Anda di halaman 1dari 19

TAFSIR TEMATIK: AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG WASIAT DAN

WARIS

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Tafsir Maudhu’iy-2

Oleh:
MUFARRIKATUL ANJAINI (E93218114)
SULIATUL FITRIA (E93218131)

Dosen Pengampu:
ROBIIATUL MARIYAH. M. TH.I

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang
telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Limpahan shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi
agung Nabi Muhammad saw, yang telah menunjukkan jalan kebenaran. Kali ini, kami
membahas “Tafsir Tematik: Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Wasiat dan Waris”. Dari
sini, kami mengambil dari berbagai referensi untuk dijadikan acuan dalam makalah ini.
Maka dari itu, kami menyusun tulisan ini guna untuk memenuhi mata kuliah
Tafsir Mauhdu’iy-2 yang diampu oleh Ibu Robiiatul Mariyah. Makalah ini kami buat
dengan harapan semoga apa yang kami sampaikan dalam makalah ini dapat menambah
wawasan bagi para pembaca, dapat berguna dan bermanfaat untuk orang lain pada
umumnya dan untuk pemateri khususnya.
Terlepas dari hal tersebut kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini terdapat banyak sekali kekurangan, baik dari segi isi, susunan kata dan tata
bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima dengan lapang dada jika terdapat kritik
dan saran dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini dengan lebih baik.

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penafsiran telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal islam. Sejalan
dengan kebutuhan manusia yang terus berganti zaman dan berkembangnya ilmu
pengetahuan sehingga berkembang pula keingintahuan umat manusia terhadap al-
Qur’an. Pada tahapan perkembangan tersebut muncullah berbagai karakteristik, baik
dalam metode ataupun coraknya. Kehadiran tafsir dari berbagai corak dan metode
inipun belum menjadi final bagi kalangan ilmuwan tafsir dalam keberlangsungan
kajian al-Qur’an. Peluang untuk menafsirkan al-Qur’an tetap terbuka lebar. Hal ini
karena semakin kompleks problematika umat maka semakin relevan pula untuk
mengungkit makna al-Qur’an. Para mufassir modern kini semakin dirasa perlu untuk
mengembangkan potensi memahami al-Qur’an sesuai kaidah al-Qur’an yakni sha>lih li
kulli zama>n wa maka>n.
Di antara tanda yang bisa dijadikan acuan yakni maraknya berbagai metode
penafsiran sampai ke pelosok dunia bahkan Indonesia. Geliat perkembangan ini
menjadi warna tersendiri dalam khazanah tafsir khususnya dengan konteks
keindonesiaan yang khas. Mulai dari karya tafsir yang menggunakan bahasa daerah di
Indonesia hingga para sastrawan atau ilmuwan bidang lain pun turut andil dalam
memahami al-Qur’an serta menulis karya. Dalam memahami al-Qur’an tersebut
terdapat metodologi yang menyatukan ayat-ayat dalam satu tema pokok yakni tafsir
tematik. Maka dari itu, makalah ini akan mengulas sedikit tentang tafsir tematik yakni
Ayat-Ayat Tentang Wasiat dan Waris.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat dan waris?
2. Bagaimana gambaran umum penjelasan tentang pembagian waris?

C. Tujuan Masalah
1. Menguraikan ayat, terjemah, asbabun nuzul serta penafsiran ayat tentang wasiat
dan waris
2. Menjelaskan gambaran umum pembagian waris
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat

Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti antara lain: menjadikan,


menaruh belas kasihan, berpesan, menyambung, memerintah dan lain-lain.1
Menurut Syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang pelaksanaannya
dikaitkan sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.2
Wasiat artinya pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan
dilakukan terhadap hartanya sesudah dia meninggal kelak. Dalam al-Qur’an kata
wasiat banyak ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda, perbedaan
ini disebabkan karena penggunaan kata wasiat yang berbeda-beda dalam konteks
permasalahannya.
Dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid, Ibnu Rusyd mendefinisikan wasiat
sebagai penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau beberapa orang
sesudah meninggalnya orang tersebut, atau pembebasan hambanya baik
dijelaskan dengan lafaz} wasiat atau tidak.3 Sedangkan menurut sebagian fuqaha
mendefinisikan bahwa wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang
dilaksanakan setelah pemberinya meninggal.
Dikalangan fuqaha sunni seperti kelompok Syafi’iyah mendefinisikan
pengertian wasiat dengan pemberian secara penuh kesadaran akan haknya
terhadap hak miliknya yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah
terjadinya kematian si pemberi wasiat. Kelompok Hanabilah menambah definisi

1
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan, h. 131
2
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, h. 343
3
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, h. 9
tersebut dengan pemberian yang tidak melebihi sepertiga harta, yang hal ini juga
disepakati kelompok Malikiyah dan Hanafiyah.4

B. Dasar Hukum Wasiat


1. Surah Al-Baqarah ayat 180-182
- Ayat

َ‫صيَّةُ ِل ْل َٰ َو ِلدَي ِْن َو ْٱْل َ ْق َربِين‬


ِ ‫ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْٱل َم ْوتُ إِن ت ََركَ َخي ًْرا ْٱل َو‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم إِذَا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
‫س ِمي ٌع‬ َّ ‫س ِم َعهُ فَإِنَّ َما ِإثْ ُمهُ َع َلى الَّذِينَ يُبَ ِدلُونَهُ ۚ ِإ َّن‬
َ َ‫َّللا‬ َ ‫وف ۖ َحقًّا َعلَى ْٱل ُمتَّقِينَ فَ َم ْن بَدَّلَهُ بَ ْعدَ َما‬
ِ ‫ِب ْٱل َم ْع ُر‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ َّ ‫صلَ َح َب ْينَ ُه ْم فَ ََل ِإثْ َم َعلَ ْي ِه ۚ ِإ َّن‬
ٌ ُ‫َّللاَ َغف‬ ْ َ ‫وص َجنَفًا أ َ ْو ِإثْ ًما فَأ‬ َ ‫َع ِلي ٌم فَ َم ْن خ‬
ٍ ‫َاف ِم ْن ُم‬
- Terjemah
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka barangsiapa yang
mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Akan tetapi)
barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat
sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka
tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
- Asbabun Nuzul
Pada awalnya sebelum seseorang meninggal hendaknya
berwasiat untuk pembagian harta waris. Namun mengenai hal ini ada
perbedaan pendapat para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa

4
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, h. 254
ayat ini tidak berlaku lagi karena Wasiat dalam surat al-baqarah Q.S Al
Baqarah ayat 180 telah dinasakh oleh surat an-nisa’ ayat 11-12. namun
sebagian ulama mengatakan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah 180
tetap berlaku, yakni bagi orang yang mampu (orang yang harta
bendanya banyak). Karena dalam ayat itu harta benda itu tidak
disebut mal tapi khairanyang artinya baik. Maka jika si fulan
meninggalkan khairan, yang dimaksud adalah kekayaan yang banyak.5
Jika seseorang berwasiat agama menganjurkan adanya saksi
atau pada zaman sekarang yaitu ke notaries. Hal ini karena
dikhawatirkan adanya kecurangan atau kekeliruan dalam wasiat.
Wasiat tidakl bisa diubah kecuali dalam keadaan tertentu, misalnya
adanya maksud pilih kasih oleh si pembuat wasiat. Dalam kondisi
seperti ini tidaklah berdosa bagi pelaksana wasiat untuk menyimpang
dari tindakan berat sebelah atau aniaya itu, dan mengembalikan
urusannya kepada keadilan dan kesadaran.
- Tafsir Ayat
Secara umum Surah Al-Baqarah ayat 180 membahas tentang
kewajinan berwasiat bagi orang yang beriman yang telah merasa
bahwa ajalnya sudah dekat. Kewajiban berwasiat itu, ialah kepada
orang-orang yang mempunyai harta, agar sesudah matinya dapat
disisihkan sebagian harta yang akan diberikan kepada ibu bapak dan
karib kerabatnya dengan baik (adil dan wajar).

