Secara teori, akad hibah memiliki dua kondisi atau keadaan : 1) akad hibah
yang bersifat pilihan (ikhtiyari) dan 2) akad hibah yang bersifat paksaan (ijbari).
Akad wasiat termasuk dalam domain akad hibah ikhtiyari, sedangkan hokum tirkas
(waris) termasuk dalam domain akad hibah kedua, yaitu bersifat paksaan (ijbari).
Akad wasiat berbeda dalam posisi (manzilah) antara akad hibah yang bersifat
ikhtiyari dan ijbari karena efektivitas akad hibah bersifat kedepan (forward/
mudhaf[an] ’ila al-musraqbal), yaitu berlaku efeltivitas apabila pihak yang berwasiat
(pemberi [wahib/Mushi]) meninggal dunia.
Dari sudut pandang praktik wasiat, penerima manfaat wasiat ( musha lah) bisa
jadi ia tidak mengetahui bahwa ia berhak mendapatkan harta dari mushi karena mushi
12
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir.2006),vol. X, hlm.
7.447;Abi’Abd al-Mu’thi Muhammad Ibn Umar Ibn Ali Nawawi al-Jawi, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in
(Semarang: Karya Thaha Putra. T. th), hlm 227-281
tidak memberitahukannya, tetapi ada pihak lain diluar mursha lah yang mengetahui dan
berkewajiban dalam menjalankan pesan mushi. Oleh karena itu, berpotensi terdapatnya
pihak lain dalam wasiat yang tidak termasuk rukun, yaitu musha ‘ailah (laksana nadzir
[Mauquf ‘Alaih] dalam akad wakaf). Dengan demikian, personalia hokum wasiat adalah
mushi dan musha lah (termasuk rukun) serta musha alaih (tidak termasuk rukun). Adapun
perinciannya dapat dilihat pada bagian berikut:13
1. Mushi (pihak yang berwasiat) harus memenuhi dua syarat sah akad wasiat, yaitu :
a. Cakap hukum sehingga memiliki kemampuan untuk memindahkan
kepemilikan barang miliknya (baligh, berakal, dan merdeka) tidak berbeda
dibawah pengampuan karena dungu atau sebab lainnya (tidak mesti beragama
islam).
b. Rida (rela) untuk berwasiat. Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh mushi yang
berada dibawah paksaan (al-ikhrah). Syarat efektifnya wasiat (syarth al-
nafadz) adalah bahwa mushi tidak memiliki hutang yang dapat menghabiskan
seluruh harta peninggalannya.
2. Musha lah (penerima harta wasiat); syarat umum bagi musha lah adalah tidak atau
bukan yang terbiasa menjadi pelaku maksiat. Adapun perinciannya adalah:
a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima harta wasiat harus wujud (hidup), baik
secara pasti maupun berdasarkan perkiraan, atau yang diduga kuat akan wujud
(janin didalam kandungan) sebagaimana dijelaskan oleh ulama malikiah.
Wasiat termasuk akad yang bersifat al-tamlik, yang tidak mungkin dilakukan
kecuali oleh orang yang hidup. Imam Malik membolehkan wasiat yang
penerimanya (musha lah) sudah meninggal karena harta yang diterima dapat
digunakan sebagai tirkah bagi ahli warisnya atau untuk membayar dan/atau
melunasi hutang hutangnya jika ada).14
Karena, akad wasiat termasuk akad yang sah meskipun penerimanya tidak
diketahui keberadaannya pada saat akad. Syarat untuk melaksanakan wasiat
tidak mencukupi syarat nafadz/eksekutorial) apabila penerimanya tetap tidak
diketahui keberadaannya, meskipun sudah dilakukan upaya yang benar
menurut kebiasaan atau peraturan perundang- unduangan, misalnya dilakukan
pengumumanmelalui media elektronik, surat kabar, arau media social; musha
13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
14
bih (objek wasiat) tidak mungkin diserahkan kepadanya (teori imkinat al-
taslim);
b. Jumhur ulama sepakat bahwa pihak yang ditunjuk untuk menerima harta
wasiat harus pihak yang boleh menerima kepemilikan dan memperoleh hak
(harta manusia yang berhak memiliki barang dan hak hak yang bersifat
eksklusif [ahl al-tamlik wa al-istihqaq]. Karenanya, wasiat tidak sah jika
penerima harta wasiatnya bukan manusia (tidak sah wasiat yang isinya
mewasiatkan sepertiga hartanya untuk anjing yang setia menemaninya).
c. Penerima harta wasiat bukan pihak yang membunuh (menghilangkan nyawa
secara tidak sah) mushi. Ulama hanafiah menjelaskan bahwa pembunuhan (al-
qatl) termasuk perbuatan yang menyebabkan pelakunya terhalang untuk
memperoleh harta waris dan wasiat. Imam al- Daruquthni dan al-Baihaqi
(tetap terdapat rawi yang matruk) meriwayatkan dari Ali r.a., yaitu: “Laisa li
qatil washiyyah” (pembunuhan tidak berhak memperoleh harta melalui
wasiat).
d. Penerima harta wasiat bukan orang yanga memusuhi dan memerangi islam
(al-harb). Karena pemberian harta wasiat kepadanya, dalam pandangan ulama
Malikiah, akad membuat semakin kuat dan gencar dalam memusuhi islam
yang pada akhirnya menyulitkan umat islam (meskipun perinciannya masih
di-ikhtilaf-kan).
e. Dalam kitab Bidayat al-Mujtahid (2/329) dan al-Muhalla (9/387), al-Muzani
dan al-Zhahiri berpendapat bahwa penerima harta dalam wasiat harus bukan
sebagai penerima harta peninggalan melalui kewarisan karena keumuman
hadis yang melarangnya.akan tetapi ulama Syi’ah Zaidiah, Imamiyah, dan
Isma’iliyah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nail al-Authar (6/41),
berpendapat bahwa kedudukan sebagai ahli waris tidak menghalangi yang
bersangkutan untuk menerima harta melalui wasiat.
3. Musha bih (harta wasiat); wasiat pada prinsipnya merupakan pesan dari mushi yang
akan dilaksanakan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Objek wasiat secara
umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu objek wasiat yang berupa benda atau yang
dipersamakan dengan benda (misalnya hak cipta), objek wasiat yang berupa manfaat,
dan wasiat yang berkaitan dengan perbuatan. Syarat musha bih ada lima; empat syarat
berkaitan dengan wasiat yang objeknya benda dan hanya satu syarat yang berkaitan
dengan perbuatan dan/atau manfaat perinciannya adalah:
a. Objek wasiat harus harta (mal), baik berupa uang (al-nuqud;misalnya rupiah
atau dolar) maupun barang (al-‘ain; misalnya tanah, rumah, dan bangunan),
baik harta yang berupa benda bergerak (misalnya kendaraan) maupun benda
tetap; atau hak yang dipersamakan dengan harta, misalnya hak kekayaan
intelektual. Ulama hanafiah membolehkan wasiat yang berkaitan dengan hak
dan manfaat.
b. Objek wasiat haruslah harta yang termasuk benda berharga (mutaqawwam)
secara syariah, yaitu benda yang boleh dimanfaatkan. Wasiat termasuk batal
apabila objeknya berupa benda yang tidak berharga secara syariah, misalnya
darah, bangkai, dan kulit bangkai sebelum disamak, karena benda tersebut
tidak mungkin dapat dimiliki secara syariah (Sementara wasiat termasuk akad
al-tamlik). Sementara ulama syafi’iah membolehkan wasiat yang objeknya
berupa kulit bangkai sebelum disamak dan bangkai dengan syarat
pemanfaatannya tidak menyalahi syariah (untuk pupuk atau pakan ternak).
Wasiat tidak sah atas barang yang tidak bermanfaat secara syariah (misalnya
babi, binatang buas, dan minuman keras, [al-khamr]), sementara mengenai
anjing di-ikhtilaf-kan karena fungsinya sebagai penjaga atau berburu. Ulama
hanafiah membolehkan wasiat mengenai anjing yang terlatih dan binatang
buas yang dapat dimanfaatkan untuk berburu.
c. Objek wasiat menurut jumhur ulama haruslah harta yang termasuk benda yang
dapat dimiliki (qabil [an] li al-tamlik), yaitu dilakukan (hartanya harus wujud
[tidak boleh ma’dum]) dan harta yang wujud dimiliki melalui proses atau
sebab yang halal (misalnya dengan cara dibeli, melalui hibah, atau waris).
