Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

(KAFALAH)

TUGAS MATA KULIAH

FIQIH MUAMALAH

DOSEN PENGAMPU

H.FATCHURROHMAN. S.AG.MPD

Disusun Oleh : Saeful Muhdofi

KELAS 3C EKSYAR ( KARYAWAN )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI MAJENANG Jalan


KH. Sufyan Tsauri Telp. (0280)623562 Majenang Kab. Cilacap Tahun 2022/2023

i
Daftar Isi
Cover...................................................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
A. Definisi Kafalah.....................................................................................................2
B. Definisi Kafalah Menurut Ulama Fiqih..................................................................3
C. Landasan Hukum Kafalah......................................................................................4
D. Rukun dan Syarat Kafalah......................................................................................6
E. Tujuan Kafalah.......................................................................................................6
F. Macam-Macam Kafalah.........................................................................................7
G. Orang yang Dapat Ditanggung...........................................................................9
H. Kewajiban Penanggung......................................................................................9
I. Terjadinya Perjanjian Kafalah..............................................................................10
J. Berakhirnya Kafalah............................................................................................10
BAB III PENUTUP.........................................................................................................12
Kesimpulan..................................................................................................................12
Daftar Pustaka..................................................................................................................13

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang sangat penting.
Modal tersebut dapat bersifat material atau immaterial. Untuk memenuhi
kebutuhan modal, soerang pengusaha bisa menggunakan modal sendiri
atau meminjam kepada pihak lain seperti bank dengan akad qardhun.
Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat,
diantaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan, dan adanya jaminan.
Berkaitan dengan jaminan, dalam ajaran Islam dikenal dengan
konsep kafalah yang termasuk juga didalam jenis dhamman. Untuk itu
dimakalah ini akan membahas dan mengupas tentang kafalah.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi kafalah ?
2. Apa landasan hukum kafalah ?
3. Apa saja rukun kafalah ?

1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Kafalah
Secara bahasa, al-kafalat berarti al-dhamm (genggaman/pegangan),
dan al-dhaman (tanggungan/pinjaman). Ia disebut juga al-dhamanat
(penjaminan), al-hamalat (denda, tanggungan) dan al-za’amat
(penjaminan, dan harta yang paling utama). Dengan demikian, banyak
ulama seperti Ali Fikri, ‘Abd al-Rahman al-Juzairi, dan ibn Muflih yang
mempersamakan antara al-kafalat dan al-dhaman. Ulama Malikiyah
mengatakan, al-dhaman, al-kafalat, dan al-hamalat memiliki arti yang
sama. Keragaman kata yang dipergunakan oleh para ulama dan dipandang
semakna dengan al-kafalat, bila dilihat dari proporsional berdasarkan adat
kebiasaan adalah wajar. Hal ini karena, kata al-dhaman merujuk kepada
pengertian penjaminan mengenai hutang; al-za’amat merujuk kepada
pengertian pinjaman harta dalam jumlah besar; dan jaminan untuk
menghadirkan seseorang dalam menyelesaikan masalah al-qishas atau
hutang disebut al-hamalat atau kafalat di al-nafs.1
Secara terminologi, al-kafalat ialah penjaminan seseorang terhadap
orang lain yang berkenaan dengan jiwa, hutang atau zat benda. 2 Dewan
Syariah Nasioanl (DSN) mengartikan kafalah, yaitu jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makhful’anhu, ashil).
Menurut Bank Indonesia (BI), kafalah adalah akad pemberian jaminan
(makful alaihi) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana
pemberi jaminan (kafiil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali
suatu utang yang mejadi hak penerima jaminan (makful), atau jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makhful’anhu,
ashil). Semakna dengan itu, dalam KUH Perdata pasal 1820 dinyatakan
bahwa “penanggungan adalah persetujuan dengan mana seorang pihak
1
Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syari’ah Transformasi Fiqih Muamalah ke dalam Peraturan
Perundang-Undangan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 276-277.
2
Atang Abd. Hakim, ibid.,., h. 277.