Para ulama mujtahid, untuk menerapkan suatu hukum wasiat


yang positif dari Q.S Al Baqarah ayat 180 ini, mereka memerlukan
pembahasan dan penelitian pula terhadap ayat-ayat lain dalam Alquran

5
Syahin, Musa. Tt. Fathul Muin Fi syarah Shoheh muslim, Tt: Tp.
dan terhadap hadis-hadis Nabi yang ada hubungannya dengan persoalan
ini, sehingga mereka menghasilkan pendapat antara lain:6

a.) Jumhur ulama memberikan pendapat bahwa ayat wasiat 180 ini
telah dinasakhkan (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat mawaris yang
diturunkan dengan terperinci pada surat An-Nisa:11,12 dengan alasan
antara lain sebagai berikut:
Sabda Rasulullah SAW:

‫إن هللا قد أعطي كل ذي حق حقه أال ال وصية لوارث‬

Artinya:
Sesungguhnya Allah swt. telah memberikan kepada setiap
orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat bagi ahli
waris. (H.R Ahmad dan Al Baihaqi dari Abu Umamah Al Bahali)
Hadis ini walaupun tidak mutawatir, namun telah diterima baik oleh
para ulama Islam semenjak dahulu.
b.) Para ulama sependapat bahwa ayat-ayat mawaris tersebut diturunkan
sesudah ayat wasiat ini.
c.) Para ulama yang berpendapat bahwa ayat wasiat ini dinasakhkan oleh
ayat-ayat mawaris, terbagi pula kepada 2 golongan: golongan pertama
mengatakan: Tidak ada wasiat yang wajib, baik kepada kerabat yang
ahli waris maupun kerabat yang bukan ahli waris. Golongan kedua
berpendapat bahwa yang dinasakhkan hanya wasiat kepada kerabat ahli
waris saja, sesuai dengan ayat-ayat mawaris itu tetapi untuk karib
kerabat yang tidak termasuk ahli waris, wasiat itu tetap wajib hukumnya
sesuai dengan ayat wasiat ini.

6
Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar, Jakarta : PT Pustaka Panji Mas.
Washiat lisan ataupun tulisan harus disaksikan oleh dua orang
yang adil. Keadilan mereka didasarkan pada pengetahuan umum
masyarakat. Sebelum bersaksi, mereka juga diambil sumpahnya. Di
sinilah pentingnya sakralitas washiat, sehingga para pihak yang terlibat
di dalamnya merasa bahwa tindakan-tindakannya itu benar-benar
disaksikan juga oleh Allah. ada ayat ini Allah memberikan penjelasan,
yaitu kalau seseorang merasa khawatir bahwa orang yang berwasiat itu
tidak berlaku adil dalam memberikan wasiatnya Maka tidak ada dosa
baginya untuk menyuruh yang berwasiat agar berlaku adil dalam
memberikan wasiatnya. 7
2. Surah As-Syuro ayat 13
- Ayat

