2
B. Bentuk-Bentuk Jual Beli Dalam Islam
Bai‟ al-Sil‟ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar resmi
atau uang. Jenis jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli yang paling
banyak dilakukan dalam masyarakat dewasa ini. Contoh Bai‟ al-Sil‟ah bi al-
Naqd adalah membeli pakaian atau makanan dengan uang rupiah sesuai dengan
harga barang yang telah ditentukan.
b. Bai‟ al-Muqayadhah
Bai‟ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang tertentu
atau yang sering disebut dengan istilah barter. Jenis jual beli ini tidak hanya
terjadi pada zaman dulu saja, namun juga masih menjadi salah satu pilihan
masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus diperhatikan dalam
menjalankan jenis jual beli ini adalah memperhatikan aspek-aspek yang terkait
dengan etika berbisnis dalam Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus
diperhatikan adalah hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua
belah pihak serta tidak memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan
penukaran (barter) antara dua barang sejenis dengan perbedaan ukuran dan
harga. Contoh Bai‟ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung,
pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya.
c. Bai‟ al-Salam
Bai‟ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan penyerahan
barang yang telah dibayar secara tunai. Praktik jual beli jenis ini dapat
digambarkan dengan seorang penjual yang hanya membawa contoh atau gambar
suatu barang yang disertai penjelasan jenis, kualitas dan harganya, sedangkan
3
barang yang dimaksudkan tidak dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis jual
beli ini termasuk jual beli yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan
dengan suka rela dan tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-
masing pihak. Dengan ketentuan ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan
setelah salah satu pihak (pembeli) menyerahkan sejumlah uang kepada pihak
yang lain (penjual/sales). Contoh Bai‟ al-Salam adalah membeli perabotan
rumah tangga, seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang
menawarkan barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya,
barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu.
Bai‟ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu menjual
barang dengan harga yang lebih murah dari harga pokoknya. Sebagai contoh
misalnya, seorang menjual hand phone (HP) yang baru dibelinya dengan harga
Rp.500.000,- Namun karena adanya kebutuhan tertentu, maka ia menjual HP
tersebut dengan harga Rp. 450.000,. Praktik jual beli seperti ini diperbolehkan
dalam Islam, selama hal itu dibangun atas prinsip saling rela dan bukan karena
paksaan.
Bai‟ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga pokok,
tanpa ada kelebihan atau keuntungan sedikitpun. Praktik jual beli seperti ini
4
digambarkan dengan seseorang yang membeli sebuah motor baru dengan harga
Rp. 13.500.000. Mengingat ia memiliki kebutuhan lainnya yang lebih penting
atau pertimbangan tertentu, maka motor tersebut dijual dengan harga yang sama.
Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi prinsip dan
tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari keuntungan finansial dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Namun perlu difahami bahwa
biasanya praktik jual beli al-tauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya
suatu kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya sesuai
harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan sedikitpun. Jual
beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama
dibangun di atas prinsip saling merelakan dan tidak terdapat unsur paksaan serta
kezaliman.
Bai‟ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak (penjual dan
pembeli), di mana seseorang menjual barangnya kepada pihak pembeli dengan
harga tangguh lebih tinggi, dan menjual dengan harga lebih murah jika dibayar
secara tunai (cash). Dalam fikih Islam, jenis jual beli seperti ini sering juga
disebut dengan “al-bai‟ bitsamanin „ajil” atau jual beli dengan sistem kredit,
atau jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan. Jenis jual beli ini
hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat, penjual harus memperhatikan hak-hak
pembeli, penentuan harga yang wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan
demikian, terdapat unsur saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli
untuk menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak. Seorang
penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli sesuai kemampuan
daya beli dengan memberikan waktu sesuai kesepakatan.
Bai‟ al-Istishna‟ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan (pembuatan)
barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai keinginan pemesan.
Pemesan barang pada umumnya memberikan uang muka sebagai bentuk
komitmen dan keseriusan. Setelah terjadinya akad atau kesepakatan tersebut,
kemudian penjual memproduksi barang yang dipesan sesuai kriteria dan
keinginan pemesan. Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan
5
jual beli Salam (bai‟ al-Salam), namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam jual
beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya sudah ada, namun tidak
dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman) hanya membawa foto
atau contoh barang (sample) saja, kemudian diserahkan kepada pembeli setelah
terjadinya kesepakatan di antara mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna‟,
barang yang diperjual-belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru
dibuat setelah terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai
kriteria dan jenis barang yang dipesan.
Contoh Bai‟ al-Istishna‟ adalah pemesanan pembuatan kursi, almari dan lain
sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual beli seperti ini
diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang diperjual belikan belum ada,
asalkan dibangun di atas prinsip saling merelakan, transparan (tidak
manipulatif), memegang amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai
kesepakatan yang telah diputuskan bersama.1
6
1) Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal)
karena tidak memenuhi rukun dan syarat. Bentuk jual beli yang termasuk dalam
kategori ini sebagai berikut:
a) Jual beli yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan. Barang
yang najis atau haram dimakan haram juga untuk diperjualbelikan, seperti
babi, berhala, bangkai dan khamar (minuman yang memabukkan).
b) Jual beli gharar, yaitu jual beli yang belum jelas, sesuatu yang bersifat
spekulasi atau samar-samar haram untuk diperjualbelikan, karena dapat
merugikan salah satu pihak, baik penjual, maupun pembeli, seperti:
c) Jual Beli yang bersyarat, jual beli yang ijab kabulnya yang dikaitkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli atau ada
unsur-unsur yang merugikan dilarang oleh agama. Contoh, jual beli yang
bersyarat dan dilarang misalnya ketika terjadi ijab kabul si pembeli berkata:
“Baik, mobilmu akan saya beli dengan syarat tanah kebunmu harus dijual
kepadaku.”
e) Jual beli yang dilarang karena dianiaya, segala bentuk jual beli yang
mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak
binatang yang masih membutuhkan (bergantung) kepada induknya. Menjual
7
binatang seperti ini, selain memisahkan anak dari induknya juga melakukan
penganiayaan terhadap anak binatang ini.
i) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli yang secara lemparmelempar. seperti
seseorang berkata “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti
kulemparkan pula apa yang ada padaku” setelah terjadi lempar-melempar
terjadilah jual beli mengapa hal ini dilarang dalam agama ini karena
mengandung tipuan dan tidak ada ijab kabul.
j) Jual beli muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang
kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah sedang
ukurannya dengan ditimbang (dikilo) sehingga akan merugikan pemilik
padi kering.2
2) Jual beli yang hukumnya sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah
memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi
kebolehan proses jual beli.
2
Sri Sudiarti. Fiqh Muamalah Kontemporer. (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), hlm. 87.
8
b) Talaqqi rukban, yaitu jual beli dengan menghadang dagangan diluar
kota/pasar. maksudnya adalah menguasai sebelum sampai ke pasar agar
dapat membelinya dengan harga murah, sehingga ia kemudian menjual di
pasar dengan harga pasar. Jual beli hal ini dilarang karena dapat kegiatan
pasar, meskipun akadnya sah.
d) Jual beli barang rampasan atau curian. Jika si pembeli telah tahu bahwa
barang yang akan dibeli adalah barang curian/rampasan, maka keduanya
telah bekerja sama dalam perbuatan dosa oleh karenanya jual beli semacam
ini dilarang.
e) Jual beli yang dapat menjauhkan dari ibadah Maksudnya adalah ketika
waktunya ibadah, pedagang malah menyibukkan diri dengan jual belinya
sehingga mengakhirkan shalat berjamaah di masjid.
f) Jual beli „inah, yaitu seseorang menjual suatu barang dagangan kepada
orang lain dengan pembayaran tempo
(kredit) kemudian si penjual membeli kembali barang itu secara tunai
dengan harga lebih rendah.
g) Jual beli najasy yaitu jual beli dimana penjual menyuruh seseorang untuk
menawar barang dengan harga yang lebih tinggi ketika calon pembeli
datang, padahal dia tidak akan membelinya.
h) Melakukan penjualan atas penjualan orang lain yang masih dalam masa
khiyar.
i) Jual beli secara tadlis (penipuan) Adalah apabila seorang penjual menipu
saudara semuslim dengan cara menjual kepadanya barang dagangan yang di
9
dalamnya terdapat cacat. Penjual itu mengetahui adanya cacat tetapi tidak
memberitahukannya kepada pembeli.3
Ditinjau dari benda (objek), jual beli dibagi menjadi 3 macam yaitu:4
1. Bendanya kelihatan yaitu jual beli dimana pada waktu melakukan akad jual
beli, barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli.
Contoh : membeli beras di toko atau pasar.
2. Sifat-sifat bendanya disebutkan dalam janji. Jual beli ini biasanya disebut
dengan jual beli salam (pesanan).
3. Bendanya tidak ada Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat
ialah jual beli yang dilarang dalam Islam karena bisa menimbulkan
kerugian salah satu pihak.
b. Jual beli yang tidak menguntungkan yaitu menjual dengan harga aslinya (at-
tauliyah).
3
Ibid., hlm. 88.
4
Muhammad Taqiyuddin. Kifayah Al-Akhyar. Jilid 1 (Surabaya: Darul Ilmi), hlm. 329.
10
a. Al-Murabahah (Jual beli dengan pembayaran di muka baik tunai maupun
cicilan).
Bai‟ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi
jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
Al-Murabahah yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati antara penjual dan pembeli
5
Sri Sudiarti, Op. Cit, hlm. 89.
11
Al-Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara; melangsungkan atau
mebatalkan.17 atau proses melakukan pcmilihan terhadap sesuatu. Khiyar dalam arti
bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhirukhairan-wa khiyaratan ( يخيس- ٘خيسا- خياسة
خاز- ( yang sinonimnya:خيسا أعع ا
٘ا ٔ ي, yang artinya” memberikan kepadanya sesuatu
yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang
baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Khiyar itu
dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli dan penjual
atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem
khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah seorang dari pembeli
atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak
senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat
mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau
uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. 6
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar
adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat
cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena
sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad
selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.
Khiyar dapat pula dibagi menjadi dua : khiyar secara sempit adlah "pilihan"
sedangkan khiyar secara umum adalah pilihan bebas dengan ikhlas tanpa ada paksaan.
Akan tetapi khiyar atau kebebasan menurut seorang ekonom barat Nozick (1974)
tidak memadainya perilaku pementingan diri juga dapat menjadi soal serius bagi
pendekatan etika yang menekankan kebebasan. Orang itu bebas mengejar
kepentingan- diri (yang tunduk pada kendala-kendala itu) tanpa halangan atau
rintangan.7
D. KHIYAR DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, tepatnya pada Pasal 20 ayat 8 dinyatakan
bahwa khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau
membatalkan akad jual beli yang dilakukan.8 Jika dilihat dari definisi tersebut, khiyar
6
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 408.
7
Amartya Sen, Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?, (Bandung, Penerbit : Mizan, 1998), h. 43-
44.
8
PPHIMM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 16
12
ialah adanya pemikiran yang sungguh-sungguh baik dari sisi negatif maupun positif
bagi kedua pihak sebelum benar-benar memutuskan untuk jual beli. Hal ini untuk
menghindari kerugian yang terjadi dikemudian hari oleh kedua belah pihak. Jadi, hak
khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik
pihak-pihak yang melakukan jaul beli.
Sebagaimana penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa khiyar merupakan hak
pilih bagi pembeli untuk dapat meneruskan atau membatalkan jual beli yang
berlangsung. Hak khiyar merupakan suatu bentuk pemikiran yang dilakukan oleh
pembeli untuk benar-benar memutuskan transaksi jual beli tersebut akan diteruskan
atau dibatalkan.
Konsep atau sistem khiyar hadir ditengah-tengah aktivitas ekonomi sebagai solusi
dari permasalahan yang kerap muncul saat orang-orang melakukan transaksi jual beli.
Dengan adanya khiyar, segala masalah dapat diatasi, berikiut manfaat dari khiyar :
a. Melalui khiyar, akad jual beli dapat dipertegas dan menjadi lebih aman
b. Membuat kenyamanan dan akan muncul kepuasan dari masing-masing belah
pihak
c. Dengan adanya khiyar, maka penipuan dalam transaksi akan juga terhindarkan,
karena adanya kejelasan dan hak yang sudah jelas
d. Masing-masing penjual dan pembeli dapat secara jujur dan terbuka melakukan
proses transaksi
e. Menghindari adanya perselihin dalam proses jual beli.
13
KESIMPULAN
Setiap manusia yang lahir di dunia ini pasti saling membutuhkan orang lain,
selalu melakukan tolong menolong dalam menghadapi berbagai kebutuhan yang
beraneka ragam, salah satunya dilakukan dengan cara berbisnis atau jual beli. Jual beli
merupakan interaksi sosial antar manusia yang berdasarkan rukun dan syarat yang telah
di tentukan. Jual beli diartikan “al-bai‟, al-tijarah dan al-mubadalah”. Pada intinya jual
beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar barang atau benda yang mempunyai
manfaat untuk penggunanya, kedua belah pihak sudah menyepakati perjanjian yang telah
dibuat.Ulama Hanafiyah membagi jual beli berdasarkan tinjauan hukum, dan
mengklasifikasikannya menjadi: Jual beli Sah (halal), Jual beli fasid (rusak), Jual beli
batal (haram),
Khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena
terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau
karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad
selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju. Konsep atau sistem khiyar hadir
ditengah-tengah aktivitas ekonomi sebagai solusi dari permasalahan yang kerap muncul
saat orang-orang melakukan transaksi jual beli. Dengan adanya khiyar, segala masalah
dapat diatasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Sen, Amartya. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?. Bandung, Penerbit :
Mizan, 1998
Sudarsono. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Sudiarti, Sri. Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018.
Taqiyuddin, Muhammad. Kifayah Al-Akhyar. Jilid 1.Surabaya: Darul Ilmi.
https://muhammadiyah.or.id/jual-beli-diperbolehkan/ Diakses pada Selasa 5 Oktober
2021 Pukul 12:23 WIB.
15