Anda di halaman 1dari 9

C.

Konsep Akad Wasiat

Akad wasiat pada prinsipnya termasuk domain akad tabarru’ (tujuannya


bersifat social). Secara substansi, akad wasiat sama dengan akad hibah, yaitu
melepaskan menyerahkan, atau memberikan harta (termasuk hak) kepada pihak lain
tanpa imbalan. Perbedaannya terletak pada efektivitas (nafadz[tanfidz]) akad
hibahnya. Efektivitas akad hibah bersifat serta merta, yaitu akad yang berlaku secara
efektif apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Sedangkan wasiat bersifat ke depan
(forward/mudhaf[an]’ila al-musraqbal) karena wasiat dari segi alamiahnya
merupakan pernyataan kehendak dari pihak untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan hukum tertentu pada waktu yang akan datang yang berkaitan dengan
meninggalnya pihak yang berwasiat.

Secara teori, akad hibah memiliki dua kondisi atau keadaan : 1) akad hibah
yang bersifat pilihan (ikhtiyari) dan 2) akad hibah yang bersifat paksaan (ijbari).
Akad wasiat termasuk dalam domain akad hibah ikhtiyari, sedangkan hokum tirkas
(waris) termasuk dalam domain akad hibah kedua, yaitu bersifat paksaan (ijbari).

Akad wasiat berbeda dalam posisi (manzilah) antara akad hibah yang bersifat
ikhtiyari dan ijbari karena efektivitas akad hibah bersifat kedepan (forward/
mudhaf[an] ’ila al-musraqbal), yaitu berlaku efeltivitas apabila pihak yang berwasiat
(pemberi [wahib/Mushi]) meninggal dunia.

D. Rukun dan Syarat Wasiat

Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh dijelaskan bahwa pendapat jumhur


ulama tentang rukun akad wasiat, yaitu mushi (orang yang berpesan/ yang melakukan
wasiat), musha lah (orang atau pihak yang berhak menerima manfaat atau harta dari yang
berwasiat), musha bih (harta atau manfaat yang diwasiatkan yang berhak diterima oleh
musha lah), dan shighat (pernyataan lisan atau tertulis dari pihak yang berwasiat).12

Dari sudut pandang praktik wasiat, penerima manfaat wasiat ( musha lah) bisa
jadi ia tidak mengetahui bahwa ia berhak mendapatkan harta dari mushi karena mushi
12
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir.2006),vol. X, hlm.
7.447;Abi’Abd al-Mu’thi Muhammad Ibn Umar Ibn Ali Nawawi al-Jawi, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in
(Semarang: Karya Thaha Putra. T. th), hlm 227-281
tidak memberitahukannya, tetapi ada pihak lain diluar mursha lah yang mengetahui dan
berkewajiban dalam menjalankan pesan mushi. Oleh karena itu, berpotensi terdapatnya
pihak lain dalam wasiat yang tidak termasuk rukun, yaitu musha ‘ailah (laksana nadzir
[Mauquf ‘Alaih] dalam akad wakaf). Dengan demikian, personalia hokum wasiat adalah
mushi dan musha lah (termasuk rukun) serta musha alaih (tidak termasuk rukun). Adapun
perinciannya dapat dilihat pada bagian berikut:13

