Anda di halaman 1dari 15

KAFALAH

A. Pengertian
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan
za’amah (tanggungan). Dikatakan : kafala fulan kaflan wa kafalatan, artinya
dhaminahu (fulan benar-benar menjamin). Ibnu al-‘Arabi menyatakan bahwa kafil,
kafil, dhamin dan dhamin artinya sama yaitu orang yang menjamin. Sedangkan
menurut istilah yang dimaksud al-kafalah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama
sebagai berikut:
1. Menurut Mazhab Hanafi Al-kafalah memiliki dua pengertian yang pertama arti
Al-kafalah ialah : Pertama “Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain
dalam penagihan, dengan jiwa, utang atau zakat benda.” Kedua “Menggabungkan
dzimah kepada dzimah yang dalam pokook (asal) utang.”
2. Menurut Mazhab Maliki Al-kafalah ialah : “Orang yang mempunyai hak
mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan,
baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang
berbeda.”
3. Menurut Mazhab Hambali Al-kafalah ialah : “Iltizam sesuatu yang diwajibkan
kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yeng dibebankan atau iltizam
orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang
yang mempunyai hak.”
4. Menurut Mazhab Syafi’i Al-kafalah ialah : “Akad yang menetapkan iltizam hak
yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang
dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi’i di atas, kafalah
terdiri atas tiga pengertian, yaitu al-kafalat al-dayn, al-kafalat al-“ain dan al-
kafalat al-abdan.
5. Menurut Sayyid Sabiq Al-kafalah ialah : “Proses penggabungan tanggungan kafil
menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda (materi) yang sama, baik utang,
barang, maupun pekerjaan.”
6. Menurut Imam Taqiy al-Din Al-kafalah ialah : “Mengumpulkan satu beban
kepada beban lainnya.”
7. Menurut Hasbi Ash-Shidiqiy Al-kafalah ialah : “Menggabungkan dzimah kepada
dzimah lain dalam penagihan.”
8. Menurut al-Mawardi Al-kafalah ialah : “Menurut kebiasaan yang berlaku dhamin
khusus pada harta, hamil pada diyat, za’im pada harta yang besar,kafil pada jiwa,
dan shobir untuk semuanya, seperti halnya qabil.”1
Adapun dhaman secara terminologis adalah menjamin tanggungan orang yang
dijamin dalam melaksanakan hak yang wajib baik seketika maupun yang akan datang.
Definisi tersebut bersifat umum yang mencakup semua jenis dhaman (jaminan) karena
1
Suhendi Hendi, fiqih muamalah, (Jakarta:PT Rajagrafindo persada), hlm 187-188
melaksanakan hak yang wajib dapat pada harta dan jiwa, sedang kedua ini merupakan
pembatas dari masuknya sesuatu yang tidak masuk dalam definisi, seperti dhaman
(jaminan) orang yang menggashab dan orang yang meminjam.2

Dalam kontek islam penanggungan hutang ini dikenal dengan istilah kafalah,
yaitu orang yang diperbolehkan bertindak (berakal sehat) berjanji menunaikan hak
yang wajib ditunaikan orang lain atau berjanji menghadirkan hak tersebut
dipengadilan.

Dengan demikian dalam perjanjian pertanggungan utang disyaratkan adanya


kafiil, ashiil, makfullaahu, dan makfulbihi. Kafil adalah orang yang wajib melakukan
penanggungan, ashiil adalah orang yang sedang berhutang dan membutuhkan
seseorang penanggung. Di sisi lain ada makfullahu yaitu orang yang memberi hutang,
yang biasanya dikenal dengan kafil. Sedangkan makfulfihi adalah sesuatu yang
dijadikan jaminan atau tanggungan, baik berupa jaminan kebendaan atau perorangan.3

B. Dasar Hukum al-Kafalah


Kafalah diisyaratkan oleh Allah Swt terbukti dengan firman-Nya :
Qs. Yusuf : 66
Qs. Yusuf : 72

