(Jaminan)
a. Pengertian Kafalah
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan/memelihara atau
menanggung), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan).
Menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman sebagaimana
dijelaskan oleh para ulama adalah sebagai berikut.
1. Menurut Mazhab hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian yaitu :
Kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam
penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda.
Kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok
(asal) utang.
2. Menurut Mazhab Maliki,
Kafalah ialah orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi
beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang
sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.
3. Menurut Mazhab Hambali,
Kafalah ialah iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan
benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak
menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.
4. Menurut Mazhab Syafi’I
Kafalah ialah akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan
(beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau
menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Mazhab Syafi’I di atas, al-
kafalah terdiri atass tiga pengertian yaitu :Al- kafalah al-dayn, Al-kafalah al-ain,
dan Al-kafalah al-‘abdan.
5. Menurut Sayid Sabiq
Kafalah ialah proses penggabungan tabungan kafil menjadi beban ashil dalam
tuntutan dengan benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun
pekerjaan.
6. Menurut Imam Taqiy al-din
Kafalah ialah mengumpulkan suatu beban kepada beban lain.
7. Menurut Hasbi Ash-shiddiqie
Kafalah ialah menggabungkan dzimah (beban) kepada dzimah lain dalam
penagihan.
8. Menurut Al-haskafi
Kafalah ialah jamian atau garansi yang diberikan seseorang kepada orang lain
terkait dengan jiwa atau harta atau harta yang dikhasab dan sejenisnya.
Ibnu ‘Abbas menafsirkan kata za’im daalam ayat ini dengan kafil yang berarti
penjamin. Al-kabal juga za’im berpendapat senada, sama dengan kafil. Akan tetapi
sebagian ulama fikih mengatakan, ayat di atas tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai
dasar legalitas akad kafalah. Yang lebih tepat, ayat ini sebagai dasar akad ju’alah. Dalam
konteks ini, Nabi Yusus as. Mengumumkan sayembara, barang siapa yang berhasil
mengembalikan piala raja yang hilang, maka ia berhak mendapatkan hadiah, dan beliau
akan menjaminnya.
4. Makful bih atau madmun bih (utang, barang/ orang atau objek yang dijamin) yaitu
berupa hak yang dapat diwakilkan kepada pihak lain, biasanya berupa utang atau
harta tertentu yang statusnya tertanggung;
Syaratya,
Mengikat terhadap diri tertanggung.
Tidak dapat dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i.
Objek harus tanggung jawab penuh pihak tertanggung.
Harus merupakan utang mengikat, yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan.
Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
Harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya.
Tidak bertentangan dengan syariat.
5. Ijab dan Kabul (sighat) yaitu ungkapan , baik menggunakan lisan, tulisan
maupun isyarat yang menunjukkan adanya kehendak para pihak untuk
melaksanakan kafalah.
Syaratnya,
Keadaan lafadz itu berarti menjamin.
Tidak digantungkan kepada sesuatu.
Tidak bersifat sementara.
f. Pembayaran kafalah
Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi kewajibannya dengan
membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madhmun ‘anhu
apabila pembayaran itu atas izinnya. Dalam hal ini para ulama bersepakat, namunn
mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang
ia jamin tanpa izin orang yang ia jamin bebannya.
Menurut Al-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin
tanpa izin darinya adalah suunah, dhamin tidak mempunyai hak untuk ganti rugi kepada
orang yangi dijamin (madhmun ‘anhu ). Menurut Mazhab Maliki, dhamin berhak
menagih kembali kepada madhmun ‘anhu.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa dhamin tidal berhak menagih kembali kepada
madhmun ‘anhu atas apa yang telah dia bayarkan, baik dengan izin madhmun ‘anhu
maupun tidak. Apabila madhmun’ anhu (orang yang ditanggung) tidak ada, kafil
(dhamin) berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntutan kecuali dengan
membayar atau orang yang mengutangkan menyatakan bebas untuk kafil dari utang
makful lah (orang yang mengutangkan) adalah menfasakhkan akad kafalah, sekalipun
makful ‘anhu dan kafil tidak rela.
g. Hukum Kafalah
Apabila orang yang ditanggung tidak ada atau ghaib, kafil berkewajiban
menjamin. Dan tidak dapat keluar dari kafalah kecuali dengan jalan memenuhi
hutang darinya atau dari asfil. Atau dengan jalan orang yang menghutangkan
menyatakan bebas untuk kafil dari hutang, atau ia mengundurkan diri dari kafalah,
dia berhak mengundurkan diri karena itu persoalan haknya.
Adapun menjadi hak makful lahu atau orang yang menghutangkan
memfasakh akad kafalah dari pihaknya, sekalipun orang yang makful ‘anhu dan kafil
tidak rela. Karena memfasakh ini bukan milik makful ‘anhu dan bukan si kafil.
Ulama fiqh menyatakan bahwa dalam akad kafalah seorang kafil tidak
diperkenankan mengambil fee (upah) atas jasa pertanggungan yang telah diberikan
kepada makful ‘anhu. Dengan alasan akad kafalah merupakan akad tabarru’ (charity
program), bukan akad komersial yang berhak untuk mendapatkan kompensasi.
Namun sebagian ulama menyatakan barang siapa melakukan usaha yang
bermanfaat bagi orang lain, maka ia berhak menerima kompensasi baik
dipersyaratkan atau tidak. Tidak diragukan lagi bahwa akad kafalah adalah akad
yang bermanfaat, sehingga ia berhak mendapatkan kompensasi. Walaupun tidak
dipersyaratkan oleh kafil. Hal ini disandarkan pada hadist Nabi SAW yang
menyatakan bahwa barang siapa berbuat kebajikan maka ia berhak mendapat
kompensasi.