Anda di halaman 1dari 14

]MAKALAH

TEORI HAQ
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah I
Dosen Pengampu :
Mugni Muhit, S.Ag., M.Ag.
(2114097901)

Disusun Oleh :

Eep Saeful 20201020


Hedi Wijayanti 20201011

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEMESTER II


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM Al-MA’ARIF CIAMIS
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Teori Haq ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Bapak Mugni Muhit, S.Ag., M.Ag. sebagai Dosen pada mata kuliah Fiqh
Mualamah I. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Teori Haq bagi para pembaca juga bagi para penyusun.
Kami menyadari, makalah yang telah disusun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, 08 Februari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3. Tujuan.............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................1
2.1. Definisi Haq..................................................................................................... 1
2.2. Jenis-Jenis Haq................................................................................................ 5
BAB III PENUTUP.............................................................................................10
3.1.
Kesimpulan......................................................................................................10
3.2. Saran................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk membimbing
manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nabi Muhammad SAW juga
memerintahkan kepada seluruh umatnya agar memelihara hak antar sesama.
Dalam hak harus dilandasi oleh aspek-aspek keimanan dan moral, serta dijabarkan
didalam aturan-aturan hukum, agar ada keadilan dan kepastian. Benar pernyataan
bahwa hukum tanpa moral dapat jatuh kepada kezaliman, dan moral tanpa hukum
dapat menimbulkan ketidakpastian.
Islam telah menetapkan adanya hak perseorangan maupun kelompok
terhadap harta yang dihasilkan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum
syara’. Islam juga menetapkan cara-cara melindungi haq yang disertai dengan
sanksinya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa Definisi Haq ?
2. Bagaimana Jenis-jenis Haq ?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui Definisi Haq.
2. Memahami Jenis-jenis Haq.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Haq


Haq berasal dari bahasa Arab haq, secara harfiah berarti “kepastian” atau
“ketetapan”, sebagaimana terdapat pada surat Yasin ayat 7:

1
2

َ‫ق ْالقَوْ ُل ع َٰلٓى اَ ْكثَ ِر ِه ْم فَهُ ْم اَل يُْؤ ِمنُوْ ن‬


َّ ‫لَقَ ْد َح‬
“Sungguh pasti berlaku perkataan (ketetapan) Alloh terhadap kebanyakan
mereka”.
Al-haq juga berarti “menetapkan” atau “menjelaskan”, seperti yang terdapat
pada surat al-Anfal aya 8:
َ‫ق َويُب ِْط َل ْالبَا ِط َل َولَوْ َك ِرهَ ْال ُمجْ ِر ُموْ ۚن‬
َّ ‫ق ْال َح‬
َّ ‫لِيُ ِح‬
“Agar Allah menetapkan yang haq (agama islam) dan membatalkan yang
batil (syirik) walaupun para pedosa tidak menyukainya”.
Al-haq juga berarti “kebenaran” sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 147:
َ‫ك فَاَل تَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ْال ُم ْمت َِر ْين‬ ُّ ‫اَ ْل َح‬
َ ِّ‫ق ِم ْن َّرب‬
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, oleh karena jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu”.

Secara terminologis haq merupakan gabungan kaidah dan nash-nash syari’at


yang wajib dipenuhi untuk menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan
dengan perorangan maupun yang berkaitan dengan harta benda. Definisi ini lebih
menekankan fungsi syari’at atau aturan hukum sebagai sumber rujukan haq. Jika
tidak ada syari’at atau aturan hukum niscahya tidak ada haq. Dengan demikian
definisi ini lebih menekankan aspek sumber atau sandaran haq, dan belum
menggambarkan substansi haq. Haq merupakan kewenangan atas sesuatu, atau
sesuatu yang wajib atas seseorag untuk orang lain.
Substasi haq sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak lain
dari sisi penerima dinamakan haq, sedangkan dari sisi pelaku disebut iltizam.
Secara harfiyah iltizam artinya “keharusan atau kewajiban”. Sedangkan secara
istilahiyan iltizam adala akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain
berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat
sesuatu untuk. Pihak yang terbebani oleh haq orang lain dinamakan multazim,
sebagai pemilik hak dinamakan multazamlahu atau shahibul haq. Jadi antara haq
dan iltizam keduanya terkait dalam satu hubungan timbal balik antara perbuatan
3