C. Penggunaan Lafal Dhaman dan Kafalah


Dalam kitab-kitab fiqh ditemukan bahwa fuqaha’ menggunakan lafal dhaman
(jaminan) dan kafalah (jaminan dalam hal-hal sebagai berikut. :
1) Mayoritas fuqaha’ dari Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah menggunakan kata
dhaman (jaminan) dan kafalah (jaminan) sebagai sinonim. Keduanya berarti
sesuatu yang mencakup jaminan harta, jiwa, dan tuntutan. Bahkan, mereka
menggunakan lafal dhaman (jaminan) pada objek yang lebih luas dari itu, yaitu
dhaman (jaminan secara mutlak, baik dengan transaksi, dhaman (jaminan)
kerusakan, penyerangan dan lain sebagainya. Dengan demikian ini yang kami
ikuti dalam kitab ini.
2) Hanafiyyah menggunakan kata kafalah (jaminan) pada sesuatu yang padanya
berlaku dhaman (jaminan) dengan transaksi yang mencakup kafalah (jaminan)
jiwa, harta dan kafalah (jaminan) dengan serah terima. Adapun dhaman
(jaminan), mereka gunakan untuk mencakup dhaman (jaminan) dengan transaksi
dan dhaman (jaminan) dengan tanpa transaksi. Mereka sepakat dengan mayorits
fuqaha’ bahwa dhaman (jaminan) berlaku pada objek yang lebih umum daripada
kafalah (jaminan).

2
Ibrahim Muhammad, ensiklopedi fiqih muamalah dalam pandangan 4 madzhab, (Yogyakarta: Maktabah
Al-Hanif,2004) hlm 238-239
3
Abdul ghofur ansori,hukum perjanjian islam di Indonesia,(yogyakarta: gadjah mada university
press,2010) hlm,192.
3) Diantara fuqaha’ ada yang mengkhususkan dhaman (jaminan) pada harta, dan
kafalah (jaminan) maksudnya adalah dhaman jiwa
.
D. Rukun dan Syarat al-Kafalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun Al-kafalah satu yaitu ijab dan kabul. Sedangkan
menurut para ulama yang lainnya rukun dan syarat Al-kafalah adalah sebagai berikut :
1. Dhamin, kafil, atau za’im yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah
baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya dan dilakukan dengan
kehendaknya sendiri.
2. Madmun lah yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang
diketahui oleh orang yang menjamin dan disyaratkan dikenal oleh penjamin.
3. Madmun ‘anhu adalah orang yang berhutang.
4. Madmun bih adalah utang.
5. Lafadz disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan
kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

E. Konsekuensi Hukum Akad Kafalah


Setelah akad kafalah al-badan terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya akan
menetapkan konsekuensi hukum, sebagai berikut :
a) Pihak kafil berkewajiban menghadirkan makful bih ke pihak makful lah ketika
dibutuhkan untuk di proses secara hukum.
b) Ketika makful bih kabur, maka kafil diberi tenggat waktu (dead line) untuk
bertanggung jawab memburu dan menangkapnya, apabila :
 Keberadaan kaburnya diketahui.
 Ada jaminan keselamatan dalam pemburuan.
c) Apabila dalam batas tenggat waktu kafil tidak juga menghadirkan makful bih,
maka dipenjara, karena dianggap ceroboh (taqshir). Masa kurungan kafil
hingga batas waktu yang ditentukan makful bih tidak mungkin diburu, seperti
setelah mati, tidak diketahui tempatnya, dalam suaka politik pihak tertentu
(mutaghalib) dan lainnya atau kafil dipenjara sampai batas waktu kafil
membayari tanggungan makful bih kepada makful lah. Motif pembayaran ini
lebih sebagai upaya untuk membebaskan diri kafil sendiri dari hukuman
kurungan, ketimbang sebagai bentuk sukarela (tabarru’) untuk membayari
tanggungan makful bih. Karena itu, ia berhak untuk menarik kembali (istirdad)
pembayarannya atau meminta ganti kepada pihak makful bih ketika suatu saat
dapat ditangkap.
d) Kafil akan terbebas dari tugas dan tanggung jawabnya apabila :
 Kafil menyerahkan makful bih ke hadapan makful lah yang
memungkinkan bagi makful lah menuntut hak-haknya. Karena itu,
apabila penyerahan belum memungkinkan bagi makful lah menuntut hak-
haknya, seperti terdapat pihak-pihak yang menyandra (mutaghalib),
maka kafil belum terbebas dari tanggung jawabnya.
 Makful bih menyerahkan diri atas nama kafil.
 Makful bih telah dipastikan tidak dapat diburu lagi, seperti telah mati,
tidak diketahui tempat kaburnya, dalam suaka politik pihak tertentu
(mutaghalib) dan lain sebagainya.
 Makful lah telah membebaskan (ibra’) kafil dari tugas dan tanggung
jawabnya.
 Makful lah telah membebaskan (ibra’) tanggungan makful bih, sebab
keberadaan hukum kafil adalah far’u yang mengikuti (tabi’) pada hukum
makful bih yang menjadi ashil atau yang diikuti (matbu’), sesuai kaidah
fiqh.
e) Apabila kafil dipastikan telah gagal menghadirkan makful bih, seperti makful
bih telah mati, tidak diketahui tempat kaburnya, berada dalam suaka politik
pihak tertentu (mutaghalib) dan lainnya, maka kafil tidak dituntut untuk
menanggung tanggungan makful bih, baik yang bersifat materi (dain) atau
hukuman (‘uqubah), bukan mengganti rugi (dlaman). Bahkan ketika hal itu
diisyaratkan menjadi klausul kontrak, maka kafalah al-badan batal, sebab
termasuk syarat yang kontra produktif dengan substansi akad kafalah (munafin
li muuqtadla al-‘aqd).4

