Anda di halaman 1dari 15

35

BAB III

PENAFSIRAN ULAMA TENTANG ZIKIR

Kunci bagi memahami dan menguasai Ilmu Tasawuf adalah dengan

banyak zikrullah dan menjadikan diri sendiri adalah musuh yang wajib diperangi.

Ilmu tasawuf bukan diperoleh dengan banyak mentelaah kitab, banyak

muzakarah, banyak hafalan atau fasih lidah dalam membicarakan-Nya. Akan

tetapi dengan banyak Ibadah, banyak zikrullah dan Mujahid disamping

memperoleh bimbingan kepada Ahli Zikrullah dan Ahlullah.

Dalam dunia tasawuf, seseorang yang hidup didunia tidak cukup hanya

dengan melakukan shalat 5 waktu dalam sehari semalam. Akan tetapi dibutuhkan

zikir yang kuat dan janganlah terlalu mengharapkan balasan kenikmatan surga,

sedangkan shalat 5 waktu yang kita lakukan tidak sanggup menebus semua

kenikmatan dunia, tapi karena sifat-Nya yang maha pengasih, mkaka surga itu

diberikan dengan cuma-Cuma. 1

Hakikatnya, Shalat dan amal kebajikan yang kita kerjakan setiap hari

adalah tanda pengabdian antara Hamba dan Tuhan.

A. Imam Al-Ghazali dan Kitab Ihya Ulumuddin

Salah satu tokoh tasawuf yang sangat terkenal adalah   Imam Al-

Ghazali, seorang ahli sains sekaligus sebagai tokoh sufi terkemuka, sehingga

digelari sebagai Hujjat Ul-Islam.

1
http://mobile.facebook.com/groups/, diunduh pada ahad 8 Januari 2017
37

36
Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu,

terbukti dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan.

Sebagai tokoh sufi ia dikenal sebagai seorang ulama Usul Fiqh dengan

karyanya al-Mustashfa, dan ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan


35
karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat

itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, hal

mana menimbulkan kehawatiran yang mendalam dalam dirinya akan rusaknya

akidah kaum filsafat, oleh karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan

pemikiran filsafat dengan menggagas kaidah-kaidah tasawuf sebagai jembatan

guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada

zaman itu, yang berhasil diwujudkannya melalui  karya terbesarnya, ”Ihya’ U’lum

al-Din ” (The Revival of Religion Sciences).2

1. Kondisi Sosio-Historis Lingkungan dan Pendidikan yang

Mempengaruhinya.

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu

Hamid Al Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan sebutan Al-

Gazel, lahir pada tanggal 17 Jumadil Awal tahun 450 Hijriah (1058

Masehi) di kota Thusi (Iran), memiliki seorang saudara yang bernama

Ahmad, adalah seorang ahli sains sekaligus ulama’ besar, tokoh

tasawuf terkemuka yang sangat terkenal, yang berhasil menyusun gagasan

tasawuf yang menciptakan kompromi antara syari’at dan hakikat atau tasawuf

2
AlGhazali, MENGENAL TASAWUF IMAM GHAZALI.htm, diunduh pada hari senin
09 januari 2017

36
37

menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari

kalangan syar’I ataupun lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya besarnya yang

amat terkenal, kitab, “Ihya’ ‘Ulumuddin”.

Ayah beliau seorang fakir yang shalih, pengrajin kain shuf (kulit domba),

selalu berkeliling mengunjungi ahli fikih dan majelis ceramah nasihat dan

bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya dan

selalu berdoa diberi anak yang faqih dan ahli dalam ceramah nasihat. Allah

mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang

faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi

ceramah nasihat.

Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada

temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan ; 

“Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya
ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini.
Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan
boleh dihabiskan untuk keduanya.” 

Setelah ayahnya meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya

ilmu sehingga habis harta peninggalan yang sedikit tersebut, Ia dan adiknya

disarankan belajar pada sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup

mereka (465 H).

Imam Al-Ghazali belajar fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar

Radzakani di Thusi, kemudian pergi ke Jurjan belajar kepada Imam Abu Nashr Al

Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat, selanjutnya pergi ke kota Naisabur berguru

pada Imam Haramain Al Juwaini, sehingga berhasil menguasai dengan sangat

37
37

38

baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, Ilmu Perdebatan, Ushul, Manthiq,

Hikmah dan Filsafat yang membuat kagum gurunya, Al Juwaini.