2
3

ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi


perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.
Jaminan peorangan atau penanggungan diatur dalam pasal 1820 s.d. 1850
KUH Perdata.3
Pembagian kafalah dipresentasikan berbeda oleh para ulama.
Ulama Hanafiah dan Abu Muhammad Muwaffiq al-Din ‘Abd Allah bin
Qudamah al-Muqdisi, salah seorang ulama Hanabilah, membagi kafalah
kepada tiga, yaitu: penjaminan jiwa, penjaminan utang, dan penjaminan
harta. Al-Sayid Sabiq membagi kafalah kepada dua: penjaminan jiwa, dan
penjaminan harta. Penjaminan jiwa ialah penjaminan yang dilakukan oleh
pihak ketiga untuk menghadirkan pihak kedua jika diperlukan. Adapun
penjaminan harta adalah jaminan pihak ketiga terhadap pihak pertama
yang berkenaan dengan harta yang berada di pihak kedua. Sabiq membagi
penjaminan harta kepada tiga bagian. Pertama, al-kafalat bi al-dayn yaitu
penjaminan oleh pihak ketiga terhadap hutang yang dilakuka pihak kedua.
Kedua, al-kafalat bi al-‘ayn atau al-kafalat bi al-taslim yaitu penjmainan
pihak ketiga untuk mengembalikan harta yang berada di pihak kedua
kepada pihak pertama. Ketiga, al-kafalat al-darak yaitu penjaminan untuk
melakukan penjelasan terhadap sesuatu yang dilakukan secara keliru;
umpamanya seseorang menjamin untuk melakukan pengejaran terhadap
benda yang dijual oleh pihak penggadai, peminjam, atau pihak
pengghasab, kepada pihak lain.4
B. Definisi Kafalah Menurut Ulama Fiqih
Definisi menurut beberapa ulama fiqih antara lain sebagai berikut5:
1. Menurut Madzab Maliki
Al-Kafalah adalah “orang yang mempunyai hak mengerjakan
tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri disatukan, baik

3
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 221.
4
Atang Abd. Hakim, op.cit. h. 279.
5
Qodly iyadh, Makalah al-kafalah, http://al-qodhi.blogspot.co.id, 19 Februari 2017.
4

menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang


berbeda”
2. Menurut Madzab Hanafi
Al-kafalah mempunyai dua pengertian yaitu:
a. Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan,
dengan jiwa, utang atau zat benda.
b. Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah yang lain dalam pokok
(asal) utang.
3. Menurut Madzab Syafi’i
Al-kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam yang tetap pada
tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang
dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak
menghadirkannya”.
4. Menurut Madzab Hanbali
Al-kafalah adalah “iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang
lain serta kekelan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang
yang mempunyai hak menghadirkan harta (pemiliknya) kepada orang
yang mempunyai hak”.
C. Landasan Hukum Kafalah
Dasar hukum kafalah bersumber dari Al-Qur’an, al-Sunnah, dan
kesepakatan para Ulama (Ijma’), antara lain sebagai berikut6
1. Al-Qur’an
a. Q.S. Yusuf(12): 66

Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi)


bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang
teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku
kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". tatkala mereka memberikan

6
Faturrahman, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, h.
222.
5

janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa
yang kita ucapkan (ini)".7
b. Q.S. Yusuf (12): 72

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan


siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya"8.
2. Al-Sunnah
a. Jabir ra berkata: “seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami
telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami
bawa kepada Rasulullah saw. Kami bertanya kepada beliau: “apakah
Rasulullah akan menshalatkannya?” Rasulullah bertanya: “Apakah ia
mempunyai utang?” Kami menjawab: “Ya, dua dinar”. Rasulullah
kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah: “dua dinar itu
tanggung jawabku”. Karenanya, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang member
utang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya.”
Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau
bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan,
bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah telah bersabda: “Sekarang
kulitnya telah sejuk.” (HR.Bukhari).
b. Rasulullah saw bersabda: “utang itu harus ditunaikan, dan orang yang
menanggung itu harus membayarnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi
dan disahihkan oleh Ibnu Hibban)