1. Mushi (pihak yang berwasiat) harus memenuhi dua syarat sah akad wasiat, yaitu :
a. Cakap hukum sehingga memiliki kemampuan untuk memindahkan
kepemilikan barang miliknya (baligh, berakal, dan merdeka) tidak berbeda
dibawah pengampuan karena dungu atau sebab lainnya (tidak mesti beragama
islam).
b. Rida (rela) untuk berwasiat. Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh mushi yang
berada dibawah paksaan (al-ikhrah). Syarat efektifnya wasiat (syarth al-
nafadz) adalah bahwa mushi tidak memiliki hutang yang dapat menghabiskan
seluruh harta peninggalannya.
2. Musha lah (penerima harta wasiat); syarat umum bagi musha lah adalah tidak atau
bukan yang terbiasa menjadi pelaku maksiat. Adapun perinciannya adalah:
a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima harta wasiat harus wujud (hidup), baik
secara pasti maupun berdasarkan perkiraan, atau yang diduga kuat akan wujud
(janin didalam kandungan) sebagaimana dijelaskan oleh ulama malikiah.
Wasiat termasuk akad yang bersifat al-tamlik, yang tidak mungkin dilakukan
kecuali oleh orang yang hidup. Imam Malik membolehkan wasiat yang
penerimanya (musha lah) sudah meninggal karena harta yang diterima dapat
digunakan sebagai tirkah bagi ahli warisnya atau untuk membayar dan/atau
melunasi hutang hutangnya jika ada).14
Karena, akad wasiat termasuk akad yang sah meskipun penerimanya tidak
diketahui keberadaannya pada saat akad. Syarat untuk melaksanakan wasiat
tidak mencukupi syarat nafadz/eksekutorial) apabila penerimanya tetap tidak
diketahui keberadaannya, meskipun sudah dilakukan upaya yang benar
menurut kebiasaan atau peraturan perundang- unduangan, misalnya dilakukan
pengumumanmelalui media elektronik, surat kabar, arau media social; musha

13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
14
bih (objek wasiat) tidak mungkin diserahkan kepadanya (teori imkinat al-
taslim);
b. Jumhur ulama sepakat bahwa pihak yang ditunjuk untuk menerima harta
wasiat harus pihak yang boleh menerima kepemilikan dan memperoleh hak
(harta manusia yang berhak memiliki barang dan hak hak yang bersifat
eksklusif [ahl al-tamlik wa al-istihqaq]. Karenanya, wasiat tidak sah jika
penerima harta wasiatnya bukan manusia (tidak sah wasiat yang isinya
mewasiatkan sepertiga hartanya untuk anjing yang setia menemaninya).
c. Penerima harta wasiat bukan pihak yang membunuh (menghilangkan nyawa
secara tidak sah) mushi. Ulama hanafiah menjelaskan bahwa pembunuhan (al-
qatl) termasuk perbuatan yang menyebabkan pelakunya terhalang untuk
memperoleh harta waris dan wasiat. Imam al- Daruquthni dan al-Baihaqi
(tetap terdapat rawi yang matruk) meriwayatkan dari Ali r.a., yaitu: “Laisa li
qatil washiyyah” (pembunuhan tidak berhak memperoleh harta melalui
wasiat).

Ulama malikiah memerincikan bahwa pembunuhan dapat


dikelompokkan menjadi tiga: sengaja, semisengaja, dan tidak sengaja. Ulama
malikiah menegaskan bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang untuk
menerima harta wasiat adalah pembunuh yang disengaja.

