Anda di halaman 1dari 16

Ilmu dan Proses Belajar dari Kesalahan1

Karlina Supelli2

Pengantar
Bayangkanlah Mikolaj Kopernik (1473 - 1543) ketika membangun model tata surya. Jika dia
hanya mengandalkan data astronomi yang ada pada masa itu, sudah barang tentu dia tidak
mempunyai bukti yang langsung dapat menunjukkan bahwa planet-planet berbedar
mengelilingi Matahari. Model Kopernik bahkan bertentangan dengan pencerapan inderawi
dan akal sehat. Sehari-hari, benda-benda langit justru terlihat mengitari Bumi dan itulah yang
dikemukakan oleh Klaudios Ptolemaios, astronomiwan, matematikawan dan ahli geografi
yang hidup di Alexandria antara abad pertama dan kedua.
Apakah yang dilakukan Kopernik? Dia melakukan lompatan imajinasi dan membangun
tilikan yang mengagumkan. Kopernik menganjurkan para pembaca bukunya supaya
membayangkan diri mereka sebagai Aeneas, pahlawan Troya yang berlayar meninggalkan
daratan seraya berujar, “Sementara kita berlayar meninggalkan pelabuhan, daratan serta kota-
kota surut menjauh” (De Revolutionibus orbium coelestium, 1543 [1996], 520).3 Melalui
analogi itulah dia kemudian membayangkan hal-hal yang tidak dapat dia amati langsung
tetapi terkait dengan fakta-fakta yang dapat dia amati. Kopernik tidak sepenuhnya dapat
membuktikan secara empiris konsepsinya mengenai tata surya, tetapi dia percaya bahwa
gagasannya betul.
Melalui laku imajinasi, Kopernik menghadirkan tatasurya sebagai suatu keseluruhan. Lalu
dia merumuskan suatu deduksi matematis di antara parameter-parameter dasar astronomis
(jarak, lintang, bujur), sehingga terbangunlah model yang sistematik, sederap, dan memiliki
daya penjelasan yang melampaui model Ptolemaios. Dalam model Ptolemaios, parameter
gerak planet adalah unsur yang tidak dapat dijelaskan sehingga memerlukan postulat
tambahan. Akan tetapi, dalam model Kopernik, parameter-parameter tersebut merupakan
akibat alami dari sistem heliosentris. Kopernik begitu yakin bahwa modelnya itu sederhana
dan indah, “bola langit dan bintang-bintang terlihat berhubungan secara selaras sehingga
tidak ada bagian dapat diubah tanpa mengganggu seluruh sistem” (1543, 508).
Kata “terlihat” yang saya beri cetak miring di atas tentu bukan berarti tampak langsung
secara inderawi, melainkan merupakan suatu tilikan (insight) yang menunjukkan kemampuan
menemukan hubungan matematis di antara objek-objek yang dia pelajari. Antara lain karena
keselarasan, peratahan dan daya penjelasannya yang tinggi itulah para astronomiwan abad
ke-16 meninggalkan model geosentris Ptolemaios. Gambar di bawah ini memperlihatkan
perbedaan kedua model tersebut.

1
Disampaikan dalam Konferensi Guru Nasional, Jakarta 8 November 2012.
2
Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
3
Nicholas Copernicus, De revolutionibus orbium coelestium, translated by Charles Glenn Wallis in M.
Adler (editor), Great Books of The Western World, Encyclopaedia Britannica Vol. 15 (1996 [1543]), p.
520.

1
Model Ptolemaios bagi gerak planet. Model ini Tata surya model Kopernik yang
memerlukan titik acuan berbeda untuk tiap planet memungkinkan astronom menyusun
lingkaran tambahan untuk menjelaskan gerak planet tata planet dan menghitung orbitnya
(Book X, Ch. 7, Almagest). (Book VI, Ch. X, De Revolutionibus).

Tidakkah Galileo Galilei (1564 - 1642) menyuguhkan fakta melalui teropongnya yang
membuktikan kebenaran sistem heliosentris? Jawabannya adalah tidak, tidak memadai.
Pengamatan Galileo atas perubahan fase Venus melawan sistem Ptolemaios, tetapi tidak
cukup untuk membuktikan bahwa model Kopernik adalah model tata surya yang betul.
Demikian halnya dengan pengamatannya atas bulan-bulan Jupiter. Fakta itu melawan
pernyataan sistem geosentris bahwa semua benda langit mengorbit Bumi dan menantang
pandangan para penganut fisika aristoteles bahwa planet-planet secara hakiki berbeda Bumi.
Meskipun demikian, bukti-bukti itu tidak memadai untuk mendukung gagasan heliosentris.
Kendati Johannes Kepler menggunakan model heliosentris untuk meramalkan transit Venus
pada tahun 1631 dan Isaac Newton merumuskan hukum-hukum gravitasi (1687), konsepsi
bahwa Bumi bergerak baru mendapat dukungan empiris yang kokoh ketika James Bradley
menemukan aberasi cahaya bintang (1725). Sementara perhitungan atas gejala paralax
bintang yang muncul akibat pergeseran posisi Bumi baru berhasil diperoleh pada tahun 1838
oleh Friedrich Bessel.
Apakah itu berarti bahwa Galileo salah dan layak menerima sanksi? Tidak, Galileo tidak
salah dan tidak layak menerima sanksi. Perkaranya pun jauh lebih rumit ketimbang soal salah
atau benar karena melibatkan ketegangan antara penafsiran realis atas ilmu (kebenaran teori)
dan penafsiran instrumental (teori sebagai sarana kalkulasi yang netral: tidak benar/salah).
Bahwa Kepler, Galileo dan Newton serta banyak ilmuwan lain pada abad ke-17 beralih ke
model heliosentris meskipun belum tersedia cukup data empiris, menunjukkan bahwa ilmu
jauh lebih rumit ketimbang semata-mata hubungan antara teori dan fakta.
Jika demikian, apakah ilmu?

1. Salah Satu Cara untuk Memahami Gejala di Dunia


Panitia meminta sesuatu yang cukup sulit kepada saya: memaparkan di hadapan para guru hal
ihwal mengenai ilmu yang kiranya dapat memantulkan topik yang dipilih panitia bagi saya,
yakni “Ilmu sebagai Cermin untuk Memandang Kehidupan”.
Perkenankanlah saya terlebih dulu menyampaikan bahwa saya pun seorang guru. Saya
pernah mengajar fisika, matematika dan astronomi kepada siswa sekolah menengah, tetapi itu
sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Sampai saat ini saya masih seorang guru, tetapi
pengalaman saya mengajar selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini hanyalah di

