Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH MUQARANAH MAZAHIB FI AL MUAMALAH

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Muqaranah Mazahib Fi Al Muamalah
Dosen Pengampu:

Disusun Oleh:

Gafar Efendi (190201012)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2020/2021
DAFTAR ISI …………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………… 1

 A. Latar Belakang ………………………………………….. 1


 B. Batasan Masalah ……………………………………….. 3
 B. Rumusan Masalah …………………………………….. 4
 C. Tujuan ……………………………………………………… 5
 D. Manfaat ……………………………………………………. 7
 D. Istilah Penting ………………………………………….. 10

BAB II LANDASAN TEORI ……………………………… 11

 A. Identifikasi Masalah ………………………………….. 11


 B. Kerangka Berpikir ……………………………………… 15
 C. Hipotesis ………………………………………………….. 21

BAB III PEMBAHASAN …………………………………… 22

 A. Pengertian Globalisasi ……………………………….. 22


 B. Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN ……. 24
 C. Faktor Pendorong Munculnya Globalisasi …… 26
 D. Faktor Pendorong Munculnya MEA …………… 28
 E. Dampak Globalisasi dan MEA ……………………. 29
 F. Sektor-sektor Sasaran MEA ………………………. 33
 G. Cara Menyikapi Globalisasi dan MEA ………….. 37

BAB IV PENUTUP ………………………………………… 38

 A. Simpulan ………………………………………………… 39
 B. Saran ……………………………………………………… 40

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………


BAB I
ARIYAH

A. Pengertian Akad Ariyah


 Secara etimologi ,’arriyah berasal dari kata ‘arun yang berartidatang dan pergi secara rergesa-
gesa.
 Secara terminologi dapat dua versi , pertama, pendapat hanafiah da malykiyah yang
mendefinisiksn ariyah sebagai ”tamlik al- manfaat “ (kepemilikan atas manfaat) kedua, adalah
pendapat syafi’yah dan hanabilah yang mendefinisikan ‘ariyah dengan” ibadah al intift”
( kebolehan mengambil manfaat).

1. gadai adalah akad yang lazim atau resmi akan tetapi ariyah adalah akad tabarru’ ( tolong

menolong).

2. Secara MajaziAriyah secara majazi adalah pinjam meminjam antara benda-benda yang
takaran, timbangan,hitungan dan lain-lain. Misalnya telur, uang, dan segala sesuatu yang
bisa dihitung. Dalam haltersebut dalam pengembaliannnya harus serupa dan senilai dengan
benda yang dipinjam. Dengandemikian dapat disebut dengan ariyah secara majazi , sebab
tidak dapat dimanfaatkan tanpamerusak zatnya
.
B. Hak Menggunakan Barang Pinjaman ( Musta’ar)

Jumhur

Ulama’selain Hanafiyah berpendapat, bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat

barang sesuai dengan izin dari pemberi pinjaman (

muir

). Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh

musta’ar

bergantung pada jenis pinjaman, apakah muirmeminjamkan secara terikat atau secara mutlak.1.
Ariyah MutlakYaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan persyaratan
apapun,seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan untuk orang
lain,atau tidak dijelaskan penggunaannya.2. Ariyah MuqayyadAdalah meminjamkan suatu barang
yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baikdisyaratkan pada keduanya maupun salah
satunya. Hukumnya, mustair harus sebisa mungkinuntuk menjaga batasan tersebut.batasan tersebut
melingkupi,a). batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam b). pembatasan waktu dan tempatc).
pembatasan ukuran berat dan jeniS Ihwal Ariyah, Tanggungan, dan Amanat

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman iu merupakam amanat bagi peminjam, baik
dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menaggung barang tersebut jika terjadi
kerusakan, seperti itu juga dalam sewa menyewa atau barang titipan, kecualikerusakan tersebut
akibat disengaja atau kelalaian. Hal ini karena tanggunagn tidak dibebankankepada mereka yang
bukan pelaku. Selain itu peminjapun dikategorikan sebagai orangyangmenjaga milik orang.

Dalam kalangan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung

barang yang tidak ada adanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti baju. Muir tidak
perlumenanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan seperti hewan atau barang yang
jelasdalamhal kerusakannya.

Sedangkan dari para kalangan Syafi’iyah, peminjam menaggung

harga barang bilaterjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai izin yang diberikan
pemilik walaupuntanpa disengaja. Yhadist tersebut sesuai hadist tentang sofwan yang telah dibahas
sebelumnya.Adapun barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak
menanggungnyaketika terjadi kerusakan.Sedangkan ulama hanabilahberpendapat bahwa peminjam
menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik sengaja maupun tidak. Golongan
ini mendasarkan pendapatmereka pada hadis dari Shafwan bin umayyah.Ulama hanabilah pun
mendasarkan pendapat dengan Hadist Rasulullah SAW:

Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang diambilnya sehingga

dipenuhi.”

( HR Ahmad )Barang pinjaman adalah harta orang lain yang diambil manfaatnya. Ulama
hambaliyahmenyatakan, jika barang-barang dipinjam adalah benda-benda wakaf, seperti kitab-kitab
ilmiah,dan suatu saat rusak, maka yang meminjamnya tidak menanggung kerusakannya dikarenakan
barang tersebut untuk maslahat.Ariyah dapat dikatakan berubah dari Amanah ke tanggungan, yang
menuurut ulama hanafiayah

penyebab perubahan ariyah dari amanah ketanggungan karena diantara keduannya ada beberapa
persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang yaitu dengan sebab-sebab
\a. Menghilangkan barang

b. Tidak menjaganya ketika menggunakan barang

c. Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyaratand. Menyalahi tata cara penjagaan
yang seharusnyaSedangkan untuk biaya pengembalian barang pinjaman itu ditanggung oleh
peminjam, sebab pengembaliannya barang merupakan kewajiban peminjam yang telah mengambil
manfaatnya.

E.Gugurnya Ariyah

Gugurnya atau hilangnya akad ariyah ada beberapa hal, yakni:

a. Meninggal dunia di salah satu pihak, atau keduanya.Jika salah satu dari mustair atau
muir yang meninggal dunia maka putus sudah, atau hilang sudahaakad ariyahnyam
secara pasti pihak pemilik ataupun peminjam dapat segera mengembalikan. b. Gila
dari salah satu pihakDalam syariat Islam orang fila tidak dapat dihukumi apapun,
karena gila pun data dikatakankehilangan akal sadarnya. Sehingga dalam berakad
pun tidak dapat diterima.c. Adanya permasalahan dalam pengembalianTerkadang
dalam pengembalian barang pinjaman sering terjadinya cacat, atauwaktu
pengembalian yang melebihi batas waktu yang ditentukan. Sehingga sering sekali
timbul suatusengketa dari pihak mustair dan muir, jika hal tersebut terjadi maka yang
di tangguhkan adalahsumpah dari kedua pihak.

BAB II KAFALAH

A. Pengertian Kafalah
Al-kafalah berasal dari kata ‫ كفل ــُـ‬ (menanggung) merupakan jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang
yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Pada
dasarnya akad kafalah merupakan bentuk pertanggungan yang biasa dijalankan oleh
perusahaan.

B. Dasar Hukum Kafalah


Dasar humum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan
kesepakatan para ulama, sebagai berikut
1. Al-Qur’an

Artinya: Ya’qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya [pergi] bersama-sama
kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu
pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala
mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa
yang kita ucapkan [ini]". (66)
2. As-Sunnah
Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah
memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah
SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?".
Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua dinar."
Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah : "Dua dinar itu tanggung
jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan
hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya."
Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu
Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW.
bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang
menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh
Ibnu Hibban).

C. Rukun
1. Adh-Dhamin (orang yang menjamin)
2. Al-Madhmun lahu (orang yang berpiutang)
3. Al-Madhmun ‘anhu (orang yang berhutang)
4. Al-Madhmun (objek jaminan) berupa hutang, uang, barang atau orang
5. . Sighah (akad/ijab)

D. Syarat
1. Kafil yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, merdeka
dalam mengelola harta bendanya/tidak dicegah membelanjakan hartanya dan dilakukan
dengan kehendaknya sendiri.
2. Mafkul lahu. yaitu orang yang berpiutang, Syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang
yang menjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, ada yang keras dan ada
yang lunak.
3. Makful ‘anhu adalah orang yang berutang, tidak disyaratkan baginya kerelaan terhadap
penjamin karena pada prinsipnya hutang itu harus lunak, baik orang yang berhutang rela
maupun tidak. Namun lebih baik dia rela/ridha.
4. Al-Makful adalah utang, barang atau orang. Disebut juga madmun bih atau makful bih.
Disyaratkan pada makfuln dapat diketahui dan tetap keadaannya (ditetapkan), baik sudah
tetap maupun akan tetap.
5. Sighat atau lafadz adalah pernyataan yang diucapkan oleh penjamin, disyaratkan keadaan
sighat mengandung makna menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti
sementara.

E. Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung


Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa
pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya
berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta
warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung.
Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi
SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi
menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali
dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.
Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada
orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu
Hanifah tidak membolehkannya.

F. Obyek Tanggungan
Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini
didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggung kerugian.” Sehubungan
dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini
dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut:
1. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan
orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa hendaknya, nilai barang
tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan/jaminan dan bahwa barangnya
diketahui, karena apabila tidak diketahui, maka dikhawatirkan akan terjadi gharar.
2. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di
tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah (pinjaman) atau wadi 'ah
(titipan), maka kafalah tidak sah.
3. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada pembeli
karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual- belikan.

G. Macam-macam Kafalah
1. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk
kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan
kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2. Kafalah bi an-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat
bertindak sebagai Juridical Personality  yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan
tertentu.
3. Kafalah bi at-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang
sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan
oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan,
leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan
pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee  kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk
tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan
bentuk performance bond  (jaminan prestasi).
5. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-
munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.

H. Akibat-akibat Hukum Kafalah


Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil
berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan
jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan,
bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk
kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu
haknya.
Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari
pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang yang ditanggung
melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib
mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya,
dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut.

I. Manfaat Kafalah
Kafalah yang diberikan oleh bank sangat mendukung transaksi bisnis yang dilakukan oleh
pihak-pihak terkait, karena dapat memberikan rasa aman dan kondusif bagi kelangsungan bisnis
maupun proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kafalah memberian manfaat bagi :
1. Pihak yang dijamin (nasabah), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank, nasabah
bisa mendapatkan/mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena biasanya pemilik proyek
menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang mereka miliki.
2. Pihak yang terjamin (pemilik proyek), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank,
pemilik proyek mendapat jaminan bahwa proyek yang akan dikerjakan oleh nasabah tadi
akan diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, karena kafalah merupakan
pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah cidera janji melaksanakan kewajibannya.
3. Pihak yang menjamin (bank), bahwa dengan kafalah yang diterbitkan oleh bank, maka
pihak bank akan memperoleh fee yang diperhitungkan dari nilai dan risiko yang
ditanggung oleh bank atas kafalah yang diberikan.
BAB III
QARDH

A. PENGERTIAN QARDH
Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong). Dinamakan demikian
karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian hartanya dan memberikannya
kepada pengutang.
Adapun definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang
mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.
Pengertian Qardh menurut istilah, diantara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah:
‫ما تعطيه من مال مثلي لتقتضاه‬
Artinya:
“Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan)
untuk memenuhi kebutuhannya. ”
‫عقد مخصوص يرد على دفع مال مثلى الخر ليرد مثله‬
Artinya:
“Akad terlalu dengan membayarkan harta mitsil kepada orang lain supaya membayar
harta yang sama kepadanya ”.
Memberikan utang ini merupakan salah satu bentuk dari rasa kasih sayang.
Rasulullah menamakannya maniihah, karena orang yang meminjam
memanfaatkannya kemudian mengembalikannya kepada pengutang.
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian dia
akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya mengutang uang Rp. 2000,00 akan
dibayar Rp. 2000,00 pula.
Utang piutang mempunyai kemiripan dengan pinjam-meminjam dari segi bahwa
yang dimiliki hanya manfaatnya dan pada waktunya dikembalikan kepada pemilik
dan juga mempunyai kemiripan dengan pembayaan harga pembelian pada waktu
yang ditangguhkan dan punya hubungan pula dengan muamalah riba. Oleh karena
itu, perlu dijelaskan definisi atau batasan dari utang-piutang tersebut.
Definisi utang-piutang tersebut yang lebih medekat pada pengertian yang mudah
dipahami adalah : “penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada
waktunya dengan nilai yang sama”. Kata “penyerahan harta” disini mengandung arti
pelepasan pemilikan dari yang punya. Kata “untuk dikembalikan pada waktunya”
mengandung arti bahwa pelepasan pemilikan hanya berlaku untuk sementara, dalam
arti yang diserahkan itu hanyalah manfaatnya. “berbentuk uang” disini mengandung
arti uang dan yang dinilai dengan uang. Dari pengertian ini dia dibedakan dari
pinjam-meminjam karena yang diserahkan disina adalah harta berbentuk barang.
Kata “nilai yang sama” mengandung arti bahwa pengembalian dengan nilai yang
bertambah tidak disebut utang-piutang, tetapi adalah usaha riba. Yang dikembalikan
itu adalah “nilai” maksudnya adalah bila yang dikembalikan wujudnya semula, ia
termasuk pada pinjam-meminjam, dan bukan utang piutang.
B. LANDASAN HUKUM QARDH
Untuk maksud utang-piutang dalam terminologi fiqh digunakan dua istilah yaitu
Qardhu (‫ )القرض‬dan Dayn (‫ )الدين‬kedua lafaz ini terdapat dalam Al-Quran dan hadits
Nabi dengan maksud yang sama yaitu utang-piutang .Utang-piutang merupakan
perbuatan kebajikan yang telah disyari’atkan dalam islam. Hukumnya adalah mubah
atau boleh.
Al-Qardhu (memberikan utang) merupakan kebajikan yang membawa kemudahan
kepada muslim yang mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi
kebutuhan. Sedangkan, mengutang tidaklah terhitung sebagai meminta-minta yang
makruh, karena Rasulullah sendiri pernah berutang kepada orang lain.
Memberi Utang hukumnya sunnah, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya
mengutangi orang yang terlantar atau orang yang sangat membutuhkannya. Memang
tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat sangat besar
faidahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya
memerlukan pertolongan orang lain.
Qardh dibolehkan dalam Islam yang didasarkan pada al-Qur’an, as-Sunah dan Ijma’.
1. Al-Qur’an
Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk Utang-piutang tersebut dalam bentuk
ayat al-Quran diantaranya pada surat al-Muzammil ayat 20 :
‫وأقيموا الصالة وءاتوا الزكاة وأقرضوا هللا قرضا حسنا‬
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat serta beri utanglah Allah dengan utang
yang baik.”
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-Baqarah ayat 282 :
‫ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka tuliskanlah.”
Firman Allah Swt:
Yang artinya :
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ”(Qs. Al-Maidah:
2)
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-Baqarah ayat 282 :
‫ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka tuliskanlah.”

2. Al-Sunnah
Memberi utang adalah disunahkan, dan orang yang melakukannya mendapat pahala
yang besar. Rasulullah bersabda:

﴿ ‫﴾ ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إال كان كصجقة مرة‬


“Tiada orang muslim yang memberikan utang kepada seorang muslimin dua kali,
kecuali piutangnya bagaikan sedekah satu kali”(HR. Ibnu Majah)
Ada yang mengatakan bahwa memberi utang lebih baik daripada bersedekah, karena
seseorang tidak memberikan utang kecuali kepada orang yang membutuhkannya.
Dasar dalam hadits Nabi diantaranya adalah yang disampaikan oleh abu hurairah
menurut riwayat al-Bukhari sabda Nabi yang berbunyi :

‫من أخذا أموال الناس يريد أداءها أدى هللا عنه ومن أخذها يريد إتال فها أتلفه هللا‬
“Barang siapa yang mengambil harta seseorang dan ia bermaksud untuk
membayarnya, Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang bermaksud
mengambilnya dam melenyapkannya, Allah akan melenyapkannya.”
Juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Hakim ucapan Nabi
yang bunyinya :
‫إن هللا مع الدائن حتى يقضى دينه‬
“Sesungguhnya Allah bersama orang yang berutang hingga ia membayar
hutangnya.”
Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:
﴿ ‫ نفس هللا عنه كربة من كرب يوم القيامة‬، ‫﴾ من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا‬
“Barangsiapa meringankan suatu beban daqri seorang muslim di dunia ini, mnaka
Allah akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya.”
‫ ﴿ وراه مسلم‬. ‫﴾ وهللا فى عون العبد مادام العبد فى عون اخيه‬
“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong
saudaranya.”(Riwayat Muslim).
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan dalam islam. Hukum Qardh adalah
dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits
yang dirirawatkan oleh Ibnu Majah di atas. Juga ada hadits lainnya:
‫ من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس هللا عنه كربة من‬: .‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬: ‫قال‬.‫ع‬.‫عن أبى هريرة ر‬
‫كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر يسر هللا عليه فى الدنيا واالخرة ومن ستر مسلما ستره هللا فى الدنيا‬
‫﴾ واالخرة وهللا فى عون العبد ماكان العبدـ فى عون أخيه ﴿ اخرجه مسلم‬
Artinya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah bersabda, barang siapa melepaskan
dari seorang muslim dari satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya
Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi
kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi
kelonggaran baginya didunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang
muslim, niscaya menutupi (aib) nya didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya
monolong hamba-NYA, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (H.R.
Muslim).

C. RUKUN dan SYARAT QARDH


Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun
Utang-piutang itu adalah akad yang bermaksud melepaskan uang untuk sementara
dengan cara yang menunjukkan adanya rasa suka sama suka. Rukun Utang Piutang:
1. Lafadz (kalimat mengutang), seperti :” saya utangkan ini kepada engkau.” Jawab
yang berutang,”saya mengaku berutang kepada engkau.”
2. Yang berpiutang dan yang berutang.
3. Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang bisa dihitung, boleh diutangkan,
begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.
Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut adalah orang yang
berutang (‫)الدائن‬, orang yang memberi utang (‫)المدائن‬dan objek utang-piutang yaitu
uang atau barang yang dinilai dengan uang dan tenggang waktu pembayaran.
Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah orang yang telah cakap
dalam bertindak terhadap harta dan berbuat kebajikan, yaitu telah dewasa,berakal
sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa paksaan. Sedangkan syarat yang
berkenaan dengan objek yaitu uang adalah jenis nilainya, milik sempurna dari yang
memberi utang dan dapat diserahkan pada waktu akad. Sedangkan yang menyangkut
dengan tenggang waktu harus jelas dan dalam masa itu uang yang diserahkan telah
dapat dimanfaatkan.
Disyaratkan untuk syahnya pemberian utang ini bahwa pemberi utang adalah orang
yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang wali (pengasuh) anak yatim tidak
boleh memberikan utang dari harta anak yatim yang ia asuh tersebut. Disyaratkan
juga diketahuinya jumlah dan cirri-ciri harta yang dipinjamkan, agar dapayt
dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang
di tangan orang yang meminjam , dan ia wajib mengembalikannya ketika mampu
dan tanpa menunda-nundanya.
Qardh dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang dibolehkan
syara’. Selain itu, Qardh pun dipandang sah setelah adanya ijab qabul, seperti pada
jual beli dan hibah.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Qardh dipandang sah pada harta mitsil, yaitu
sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai.
Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda yang ditimbang, ditakar atau dihitung.
Qardh selain dari perkara diatas dipandang tidak sah, seperti hewan, benda-benda
yang menetap ditanah, dan lain-lain.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan Qardh pada setiap benda
yang tidak dapat di serahkan, baik yang ditakar maupun yang ditimbang, seperti
emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti barang dagangan, hewan, atau benda
yang dihitung. Hal itu didasarkan pada hadis dari Abu Rafi bahwa Nabi SAW
menukar (qarad) anak unta. Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang bisa ditakar,
atau ditimbang. Jumhur ulama membolehkan, Qardh pada setiap benda yang dapat
diperjual belikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang Qardh Manfaat , seperti
seseorang pada hari ini mendiami rumah, tetapi Ibn Taimiyah membolehkannya.
Menurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap Qardh pada benda
yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai syarat. Akan tetapi,
dibolehkan jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau tidak diketahui adanya manfaat
Qardh.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa muqrid tidak bisa memanfaatkan harta
muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan dirumah muqtarid, jika dimaksudkan
untuk membayar utang muqrid, bukan sebagai penghormatan. Begitupula dilarang
memberikan hadiah kepada muqrid, jika dimaksudkan untuk menyicil utang.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang Qardh terhadap sesuatu yang
mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan Qardh agar mendapat sesuatu yang
lebih baik atau lebih banyak sebab qarad dimaksudkan sebagai akad kasih sayang,
kemanfaatan, atau mendekatkan hubungan kekeluargaan. Selain itu, Rosulullah Saw.
pun melarang. Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau lebih dimaksudkan untuk
mengambil yang lebih baik, Qardh dibolehkan. Tidak dimakruhkan oleh muqrid atau
mengambilnya, sebab Rasulullah Saw. pernah memberikan anak onta yang lebih baik
kepada seorang laki-laki dari pada unta yang diambil beliau Saw. Selain itu , Jabir
bin Abdullah berkata:
‫ حق فقضانى وزادنى ﴿ رواه البخارى ومسلم‬.‫م‬.‫﴾ كان لى على رسول هللا ص‬
Artinya:
“ aku memiliki hak pada Rasulullah SAW kemudian beliau membayarnya dan
menambah untukku ” (H.R Bukhori dan Muslim)
Pendapat Ulama’ Fiqih tentang Qardh dapat disimpulkan bahwa Qardh dibolehkan
dengan dua syarat:
a. Tidak menjurus pada suatu manfaat
b. Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli

D. PELAKSANAAN QARDH
1. ADANYA TAMBAHAN
Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan dari utang yang ia berikan
ketika mengembalikannya. Para ulama sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan
kepada pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya tambahan,
kemudian si pengutang menerimanya maka itu adalah riba. Dan yang dipraktikkan
bank-bank sekarang ini, yaitu member pinjaman dengan adanya bunga, adalah jelas-
jelas riba, baik berupa pinjaman konsumtif maupun pinjaman produktif, sebagaimana
yang mereka namakan. Maka pemberi utang, baik bank, perorangan maupun
perusahaan, tidak boleh menerima tambahan yang disyaratkan, apa pun nama dan
bentuk tambahan tersebut. Baik dinamakan sebagai laba, bunga ataupun hadiah; baik
bentuknya adalah menempati sebuah rumah, mengendarai nkendaraan dan
sebagainya. Jadi selama tambahan, hadiah atau manfaat tersebut disyaratkan, maka
itu adalah riba.
Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan yang diterima dari
pemiliknya; tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu menjadikan
transaksi ini menjadi riba yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam
hadits dari Ali ra. Menurut riwayat al-Harits bin Usamah yang bunyinya :
‫كل قرض جرمنفعة فهو ربا‬
“Setiap utang yang menghasilkan keuntungan adalah riba.”

Yang dimaksud dengan keuntungan atau kelebihan dari pembayaran dalam hadits
tersebut diatas adalah kelebihan atau tambahan yang disyaratkan dalam akad utang-
piutang atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah
kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya,
maka yang demikian bukan riba, bahkan cara ini dianjurkan oleh Nabi. Halini
terdapat dalam beberapa riwayat dari Nabi diantaranya adalah hadits dari Abu Rafi’
menurut riwayat Muslim :
‫أن النبى صلى هللا عليه وسلم استسلف بكرا فقدمت إليه إبل من إبل الصدقة فامر أبا رافع أن يقضى ألرجل بكره‬
‫قال ال أجد إال خيارا ربا عيا فقال أعطه إياه فإن خيار الناس أحسنهم قضاء‬
“Bahwa Nabi Muhammad SAW. Mengutang seekor unta muda dari seseorang,
kemudian dibawa kepadanya seekor unta dari unta sodaqoh, Nabi menyuruh Abu
Rafi’ untuk membayar utangnya, Abu Rafi’ berkata: “saya tidak mendapatkan
kecuali unta yang sudah besar”. Nabi bersabda: berikanlah itu, karena orang yang
paling baik adalah yang membayar utang dengan yang lebih baik”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik, Rasulullah bersabda:
﴿ ‫ فال يركبها وال يقبلها إال أن يكون جرى بينة وبينه‬، ‫إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى إليه أو حمله على الدابة‬
‫﴾ قبل ذلك‬
“Jika salah seorang kalian memberikan utang, lalu orang yang berutang memberinya
hadiah atau menaikkannya ke atas hewan tunggangannya, maka hendaknya ia jangan
menaikinya dan jangan menerimanya , kecuali jika sebelumnya mereka telah terbiasa
dengan hal tersebut.”(HR Ibnu Majah).
‫عن ابى هريرة قال استقرض رسول هللا صلى هللا عليه وسلم سنا فاعطى سناخيرا من سنه وقال خياركم‬
‫ احاسنكم قضاء‬.
Dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Rosulullah telah mengutang hewan, kemudian beliau
bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya dari pada hewan yang beliau utang itu,
dan rosulullah Saw bersabda, orang yang paling baik diantara kamu adalah orang
yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.”(Riwayat Ahmad dan
Tirmizi,lalu disahihkannya)
Dan, masih banyak hadits yang menguatkan hadits ini. Diriwayatkan juga bahwa
Abdullah bin Salam r.a. barkata, “jika engkau mempunyai piutang atas seseorang,
lalu ia memberimu jerami sebanyak satu bawaan unta, maka janganlah engkau
menerimanya. Karena sesunguhnya itu adalah riba.”Dan kedudukan riwayat dari
Abdullah bin Salam r.a. ini bagakan hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah.
Maka, pemberian utang (muqridh) dilarang menerima hadiah dari pengutang, baik
berupa benda atau jasa, jika hal tersebut karena utang tersebut. Hal ini dikarenakan
adanya larangan akan hal itu. Disamping itu juga, karena al-qardhu (pemberian
utang) adalah akad yang berlangsung kerena rasa belas kasihan terhadap orang yang
membutuhkan, dan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehinga,
jika disyaratkan adanya tambahan di dalamnya, atau pemberi utang berkeinginan dan
bermaksud mendapatkannya, maka hal itu telah mengeluarkan al-qardhu (pemberian
utang) dari tujuannya semula-yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menolong
orang yang membutuhkan-, menjadi sarana untuk mencari keuntungan dari orang
yang membutuhkan bantuan. Dengan demikian, maka hal itu bukan lagi al-qardhu.
Seorang muslim haruslah berhati-hati dalam hal ini. Dan, hendaklah selalu
mengikhlaskan dalam memberi utang dan dalam amal-amal saleh lainnya. Karena
sesungguhnya tujuan dari memberikan utang bukanlah untuk menumbuhkembangkan
harta secar lahir, akan tetapi mengembangkannya secara maknawi. Yaitu, dengan
berkah yang diturunkan oleh Allah, sehingga harta tersebut berkembang dan menjadi
harta yang bai8k. dan, hal ini hanya terwujud dengan menggunakannya untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yang salah satunya adalah memberikan utang
dengan tidak mengambil tambahan apa-apa darinya.
Peru diketahui bahwa tambahan yang haram diambil dari pemberian utang (al-
qardhu) adalah tambahan yang disyaratkan. Seperti seseorang yang berkata, “saya
memberimu utang sekian-sekian, denmgan syarat engkau mengembalikannya dnagn
tambahan sekian-sekian.” Atau, “ saya memberimu pinjaman sekian, dengan syarat
engkau membolehkan saya untuk tinggal di rumahmu atau memakai tokomu”, atau
juga, “ dengan syarat engkau menghadiahkan kepada ku ini,” atau tidak ada syarat
yang disebutkan, akan tetapi terdapat tujuan dan keinginan untuk mendapatkannya,
maka hal ini dilarang.
Adapun jika peminjam memberikan tambahan dari dirinya sendiri dan berangkat dari
keikhlasannya, bukan karena syarat yanmg ditetapkan oleh pemberi utang, maka
pemberi utang boleh menerimanya. Karena ini terhitung sebagai husnul qadha
(membayar utang dengan baik). Disamping itu, Rasulullah pernah meminjam sesuatu
kepada (abu) Bakar, lalu beliau melunasinya dengan lebih baik.
Dan beliau bersabda:
﴿ ‫﴾ خيركم أحسنكم قضاء‬

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman.”
Ini merupakan akhlak yang terpuji, baik menurut adat maupun syara’ , bukan
termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat. Karena tambahan tersebut tidak
disyaratkan oleh pemberi utang, juga tudak adanya kesepakatan akan hal itu antara
dia dan pengutang, akan tetapi tambahan tersebut diberikan secara suka rela oleh
pengutang.
Demikian juga jika pengutang sebelumnya sudah terbiasa melakukan suatu jasa
kepada pemberi utang, dan ia melakukannya bukan karena utangnya kepada pemberi
utang. Maka dalam hal ini, pemberi utang boleh menerimanya, karena tidak ada
larangan di dalamnya.

2. HUKUM (KETETAPAN) QARDH


Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh menjadi tetap setelah
pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian, jika seseorang menukarkan
(iqtaradha) satu kilo gram gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan
harus memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya. Jika
muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya, walaupun
Qardh (barang yang ditukarkan) masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf,
muqtarid tidak memiliki Qardh selama Qardh masih ada. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa ketetapan Qardh, sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya,
adalah dengan adanya akad walaupun belum ada penyerahan dan pemegangan:
Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan Qardh muqrid meminta
zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika Qardh telah berubah, muqtarid
wajib memberikan benda-benda sejenis.
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan pendapat Abu Hanifah
bahwa ketetapan Qardh dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. Muqtarid
harus menyerahkan benda sejenis (Mitsil) jika penukaran terjadi pada harta mitsil
sebab lebih mendekati hak muqrid. Adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai)
didasarkan pada gambarannya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian
Qardh pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya.
Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan
mereka ada dua pendapat., Pertama sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu
membayar nilainya pada hari akad Qardh. Kedua mengembalikan benda sejenis yang
mendekati Qardh pada sifatnya.

3. TEMPAT MEMBAYAR QARDH


Ulama fiqih sepakat bahwa Qardh harus dibayar ditempat terjadinya akad secara
sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya ditempat lain apabila tidak ada
keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga tidak halangan dijalan.
Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar ditempat lain, muqrid tidak
perlu menyerahkannya.

4. JATUH TEMPO QARDH


Utang wajib dibayar pada waktu yang ditentukan bila yang berutang memang telah
mampu membayarnya. Bila dia mampu membayar tetapi menangguhkkan
pembayarannya, dia dinyatakan sebagai orang yang zhalim sebagaimana dikatakan
Nabi dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya
sabda Nabi dari Abu Huraira menurut riwayat al-Bukhari :
‫مطل الغني ظلم‬
“Tindakan orang kaya yang menangguh-nangguhkan hutangnya adalah zhalim.”
Hadits Nabi yang lain dari ‘Amru bin Syarid menurut riwayat Abu Daud dan al-
Nasai, sabda Nabi:

‫لي الواجد يحل عرضه وعقوبته‬


“Orang-orang yang mempunyai harta tetapi mengguhkan hutangnya boleh dituntut
dan disiksa.”
Namun bila yang berutang tidak mampu membayar utangnya pada waktu jatuh
tempo, orang yang mengutangi diharapkan bersabar sampai yang berutang
mempunyai kemampuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 280:
‫وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة وأن تصدقوا خير لكم إن كنتم تعلمون‬

Artinya:
“Jika mereka (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka hendaklah tunggu sampai
ia mempunyai kemampuan untuk membayar. Bila kamu sedekahkan, itu akan lebih
baik; seandainya kamu mengetahui.”
Kemudian pengutang(muqtaridh) wajib berusaha dengan sungguh-sungguh dalam
melunasi utangnya, tanpa mengulur-ngulurnya ketika mampu membayarnya. Allah
berfirman:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Qs.ar-Rahmaan: 60)
Sebagian orang menyepelekan kewajiban mereka, khususnya dalam masalah utang.
Dan ini adalah perilaku yang tercela, yang membuat banyak orang enggan
memberikan utang dan member kemudahan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Hal ini merupakan salah satu faktor beralihnya orang-orang ke benk-bank yang
menerapkan system riba dan melakukan hal yang diharamkan oleh Allah. Karena
ketika membutuhkan, mereka tidak menemukan orang yang memberi mereka
pinjaman denagn baik. Sedangkan, orang yang mau memberikan utang tidak
menemukan orang yang mau melunasi utangnya dengan baik, sehingga hilanglah
kebaikan dari orang-orang.

5. JAMINAN (RUNGGUHAN)
Jaminan atau rungguhan ialah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat
kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat
dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku
dibawah itu).
Firman Allah Swt.:
Yang artinya :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)”(Qs.Al-Baqarah:283)
Sabda Rasulullah Saw:
‫ ﴿ رواه أحمد‬. ‫عن انس قال رهن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم درعا عنديهودى بالمدينة واخذ منه شعيرا الهله‬
‫﴾ والبخارى والنسائى وابن ماجه‬
Dari anas. Ia berkata, “Rasulullah Saw. Telah merungguhkan baju besi beliau kepada
seorang yahudi di Madinah, sewaktu beliau mengutang Sya’ir (Gandum) dari
seorang Yahudi untuk ahli rumah beliau.”(Riwayat Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu
Majah).
Menurut keterangan dalam hadis lain, banyaknya biji gandum yang diutang
Rasulullah Saw. Dari dari seorang yahudi adalah tiga puluh sa’ lebih kurang 90 liter,
dengan jaminan baju perang beliau. Dari hadits tersebut jelaslah bagi kita bahwa
agama Islam dalam urusan muamalat tidak membedakan antara pemeluknya dengan
yang lain. Wajib antara muslimin membayar hak pemeluk agama lain seperti
terhadap sesama mereka. Begitu juga tidak halal harta mereka selain dengan cara
yang halal terhadap sesama muslim. Rukun Rungguhan:
a. Lafadz (kalimat akad), seperti; “saya saya rungguhkan ini kepada engkau untuk
utangku yang sekian terhadap engkau.” Jawab yang berpiutang, “saya terima
rungguhan ini.”
b. Ada yang merungguhkan dan yang menerima rungguh (yang utang dan yang
berpiutang). Keduanya hendaklah ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
c. Barang yang dirungguhkan. Tiap-tiap zat yang bisa dijual dirungguhkan dengan
syarat keadaan barang itu tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Apabila barang yang telah dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang, tetaplah
rungguhan; dan apabila rungguhan telah tetap yang punya barang tidak boleh
menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jalau ataupun diberikan dan
sebagainya, kecuali dengan izin yang berpiutang. Apabila barang yang dirungguhkan
rusak atau hilang ditangan orang yang memegangnya, ia tidak wajib mengganti
karena barang rungguhan itu adalah barang amanat (percaya-mempercayai), kecuali
rusak atau hilangnya itu disebabkan kelalaiannya. Manfaat barang yang
dirungguhkan yakni: Orang yang punya barang tetap berhak mengambil manfaat dari
barang yang dirungguhkan, bahkan semua manfaatnya tetap kepunyaan dia,
kerusakan barang pun atas tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang
yang dirungguhkan itu walaupun tidak seizing orang yang menerima rungguhan.
Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya dari barang itu atau mengurangi harga
barang itu tidak diperbolehkan kecualai dengan izin orang yang menerima
rungguhan. Maka tidaklah sah bila orang yang merungguhkan menjual barang yang
sedang dirungguhakan itu, begitu juga menyewakannya apabila masa sewa-menyewa
itu melalui masa rungguhan.
Sabda Rasulullah SAW:
‫﴿ رواه الشافعى والدارقطنى‬. ‫﴾ اليغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه وعليه غرمه‬
“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat barang itu, faedahnya
kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya.” (Riwayat Syafii dan Daruqutni)
Orang yang memegang rungguhan boleh mengambil manfaat barang yang
dirungguhakan dengan sekadar ganti kerugiannya, untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah SAW:
‫ ﴿ رواه حماد‬. ‫اذا ارتهن شاة شرب المرتهن من لبنها بقدر علفها فان استفضل من اللبن بعد ثمن العلف فهوربا‬
‫﴾ بن سلمة‬
“Apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang memegang rungguhan itu boleh
meminum susunya sekadar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu.
Maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba” (Riwayat
Hammad bin Salmah).
Bertambahnya barang yang dirungguhkan:
a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anaknya yang jadi dan lahir
sesudah dirungguhkan tidak termasuk barang rungguha, tetapi tetap kepunyaan orang
yang merungguhkan. Maka jika barang rungguhan itu dijual oleh yang memegang
rungguhan, tambahannya itu tidak boleh ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut
dijual, sebab tambahan itu tidak ikut dirungguhkan.
b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti tambahan gemuk, tambahan
besarnya, dan anak yang masih dalam kandunga, semuanya itu termasuk yang
dirungguhkan. Begitu juga bulunya jika di waktu merungguhkan sudah watu
memotong tetapi tidak dipotonngnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk
dirungguhkan. Tetapi jika di waktu merungguhkan belum waktunya dipotong, maka
ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan; yang punya barang
berhak memotongnya dan mengambil bulu itu apabila sampai waktu memotongnya.
Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini (seorang merungguhkan sawah
atau pohon kelapa, semua penghasilannya diambil oleh yang memegang), hal itu
tidak sah dan tidak halal, sebab rungguhan itu hanya berguna utnuk menambah
kepercayaan yang berpiutang kepada yang berhutang, bukan untuk mencari
keuntungan bagi yang berpiutang.

Sabda Rasulullah Saw.:


‫ ﴿ اخرجه البهقى‬. ‫﴾ كل قرض جرمنفعة فهو وجه من وحوه الربا‬
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa
macam riba” (Riwayat Baihaqi).
6. KHIYAR dan PENANGGUHANNYA
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam Qardh tidak ada khiyar
sebab maksud dari khiyar adalah membatalkan akad, sedangkan dalam Qardh
masing-masing berhak boleh membatalkan akad kapan saja dia mau. Jumhur ulama
melarang penangguhan pembayaran Qardh sampai waktu tertentu sebab dikawatirkan
akan menjadi riba nasi’ah. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan bahwa
Qardh adalah derma, muqrid berhak meminta penggantinya waktu itu. Selain itu,
qaradpun termasuk akad yang wajib diganti dengan harta mitsil, sehingga wajib
membayarnya pada waktu itu, seperti harta yang rusak.
Namun demikian, ulama Hanafiyah menetapkan keharusan untuk menangguhkan
Qardh pada empat keadaan:
1. Wasiat, seperti mewasiatkan untuk penangguhan sejumlah harta dan ditangguhkan
pembayarannya selama setahun, maka ahli waris tidak boleh mengambil
penggantinya dari muqtarid sebelum habis waktu setahun.
2. Diasingkan, Qardh diasingkan kemudian pemiliknya menangguhkan sebab
penangguhan pada waktu itu diharuskan.
3. Berdasarkan keputusan hakim.
4. Hiwalah, yaitu pemindahan utang.
Imam Malik berpendapat bahwa Qardh ditangguhkan dengan adanya penangguhan
sebab Nabi SAW bersabda:
‫﴾ المسلمون على شروطهم ﴿ رواه أبوداود وأحمد والترمذى والدارقطنى‬
Artinya:
“Orang-orang Islam didasarkan pada (persyaratan yang mereka buat).” (H.R. abu
Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Daruqtuni)
Selain itu, kedua belah pihak yang melakukan akad dapat menetapkan atau
membatalkan transaksi.

BAB IV
AL- MUSYARAKAH
A. Pengertian al- Musyarakah
Musyarakah secara bahasa di ambil dari bahasa arab yang berarti mencampur. Dalam
hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat di
pisahkan satu sama lain.
Musyarakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam konteks skim pembiayaan
Syariah. Istilah lain dari musyarakah adalah syarikah atau syirkah.[1]
Kata Syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yashruku (fi’il
mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar), artinya menjadi sekutu
atau syarikat (kamus al Munawar). Menurut arti asli bahasa Arab, syirkah berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu
bagian dengan bagian lainnya. [2]
Al –Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal /expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.

B. Dasar Hukum (Landasan Syariah)


1. Al-Qur’an
“ ....maka mereka berserikat pada sepertiga.....”(an-Nisa:12)
“Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh.”(Shaad:24)
2. Al-Hadits
ُ‫ث ال َّش ِري َك ْي ِن ما َ لَ ْم يَ ُخ ْن آَ َح ُد هُما َ صا َ ِحبَه‬
ُ ‫ع َْن آبي هُ َر ْي َر ةَ َرفَ َعهُ قَا َل ِا َّن هللاَ يَقو ُل آَنا َ ثَا ِل‬
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda, “ sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla berfirman, Aku pihak dari ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati lainnya.” ( HR Abu Dawud No.2936, dalam kitab al-
Buyu, dan Hakim)
3. Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata,” kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan pendapat dari beberapa elemen darinya.
C. Rukun dan Syarat al-Musyarakah
1. Rukun-rukun al-Musyarakah:
a. Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
b. Objek akad , yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh),
c. Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
2. Syarat-syarat al-musyarakah
Beberapa syarat pokok musyarakah menurut Usmani (1998) antara lain:
a. Syarat akad
Ada empat syarat akad:
1) Syarat berlakunya akad (In’iqod)
2) Syarat sahnya akad (shihah)
3) Syarat terealisasikannya akad (Nafadz)
4) Syarat Lazim
b. Pembagian proporsi keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan harus
dipenuhi hal-hal berikut:
1) Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus disepakati
di awal kontrak/ akad. Jika proporsi belum ditetapkan , akad tidak sah menurut
syariah.
2) Rasio /nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan
sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan
berdasarkan modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum
untuk mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal
investasinya.
c. Penentuan proporsi keuntungan. Dalam menentukan proporsi keuntungan
terdapat beberapa pendapat dari para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1) Imam malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi
di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad
sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
2) Imam Ahmad berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari
proporsi modal yang disertakan.
3) Imam Abu Hanifah, yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah,
berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada
kondisi normal..
d. Pembagian kerugian. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra
menanggung kerugian sesuai dengan porsi investasinya.
e. Sifat modal. Sebagian besar ahli hukum Islam berpendapat bahwa modal yang
diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid.
f. Manajemen musyarakah. Prinsip normal dari musyarakah bahwa setiap mitra
mempunyai hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha
patungan ini. Namun demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen
perusahaan akan di dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan
menjadi bagian manajemen dari musyarakah.
g. Penghentian musyarakah
1) Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah
menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.
2) Jika salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan,
kontrak dengan almarhum tetap berakhir/dihentikan.
3) Jika salah seorang mitra menjadi hilang ingatan atau menjadi tidak mampu
melakukan transaksi komersial, maka kontrak musyarakah berhasil.
h. Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha. Jika salah seorang mitra ingin
mengakhiri musyarakah sedangkan mitra lain ingin tetap meneruskan usaha, maka
hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. [3]
D. Jenis –jenis al- Musyarakah
Al- musyarakah ada dua jenis:
1. Musyarakah pemilikan
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih .
2. Musyarakah akad (kontrak)
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih
setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.
Musyarakah akad dibagi menjadi lima jenis:
a. Syirkah al- ‘Inan yaitu kontrak antara dua orang atau lebih.
b. Syirkah mufawadhah yaitu kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih.
c. Syirkah A’maal yaitu kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima
pekerjaan secara bersama dan berbagai keuntungan dari pekerjaan itu.
d. Syirkah Wujuh yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis.
e. Syirkah al-mudharabah yaitu syirkah yang apabila terjadi keuntungan maka
dibagi hasil sesuai nisbah yang disepakati kedua belah pihak yaitu pemilik modal
serta pelaku usaha. [4]

E. Bentuk-bentuk musyarakah:
1) Musyarakah tetap
Bentuk akad musyarakah yang paling sederhana adalah musyarakah tetap ketika
jumlah porsi modal yang disertakan oleh masing-masing mitra tetap selama periode
kontrak.
2) Musyarakah menurun
Pada kerja sama ini, dua pihak bermitra untuk kepemilikan bersama suatu aset dalam
bentuk properti, peralatan, perusahaan, atau lainnya.
3) Musyarakah mutanaqishah
Suatu penyertaan modal secara terbatas dari mitra usaha kepada perusahaan lain
untuk jangka waktu tertentu.[5]

F. Aplikasi dalam Perbankan


1. Pembiayaan Proyek
Al- musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah
dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah
proyek tersebut selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil
yang telah disepakati untuk bank.
2. Modal ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam
kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. [6]
Secara umum, aplikasi perbankan dari al-musyarakah dapat digambarkan dalam
skema berikut:[7]

G. Ketentuan Umum al-Musyarakah


Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan
usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk
menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan, seperti:
1. Mengabungkan dana proyek dengan harta pribadi
2. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal
lainnya.
3. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh
pihak lain.
4. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila, menarik diri dari
perserikatan, meninggal dunia dan menjadi tidak cakap hukum.
5. Biaya yang timbul dari pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus
diketahui bersama, keuntungan dibagi sesuai dengan porsi konstribusi modal.
6. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek
selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank.[8]
H. Manfaat dan Risiko al-Musyarakah
1. Manfaat al-Musyarakah:
a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat.
b. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan / hasil usaha bank,
sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/ arus kas
usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-
benar halal, aman, dan menguntungkan.
e. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di
mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap
berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan
terjadi krisis ekonomi.
2. Risiko al-Musyarakah:
a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut
dalam kontrak.
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.[9]

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengertian al-musyarakah
Al –Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal /expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Landasan syariah
a. Al-Qur’an
b. Hadist
c. Ijma’
3. Rukun dan Syarat al-Musyarakah
a. Rukun-rukun al-Musyarakah:
1) Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
2) Objek akad , yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh),
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
b. Syarat al-Musyarakah:
1) Syarat akad
2) Pembagian proporsi keuntungan
3) Penentuan proporsi keuntungan
4) Pembagian kerugian
5) Sifat modal
6) Manajemen musyarakah
7) Penghentian musyarakah
8) Penghentian musyarakah tanpa usaha
4. Jenis-jenis al-Musyarakah
a. Musyarakah pemilikan
b. Musyarakah akad
5. Bentuk-bentuk al-Musyarakah
a. Musyarakah tetap
b. Musyarakah menurun
c. Musyarakah mutanaqishah
6. Aplikasi dalam Perbankan
a) Pembiayaan Proyek
b) Modal ventura
7. Ketentuan Umum al-musyarakah
a. Mengabungkan dana proyek dengan harta pribadi
b. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal
lainnya.
c. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh
pihak lain.
d. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila, menarik diri dari
perserikatan, meninggal dunia dan menjadi tidak cakap hukum.
e. Biaya yang timbul dari pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus
diketahui bersama, keuntungan dibagi sesuai dengan porsi konstribusi modal.
f. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek
selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank
8. Manfaat dan Risiko al-Musyarakah:
a. Manfaat
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan / hasil usaha bank,
sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/ arus kas
usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-
benar halal, aman, dan menguntungkan.
5) Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di
mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap
berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan
terjadi krisis ekonomi.
b. Risiko al-Musyarakah:
1. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut
dalam kontrak.
2. Lalai dan kesalahan yang disengaja
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
Bab 13 Pengertian Al-musaqah
Al-musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena pepohonan penduduk
Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi
nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarap
hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
2.2 Landasan syariah
Al hadits
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Abu Thalib r.a. bahwa
Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan
pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta
keluaraga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4 . semua telah
dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak
yang telah mengetahuinya, akan tetapi tidak seorang pun yang menyanggahanya.
Berarti ini adalah ijma’ sukuti (konsensus) dari umat.
Ibnu umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman
kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan
peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu
dari hasil panen.[1]
2.3 Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah adalah :
a. Pihak pemesok tanaman
b. Pemeliharaan tanaman
c. Tanaman yang dipelihara
d. Akad[2]
Sedangkan syarat musaqah adalah sebagai berikut:
a. Ahli dalam akad.
b. Menjelaskan bagian penggarap.
c. Membebaskan pemilik dari pohon.
d. Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad
sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
Tidak disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih,
kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
2.4 Ketentuan Al-Musaqah
Ketentuan Al-Musaqah adalah sebagai berikut:
a) Pemilik lahan wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara.
b) Pemelihara wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.
c) Pemelihara tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk melakukan
pekerjaan.
d) Pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan secara pasti
dalam akad
e) Pemeliharaan tanaman wajib menganti kerugian yang timbul dari
pelaksanaan tugasnya jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.[3]
2.5 Berakhirnya akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh, berakhirnya akad musaqah itu apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b. Salah satu pihak meninggal dunia.
c. Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur, disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah
itu dapat diwarisi atau tidak. Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa al-musaqah
adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu meninggal dunia dan tidak boleh
dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa akad al-musaqah tidak boleh tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan
apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu
menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu. Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa akad al-musaqah sama dengan akad al-muzara’ah, yaitu akad
yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak
boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah,
dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan
yang telah ada.[4]
2.6 Pengertian Al-Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah diartikan wajan ٌ‫ ُمفَا َعلَة‬dari kata ‫ع‬
ُ ْ‫ اَلزَر‬yang sama
ُ َ‫اإل ْنب‬
artinya dengan ‫ات‬ ِ (menumbuhkan). Muzara’ah dinamai pula dangan mukhabarah
dan muhaqalah. Orang irak memberikan istilah muzara’ah dengan istilah al-qarah.[5]
Dalam kamus istilah ekonomi muzara’ah ialah akad kerja sama pengelolaan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan menyerahkan
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; pemilik
tanah menyerahkan sekaligus memberikan modal untuk mengelola tanah kepada
pihak lain. Sedangkan mukhabarah adalah pemilik tanah menyerahkan kepada pihak
orang yang mengelola tanah, tetapi modalnya ditanggung oleh pengelola tanah
dengan pembayaran 1/3 atau ¼ hasil panen.[6]
Ulama Malikiyah mendefenisikan :
ِ ْ‫الزر‬
‫ع‬ ُّ ‫أَ ِّشرْ َكةُ فِى‬
“perserikatan dalam pertanian”[7]
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
َّ‫ضهُ لِل َعا ِم ِل الَّ ِذيْ يَقُوْ ُم يِ َزرْ ِعهَا َوبَ ْد فَ ُع لَهُ ْالحُب‬
َ ْ‫ض الصَّا لِ َح ِة ْالُ َزار َع ِة ْار‬
ِ ْ‫صا ِحبُ ْاال َءر‬
َ ‫اَ ْن يَ ْد فَ َع‬
“pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk di tanami yangbekerja
di beri bibit.”
Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah:
‫ض‬ِ ْ‫ج ِمنَ ْاألَر‬ ِ ‫َار‬ِ ‫ْض ْالخ‬ ِ ‫ع بِبَع‬ ِ ْ‫َع ْق ٌد َعلَى ال َّزر‬
“akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.” [8]
Imam Syafi’i mendefenisikan :
‫ْض َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا َو ْالبَ ْذ ُر ِمنَ ْال َعا ِم ِل‬
ِ ‫ض بِبَع‬ ِ ْ‫َع َم ُل اأْل َر‬
“pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan penggarap tanah.”[9]
Dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah,
sedangkan dalam al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah ini merupakan kehendak dan keinginan kedua
belah pihak, oleh karena itu harus terjadi dalam suatu akad atau perjanjian, baik
secara formal dengan ucapan ijab dan qabul, maupun dengan cara lain yang
menunjukkan bahwa keduanya telah melakukan kerja sama secara rela sama rela.[10]
Dapat dijelaskan bahwa muzara’ah merupakan kerjasama antara pemilik tanah dan
penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan
bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila bibit
disediakan sipekerja, maka kerjasama ini disebut al-mukhabarah.
Al-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antar pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk di tanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil
panen.[11]
Al muzara’ah sering kali diidentifikasi dengan mukhabarah.[12] Diantara keduanya
terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
a. Muzara’ah : benih dari pemilik lahan
b. Mukhabarah : benih dari penggarapnya.[13]
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan
mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan
ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi,
Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan
memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
2.7 Landasan Syariah
a. Al-hadits
Diriwayatkan dari ibnu umar bahwa rasulullah saw. Pernah memberikan tanah
khaibar kepada penduduknya (waktu itu itu mereka masih yahudi) untuk di garap
dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang mengatakan bahwa bangsa arab senantiasa
mengolah tanah nya secara muzaraah denga rasio bagi hasil 1/3 : 2/3, ¼ : ¾, ½ : ½,
maka rasulullah pun bersabda, “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk
digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahan lah
tanahnya.”[14]
b. Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “tidak ada satu rumah pun di
madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian
hasil 1/3 dan 1/4 . Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash,
Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan
keluarga Ali.”
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzaraah yang sahih adalah sebagai berikut:
1. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2. Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan wakyu akad. Antara
lain didasarkan pada hadis :
)‫اَ ْل ُم ْسلِ ُموْ نَ ِع ْن َد ُشرُوْ ِط ِه ْم (رواه الحاكم عن أ نس و عا ءشه‬
Artinya : kaum muslimin berdasarkan syarat diantara mereka (HR.Hakim dari Anas
dan Siti Aisyah)
4. Menyiram atau menjaga tanaman, disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu
haris dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling
bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5. Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah
ditetapkan.
6. Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap
tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.[15]
Oleh Syekhul Islam Ibni Taimiyyah berkata; Muzara’ah merupakan asal dari al-
ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam kedu masing-masing
pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang
terjadi.[16]
Skema Al-Muzaraah dapat di gambarkan dalam skema sebagai berikut:
2.8 Rukun dan syarat Muzara’ah
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah ijab dan kabul yang
menujukan keridhaan diantara keduanya. Dan Secara rinci yakni:
1. tanah,
2. perbuatan pekerja,
3. modal,
4. alat-alat untuk menanam.[17]
Ulama hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah dan musyaqah tidak memerlukan
qabul secara lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal ini sudah dianggap
qabul.
Tentang sifat muzara’ah, menurut ulama Hanafiah merupakan sifat-sifat perkongsian
yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiah, diharuskan menaburkan benih
diatas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanamkan tumbuhan diatas
tanah yang tidak ada gizinya. Menurut pendapat paling kuat perkongsian harta
termasuk muzara’ah dan harus menggunakan shighat.[18]
Adapun syaratnya:
1. Syarat yang menyangkut orang yang berakad ialah keduanya harus sudah
baligh dan berakal.
2. Syarat menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas dan dapat
menghasilkan.
3. Syarat yang menyangkut tanah;
a) Menurut adat dikalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan.
Jika tanahnya tandus dan tidak memungkinkan dapat ditanami maka akad muzara’ah
tidak sah.
b) Batas-batas tanah itu jelas.
c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah
tidak sah.
4. Syarat menyangkut hasil panen ;
a) Pembagian panen masing-masing pihak harus jelas
b) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada
pengkhususan
c) Pembagian hasil panen itu ditentukan, misalnya ½, 1/3, atau ¼, sejak dari
awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti 1 kwintal untuk
pekerja, atau 1 karung, karena kemungkinan hasil panen jauh dibawah itu atau
melampaui itu.
5. Syarat menyangkut jangka waktu yang disesuaikan adat setempat.[19]
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), berpendapat bahwa
muzara’ah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid (orang yang
melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang dikeluarkan dari
tanah, tempat akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercocok tanam.
a. Syarat aqid (orang yang melangsungkan akad)
1) Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
2) Imam abu hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama
Hanafiyah tidak mensyaratkannya.
b. Syarat tanaman
Diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap
lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
c. Syarat dengan garapan
1) Memungkinkan untuk digarap, yakni pabila ditanami tanah tersebut akan
menghasilkan.
2) Jelas.
3) Ada penyerahan tanah.
d. Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
1) Jelas ketika akad
2) Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad
3) Ditetapkan ukuran diantara keduanya, seperti 1/3, ½ dan lain-lain.
4) Hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang akan
melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang
melangsungkan akad hanya mendapatkan sekadar pengganti biji.
e. Tujuan akad
Akad dalam muzara’ah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk
memanfaatkan tanah.
f. Syarat alat bercocok tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau moderen dengan maksud sebagai
konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat dan tidak dikaitkan
dengan akad, muzara’ah dipandang rusak.
g. Syarat muzara’ah
Dalam muzara’ah harus menetapkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, muzara’ah
dipandang tidak sah.[20]
2.9 Pengertian Mukhabarah
Dalam kamus, mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan
penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen
yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik tanah dan
penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan.
Biaya dan benihnya dari pemilik tanah.[21]
Ulama’ Syafi’iyah membedakan antara mujara’ah dan mukabarah:
‫ َو ْال ُم َزا َر َعةُ ِه َي اَ ْل ُمخَابَ َرةُ َولَ ِك َّن ْالبَ ْذ َرفِ ْيهَا‬. ‫ْض َما يَحْ ُر ُج ِم ْنهَا َو ْألبَ ْذ ُر ِمنَ ْال َعا ِم ِل‬ ِ ْ‫اَ ْل ُم َخبَ َرةُ ِه َي َع َم ُل ْاالَر‬
ِ ‫ض بِبَع‬
ِ ِ‫يَ ُكوْ نُ ِمنَ ْال َمال‬.
‫ك‬
"Mukabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya
berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja
benihnya berasal dari pemilik tanah."[22]
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menuru para ahli ialah:[23]
1. Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
‫معاملة العامل فى األرض ببعض مايخرج منها على ان يكون البذر من الملك‬
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”
2. Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
‫عمل العامل فى ارض الملك ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل‬
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari
pengelola”
Dapat dipahami dari pemaparan di atas bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada
kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan
muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan
tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila
modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari
pemilik tanah disebut muzara’ah.
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang
benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun tidak tertutup
kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah juga dilakukan kerja sama
muzara’ah.
2.10 Landasan Hukum Mukhabarah
Sebagian besar ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada
beberapa hadits yang melarang paroan tersebut. Hadits itu ada dalam kitab Hadits
Bukhari dan Muslim, diantaranya:
‫عن رافع بن خديج قال كنا اكثر االنصار حقال فكنا نكرى االرض على ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه‬
‫ رواه البخارى‬- ‫ولم تخرج هذه فنهانا عن ذلك‬
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah
adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagia untuk
mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan
yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang paroan dengan
cara demikian.” (Riwayat Bukhari)
Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh
Nabawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi. Mereka mengambil alasan hadits Ibnu Umar:
‫ رواه‬- ‫عن ابن عمر ان النبى صلى هللا عليه وسلم عاعمل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع‬
‫مسلم‬
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan
(Palawija).” (Riwayat Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya apabila penghasilan dari
sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena
memang kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan
mengambil penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-
masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw
dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur.
Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan
kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini
terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai
dengan pendapat yang kedua ini.[24]
Landasan hukum yang membolehkan mukhabarah dan muzaraah, dari sabda Nabi
saw :
َّ ِ‫ت لَهُ يَا أَبَا َع ْب ِد الرَّحْ َمن لَوْ تَ َر ْكتَ هَ ِذ ِه ْال ُمخَابَ َرةَ فَا ِءنَّهُ ْم يَ ْز ُع ُموْ نَ أَ َّن النَّب‬
‫ى‬ ُ ‫ قَا َل َع ْمرٌو فَقُ ْل‬,ُ‫س أَنَّهُ َكانَ يُ َخبِر‬
ِ ‫ع َْن طَا ُو‬
‫ي صلى‬ َّ َ‫س أ‬
َّ ‫نن النَّب‬ ٍ ‫ك يَ ْعنِى ا ْبنَ َعبَّا‬ َ ِ‫ أَ ْخبِرْ نِى أَ ْعلَ ُمهُ ْم بِ َذال‬: ‫صلى هّللا عَليه وسلم نَهَى َع ِن ْال ُم َخاب ِة فَقَا َل أَيْ َع ْمرٌو‬ َ
ْ َ َ َ
)‫عليه وسلم لَ ْم يَ ْنهَ َع ْنهَا إِنَّ َما قَا َل يَ ْمنَ ُح أ َح ُد ُك ْم أخَاهُ َخ ْي ٌر لَهُ ِم ْن أ ْن يَأ ُخ ُذ َعلَ ْيهَا خَ رْ جًا َم ْعلُوْ ًما (رواه مسلم‬ ‫هّللا‬
“Dari Thawus ra. bahwa ia suka bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku katakan
kepadanya: ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti
mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus
berkata : hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh
mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang
mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan
upah tertentu”. (HR.Muslim)[25]
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti muzara’ah yaitu mubah atau boleh dan
seseorang dapat melakukannya untuk dapat memberi dan mendapat manfaatnya dari
kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini.
2.11 Rukun dan Syarat Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
1. Pemilik tanah
2. Petani/Penggarap
3. Objek mukhabarah
4. Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Adapun syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a) Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b) Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c) Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan
diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.Pembagian untuk masing-masing harus
jelas penentuannya.
d) Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.[26]
2.12 Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya muzara’ah dan mukhabarah:
a. Habis masa muzara’ah dan mukhabarah
b. Salah seorang yang akad meninggal
c. Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah, diantara uzur yang
mengnyebabkan batalnya muzara’ah, antara lain :
1. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
2. Si penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah
SWT dan lain-lain.[27]
2.13 Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih,
jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas orang yang mempunyai ladang atau tanah,
karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, orang yang bekerja hanya
mendapatkan upah atas pekerjaanya.
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas petani yang bekerja, pada
hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Jika
benih berasal dari keduannya, maka zakatnya wajib atas keduanya.[28]
2.14 Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti sapi, kebau, kuda, dan
yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan
hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya banyak diantara manusia
mempunyai tanah, sawah, ladang, dan lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani),
tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebutatau
ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan
dan tidak dapat menghasilkan sesuatu apapun.
Muzara’ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghidari adanya kepemilikan
ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan
menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksi karena tidak ada yang
mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang
bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dengan upaya
menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling
menguntungkan dan saling bertanggungjawab.
Muzara’ah dan mukhabarah dalam Islam tidak membedakan antara bagi laki-laki
maupun perempuan. Pada masyarakat yang suka merantau seperti masyarakat Pidie.
Suami akan merantau, sedangkan istri tinggal di kampung bersama orang tuanya.
Istri yang ditinggalkan suami akan melakukan kegiatan, seperti menanam kacang
hijau, cabe, bawang atau kegiatan lainnya untuk menambah penghasilan yang dkirim
oleh suaminya diperantauan. Hasil kerja istri biasanya akan dibeli perhiasan-
perhiasan atau benda-benda lain yang khusus untuk perempuan. Ketika rumah tangga
mereka bubar, jenis harta kekayaan ini menjadi milik bekas istri.[29]

Anda mungkin juga menyukai