Anda di halaman 1dari 24

Makalah

METODE ILMU SOSIAL/HUMANIORA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen pengampu : Drs. Agus Salim, S.Ag, M.Pd.I

Disusun oleh :

1. Muhammad Bahrul Ulum


2. Rahmat Hidaya Tulloh
3. Melidiatul hasanah
4. Firdausiyah
5.Miftahun nuha khairudin

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT
MALANG
Desember, 2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Metode Imu Sosial/Humaniora” ini dengan baik. Sholawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW. yang telah membimbing kami dari jalan kegelapan menuju jalan yang
terang yakni agama Islam.
Makalah ini memuat pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Keislaman UNIRA Malang.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak
yang berperan dalam penyusunan makalah ini. Dengan menggunakan makalah ini
semoga kegiatan belajar dalam memahami materi ini dapat lebih menambah
sumber-sumber pengetahuan. Kami sadar dalam penyusunan makalah ini belum
bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran tentu
kami butuhkan. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipankutipan
yang kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.Amiiiin.

Wassalamualaikum wr wb

MALANG,21 DESEMBER 2022

PENULIS

2
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................ 1

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

Latar Belakang........................................................................................................4
....................................................................................................................................

Rumusan Masalah...................................................................................................8

Tujuan.....................................................................................................................8

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................9

Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia..................................................................9

Sejarah dan perkembangan ilmu humaniora............................................................9

Pengertian humaniora sebagai ilmu.......................................................................12

Dinamika metode untuk ilmu humaniora..............................................................13

Metode Hermeneutika............................................................................................16

BAB III PENUTUP..............................................................................................22

Kesimpulan............................................................................................................22

Saran......................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Humaniora adalah ilmu yang mengkaji tentang hakikat manusia dengan

segala persoalan manusiawi. Tujuannya adalah agar kualitas kehidupan menjadi

lebih baik. Melansir buku Pancasila dalam Pendidikan Humaniora karya

Fransiskus Borgias dkk, humaniora adalah bidang keilmuan yang bertujuan

memanusiakan manusia atau menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi.

Tentunya, fokus utama pada bidang keilmuan ini adalah manusia itu sendiri. Ilmu

humaniora juga mempelajari tentang bagaimana memahami diri serta mewujudkan

martabat dan idealisme tinggi. Berdasarkan fokus atau objeknya, maka dapat

diketahui bahwa ilmu humaniora memiliki konsep dan kajian yang sangat berbeda

dengan ilmu sains. Konsep ilmu humaniora cenderung bersifat hasil abstraksi dari

suatu objek kajian, sebagaimana dikutip dari buku Pendekatan Kualitatif dalam

Penelitian Pendidikan oleh Prof. Dr. A. Mukhadis. Adapun manfaat dari

mempelajari bidang keilmuan humaniora adalah memberikan pengertian dan

pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal-hal yang manusiawi. Humaniora

adalah ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusa lebih

manusiawi, dalam artian membuat manusia lebih berbudaya, seperti teologi,

filsafat, ilmu hukum, ilmu sejarah, filologi, ilmu Bahasa, kesastraan dan ilmu

kesenian, artinya humaniora adalah bentuk perilaku yang menjunjung nilai

4
kemanusiaan yang kakiki akan menghasilkan interpretasi yang memungkinkan

adanya suatu orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama. Ilmu-

ilmu sosial mencakup sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, geografi sosial,

politik bahkan sejarah. Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat diterima di

tengah-tengah kalangan akedemisi, terutama di Inggris. Sciences Sosiale dan

Sozialwissenschaften adalah istilah-istilah yang lebih mengena, meski keduanya

juga membuat “menderita” karena diinterpretasikan terlalu luas maupun terlalu

sempit. Ironisnya, ilmu sosial yang dimaksud sering hanya untuk mendefinisikan

sosiologi, atau hanya teori sosial sintetis. Kenyataan seperti itu pada tahun 1982,

pemerintah Inggris menentang nama Sosial Science Research Council yang

dibiayai negara, mereka mengusulkan kajian-kajian sosial, dan akhirnya dengan

itu disebut Economic and Sosial Research Council. Seiring dengan berjalannya

waktu dan peristiwa sejarah, tidak banyak membantu dalam mengusahakan

diterimanya konsep itu. Ilmu-ilmu sosial tumbuh dari filsafat moral, sebagaimana

ilmu- ilmu alam tumbuh dari filsafat alam. Di kalangan filsuf moral Skotlandia,

kajian ekonomi politik selalu diikuti oleh kajian isu-isu sosial yang lebih luas,