2
perguruan tinggi, khususnya pascasarjana. Akibatnya, saya tidak mengetahui banyak ihwal
mengajarkan ilmu-ilmu kealaman kepada siswa. Para gurulah yang –sebagian hadir dalam
diskusi ini – merupakan guru sejati bagi mereka.
Hal-hal yang akan saya sampaikan dalam pertemuan ini lebih merupakan refleksi,
perenungan mengenai ilmu-ilmu kealaman sebagai salah satu cara untuk memandang dan
memahami berbagai gejala di dunia. Dengan lain kata, pemaparan saya bukanlah kiat
langsung tentang bagaimana mengajarkan ilmu-ilmu kealaman di sekolah. Saya akan
mencoba menghaturkan di bagian akhir, nilai-nilai dan kebiasaan apa yang dapat diterapkan
kepada siswa berdasarkan proses mempelajari ilmu-imu kealaman.
“Salah satu cara untuk memahami” berarti, pertama, selain ilmu ada cara-cara lain. Kedua,
“cara memandang” berarti ada jalan-jalan atau metode (metode: meta-hodos: melalui-jalan)
untuk menelisik gejala sehingga orang dapat menjelaskan mengapa gejala tertentu muncul.
Dan ketiga, ilmu membatasi “cara” tersebut hanya menyangkut gejala-gejala di dunia
(ruangwaktu), baik gejala yang tertangkap langsung oleh pencerapan indrawi maupun yang
tidak tertangkap langsung tetapi dapat dilacak keberadaan atau jejak keberadaannya dengan
menggunakan pelbagai instrumen.
Ketiga catatan di atas menandai kesetiaan ilmuwan kepada kejadian, kepada gejala di dalam
dunia. Dia tidak melompati dunia untuk mencari penjelasan mitis, religius, atau lainnya.
Ilmuwan berpegang pada diktum sederhana yang mungkin terdengar angkuh bagi orang
beriman, yakni “tidak ada mukjizat di dalam ilmu”. Kalau ilmuwan itu adalah orang beriman,
tentu bukan berarti bahwa dia tidak percaya bahwa mukjizat dapat saja terjadi. Sejauh
menyangkut ilmu, dia perlu memberlakukan alam semesta bekerja sebagai suatu sistem
tertutup. Penjelasan perlu dia dapatkan hanya dari dalam dunia itu sendiri.
Kendati, tentu saja dia juga mengerti hal yang pernah dikemukakan oleh seorang ahli
matematika, Kurt Gödel, mengenai ketidakmampuan sebuah sistem (logis) tertutup untuk
menjelaskan dirinya sendiri. Ilmuwan sejati mengerti hal itu dan oleh sebab itu ilmuwan
sejati tidak mendaku teori-teori keilmuan sebagai kebenaran yang tidak dapat diganggu
gugat. Sebaliknya, di jantung ilmu bekerja keragu-raguan yang kejam. Sungguhpun teori
relativitas umum sampai hari ini diterima oleh masyarakat fisika sebagai teori yang paling
baik untuk menjelaskan gravitasi, ilmuwan tidak berhenti menguji teori tersebut.
Kenyataan (realitas) sangatlah rumit dan bahkan misterius, sementara daya-daya pemahaman
manusia mempunyai batas. Alam pun kerap ‘bertindak cerdik dan lihai’ – menggunakan
metafora salah seorang fisikawan Inggris. Pada saat ilmuwan mengira teorinya sudah kokoh
dan terdukung banyak data percobaan/pengamatan, muncul gejala yang memaksa dia menilai
kembali teorinya dan bahkan melakukan modifikasi atau mengulang seluruh daur
metodologisnya. Ilmu adalah proses belajar dari kesalahan dan dalam proses itu diperlukan
kebebasan berpikir.

2. Transformasi cara Melihat, Memahami dan Sikap Keilmuan


Sesudah ilmu berkembang, dunia tampak berbeda.
Ambillah sebuah contoh sederhana. Dulu, seorang perempuan yang sedang hamil biasanya
bersembunyi di kolong tempat tidur pada waktu terjadi gerhana Matahari. Dia percaya itulah
saat Kala Rahu, yang kepalanya terpenggal dan gentayangan di langit, berhasil memburu dan
menelan Dewa Chandra. Dia mesti menunggu para lelaki dan anak-anak selesai menakut-
nakuti Kala Rahu dengan gendang bertalu-talu agar Kala Rahu memuntahkan lagi Sang
Bulan.

3
Astronomi membuat dia mengerti mengapa terjadi gerhana. Sejak itu, dia memandang
gerhana sebagai gejala alam yang tidak lagi membuatnya takut. Dia tidak lagi mempercayai
legenda leluhur tentang gerhana, kendati dia juga tidak membuang jauh-jauh kisah Sang Kaal
Rahu. Hanya saja, dia menerima kisah itu sebagai kiasan yang menggambarkan akibat sebuah
pekerjaan yang tidak tuntas.
Kita dapat mencari banyak contoh lain. Guru-guru mempunyai banyak pengalaman mengenai
transformasi cara melihat dan memahami gejala di dalam diri para siswa sesudah, misalnya,
guru menjelaskan mengapa rumput sukar tumbuh di bawah pohon yang sangat rindang dan
tidak terkena cukup sinar matahari.
Ilmu mendidik kita cara berpikir rasional. Ketika cara berpikir itu menjadi sebuah kebiasaan,
kita tidak mudah jatuh ke dalam dogmatisme, takhayul, dan ideologi-ideologi yang tidak
berorientasi pada kebenaran dan hanya untuk kepentingan tertentu.
Apakah rasionalitas itu terpantulkan melalui langkah yang kita ajarkan kepada para siswa,
yakni: catat definisi/teori, lakukan percobaan, amati, simpulkan? Apakah rasionalitas itu
terpantulkan melalui pengumpulan fakta-fakta sehingga sebuah pernyataan menjadi rasional
karena didukung oleh fakta? Apakah ilmu itu rasional karena hasil-hasilnya terbukti berguna
bagi kehidupan sehari-hari?
Sayang sekali jawabannya adalah tidak sepenuhnya demikian. Tentu ini tidak berarti bahwa
kita tidak perlu menginstruksikan kepada siswa untuk melakukan percobaan, mengumpulkan
fakta dan menarik kesimpulan, atau mempelajari hubungan antara sebuah penemuan dengan
kegunaannya dalam hidup sehari-hari. Ilmu terbangun oleh fakta seperti rumah terbuat dari
batu bata. Akan tetapi, seperti tumpukan batu bata bukanlah rumah, kumpulan fakta juga
bukan ilmu. Demikian fisikawan-matematikawan Prancis, Henri Poincaré, menulis dalam
Science and Hypothesis (1908, 141).
Einstein bahkan lebih tegas lagi. Bagi Einstein, tidak ada jembatan yang secara logis
langsung menghubungkan gejala empiris ke prinsip-prinsip teoretis dalam ilmu (dalam Ideas
and Opinion 1954, 226). Tentu saja pernyataan-pernyataan para ilmuwan itu bukannya
hendak mengecilkan arti percobaan dan pengamatan. Ilmu adalah suatu sistem untuk menguji
kesesuaian pikiran-pikiran kita dengan realitas, dan percobaan/pengamatan merupakan satu-
satunya kriteria untuk menguji kesesuaian tersebut. Hanya saja, jalannya sangatlah panjang.

2.1 Nalar Keilmuan


Kendati ilmu kerap disebut sebagai pencarian sistematik akan kebenaran, itu tidak berarti
bahwa nalar keilmuan terperangkap dalam kaidah-kaidah logika formal atau nalar yang kaku.
Kata sistematik menunjuk ke penalaran analitik sederap (coherent) dan taat asas (consistent),
sehingga kaitan antara sekumpulan konsep dan fakta mengemuka secara logis. Sistematik
juga berarti penjalinan secara terpadu hasil-hasil pengamatan/percobaan dengan perenungan
teoretis-intuitif.
Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang alam, ilmuwan kerap
terbentur dengan nalar keilmuan itu sendiri. Nalar itu terbangun dari unsur teoretis dan unsur
percobaan/pengamatan yang membentuk daur induksi-deduksi-validasi. Singkatnya, daur
keilmuan. Tidak sedikit ilmuwan yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk
menggerakkan penelitian yang ia tekuni melalui tahap-tahapan di dalam daur itu.
Jelaslah, bahwa “sistematik” juga dimaksudkan sebagai langkah-langkah yang runtun di
dalam daur itu untuk menemukan hubungan-hubungan inter dan antar gejala, sehingga ilmu
dapat menemukan keterkaitan di antara keragaman peristiwa-peristiwa yang semula tampak

4
tidak saling berhubungan. Teori Newton, contohnya, dapat menjelaskan gerak planet, pasang-
surut air laut, benda jatuh, dan gerak satelit buatan. Sedangkan salah satu kekuatan teori
evolusi Darwin adalah kemampuannya menjelaskan hubungan di antara beragam jenis-jenis
kehidupan yang tersebar di Bumi.
Namun terutama, seperti sudah disinggung di atas, ilmu adalah kebebasan berpikir. Dengan
keleluasaan berpikir, ilmuwan mengajukan pertanyaan, meragukan hal-hal yang semula
dikira sudah pasti, mengembarakan imajinasi, membebaskan pikirannya dari konsep dan
pola-pola yang umum, serta menantang ancangan-ancangan yang sudah baku.
Ilmu juga terbuka terhadap kejutan yang muncul secara intuitif. Penemuan yang berharga
dapat muncul dari peristiwa tidak sengaja – serendipity – seperti dalam kasus demam bersalin
(Ignaz Semmelweis) dan antibiotik (Alexander Flemming). Tentu saja, peristiwa-peristiwa
kebetulan hanya bermakna bagi nalar dan naluri yang siap mengolahnya. Ilmuwan bukan saja
terlatih nalarnya, tetapi juga nalurinya sehingga ia dapat membedakan antara kebetulan yang
bermakna dan yang hampa.