F. Macam-macam al-Kafalah
Secara umum Al-kafalah dibagi menjadi dua bagian yaiyu kafalah dengan jiwa dan
kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin
untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan.
Penanggungan yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang
ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafalah menyangkut badan
bukan harta. Penanggung tentang hak Allah, seperti had al-khamar dan had menuduh
zina tidak sah.
Kafalah yang kedua ialah kafalah harta yaitu kewajiban yang mesti dilakukan oleh
dhamin dan kafil dengan pembayaran berupa harta. Kafalah harta dibagi menjadi 3
macam :
1. Kafalah bi al-dayn yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang
lain.
2. Kafalah dengan penyerahan benda yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda
tertentu yang ada ditangan orang lain.
3. Kafalah dengan ‘aib maksudnya bahwa barang yang di dapati berupa harta terjual
dan mendapat bahaya karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya.

4
Mahrus Kafabihi,Abdullah, metodologi fiqih muamalah diskursus metodologis konsep interaksi sosial
ekonomi, (Kediri:Lirboyo press,2013) hlm 189
G. Spesifikasi Transaksi Dhaman (Kafalah)
Dhaman (jaminan) pribadi mempunyai beberapa spesifikasi, yang paling penting
adalah sebagai berikut.
 Transaksi kafalah (jaminan) sah hanya dengan saling suka sama suka antara
penjamin dan yang memberi hutang (da’in) dan keabsahan kafalah (jaminan)
tidak membutuhkan perangkat khusus, seperti catatan dan lain-lain.
 Kafalah (jaminan) adalah transaksi yang mengikat dari pihak kafil (penjamin). Ia
berkewajiban membayar hutang kepada orang yang memberi hutang (da’in).
Kafil (penjamin) tidak dapat membatalkan jaminannya sepihak tanpa kerelaan
makful lah (orang yang memberi hutang).
 Kafalah (jaminan) termasuk transaksi tabarru’ (memberi derma) karena kafil
(penjamin) tidak dapat mengembil konpensasi apa pun terhadap perbuatannya.
Ia melakukannya karena membantu meringankan kesulitan orang yang
berhutang.
 Pada dasarnya kafalah (jaminan) adalah tanggung jawab orang yang berhutang.
Tanggung jawab kafil (penjamin) adalah mengikuti tanggung jawab orang yang
berhutang.
Oleh karena itu, kafalah (jaminan) juga disebut transaksi yang mengikut. Transaksi
asal itu seperti jual beli, penitipan, dan pinjam meminjam, sedangkan transaksi mengikuti
seperti gadai dan jaminan.

H. Pelaksanaan al-Kafalah

Al-kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk cara yaitu:

(a) Munjaz (tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang
berkata “Saya tanggung si Fulan dan saya jamin si Fulan sekarang”.
(b) Mu’allaq (ta’liq) ialah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti
berkata “Jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan
membayarnya”.
(c) Mu’aqqat (tauqit) ialah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada
suatu waktu, seperti berkata “Bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku yang
menanggung pembayaran utangmu”.

Kemudian terhadap perjanjian penanggungan utang ini dapat di klasifikasikan menjadi


dua macam yaitu:

1. Kafalah bi Wajhi
Kafalah ini lazim diistilahkan dengan kafalah jiwa, maksudnya adalah perjanjian
penanggungan utang atau kafalah berupa pertanggungan orang (personal
guaranty). Syarat yang harus dipenuhi oleh Kafalah bi Wajhi ini adalah bahwa
pihak kafil harus menghadirkan orang yang akan ia tanggung (makfulahu) dan
hanya terbatas pada persoalan hak-hak manusia.
2. Kafalah bil mal
Adalah perjanjian yang dimaksudkan menyangkut pemenuhan yang bernilai
harta/benda.
I. Pembayaran Dhamin
Apabila yang menjamin memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang
yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madmun ‘anhu apabila pembayaran itu
atas izinnya. Dalam hal ini para ulama’ bersepakat, namun beberapa pendapat apabila
penjamin membayar atau melaksanakan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang
dijamin bebannya. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar utang
orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, dhamin tidak punya hak untuk
minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin. Menurut Madzhab Maliki, dhamin berhak
menagih kembali kepada madmun ‘anhu.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih kembali kepada
madmun atas apa yang telah ia bayarkan, baik dengan izin madhmun ‘anhu maupun
tidak. Apabila madhmun ‘anhu tidak ada, kafil berkewajiban menjamin dan tidak dapat
mengelak dari tuntuan.

J. Hukum Kafalah (jaminan) Badan Orang yang Terkena Hukuman atau Qishah
Boleh melakukan kafalah (jaminan) badan orang yang terkena hukuman atau qisash
yang menyangkut haqqul-adami (hak sesama manusia), tetapi tidak boleh pada hukuman
yang menyangkut haqqullah (hak Allah) secara murni. Hal ini karena haqqullah (hak
Allah) terbangun atas asa as-dar’u, sedangkan kafalah (jaminan) adalah watsiqah
(kepercayaan) sehingga tidak relevan.
Adapun hukuman yang menyangkut haqqul-adami (hak sesama manusia), maka ada
kesamaan dan relevansi antara keduanya karena datangnya tersangkan ke pengadilan
merupakan hal yang harus ada karena adanya tuduhan sehingga relevan dengan
permintaan kepercayaan.

K. Berakhirnya Kafalah
Kafalah (jaminan atau dhaman (jaminan) habis masa berlakunya karena hal-hal
berikut :
a. Hutang telah dibayar baik yang membayar itu adalah kafil (penjamin) atau orang
yang berhutang maupun yang lainnya.
b. Orang yang memberi hutang telah membebaskan kepada kafil (penjamin) atau
orang yang berhutang. Jika da’in ( orang yang memberi hutang) membebaskan
hutang madin (orang yang berhutang), maka kafil (penjamin) secara otomatis juga
terbebas dari tanggungjawab. Namun, jika da’in membebaskan kafil, maka ia
sendiri yang terbebas dari tanggungjawab dan madin (orang yang berhutang) tidak
terbebas dari tanggungan hutangnya.
c. Jika kafil (penjamin) telah melakukan perdamaian (shulh) dengan da’in (orang
yang memberi hutang) dengan kompensasi tertentu, maka ashil (orang yang
ditanggung terbebas dari tanggung jawab kepada da’in (orang yang memberi
hutang). Akan tetapi, kafil (penjamin) berhak mendapati ganti rugi dari ashil (orang
yang ditanggung) dengan lebih sedikit dari hutangnya atau senilai dengan
kompensasi yang diberikan dalam perdamaian.
d. Kafil (penjamin) dan madin (orang yang berhutang) boleh memindahkan
kewajibannya terhadap da’in (orang yang memberi hutang) kepada orang lain
karena pemindahan hutang (hiwalah) seperti menerima (qabdh)
e. Jika barang yang dijamin rusak, maka ashil (orang yang ditanggung) terbebas dari
tanggungannya dan kafil (penjamin0 juga terbebas karena ia hanya mengikuti
kapada ashil.
f. Rusaknya barang yang dipakai jaminan atau barang yang dijamin jika itu bukan
karena perbuatan manusia, jika kerusakan itu akibat perbuatan manusia, maka
jaminan tidak terhenti dan orang yang merusakkannya wajib menggantinya.
g. Da’in (orang yang memberi hutang) meninggal dunia, sedangkan satu-satunya ahli
waris adalah madin(orang yang berhutang). Dalam kondisi seperti ini kafil
(penjamin) terbebas dari kafalah (jaminan).
h. Jika kafil (penjamin) membayar hutang madin (orang yang berhutang kapada
madin dan nilainya sama, maka kafil telah terbebas dari hutangnya.
i. Kafalah (jaminan jiwa berakhir kerika kafil (penjamin) menyerahkan makful (orang
yang dijamin) kepada seorang yang menuntut disuatu tempat yang memungkinkan
penuntut menghadirkannya ke majlis pengadilan.
j. Kafil (penjamin) terbebas dari kafalah (jaminan) ketika meninggal dunia dengan
catatan ia tidak gegabah dan menyepelekan tanggungannya ketika masih hidup.
Jika ia gegabah dan menyepelekan kewajibannya untuk menjamin ketika masih
hidup, maka harta peninggalannya digunakan sebagai jaminan kepada da’in (orang
yang memberi hutang.
k. Kafil (penjamin) terbebas ketika makful (orang yang dijamin) meninggal dunia
karena kafil hanya berkewajiban menghadirkannya, dan menjadi tidak mungkin
karena yang ditanggung telah meninggal dunia.