َّ ‫ِّى أ َ ْو َح ْينَا ٓ ِّإلَيْكَ َو َما َو‬


َ ‫ص ْينَا ِّب ِّهۦٓ ِّإب ٰ َْره‬
‫ِيم‬ ٓ ‫ص ٰى ِّب ِّهۦ نُو ًحا َوٱلَّذ‬ َّ ‫ِّين َما َو‬ ِّ ‫ع لَ ُكم ِّمنَ ٱلد‬ َ ‫ش ََر‬
ُ ‫وا فِي ِه ۚ َكب َُر َعلَى ْٱل ُم ْش ِركِينَ َما ت َ ْد‬
‫عو ُه ْم‬ ۟ ُ‫وا ٱلدِينَ َو َال تَتَفَ َّرق‬۟ ‫س َٰ ٰٓى ۖ أ َ ْن أَقِي ُم‬
َ ‫س َٰى َو ِعي‬
َ ‫َو ُمو‬
ُ ِ‫ِى ِإلَ ْي ِه َمن يُن‬
‫يب‬ َ َ‫ٱَّللُ يَجْ تَبِ ٰٓى ِإلَ ْي ِه َمن ي‬
ٰٓ ‫شا ٰٓ ُء َويَ ْهد‬ َّ ۚ ‫ِإلَ ْي ِه‬
- Terjemah
”Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya.
Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama
yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia
kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada

7
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah, juz 1. Tk, Lentera Hati.
(agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. As-
Syura: 13)8
- Tafsir Ayat
Syariat yang telah diwasiatkan dan diwahyukan dalam ayat ini
adalah tegakkanlah tuntunan dan ajaran agama, berupa keimanan
dan ketakwaan dengan baik, konsisten, dan terus-menerus, dan
janganlah kamu berselisih paham dan berbeda pendapat tentang
suatu persoalan yang dapat menimbulkan kamu berpecah belah di
dalamnya, yakni di dalam prinsip dan ajaran agama itu. Sangat
berat, besar, dan sulit bagi orang-orang musyrik untuk mengikuti
prinsip-prinsip dan tuntunan-tuntunan agama dari Tuhanmu yang
kamu serukan kepada mereka untuk mengikutinya karena mereka
menolaknya.9 Allah meyakinkan Nabi Muhammad dengan
mengatakan bahwa Allah memilih orang-orang yang Dia kehendaki
untuk mengikuti dan meyakini prinsip-prinsip dan tuntunan-
tuntunan agama tauhid yang diajarkan dan disampaikannya. Dia
pula memberi petunjuk untuk kembali kepada agama-Nya bagi
orang yang kembali kepada-Nya setelah bertobat atas kekafiran dan
kesalahan mereka.
C. Pengertian Waris
Waris adalah sebuah hukum umum yang diwasiatkan oleh Allah untuk
membagi rata harta yang ditinggalkan mayyit ketika tidak terdapat wasiat atau
terdapat sisa dalam harta yang telah dibagi. Dikarenakan sebuah hukum maka

terdapat kehati-hatian (ihtiyaati). Waris berasal dari al-irtsu ‫ اإلرث‬yang berarti

8
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 785
9
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani
sebuah ketetapan (‫)املفروضة‬.10 Sedangkan pewarisan merupakan pemindahan

harta yang dimiliki seorang yang telah meninggal (mayyit) kepada ahli waris
yang mana jika tidak ada wasiat maka ditentukan dengan pembagian warisan
kepada ahli waris.
Harta warisan yaitu segala benda atau sesuatu yang bernilai yang
ditinggalkan oleh pemilik karena meninggal dunia dan dapat diwarisi. Di antara
cakupan harta benda yang dimaksud yakni:
a. Benda atau sifat yang bernilai benda, seperti benda tetap, bergerak,
piutang, dsb.
b. Hak-hak kebendaan, seperti hak paten dalam karya.
c. Hak-hak diluar kebendaan, seperti hak memanfaatkan barang.
d. Benda-benda yang masih bersangkutan dengan orang lain, seperti
benda yang digadaikan, benda yang sudah dibayar namun belum
diterima, dll.11
Ketentuan diberlakukannya pembagian warisan yakni setelah
dilaksanakannya wasiat dan pelunasan hutang-hutang pewaris. Namun ketika
pewaris tidak sempat atau tidak menuliskan wasiat maka sepenuhnya Allah
mengambil alih pembagian ini sesuai dengan mekanisme waris dan setelah
pelunasan hutang. Seperti dalam ayat 11 yakni “Allah mewasiatkan kepada
kalian tentang pusaka untuk anak-anak kalian” yang kemudian ditutup dengan
ayat 12 yakni “ini adalah benar-benar dari Allah. Allah adalah Maha
Mengetahui lagi Maha Teliti.
1) Q.SAn Nisa ayat 11-12
- Ayat 11