2.2 Naluri Keilmuan


Ketika fisikawan-matematikawan Pierre Duhem menyadari bahwa fakta yang mengemuka
dalam percobaan/pengamatan tidak memadai untuk menunjukkan keunggulan sebuah teori
dibandingkan teori saingannya, dia bertanya-tanya. Langkah apakah yang digunakan
ilmuwan untuk menentukan pilihan atas dua hipotesis atau teori yang sedang dia bandingkan?
Ada beberapa strategi yang biasanya dipakai oleh ilmuwan. Dia dapat mengubah hipotesis
kerja, menyisipkan hipotesis tambahan untuk diuji lagi, menolak bukti dan mencari fakta
baru, dsb. Sungguhpun demikian, sang juri pembuat keputusan pada akhirnya adalah
pertimbangan yang baik atau good sense. Untuk menggambarkan maksudnya, Duhem (The
Aims and Structure of Science 1906 [1954], 253) mengutip kalimat Pascal yang terkenal “hati
memiliki alasan-alasannya sendiri yang sama sekali tidak diketahui oleh nalar”. Di atas
pengetahuan hati dan nalurilah nalar semestinya bertopang.
Kita mengenal good sense dengan banyak nama: intuisi, naluri, mata batin, firasat akan
kebenaran rasional, atau pemahaman langsung-seketika akan kejelasan aksioma, atau prinsip-
prinsip semesta. Berbeda dengan nalar, perenungan intuitif tidak mengenal aturan-aturan
baku. Duhem tentu menyadari bahwa good sense bukanlah urusan yang mudah di dalam
perdebatan teori. Tidak jarang muncul perselisihan yang panjang di antara dua pengikut
sistem yang berbeda. Kedua pihak sama-sama mengaku memiliki pertimbangan yang masuk
akal dan sama-sama dapat menemukan kekurangan lawannya.
Good sense itulah yang memandu Einstein membangun teori relativitas umum (TRU). Dia
tidak terlalu puas dengan teori relativitas khusus (TRK) dan punya firasat bahwa TRK
sebetulnya belum cukup ratah (simple) dan rampat (general). Padahal, di mata banyak
fisikawan pada waktu itu, TRK sudah berhasil menyederhanakan banyak problem fisika.
Hanya dengan menggunakan dua postulat,4 Einstein berhasil menyingkirkan konsep
ruangwaktu mutlak Newton dan menunjukkan bahwa waktu bersifat nisbi terhadap kerangka
acuan pengamat.

4
Postulat pertama adalah “asas kenisbian”: gejala alam berlangsung menurut hukum umum yang
persis sama bagi semua kerangka lembam, terlepas apakah kerangka itu bergerak (nisbi) atau dalam
keadaan rihat (nisbi). Postulat kedua adalah “asas kecepatan rambat cahaya”: cahaya merambat in
vacuo dengan kecepatan tetap, tanpa dipengaruhi gerak sumbernya. Postulat (1) merupakan asas
ekonomi. Jika dilanggar, fisika memerlukan parameter tambahan untuk mengalihkan hukum yang
berlaku di salah satu kerangka acuab ke kerangka acuan yang lain.

5
Tersingkirlah hipotesis eter yang yang memang tidak dapat dilacak. Postulat pertama,
bersama hukum kekekalan energi dan momentum menghasilkan pernyataan bahwa massa
dan energi merupakan wujud fisika yang setara dan mengejawantah secara berbeda. TRK
juga menyulih ruang tiga-matra plus satu-matra waktu dengan malaran ruangwaktu catur-
matra.
Einstein lalu mengajukan asas kenisbian umum dan berhasil membuat massa gravitasi
ekuivalen dengan massa lembam. Akibatnya, materi, gerak dan ruang terpadu secara
sistematik dan gravitasi bukan lagi gaya fisika yang ditambahkan ke dalam ruang, melainkan
geometri atau kelengkungan ruang. Einstein sempat kehilangan kepercayaan terhadap
ancangan awal TRU (surat kepada Erwin Freundlich, 1915). Namun, sesudah sampai ke
perumusan akhir, dia yakin bahwa struktur logis teori relativitas amat ketat dan
kesimpulannya akan dapat diuji.

2.3 Intuisi akan Keindahan


Mengapa ilmuwan menjalankan penelitian mereka dengan kesetiaan yang mengagumkan dan
bahkan kesetiaan yang cenderung keras kepala? Izinkan saya mengutip penjelasan Poincaré
dalam The Value of Science (1905 [2001], 186) dengan cukup panjang di bawah ini,
Ilmuwan tidak mengkaji alam karena berguna; dia mengkajinya karena menggembirakan
hatinya, dan hatinya gembira karena keindahannya. Seandainya tidak indah, tidaklah
alam pantas untuk diketahui, dan seandainya alam tidak pantas diketahui, hidup menjadi
tidak berarti. Tentu saja saya tidak sedang membicarakan keindahan yang tercerap oleh
indra, yaitu keindahan kualitas dan penampakan; bukannya saya menganggap remeh
keindahan tersebut tetapi keindahan semacam itu tidak ada kaitannya dengan ilmu …
yang saya maksudkan adalah keindahan lebih agung yang muncul dari penangkapan nalar
murni akan keselarasan tatanan di antara bagian-bagiannya … Inilah yang memberi
kerangka bagi keindahan yang mempesona indera … keindahan intelektual mencukupi
dirinya sendiri, dan demi keindahan inilah, mungkin lebih daripada demi kebajikan masa
depan umat manusia, para ilmuwan mengabdikan diri bagi kerja yang panjang dan
melelahkan.

Di kalangan fisikawan, persamaan gelombang relativistik Dirac dinilai sebagai salah satu
persamaan yang menakjubkan karena keindahannya. Dirac menemukannya ketika bermain-
main dengan persamaan dan mencari rumusan matematis yang cantik. “Pretty Mathematics”,
demikian ia pernah memberi judul salah satu artikelnya (1981). Dirac ternyata berhasil
merumuskan persamaan yang tidak saja indah, tetapi juga mengandung akibat yang dramatis.
Dia meramalkan adanya antimateri (1931). Intuisi Dirac tidak keliru. Setahun sesudah Dirac
merumuskan persamaannya, Carl Anderson menemukan zarah yang mempunyai sifat sesuai
dengan antimateri dalam sebuah eksperimen sinar kosmik.
Dirac kerap menasihati mahasiswanya agar menimbang persamaan matematika lebih
berdasarkan keindahannya, ketimbang kesesuaian dengan percobaan. Nasihat ini tentulah
bukan tanpa masalah. Apakah ilmu akan maju jika semua mahasiswa yang hadir di kelas
Dirac mengikuti anjurannya? Pemenang Nobel Fisika Steven Weinberg yang pernah hadir di
kelas Dirac mengeluhkan hal itu (1986). Einstein pernah mengkritik teori gravitasi Arthur
Eddington yang indah secara matematis, tetapi tidak bermakna secara fisika. Kendati
menegaskan bahwa hanya teori-teori fisika yang indah yang mau dia terima, Einstein tetap
berpendapat bahwa percobaan merupakan tolok ukur yang penting bagi manfaat fisis sebuah
rumusan matematis.