d. Penerima harta wasiat bukan orang yanga memusuhi dan memerangi islam
(al-harb). Karena pemberian harta wasiat kepadanya, dalam pandangan ulama
Malikiah, akad membuat semakin kuat dan gencar dalam memusuhi islam
yang pada akhirnya menyulitkan umat islam (meskipun perinciannya masih
di-ikhtilaf-kan).
e. Dalam kitab Bidayat al-Mujtahid (2/329) dan al-Muhalla (9/387), al-Muzani
dan al-Zhahiri berpendapat bahwa penerima harta dalam wasiat harus bukan
sebagai penerima harta peninggalan melalui kewarisan karena keumuman
hadis yang melarangnya.akan tetapi ulama Syi’ah Zaidiah, Imamiyah, dan
Isma’iliyah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nail al-Authar (6/41),
berpendapat bahwa kedudukan sebagai ahli waris tidak menghalangi yang
bersangkutan untuk menerima harta melalui wasiat.
3. Musha bih (harta wasiat); wasiat pada prinsipnya merupakan pesan dari mushi yang
akan dilaksanakan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Objek wasiat secara
umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu objek wasiat yang berupa benda atau yang
dipersamakan dengan benda (misalnya hak cipta), objek wasiat yang berupa manfaat,
dan wasiat yang berkaitan dengan perbuatan. Syarat musha bih ada lima; empat syarat
berkaitan dengan wasiat yang objeknya benda dan hanya satu syarat yang berkaitan
dengan perbuatan dan/atau manfaat perinciannya adalah:
a. Objek wasiat harus harta (mal), baik berupa uang (al-nuqud;misalnya rupiah
atau dolar) maupun barang (al-‘ain; misalnya tanah, rumah, dan bangunan),
baik harta yang berupa benda bergerak (misalnya kendaraan) maupun benda
tetap; atau hak yang dipersamakan dengan harta, misalnya hak kekayaan
intelektual. Ulama hanafiah membolehkan wasiat yang berkaitan dengan hak
dan manfaat.
b. Objek wasiat haruslah harta yang termasuk benda berharga (mutaqawwam)
secara syariah, yaitu benda yang boleh dimanfaatkan. Wasiat termasuk batal
apabila objeknya berupa benda yang tidak berharga secara syariah, misalnya
darah, bangkai, dan kulit bangkai sebelum disamak, karena benda tersebut
tidak mungkin dapat dimiliki secara syariah (Sementara wasiat termasuk akad
al-tamlik). Sementara ulama syafi’iah membolehkan wasiat yang objeknya
berupa kulit bangkai sebelum disamak dan bangkai dengan syarat
pemanfaatannya tidak menyalahi syariah (untuk pupuk atau pakan ternak).
Wasiat tidak sah atas barang yang tidak bermanfaat secara syariah (misalnya
babi, binatang buas, dan minuman keras, [al-khamr]), sementara mengenai
anjing di-ikhtilaf-kan karena fungsinya sebagai penjaga atau berburu. Ulama
hanafiah membolehkan wasiat mengenai anjing yang terlatih dan binatang
buas yang dapat dimanfaatkan untuk berburu.
c. Objek wasiat menurut jumhur ulama haruslah harta yang termasuk benda yang
dapat dimiliki (qabil [an] li al-tamlik), yaitu dilakukan (hartanya harus wujud
[tidak boleh ma’dum]) dan harta yang wujud dimiliki melalui proses atau
sebab yang halal (misalnya dengan cara dibeli, melalui hibah, atau waris).
Dengan kata lain, harta yang dijadikan obejk wasiat haruslah dengan halal,
baik dari segi substansinya (halal li dzatih) maupun dari segi prosesnya (halal
li ghairih). Sedangkan ulama Hanafiah membolehkan wasiat yang objeknya
ma’dum pada saat akad, tetapi objek tersebut dapat dipastikan wujudnya,
seperti barang yang dibeli dengan akad salam atau istshna’.
d. Objek wasiat menurut jumhur ulama haruslah harta milik mushi (pihak yang
berwasiat) pada saat akad wasiat dilakukan. Karenanya, tidaklah sah
mewasiatkan yang berkaitan dengan perlakuan benda milik pihak lain karena
substansi wasiat mengenai harta sama dengan hibah atau sedekah, hanya
efektivitas akadnya (nafadz) yang berbeda. Wasiat dan hibah atau sedekah
bersifat tamlik, yaitu akad yang membuat kepemilikan objeknya berpindah,
tidak mungkin mushi dapat memindahkan kepemilikan harta yang bukan
miliknya.

Dalam Undang Undang Wasiat Mesir (pasal 10) disebutkan tiga syarat
mengenai objek wasiat, yaitu harta yang diwasiatkan merupakan harta yang
dapat dijadikan tirkah atau mauruts; merupakan benda bernilai atau berharga
secara syariah; serta wujud dan milik mushi pada saat akad wasiat dilakukan.
Sedangkan dalam Undang Undang Wasiat Syiria ditentukan dua syarat musha
bih, yaitu harus harta yang dapat dimiliki dan berharga secara syariah serta
harus wujud dan milik mushi pada saat akad wasiat dilakukan.