10
Syaikh Sulaiman bin Muhammad, Hasiyah al-Bujairomi Alasyarah Manhajutullab Juz 3,
(Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah Juz 4, 2013), cet.2, hlm 273.
11
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:
Kementrian Agama Republik Indonesia), hlm.27
َ ِ‫ٱَّللُ فِ ٰٓى أ َ ْو َٰلَ ِد ُك ْم ۖ ِللذَّك َِر ِمثْ ُل َح ِظ ْٱْلُنث َ َيي ِْن ۚ فَإِن ُك َّن ن‬
‫سا ٰٓ ًء فَ ْوقَ ٱثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت َ َركَ ۖ َوإِن‬ َّ ‫ُوصي ُك ُم‬
ِ ‫ي‬
‫ُس ِم َّما ت ََركَ إِن َكانَ لَ ۥهُ َولَد ٌ ۚ فَإِن لَّ ْم يَ ُكن‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ف ۚ َو ِْلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل َٰ َو ِح ٍد ِم ْن ُه َما ٱل‬ ْ ِ‫َت َٰ َو ِحدَةً فَلَ َها ٱلن‬
ُ ‫ص‬ ْ ‫كَان‬
‫ُوصى بِ َها ٰٓ أَ ْو‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ِ ‫ُس ۚ ِم ۢن بَ ْع ِد َو‬
ُ ‫سد‬ُّ ‫ث ۚ فَإِن َكانَ لَ ٰٓۥه ُ إِ ْخ َوة ٌ فَ ِِل ُ ِم ِه ٱل‬
ُ ُ‫لَّ ۥه ُ َولَد ٌ َو َو ِرث َ ٰٓۥهُ أَبَ َواهُ فَ ِِل ُ ِم ِه ٱلثُّل‬
َّ َ‫ضةً ِمن‬
َّ ‫ٱَّللِ ۗ ِإ َّن‬
َ َ‫ٱَّللَ َكان‬
‫ع ِلي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫دَي ٍْن ۗ َءابَا ٰٓ ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَآٰؤُ ُك ْم َال تَد ُْرونَ أَيُّ ُه ْم أ َ ْق َربُ َل ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري‬
- Terjemah:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

- Ayat 12

ۚ ‫ٱلربُ ُع ِمما تََرْك َن‬


ُّ ‫ف َما تَ َرَك أ َْزََٰو ُج ُك ْم إِن مَّلْ يَ ُكن مَّلُ من َولَ ٌد ۚ فَِإن َكا َن ََّلُ من َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬
ُ ‫ص‬
ِ
ْ ‫َولَ ُك ْم ن‬
‫ٱلربُ ُع ِمما تََرْكتُ ْم إِن مَّلْ يَ ُكن لم ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَِإن َكا َن لَ ُك ْم‬
ُّ ‫ني ِِبَآ أ َْو َديْ ٍن ۚ َوََّلُ من‬ ِ ٍِ ِ ِۢ
َ ‫من بَ ْعد َوصيمة يُوص‬
‫ث َك َٰلَلَة أَ ِو‬ ِ ِ ٍِ ِ ِۢ ِ
َ ُ‫وصو َن ِبَآ أ َْو َديْ ٍن ۗ َوإن َكا َن َر ُج ٌل ي‬
ُ ‫ور‬ ُ ُ‫َولَ ٌد فَلَ ُه من ٱلث ُُّم ُن مما تََرْكتُم ۚ من بَ ْعد َوصيمة ت‬
ِ ۟
َ ‫س ۚ فَِإن َكانُٓوا أَ ْكثََر ِمن َٰذَل‬
ِِ ُُٓ‫ك فَ ُه ْم َُُرَكا‬ ُّ ‫ت فَلِ ُك ِل ََٰو ِح ٍد ِمْن ُه َما‬
ُ ‫ٱلس ُد‬ ٌ ‫ُخ‬ ٌ ‫ْٱمَرأَةٌ َولَٓهُۥ أ‬
ْ ‫َخ أ َْو أ‬
ٌٌ‫حلِيم‬ ‫ٱَّللُ َعلِ ٌيم‬
‫ٱَّللِ ۗ َو م‬
‫ضا ٍٓر ۚ َو ِصيمة ِم َن م‬ ِ ٍِ ِ ِۢ ِ
َ َ ‫وص َٰى ِبَآ أ َْو َديْ ٍن َغ ْ َْي ُم‬
َ ُ‫ٱلثُّلُث ۚ من بَ ْعد َوصيمة ي‬
Terjemah:

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh


isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun.

- Asbabun Nuzul
Diriwayatkan bahwa Ummu Kuhha mengadu kepada Nabi Muhammad
perihal harta peninggalan suaminya yang diambil sepenuhnya oleh
sepupu almarhum suaminya, dan tidak meninggalkann sekalipun untuk
dirinya dan kedua putri almarhum. Maka Allah memberi tanggapan-Nya
dalam dua tahap, yang pertama melalui Q.S Al-Nisa’ [4]: 8 yang
menegaskan hak para wanita untuk mewarisi dan sekaligus untuk
membatalkan praktek pewarisan pada zaman jahiliyyah, dan sesaat
kemudian diikuti dengan pewahyuan Q.S al-Nisa’ [4]: 11-12 yang
merinci secara jelas bagian-bagian waris bagi para ahli waris.12
Kemudian bersama ayat 11-12 terdapat ayat 176, yang mana keduanya
menjelaskan tentang bagian-bagian warisan untuk saudara-saudara
seayah dan sekandung. Hal ini menjadi inti dari ilmu faraidh.
- Tafsir Ayat
Dalam tafsir al-Baidawi, yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asraru
al-Ta’wil menjelaskan bahwa Allah memerintah dan mengamanahkan
kepadamu perihal pembagian satu prang laki-laki sama dengan dua orang
perempuan, beserta kelipatannya. Artinya jika terdapat dua orang laki-
laki berarti bagiannya sama dengan empat orang perempuan. Anak laki-
laki memiliki kekhususan mendapatkan bagian lebih banyak daripada
perempuan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa laki-laki memiliki
keutamaan. Dan bagian tersebut yang melebihi anak perempuan dianggap
cukup untuk menunjukkan bahwa laki-laki memiliki keutamaan
disbanding peempuan.13 Bagian dua banding satu untuk anak laki-laki
merupakan pembagian harta warisan yang telah disyariatkan oleh Allah
yang tercantum dalam al-Qur’an.
Allah memerintahkan kalian untuk berlaku adil terhadap anak-anak
mereka. Karena dahulu orang-orang jahiliyyah memberikan semua harta
pusaka hanya untuk ahli waris laki-laki saja. Sedangkan ahli waris