L. Implementasi akad kafalah dalam lembaga kauangan syariah


Akad kafalah merupakan salah satu akad yang diterapkan dalam praktik Perbankan
Syari’ah di Indonesia. Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum
Syari’ah antara lain membeli, menjual, atau menjamin atas resiko sendiri surat berharga
pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syari’ah,
antara lain, seperti Akad ijarah, mudharabah, murabahah musyarakah, kafalah, dan
hawalah.
Dalam SEBI No. 10/14/DpbS Jakarta, 17 Maret 2008 sebagai peraturan pelaksana dari
PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksana Prinsip Syari’ah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah,
sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008 disebutkan bahwa dalam
kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk jasa pemberian jaminan atas dasar Akad Kafalah,
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a) Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah
terhadap pihak ketiga.
b) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik jasa pemberian
jaminan atas dasar Kafalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transportasi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah.
c) Bank wajib melakukan analisis atas rencana jasa pemberian jaminan atas dasar
Kafalah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa
atas karakter (Character), dan atau aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek usaha (Condition).
d) Objek penjaminan harus :
I. Merupakan kewajiban pihak/orang yang meminta jaminan.
II. Jelas nilai, dan spesifikasinya.
III. Tidak bertentangan dengan syari’ah (tidak diharamkan).
e) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis
berupa Akad pemberian jaminan atas dasar Kafalah.
f) Bank dapat memperoleh imbalan atau fee yang disepakati diawal serta dinyatakan
dalam jumlah nominal yang tetap.
g) Bank dapat meminta jaminan berupa Cash Collateral atau bentuk jaminan lainnya
atas nilai penjaminan, dan
h) Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban pada pihak ketiga, maka Bank
melakukan pemenuhan kewajiban nasabah pada pihak ketiga dengan memberikan
dana talangan sebagai pembiayaan atas dasar Akad Qardh yang harus diselesaikan
oleh nasabah.

PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)


A. Pengertian
Menurut bahasa gadai (al-rahn) berarti al-tsubut (tetap), dawam (kekal, terus
menerus), dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan
bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. Menurut istilah syara’ yang dimaksud rahn
adalah :
 Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang
sebagai tanggungan utang.
 Gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atau utang.
 Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan
dalam utang-piutang.
 Gadai adalah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh
atau sebagian utang dapat diterima.

Menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
menurut syarak sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian darimanfaat barang itu. Hal ini
merupakan pengertian secara praktis, bahwa setiap orang yang menghutangkan sesuatu
biasanya meminta jaminan dari piha yang berhutang baik jaminan berupa barang
bergerak, maupun barang berupa benda tidak bergerak.5

B. Dasar Hukum Rahn


Boleh tidaknya gadai menurut islam diatur dalam tiga sumber hukum yakni
sebagai berikut:6
1. Al-qur’an

Ayat-ayat al-quran yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS
AL-Baqarah ayat 282 dan 283.

Inti dari dua ayat tersebut: apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan hendaknya kamu menuliskannya, yang dipersaksikan dua
orang saksi laki-laki atau satu seorang laki-laki dan dua orang saksi perempuan.
2. As-sunah

Dalam hadist berasal dari Aisya r.a disebutkan bahwa nabi SAW pernah membeli
makanan dari seorang yahudi dengan harga yang diutang, sebagai tanggungan atas
utangnya iyu nabi menyerahkan baju besinya. (H.R. Bukhori).

Dalam hadist lain diriwayatkan berasal dari Ibnu ‘Abbas r.a dinyatakan bahwa
ketika Nabi SAW wafat, baju besinya masih dalam keadan menjadi tanggungan utang
20 sha’ (1.k 50 kg) bahkan makan yang dibelinya untik nafkah keluarga (HR.
Turmidzi).