Dengan kata lain, harta yang dijadikan obejk wasiat haruslah dengan halal,
baik dari segi substansinya (halal li dzatih) maupun dari segi prosesnya (halal
li ghairih). Sedangkan ulama Hanafiah membolehkan wasiat yang objeknya
ma’dum pada saat akad, tetapi objek tersebut dapat dipastikan wujudnya,
seperti barang yang dibeli dengan akad salam atau istshna’.
d. Objek wasiat menurut jumhur ulama haruslah harta milik mushi (pihak yang
berwasiat) pada saat akad wasiat dilakukan. Karenanya, tidaklah sah
mewasiatkan yang berkaitan dengan perlakuan benda milik pihak lain karena
substansi wasiat mengenai harta sama dengan hibah atau sedekah, hanya
efektivitas akadnya (nafadz) yang berbeda. Wasiat dan hibah atau sedekah
bersifat tamlik, yaitu akad yang membuat kepemilikan objeknya berpindah,
tidak mungkin mushi dapat memindahkan kepemilikan harta yang bukan
miliknya.
Dalam Undang Undang Wasiat Mesir (pasal 10) disebutkan tiga syarat
mengenai objek wasiat, yaitu harta yang diwasiatkan merupakan harta yang
dapat dijadikan tirkah atau mauruts; merupakan benda bernilai atau berharga
secara syariah; serta wujud dan milik mushi pada saat akad wasiat dilakukan.
Sedangkan dalam Undang Undang Wasiat Syiria ditentukan dua syarat musha
bih, yaitu harus harta yang dapat dimiliki dan berharga secara syariah serta
harus wujud dan milik mushi pada saat akad wasiat dilakukan.
15
iv. Ulama Hanabilah melarang melaksanakan wasiat yang isinya berupa
pesan untuk membangun tempat pembakaran api bagi kaum Majus;
karena wasiatnya batal secara hukum.
Pakar fikih sepakat bahwa akad wasiat termasuk akad ghair lazim (efektivitas
[nafadz] akan bergantung pada meninggalnya pihak yang berwasiat). Sebelum mushi
(pihak yang berwasiat) meninggal, akad wasiat tidak pernah efektif. Ulama
menyampaikan pendapat sebagi berikut:16
17
Ulama sepakat bahwa akad wasiat bersifat ghair lazim.
Karenanya, orang yang berwasiat memiliki kebebasan untuk
membatalkannya kapan saja. Efektivitas akad wasiat
bergantung pada meninggalnya orang yang berwasiat. Orang
yang berwasiat memiliki hak untuk melanjutkan (membiarkan)
pesannya berlaku efektif pada saat dia meninggal atau
mengurungkannya pada saat dia masih hidup.
o Penerima wasiat menolaknya.
Wasiat batal apabila orang yang berhak menerima harta wasiat
menolaknya setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
o Meninggalnya menerima wasiat.
Jumhur ulama sepakat tentang batalnya wasiat jika penerima
harta wasiat lebih dahulu meninggal dibandingkan orang yang
berwasiat. Wasiat dianalogikan seperti sedekah dan hibah.akan
tetapi, ulama Hanafiah menyatakan bahwa wasiatnya tidak
batal karena harta tersebut dapat diserahkan kepada ahli
warisnya (sebagai mauruts) atau untuk membayar atau
melunasi hutangnya (jika ada).
o Pembunuhan (al-qatl)
Ulama Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa wasiat
batal jika orang yang ditunjuk sebagai penerima harta wasiat
terbukti sebagai pembunuh terhadap orang yang berwasiat,
sebagaimana batalnya warisan bagi ahli waris yang terbukti
membunuh muwaris (orang yang hartanya diwariskan).
Sedangkan ulama Malikiah berpendapat bahwa pembunuhan
yang menjadi penghalang untuk menerima harta wasiat adalah
pembunuhan yang disengaja.