sedangkan kewenangan khusus yang diberikan kepada
seorang hakim berdasarkan kepada kasus yang diadili, tempat mengadili, waktu
mengadili, dan berdasarkan kepada orang-orang tertentu.

5
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Cet. II, (Malang: UIN

Malang Press, 2009), h. 13

[8]
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, kencana, 2017


Kementrian Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya, t.cet; Bandung:
Cordoba, 2019.
Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia: Sejarah pemikiran dan realita.
Malang: UIN Maliki press. 2009

[9]

Anda mungkin juga menyukai