Anda di halaman 1dari 8

Nama : Erlangga nur Al Farizi karyadhara

NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam

Materi 9 “pemikiran filsafat al-Ghazali”

A. BIOGRAFI AL-GHAZALI

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu
Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.
Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir.Penisbatan
pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin
Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin
Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al
Ghazzali). Namun, menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid Muhammad
mempunyai usaha pertenunan (ghazzal) dan karena itu dia melestarikan gelar keluarganya
"Ghazzali" (penenun). Julukannya adalah “Hujjatul Islam” (Bukti kebenaran agama Islam) dan
Zayn Ad-Din (Perhiasan agama).

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf/wol (yang dibuat dari kulit domba) dan
menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya
kepada temannya dari kalangan orang yang baik.Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak
belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada
kedua anak saya ini.Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan
boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah
harta peninggalan yang sedikit tersebut.Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan
wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya.Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian
berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian.Saya seorang fakir dan miskin
yang tidak memiliki harta.Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-
olah sebagai penuntut ilmu.Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian
berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut.Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan


dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami
menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah
ta’ala.”(Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih.Tidak memakan kecuali
hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit.Beliau berkeliling mengujungi ahli
fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya.Apabila mendengar
perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang
faqih.Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah
ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat. Kiranya Allah mengabulkan kedua
doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad)
menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh
Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk
mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Akan tetapi
menurut kisah lain Ghazzali senantiasa mencatat perkuliahannya, tetapi dalam suatu peristiwa
catatan tersebut ikut terbawa bawa perampok bersama barang-barangnya.namun, beliau
memberikan diri untuk mendatangi kepala perampok untuk meminta kepada mereka catatan
kuliah beliau.Alhamdulillah catatanya tersebut dikembalikan. Sekembalinya ia ke Thus, ia
berusaha memepelajari serta menghapal kembali semua yang telah dipelajarinya. Sebagai bentuk
antisipasi dengan kemungkinan adanya perampokan secara tak terduga.

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini
dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab
Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat.Beliau pun
memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya.

Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini. Setelah Imam
Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik.
Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada
para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi
pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada
tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia
tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal.Mencapai kedudukan
yang sangat tinggi.

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia.Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang
menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah,
ikhlas dan perbaikan jiwa.Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat
saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian
menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat
masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al
Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan
menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa
dan mengenakan pakaian para ahli ibadah.Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10
tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi.
Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al
Hafshi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam
Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau
tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal
menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan
tinggal beberapa lama di Iskandariyah.Kemudian kembali ke Thusi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi
dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan
diminta tinggal di Naisabur.Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di
madrasah An Nidzamiyah beberapa saat.Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan
menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.Beliau mendirikan satu madrasah di
samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi.Beliau habiskan sisa waktunya dengan
mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan
melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul
dengan ahlinya.Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun
menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari
dan Muslim).Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam
waktu singkat.Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali
beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat
Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid
berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.”Lalu beliau mengambil dan
menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.”Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat.Beliau
meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).(Dinukil oleh Adz Dzahabi
dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14
Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/201).

B. KARYA-KARYA AL-GHAZALI

Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu


multidisplin.Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secra mendalam.Aktfitasnya bergumul
dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal menjemputnya.Dalam
ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan
para ulama terhadapnya.

Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah al-ghazali menyebutkan karya al-


Ghazali mencapai 457 buku.Al-Washiti dalam al-Thabaqat al-‘Aliyah fi Manaqib al-Syafi’iyah
menyebutkan 98 judul buku.Musthafa Ghalab menyebut angka 228 judul buku.Al-Subki dalam
al-Thabaqat al-Syafi’iyah meneyebutukan 58 judul buku. Thasy Kubra Zadah dalam Miftah al-
Sa’adah wa Misbah al-Siyadah menyebutkan angka 80 judul. Michel Allard, seorang orientalis
Barat, menyebutkan jumlah 404 judul buku. Sedangkan Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam
menyebut kurang lebih 200 judul.Kitab tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Beberapa
karyanya antara lain :

1. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh

a. Al-Basith fi al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Iman al-Haramain.


b. Al-wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith.
c. Al-Waiiz fi al-Furu’
d. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-syafi’i.
e. Al mustashfa fi ‘ilm al Ushul
f. Al-mankhul fi ‘ilm al Ushul

2. Bidang Tafsir

a. Jawahir al-Qur’an
b. Yaqut al-Ta’wil fi-Tafsir al-Tanzil

3. Bidang Aqidah

a. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, terbit di mesir


b. Al-ajwibah al-Ghazaliyah fi al-masail al-Ukrawiyah
c. Iljamu al-awam’an ‘Ilm al-Kalam
d. Al-Risalah al-Qudsiyah fi-Qawaid al-Aqaid
e. Aqidah ahl al-Sunnah
f. Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadlail al-Mustadzariyah
g. Faisal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
h. Al-Qistash al-Mustaqim
i. Kimiyah al-Sa’adah
j. Al-Maqshid al-tsna fi ma’ani Asma’ Allah al-Husna
k. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala man Ghayyara al-Injil

4. Bidang Filsafat dan Logika

a. Misykah al-Anwar
b. Tahafut al-Falasifah
c. Risalah al-Thair
d. Mihak al-Nadzar fi al-Mantiq
e. Ma’ary al-Qudsi fi Madarij Ma’rifah al-Nafs
f. Mi’yar al-Ilmi
g. Al-Muthal fi Ilm al-Jidal

5. Bidang Tasawuf
a. Adab al-Shufiyah
b. Ihya ‘Ulumuddin
c. Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah
d. Al-Adab fi al-Din
e. Al Imla ‘an Asykal al-Ihya
f. Ayyuhal Walad
g. Al-Risalah al-Ladunniyah
h. Mizan al-Amal
i. Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
j. Minhaj al-Abidin ila al-Jannah
k. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadrah Alami al-Gaibi

Masih banyak lagi karya al-Ghazali lainnya, baik yang sudah dicetak dan diterbitkan, maupun
yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan di sisi lain ada ratusan karya yang dikategorikan
hasil karya al-Ghazali, dan tentunya hal ini masih diperdebatkan.

C. PEMIKIRAN Al-GHAZALI
Kerangka berpikir memandangan Al-Ghazali perlu ditelusuri secara komprehensif.
Pertama-tama, karena berfilsafat itu menggunakan logika (akal) dengan kajian analalisisnya
maka apa yang dimaksud dengan akal dan agaimana posisi akal. Inilah titil tolak Al-Ghazali
dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan
matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang
yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran.
Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada
bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali,
akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan
membawa suatuu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.
Pada dasarnya, Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, hanya filsafat
ketuhanan (Metafisika). Al-Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut Al-Falasifah,
karena mereka berlebihan menggunakan akal, dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama
akal, di samping menafikan sesuatu yang tidak ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya.
Bahkan dalma kitab Al-Munqidz min Adh-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang mengingkari
pendapat para filsuf dalam hal gerhana bulan dan gerhana matahari dengan mengatasnamakan
agama dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap cabang filsafat
lam, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, tidak ada jalan untuk
mengingkarinya. Ilmu filsafat menurut Al-Ghazaliterbagi menjadi enam bagian, yakni : ilmu
matematika, logika, filsafat, politik, etika dan metafisika (ketuhanan).
Menurut Al-Ghazali, ada dua puluh masalah ihwal ketuhanan yang menjadi titik
kesalahan para filsuf, sehingga ia memberikan komentar terhadap dua puluh masalh itu :
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah pencipta alam semesta dan alam ini
ciptaan-Nya
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya Tuhan dua
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak punya sifat
7. Membatalkn pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al—fashl
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basit (simple) dan tidak
mempunyai mahiyah (hakikat)
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim
10. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti tidak bermula dan
tidak berakhir)
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa membuktikan Allah hanya mengetahui zat-
Nya
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan
kemauan-Nya
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu diluar
hukum alam
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang beridir sendiri,
tidak memilik tubuh
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan mustahilanya fana (lenyap) jiwa manusia
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan
yang akan menerima kesenangan dalam surga, yang menerima kepedihan dalam neraka hanya
roh
Filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah.Pertama;
masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa
lampau.Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan.Selain Tuhan haruslah hadits (baru).
Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni
Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan
qadim.Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo),
sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak
akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud”
dalam bentuk lain.Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim.
Dan materi.[5]
Pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut
al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam
pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan
seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah
Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-
mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara
instrumental berfikir sebagai filosof.
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa
pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan
pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui
manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd,
Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711).
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani.Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya
adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran.Yang benar, kata Ibnu Rusyd,
bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu.Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak
adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal.
873-874).
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-
Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama
(hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia
mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan
jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali
mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-
Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal
tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap
mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi
biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-
jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang
dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-
Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif
terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud).

DAFTAR PUSTAKA

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1) — Muslim.Or.Id by null

Asrorun Ni’am Sholeh. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Elsas, 2004 h. 42-45.

Supriyadi Dedi. Filsafat Islam. Pustaka Ceria. Bandung : 2009.

Sunarya Yaya. Pengantar Filsafat Islam. Arfino Raya. Jakarta : 2012

Supriyadi Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Pustaka Setia. Bandung : 2009.

Anda mungkin juga menyukai