7
Departemen Agama RI, Al-‘Aliyy Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung, CV Penerbit
Diponegoro, 2005. H. 182.
8
Departemen Agama RI, Al-‘Aliyy Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 183.
6

3. Kesepakatan para Ulama (Ijma’ Ulama):


Para ulama mahdzab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang
Islam generasi awal mempraktikan hal ini, bahkan sampai saat ini, tanpa
ada sanggahan dari seorang ulama pun. Kebolehan dalam akad kafalah
dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhan manusia dan sekaligus
untuk menegasikan adanya kemudharatan bagi orang-orang yang
berhutang dan hal itu dapat dibantu oleh pihak lain.9
D. Rukun dan Syarat Kafalah
Adapun rukun dan sayarat kafalah adalah sebagai berikut10:
1. Pihak penjamin/penanggung(kafil), harus baligh (dewasa) dan berakal
sehat, dan berhak penuh dalam melakukan tindakan hukum dalam
urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak yang berutang (makful ‘anhu/’ashil), harus sanggup menyerahkan
tanggungannya (piutang) kepada penjamin, dan dikenal oleh penjamin.
3. Pihak yang berpiutang (makful lahu), harus diketahui identitasnya,
dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4. Objek jaminan (makful bih), harus merupakan tanggungan pihak/orang
yang berutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan; bisa
dilaksanakan oleh penjamin; harus merupakan piutang mengikat (lazim)
yang tidak mungkin hapus kecuali sudah dibayar atau dibebaskan; harus
jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya; tidak bertentangan dengan
syariah (diharamkan).
E. Tujuan Kafalah
Tujuan kafalah (jaminan), ialah untuk menguatkan keyakinan yang
mempunyai hak bahwa haknya tidak akan hilang karena pemilik dapat
menuntut hak dari penjamin jika orang yang bertanggung jawab tidak
melaksanakan kewajibannya.11

9
Faturrahman, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, h.
222.
10
Faturrahman, Penerapan . . ., h.223.
11
Veitzhal Rivai, Arifiandy Permata Veitzhal, dan Marissa Greace Haque Fawzi, Islamic
Transaction Law in Business dari Teori ke Praktik, PT Bumi Akasara, Jakarta, 2011, h. 100.
7

F. Macam-Macam Kafalah
Pertanggungan atau kafalah dalam syari’at Islam ada dua jenis
yaitu12:
1. Kafalah bil Wajhi
Kafalah bil wajhi lazim juga diistilahkan kafalah dengan jiwa, dalam
hal ini ada kemestian agar pihak kafil menghadirkan orang yang ia
tanggung (makful lahu). Kafalah bil wajhi ini dibolehkan jika
pertanggungan itu menyangkut persoalan hak manusia. Orang yang
dijamin tidak disyaratkan untuk mengetahui persoalan, sebab kafalah ini
hanya menyangkut badan, bukan berbentuk harta.
2. Kafalah dengan Harta
Kafalah dengan harta ini maksudnya, perjanjian kafalah diadakan itu
menyangkut pemenuhan yang bernilai benda/harta.
a. Kafalah bi ad-dain
Kafalah bi ad-dain ini adalah penjaminan oleh kafil untuk
membayar utang orang yang ditanggungnya. Pembolehan kafalah ini
dalam syari’at Islam didasarkan kepada hadis Salamah bin Al Akwa,
yang mana Nabi Muhammad SAW, tidak mau menshalatkan orang
yang mati, disebabkan orang yang telah meninggal tersebut masih
mempunyai kewajiban untuk membayar utangnya. Lalu Qatah
mengatakan : wahai Rasulullah, shalatkanlah dia, dan saya yang
berkewajiban membayar utangnya, lalu kemudian Rasulullah
menshalatkannya.
Menyangkut sahnya pertanggungan terhadap utang seseorang ini
haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Hendaknya nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya
perjanjian penjaminan.
2) Bahwa barangnya harus diketahui secara jelas.