Setelah Al Juwaini meninggal, ia pergi ke perkemahan Wazir Nidzamul

Malik, tempat berkumpul para ahli ilmu, menantang debat para ulama dan

mengalahkan mereka, hingga Nidzamul Malik mengangkatnya jadi pengajar di

Madrasah Nidzamiyah Baghdad (484 H), disinilah beliau berkembang, mencapai

kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi terkenal. Namun kedudukan dan

ketinggian jabatan tidak membuatnya congkak dan cinta dunia, dalam jiwanya

berkecamuk perang bathin yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu

kezuhudan, la mengangkat saudaranya Ahmad sebagai penggantinya, lalu

meninggalkan Baghdad, kemudian pergi naik haji ke tanah suci Mekah (488 H).

Tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus, menziarahi Baitul

Maqdis, kemudian kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’

Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al

Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah), tinggal

di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan

kitab Mahakkun Nadzar, melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah.

Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.3

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau diminta

tinggal di Naisabur  untuk mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah,

beberapa tahun kemudian pulang ke negerinya mendirikan satu madrasah dan

asrama untuk orang-orang sufi di samping rumahnya.

3
www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.

38
37

39

Pada masa akhir hidupnya Imam Al-Ghazali menghabiskan waktunya

mengajar para penuntut ilmu, beribadah, mengkhatam Al-Qur’an, berkumpul

dengan ahli ibadah, kembali mempelajari hadis  sampai meninggal dunia. Berkata

Imam Adz Dzahabi ;

“Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut Ilmu Hadis dan


berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan
Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai
semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat
meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang
putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam

kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya) ;

Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu

berkata, 

“Bawa kemari kain kafan saya, lalu beliau mengambil dan menciumnya


serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata ; “Saya patuh dan taat
untuk menemui Malaikat Maut.” 

Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau


meninggal sebelum langit menguning (memasuki waktu pagi). 

Beliau wafat di kota Thusi, hari Senin, 14 Jumadil Akhir tahun 505

H, dikuburkan di pekuburan ath-Thabaran.

2. Pemikiran Al-Ghazali tentang Tasawuf

Dalam dunia tasawuf, zikir merupakan salah satu pilar tegaknya sebuah

tarekat. Dan al-Ghazali menyadari betul hal ini. Bahkan dia secara terang-

terangan menyatakan bahwa dia sudah sampai pada tingkatan zikir dengan al-Ism

al-‘azham “Allah”.

39
40
37

Seperti halnya al-Ghazali, para Ulama tarekat secara umum mengamalkan

zikir, selain untuk meningkatkan kematangan berfikir dan jiwa, juga untuk

semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Sebut saja misalnya Sayyid Abdul Karim al-Jilli yang menyusun zikir-

zikir untuk diamalkannya sendiri dan para pengikutnya. Zikir-zikir yang

disusunnya itu terdiri dari tiga belas nama Allah Swt yang agung, yang mana

setiap nama disebut sebanyak 100 ribu kali. Ketiga belas nama itu adalah: La Ilah-

a illa Allah, Huw-a, Hayyu-un, Wajid-un, ‘Aziz-un, Wadud-un, Haqq-un, Qahhar-

un, Qayyum-un, Wahhab-un, Muhaymin-un, dan Basith-un.

Zikir dalam Tasawuf bukanlah sesuatu yang mencari jalan diluar islam,

tetapi hanya ingin memperkukuh keyakinan dan memantapkan rasa ketaqwaan

kepada Allah swt. Disamping itu pula bukanlah karena berzikir dan bertasawuf

maka akan dinaikkan derajatnya, akan tetapi tasawuf itu sendiri merupakan bagian

dari syariat agama islam yang harus dijalankan oleh setiap muslim.

Tujuan utama dalam tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah

swt. Sedekat mungkin. Mentaatinya baik dari segi lahiriah maupun taat secara

batinian. Hal ini akan semakin mendorong ahli tasawuf dalam beribadah kepada

Allah swt sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw untuk mencapai

ma’rifatullah serta menjadi Insan Kamil (manusia sempurna) atau dalam istilah

lainnya mendapatkan Ridha Allah Swt Semata, sebab hanya dengan ridhanya,

diharapkan akan mendapatkan rahmat dan taufiq dari Allah Swt.

Sebagai tujuan utama bertasawuf untuk mendapatkan makrifatullah. Maka

tidak ada pilihan lain dalam mentaati Allah Swt. Makrifah disini berarti melihat

40
41
37

tuhan dengan hati nurani secara jelas dan nyata dalam penguasaan Nya, dan

dengan segala kenikmatannya.

Makrifat kepada Allah Swt. merupakan cahaya yang dipancarkan Allah

Swt. Kedalam Hati hambaNya, sehingga dengan cahaya tersebut hamba Allah

Swt. Tadi dapat melihat rahasia-rahasia kerajaan Allah Swt. Di bumi dan dilangit

dan hamba tersebut bisa mengamat-amati sifat kekuasaan dan kekuatan Tuhan4.