6
Pertanyaannya, apakah teori yang indah? Mengapa intuisi akan keindahan sering kali di
kemudian hari terbukti di dalam percobaan/pengamatan?
Keindahan di sini kiranya perlu dipahami sebagai nilai dan bukan semata-mata pemaparan
mengenai ciri obyek. Keindahan ada pada tahap abstraksi intelektual. Ambil contoh
persamaan yang dikenal sebagai Euler’s identity, eiπ + 1 = 0. Persamaan ini memenangkan
kontes persamaan paling menakjubkan ketika melalui sebuah jaringan internet Physics World
(2004), Robert Crease dari State University of New York at Stony Brook meminta pembaca
mengirimkan persamaan yang mereka nilai paling anggun.
Jika kita simak, persamaan Euler mengandung sembilan konsep matematika dalam satu
ungkapan sederhana. Ke-9 konsep tersebut adalah empat fungsi aritmatik dasar (eksponen,
perkalian, perjumlahan, sama-dengan) yang menghubungkan lima jenis tetapan (satuan
imajiner i, bilangan real e (2,71828…), π (3,14159…), 1, dan 0). Mengapa itu indah? Tanya
Crease. Salah seorang pembaca menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan retoris,
“adatah yang lebih mistis ketimbang interaksi antara bilangan real dan bilangan imajiner
yang membuahkan ketiadaan?”
Kita dapat juga menyimak persamaan Einstein yang terkenal E = mc2. Persamaan yang
mengemuka secara sederhana ini mengungkapkan hal yang sebelumnya tidak terduga sama
sekali, yaitu materi (m) dan energi (E), dua maujud yang berbeda ternyata merupakan
pengejawantahan yang berbeda dari dua hal yang setara. Persamaan itu merangkum berbagai
bentuk konversi energi sehingga ada energi Matahari, energi yang terlontar dalam ledakan
bom nuklir, sampai ledakan bintang di galaksi-galaksi yang jauh.
Bandingkanlah dengan kaidah darwinisme sosial yang dirumuskan oleh Herbert Spencer,
“survival of the fittest”.5 Ungkapan sederhana Spencer ini digolongkan sebagai ungkapan
yang buruk karena hanya bermakna sesudah melalui penjelasan yang berlapis-lapis. Tanpa
penjelasan berlapis-lapis itu, survival of the fittest tidak menghasilkan pengertian yang baru
alias tautologis: yang terkuat tentulah yang bertahan. Itu jelas dengan sendirinya dan tidak
perlu suatu perumusan keilmuan.
Kriteria keindahan yang kerap disebut ilmuwan adalah kesetangkupan (simetri) kesedarapan
(koherensi) ide, kejernihan konseptual, sifat komprehensif teori, kedalaman tilikan, dsb.
Tentang kesetangkupan, misalnya, terwujud dalam dualitas gelombang-zarah yang
dirumuskan Louis de Broglie λ = h/mv. Rumus ini menjalin sifat gelombang (sisi kiri
persamaan) dan sifat zarah (sisi kanan persamaan) yang ada pada cahaya.
Dalam kesetangkupan ada perpaduan unsur-unsur yang berbeda tetapi setara, sehingga
terbentuk penyatuan yang tertata rapi. Kesetangkupan dalam fisika juga mengemuka ketika
struktur tidak mengalami perubahan walaupun mengalami transformasi berupa rotasi,
pemantulan, atau translasi. Lingkaran lebih setangkup dan ratah dibandingkan segi-4 karena
terhadap lingkaran kita bisa melakukan rotasi dengan sudut berbeda-beda tanpa mengubah
strukturnya.
Di alam, kesetangkupan kita temukan dalam bulir salju, sayap kupu-kupu, hewan
bercangkang, dsb. Biologiwan Ernst Haeckel menerbitkan sketsa dan gambar-gambar yang ia
buat berdasarkan pengamatannya atas berbagai spesimen dalam Kunstforman der Nature (Art
Forms in Nature, 1904; lihat gambar di bawah sebagai contoh).

5
Penting dicatat bahwa ungkapan “survival of the fittest” bukan berasal dari Darwin dan bukan inti
dari teori evolusi. Ungkapan itu bersal dari Spencer yang menerapkan teori Darwin bagi peristiwa-
peristiwa sosial.

7
Narcomedusae Fucoideae Hexactinellae
(sejenis ubur-ubur) (alga) (spons)

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa beberapa persamaan matematika memukau para
ilmuwan karena dengan sedikit simbol, persamaan itu mengubah persepsi kita tentang dunia,
mengintegrasikan alam secara baru dengan cara mendefinisikan ulang maujud-maujud fisika;
baik itu energi dan massa, zarah dan gelombang, maupun geometri dan kelengkungan ruang.

2.4 Adat Istiadat (Etos) Keilmuan


Kesetiaan kepada logika internal ilmu juga melatih kejujuran keilmuan dan memupuk
keberanian mempertahankan kebenaran, serta menumbuhkan sikap kritis termasuk terhadap
temuan-temuannya sendiri. Ilmuwan mengerti bahwa kebenaran keilmuan bersifat sementara.
Jika dia cukup berpengalaman, dia juga mengerti bahwa dia dapat merumuskan pertanyaan
yang tepat, namun belum tentu dia dapat memberikan jawaban yang benar.
Karena digerakkan oleh logika internalnya sendiri, tahap-tahapan di dalam daur keilmuan
tidak memiliki kepastian kapan satu putaran akan selesai. Kadang-kadang kemajuan berjalan
sangat cepat, tetapi tidak jarang ilmuwan tersangkut di salah satu tahap untuk waktu yang
lama.
Karena itu, bukan hanya kejujuran keilmuan yang dituntut di dalam dunia keilmuan,
melainkan juga kebiasaan untuk tidak mengharapkan sukses instan. Di dalam ilmu, dan
apalagi ilmu-ilmu murni, kita tidak dapat berharap ilmuwan dapat menjawab dengan cepat
“apa manfaat praktis dari penelitianmu?”
Mungkin kita masih ingat kisah penemuan zarah Higgs yang secara populer dikenal dengan
sebutan Zarah Tuhan. Peter Higgs menjawab “I have no idea” ketika ditanya wartawan The
Telegraph (Samuel Johnson, 6 Juli 2012), apa manfaat praktis dari penemuan (tanda-tanda
adanya) Higgs boson. Pertanyaan itu wajar karena perburuan zarah itu memakan waktu lebih
dari setengah abad, serta menyerap dana milyaran dollar. Sedemikian abstraknya zarah
tersebut, sampai-sampai David King, penasihat pemerintah Inggris bidang ilmu pernah
menggugat, tidakkah dana sepuluh milyar dollar lebih baik digunakan untuk menangani
dampak perubahan iklim atau penyakit?
Menyangkut penelitian murni, kita perlu berani melepas timbangan serba segera. Ilmu adalah
kesabaran, kata Richard Feynman, pemenang Nobel Fisika tahun 1965, kepada para guru
Amerika Serikat yang tergabung dalam National Science Teachers Association pada tahun
1966 di Kota New York.
Nalar model Bacon yang menekankan ilmu bagi kemaslahatan umat manusia berhasil
memicu revolusi industri di Eropa. Namun, tanpa karya Copernicus, Galileo, Kepler dan
Newton tidak terjadi ‘revolusi’ ilmu yang mendahului dan memungkinkan roda revolusi

8
industri berputar. Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton adalah ilmuwan-ilmuwan imu-
ilmu murni yang percaya bahwa nilai hakiki ilmu terletak dalam upayanya mencari
kebenaran alam.
Nilai itu diterima sebagai keutamaan (virtue) ilmu yang tertinggi – jendela intelektual untuk
memahami alam semesta, terlepas dari apakah mereka dapat menunjukkan kegunaannya atau
tidak. Ilmuwan-ilmuwan yang religius umumnya juga percaya bahwa keutamaan itu akan
membawa mereka untuk mengenali karya Penciptanya. Liber naturae adalah metafora yang
sudah berabad-abad dipakai untuk menggambarkan upaya menemukan Tuhan dengan
membaca alam.