3. Ijtihad
Berdasarkan Al-quran dan hadist diatas menunjukan bahwa transaksi atau
perjanjian gadai dibenarkan dalam islam bahkan nabi pernah melakukanya.
Namun demikian perlu dilakukan pengkanjian lebih mendalam dengan melakukan
ijtihad.

C. Rukun dan Syarat Gadai

5
Abdul ghofur ansori,hukum perjanjian islam di Indonesia,(yogyakarta: gadjah mada university
press,2010) hlm,123.
6
Muhammad, sholikul hadi, pegadaian syariah,(Jakarta: salemba diniyah, 2003) hlm,40-41.
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara
lain :
1. Akad ijab dan kabul.
2. Aqid yaitu yang menggadaikan dan yang penerima gadai. Adapun syarat bagi
yang berakad adalah ahli tasharuf yaitu mempu membelanjakan harta dan dalam
hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3. Barang yang dijadikan jaminan, syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
4. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun rahn hanya satu, yaitu shighah karena ia
sebagai hakikat transaksi. Adapun selain shighah, maka bukan termasuk substansi rahn.

D. Konsekuensi Hukum Akad Rahn


Setelah akad rahn terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya akan menetapkan
beberapa konsekuensi hukum, diantaranya ialah :
I. Status Akad
Sebelum terjadi serah terima marhun, status akad rahn adalah ja’iz dari kedua
belah pihak, sebab akad rahn termasuk akad yang dimiliki muatan irfaq
sebagaimana akad qarh, dan juga memiliki muatan tabarru’ dari pihak rahin
sebagaimana akad hibbah,. Karena itu akad rahn akan berubah status menjadi
akad lazim dari pihak rahin ketika terjadi serah terima marhun, seperti akad
hibbah pasca serah terima mauhub. Disamping itu, dalam ayat rahn di atas
terdapat qayid ‫ مقبوضة‬yang secara eksplisit menegaskan akad rahn tidak
berstatus lazim kesuali dengan qabdl.
II. Penahanan Marhun
Seperti penjelasan diatas, ketika telah serah terima marhun, maka status akad
rahn menjadi lazim dari pihak rahin, konsekuensi hukumnya rahin terikat
kontrak dan tidak berhak menarik kembali marhun, dan murtahin memiliki
otoritas (yadd wa sulthanah) untuk menahan marhun di bawah kekuasaannya,
III. Penjagaan dan Pemeliharaan Marhun
Penjagaan dan pemeliharaan dari kerusakan marhun menjadi tanggung jawab
pihak murtahin, sebab penahanan marhun dibawah kekuasaannya adalah demi
kepentingan piutangnya ketika rahin gagal membayar hutang. Karena itu, biaya
penyimpangan, perawatan, keamanan, atau administrasi lainnya, dibebankan
kepada pihak murtahin.
Sedangkan biaya nafkah marhun, seperti makan marhun yang berupa hewan,
pengairan marhun yang berupa tanaman dan sebagainya, tetap dibebankan
kepada rahin. Sebab status kepemilikan barang dan manfaat marhun masih
menjadi hak milik rahin, sehingga kewajiban nafkah masih menjadi tanggung
jawab pemilik barang yakni rahin.
IV. Otoritas Murtahin atas Marhun
Status kekuasaan atau otoritas (yadd wa sulthanah) atas barang orang lain, ada
dua macam, yaitu yadd al-amanah dan yadd al-dlaman.
a. Yadd al-Amanah
Penguasaan barang orang lain atas dasar kepercayaan, sehingga tidak harus
bertanggung jawab (dhaman) atas kerusakan barang (talaf), kecuali ada
modus kecerobohan (taqshir). Kriteria status kekuasaan seperti ini apabila :
 Menguasai barang orang lain atas dasar izin pemiliknya.
 Untuk kepentingan (gharad) pemilik barang (seperti barang titipan),
atau untuk kepentingan kedua belah pihak (seperti marhun).
b. Yadd al-Dlaman
Penguasaan barang orang lain tanpa atas dasar kepercayaan, sehingga harus
bertanggung jawab (dhaman) atas kerusakan barang (talaf), baik ada motif
ceroboh (taqshir) atau tidak. Kriteria status kekuasaan seperti ini apabila :
 Menguasai barang orang lain tanpa izin pemiliknya (seperti barang
curian, barang ghashaban).
 Hanya untuk kepentingan sepihak, pembawa barang saja (seperti
barang pinjaman).
Penguasaan barang orang lain yang bersifat yadd al-dlaman, ada dua jenias,
dlaman yaddin dan dlaman ‘aqdin.
 Dlaman Yaddin
Tanggung jawab akibat penguasaan. Dalam dlaman yaddin, ketika
barang rusak, maka ganti ruginya berupa badal syar’i. Yakni,
pengganti yang ditetapkan syari’at, berupa mitslu (padanan)-nya untuk
barang-barang mitsli (memiliki padanan), dan qimah (harganya) untuk
barang-barang mutaqawwim (tidak memiliki padanan). Seperti
mencuri uang ketika rusak, maka wajib mengganti dengan
padanannya (mitslu), dan seperti mencuuri baju rusak, maka wajib
mengganti dengan harganya (qimah).
 Dlaman ‘Aqdin
Tanggung jawab akibat kontrak. Dalam dlaman ‘aqdin, ketika barang
rusak, maka ganti ruginya berupa muqabalah. Yakni bandingannya,
seperti mahar yang rusak (tidak memebuhi syarat), maka ganti ruginya
adalah mahar mitsli, dan ganti rugi ujrah dalam akad ijarah yang rusak
(fasid) adalah ujrah mistli dan lain sebagainya.
Dengan demikian, otoritas murtahinatas marhunbersifat yadd al-
amanah. Yaitu penguasaan barang atas dasar izin pemilik dan untuk
kedua belah pihak. Karena itu, murtahin tidak wajib ganti rugi ketika
marhun mengalami kerusakan apabila tidak ada motif ceroboh dalam
menjaga kepercayaan dari rahin.7