12
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 1996, 151-152.
8

b. Kafalah bi Al-‘Ain
Kafalah untuk menyerahkan ini adalah jaminan untuk
menyerahkan barang atau benda sesuai dengan waktu yang
diperjanjikan. Misalnya penyerahan barang terhadap pembayaran yang
didahulukan, berarti dalam hal ini penanggung menjamin hak si
pembeli.
c. Kafalah bi Ad-Darak
Yaitu kafalah atau tanggungan terhadap apa yang timbul atas
barang yang dijual, berupa kekhawatiran karena adanya sebab yang
mendahului akad jual beli. Dengan demikian, kafalah dalam hal ini
adalah jaminan terhadap hak pembeli dari pihak penjual, apabila
terhadap barang yang dijual ada pihak lain yang merasa memiliki.
Seperti barang yang diperjualbelikan ternyata dimiliki orang lain, atau
sedang digadaikan kepada pihak lain.13
Terdapat beberapa macam kafalah menurut para ulama, antara lain
sebagai berikut14:
1. Kafalah bil mal, adalah suatu bentuk kafalah dimana penjamin terikat
untuk membayar kewajiban yang bersifat harta.15
2. Kafalah bin nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini
bank dapat bertindak sebagai juridical personality,yang dapat
memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
3. Kafalah bit taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin
pengembalian barang sewaan pada saat masa sewaannya berakhir. Jenis
pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan
nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan atau leasing
company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa
deposito/tabungan dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa
(fee) kepada nasabah tersebut.

13
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Amzah, Jakarta, 2010, h. 443.
14
Faturrahman, Penerapan . . ., h. 227.
15
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih. . ., h. 443.
9

4. Kafalah al munjazah, adalah jaminan yang dibatasi oleh kurun waktu


tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan
kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond atau
“jaminan prestasi”.
5. Kafalah al muallaqah. Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan
dari Kafalah al munjazah, dimana jaminan dibatasi oleh kurun waktu
tertentu dan tujuan tertentu pula
G. Orang yang Dapat Ditanggung
Para ulama fiqh menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang
dapat menerima jaminan atau tanggungan dari pihak lain, selama pihak-
pihak tersebut mau menanggungnya dan pihak yang ditanggungnya masih
hidup. Sedangkan bagi orang yang sudah meninggal dan tidak
meninggalkan harta warisan, para ulama berbeda pendapat. Menurut
Imam Malik dan Syafi’i boleh ditanggung. Alasannya berdasarkan hadis
diatas tentang ketidaksediaan Nabi Muhammad SAW menshalatkan
jenazah karena meninggalkan sejumlah utang. Sedangkan Imam Abu
Hanifah menyatakan tidak boleh, dengan alasan, bahwa tanggungan
tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Di
samping itu, para fuqaha selain Imam Abu Hanifah, juga berpendapat
bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang dipenjara atau orang
yang sedang dalam keadaan bepergian (musafir).16
H. Kewajiban Penanggung
Apabila orang yang ditangggung tersebut bepergian jauh atau
“menghilang”, bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung?
Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu sebagai berikut17:
1. Penanggung wajib mendatangkan (menemukan) orang yang
ditanggung, atau mengganti kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh
Imam Malik beserta pengikutnya dan para fuqaha Madinah.