3. Perubahan Cara Pandang: Dari Mesin ke Jaringan


3.1 Alam yang Deterministik dan Mekanistik
Ada dua pokok pikiran yang mendasar yang mengubah cara pandang manusia terhadap alam
dan kehidupan yang dibawa oleh ilmu pengetahuan modern abad ke-17. Pertama, pemilahan
kualitas objek-objek fisika berdasarkan kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer
menunjuk ke kualitas mekanis-geometris objek, yakni terukur, teramati, objektif dan
berdasarkan gerak yang dapat dijelaskan melalui hukum-hukum sebab-akibat. Kualitas
sekunder menunjuk ke hal-hal yang tidak terukur, tidak teramati, subjektif dan merupakan
dapak dari proses-proses fisika yang terukur dan teramati. Pemilahan ini perlu secara
metodologis supaya fisika dapat berjalan. Galileolah yang pertama kali merumuskannya.
Kedua, berkembang cara pandang atomistik yang menjelaskan gejala keseluruhan
berdasarkan bagian-bagiannya. Metafora yang terkenal bagi cara pandang ini adalah alam
yang bekerja bagaikan jam, sementara Tuhan adalah Sang Tukang Jam (ini sebetulnya
ungkapan yang dipakai oleh Leibniz untuk menyindir Newton).
Sesudah pengembangan teori Newton oleh Pierre Marquis de Laplace, tumbuhlah cara
pandang yang memperlakukan alam sebagai mesin yang deterministik. Keberhasilan teori
Newton menjelaskan berbagai gejala di langit dan bumi memicu bidang-bidang ilmu lain
untuk menerapkan cara kerja ilmu-ilmu kealaman. Akibatnya, hampir semua gejala dalam
pelbagai bidang kehidupan diperlakukan sebagai komponen-komponen mesin yang
(semestinya) tunduk pada hukum-hukum yang sudah pasti.
Inilah landasan utama cara pandang mekanistik: realitas terutama ternyatakan melalui materi
dan gerak. Beragam gejala dipahami sebagai akibat tidak terhindarkan dari karakter universal
materi. Segala perkara, entah astronomi entah fisiologi sampai psikologi, sama-sama
diciutkan ke mekanisme hukum alam. Dampaknya adalah determinisme filosofis: jika agihan
materi dan kecepatannya diketahui, masa depan tinggallah masalah perhitungan.
Cara pandang ini terungkap dalam refleksi filosofis Laplace (A Philosophical Essay on
Probabilities, 1886 [1964]) yang membayangkan ada sosok sedemikian cerdas sehingga
“tidak ada lagi ketidakpastian bagi dia, dan masa depan, seperti masa lalau, akan terhampar di
depan matanya” (hlm. 140).
Alam dan kehidupan dipahami sebagai sistem rasional yang dapat dipahami melalui model-
model matematis dan teruji melalu mekanisme yang teramati dan terukur. Kebenaran akhir
dicari semata-mata dalam bukti-bukti empiris. Padahal Newton sendiri secara tersurat
menyatakan bahwa sistem mekanik yang ia bangun bukanlah penjelasan akhir bagi segala
sesuatu.
Bagaimanapun, ilmu adalah revisi tanpa henti.

9
Pada akhir abad ke-19, ketika teori atom mulai berkembang, ilmuwan menyadari bahwa di
dalam kerangka kerja Newton, tidak mungkin beragam macam atom dapat terbentuk. Jika
alam semesta sepenuhnya mengikuti model Newton, semua elektron sudah lama jatuh ke inti
atom. Padahal kehidupan hanya mungkin hadir di dalam kosmos yang kaya akan atom, baik
ragam maupun jumlahnya. Atom dan molekul bukan hanya kunci bagi hadirnya sistem
pendukung kehidupan—planet, melainkan hidup itu sendiri. Atom-atom perlu menata diri
membentuk rantai-rantai molekul yang rumit dengan memanfaatkan aliran energi yang
terdapat dalam berbagai sistem kosmik, mulai dari bintang sampai atmosfer sebuah planet.

3.2 Evolusi Jaringan Kosmik


Model atom yang stabil lahir bersama teori kuantum (1911). Akan tetapi model alam semesta
yang memungkinkan kehidupan hadir secara alami di dalam kosmos baru tersedia dua puluh
tahun kemudian, ketika Lemaître (1927, 1931) berhasil menafsirkan fisika bagi sebuah model
kosmologis. Mula-mula dia merumuskan model alam semesta dinamis sebagai konsekuensi
dari teori relativitas umum Einstein. Lalu dia merujuk ke teori kuantum dan menarik
kesimpulan yang cukup mengejutkan pada masa itu: jika kita kembali ke masa lampau, kita
akan mendapatkan energi seluruh alam semesta terpadatkan ke sebuah kuantum unik.
Kita tahu bahwa kuantum (bentuk tunggal dari kuanta) adalah paket energi terkecil di dalam
interaksi fisika. Ringkasnya, Lemaître mau mengatakan bahwa pada masa yang sangat
lampau alam semesta hanya berupa sebuah noktah ruangwaktu. Teori Big Bang (Dentuman
Besar) berisi pemaparan mengenai pemuaian dan pendinginan noktah ruangwaktu itu.
Artinya, alam semesta mempunyai permulaan serta berevolusi dan mengevolusikan segala
sesuatu yang ada di dalamnya. Sementara evolusi kehidupan di Bumi sudah lebih dulu
dijelaskan melalui teori Darwin.
Di dalam upayanya mempelajari evolusi kosmis, para ilmuwan menemukan banyak sekali
gejala yang tampak sebagai kebetulan. Akan tetapi, bila gejala-gejala tersebut ditelisik lebih
jauh, kebanyakan justru akan tampak ganjil jika semata-mata dipahami sebagai kebetulan.
Fred Hoyle, misalnya, merasa terheran-heran dan takjub ketika menemukan mekanisme
pembentukan inti karbon di pusat bintang.
Pada tahun 1953, Hoyle menghitung bahwa produksi karbon tidak dapat mencapai jumlah
yang cukup banyak jika kebolehjadian pembentukannya tidak dipicu oleh adanya suatu aras
energi tertentu. Adanya aras energi tersebut membuat sintesis inti karbon di pusat-pusat
bintang berlangsung sangat efisien, dan terselamatkan dari pengubahan menjadi oksigen.
Pada tahap berikutnya, aras energi itu tidak ada lagi. Tanpa adanya aras energi yang tepat itu
alam semesta tidak akan mengandung kejerahan karbon dalam jumlah yang cukup untuk
menghadirkan kehidupan. Mengapa ada ketertalaan itu? Suatu kebetulankah?
Pada tahun 1970-an, Stephen Hawking juga menemukan bahwa laju pemuaian alam semesta
berlangsung dengan kecepatan yang ‘pas’. Dia mencoba mengurangi laju pemuaian alam
semesta dengan faktor 10-12 (0,000.000.000.001) pada alam semesta dini yang baru mulai
memuai. Gangguan hipotetis yang sangat kecil itu ternyata mengakibatkan alam semesta
ambruk saat rujinya baru mencapai 1/3.000 dari ukurannya sekarang. Artinya, alam semesta
sudah menciut kembali ketika suhunya masih sekitar 10.000 derajat. Dalam alam semesta
seperti itu, atom-atom tidak dapat bergabung untuk membentuk galaksi, bintang, dan planet-
planet dan kita, sangat boleh jadi, tidak ada di sini.
Ketika ilmuwan mencoba memanipulasi tetapan-tetapan lain yang terkait dengan keempat
interaksi penata kosmos (gravitasi, elektromagnetik, gaya nuklir lemah, gaya nuklir kuat),