meski tidak disebut sebagai ilmu sosial. Unggulnya positivisme pada awal abad

ke-19 terutama di Perancis, mengambil alih filsafat moral. Sementara teori yang

ditawarkan oleh Dilthey adalah sebuah dikotomi antara erklaren yang berasal dari

ilmu-ilmu alam (naturwissenchaften) dan verstehen yang berasal dari ilmuilmu

sosial (geisteswissenchaften). Pengertian dari erklaren sendiri adalah sikap

positivistik ataupun naturalistik yang menjadi keharusan dalam ilmu-ilmu

pengetahuan alam untuk menentukan kadar ilmiah atau validitas ilmiah dari ilmu

5
pengetahuan. Selanjutnya, sikap ini melahirkan metode yang matematis dan

eksperimental-empiristik. Secara umum dahulu dikenal ada tujuh buah ilmu-ilmu

liberal (septem artes liberales) dan diajarkan dalam dua tingkatan (gradus), yaitu

trivium dan quadrivium. Pada tiga ilmu yang pertama, yang ditekankan adalah

keahlian bernalar, tercakup gramatika, dialektika (sekarang logika), dan retorika.

Selanjutnya, ada tingkatan kedua yang menekankan pada keahlian berhitung, yang

terdiri dari astrologi (sekarang astronomi), geometri, aritmetika, dan musik.Orang-

orang yang mampu bernalar dan berhitung adalah orang-orang bebas karena ia

memiliki dasar kemampuan untuk bertahan hidup di manapun ia berada. Orang-

orang yang mampu bernalar dan berhitung bukan orang-orang yang berbakat

menjadi “tukang”. Mereka adalah orang-orang independen, dalam arti tidak

bekerja atas dasar pesanan atau sekadar mengharapkan upah langsung

sebagaimana dipraktikkan para pandai besi. Tatkala ilmu-ilmu humaniora diadopsi

ke dalam lingkup pendidikan tinggi, ilmu-ilmu ini dipandang penting untuk

diajarkan kepada semua mahasiswa dari jurusan manapun. Itulah sebabnya,

pengajaran humaniora lalu diberi predikat studium generalis. Adopsi atas ilmu-

ilmu ini ke dalam pembelajaran universitas didorong oleh keprihatinan atas

terjadinya alienasi di antara ilmu-ilmu anak (vak) yang mereduksi hakikat

kemanusiaan. Dengan pendidikan, karakter manusia sebagai individu dan sebagai

masyarakat dapat dibentuk dan diarahkan sesuai dengan tuntutan ideal bagi proses

pembangunan. Karakter mencangkup pengertian, kepedulian, dan tindakan

berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional dan perilaku dari

kehidupan moral. Karakter manusia secara individu ini akan memberikan

6
sumbangan besar terhadap pembentukan karakter bangsa yang bermartabat dan

menjadi faktor pendukung bagi proses percepatan pembangunan suatu bangsa.

Pengembangan ilmu pengetahuan juga mengarah pada pembangunan pendidikan.

Pembangunan di bidang Pendidikan merupakan suatu upaya mencerdaskan

kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia. Pembangunan Pendidikan

nasional sangat penting perannya dalam melindungi dan memberi pengawasan

terhadap kegiatan pendidikan agar dapat berjalan sesuai dengan rencana untuk

mencapai tujuan. Dengan menggunakan pendekatan epistimologi yaitu ingin

mengetahui metode dalam suatu ilmu tertentu, dalam makalah ini, penulis akan

mencoba memaparkan beberapa penjelasan dinamika metode yang digunakan

dalam disiplin ilmu humaniora, hingga akhirnya muncul dan berkembang sebuah

metode yang diciptakan oleh Wilhelm Dilthey yaitu metode hermeneutika bagi

ilmu-ilmu humaniora. Penulis memberikan contoh penerapan metode

hermeneutika pada salah satu ilmu humaniora yaitu ilmu sejarah. Meskipun

demikian makalah ini mencoba menelusuri penggunaan metode hermeneutika

pada ilm-ilmu humaniora pada umumnya.

7
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis merumuskan

beberapa masalah yang akan di jawab dalam makalah ini, yaitu :

1. Bagaimana perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia?


2. Sejarah dan perkembangan ilmu humaniora ?
3. Apa pengertian humaniora sebagai ilmu?
4. Bagaimana dinamika metode untuk ilmu humaniora ?
5. Apakah Metode Hermeneutika?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Sejarah dan perkembangan Ilmu Humaniora.
3. Untuk mengetahui pengertian Humaniora sebagai Ilmu.
4. Untuk mengetahui dinamika metode untuk Ilmu Humaniora.
5. Untuk mengetahui Metode Hermeneutika.