12
Ali bin Ahmad al-Wahdi, Asbab Nuzul al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kitab al-Jadid, 1969, hlm.
137
13
Nashiruddin Abu Sa’id Abdullah al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asraru al-Ta’wil,
Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1418 H, Juz II, hlm.62
perempuan tidak mendapat sesuatu apapun dar harta peninggalan. Maka
Allah memerintahkan untuk berlaku adil kepada mereka (para ahli waris)
dalam membagi harta warisan. Akan tetapi bagian kedua jenis dibedakan
oleh Allah; Dia menjadikan bagian laki-laki sama dengan dua perempuan.
Dengan alasan seorang laki-laki dituntut kewajiban memberi nafkah,
beban biaya lainnya, jerih payah dalam berniaga, dan berusaha serta
menanggung semua hal yang berat. Maka sudah menjadi harga yang
pantas jika laki-laki diberi bagian dua kali lpat dari bagian yang diterima
perempuan.14
Ketika turun ayat tersebut maka orang-orang merasa tidak suka atau
sebagian dari mereka tidak senang dengan pembagian itu, di antara
mereka ada yang mengatakan, “wanita diberi seperempat atau
seperdelapan dan anak perempuan diberi setengah serta anak laki-laki
kecil pun diberi, padahal tiada salah seorang pun dari mereka yang
berperang membela kaumnya dan tidak dapat merebut ghanimah.” Akan
tetapi hadis ini didiamkan saja; barang kali Rasulullah melupakannya,
atau kita katakan kepadanya, lalu beliau bersedia mengubahnya. Mereka
berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau memberikan harta warisan
kepada anak perempuan setengah dari harta yang ditinggalkan ayahnya,
padahal ia tidak memiliki kuda dan tidak pula berperang membela
kaumnya?” bahkan anak kecilpun diberi bagian warisan, padahal ia tidak
dapat berbuat apa-apa.15
Menurut Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir, pada masa jahiliyyah
mereka tidak memberikan warisan kecuali hanya pada orang yang
berperang untuk membela kaumnya, dan mereka hanya memberikannya
kepada anak yang tertua dan yang lebih tua lagi.16

14
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo: Dar al-Hadits, 2010, Juz II, hlm. 223
15
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an, hlm. 224
16
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an, hlm. 224
2) Q.S An Nisa ayat 176
- Ayat

‫ف َما‬ ِ َ َ‫اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم ِِف الْ َك ََللَِة ۚ إِ ِن ْامُرٌؤ َهل‬


‫ك قُ ِل م‬
ُ ‫ص‬
ْ ‫ت فَلَ َها ن‬
ٌ ‫ُخ‬
ْ ‫س لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أ‬
َ ‫ك لَْي‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬

‫ان ِمما تَ َرَك ۚ َوإِ ْن َكانُوا إِ ْخ َوة‬


ِ َ‫ني فَلَهما الثُّلُث‬
ِ ِ ِ
َ ُ ْ َ‫تَ َرَك ۚ َوُه َو يَِرثُ َها إ ْن ََّلْ يَ ُك ْن ََّلَا َولَ ٌد ۚ فَإ ْن َكانَتَا اثْنَ ت‬
ٌٌ‫َعلِيم‬ ٍُ ‫اَّللُ بِ ُك ِل َُ ْي‬ ِ َ‫اَّلل لَ ُكم أَ ْن ت‬
‫ضلُّوا ۗ َو م‬ ْ ُ‫ني م‬
ِ ْ َ‫ِر َجاًل ونِساُ فَلِل مذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاْلُنْثَي‬
ُ َِ‫ني ۗ يُب‬ ُ َ َ
- Terjemah:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.

- Tafsir Ayat
Ayat tersebut diturunkan sebagai jawaban atas kegundahan Jabir bin
Abdullah. Pada saat itu Jabir yang mengalami sakit keras dan hidup sebagai
seorang kalalah dengan sembilan saudarinya bertanya kepada Rasul SAW
perihal bagaimana mengelola hartnya jika nantinya dia mati.17 Sahabat

17
Faishal bin Abdul Aziz, Taufiq al-Rahman fi Durus al-Qur’an, Riyadh: Dar al-‘Ashimah,
1996, Juz II, hlm. 22
Jabir disebut kalalah karena dia; seandainya meninggal nantinya tidak
memiliki ahli waris selain saudari-saudarinya tersebut. Dia tidak memiliki
anak dan ayah yang masih hidup pada saat itu. Jadi secara definitif, kalalah
diartikan dengan seseorang yang tidak memiliki anak dan orangtua (ketika
mati).18 Ayat di atas menarasikan bahwa bagi yang sedang dalam kondisi
kalalah maka saudara yang dipunyai-lah yang menjadi ahli waris.
Adapun nominal dari bagian mereka (saudari perempuan; baik sebapak atau
sekandung) adalah setengah dari harta. Jika saudari perempuan tersebut
tidak memiliki anak, maka bagi saudara laki-laki; baik sebapak atau
sekandung berhak mendapatkan sebagian dari tirkah. Jika saudara
perempuan tersebut berjumlah dua maka bagi mereka (berdua) dua pertiga
dari tirkah. Dengan kata lain bilangan nominal dua pertiga dari tirkah
tersebut dibagi menjadi dua sehingga masing-masing mendapat satu pertiga
tirkah. Nominal tersebut berhak didapatkan para ahli waris jika telah
terselesaikannya wasiat dan lunasnya hutang. Hal ini memang secara
eksplisit tidak ada dalam ayat di atas, namun penulis mengkiaskannya
dengan kedua ayat yang ada sebelumnya yang mensyaratkan kedua hal
tersebut (lihat dalam QS. Al-Nisa ayat 11 dan 12.

Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini, Taj al-‘Urus min Jawahir al-
18

Qamus, tanpa kota penerbit, Dar al-Hidayah, tanpa tahun, Juz 30, hlm. 344
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sebuah kemustahilan Allah menurunkan syariat waris kepada umat Islam tanpa
adanya suatu keadaan yang melatar belakanginya. Sebagaimana syariat lainnya, syariat
waris diturunkan untuk memberikan pengaturan bagi manusia dan memberikan rasa
adil. Di antara hikmah dan tujuannya yaitu: menghormati hak dan kewajiban yang
berhubungan dengan hak adami mayit dan ahli waris: mengurus jenazah,
melaksanakan wasiat dan menyelesaikan utang piutang. Serta hak keluarga mayit yakni
menerima harta warisan. Menghindari perselisihan antar ahli waris atau keluarga mayit
yang diitnggalkan. Menjaga silaturahmi keluarga dari ancaman perpecahan yang
disebabkan harta warisan serta memberikan rasa aman dan adil.
Terjaganya harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima
harta warisan. Memberikan legalitas atas kepemilikan harta warisan dan memberikan
rasa keadilan bagi semua ahli waris. Menghindarkan diri dari dari perselisihan dan
perpecahan, bahkan pertengkaran dan pertumpahan darah akibat rebutan harta
peninggalan. Memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta
peninggalan. Sebagai estafet kebersambungan ilmu, menghindarkan kelangkaan orang
yang faham dalam pembagian harta warisan.
Hikmah-hikmah inilah harapannya, menjadi suntikan semangat untuk
melestarikan ilmu faraidh. Menunaikan fardhu kifayah dalam proses belajar dan
mengajarnya. Dan menerapkan dalam kehidupan sebagai wujud fardhu ain bila tiba
saatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Baidhawi, Nashiruddin Abu Sa’id Abdullah. 1418 H. Anwar al-Tanzil Waasraru


al-Ta’wil, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi. Juz II
Al-Husaini, Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq. Taj al-‘Urus min Jawahir
al-Qamus, Dar al-Hidayah
Al-Wahdi, Ali bin Ahmad al-Wahdi. 1969. Asbab Nuzul al-Qur’an, Kairo: Dar al-
Kitab al-Jadid
Faishal bin Abdul Aziz. 1996. Taufiq al-Rahman fi Durus al-Qur’an, Riyadh: Dar al-
‘Ashimah. Juz II
Ibn Katsir. 2010. Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Kairo: Dar al-Hadits. Juz II
Musa, Syahin Tt. Fathul Muin Fi syarah Shoheh Muslim

Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar, Jakarta : PT Pustaka Panji Mas.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,


Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani

Anda mungkin juga menyukai