E. Waktu Rahn Berkekuatan Mengikat


Hanafiyyah dan Syafi’iyah serta salah satu riwayat dari Hanabilah berpendapat bahwa
transaksi rahn baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diterima. Malikiyyah dan
dalam salah satu riwayat di kalangan Hanabilah berpendapat bahwa transaksi rahn
mempunyai kekuatan mengikat setelah terjadinya transaksi karena ia merupakan
transaksi yang mengharuskan adanya penerimaan, sehingga ia telah mengikat sebelum
adanya penerimaan seperti dalam jual beli. Menurut Imam Malik penerimaan termasuk
kesempurnaan rahn, bukan menjadi syarat sahnya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah bahwa rahn mempunyai kekuatan mengikat setelah
terjadi transaksi karena hal ini mewujudkan manfaat rahn, yaitu adanya jaminan hutang
dapat dibayar dari barang yang digadai atau hasil jualnya jika tidak dapat membayar.
Adapun ayat tersebut diatas menjelaskan secara umum, sedangkan manusia
membutuhkan kepercayaan meskipun tidak dengan menerima dengan tangan.

F. Pengambilan Manfaat Barang Gadai


Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digandaikan, para ulama’ berbeda
pendapat, diantaranya jumhur fuqaha dan Imam Ahmad.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahun tidak boleh mengambil suatu manfaat
barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk
kepada utang yang dapat menarik manfaat sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-hasan, jika barang gadaian berupa
kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat dimbil susunya,
maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari keduan benda gadai tersebut
disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau
binatang ternak itu ada padanya.

Persamaan, perbedaan rahn dan gadai.8

Persamaan gadai dan rahn

1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang


2. Adanya agunan sebagai jaminan utang
3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai
5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh
dijual atau dilelang
7
Mahrus Kafabihi,Abdullah, metodologi fiqih muamalah diskursus metodologis konsep interaksi sosial
ekonomi, (Kediri:Lirboyo press,2013) hlm 121-122
8
Muhammad, sholikul hadi, pegadaian syariah,(Jakarta: salemba diniyah, 2003) hlm,42-43
Perbedaan rahn dan gadai

1. Rahn dalam hukum islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong
tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping
tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa
modal yang diterapkan.
2. Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak,
sedangkan dalam hukum islam rahn berlaku pada seluruh harta, baik bergerak atau
tidak bergerak.
3. Dalam rahn, menurut hukum islam tidak ada istilah bunga uang
4. Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di
Indonesia disebut perum pergadaian: rahn menurut hukum islam dapat
dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

Menurut madzhab Hanafi penerima rahn boleh memanfaatkan barang yang


menjadi jaminan utang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh
mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk menggunakan hak
miliknya, termasuk untuk mengambil manfaat barangnya.

Pada suatu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat
menyebutnya sebagai jual beli gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Sedangkan
kemiripanya dengan rahn (jaminan) adalah karena adanya hak menebus lagi
paenggadai atas harta yang digadaikan itu tadi.

G. Resiko Kerusakan Marhun


Bila marhum hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib
menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau
karena disia-siakan. Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung
resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau
hilangkarena kelalaian maupun tidak. Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir.
Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah murtahin menanggung resiko kehilangan
atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.
Jika memegang gadai wajib menanggung barang gadai yang rusak, maka tidak ada
orang yang mau melakukannya karen takut menanggung. Pendapat yang rajih adalah
bahwa barang gadai merupakan amanat di tangan pemegang gadai berdasarkan hadits
Sa’id ibn al-Musayyab dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda
yang memiliki arti “Ia (pemegang gadai) tidak boleh menutup hak gadaian dari orang
yang menggadaikannya. Ia berhak memperolah bagiannya dan dia wajib membayar
hutangnya.” (Riwayat ad-Daruquthni dan al-Hakim).9
9
Ibrahim Muhammad, ensiklopedi fiqih muamalah dalam pandangan 4 madzhab, (Yogyakarta: Maktabah
Al-Hanif,2004) hlm, 173-182
H. Hak Menjual Barang Gadai
Barang gadai adalah hak penggadai dan masih menjadi miliknya. Jika ia telah
mendapatkan hutang dengan jaminan barangnya, maka ia wajib membayar hutang itu
seperti hutang pada umumnya tanpa gadai. Jika ia membayar semua hutangnya, maka ia
berhak mendapatkan barang yang ia gadaikan. Jika ia tidak dapat membayar semua
hutangnya atau sebagian, maka ia wajib menjual sendiri barang yang ia gadaikan atau
mewakilkan orang lain dengan izin pemegang gadai, kemudian ia membayar hutangnya.
Jika penggadai tidak mau melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barangnya yang
digadaikan, maka hakim menahannya dan memaksanya untuk menjual barangnya. Jika ia
tetap tidak melaksanakannya, maka hakim yang menjualnya dan membayarkan
hutangnya. Demikian ini adalah pendapat bahwa hakim menjual barang yang digadaikan,
membayarkan hutang penggadai, tetapi tidak menahannya.
Hanafiyyah berpendapat bahwa pemegang gadai berhak menuntut penggadai untuk
melunasi hutangnya dan meminta hakim menahannya jika jelas-jelas menunda membayar
hutangnya. Hakim tidak boleh menjual barang yang digadaikan karena ia terkena hajr
(ditahan dari membelanjakan hartanya), yang berarti kehilangan kelayakan jual beli,
maka ia tidak boleh menjual barangnya yang digadaikan. Akan tetapi, ia ditahan sampai
ia menjualnya karena mengantisipasi adanya kedzliman.
Pendapat yang rajih adalah hakim boleh menjual barang gadai dan menggunakannya
untuk membayar hutang penggadai tanpa menahannya karena tujuannya adalah melunasi
hutang, dan telah terwujud dengan hal itu. Di samping itu, penahanan penggadai depat
mengakibatkan hal-hal negatif di masyarakat. Jika harga barang yang digadai dapat
menutup jumlah hutangnya, maka telah selesai urusan utang pitang. Jika tidak cukup
maka penggadai harus melunasi kekurangannya.
I. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh
diadakan syarat-syarat. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin
belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun pembelinya boleh
murtahin atau orang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari
penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat
apabila harga penjualan marhun lebih besar dari hutangnya, sisanya dikembalikan kepada
rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun lebih rendah dari utangnya, rahin
masih menanggung pembayaran kekurangannya.

J. Riba dan Gadai


Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam
gadai ata jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan
bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar hutangnya
atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syaratnya, kemudian syarat tersebut
dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah
ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga
marhun kepada rahin, maka disini juga telah berlaku riba.

 Ensiklopedi fiqih muamalah dalam pandangan 4 madzhab (Abdullah bin


Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq, Muhammad bin
Ibrahim), yogyakarta, maktabah Al-Hanif, 2009
 Metodologi fiqih muamalah diskursus metodologis konsep interaksi sosial
ekonomi (Abdullah Kafabihi Mahrus), kediri, lirboyo press, 2013
 Fiqh muamalah (hendi suhendi), jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2016

Anda mungkin juga menyukai