8
BAB II PEMBAHASAN

1. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia


Perkembangan ilmu sosial di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
eksakta, Secara historis ilmu-ilmu sosial di Indonesia pada awalnya berasal dari
barat, terutama Belanda, ditinjau dari sisi sejarahnya saat mulai didirikannya
asosiasi seni dan ilmu pengetahuan oleh pemerintah Hindia Belanda bernama
Baraviaascj Genootschap Van Kunsten EN Wtenschaappen. Pada tahun 1942
berdiri Sekolah Tinggi Hukum yang merupakan awal perkembangan ilmu sosial
secara nyata di tingkatan perguruan tinggi bersamaan dengan ilmu eksakta yang
ditandai dengan berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam
pembelajaran akademis di Sekolah Tinggi Hukum berbagai disiplin imu sosial
diajarkan seperti ekonomi, politik dan sosiologi, pada masa itu belum ada ilmu
ekonomi masih tergabung dalam ilmu hukum.

2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Humaniora


Setelah pada abad ke-16 Copernicus menemukan teori heliosentris, persepsi
manusia tentang alam berubah. Hal itu membawa pula perubahan pandangan
tentang manusia. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan Rene Descartes
yang dikenal dengan adagium Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, ia
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya usaha untuk memahami tentang
alam raya, tetapi harus pula memahami tentang diri manusia. Masa renaissance
dipandang sebagai awal kebangkitan dari tidur panjang akibat dogmatisme agama
dengan ciri-ciri utamanya kebebasan, individualistik, rasionalistik, optimistik, dan
kreativitas. Besarnya perhatian terhadap peranan manusia dalam ilmu pengetahuan
dipertegas kembali pada zaman Aufklarung dengan semboyan Sapere Aude!
Beranilah berpikir sendiri.

Pergeseran pandangan yang bercorak antroposentrisme kembali lagi pada


kosmosentrisme pada masa sekarang, bahkan secara ekstrim alam dipahami

9
sebagai sesuatu yang terpisah dari manusia. Koento Wibisono berpendapat bahwa
Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban
dan pemikiran manusia ke dalam tahap theologis, metafisik, dan positivistik. Pada
tahap theologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap
metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap
positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
tahap ketiga itulah aspek humaniora disusutkan ke dalam pemahaman positivistik
yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat
dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode
positivistik. Pada abad ke-20 dnia ilmiah nyaris dikuasai ilmu-ilmu eksak –
meminjam istilah Dilthey natuurwissenschaft, sedangkan Geisteswissenschaft
harus mengekor pada metode ilmiah yang bercorak positivistik.

Menurut Woodhouse, menegaskan bahwa istilah humaniora yang berasal dari


program pendidikan yang dikembangkan Cicero, yang disebutnya humanitas
sebagai faktor penting pendidikan untuk menjadi orator yang ideal. Penggunaan
istilah humanitas oleh Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna dalam
cara lain bahwasanya pengertian umum humanitas berarti kualitas, perasaan, dan
peningkatan martabat humaniora dan lebih berfungsi normatif daripada deskriptif.
Gellius mengidentikkan humanitas dengan konsep Yunani paideia , yaitu
pendidikan (humaniora) yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk
menjadi manusia dan warga negara bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut
dikembangkan menjadi program pendidikan dasariah. Beralih pada zaman
Pertengahan pendidikan humaniora berusaha menyatukan konsep paideia dengan
kekristenan. Ketika memasuki zaman Renaissance para humanist Italia
menghidupkan kembali istilah humanitas, sebagaimana dipakai oleh Cicero, dan
menjadi studia humanitatis, yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan
filsafat. Ketika itu dibedakan antara apa yang dianggap Kekristenan dan apa yang
dianggap secara otentik merupakan esensi humaniora. Oleh karena itu kemudian
berkembang perbedaan antara studi divinitas dan studi humanitatis.

10
Pengertian humanitas kemudian berkembang ke dalam dua makna khusus,
yaitu pertama mengacu pada perasaan humaniora dan tingkah laku yang mengarah
pada hal-hal seperti: kelemahlembutan, penuh pertimbangan, kebajikan. Kedua,
tujuan pendidikan liberal sebagaimana yang diformulasikan John Henry Newman
dalam gagasan tentang sebuah universitas. Humanitas juga mengacu pada
pengembangan intelektual dan pelatihan intelektual atau proses dan tujuan utama
pendidikan liberal.. Pendidikan humaniora dianggap mempunyai fungsi
pengembangan “humanitas” dalam diri manusia. Meskipun pada zaman
Aufklarung humaniora banyak dikritik, tetapi program itu tetap menjadi dasar
pendidikan pada abad 18 dan 19. Pada awal abad 19, ditekankan perbedaan antara
ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam. Dilthey membagi ilmu menjadi dua
kelompok yakni Natuurwissenschaft dan Geisteswissenschaft. Setelah itu
humaniora tidak lagi dipandang sebagai dasar dari program pendidikan, tetapi
lebih-lebih dilihat sebagai dimensi fundamental dari dunia pengetahuan manusia.

Pengertian humanities dewasa ini merupakan sekelompok disiplin pendidikan


yang isi dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga
paling tidak dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial. Kelompok studi humanities
meliputi bahasa, sastra, seni, filsafat, sejarah. Disini inti humanitas kadangkala
ditentukan sebagai sekolah atau bagian dari sebuah universitas moderen.

Bidang humaniora, khususnya di Indonesia sebagaimana halnya ilmu sosial


telah berperan dan menjadi saksi nyata perkembangan fenomenal dari suatu
paradigma baru dalam ilmu-ilmu budaya. Paradigma baru ini mencoba memahami
secara kritis bagaimana gerak budaya, dan dasar kekuatannya terletak pada karya
di balik praktek-praktek budaya. Di Indonesia meskipun unsur-unsur studi budaya
telah membuka atau meratakan jalan masuk ke dalam kurikulum beberapa
program studi di bidang ilmu humaniora dan ilmu sosial, juga aktivitas berbagai
kelompok peneliti independen, namun sebagian besar masih dipahami sebagai sisi
luar dari body of knowledge.

Humaniora pada abad ke-20 mengalami perubahan yang mendalam dalam


sistem pendidikan di Barat dikarenakan beberapa faktor seperti: proliferasi

11
ilmuilmu pengetahuan alam pada abad keduapuluh: perkembangan ilmu
pengetahuan menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan: perkembangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences) dan ilmu-
ilmu sosial yang berbeda dari humaniora atau ilmu-ilmu humaniora.

Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhartiannya pada kehidupan


manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan.
Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam
bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang
suatu objek atas dasar dalili-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif.

Bagi Ignas Kleden yang merujuk pendapat J. Habermas menunjukkan lima ciri
ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai
berikut. Pertama, jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti.
Kedua, ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui
interpretasi, interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas.. Ketiga,
pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan
prapengertian. Pemahaman terjadi apabila tercipta komunikasi antara kedua situasi
tersebut. Keempat, komunikasi tersebut akan menjadi semakin intensif apabila
situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang hendak memahaminya
diaplikasikan kepada dirinya sendiri. Kelima, kepentingan yang ada disini adalah
kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam
komunikasi yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban
yang harus ditaati. Kesimpulannya ilmu humaniora akan menghasilkan
interpretrasi-interpretasi yang memungkinkan adanya suatu orientasi bagi tindakan
manusia dalam kehidupan bersama.

3. Pengertian Humaniora sebagai Ilmu


Humaniora berasal dari bahasa latin artes liberaless yaitu studi tentang
kemanusiaan. Ilmu-ilmu Humaniora merupakan sekumpulan ilmu pengetahuan
yang memusatkan perhatiannya pada sisi hasil kreasi kemanusiaan manusia
(humanities aspects) secara metafisik maupun fisik, meliputi: keyakinan, ide-ide,

12
estetika, etika, hukum, bahasa, pengalaman hidup, dan adat-istiadat. Ilmu
humaniora terdiri dari kata ilmu dan humaniora, ilmu berarti semua pengetahuan
yang tersususun melalui metode-metode keilmuan atau pengetahuan yang
diperoleh sedangkan humaniora diartikan sebagai seperangkat sikap dan perilaku
moral yang dilakukan manusia dengan sesamanya. llmu dan humaniora keduanya
sangat terkait antara satu dengan yang lainnya, karena ilmu membicarakan
manusia sedangkan konsep tentang manusia ialah ingin mewujudkan cita-cita itu
harus tercapai, jadi untuk mewujudkan cita-cita itu harus dengan pendidikan, dan
dengan pendidikan itu baru dapat memanusiakan manusia. Di zaman modern saat
ini ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tumbuh dengan pesat, seiring dengan
perkembangan zaman pula perilaku dalam kehidupan sosial beragam mengarah
pada perilaku positif dan negatif, dewasa ini cukup banyak berita yang menyajikan
tindakan anarkis dan pelanggaran nilai kemanusiaan bahkan sudah menjadi
kebiasaan, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan belum mencapai hasil
maksimal dalam membangun kepribadian bangsa dan sesuai dengan kelima sila
serta norma yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu penting mempelajari
ilmu humaniora sebagai upaya mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang
semakin dilupakan tentunya ilmu humaniora ini berorientasi kepada manusia,
sehingga dengan mempelajari dan menerapkan ilmu kemanusiaan ini dapat
menjalankan kehidupan yang lebih baik sesuai norma yang berlaku antar manusia
itu sendiri. Tentunya hal ini juga memerlukan peran guru. Guru sebagai entitas
strategis dalam upaya membentuk karakter bangsa yang memiliki jati diri dan
bermartabat ditengah bangsa lainnya sangat diperlukan peranannya.

4. Dinamika Metode untuk Ilmu Humaniora


Pada pertengahan abad ke19 sejak August Comte memperkenalkan
positivisme, determinisme metode ilmu kealaman begitu kuat merasuk ke dalam
metode ilmu-ilmu humaniora, ilmu sosial atau ilmu budaya. Keyakinan bahwa
hanya metode ilmu kealaman yang bisa masuk kategori ilmiah, karena mengklaim
objektivitas, membuat homogenisasi metode menjadi begitu kental. Kesadaran
akan kedudukan ilmu-ilmu humaniora dibandingkan dengan ilmu-ilmu empiris

13
lain, setelah zaman teologi dan metafisis tibalah zaman ilmu-ilmu positif (empiris)
yang definitif. Pada tahap pengetahuan positif menurut Comte dimulai dari yang
paling abstrak : matematika, ilmu falak, fisika, kimia, ilmu hayat, fisika sosial
(sosiologi). Semua ilmu dalam keadaan “jadi”-nya seolah-olah ingin mendekatan
ciri deduktif dan kepastian matematika, namun semuanya tak pernah berhasil.
Yang paling berhasil mendekat adalah ialah ilmu falam, dan yang paling jauh
adalah fisika sosial, kendati ilmu ini pun bagan deduktif.

Kecenderungan ini diperkuat ketika ilmu humaniora/humaniora, ilmu sosial


dan ilmu budaya tak kunjung bisa menyelesaikan problem internal perselisihan
metode yang layak disebut ilmiah. Proses homogenisasi dan determinasi
metodologis ini tak lepas dari kesibukan para filsuf untuk selalu berbicara tentang
bagaimana seseorang menyadari keberadaan objek-objek fisik, dan sejauh mana
unsur-unsur subjektif memasuki dan mempengaruhi pengalaman kita tentang
objek fisik tersebut. Seolah-olah objek pengetahuan yang paling penting hanyalah
objek-objek fisik.

Upaya Immanuel Kant untuk memberikan basis epistemologis bagi ilmu


kealaman melalui ketegori-kategori apriorinya menunjukkan betapa pentingnya
proyek metodologis ini. Sebagai akibat dari proses ini, maka ilmu sosial,
humaniora atau budaya banyak menerapkan metode ilmu kealaman, yang
menekankan kuantifikasi, seperti observasi, ekspriment, dan statistik. Tak
dipungkiri bahwa penerapan metode ilmu kealaman yang lebih eksak dan
menekankan kuantifikasi ikut menyumbang beberapa bagian penting
perkembangan dalam ilmu-ilmu humaniora, sosial, atau kebudayaan seperti
sosiologi, psikologi, juga ekonomi.

Munculnya kesadaran dikalangan komunitas ilmuan sosial, humaniora dan


budaya, sebenarnya bukan kesadaran yang tiba-tiba saja muncul. Proses untuk
menyadari problem yang begitu urgen untuk diselesaikan ini sudah muncul lama
pada akhir abad-19 dan awal abad-20 ketika Wilhelm Dilthey (1833-1911)
mencoba untuk membedakan antara dua bidang ilmu pengetahuan yaitu
Geisteswissenschaften (ilmu humaniora) dan Naturwissenschaften (ilmu

14
kealaman). Bagi Dilthey dua bidang ini menuntut pendekatan dan metode yang
berbeda, karena keduanya memiliki objek pembahasan yang berbeda. Ilmu
kealaman berurusan dengan benda-benda fisik, sementara ilmu humaniora ata
humaniora berurusan dengan hidup manusia.

Dilthey merasakan ancaman saintisme yang begitu meluas. Ia begitu


menyadari bahwa ada bidang-bidang yang tidak bisa disentuh dengan metode ilmu
kealaman yaitu kekayaan pengalaman yang bergelora dan dinamis dalam
kehidupan. Bidang ini tidak bisa disentuh dengan penjelasan (erklaren) sebagai
model metodis dalam ilmu kealaman. Bidang ini hanya bisa disentuh dengan
pemahaman (verstehen) dan interpretasi (hermeneutika). Dengan kata lain, Ilmu
kealaman memerlukan metode erklaren, penjelasan atau eksplanasi, sementara
ilmu humaniora memerlukan metode verstehen, pemahaman dan interpretasi
(hermeneutika).

Maka menelusuri kembali pemikiran Wilhelm Dilthey adalah bagian dari


proses penting untuk memahami karakter dasar yang berbeda antara ilmu
kealaman dan ilmu humaniora berikut metode hermeneutikanya. Karena tak dapat
dipungkiri bahwa banyak filsuf dan ilmuan dikemudian hari mengambil inspirasi
dari pemikiran Dilthey tentang metode yang ia tawarkan.

Apabila kategori-kategori apriori diperkenalkan oleh Kant, maka Dilthey


memperkenalkan kategori hidup. Kategori apriori Kant lebih berorientasi
bagaimana menjelaskan kenyataan-kenyataan fisik, sementara kategori hidup dari
Dilthey berpretensi untuk memahami hidup dalam pengalaman yang terstruktur.
Kategori-kategori penting yang ditawarkan oleh Dilthey diantaranya kategori
luardalam, kategori maksud, nilai, makna, kategori keseluruhan-bagian. Namun
kategori ini bukanlah kategori statis dan tetap. Ia semakin bertambah seiring
jalannya proses kehidupan itu sendiri.

Perbedaan ilmu alam dan dan ilmu humaniora secara nyata terletak dalam dua
hal. Pertama, pada objek dan kedua, pada posisi subjek dan objek. Objek
pengetahuan ilmu humaniora adalah manusia berikut kompleksitas jaringan

15
pikiran, kehendak dan tindakannya. Sedangkan posisi subjek dan objek berada
dalam situasi yang saling mempengaruhi. Hal ini sedikit agak berbeda dengan
ilmu alam di mana benda sebagai objek pengetahuan memiliki karakter yang
relatif pasti dan bisa diduga. Posisi objek dalam banyak hal tidak mempengaruhi
subjek dan begitu pula sebaliknya.

Jika Dilthey membicarakan ilmu humaniora maka yang dimaksud adalah ilmu
sejarah, ekonomi, ilmu hukum dan politik, ilmu kesusasteraan, psikologi dan
lainlain. Dilthey membedakan secara tajam antara Naturwissenschaften dan
Geisteswissenschaften. Semua ilmu yang termasuk dalam kategori ilmu alam
seperti biologi, kimia, fisika dan lainnya mempergunakan metode induksi dan
eksperimen. Metode ini lebih bersifat erkleren atau menjelaskan dari pada
verstehen atau memahami. Sedangkan ilmu-ilmu humaniora menuntut pendekatan
yang mampu menembus jantung pengalaman yang hidup dalam setiap objeknya.
Dalam kerangka inilah Dilthey menawarkan hermeneutika sebagai metode bagi
ilmu humaniora.

5. Metode Hermeneutika
Seperti yang telah diungkapkan, metode hermeneutika menurut sejarahnya
telah digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang otoritatif misalnya kitab
suci, kemudian diterapkan di dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis,
sampai akhirnya menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial. Kemudian, sejauh
hermeneutika merupakan penafsiran teks, maka dia juga digunakan di dalam
bidang yang lain, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan sebagainya. Hal tersebut
juga berhubungan dengan kenyataan bahwa ekspresi manusia yang memiliki unsur
penuh makna yang perlu disadari oleh subyek dan yang diubah menjadi sistem
nilai dan maknanya sendiri telah melahirkan “permasalahan hermeneutis” yakni
sebagai proses itu dapat dilakukan, dan bagaimana mengubah makna subjektif
menjadi makna objektif yang ditempuh melalui subjektivitas penafsir (interpreter).

Dalam teori hermeneutika pembaca harus mampu mengisi pemahamannya


dengan keutamaan-keutamaan yang ditemukan dalam pengalaman hidupnya.

16
Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengungkapkan fenomenologi
eksistensi dirinya sendiri. Fenomenologi eksistensi manusia akan selalu
berhubungan dengan makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol,
praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni. Dengan dasar perolehan makna
dari semua sinyal, simbol, praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni, maka
manusia dapat menyusun kembali objective meaning. Teori hermeneutika
berperan penting dalam membantu membongkar suatu ruang lingkup pemikiran
yang tidak terpikirkan menjadi terpikirkan di tengah-tengah upaya memahami
objective meaning.

Dilthey berambisi untuk meyusun sebuah dasar epistemologis bagi ilmu


humaniora, terutama ilmu sejarah. Tantangan yang dihadapi Dilthey adalah
bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah supaya sejajar dengan penelitian
ilmiah dalam bidang ilmu alam. Perbedaan objek kedua ilmu ini cukup mencolok.
Bila ilmu humaniora mengenal dua dimensi eksterior dan interior bagi objeknya,
maka ilmu alam hanya mengenal dimensi eksterior.

Dilthey menganjurkan penggunaan hermeneutika, sebab baginya,


hermeneutika adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan
keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya,
diperlukan bentuk pemahaman yang khusus. Hermeneutikanya Dilthey berkisar
pada tiga unsur yaitu Verstehen (memahami), erlebnis (dunia pengalaman batin)
dan Ausdruck (ekspresi hidup). Ketiga unsur ini saling berkaitan dan saling
mengandaikan.

Erlebnis adalah kenyataan sadar keberadaan manusia dan merupakan


kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan dieksplisitkan. Dalam erlebnis
hidup merupakan realitas fundamental yang teralami secara langsung, sehingga
belum memunculkan pembedaan subjek dan objek. Erlebnis adalah basis
kenyataan bagi munculnya imaginasi, ingatan dan pikiran. Ia ada sebelum ada
refleksi dan sebelum ada pemisahan subjek dan objek.

17
Ausdruck atau ekspresi adalah ungkapan kegiatan jiwa. Ekspresi muncul
dalam berbagai bentuk tindakan. Ada beberapa bentuk ekspresi; Pertama, ekspresi
yang isinya telah tetap dan identik, seperti, rambu-rambu lalu lintas. Kedua,
ekspresi tingkah laku manusia. Tingkah laku ini bisa individual atau serangkaian
tindakan yang panjang. Ketiga, ekspresi spontan, seperti tersenyum, tertawa,
kagum dan seterusnya. Ekspresi ini merupakan ungkapan perasaan yang kadang
dangkal, dan kadang sangat dalam.

Sementara itu verstehen atau pemahaman adalah suatu proses mengetahui


kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indera.
Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain, lewat suatu tiruan
pengalamannya. Dengan kata lain verstehen adalah menghidupkan kembali atau
mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diriku.

Ilmu humaniora, khususnya sejarah, tidak akan memperoleh pengetahuan yang


dicari tanpa mempergunakan verstehen atau pemahaman yang membedakannya
dari ilmu alam. Manusia sebagai objek pengertian dalam ilmu humaniora memiliki
kesadaran. Dan ini memungkinkan bagi penyelidikan tentang alasan-alasan
tersembunyi dibalik perbuatannya yang dapat diamati. Kita dapat memahami
perbuatan dengan mengungkap pikiran, perasaan dan keinginannya. Ilmu
humaniora tidak hanya mampu mengetahui apa yang telah diperbuat manusia
tetapi juga pengalaman batin (erlebnis), pikiran, ingatan, keputusan nilai dan
tujuan yang mendorongnya berbuat.

Perbuatan atau tindakan merupakan ekspresi jiwa manusia, ide dan arti yang
diharapkan oleh individu maupun masyarakat, yang berupa kata, sikap, karya seni
dan juga lembaga-lembaga sosial. Kita akan memahami ekspresi (ausdruck)
dengan menghayati kembali dalam kesadaran kita sendiri, penghayatan yang
menimbulkan ekspresi tadi.

Peneliti ilmu humaniora harus berusaha seperti hidup dalam objeknya, atau
membuat objek hidup dalam dirinya. Dengan penghayatan tersebut akan
memudahkan munculnya verstehen atau pemahaman. Dalam konteks ilmu sejarah,

18
dengan menghayati kembali masa lampau, sejarawan akan memperluas dan
membuat berkembang kepribadiannya, menggabungkan pengalaman pada masa
lalu ke dalam pengalaman masa kini.

Setiap pengalaman baru, menurut isinya ditentukan oleh semua pengalaman


yang sampai pada saat itu kita miliki; sebaliknya, pengalaman baru itu memberi
arti dan penafsiran baru kepada pengalaman-pengalaman lama. Bila seorang
peneliti ingin mengerti perbuatan pelaku sejarah yang berupa ekspresi-ekspresi
(ausdruck), maka ia harus merekonstruksikan kesatuan dan kebersatuannya
dengan pengalaman batin (erlebnis).

Dengan merekonstruksikan pengalaman hidup seorang pelaku sejarah ke


dalam batin seorang peneliti akan dihasilkan efek yang sama seperti halnya pelaku
sejarah mengalaminya pada waktu itu. Verstehen atau memahami adalah kegiatan
memecahkan arti tanda-tanda ekspresi yang merupakan manifestasi hidup atau
hasil kegiatan jiwa. Verstehen adalah proses di mana kehidupan mental diketahui
melalui ekspresinya yang ditangkap oleh panca indera. Walaupun demikian
ekspresi tersebut lebih dari sekedar kenyataan fisik, karena ia dihasilkan oleh
kegiatan jiwa.

Proses memahami dan menginterpretasi seperti yang dikehendaki oleh Dilthey


di atas memerlukan beberapa persyaratan. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi
maka menjadi sulit bagi proses pemahaman dan interpretasi. Persyaratan pertama
adalah bahwa peneliti harus membiasakan diri dengan proses-proses psikis yang
memungkinkan suatu makna. Untuk mengerti tentang kecemasan, cinta, harapan
dibutuhkan kemampuan pengalaman akan hal tersebut. Untuk itu bagi Dilthey,
hermeneutika perlu juga dilengkapi dengan studi psikologi deskriptif. Syarat
kedua adalah pengetahuan tentang konteks. Untuk mengerti suatu bagian
memerlukan pengetahuan tentang keseluruhan. Suatu kata hanya bisa dimengerti
dalam konteks yang lebih luas, demikian juga tindakan manusia juga hanya bisa
dipahami melalui konteks yang lebih luas. Syarat ketiga adalah pengetahuan
tentang sistem sosial dan kultural yang menentukan gejala yang kita pelajari.
Untuk mengerti suatu kalimat harus mengetahui konteks aturan main dalam

19
bahasa yang bersangkutan. Syarat ini berkaitan erat dengan syarat kedua. Studi
tentang satu pemikiran menghendaki konteks karya-karya yang lain, dan studi
tentang karya menghendaki konteks sosial-historis yang lebih luas.

Meskipun orang menyadari keadaaan dirinya sendiri melalui ekspresi orang


lain namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi atau
ungkapan tersebut. Dan hermeneutik hanya akan bekerja jika ekspresi atau
ungkapan-ungkapan tersebut tidak asing atau sudah kita kenal. Jika ungkapan
tidak mengandung sesuatu yang bersifat ganjil atau misteri, maka hermeneutika
menjadi tidak perlu. Demikian juga bila sama sekali asing maka hermeneutika
menjadi tidak mungkin.

Pada satu sisi tidak bisa dihindari bahwa interpretasi terhadap ekspresi untuk
menemukan kebertautannya dengan erlebnis senantiasa melibatkan apa yang
disebut lingkar hermeneutik. Terlalu sulit dideskripsikan secara logis ketat kapan
suatu pemahaman tercapai. Suatu bagian hanya dapat dipahami melalui
keseluruhan, sementara suatu keseluruhan hanya dapat dipahami melalui bagian.
Seorang peneliti hanya dapat memahami pikiran-pikiran hanya dengan menunjuk
situasi yang membangkitkan pikiran itu. Sedang situasi yang membangkitkan
pikiran tersebut hanya dapat dipahami berdasarkan apa yang sudah dipikirkan.

Pemahaman dan makna senantiasa bergantung pada hubungannya dan


merupakan bagian dari situasi. Hal ini selalu terkait dengan perspektif dan situasi
historis. Kenyataan adanya lingkaran dalam proses pemahaman mengungkapkan
bahwa masing-masing bagian mengandaikan yang lain sehingga konsepsi
pemahaman tanpa pengandaian tidak memiliki dasar faktual. Tapi bukan berarti
hermeneutika ini menjadi proses semaunya. Setidaknya Dilthey menekankan
beberapa hal yang bisa dianggap sebagai aturan main sebuah hermeneutika.

Dilthey sangat menekankan “kedekatan batin” yang memberikan ciri khas


pada “pengalaman yang hidup” (Lived experience). Pengalaman inilah yang
menjadi objek sesungguhnya dari hermeneutika. Pengalaman-pengalaman hidup
kita sehari-hari tidak dapat seluruhnya disebut sebagai “pengalaman yang hidup”.

20
Hanya pengalaman yang bisa memberi ‘kedekatan batin’ terhadap masa lalu dan
masa depan saja yang bisa disebut sebagai ‘pengalaman yang hidup’. Untuk
memperoleh interpretasi dan pemahaman dalam ilmu humaniora, khususnya
sejarah, setidaknya ada tiga langkah dalam pengopresian hermeneutika. Pertama,
memahami sudut pandang atau gagasan asli pelaku. Kedua, memahami arti atau
makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan
dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa tersebut berdasarkan gagasan
yang berlaku pada saat peneliti masih hidup.

21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa ilmu humaniora merupakan studi
yang memusatkan perhartiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur
kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan. Humaniora berusaha mencari
makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam bidang humaniora rasionalitas
tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalili-dalil
akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif.

Ketika ilmu humaniora, tak kunjung bisa menyelesaikan problem internal


perselisihan metode yang layak disebut ilmiah, karena semakin disusutkan oleh
metode ilmu-ilmu alam. