Anda di halaman 1dari 6

NAMA : VIERA MUSVIERA

NIM : A031171010
MATA KULIAH : PASAR MODAL ISLAM

Pengertian Muamalah

Muamalah secara bahasa berasal dari kata ‫ معاملة‬- ‫ يعامل‬- ‫ عامل‬yang artinya saling
bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah Muamalah
adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang
ditentukan. Bila dihubungkan dengan lafaz fiqh, mengandung arti aturan yang mengatur
hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia.

Makna fiqh muamalah secara sederhana adalah hukum Islam tentang harta. Fiqh
artinya hukum yang diambil dari Al-Quran, Sunnah dan Penjelasnya. Muamalah adalah
kegiatan antar manusia dengan manusia lainnya. Dalam konteks ekonomi islam, fiqh
muamalah didefinisikan sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia
dalam perkara harta, misalnya dalam persoalan jual beli, utang piutang, swa menyewa,
kerjasama dagang, perserikatan dan lain sebagainya.

Dalam fiqh muamalah, dibutuhkan sebuah kontrak sebagai tanda jadi dilakukannya
transaksi. Kontrak ini dikenal dengan istilah akad. Yaitu ikatan antara manusia berupa
tindakan yang akan mengubah status harta. Harta dapat dikuasai melalui akad atau tanpa
akad. Akad juga berarti mengikatkan dua ucapan atau yang menggantikan kedudukannya,
yang darinya timbul konsekuensi syariah. Dua ucapan itu adalah ijab dan qabul .

Hal yang harus diperhatikan melakukan akad harus diperhatikan subjek, predikat dan
objeknya. Subjek adalah pelaku akad. Pelaku akad haruslah memiliki dua kecakapan yaitu
kecakapan mengemban kewajiban (baligh) dan kecakapan dalam bertindak.

Kemudian dalam hal tindakan perubahan status harta (predikat) ada tiga cara yaitu
pertukaran harta, contohnya adalah jual beli, sewa menyewa, dan investasi. Yang kedua
adalah pemberian harta seperti zakat, pajak, hibah, infaq, warisan, shadaqah dan lain
sebagainya. Selanjutnya adalah penempatan harta contohnya adalah pinjam meminjam dan
titip menitip.
Selanjutnya, hal yang lain menyangkut akad adalah keberadaan barang atau objek
akad yang nantinya terkena implikasi akad serta hukum-hukumnya. Objek akad harus jelas
keberadaannya dan kondisinya.

Dalam perubahan status harta, haruslah memenuhi asas-asas tertentu yang menjadi
pembeda antara akad yang haq dan bathil. Kaidah lima asas tersebut adalah keberadaan
(mawjuud), kebernilaian (jidaarah), Kesetaraan (musawaats), kejujuran (shadiiq) dan
Kecakapan (Kafaa’ah). Ketika memenuhi seluruh asas ini dapat dikatakan akad tersebut
menjadi sah.

