Anda di halaman 1dari 4

1.

Pengertian Jaminan
Secara umum kafalah merupakan bagian pembahasan hukum Islam yang sudah
disoroti para ulama terdahulu secara lughowi kafalah adalah
‫الكقاله في اللغة هي الضم‬
Artinya kafalah menurut bahasa adalah menggabungkan di dalam Alquran terdapat
kata kafalah yang berarti pemeliharaan. Lafal Al kafalah merupakan masdar yang fi'il
madhinya adalah kafalah (‫(كفل‬dan fi'il mudharinya yakfulu (‫ (يكفل‬yang secara umum
berarti beban yakni hamlun (‫(حمل‬. Dalam hukum Islam jaminan dibagi menjadi dua
yaitu jaminan dengan jiwa dan jaminan dengan harta. Jaminan dengan jiwa biasa
dikenal dengan istilah Dhamman atau kafalah sedangkan jaminan dengan berupa harta
biasa dikenal dengan istilah Rahn.
A. Kafalah atau Dhamman
Kafalah sendiri memiliki beberapa nama seperti kafalah, hamalah,
dhamanah, za’amah, keempat nama tersebut memiliki makna yang sama yaitu
menjamin dan menanggung. Sedangkan menurut istilah kafalah didefinisikan
sebagai jaminan yang diberikan oleh kafir (penanggung) kepada pihak ketiga
atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak ketiga (tertanggung). Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan dalam surat Ali Imron ayat 37 yaitu Allah
menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya Maryam. Pengertian jaminan terus
berkembang dalam masyarakat karena situasi telah merubah pengertian ini.
Kafalah identik dengan kafalah Al waji atau jaminan diri sedangkan Dhamman
identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak. Menurut para ahli
memberikan pengertian kafalah dengan redaksi yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya, di antaranya:
a. Menurut Mazhab Syafi'i kafalah berarti akad yang menetapkan hak yang
tetap pada tanggungan atau beban orang lain atau menghadirkan zat benda
yang dibebankan atau menghadirkan beban oleh orang yang berhak
menghadirkannya.
b. Menurut mazhab Maliki kafalah adalah orang yang mempunyai hak
mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang
disatukan baik menanggung pekerjaan yang sesuai maupun pekerjaan yang
berbeda.
Dalam kamus istilah fiqih kafalah diartikan menanggung atau
penanggungan terhadap sesuatu yaitu akad yang mengandung perjanjian dari
seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain
dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak
tersebut dalam menghadapi penagih (utang).
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa kafalah atau zaman dapat
diterapkan dalam berbagai bidang, menyangkut jaminan atas harta benda dan
jiwa manusia. Dengan demikian Daman atau kafalah dapat diterapkan dalam
masalah jual beli, pinjam meminjam, titipan atau wadiah dan lain sebagainya. 1
2. Jaminan dalam Kitab Bidayatul Mujtahid