10
dampaknya ternyata mengejutkan. Alam semesta kehilangan peluang untuk menjadi seperti
sekadang, apabila salah satu simpul yang menopang jaringannya sedikit saja berubah.
Mengapa interaksi di dalam alam semesta tertala sedemikian halus? Apakah itu semua
merupakan kebetulan belaka?
Tentu ilmuwan tidak hendak gegabah menafsirkan bahwa ketertalaan itu adalah pertanda
bahwa alam semesta memang terbentuk untuk menghadirkan kita. Paling jauh mereka hanya
dapat mengatakan bahwa kita tidak mungkin membangun cara pandang terhadap alam, jika
kita tidak memperhitungkan adanya fakta yang paling mendasar yang tidak mungkin
dibantah: evolusi alam semesta memungkinkan kesadaran hadir. Betapapun indah sebuah
rumusan teori, rumusan itu menjadi tidak berarti jika tidak terkait dengan fakta bahwa ada
kehidupan di dalam alam semesta. Dengan lain kata, kehidupan menjadi syarat batar bagi
ilmu yang akan kita kembangkan.

4. Membangun Gugus Kebiasaan Baru


Perkembangan kosmologi dan fisika abad XX dan XXI mendorong para ilmuwan
mengembangkan gugus kebiasaan baru dalam menjalankan kegiatan keilmuan. Gugus itu
melibatkan keseluruhan cara pandang, cara berpikir, cara melihat masalah, cara menangani
data, cara menarik kesimpulan, dan terutama dalam menentukan kriteria keilmuan.
Salah satu cara pandang yang kini berkembang adalah upaya memahami alam sebagai sebuah
jaringan tersembunyi yang simpul-simpulnya kait kelindan. Alam tidak lagi semekanistik dan
sedeterministik sebagaimana dipahami sebelumnya. Cara pandang ini tidak otomatis
menggugurkan teori Newton. Hanya saja, teori itu tidak lagi dilihat sebagai teori universal
yang berlaku di seluruh alam semesta.
Dalam upaya memahami kosmos sebagai suatu keutuhan itulah, para fisikawan terus bekerja
keras untuk memadukan teori kuantum dengan teori gravitasi. Kedua teori itu kini masih
bekerja secara terpisah, sehingga alam seolah-olah terbagi ke dalam dua kawasan interaksi
yang tidak saling berhubungan. Di satu sisi ada kawasan mikroskopik yang tunduk pada
proses kuantum, dan di lain sisi ada kawasan makroskopik tempat berlakunya hukum-hukum
gravitasi.
Apakah suatu waktu di masa depan cita-cita memadukan teori kuantum dan teori relativitas
akan berhasil? Kita belum tahu.
Proses manusia mengetahui melibatkan keseluruhan caranya mengada di dalam dunia. Ilmu
merupakan salah satu cara manusia menanggapi kerinduannya yang paling purba (dari mana
segala sesuatu berasal?), kecemasannya (kemana semua ini akan menuju dan dimanakah
tempat saya di dunia ini?), cita-citanya (apakah yang dapat saya lakukan di dunia ini?),
kepeduliannya (bagaimanakah saya merawat segala sesuatu di dunia?), dsb.
Dalam upaya menanggapi kerinduan itulah ilmuwan belajar sehingga dia – meminjam
ungkapan kosmologiwan John Archibald Wheeler – menjadi seorang pakar yang melalui
pengalaman amat pahit akhirnya mengetahui kekeliruan-kekeliruan di dalam bidang ilmunya.
Masalahnya adalah bagaimana kesalahan itu mengemuka secepat mungkin sehingga ilmuwan
dapat memperbaikinya. Tidak ada jalan lain, kecuali bertekun menguji terus menerus
pengetahuannya.
Pengujian itu bersifat publik, melalui (1) metode yang dapat dijalankan oleh siapa saja yang
bersedia mempelajarinya, dan melalui (2) proses diskusi di dalam masyarakat keilmuan baik
lewat konferensi, jurnal, seminar, dsb. Pengujian ini merupakan pertanggungjawaban

11
ilmuwan atas penemuan-penemuannya. Dia tidak dapat sewenang-wenang mendaku bahwa
teorinya paling unggul. Masyarakat keilmuanlah yang menilai keunggulan itu.
Bila di dalam pengujian berlangsung kritik, kritik itu bukanlah merupakan persengketaan
pribadi dan tidak dilandasi oleh perasaan saya suka atau tidak suka, saya untung atau rugi.
Bukan berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan personal dan ekonomis tidak ada di dalam
kegiatan keilmuan. Dan bukan juga berarti bahwa tidak ada ilmuwan yang menipu untuk
kepentingan pribadinya. Namun, integritas keilmuan bertopang di atas keberanian
mempertanggungjawabkan setiap penemuan dengan jujur. Itu sebabnya, ketidakjujuran di
dalam dunia ilmu biasanya ditanggapi dengan serius.
Penataan ilmu sebagai pengetahuan publik membuat ilmuwan menerima kondisi dirinya yang
rentan terhadap kekeliruan. Sifat publik juga melatih ilmuwan untuk mengakui bahwa dia
berhutang kepada banyak orang dan kepada masyarakat keilmuan atas penemuan-
penemuannya. Kepada Robert Hooke, dalam sebuah surat pada tahun 1676, Newton
mengakui dengan rendah hati bahwa dia dapat melihat jauh ke depan, karena dia “berdiri di
atas punggung para raksasa”.
Sikap rasional di dalam ilmu merupakan sikap rendah hati untuk menerima bahwa nalar tidak
sanggup menjawab semua permasalahan yang kita hadapi. Dan terutama kesadaran bahwa
ilmu adalah suatu bentuk kerja sama untuk saling mengkritik dan mengoreksi kesalahan.
Sikap rasional, pada akhirnya, terumuskan secara sederhana. “Saya mungkin salah dan Anda
mungkin benar, dan melalui sebuah upaya kita mungkin akan mendekati kebenaran,” tulis
Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies (1992, Ch. 24).

5. Apa yang dapat kita sampai kepada siswa?


Dunia pendidikan sekarang ini semakin disibukkan oleh hal ihwal yang jauh dari pendidikan
itu sendiri. Guru dituntut untuk memproduksi manusia yang unggul dan berdaya saing global,
sampai-sampai kita menjadikan tuntutan itu sebagai tujuan dari pendidikan. Padahal itu
sekadar indikator kecil saja dari keberhasilan pendidikan dalam upaya mentransformasikan
manusia.
Dalam pengertian transformasi itulah terletak makna pendidikan sebagai kebudayaan.
Sebagai kebudayaan, pendidikan menanamkan pengetahuan, adat kebiasaan dan nilai-nilai
dengan harapan luhur bahwa keinsanian seseorang, yang semula meletak bisu sebagai
kesanggupan, menemukan perwujudan yang nyata. Transformasi diri secara utuh, itulah
tujuan pendidikan.
Transformasi itu juga bersifat sosial. Pendidikan menanamkan matriks tindakan sosial ke
dalam matra pengalaman siswa agar mereka membangun kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam
cara melihat, cara merasakan persoalan, cara mengambil keputusan dan bertindak, serta cara
mempertanggunjawabkan itu semua. Kejujuran keilmuan, tanggung jawab, kesabaran,
ketelitian, dll yang sudah saya paparkan di atas adalah bagian dari adat kebiasaan di dalam
dunia ilmu.
Jika kita kembali ke pendidikan sebagai proses transformasi diri, apa peran beragam ilmu
yang diajarkan kepada siswa? Mengapa kita mengajarkan fisika, biologi, kimia, dll? Jawaban
yang populer, tentu saja, demi kompetensi siswa. Jawaban yang lebih pedagogis adalah agar
tersedia landasan yang memadai bagi siswa untuk mengembangkan pengetahuannya ke
tingkat lebih lanjut.
Namun, seperti saya sebut di atas, itu semua adalah penunjuk bagi keberhasilan pendidikan.
Pendidikan adalah proses transformasi diri manusia dalam pelbagai matra sehingga melalui

12
ilmu-ilmu yang dipelajarinya, siswa mengembangkan cara-cara yang rasional untuk
mengenal persoalan-persoalan di sekitarnya.
Di bawah ini saya mencoba meninjau tiga matra manusia, yakni matra intelektual, matra
afektif-emosional, dan matra korporeal, untuk melihat bagaimana pendidikan ilmu-ilmu
kealaman dapat membantu siswa dalam proses transformasi diri.

5.1 Pengembangan Matra Intelektual


Ilmu adalah jalan bagi kita untuk mengenal dan mendekati gejala di sekitar kita beserta
persoalan-persoalannya. Lewat ilmu, kita membatinkan, menjadikan gejala yang kita pelajari
dan kemungkinan jalan keluarnya sebagai bagian dari pengalaman kesadaran kita. Kita sadar
akan cara pandang bidang ilmu tertentu terhadap suatu gejala, dan bagaimana bidang ilmu
lain memandangnya secara berbeda meski belum tentu berlawanan.
Ilmu membantu kita memilah-milah persoalan atau menghubungkannya dengan gejala lain,
serta memilih ancangan untuk menanganinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, proses
mempelajari ilmu melibatkabn upaya menemukan ancangan baru dan kerangka konseptual
baru. Akan tetapi ini baru di tingkat pendidikan tinggi khususnya tingkat doktoral.
Kemampuan memilah dan memilih semacam itulah yang memungkinkan Alexander
Flemming membedakan mana kasus yang bena dan mana yang tidak bena bagi penelitiannya,
ketika tiba-tiba muncul peristiwa-peristiwa tidak sengaja. Ilmuwan yang terlatih nalar
sekaligus nalurinya, punya firasat untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
kendati ia tidak selalu dapat segera membuktikannya.
Itulah matra intelektual diri yang dilatih melalui pendidikan. Siswa dilatih agar semakin peka
terhadap ketaksaan gejala dan semakin tajam analisisnya ketika mencoba mengenali
peristiwa-peristiwa alam di sekitarnya. Dia dilatih untuk bertanya dan bertanya secara kritis.
Semakin tajam pertanyaan-pertanyaannya, semakin baik. Membiarkan siswa dipenuhi rasa
ingin tahu dan terus bertanya adalah kunci dalam pendidikan. Ilmu berkembang karena
pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam benak para ilmuwan.
Lewat pelajaran dan percobaan dalam bidang ilmu tertentu, siswa dilatih memilih konsep dan
metode yang tepat, cara berpikir abstrak, mengembangkan nalar, logika, intuisi, imajinasi,
dan kepekaan berbahasa. Dia juga dilatih agar semakin peka terhadap langkah-langkah
sistematik keilmuan, sehingga dia dapat membedakan mana langkah yang mangkus dan mana
yang kurang mangkus.

5.2 Pengembangan Matra Afektif-Emosional


Manusia lebih daripada sekadar intelektualitasnya. Pembatinan dalam proses belajar juga
dimaksudkan untuk mengasah matra afektif-emosional. Untuk itu, siswa dibiasakan agar
melihat lebih daripada sebatas membaca gejala. Pembatinan berarti dia dapat merasakan
bagaimana persoalan-persoalan yang dia pelajari menimbulkan pelbagai gerak di dalam
batinnya.
Dia mengembangkan imajinasi, membayangkan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan
gejala-gejala yang sedang dia pelajari. Ketika mempelajari gravitasi, dia bukan hanya
menghafal rumus dan definisi, melainkan membayangkan gejala pasang surut air di laut,
tsunami, banjir, gerak satelit di luar angkasa, dls. Dia membayangkan, di manakah dirinya di
tengah-tengah gejala itu? Apakah yang dia rasakan ketika membayangkan dirinya di sana?

13
Mungkin dia takjub, seperti Kepler terpesona oleh laju gerak planet kala mengedari Matahari
sehingga menuangkannya ke dalam tangga nada, dan melahirkan Musik Langit.6 Atau
barangkali dia kecewa, seperti Copernicus yang tidak puas dengan sistem Ptolemeus yang
buruk bagaikan “monster … bertubuh manusia tapi semua anggota tubuhnya datang dari
tubuh yang berbeda-beda dan direkat sembarangan”. Kekecewaan itu membuahkan model
heliosentris (De Revolutionibus, 1543).
Atau, dia merasa gemetar seperti fisikawan cum filsuf ilmu Henri Poincaré, karena ilmu
membuat dia mengerti. Kebenaran ibarat hantu yang berkelibat tapi tidak pernah dapat
dijerat. Apakah itu berarti bahwa harapan kita yang paling berharga dan paling penting
membuat kita bagaikan orang-orang yang mau menjaring angin? keluh Poincaré (The Value
of Science, 1906). Toh Poincaré yakin, pencarian kebenaran tidak pernah boleh berhenti.
Atau dia mungkin berangan-angan seperti Einstein yang membayangkan dirinya mengendarai
seberkas cahaya. Atau seperti Kekulé , yang merumuskan benzena sesudah bermimpi melihat
seekor ular menggigit ekornya sendiri.
Dalam analisisnya yang terkenal, sosiologiwan Max Weber menuturkan dampak nalar
modern terhadap cara pikir masyarakat. Nalar itu menyingkirkan yang magis, yang
menimbulkan pesona, dari dunia. Dunia menjadi kering. Dunia menjadi sekadar sumber daya
yang siap diolah menjadi hal-hal lain yang berguna bagi manusia.
Pesona itu sebetulnya tidak pernah hilang dari dunia dan tidak juga dari ilmu. Pesona itu
hanya hilang dari cara pandang para teknokrat dan birokrat. Malangnya, merekalah yang
menata sistem pendidikan dan membuat kita melupakan kesejarahan ilmu-ilmu dan nilai-nilai
yang dibangunnya. Ilmu bukan sekadar kaidah-kaidah logis dan peraturan-peraturan abstrak.
Ilmu penting bukan hanya karena berguna, tetapi karena bermakna. Ilmu memang tidak dapat
menentukan makna hidup manusia, tetapi ilmu bermakna karena berisi pergulatan intelektual
dan batin manusia dalam memahami gejala dunia. Ilmu bermakna karena ikut menggendong
kantung suka dan duka manusia. Kantung suka duka itulah yang melahirkan beragam
pertanyaan yang memulai gejala keimuan.
Ilmu memang berhasil menyingkirkan dewa-dewi dan peri penguasa langit dan bumi. Akan
tetapi, tugas para penyusun kurikulum dan guru adalah menemukan kembali sukma yang
menggerakkan setiap bidang ilmu, yang sudah disingkirkan oleh dominasi nalar instrumental
(nalar yang semata-mata menjadi alat untuk mencapai tujuan) di dalam sistem pendidikan
kita.
Alam memang merupakan materi yang tidak berjiwa di dalam kajian ilmu-ilmu. Akan tetapi,
pemahaman bagaimana materi yang tanpa jiwa itu bekerja berkait kelindan bukannya tanpa
dinamika yang membuat jiwa ikut menari gembira. Ketika sukma yang datang dari ilmu
dicecap di dalam batin, meminjam ungkapan Thomas Lewis dkk (A General Theory of Love,
2001), muncullah suatu kontradiksi: takjub sekaligus sistematik.
Meskipun Lewis memakainya dalam konteks berbeda, saya pikir ungkapan itu cukup
memadai untuk menggambarkan transformasi aspek afektif-emosional-devosional. Emosi
dan hasrat siswa yang bergerak di dalam batin, yang semula bergejolak tanpa irama,
mengalami penghalusan, penataan dan penajaman. Emosi dan hasrat tidak lagi berupa reaksi-

6
Dari selisih kecepatan tertinggi dan terendah, Kepler (Harmonice mundi, 1618) mendengar
senandung senyap Bumi (mi-fa-mi) – yang nyata meski tanpa suara, “Ketika beberapa planet serentak
berada di posisi ekstrimnya masing-masing, hasilnya adalah sebuah motet … Saturnus dan Jupiter
bersuara bass, Mars tenor, Bumi dan Venus kontra-alto, Merkurius soprano. Pada waktu-waktu
tertentu, keenam-enamnya dapat serentak terdengar”.

14
reaksi impulsif, tetapi rasa merasa yang terkendali. Siswa mulai dengan rasa ingin tahu yang
menggejolak, sehingga dia seperti mau mencoba apa saja. Melalui pendidikan, dia belajar
menata rasa ingin tahunya dan menuangkan ke dalam bahasa yang runtun. Emosi dan
hastranya mengalami transformasi.
Transformasi matra intelektual dan afektif-emosional- devosional juga melibatkan
transformasi pemahaman mengenai kejujuran. Dia mulai dengan belajar kejujuran
mempertanggungjawabkan hasil-hasil belajarnya. Dia melatih hasratnya untuk tidak mencuri
kesuksesan. Dia terbiasa merasakan dan akhirnya percaya, sukses hanya muncul lewat kerja
keras.

5.3 Pengembangan Matra Ketubuhan


Selanjutnya, bagaimanakah siswa mewujudkan gagasan-gagasan yang dia peroleh dalam
proses pendidikan? Inilah matra ketubuhan, dimensi korporeal pendidikan yang meliputi
sekurang-kurangnya daya tahan dan kedisiplinan dalam rangka melaksanakan gagasan-
gagasan yang dia pelajari, kesanggupan bekerja keras (bukan cuma salin-rekat), kenyal
menghadapi kemungkinan kegagalan – yang bukannya tidak lazim dalam hidup, serta
menemukan konteks bagi gagasan yang sudah dipelajari.
Matra ketubuhan ini dilatih antara lain melalui percobaan laboratorium atau meneliti gejala-
gejala di sekitarnya, merumuskan masalah, mengaitkannya dengan apa yang dia pelajari dan
mewujudkan pemahamannya dalam bentuk laporan. Dibutuhkan ketekunan dan kesadaran
yang luar biasa dalam proses percobaan/pengamatan, dan persis di situlah siswa dilatih juga
secara fisik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan bertindak yang sesuai dengan kaidah-
kaidah keilmuan. Siswa juga dilatih untuk bekerja sama dalam pelbagai percobaan dan
pengamatan.
Tantangan terbesar dengan berkembangnya teknologi dunia maya adalah terciutkannya jerih
payah korporeal ini sampai ke tingkat minimum. Banyak orang merasa sudah bekerja keras
hanya dengan menjadi pengumpul informasi lalu dengan murah hati meneruskannya ke
banyak orang lain. Padahal informasi sama sekali bukan pengetahuan. Ironisnya, tidak ada
korelasi antara perkembangan pesat penggunaan teknologi informasi di Indonesia dan
kesejahteraan masyarakat. Ini semakin menunjukkan betapa kita hanyalah masyarakat
pengguna dan penikmat piranti teknologi yang kita datangkan dari luar negeri. Dunia serba
‘klik’ ini, jangan-jangan, menghasilkan komitmen yang juga hanya sebatas meng-klik.
Intinya, transformasi diri hanya terjadi jika melibatkan perubahan pemahaman, keyakinan,
emosi dan hasrat, serta praktik yang menubuh menjadi kebiasaan-kebiasaan bertindak.
Pengetahuan membantu kita hanya ketika menjelma menjadi kebiasaan yang kita praktikkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi beberapa ilmuwan, ilmu juga bukannya tidak mungkin menggerakkan matra spiritual
manusia, mengasah kepekaan spiritualnya. Dalam sebuah artikel mengenai ilmu dan agama
yang dimuat di New York Times Magazine (9 November 1930), Einstein menyebut rasa
merasa itu sebagai religioitas kosmik. Dia percaya, “perasaan religius kosmis adalah motif
yang paling kuat dan paling mulia di dalam penelitian keilmuan”.
6. Penutup
Sebagai guru, kita bertanya setiap hari. Apakah pendidikan yang kita berikan berhasil
membuat siswa penuh perhatian terhadap lingkungannya? Apakah pendidikan itu
menjadikannya lebih cerdas, lebih masuk akal, lebih matang, lebih peduli dan lebih
bertanggung jawab? Melalui pertanyaan-pertanyaan itulah akan terlihat apakah pendidikan

15
berhasil mencerahkan akalbudi, menumbuhkan dan mematangkan kepedulian (compassion)
serta mengasah nurani (conscience).
Pada hemat saya, pendidikan yang menggerakkan naluri dan nurani inilah yang terkubur di
bawah kepanikan menanggapi “globalisasi”. Padahal, di dalam apa yang terabaikan itulah
masa depan kemanusiaan bangsa ini sedang dipertaruhkan. Dan pendidikan dalam bidang
ilmu-ilmu kealaman bukannya tidak berperan dalam upaya memanusiakan manusia.
Kita tentu tidak dapat dan tidak boleh menuntut siswa mengetahui dan memahami ilmu di
luar jangkauan perkembangannya intelektual, emosi dan fisiknya. Kendati demikian, kita
dapat membangun kurikulum pada setiap tahap perkembangan siswa yang senantiasa
membawa cita-cita keilmuan yang melampaui ilmu itu sendiri, yakni cita-cita kemanusiaan.
Untuk memungkinkan hal itu, tugas kita sebagai guru pertama-tama dan terutama adalah
membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap keragaman gejala di sekitarnya. Cara yang
cukup baik untuk merangsang rasa ingin tahu siswa adalah dengan menantang intuisi akal
sehatnya. Lalu kita membiarkan dia bertanya untuk menyelidiki, serta membimbingnya untuk
mengembangkan imajinasi. Baru kemudian kita dapat membawanya ke dalam kerangka pikir
keilmuan yang lebih sistematis dengan menyuguhkan informasi, sehingga dia dapat melihat
pelbagai jalan-jalan kemungkinan untuk menjawab rasa ingin.
Di dalam proses pembimbingan itu, akan sangat manusiawi jika guru pun berani
memperlihatkan bahwa dia bisa salah, dan bahkan menertawakan kesalahannya sendiri lalu
memperbaikinya. Mungkin ada kalanya kita perlu berkata kepada siswa dengan tersenyum,
“saya tidak tahu hal ini secara terperinci tetapi marilah kita bersama-sama mencarinya di
buku … atau di perpustakaan … atau … ”.
Sebagai guru, kita bukan ensiklopedia berjalan yang siap dibuka kapan saja untuk
menyampaikan jawaban-jawaban atas segala rupa masalah yang mengganggu benak siswa.
Kita adalah manusia dan persis itulah pokok paling mendasar yang perlu kita ajarkan dan
contohkan kepada siswa.
Guru-guru menggendong peran yang sangat besar untuk mengajarkan kepada siswa bahwa
tidak ada manusia yang luput dari kekeliruan dan keterbatasan pengetahuan. Meski demikian,
manusia dapat mengembangkan kemampuan untuk mengenali kekeliruan itu dan
memperbaikinya. Itulah ilmu. ***

16

Anda mungkin juga menyukai