menerima dan memberi. Dari sisi penerima dinamakan haq, sedangkan dari sisi
pemberi dinamakan iltizam.
Dalam akad muwwadhah (saling menerima dan melepaskan) haq dan
iltizam berlaku pada masing-masing pihak. Misalnya pada akad jual-beli, penjual
berstatus sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haq. Demikian juga halnya
pihak pembeli. Haq yang seperti ini juga berlaku pada akad murabahah dan
sebagainya. Dengan demikian pihak-pihak yang terlibat dalam akad
mu’awwadhah masing-masing memiliki haq sebagai imbangan atas kewajiban
yang dibebankan kepadanya atau masing-masing memiliki kewajiban sebagai
imbangan atas haq yang diterimanya.
Al-Qur’an dann hadits Nabi serta fiqih para ulama tentang hukum Islam
merupakan sumber adanya suatu haq. Keduanya sekaligus merupakan sumber
utama iltizam. Namun demikian ada juga sumber iltizam yang dikemukakan
Muhammad Musthafa Syalaby:
1. Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al-‘aqidain) untuk melakukan
sebuah perikatan, seperti akad jual-beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya.
2. Iradat al-munfaridah (kehendak sepihak, seperti ketika seseorang
menyampaikan suatu janji atau nadzar bahwa akan berkunjung ke rumah).
3. Al-fi’l al-nafi’ (perbuatan yang bermanfaat), perbuatan yang menjadi solusi
positif bagi orang lain yang kondisinya amat sangat membutuhkan santunan,
perhatian, bantuan, dan pertolongan.
4. Al-fi’l al-dharar (perbuatan yang merugikan), seperti seseorang yang merusak
atau melanggar haq atau kepentigan orang lain, maka ia terbebani kewajiban
tertentu.
Iltizam ada kalanya berlaku atas harta benda (al-mal), terdapat hutang (al-
dain), dan terhadap perbuatan (al-fi’il). Iltizam terhadap harta benda harus
dipenuhi dengan meyerahkan harta benda kepada multazam anhu, seperti
keharusan penjual meyerahkan barang kepada pembeli dan keharusan pembeli
menyerahkan uang pada penjual.
Iltizam pada hutang prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berhutang
secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu hukum Islam memberikan
beberapa alternatif pemenuhan iltizam ini. Misalnya melalui cara:
4

1. Hawalah, yakni pengalihan iltizam (dalam hal ini adalah keharusan membayar
hutang) kepada orang lain (pihak ketiga). Secara sederhana dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
A memberi pinjaman kepada B, sedangakan ;
B mempunyai piutang kepada C.

Ketika B tidak mampu membayar hutangnya kepada A, maka ia dapat


mengalihkan beban hutang tersebut kepada C. Maka C harus membayar
hutangnya kepada A, sedangkan B secara hukum tidak lagi berhutang kepada
A.
2. Kafalah (mengumpulkan, menjamin, dan menanggung), yaitu jaminan yang
diberikan oleh pihak penanggung (al-kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua, yakni pihak yang ditanggung (al-makful).
Dalam hawalah terjadi pengalihan hutang, sedangkan yang terjadi dalam
kafalah adalah pengalihan iltizam, bukan pengalihan hutang. Melalui kafalah
pihak ketiga (perbankan) tidak berhak menagih kepada makful, sebaliknya
penagih hutang tersebut harus ditujukan kepada al-kafil. Pihak kafil hanya
bertanggung jawab dalam pelunasan hutang dan tidak bertanggungjawab
melunasinya.
3. Taqashi, suatu keadaan dimana orang berpiutang terhalang menagih
piutangnya karena ia sendiri berhutang kepada orang yang berpiutang kepada
dirinya. Dalam kondisi seperti dimana masing-masing hanya terhalang untuk
menuntut haq tagihan, namun mereka tetap terbebani oleh iltizam masing-
masing.
Iltizam atas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui suatu perbuatan yang
menjadi mahallul iltizam, seperti kewajiban seorang buruh (musta’jir) dalam akad
ijarah harus dipenuhi dengan melakukan pekerjaan tertentu, atau kewajiban orang
yang meminjam barang (musta’ir) dalam akad ‘ariyah harus dipenuhi dengan
perbuatan mengembalikan barang yang dipinjam kepada pemilikinya.
5

2.2. Jenis-jenis Haq


1. Perlindungan Haq
Perlindungan haq dalam ajaran Islam merupakan terjemahan dari ajaran dan
prinsip keadilan (al-mizan). Demi keadilan diperlukan kekuatan dan kekuasaan
untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya haq.
Kalau tidak pelanggaran haq orang lain akan merajalela. Namun Islam
menganjurkan agar pemilik haq berlapang hati dan bermurah hati dalam menutut
pemenuhan haqnya, khusunya terhadap orang-orang yang dalam kondisi
kesulitan. Surat Al-Baqarah ayat 280 menjelaskan :

َ َ‫َواِ ْن َكانَ ُذوْ ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ اِ ٰلى َم ْي َس َر ٍة ۗ َواَ ْن ت‬


َ‫ص َّدقُوْ ا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tenggang waktu
sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

2. Penggunaan Haq
Pada prinsipnya Islam memberikan kebebasan bagi setiap pemilik untuk
mempergunakan haqnya sesuai kehendaknya (iradah) sepanjang kebebasan
tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Kebebasan menggunakan haq
selain dibatasi oleh syari’at Islam, juga dibatasi oleh haq dan kepentingan orang
lain. Prinsip perlindungan haq dalam Islam, berlaku untuk seluruh manusia tanpa
kecuali terutama perlidungan haq masyarakat umum. Penggunaan haq secara
berlebihan yang menimbulkan pelanggaran haq dan kerugian terhadap
kepentingan orang lain maupun kepentingan masyarakat umum dalam hukum
Islam disebut ta’assuf fi isti’ malil haq.

3. Ta’assuf fi isti’ malil haq


Ta’assuf fi isti’ malil haq ditegaskan dalam ajaran Islam sebagai perbuatan
terlarang dan tercela (haram).
6

‫هّٰللا‬
ِ ‫ض َم َرح ًۗا اِ َّن َ اَل يُ ِحبُّ ُك َّل ُم ْختَا ٍل فَ ُخوْ ۚ ٍر َوا ْق‬
َ‫ص ْد فِ ْي َم ْشيِك‬ ِ ْ‫ش فِى ااْل َر‬ ِ ‫اس َواَل تَ ْم‬ ِ َّ‫ك لِلن‬ َ ُ‫َواَل ت‬
َ ‫صعِّرْ َخ َّد‬
‫ت ْال َح ِمي ِْر‬
ُ ْ‫صو‬
َ َ‫ت ل‬ َ ۗ ِ‫صوْ ت‬
ِ ‫ك ِا َّن اَ ْن َك َر ااْل َصْ َوا‬ َ ‫ࣖ َوا ْغضُضْ ِم ْن‬

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena


sombong) dan jangalah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Alloh SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara
keledai”.

Makna kontekstual ayat tersebut adalah seorang kreditur dilarang


menggunakan haq dengan tekanan yang memaksa yang bertujuan utuk
menganiaya debitur, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kelompok komunis
yang atheis (tidak mengakui adanya Tuhan). Larangan ini didasarkan pada dua
pertimbangan prinsip. Pertama, pada prinsipya kebebasan dalam Islam tidaklah
bersifat mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab. Yang tidak
bertentangan dengan tujuan risalah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Kedua
prinsip tauhid mengajarkan bahwasannya Alloh SWT adalah pemilik haq yang
sesungguhnya, sedangkan haq yang dimiliki manusia merupakan amanat Alloh
SWT yang harus dipergunakan sebagaimana yang dikehendakinya.
Perbuatan yang tergolong ta’assuf fi isti’ malil haq adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan haq yang mengakibatkan pelanggaran haq orang lain atau
menimbulkan kerugian terhadap kepentingan orang lain.
2. Mengerjakan perbuatan yang tidak disyari’atkan dan tidak senapas dengan
tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan haq tersebut.
3. Menerapkan haq untuk kemaslahatan pribadinya tetapi mengakibatkan
mudharat yang besar terhadap pihak lain atau kemaslahatan yang ditimbulkan
sebanding dengan mudharat yang ditimbulkannya baik terhadap kepentingan
pribadi orang lain lebih-lebih terhadap kepentingan masyarakat umum.
4. Memanfaatkan haq tidak sesuai pada tempatnya atau bertentangan dengan adat
kebiasaan yang berlaku serta menimbulkan mudharat terhadap pihak lain.
7

5. Mengambil haq secara tidak hati-hati sehingga menimbulkan mudharat


terhadap orang lain.