16
Faturrahman, Penerapan . . ., h. 223-224.
17
Faturrahman, Penerapan . . ., h. 224-225.
10

2. Bahwa penanggung dipenjarakan, sampai si tertanggung datang


sehingga orang yang ditanggung telah datang, atau kalau dia wafat,
telah diketahui. Ini pandangan Imam Abu Hanifah dan fuqaha Irak.
3. Bahwa penanggung tidak terkena keewajiban apapun termasuk
dipenjarakan, kecuali ia harus mencarinya/mendatangkannya, jika ia
mengetahui tempatnya. Ini pendapat Abu ‘Ubaid al Qasim.
I. Terjadinya Perjanjian Kafalah
Untuk terjadinya hubungan hukum dalam hal kafalah ini dapat
dilakukan dengan berbgai cara, yaitu18:
1. Dengan Cara Tanjiz
Perjanjian dengan cara tanjiz ini, yaitu adanya pernyataan dari
pihak penanggung, seperti: “Aku menjamin Si Ahmad sekarang, Aku
jamin Si Ahmad, Aku tanggung si Ahmad atau aku tanggulangi.
Kafalah dengan cara tanjiz ini mempunyai kekuatan hukum
mengikat, dan semenjak itu kafiil mengikatkan diri kepada utang si
berutang, baik dalam penyelesaiannya, penundaan pembayarannya,
maupun pembayaran cicilannya
2. Dengan Cara Ta’liq
Perjanjian dengan cara ta’liq ini, adalah penanggungan oleh
seseorang kepada seseorang tertentu yang disyaratkan atau
digantungkan kepada sesuatu hal tertentu pula. Misalnya kafil
mengatakan: “jika engkau member kepercayaan kepada si Ahmad untuk
menjual barang-barangmu itu maka aku menjadi penjamin untukmu”.
3. Dengan Cara Tauqit
Peerjanjian dengan cara tauqit ini adalah seperti: Jika bulan
Ramadahan telah datang, meka aku menjadi penjamin unutkmu.
Dari contoh ini terlihat, bahwa pertanggungan disini
disandarkan kepada suatu waktu tertentu.
J. Berakhirnya Kafalah

18
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h. 150-151.
11

Akad kafalah berakhir apabila19:


1. Hutang telah lunas, baik makful anhu maupun kafil.
2. Makful lahu mengahapus piuangnya kepada makful anhu.
3. Apabila salah satu ingkar: umpanya melakukan wanprestasi agar kafil
membayar hutangnya kepada makful lahu.
4. Batas tanggal berakhirnya masa klaim bank garansi telah melampaui
tanpa ada klaim dari penerima bank garansi.
5. Terjadinya cacat hukum.
6. Adanya penyataan dari penerima garansi tentang pelepas hak klaim atas
bank garansi yang bersangkutan.
7. Dikembalikannya bank garansi asli kepada kafili atau bank garansi
teersebut hilang.

19
Bayu Pamungkas, Makalah Kafalah, http://desbayy.blogspot.co.id, 19 Februari 2017.
BAB III PENUTUP

Kesimpulan
Kafalah adalah "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful
lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang
berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Landasan hukum kafalah bersumber dari Al-Qur’an yaitu terdapat
pada Q.S. Yusuf ayat 66 dan ayat 72, Al-Sunnah, dan Ijma.
Rukun-rukun kafalah yaitu:

1. Kafil (penjamin)
2. Makful ‘ahu (orang yang berhutang)
3. Makful lahu (orang yang berpiutang), dan
4. Makful bih (objek jaminan).

12
Daftar Pustaka
Djamil, F. (2012). Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syari'ah. In T. d. Suryani, Penerapan Hukum Perjanjian dalam
Transaksi di Lembaga Keuangan Syari'ah (pp. 221-232). Jakarta: Sinar
Grafika.

Hakim, A. A. (2011). Fiqih Perbankan Syari'ah. In S. A. Mifka, Fiqih Perbankan


Syari'ah (pp. 276-284). Bandung: PT Refika Aditama.

Iyadh, Q. (2013, April 16). Makalah Al-Kafalah. Retrieved Februari 19, 2017,
from Makalah Al-Kafalah: http://al-qodhi.blogspot.co.id

Lubis, C. P. (1996). Hukum Perjanjian Dalam Bisnis. In C. P. Lubis, Hukum


Perjanjian Dalam Bisnis (p. 150152). Jakarta: Sinar Grafika.

Muslich, A. W. (2015). Fiqih Muamalat. In Lihhiati, & Lihhiati (Ed.), Fiqih


Muamalat (pp. 417-446). Jakarta: AMZAH.

Pamungkas, B. (2015, Mei 30). Makalah Kafalah. Retrieved Februari 19, 2017,
from Makalah Kafalah: http://desbayy.blogspot.co.id

Veitzhal Rivai, A. P. (2011). Islamic Transaction Law In Business dari Teori ke


Praktek. In D. Ispurwanti, Islamic Transaction Law In Business dari Teori
ke Praktek (p. 100). Jakarta: PT Bumi Aksara.

13

Anda mungkin juga menyukai