Kaidah – Kaidah dalam fiqih muamalah

Dari beberapa literatur, kami menemukan beberapa kaidah dalam qawaid fiqhiyyah.
Yang mana kaidah tersebut adalah:
َ ‫اإلبَاحَةُ االَّ أ َ ْن يَ ُد َّل َد ِل ْي ٌل ع‬
1 ‫َلى تَحْ ِري ِْمهَا‬ ْ َ ‫األ‬
ِ ‫ص ُل فِي ال ُمعَا َملَ ِة‬
“Hukum asal semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
Mengharamkannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh,
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah),
perwakilan, dan lain-lain. Dan pengecualian bagi yang secara tegas diharamkan oleh nash
seperti: tipuan, judi, dan riba.
ْ َ ‫األ‬
2 ‫ص ُل فِي العَ ْق ِد ِرضَي ال ُمتَعَاقِ َد ي ِْن َونَتَ ْي َجتُهُ َما إِلت َ َز َماهُ بِااتَّعَا قُ ِد‬
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah
apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad
apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Hal
ini bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak
merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti
pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
ْ َ ‫األ‬
‫ص ُل فِي العُقُو ْد ِرضَا ال ُمتَعَا ِق َد ي ِْن‬
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
3 ‫غي ِْر ِه بِالَ إِ ْذ نِ ِه‬ َ ‫ور ِأل َ َح ِد أَ ْن يَتَص ََّر‬
َ ‫ف فِي ِم ْل ِك‬ ُ ‫الَ يَ ُج‬
“Tiada seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si
pemilik harta.”
Atas dasar kaidah ini, maka si pelaku tindakan hukum haruslah pemilik barang yang menjadi
objek tindakan hukum atau wakil dari pelaku tindakan hukum atau yang yang diberi wasiat
atau wakilnya.
4 َ‫َازة‬ ِ ‫البَا ِط ُل الَ يَ ْقبَ ُل‬
َ ‫اإلج‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”
Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak.
Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang
menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena
sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila
lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah,
yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
َّ ‫َازةُ الالَ ِحقَ ِة كَال ِو كَالَ ِة ال‬
5 ‫سابِقَ ِة‬ َ ‫اإلج‬
ِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan
lebih dahulu.”
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh
bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan
kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian
si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi
dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
َّ ‫األَجْ ُر َوال‬
ِ َ‫ض َمانُ الَ يَجْ تَ ِمع‬
6 ‫ان‬
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan
bersamaan.”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan
barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang
tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
7 ‫ان‬ َّ ‫ج ِبال‬
ِ ‫ض َم‬ ُ ‫الج ََرا‬
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di keluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan,
seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan
buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
8 ‫الغَ ْر ُم ِبالغَ ْن ِم‬
“Resiko itu menyertai Manfaat.”
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko.
Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk
ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia
wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan
ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.
9 ‫ئ بَ َط َل َمافِي ض َْمنِ ِه‬ َّ ‫إِذَا بَ َط َل ال‬
ُ ‫ش ْي‬
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”
Contonya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima
barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual
beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga
barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual
harus mengembalikan harga barangnnya.
10 ‫ع َلى َمنَافِ ِعهَا‬ ِ َ‫ع َلى األ َ ْعي‬
َ ‫ان كَالعَ ْق ِد‬ َ ‫العَ ْق ُد‬
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut.”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa
manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Maka, pengaruh hukum dari akad yang
objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11 ُ‫ت فَالَ َي ِص َّح تَ ْوقِ ْيتُه‬ َ َ‫ُك ُّل َمايَ ِص ُّح تَأْبِ ْي ُدهُ ِمنَ العُقُو ِد ال ُمع‬
ِ ‫اوضَا‬
“Setiap akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara.”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki
hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang
dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan
harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini
tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila
waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
ِ ‫األ َ ْم ُر ِبالتَّص َُّر‬
ِ ‫ف ِفي ِم ْل ِك الغَي ِْر َب‬
12 ‫اط ٌل‬
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap
milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal.
ِ ‫برعث ِإالَّ ِبالقَب‬
13 ‫ْض‬ ُّ َّ ‫الَيَتِ ُّم الت‬
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau
hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
14 ‫ان‬ َّ ‫از الش َّْر ِعي يَنَافِي ال‬
ِ ‫ض َم‬ ُ ‫الج ََو‬
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau
meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi
ِ ِ‫ع ش َْي ٌء ِم ْن يَ ٍد أ َ َح ٍد إِالَّ بِحَقّ ثَاب‬
15 ‫ت‬ ُ ‫الَيُ ْن َز‬
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan
hukum yang telah tetap.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa barang yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dicabut oleh
pihak lain, kecuali atas ketentuan syar’i untuk mencabut barang orang tersebut.
16 ُ‫ُك ُّل قَبُو ٍل جَائِ ٌز أَ ْن يَك ُْونَ قَ ِب ْلت‬
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain
akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab.
Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup
dijawab dengan “saya terima”.
17 ‫صلَ َح ِة ال َع ْق ِد أَ ْو ِم ْن ُم ْقتَضَاهُ فَ ُه َو جَائِ ٌز‬
ْ ‫ُك ُّل ش َْرطٍ كَانَ ِم ْن َم‬
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan.”
18 ُ‫ض َما نُه‬
َ ‫ص َّح‬
َ ‫الرهْنُ ِب ِه‬ َ ‫ُك ُّل َما‬
َّ ‫ص َّح‬
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
19 ُ‫جَاز َر ْهنُه‬
َ ُ‫َاز بَ ْيعُه‬
َ ‫َماج‬
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
20 ‫ض ج ََّر َم ْنفَعَةً فَ ُه َو ِر َبا‬
ٍ ‫ُك ُّل قَ ْر‬
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama dengan riba.”
Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
‫ض ج ََّر نَ ْف ًعا فَ ُه َو ح ََرا ٌم‬
ٍ ‫ُك ُّل قَ ْر‬
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
Maksud kaidah ini adalah setiap terjadi sebuah pinjaman diantara pelaku akad dan
memberikan manfaat bagi orang yang memberi hutang maka itu adalah riba.
Referensi
ad-da’asi, Azat ubaid. 1989, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, cet. 3,
Damaskus: dar at-Tarmizi

al-Zarqa’, Syaikh ahmad bin syaikh muhammad. 1989, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, , cet.
2 Damaskus: dari al-Qalam

Djazuli, 2006, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan


Masalah-Masalah yang Praktis, Ed.1, cet. 3, Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai