Karlina Supelli2
Pengantar
Bayangkanlah Mikolaj Kopernik (1473 - 1543) ketika membangun model tata surya. Jika dia
hanya mengandalkan data astronomi yang ada pada masa itu, sudah barang tentu dia tidak
mempunyai bukti yang langsung dapat menunjukkan bahwa planet-planet berbedar
mengelilingi Matahari. Model Kopernik bahkan bertentangan dengan pencerapan inderawi
dan akal sehat. Sehari-hari, benda-benda langit justru terlihat mengitari Bumi dan itulah yang
dikemukakan oleh Klaudios Ptolemaios, astronomiwan, matematikawan dan ahli geografi
yang hidup di Alexandria antara abad pertama dan kedua.
Apakah yang dilakukan Kopernik? Dia melakukan lompatan imajinasi dan membangun
tilikan yang mengagumkan. Kopernik menganjurkan para pembaca bukunya supaya
membayangkan diri mereka sebagai Aeneas, pahlawan Troya yang berlayar meninggalkan
daratan seraya berujar, “Sementara kita berlayar meninggalkan pelabuhan, daratan serta kota-
kota surut menjauh” (De Revolutionibus orbium coelestium, 1543 [1996], 520).3 Melalui
analogi itulah dia kemudian membayangkan hal-hal yang tidak dapat dia amati langsung
tetapi terkait dengan fakta-fakta yang dapat dia amati. Kopernik tidak sepenuhnya dapat
membuktikan secara empiris konsepsinya mengenai tata surya, tetapi dia percaya bahwa
gagasannya betul.
Melalui laku imajinasi, Kopernik menghadirkan tatasurya sebagai suatu keseluruhan. Lalu
dia merumuskan suatu deduksi matematis di antara parameter-parameter dasar astronomis
(jarak, lintang, bujur), sehingga terbangunlah model yang sistematik, sederap, dan memiliki
daya penjelasan yang melampaui model Ptolemaios. Dalam model Ptolemaios, parameter
gerak planet adalah unsur yang tidak dapat dijelaskan sehingga memerlukan postulat
tambahan. Akan tetapi, dalam model Kopernik, parameter-parameter tersebut merupakan
akibat alami dari sistem heliosentris. Kopernik begitu yakin bahwa modelnya itu sederhana
dan indah, “bola langit dan bintang-bintang terlihat berhubungan secara selaras sehingga
tidak ada bagian dapat diubah tanpa mengganggu seluruh sistem” (1543, 508).
Kata “terlihat” yang saya beri cetak miring di atas tentu bukan berarti tampak langsung
secara inderawi, melainkan merupakan suatu tilikan (insight) yang menunjukkan kemampuan
menemukan hubungan matematis di antara objek-objek yang dia pelajari. Antara lain karena
keselarasan, peratahan dan daya penjelasannya yang tinggi itulah para astronomiwan abad
ke-16 meninggalkan model geosentris Ptolemaios. Gambar di bawah ini memperlihatkan
perbedaan kedua model tersebut.
1
Disampaikan dalam Konferensi Guru Nasional, Jakarta 8 November 2012.
2
Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
3
Nicholas Copernicus, De revolutionibus orbium coelestium, translated by Charles Glenn Wallis in M.
Adler (editor), Great Books of The Western World, Encyclopaedia Britannica Vol. 15 (1996 [1543]), p.
520.
1
Model Ptolemaios bagi gerak planet. Model ini Tata surya model Kopernik yang
memerlukan titik acuan berbeda untuk tiap planet memungkinkan astronom menyusun
lingkaran tambahan untuk menjelaskan gerak planet tata planet dan menghitung orbitnya
(Book X, Ch. 7, Almagest). (Book VI, Ch. X, De Revolutionibus).
Tidakkah Galileo Galilei (1564 - 1642) menyuguhkan fakta melalui teropongnya yang
membuktikan kebenaran sistem heliosentris? Jawabannya adalah tidak, tidak memadai.
Pengamatan Galileo atas perubahan fase Venus melawan sistem Ptolemaios, tetapi tidak
cukup untuk membuktikan bahwa model Kopernik adalah model tata surya yang betul.
Demikian halnya dengan pengamatannya atas bulan-bulan Jupiter. Fakta itu melawan
pernyataan sistem geosentris bahwa semua benda langit mengorbit Bumi dan menantang
pandangan para penganut fisika aristoteles bahwa planet-planet secara hakiki berbeda Bumi.
Meskipun demikian, bukti-bukti itu tidak memadai untuk mendukung gagasan heliosentris.
Kendati Johannes Kepler menggunakan model heliosentris untuk meramalkan transit Venus
pada tahun 1631 dan Isaac Newton merumuskan hukum-hukum gravitasi (1687), konsepsi
bahwa Bumi bergerak baru mendapat dukungan empiris yang kokoh ketika James Bradley
menemukan aberasi cahaya bintang (1725). Sementara perhitungan atas gejala paralax
bintang yang muncul akibat pergeseran posisi Bumi baru berhasil diperoleh pada tahun 1838
oleh Friedrich Bessel.
Apakah itu berarti bahwa Galileo salah dan layak menerima sanksi? Tidak, Galileo tidak
salah dan tidak layak menerima sanksi. Perkaranya pun jauh lebih rumit ketimbang soal salah
atau benar karena melibatkan ketegangan antara penafsiran realis atas ilmu (kebenaran teori)
dan penafsiran instrumental (teori sebagai sarana kalkulasi yang netral: tidak benar/salah).
Bahwa Kepler, Galileo dan Newton serta banyak ilmuwan lain pada abad ke-17 beralih ke
model heliosentris meskipun belum tersedia cukup data empiris, menunjukkan bahwa ilmu
jauh lebih rumit ketimbang semata-mata hubungan antara teori dan fakta.
Jika demikian, apakah ilmu?
2
perguruan tinggi, khususnya pascasarjana. Akibatnya, saya tidak mengetahui banyak ihwal
mengajarkan ilmu-ilmu kealaman kepada siswa. Para gurulah yang –sebagian hadir dalam
diskusi ini – merupakan guru sejati bagi mereka.
Hal-hal yang akan saya sampaikan dalam pertemuan ini lebih merupakan refleksi,
perenungan mengenai ilmu-ilmu kealaman sebagai salah satu cara untuk memandang dan
memahami berbagai gejala di dunia. Dengan lain kata, pemaparan saya bukanlah kiat
langsung tentang bagaimana mengajarkan ilmu-ilmu kealaman di sekolah. Saya akan
mencoba menghaturkan di bagian akhir, nilai-nilai dan kebiasaan apa yang dapat diterapkan
kepada siswa berdasarkan proses mempelajari ilmu-imu kealaman.
“Salah satu cara untuk memahami” berarti, pertama, selain ilmu ada cara-cara lain. Kedua,
“cara memandang” berarti ada jalan-jalan atau metode (metode: meta-hodos: melalui-jalan)
untuk menelisik gejala sehingga orang dapat menjelaskan mengapa gejala tertentu muncul.
Dan ketiga, ilmu membatasi “cara” tersebut hanya menyangkut gejala-gejala di dunia
(ruangwaktu), baik gejala yang tertangkap langsung oleh pencerapan indrawi maupun yang
tidak tertangkap langsung tetapi dapat dilacak keberadaan atau jejak keberadaannya dengan
menggunakan pelbagai instrumen.
Ketiga catatan di atas menandai kesetiaan ilmuwan kepada kejadian, kepada gejala di dalam
dunia. Dia tidak melompati dunia untuk mencari penjelasan mitis, religius, atau lainnya.
Ilmuwan berpegang pada diktum sederhana yang mungkin terdengar angkuh bagi orang
beriman, yakni “tidak ada mukjizat di dalam ilmu”. Kalau ilmuwan itu adalah orang beriman,
tentu bukan berarti bahwa dia tidak percaya bahwa mukjizat dapat saja terjadi. Sejauh
menyangkut ilmu, dia perlu memberlakukan alam semesta bekerja sebagai suatu sistem
tertutup. Penjelasan perlu dia dapatkan hanya dari dalam dunia itu sendiri.
Kendati, tentu saja dia juga mengerti hal yang pernah dikemukakan oleh seorang ahli
matematika, Kurt Gödel, mengenai ketidakmampuan sebuah sistem (logis) tertutup untuk
menjelaskan dirinya sendiri. Ilmuwan sejati mengerti hal itu dan oleh sebab itu ilmuwan
sejati tidak mendaku teori-teori keilmuan sebagai kebenaran yang tidak dapat diganggu
gugat. Sebaliknya, di jantung ilmu bekerja keragu-raguan yang kejam. Sungguhpun teori
relativitas umum sampai hari ini diterima oleh masyarakat fisika sebagai teori yang paling
baik untuk menjelaskan gravitasi, ilmuwan tidak berhenti menguji teori tersebut.
Kenyataan (realitas) sangatlah rumit dan bahkan misterius, sementara daya-daya pemahaman
manusia mempunyai batas. Alam pun kerap ‘bertindak cerdik dan lihai’ – menggunakan
metafora salah seorang fisikawan Inggris. Pada saat ilmuwan mengira teorinya sudah kokoh
dan terdukung banyak data percobaan/pengamatan, muncul gejala yang memaksa dia menilai
kembali teorinya dan bahkan melakukan modifikasi atau mengulang seluruh daur
metodologisnya. Ilmu adalah proses belajar dari kesalahan dan dalam proses itu diperlukan
kebebasan berpikir.
3
Astronomi membuat dia mengerti mengapa terjadi gerhana. Sejak itu, dia memandang
gerhana sebagai gejala alam yang tidak lagi membuatnya takut. Dia tidak lagi mempercayai
legenda leluhur tentang gerhana, kendati dia juga tidak membuang jauh-jauh kisah Sang Kaal
Rahu. Hanya saja, dia menerima kisah itu sebagai kiasan yang menggambarkan akibat sebuah
pekerjaan yang tidak tuntas.
Kita dapat mencari banyak contoh lain. Guru-guru mempunyai banyak pengalaman mengenai
transformasi cara melihat dan memahami gejala di dalam diri para siswa sesudah, misalnya,
guru menjelaskan mengapa rumput sukar tumbuh di bawah pohon yang sangat rindang dan
tidak terkena cukup sinar matahari.
Ilmu mendidik kita cara berpikir rasional. Ketika cara berpikir itu menjadi sebuah kebiasaan,
kita tidak mudah jatuh ke dalam dogmatisme, takhayul, dan ideologi-ideologi yang tidak
berorientasi pada kebenaran dan hanya untuk kepentingan tertentu.
Apakah rasionalitas itu terpantulkan melalui langkah yang kita ajarkan kepada para siswa,
yakni: catat definisi/teori, lakukan percobaan, amati, simpulkan? Apakah rasionalitas itu
terpantulkan melalui pengumpulan fakta-fakta sehingga sebuah pernyataan menjadi rasional
karena didukung oleh fakta? Apakah ilmu itu rasional karena hasil-hasilnya terbukti berguna
bagi kehidupan sehari-hari?
Sayang sekali jawabannya adalah tidak sepenuhnya demikian. Tentu ini tidak berarti bahwa
kita tidak perlu menginstruksikan kepada siswa untuk melakukan percobaan, mengumpulkan
fakta dan menarik kesimpulan, atau mempelajari hubungan antara sebuah penemuan dengan
kegunaannya dalam hidup sehari-hari. Ilmu terbangun oleh fakta seperti rumah terbuat dari
batu bata. Akan tetapi, seperti tumpukan batu bata bukanlah rumah, kumpulan fakta juga
bukan ilmu. Demikian fisikawan-matematikawan Prancis, Henri Poincaré, menulis dalam
Science and Hypothesis (1908, 141).
Einstein bahkan lebih tegas lagi. Bagi Einstein, tidak ada jembatan yang secara logis
langsung menghubungkan gejala empiris ke prinsip-prinsip teoretis dalam ilmu (dalam Ideas
and Opinion 1954, 226). Tentu saja pernyataan-pernyataan para ilmuwan itu bukannya
hendak mengecilkan arti percobaan dan pengamatan. Ilmu adalah suatu sistem untuk menguji
kesesuaian pikiran-pikiran kita dengan realitas, dan percobaan/pengamatan merupakan satu-
satunya kriteria untuk menguji kesesuaian tersebut. Hanya saja, jalannya sangatlah panjang.
4
tidak saling berhubungan. Teori Newton, contohnya, dapat menjelaskan gerak planet, pasang-
surut air laut, benda jatuh, dan gerak satelit buatan. Sedangkan salah satu kekuatan teori
evolusi Darwin adalah kemampuannya menjelaskan hubungan di antara beragam jenis-jenis
kehidupan yang tersebar di Bumi.
Namun terutama, seperti sudah disinggung di atas, ilmu adalah kebebasan berpikir. Dengan
keleluasaan berpikir, ilmuwan mengajukan pertanyaan, meragukan hal-hal yang semula
dikira sudah pasti, mengembarakan imajinasi, membebaskan pikirannya dari konsep dan
pola-pola yang umum, serta menantang ancangan-ancangan yang sudah baku.
Ilmu juga terbuka terhadap kejutan yang muncul secara intuitif. Penemuan yang berharga
dapat muncul dari peristiwa tidak sengaja – serendipity – seperti dalam kasus demam bersalin
(Ignaz Semmelweis) dan antibiotik (Alexander Flemming). Tentu saja, peristiwa-peristiwa
kebetulan hanya bermakna bagi nalar dan naluri yang siap mengolahnya. Ilmuwan bukan saja
terlatih nalarnya, tetapi juga nalurinya sehingga ia dapat membedakan antara kebetulan yang
bermakna dan yang hampa.
4
Postulat pertama adalah “asas kenisbian”: gejala alam berlangsung menurut hukum umum yang
persis sama bagi semua kerangka lembam, terlepas apakah kerangka itu bergerak (nisbi) atau dalam
keadaan rihat (nisbi). Postulat kedua adalah “asas kecepatan rambat cahaya”: cahaya merambat in
vacuo dengan kecepatan tetap, tanpa dipengaruhi gerak sumbernya. Postulat (1) merupakan asas
ekonomi. Jika dilanggar, fisika memerlukan parameter tambahan untuk mengalihkan hukum yang
berlaku di salah satu kerangka acuab ke kerangka acuan yang lain.
5
Tersingkirlah hipotesis eter yang yang memang tidak dapat dilacak. Postulat pertama,
bersama hukum kekekalan energi dan momentum menghasilkan pernyataan bahwa massa
dan energi merupakan wujud fisika yang setara dan mengejawantah secara berbeda. TRK
juga menyulih ruang tiga-matra plus satu-matra waktu dengan malaran ruangwaktu catur-
matra.
Einstein lalu mengajukan asas kenisbian umum dan berhasil membuat massa gravitasi
ekuivalen dengan massa lembam. Akibatnya, materi, gerak dan ruang terpadu secara
sistematik dan gravitasi bukan lagi gaya fisika yang ditambahkan ke dalam ruang, melainkan
geometri atau kelengkungan ruang. Einstein sempat kehilangan kepercayaan terhadap
ancangan awal TRU (surat kepada Erwin Freundlich, 1915). Namun, sesudah sampai ke
perumusan akhir, dia yakin bahwa struktur logis teori relativitas amat ketat dan
kesimpulannya akan dapat diuji.
Di kalangan fisikawan, persamaan gelombang relativistik Dirac dinilai sebagai salah satu
persamaan yang menakjubkan karena keindahannya. Dirac menemukannya ketika bermain-
main dengan persamaan dan mencari rumusan matematis yang cantik. “Pretty Mathematics”,
demikian ia pernah memberi judul salah satu artikelnya (1981). Dirac ternyata berhasil
merumuskan persamaan yang tidak saja indah, tetapi juga mengandung akibat yang dramatis.
Dia meramalkan adanya antimateri (1931). Intuisi Dirac tidak keliru. Setahun sesudah Dirac
merumuskan persamaannya, Carl Anderson menemukan zarah yang mempunyai sifat sesuai
dengan antimateri dalam sebuah eksperimen sinar kosmik.
Dirac kerap menasihati mahasiswanya agar menimbang persamaan matematika lebih
berdasarkan keindahannya, ketimbang kesesuaian dengan percobaan. Nasihat ini tentulah
bukan tanpa masalah. Apakah ilmu akan maju jika semua mahasiswa yang hadir di kelas
Dirac mengikuti anjurannya? Pemenang Nobel Fisika Steven Weinberg yang pernah hadir di
kelas Dirac mengeluhkan hal itu (1986). Einstein pernah mengkritik teori gravitasi Arthur
Eddington yang indah secara matematis, tetapi tidak bermakna secara fisika. Kendati
menegaskan bahwa hanya teori-teori fisika yang indah yang mau dia terima, Einstein tetap
berpendapat bahwa percobaan merupakan tolok ukur yang penting bagi manfaat fisis sebuah
rumusan matematis.
6
Pertanyaannya, apakah teori yang indah? Mengapa intuisi akan keindahan sering kali di
kemudian hari terbukti di dalam percobaan/pengamatan?
Keindahan di sini kiranya perlu dipahami sebagai nilai dan bukan semata-mata pemaparan
mengenai ciri obyek. Keindahan ada pada tahap abstraksi intelektual. Ambil contoh
persamaan yang dikenal sebagai Euler’s identity, eiπ + 1 = 0. Persamaan ini memenangkan
kontes persamaan paling menakjubkan ketika melalui sebuah jaringan internet Physics World
(2004), Robert Crease dari State University of New York at Stony Brook meminta pembaca
mengirimkan persamaan yang mereka nilai paling anggun.
Jika kita simak, persamaan Euler mengandung sembilan konsep matematika dalam satu
ungkapan sederhana. Ke-9 konsep tersebut adalah empat fungsi aritmatik dasar (eksponen,
perkalian, perjumlahan, sama-dengan) yang menghubungkan lima jenis tetapan (satuan
imajiner i, bilangan real e (2,71828…), π (3,14159…), 1, dan 0). Mengapa itu indah? Tanya
Crease. Salah seorang pembaca menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan retoris,
“adatah yang lebih mistis ketimbang interaksi antara bilangan real dan bilangan imajiner
yang membuahkan ketiadaan?”
Kita dapat juga menyimak persamaan Einstein yang terkenal E = mc2. Persamaan yang
mengemuka secara sederhana ini mengungkapkan hal yang sebelumnya tidak terduga sama
sekali, yaitu materi (m) dan energi (E), dua maujud yang berbeda ternyata merupakan
pengejawantahan yang berbeda dari dua hal yang setara. Persamaan itu merangkum berbagai
bentuk konversi energi sehingga ada energi Matahari, energi yang terlontar dalam ledakan
bom nuklir, sampai ledakan bintang di galaksi-galaksi yang jauh.
Bandingkanlah dengan kaidah darwinisme sosial yang dirumuskan oleh Herbert Spencer,
“survival of the fittest”.5 Ungkapan sederhana Spencer ini digolongkan sebagai ungkapan
yang buruk karena hanya bermakna sesudah melalui penjelasan yang berlapis-lapis. Tanpa
penjelasan berlapis-lapis itu, survival of the fittest tidak menghasilkan pengertian yang baru
alias tautologis: yang terkuat tentulah yang bertahan. Itu jelas dengan sendirinya dan tidak
perlu suatu perumusan keilmuan.
Kriteria keindahan yang kerap disebut ilmuwan adalah kesetangkupan (simetri) kesedarapan
(koherensi) ide, kejernihan konseptual, sifat komprehensif teori, kedalaman tilikan, dsb.
Tentang kesetangkupan, misalnya, terwujud dalam dualitas gelombang-zarah yang
dirumuskan Louis de Broglie λ = h/mv. Rumus ini menjalin sifat gelombang (sisi kiri
persamaan) dan sifat zarah (sisi kanan persamaan) yang ada pada cahaya.
Dalam kesetangkupan ada perpaduan unsur-unsur yang berbeda tetapi setara, sehingga
terbentuk penyatuan yang tertata rapi. Kesetangkupan dalam fisika juga mengemuka ketika
struktur tidak mengalami perubahan walaupun mengalami transformasi berupa rotasi,
pemantulan, atau translasi. Lingkaran lebih setangkup dan ratah dibandingkan segi-4 karena
terhadap lingkaran kita bisa melakukan rotasi dengan sudut berbeda-beda tanpa mengubah
strukturnya.
Di alam, kesetangkupan kita temukan dalam bulir salju, sayap kupu-kupu, hewan
bercangkang, dsb. Biologiwan Ernst Haeckel menerbitkan sketsa dan gambar-gambar yang ia
buat berdasarkan pengamatannya atas berbagai spesimen dalam Kunstforman der Nature (Art
Forms in Nature, 1904; lihat gambar di bawah sebagai contoh).
5
Penting dicatat bahwa ungkapan “survival of the fittest” bukan berasal dari Darwin dan bukan inti
dari teori evolusi. Ungkapan itu bersal dari Spencer yang menerapkan teori Darwin bagi peristiwa-
peristiwa sosial.
7
Narcomedusae Fucoideae Hexactinellae
(sejenis ubur-ubur) (alga) (spons)
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa beberapa persamaan matematika memukau para
ilmuwan karena dengan sedikit simbol, persamaan itu mengubah persepsi kita tentang dunia,
mengintegrasikan alam secara baru dengan cara mendefinisikan ulang maujud-maujud fisika;
baik itu energi dan massa, zarah dan gelombang, maupun geometri dan kelengkungan ruang.
8
industri berputar. Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton adalah ilmuwan-ilmuwan imu-
ilmu murni yang percaya bahwa nilai hakiki ilmu terletak dalam upayanya mencari
kebenaran alam.
Nilai itu diterima sebagai keutamaan (virtue) ilmu yang tertinggi – jendela intelektual untuk
memahami alam semesta, terlepas dari apakah mereka dapat menunjukkan kegunaannya atau
tidak. Ilmuwan-ilmuwan yang religius umumnya juga percaya bahwa keutamaan itu akan
membawa mereka untuk mengenali karya Penciptanya. Liber naturae adalah metafora yang
sudah berabad-abad dipakai untuk menggambarkan upaya menemukan Tuhan dengan
membaca alam.
9
Pada akhir abad ke-19, ketika teori atom mulai berkembang, ilmuwan menyadari bahwa di
dalam kerangka kerja Newton, tidak mungkin beragam macam atom dapat terbentuk. Jika
alam semesta sepenuhnya mengikuti model Newton, semua elektron sudah lama jatuh ke inti
atom. Padahal kehidupan hanya mungkin hadir di dalam kosmos yang kaya akan atom, baik
ragam maupun jumlahnya. Atom dan molekul bukan hanya kunci bagi hadirnya sistem
pendukung kehidupan—planet, melainkan hidup itu sendiri. Atom-atom perlu menata diri
membentuk rantai-rantai molekul yang rumit dengan memanfaatkan aliran energi yang
terdapat dalam berbagai sistem kosmik, mulai dari bintang sampai atmosfer sebuah planet.
10
dampaknya ternyata mengejutkan. Alam semesta kehilangan peluang untuk menjadi seperti
sekadang, apabila salah satu simpul yang menopang jaringannya sedikit saja berubah.
Mengapa interaksi di dalam alam semesta tertala sedemikian halus? Apakah itu semua
merupakan kebetulan belaka?
Tentu ilmuwan tidak hendak gegabah menafsirkan bahwa ketertalaan itu adalah pertanda
bahwa alam semesta memang terbentuk untuk menghadirkan kita. Paling jauh mereka hanya
dapat mengatakan bahwa kita tidak mungkin membangun cara pandang terhadap alam, jika
kita tidak memperhitungkan adanya fakta yang paling mendasar yang tidak mungkin
dibantah: evolusi alam semesta memungkinkan kesadaran hadir. Betapapun indah sebuah
rumusan teori, rumusan itu menjadi tidak berarti jika tidak terkait dengan fakta bahwa ada
kehidupan di dalam alam semesta. Dengan lain kata, kehidupan menjadi syarat batar bagi
ilmu yang akan kita kembangkan.
11
ilmuwan atas penemuan-penemuannya. Dia tidak dapat sewenang-wenang mendaku bahwa
teorinya paling unggul. Masyarakat keilmuanlah yang menilai keunggulan itu.
Bila di dalam pengujian berlangsung kritik, kritik itu bukanlah merupakan persengketaan
pribadi dan tidak dilandasi oleh perasaan saya suka atau tidak suka, saya untung atau rugi.
Bukan berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan personal dan ekonomis tidak ada di dalam
kegiatan keilmuan. Dan bukan juga berarti bahwa tidak ada ilmuwan yang menipu untuk
kepentingan pribadinya. Namun, integritas keilmuan bertopang di atas keberanian
mempertanggungjawabkan setiap penemuan dengan jujur. Itu sebabnya, ketidakjujuran di
dalam dunia ilmu biasanya ditanggapi dengan serius.
Penataan ilmu sebagai pengetahuan publik membuat ilmuwan menerima kondisi dirinya yang
rentan terhadap kekeliruan. Sifat publik juga melatih ilmuwan untuk mengakui bahwa dia
berhutang kepada banyak orang dan kepada masyarakat keilmuan atas penemuan-
penemuannya. Kepada Robert Hooke, dalam sebuah surat pada tahun 1676, Newton
mengakui dengan rendah hati bahwa dia dapat melihat jauh ke depan, karena dia “berdiri di
atas punggung para raksasa”.
Sikap rasional di dalam ilmu merupakan sikap rendah hati untuk menerima bahwa nalar tidak
sanggup menjawab semua permasalahan yang kita hadapi. Dan terutama kesadaran bahwa
ilmu adalah suatu bentuk kerja sama untuk saling mengkritik dan mengoreksi kesalahan.
Sikap rasional, pada akhirnya, terumuskan secara sederhana. “Saya mungkin salah dan Anda
mungkin benar, dan melalui sebuah upaya kita mungkin akan mendekati kebenaran,” tulis
Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies (1992, Ch. 24).
12
ilmu-ilmu yang dipelajarinya, siswa mengembangkan cara-cara yang rasional untuk
mengenal persoalan-persoalan di sekitarnya.
Di bawah ini saya mencoba meninjau tiga matra manusia, yakni matra intelektual, matra
afektif-emosional, dan matra korporeal, untuk melihat bagaimana pendidikan ilmu-ilmu
kealaman dapat membantu siswa dalam proses transformasi diri.
13
Mungkin dia takjub, seperti Kepler terpesona oleh laju gerak planet kala mengedari Matahari
sehingga menuangkannya ke dalam tangga nada, dan melahirkan Musik Langit.6 Atau
barangkali dia kecewa, seperti Copernicus yang tidak puas dengan sistem Ptolemeus yang
buruk bagaikan “monster … bertubuh manusia tapi semua anggota tubuhnya datang dari
tubuh yang berbeda-beda dan direkat sembarangan”. Kekecewaan itu membuahkan model
heliosentris (De Revolutionibus, 1543).
Atau, dia merasa gemetar seperti fisikawan cum filsuf ilmu Henri Poincaré, karena ilmu
membuat dia mengerti. Kebenaran ibarat hantu yang berkelibat tapi tidak pernah dapat
dijerat. Apakah itu berarti bahwa harapan kita yang paling berharga dan paling penting
membuat kita bagaikan orang-orang yang mau menjaring angin? keluh Poincaré (The Value
of Science, 1906). Toh Poincaré yakin, pencarian kebenaran tidak pernah boleh berhenti.
Atau dia mungkin berangan-angan seperti Einstein yang membayangkan dirinya mengendarai
seberkas cahaya. Atau seperti Kekulé , yang merumuskan benzena sesudah bermimpi melihat
seekor ular menggigit ekornya sendiri.
Dalam analisisnya yang terkenal, sosiologiwan Max Weber menuturkan dampak nalar
modern terhadap cara pikir masyarakat. Nalar itu menyingkirkan yang magis, yang
menimbulkan pesona, dari dunia. Dunia menjadi kering. Dunia menjadi sekadar sumber daya
yang siap diolah menjadi hal-hal lain yang berguna bagi manusia.
Pesona itu sebetulnya tidak pernah hilang dari dunia dan tidak juga dari ilmu. Pesona itu
hanya hilang dari cara pandang para teknokrat dan birokrat. Malangnya, merekalah yang
menata sistem pendidikan dan membuat kita melupakan kesejarahan ilmu-ilmu dan nilai-nilai
yang dibangunnya. Ilmu bukan sekadar kaidah-kaidah logis dan peraturan-peraturan abstrak.
Ilmu penting bukan hanya karena berguna, tetapi karena bermakna. Ilmu memang tidak dapat
menentukan makna hidup manusia, tetapi ilmu bermakna karena berisi pergulatan intelektual
dan batin manusia dalam memahami gejala dunia. Ilmu bermakna karena ikut menggendong
kantung suka dan duka manusia. Kantung suka duka itulah yang melahirkan beragam
pertanyaan yang memulai gejala keimuan.
Ilmu memang berhasil menyingkirkan dewa-dewi dan peri penguasa langit dan bumi. Akan
tetapi, tugas para penyusun kurikulum dan guru adalah menemukan kembali sukma yang
menggerakkan setiap bidang ilmu, yang sudah disingkirkan oleh dominasi nalar instrumental
(nalar yang semata-mata menjadi alat untuk mencapai tujuan) di dalam sistem pendidikan
kita.
Alam memang merupakan materi yang tidak berjiwa di dalam kajian ilmu-ilmu. Akan tetapi,
pemahaman bagaimana materi yang tanpa jiwa itu bekerja berkait kelindan bukannya tanpa
dinamika yang membuat jiwa ikut menari gembira. Ketika sukma yang datang dari ilmu
dicecap di dalam batin, meminjam ungkapan Thomas Lewis dkk (A General Theory of Love,
2001), muncullah suatu kontradiksi: takjub sekaligus sistematik.
Meskipun Lewis memakainya dalam konteks berbeda, saya pikir ungkapan itu cukup
memadai untuk menggambarkan transformasi aspek afektif-emosional-devosional. Emosi
dan hasrat siswa yang bergerak di dalam batin, yang semula bergejolak tanpa irama,
mengalami penghalusan, penataan dan penajaman. Emosi dan hasrat tidak lagi berupa reaksi-
6
Dari selisih kecepatan tertinggi dan terendah, Kepler (Harmonice mundi, 1618) mendengar
senandung senyap Bumi (mi-fa-mi) – yang nyata meski tanpa suara, “Ketika beberapa planet serentak
berada di posisi ekstrimnya masing-masing, hasilnya adalah sebuah motet … Saturnus dan Jupiter
bersuara bass, Mars tenor, Bumi dan Venus kontra-alto, Merkurius soprano. Pada waktu-waktu
tertentu, keenam-enamnya dapat serentak terdengar”.
14
reaksi impulsif, tetapi rasa merasa yang terkendali. Siswa mulai dengan rasa ingin tahu yang
menggejolak, sehingga dia seperti mau mencoba apa saja. Melalui pendidikan, dia belajar
menata rasa ingin tahunya dan menuangkan ke dalam bahasa yang runtun. Emosi dan
hastranya mengalami transformasi.
Transformasi matra intelektual dan afektif-emosional- devosional juga melibatkan
transformasi pemahaman mengenai kejujuran. Dia mulai dengan belajar kejujuran
mempertanggungjawabkan hasil-hasil belajarnya. Dia melatih hasratnya untuk tidak mencuri
kesuksesan. Dia terbiasa merasakan dan akhirnya percaya, sukses hanya muncul lewat kerja
keras.
15
berhasil mencerahkan akalbudi, menumbuhkan dan mematangkan kepedulian (compassion)
serta mengasah nurani (conscience).
Pada hemat saya, pendidikan yang menggerakkan naluri dan nurani inilah yang terkubur di
bawah kepanikan menanggapi “globalisasi”. Padahal, di dalam apa yang terabaikan itulah
masa depan kemanusiaan bangsa ini sedang dipertaruhkan. Dan pendidikan dalam bidang
ilmu-ilmu kealaman bukannya tidak berperan dalam upaya memanusiakan manusia.
Kita tentu tidak dapat dan tidak boleh menuntut siswa mengetahui dan memahami ilmu di
luar jangkauan perkembangannya intelektual, emosi dan fisiknya. Kendati demikian, kita
dapat membangun kurikulum pada setiap tahap perkembangan siswa yang senantiasa
membawa cita-cita keilmuan yang melampaui ilmu itu sendiri, yakni cita-cita kemanusiaan.
Untuk memungkinkan hal itu, tugas kita sebagai guru pertama-tama dan terutama adalah
membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap keragaman gejala di sekitarnya. Cara yang
cukup baik untuk merangsang rasa ingin tahu siswa adalah dengan menantang intuisi akal
sehatnya. Lalu kita membiarkan dia bertanya untuk menyelidiki, serta membimbingnya untuk
mengembangkan imajinasi. Baru kemudian kita dapat membawanya ke dalam kerangka pikir
keilmuan yang lebih sistematis dengan menyuguhkan informasi, sehingga dia dapat melihat
pelbagai jalan-jalan kemungkinan untuk menjawab rasa ingin.
Di dalam proses pembimbingan itu, akan sangat manusiawi jika guru pun berani
memperlihatkan bahwa dia bisa salah, dan bahkan menertawakan kesalahannya sendiri lalu
memperbaikinya. Mungkin ada kalanya kita perlu berkata kepada siswa dengan tersenyum,
“saya tidak tahu hal ini secara terperinci tetapi marilah kita bersama-sama mencarinya di
buku … atau di perpustakaan … atau … ”.
Sebagai guru, kita bukan ensiklopedia berjalan yang siap dibuka kapan saja untuk
menyampaikan jawaban-jawaban atas segala rupa masalah yang mengganggu benak siswa.
Kita adalah manusia dan persis itulah pokok paling mendasar yang perlu kita ajarkan dan
contohkan kepada siswa.
Guru-guru menggendong peran yang sangat besar untuk mengajarkan kepada siswa bahwa
tidak ada manusia yang luput dari kekeliruan dan keterbatasan pengetahuan. Meski demikian,
manusia dapat mengembangkan kemampuan untuk mengenali kekeliruan itu dan
memperbaikinya. Itulah ilmu. ***
16