Jika ta’assuf fi isti’ malil haq terjadi , dapat diambil beberapa tidakan
sebagai berikut:
1. Menghilangkan atau melenyapkan segala hal yang nyata-nyata telah
menimbulkan mudharat kepada orang lain.
2. Membayar ganti sepadan dengan kerugian yang diakibatkan.
3. Membatalkan perbuatan tersebut.
4. Menghentikan perbuatan tersebut.
5. Memberlakukan sanksi hukuman (ta’zir).
6. Mengambil tindakan paksa kepada pelaku untuk melakukan sesuatu agar
kerugian yang ditimbulkan cepat berakhir.

4. Haq Alloh dan haq manusia


Haq Alloh SWT adalah haq yang kemanfaatannya ditujukan untuk melindungi
kepentingan umum (al-mashlahah al’ammah). Melekat pada setiap individu dan
tidak dapat diwakilkan juga tidak dapat diwariskan kepada ahli waris. Segala jenis
peribadatan dalam Islam, dan berbagai macam aturan untuk melindungi ketertiban
umum seperti aturan sanksi pidana (tidak dapat digugurkan melalui
perdamaian/al-shulh dan permaafan/al-afw).
Haq manusia adalah haq yang ditujukan untuk melidungi kepentingan manusia
secara pribadi-pribadi sebagai pemilik haq. Pelanggaran dalam haq ini dapat
digugurkan melalui pemaafan dan perdamaian atau melalui ganti rugi, serta dapat
diwariskan.
Haq berserikat antara haq Alloh dan haq manusia. Secara konseptual dapat
dipahami sebagai sebuah haq yang pada satu sisi ditujukkan untuk melindungi
kepentingan umum sekaligus untuk melindungi kepentingan pribadi. Maka
sesungguhnya pada setiap haq Alloh SWT ada juga perlindungan kepentingan
pribadi, dan pada setiap haq manusia terkandung perlindungan terhadap
kepentingan umum. Karena sesungguhnya antara dua kepentingan tersebut tidak
8

dapat dipisahkan, dan perlindungan terhadap salah satu di antara kedua


kepentingan tersebut mengandung perlindungan kepentingan lainnya.

5. Haq Syahsiy dan Haq ‘Ainiy


Dari segi substansinya haq dibedakan menjadi haq syahsiy (haq atas orang)
dan haq ‘ainiy (hak atas benda). Dalam haq syahsiy terdapat dua pihak yang
saling berhadapan. Pertama adalah pihak yang mempunyai kewajiban (multazim)
dan pihak yang kedua yang mempunyai (multazam atau shahibul haq).
Keterkaitan antara kedua belah pihak tersebut terjadi berdasarkan iradah
(pernyataan kehendak), baik dua pihak (akad) atau sepihak (wa’du atau nadzar).
Haq ‘ainiy adalah kewenangan (al-syulthah) dan keistimewaan (istishash)
yang timbul karena hubungan antara seseorang dengan benda tertentu secara
langsung. Sehubungan dengan haq ‘ainiy terdapat dua hal yang perlu
dipertimbangkan:
Pertama, objek haq ‘ainiy harus berupa haq kongkrit sehingga pemilik benda
mempunyai kekuasaan langsung terhadapnya tanpa melalui perantara orang lain.
Kedua, kewenangan (al-syulthah) dan keistimewaan (istishash) atas benda secara
langsung, bukan berarti benda tersebut harus selalu dalam kekuasaannya, tetapi
bisa jadi benda tersebut pada kenyataannya berada dalam kekuasaan orang lain,
seperti sewa-menyewa atau benda yang disita demi kepentingan proses hukum.
Sekalipun demikian kekuasaan pemilik benda tetap diakui secara hukum sebagai
kekuasaan langsung.
Sehubungan dengan adanya ikhtilaf tentang jenis haq ini, para fuqaha membuat
parameter bebarapa kaidah sebagai berikut:
Pertama haq ‘ainiy bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya.
Sekalipun benda tersebut berada di tanga orang lain. Kedua, materi haq ‘ainiy
yang berpindah tangan sedangkan haq syahsiy tidak dapat berpindah tangan
melainkan melekat pada pribadi sebagai sebuah tanggungjawab dan kewajiban.
Ketiga, haq ‘ainiy gugur apabila materi (objek) haq hancur atau musnah,
sedangkan haq syahsiy tidak akan gugur dengan hancur atau musnahnya materi
karena haq syahsiy melekat pada diri seseorang kecuali pemilik haq meninggal.
9

6. Haq ainiyah
a. Haq al-malikiyah
Hak milik adalah suatu haq yang memberikan kepada pihak yang
memilikinya kekuatan atau kewenangan atas sesuatu hingga ia memiliki
kewenangan mutlak untuk menggunakan dan mengambil manfaat
sepanjang tidak menimbulkan kerugian terhadap orang lain.
b. Haq al-intifa’
Adalah haq memanfaatkan harta orang lain berdasarkan harta yang
dibenarkan syara’. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan 5 penyebab
munculnya haq intifa’:
1. Melalui i’arah
2. Ijarah
3. Waqaf
4. Wasiat bil manfaat
5. Ibadah
c. Haq al-Irtifaq
Adalah haq yang berlaku atas suatu benda yang tidak bergerak untuk
kepentingan benda tidak bergerak milik pihak lain. Memiliki 3 tipe:
1. Berlaku untuk kepentigan pribadi maupun milik umum. Sedangkan
haq intifa’ berlaku pada pemanfaat benda pada pemilik tertentu.
2. Selalu terkait dengan benda tidak bergerak, sedangkan haq intifa’ bisa
berlaku pada benda bergerak dan tidak bergerak.
3. Berlaku tidak terbatas dan dapat diwariskan sedangkan haq intifa’
terbatas waktu.
Haq irtifaq muncul disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1) Al-Syirkah al-Ammah, seperti hubungan dengan ketetanggaan
dengan fasilitas umum.
2) Persyaratan tertentu yang disepakati dalam akad mu’awadhah.
3) Kesepakatan antara tetangga untuk mengatur dan menertibkan
haq masing-masing.
7. Haq diyaniy dan haq qadla’iy
Haqul diyaniy, yaitu haq keagamaan. Hak-hak yang pelaksanaanya tidak
dapat dicampuri oleh kekuasaan negara. Dan haqul Qadla’iy, yaitu haq
kehakiman. Sesuatu yang dapat dibuktikan di depan hakim pengadilan.
Selain unsur lahiriah, yaitu perbuatan, unsur bathiniah seperti niat dan esensi
(hakikat), juga merupakan unsur yang penting dalam haq diyaniy. Sementara
dalam haq qadla’iy semata-mata diciptakan berdasarkan kenyataan fisikal dan
mengabaikan aspek niat dan hakikat suatu perbuatan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Haq berasal dari bahasa arab haq, secara harfiah berarti “kepastian” atau
“ketetapan”. Al-haq juga berarti “menetapkan” atau “menjelaskan”. Al-
haq juga berarti “kebenaran”.
2. Secara terminologis terdapat beberapa pengertian haq. Haq adalah
himpunan kaidah dan nash-nash syari’at yang harus dipatuhi untuk
menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan perorangan maupun
yang berkaitan dengan harta benda.
3. Substansi haq sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak
lain dari sisi penerima dinamakan haq. Sedangkan dari sudut pandang
palaku disebut iltizam artinya “keharusan atau kewajiban”.
4. Sumber iltizam yang lain adalah: aqad, iradah al-munfaridah, al-fi’lun
nafi, al-fi’lu al-dharr. Dalam kondisi tertentu hukum islam memberikan
beberapa alternatif pemenuhan iltizam ini. Misalnya melalui cara:
hawalah, kafalah, taqashi.
5. Jenis-jenis haq terdiri dari : perlindungan haq (QS al-Baqarah ayat 280),
penggunaan haq, ta’assuf fi isti’ malil haq, haq Allah dan haq manusia,

10
11

haq syahsiy dan haq’aini, haq ainiyah, haq al-malikiyah (haq milik), haq
al-intifa, haq al-irtifaq, haq diyaniy dan haq qadla’iy.

3.2. Saran
Haq merupakan kekuasaan seseorang terhadap sesuatu dan mempunyai
kebebasan bertindak secara bebas. Namun, untuk dapat melaksanakannya
memahami terlebih dahulu makna dari haq itu sendiri dan aturan di dalamnya
lebih bijak dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Muhit, Mugni, 2020, Fiqih Muamalah Teori-teori Ekonomika Islami,


Tangerang:Nun Media Berkah.

Anda mungkin juga menyukai