Dalam hal ini maka makrifat billah adalah tujuan utama bagi ahli tasawuf

dan merupakan suatu kelezatan yang tertinggi menurut pandangan Imam Al-

Ghazali,5 bahkan para ahli tasawuf-tasawuf yang lain.

Sedangkan dalam pengertian insan kamil sebagai tujuan bertasawuf ialah

bahwa seseorang sebagai hamba yang sadar tentang kekuasaanya yang

transendent dan abadi, maka dirinya pun juga mempunyai sifat Ilahi yang selalu

ingin memuji kepada asalnya. ‘Insanun Kamil langsung berhubungan kepada

Tuhan. Tatkalah adalagi nabi atau malaikat yang mengantar padanya.6

Pada umumnya orang Insan Kamil adalah orang yang telah mendapat

tempat (maqam) yang dekat dengan Allah Swt. Dalam hal ini Insan Kamil adalah

orang yang berjiwa sempurna yang dekat pada sisi Allah Swt. Selalu merasa

kekehadiran Allah Swt pada dirinya, rindu kepada Allah Swt, ia sudah dianggap

cakap untuk memberi petunjuk dan menyempurnakan hamba Allah Swt. ia pergi

kepada Allah Swt. Ruju’ Illallahi, Ilmuhu Indillah.7

4
Abdul Karim al-Salawy, Titik Persimpangan Tasawuf Dan Kebatinan, (Cet. I;
Pekalongan: Bahagia, 1986), h. 77.
5
Ibid., h. 79
6
Ibid., h. 81
7
Ibid., h. 85

41
42
37

Begitu pula untuk mencapai tujuan bertasawuf itu bukanlah suatu hal

mudah dan gampang, tetapi akan menemui berbagai macam hambatan dan

tantangan. Hal ini menurut para ahli tasawuf berbeda-beda dan banyak cara untuk

mencapainya. Adapun cara mencapainya menurut imam al-Ghazali adalah : tobat,

sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta, makrifat, kerelaan.8

B. Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar

Haji Abdul Malik Karim Abdullah, atau kemudian lebih dikenal sebagai

Buya Hamka, lahir pada 14 Muharram 1326 H atau 17 Februari 1908 M di

Nagari, Sungai Batang, Kampung Molek ditepi Danau Maninjau (Tim Redaksi

PSH, 1984: 51).

Ayahnya, Haji Rasul, yang dikenal sebagai Doktor Syaikh Haji Abdul

Karim Amrullah, adalah orang yang berkecukupan, cerdas dan terpandang sebagai

Ulama’ besar sekaligus tokoh pembaharu di Minangkabau. Doktor Haji Abdul

Karim adalah pemimpin pesantren”Sumatra Thawalib” di Padang Panjang.

Dalam usia 7 tahun (1915 M) dimasukkan di sekolah desa dan malamnya

belajar mengaji al-Qur'an dengan ayahnya sendiri hingga khatam al-Qur'an. Pada

tahun 1916-1923 M, ia telah belajar agama pada sekolah “Diniyah School” dan

Pesantren yang dipimpin ayahnya.

Adapun guru-gurunya waktu itu adalah Syaikh Ibrahim Musa Parabek,

Engku Muda Abdul Hamid dan Zainuddin Labbay. Wilayah Padang Panjang

masa itu ramai dengan para penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan

ayahnya sendiri.
8
Harun Nasution, falsafat dan mistisme dalam islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.
62

42
43

37

1. Kondisi Sosio-Historis Lingkungan dan Pendidikan yang

Mempengaruhinya.

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka 

melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam

politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai

akhir hayatnya. 

Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional

Malaysia menganugerahkan gelar doktor kehormatan (Honoris of Causa),

sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai Guru

Besar (Professor). Namanya disematkan untuk  Universitas Hamka  milik

Muhammadiyah dan nama Buya Hamka masuk dalam daftar Pahlawan Nasional

Indonesia.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka sering

melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya

di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun

melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan

Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik

Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya

berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab

yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak.

Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja

43
44

37

sebagai guru agama sementara waktu di Medan. Dalam pertemuan memenuhi

kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita

ayahnya dan dirinya sebagai Ulama dan Sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936

setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat

karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,

nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal

Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat untuk

menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka

membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan

di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik.

Dalam pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil

Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan

kembali dasar negara.

Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi

Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi

dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji

Masyarakat  tetapi berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan

tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul

"Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-

karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan

gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi

44
45

37

pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar dalam keadaan sakit sebagai

tahanan.

Seiring peralihan kekuasaan ke Suharto, Hamka dibebaskan pada Januari

1966. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah

di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah

di Masjid Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan MUI pada 1975,

peserta musyawarah memilih dirinya sebagai ketua. Namun, Hamka memilih

meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama

untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim.

Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah

Kusir, Jakarta.

Dalam sejarah hayatnya, Hamka dikenal sebagai ulama besar, sastrawan

dan cendekiawan terkemuka. Karanganya tidak kurang dari 133 judul buku..

Beberapa di antaranya yang terkenal adalah: “Di Bawah Lindungan Ka’bah,

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Ayahku, Tasawuf Modern, Tafsir Al-Azhar

30 juz”, dan masih banyak lagi. Dalam perjalanan hidupnya di organisasi

kemasyarakatan berkali-kali telah terpilih menjadi pengurus pimpinan

Muhammadiyah dan dalam pemilu 1955 terpilih juga menjadi DPR, namun

Hamka sebelumnya sudah mengatakan tidak bersedia.

Hamka seorang tokoh otodidak yang berhasil, kaya akan pengetahuan dan

pengalaman. Ia terkenal tidak hanya di dalam negeri melainkan juga di beberapa

negara Islam. Selama hayatnya beliau mendapat gelar Doktor dua kali. Pertama

karena menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam, pada permulaan tahun

45
46

37

1959, University Al-Azhar memberikan gelar Ustadziyah Fakhriyah (Doktor

Honoris Causa), kedua kalinya pada hari Sabtu 6 Juni 1974, gelar Doktor

diperoleh lagi dalam kesusastraan di Malaysia.

Pada hari-hari biasa, Hamka selalu mengkhatamkan bacaan al-Qur'an

setiap 5-7 hari dan setiap hari selama bulan suci Ramadhan. Dan sampai akhir

hayatnya tetap dalam kedudukan sebagai penasehat pimpinan pusat

Muhammadiyah. Menjelang akhir hayatnya, Hamka sakit dan dirawat di RSPP, ia

baru saja selesai membaca al-Qur'an yang terakhir kalinya kemudian

menghembuskan nafas panjangnya pada jam 16.41 WIB tepat hari Jum’at 24 Juli

1981, dan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Perjalanan hidupnya dalam

usia 73 tahun kurang 7 hari. (Hamka, 1982: 6-8).

2. Pemikiran Buya Hamka Tentang Zikir

Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, didalam Al-Quran tedapat

267 kata yang merupakan bentuk dari dzikir. Itu tidak termasuk 18 kata dzakara

yang berarti laki-laki dan 7 kata muddakkir (dengan memakai dal). Dzikir

mengandung bermacam-macam arti diantaranya: Kata-kata dzikr yang

mengandung arti ilmu misalnya kata Adz-dzikr pada QS An Nahl (16) : 43.

Pengerian serupa dapat dilihat pada QS. Al-Anbiya‟ (21): 2, 7, 10, 50 dn 105. QS

Shad (380) : 1 Mengandung arti ingat. Seperti adzkuruhu ( ‫ ) هرا ذا‬pada QS Al-

Kahfi (18): 63. Pengertian yang sama dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah (2) : 40,

42, 122 dan 231. QS Ali Imran (3) : 103, serta Al-A‟raf (7) : 86 dan 165. Yang

mengandung ingat di hati dan lisan misalnya kata udzkuru dan dzikir pada QS.

46
47

37

Al-Baqarah (2) : 200 dan 203. QS An-Nisa (4) : 103. Dzikir pada Allah dengan

lisan ini diperintahkan Allah dalam rangka membentuk kesadaran hati. Seperti

pada QS Al-Ahzab (33) : 41 dan QS al-Jumu‟ah (62) : 10.

Dan di dalam Alquran terdapat 49 kali perintah berzikir dalam bentuk

udzkur/udzkuruhu tujuh kali zikir, dua kali dalam bentuk liyadzdzakkaru dengan

berbagai kontek dan objeknya.

a) Konteks Tasawuf Menurut Hamka

Membicarakan zikir dalam tasawuf, pada dasarnya tidak terlepas dari

pembicaraan mengapa tasawuf itu muncul. Dalam hal ini, Hamka merumuskan

bahwa hakikat tasawuf adalah “tasawuf yang diartikan dengan kehendak

memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersihkan) bathin”. Dengan kata lain,

dia mencoba meminjam kata al-Junaid, seorang sufi besar abad ke-3 H, bahwa

“tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi

perangai yang terpuji” (Damami, 2000: 169).

Hakikat tasawuf yang didefinisikan Hamka tersebut memberikan respon

ilmiah dalam dirinya untuk mengkaji ulang realitas kesufian dilihat dari konteks

ke-Indonesiaan. Pengalaman tasawuf Hamka mengantarkannya untuk mengkaji

kembali mengenai kejumudan (stagnan) yang signifikan dalam fungsi tasawuf

ditinjau dari konteks “nasib umat Islam Indonesia” yang serba “miskin”; miskin

ekonomi, miskin ilmu pengetahuan, miskin kebudayaan, miskin politik dan yang

lebih tragis lagi yaitu miskin mentalitas. Perspektif inilah nampaknya yang

senantiasa menjadi semacam cerminan bagi Hamka untuk menilai ulang tentang

“fungsi tasawuf”.

47
48

37

Menurut pengamatan Hamka, umat Islam Indonesia juga umat Islam

dunia, sudah cukup lama tidak pernah mendapat cahaya falsafat. Akibatnya, cara

berfikir umat Islam menjadi gelap, dan tentu saja mundur, bahkan falsafat itu

sendiri dibenci oleh umat Islam (Hamka, 1986: 15). Pada masyarakat bawah

masih berkubang dalam kubangan praktek-praktek ketarekatan yang memabukkan

dan melenakan. Apabila orang Indonesia menyebut istilah “tasawuf”, maka

mereka lalu teringat kepada apa yang disebut “tarekat”. “Tarekat” merupakan

kegiatan ketasawufan yang memiliki peraturan-peraturan khusus sendiri-sendiri

yang sudah baku dan tidak dapat diubah-ubah.

Sementara itu, apa yang disebut “tasawuf” sendiri pada bentuk aslinya

tidak mempunyai aturan-aturan tertentu sebagaimana tarekat. Tasawuf sebagai

ajaran penyucian diri adalah netral, sebagai sebuah metode atau jalan ia tentu suci

dari kepentingan. Tasawuf adalah cara yang kadang menjadi obyek. Sedang

tarekat sebagai sebuah intuisi tidak bisa dikatakan netral. Ia punya kepentingan.

Untuk itu tidak ada perbedaan mendasar antara tarekat dan tasawuf. Orang yang

bertasawuf belum tentu harus bertarekat, orang tarekat juga belum tentu bisa

disebut sebagai sufi.

C. Sikap Imam Al-Ghazali dan Buya Hamka terhadap Zikir dalam Tasawuf

1. Buya Hamka dalam Tafsirnya Al-Azhar.

Hamka menafsirkan bahwa “Orang-orang yang mengingat Allah sewaktu

berdiri, duduk atau berbaring” (pangkal ayat 191) beliau artikan orang yang tidak

pernah lepas Allah dari ingatannya. Yaazkuruuna beliau artikan ingat, berpokok

dari kalimat dzikir, ingat. Dan beliau sebut pula bahwasanya dzikir itu bertalian di

48
49

37

antara sebutan dengan ingatan. Kita sebut nama Allah dengan mulut karena dia

lebih dahulu teringat dalam hati, maka teringatlah dia sewaktu berdiri, duduk

termenung, atau tidur berbaring. Sesudah penglihatan atas kejadian langit dan

bumi, atau pergantian siang dan malam, langsung ingatan kepada yang

menciptakannya, karena jelaslah dengan sebab ilmu pengetahuan bahwa semua itu

tidaklah ada yang terjadi dengan sia-sia atau secara kebetulan. Ingat atau berdzikir

kepada Allah itu juga berkaitan dengan memikirkan, maka datanglah sambungan

ayat “dan mereka pikir hal kejadian langit dan bumi”.

2. Imam Al-Ghazali dan Kitab Ihya Ulumuddin

Zikir dalam Tasawuf bukanlah sesuatu yang mencari jalan diluar islam,

tetapi hanya ingin memperkukuh keyakinan dan memantapkan rasa ketaqwaan

kepada Allah swt. Disamping itu pula bukanlah karena berzikir dan bertasawuf

maka akan dinaikkan derajatnya, akan tetapi tasawuf itu sendiri merupakan bagian

dari syariat agama islam yang harus dijalankan oleh setiap muslim.

Sebagai tujuan utama zikir dalam bertasawuf untuk mendapatkan

makrifatullah. Maka tidak ada pilihan lain dalam mentaati Allah Swt. Makrifah

disini berarti melihat tuhan dengan hati nurani secara jelas dan nyata dalam

penguasaan Nya, dan dengan segala kenikmatannya.

49

Anda mungkin juga menyukai