1
Hariman Surya Siregar, Koko Khoeroedin. Fiqih Muamalah Teori dan Implementasi. Bandung, 2019. Hal. 254-
255.
Para ulama berbeda pendapat mengenai macamnya, waktunya, hukum yang
berlaku dari kafalah (jaminan) syarat-syaratnya dan sifat berlakunya serta objeknya.
Sedangkan macamnya sendiri ada dua yaitu: (hamalah bi an nafs) memberikan
jaminan atas diri (reputasi) dan (hamalah bi al maal) jaminan dengan harta.
Jaminan dengan harta ditetapkan sebagai sunnah, disepakati dari generasi pertama dan
berbagai fuqaha negeri. Hadis yang menjadi pegangan jumhur yaitu
‫الزعيم غارم‬
“Orang yang menjamin adalah orang yang bertanggung jawab.”
Adapun jaminan dengan jiwa (yang dikenal dengan dhaman al wajhi). Jumhur fuqaha
dari berbagai negeri berpendapat bolehnya hal tersebut secara syariat jika disebabkan
karena harta. Hujjah mereka adalah firman Allah ta’ala “ berkata yusuf:” aku mohon
perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami
ketemukan harta benda kami padanya.” (Qs. Yusuf [12] :79)
Karena hal tersebut merupakan tanggungan dengan jiwa sehingga menyerupai
tanggungan dalam perkara hudud (hukuman). Dan hujjah orang yang
membolehkannya adalah keumuman sabda rasulullah SAW, orang yang menjamin
adalah yang bertanggung jawab . Dan mereka memberikan komentar bahwa dalam
hal tersebut terdapat suatu kemaslahatan ,dan hal tersebut telah diriwayatkan dari
generasi pertama.
Adapun hukum wajib dari kafalah:
a. Jumhur ulama yang mengatakan dibolehkannya jaminan dengan jiwa sepakat
bahwa orang yang dijamin apabila meninggal maka tidak ada sesuatupun yang
menjadi keharusan bagi penjamin dengan jiwa.
b. Ibnu Al Qosim membedakan antara seseorang yang meninggal dalam keadaan
mukim atau dalam keadaan tidak mukim. ia berkata, “apabila ia meninggal dalam
keadaan mukim maka tidak ada sesuatupun yang menjadi kewajiban penjamin dan
apabila ia meninggal dalam keadaan tidak mungkin atau bepergian maka dilihat
dua hal yaitu apabila jarak antara dua negara adalah jarak yang memungkinkan
bagi penjamin untuk menghadirkannya dalam tempo yang ditentukan maka hal itu
seperti dua hingga tiga hari kemudian ia melalaikannya maka ia bertanggung
jawab, jika tidak maka ia tidak bertanggung jawab.
Banyak pendapat yang berbeda apabila orang yang dijamin Alfa, maka apa hukum
penjamin dengan jiwa? Mengenai permasalahan ini ada tiga pendapat yaitu:
a. Hukumnya wajib bagi penjamin untuk menghadirkan atau ia bertanggung jawab.
ini merupakan pendapat Malik para sahabat serta produk Madinah sekitarnya.
b. Menurut pendapat Abu Hanifah dan penduduk Irak yaitu penjamin tersebut
ditahan hingga ia dapat membawanya atau diketahui meninggalnya orang yang
dijamin tersebut.
c. Menurut pendapat Abu ubaid Al qasim bin salam dalam kitabnya mengenai
masalah fiqih yaitu tidak ada kewajiban baginya kecuali untuk mendatangkannya
apabila diketahui tempatnya dengan arti lain ia tidak dibebani untuk
menghadirkannya kecuali telah diketahui bahwa ia mampu untuk
menghadirkannya. Apabila orang yang menuntut tersebut menuduh bahwa
penjamin mengetahui tempat orang yang dijamin dan penjamin tersebut
mengingkarinya maka penuntut tersebut diminta untuk menjelaskannya.
Kemudian dalil yang dijadikan landasan Malik adalah bahwa penjamin dengan
jiwa yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap pemilik hak, sehingga ia harus
menanggung segala kerugiannya apabila orang yang dijamin tersebut tidak ada,
kemudian telah diberikan hujjah bagi mereka dengan hadis yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas “ bahwa seseorang telah meminta kepada yang berhutang agar
melunasinya atau datangkan penjamin kepadanya, namun ia tidak mampu untuk
memenuhi permintaannya sehingga orang tersebut memperkarakannya kepada
Rasulullah, maka Rasulullah menjadi penjaminnya, kemudian dia pun melunasi
hutangnya. mereka mengatakan hal ini adalah denda dalam jaminan mutlak.
Setelah itu dalil yang dijadikan landasan berikutnya yaitu bahwa ia hanya wajib
menghadirkan harta tersebut apabila penghadirannya merupakan sesuatu yang
memungkinkan, maka saat itu ia ditahan apabila tidak menghadirkannya. Adapun
apabila telah diketahui bahwa penghasilannya adalah tidak mungkin, maka tidak
wajib untuk menghadirkannya, sebagaimana apabila ia meninggal maka tidak wajib
untuk menghadirkannya. Adapun apabila ia mensyaratkan jiwa dan bukan harta
dengan jelas, maka Malik berpendapat, “sesungguhnya hal tersebut bukan merupakan
kewajibannya” menurut prediksi Saya tidak ada perselisihan dalam hal tersebut,
karena ia telah mengharuskan sesuatu yang berlangganan apa yang telah ia syaratkan.
Inilah hukum jaminan jiwa.
Hukum Jaminan Harta: para ahli fiqih kelas sepakat bahwa apabila barang yang
dijamin tidak ada atau tidak berada di tempat maka penjamin tersebut yang
bertanggung jawab. Diantara hujjah yang menjadi pendapatnya bahwa penuntut
dibolehkan menuntut penjamin baik yang dijamin tidak ada ditempat atau hadir
ditempat, kaya atau miskin, sesuai hadis qubaishah bin Al muqariki ia berkata saya
menjadi penjamin sesuatu kemudian saya datang kepada nabi dan bertanya kepada
beliau mengenai hal tersebut maka beliau bersabda “kami akan mengeluarkannya
mewakilimu dari unta sedekah wahai kubaisoh sesungguhnya meminta-minta itu
tidak dibolehkan kecuali dalam tiga hal” dan beliau menyebutkan “seorang penjamin
suatu jaminan seseorang sehingga ia mampu menunaikannya.”
Poin utama dari hadis tersebut adalah bahwa nabi Saw membolehkan meminta-minta
tapi bagi penjamin dengan tidak memperhitungkan kondisi orang yang dijamin.
Adapun waktu kewajiban jaminan dengan harta maksudnya penuntutannya dari
penjamin yaitu para ulama sepakat bahwa hal tersebut terjadi setelah adanya suatu hak
atas orang yang dijamin baik dengan suatu pengakuan atau dengan bukti.
Adapun waktu kewajiban jaminan atas diri para ulama berbeda pendapat apakah
jaminan tersebut menjadi suatu kewajiban sebelum adanya suatu hak atau tidak
1. Sebagian ulama mengatakan apabila ia membawa suatu bukti yang kuat
seperti seorang saksi maka wajib diberikan kepada penjamin atas diri
sehingga nampak haknya, jika tidak ada maka tidak harus diberikan
kepada penjamin tersebut kecuali ia menyebutkan bukti yang ada di kota,
kemudian diberikannya kepada penjamin dari lima hingga enam hari.
2. Sekelompok ulama lainnya mengatakan melainkan penjamin atas diri
menuntut penetapan suatu hak. dan mereka berbeda pendapat kapankah hal
tersebut wajib? dan hingga berapa lama kewajiban tersebut?
3. Beberapa ulama berpendapat bahwa jaminan tersebut tidak wajib sebelum
adanya hak dengan kondisi bagaimanapun.
Mereka mengingkari adanya perbedaan dalam hal tersebut serta perbedaan
dalam hal tersebut serta perbedaan antara orang yang memiliki bukti di tempat
dan yang tidak ada di tempat, mereka mengatakan tidak boleh ada seorang
penjamin pun yang dituntut kecuali dengan suatu bukti hingga jelas kebenaran
dakwaannya atau pembatalannya.
Adapun syarat-syarat penjamin sebagai berikut:
1. Abu Hanifah dan Syafi’i mensyaratkan dalam wajibnya penarikan
penjamin dari orang yang dijamin dengan sesuatu yang telah ia
tunaikan hendaknya dengan seizin orang yang dijamin.
2. Sedangkan Malik tidak mensyaratkan hal tersebut.
Menurut Syafi'i tidak boleh ada jaminan orang yang tidak jelas dan
suatu hak yang sama sekali tidak tetap. Semua itu berlaku dan
mengikat menurut Malik serta para sahabatnya.
Adapun sesuatu yang dibolehkan perdanya jaminan dengan suatu
barang dan yang tidak boleh:
Menurut Malik penjaminan tidak boleh dengan barang yang ada dalam
tanggungan kecuali pembebasan cahaya terhadap dirinya, dan tidak
boleh ditangguhkan, serta yang dimiliki sedikit demi sedikit seperti
nafkah kepada para istri dan hal-hal lain yang sepertinya.2

2
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid Takhrij Ahmad Abu Al Majdi. Hal. 583-590

Anda mungkin juga menyukai