e. Apabila wasiat merupakan pesan yang berkaitan dengan perbuatan atau


ikhtiar, substansi pesan atau wasiat tidak boleh berupa permintaan atau
perintah untuk melakukan perbuatan maksiat (melanggar agama). Diantara
wasiat yang wajib diabaikan karena termasuk wasiat adalah wasiat untuk
melakukan balas dendam dan wasiat untuk menelantarkan anak yatim dan/atau
panti asuhan. Adapun perinciannya dijelaskan oleh ulama dalam berbagai
perspektif, diantaranya:15
i. Ulama Hanafiah melarang melaksanakan wasiat yang isinya berupa
pesan untuk membangun gereja atau tempat penyembahan berhala
karena wasiatnya batal secara hukum.
ii. Ulama Malikiah melarang melaksanakan wasiat yang isinya berupa
pesan untuk membeli khamr atau babi karena wasiatnya batal secara
hukum.
iii. Ulama Syafi’iah melarang melaksanakan wasiat yang isinya berupa
pesan untuk membeli senjata dalam rangka membantu musuh karena
wasiatnya batal secara hukum.

15
iv. Ulama Hanabilah melarang melaksanakan wasiat yang isinya berupa
pesan untuk membangun tempat pembakaran api bagi kaum Majus;
karena wasiatnya batal secara hukum.

Adapun syarat nafadz (eksekutorial) mengenai objek yang diwasiatkan adalah:


a) harta yang ditinggalkan pihak yang berwasiat (mushi) tidak habis untuk membayar
hutang hutangnya karena pembayaran hutang mushi (jenazah) harus diutamakan atau
didahulukan dibanding dengan pelaksanaan wasiatnya; dan b) objek wasiat tidak
melebihi dari sepertiga harta yang ditinggalkan mushi (tirkah atau mauruts). Karena
wasiat yang lebih dari sepertiga harta waris akan melahirkan kemudharatan bagi ahli
waris. Karenanya, akad wasiat adalah batal.

E. Membatalkan atau Mengubah dan Batalnya Wasiat

Pakar fikih sepakat bahwa akad wasiat termasuk akad ghair lazim (efektivitas
[nafadz] akan bergantung pada meninggalnya pihak yang berwasiat). Sebelum mushi
(pihak yang berwasiat) meninggal, akad wasiat tidak pernah efektif. Ulama
menyampaikan pendapat sebagi berikut:16

1. Dalam kitab al-Luhab (4/178), Takmilah Fath al-Qadir (8/438-441), al-Dar


al- Mukhtar (5/465), al-Qawanin al-Fiqhiyyah (406), al-Muhadzdzab (1/461),
Kasyaf al-Qina’ (4/386-389), dan tabyin al-Haqa’iq ma’a Hasyiyah al-
Syalabi’ala al-Zala’I (6/186) dijelaskan tentang sepakatnya ulama mengenai
bolehnya dilakukan pembatalan atau perubahan substansi waasiat oleh pihak
yang berwasiat pada saat pihak yang berwasiat masih hidup, abik dalam
keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit.
2. Disamping argument logika dari segi sifat akad wasiat, di antara dalil yang
digunakan alas an oleh ulama adalah pendapat Umar r.a. (qaul sahabat) yang
menyatakan bahwa seorang yang berwasiat (boleh) mengubah (substansi)
wasiat sesuai kehendaknya. Karena wasiat merupakan bagian dari akad
Tabarru’ yang berupa pemberian (al-‘athiyah) yang belum serah terima
(ghair munajaz), kecuali setelah pihak yang berwasiat meninggal.
Adapun sebab umum batalnya wasiat adalah:
 Dibatalkannya wasiat oleh orang yang berwasiat pada saat hidup atau
orang yang berwasiat kehilangan kecakapan hukumnya.
16
 Pihak yang ditunjuk untuk menerima harta menolak untuk
menerimanya pada saat orang yang berwasiat meninggal atau
meninggalnya penerima harta wasiat lebih awal disbanding pemberi
wasiat (diikhtilafkan).
 Harta yang diwasiatkan mengalami kerusakan atau hancur (musnah)
karena becana atau karena hal lainnya sehingga tidak bernilai untuk
dipindah tangankan, antara lain:17
o Mushi kehilangan kecakapan hukum.
Wasiat batal apabila orang yang berwasiat kehilangan
kecakapan hukumnya (karena gila, dungu, atau dibawah
pengampuan). Ulama hanafiah menjelaskan argumennya, yaitu
akad wasiat sama seperti akad wakalah yang efektivitas
akadnya harus sama dari awal sampai akhir, yaitu cakap
hukum sejak wasiat dibuat sampai yang bersangkutan
meninggal.(nafadz[pelaksanaannya]). Jumhur ulama
berpendapat baha hilangnya kecakapan hukum orang yang
berwasiat tidak membuat wasiatnya batal seperti akad jual beli
atau ijarah.
o Murtadnya orang yang berwasiat.
Ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa
wasiat batal jika orang yang berwasiat (mushi) murtad hingga
yang bersangkutan meninggal karena harta orang murtad
bersifat mauquf (dalam penguasaan Negara). Sedangkan ulama
Hanabilah berpendapat bahwa wasiat tidak batal karena
murtadnya orang yang berwasiat.
o Wasiat dengan syarat
Ulama Malikiah, Hanabilah, dan Hanafiah menjelaskan, jika
orang yang berwasiat berkata: “jika aku meninggal karena sakit
ini atau karena perjalanan ini, aku berwasiat untuk seseorang
begini-begitu”. Tetapi, yang bersangkutan tidak meninggal
karena sakit atau perjalanan tersebut maka wasiatnya batal.
o Pembatalan wasiat oleh mushi.

17
Ulama sepakat bahwa akad wasiat bersifat ghair lazim.
Karenanya, orang yang berwasiat memiliki kebebasan untuk
membatalkannya kapan saja. Efektivitas akad wasiat
bergantung pada meninggalnya orang yang berwasiat. Orang
yang berwasiat memiliki hak untuk melanjutkan (membiarkan)
pesannya berlaku efektif pada saat dia meninggal atau
mengurungkannya pada saat dia masih hidup.
o Penerima wasiat menolaknya.
Wasiat batal apabila orang yang berhak menerima harta wasiat
menolaknya setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
o Meninggalnya menerima wasiat.
Jumhur ulama sepakat tentang batalnya wasiat jika penerima
harta wasiat lebih dahulu meninggal dibandingkan orang yang
berwasiat. Wasiat dianalogikan seperti sedekah dan hibah.akan
tetapi, ulama Hanafiah menyatakan bahwa wasiatnya tidak
batal karena harta tersebut dapat diserahkan kepada ahli
warisnya (sebagai mauruts) atau untuk membayar atau
melunasi hutangnya (jika ada).
o Pembunuhan (al-qatl)
Ulama Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa wasiat
batal jika orang yang ditunjuk sebagai penerima harta wasiat
terbukti sebagai pembunuh terhadap orang yang berwasiat,
sebagaimana batalnya warisan bagi ahli waris yang terbukti
membunuh muwaris (orang yang hartanya diwariskan).
Sedangkan ulama Malikiah berpendapat bahwa pembunuhan
yang menjadi penghalang untuk menerima harta wasiat adalah
pembunuhan yang disengaja.

o Rusaknya barang wasiat (halak al-musha bih)


Ulama sepakat tentang batalnya akad wasiat apabila harta yang
diwasiatkan rusak atau hilang hingga tak bernilai yang tidak
mungkin lagi untuk diserahkan kepada orang yang ditunjuk
untuk menerimanya.
o Berhak menerima harta waris.
Dalam kitab bidayat al-Mujtahid (2/329) dan al-Muhalla
(9/387), al-Muzani serta al-Zhahiri berpendapat bahwa
penerima harta dalam wasiat harus bukan sebagai penerima
harta peninggalan melalui kewarisan karena keumuman hadis
yang melarangnya.

Anda mungkin juga menyukai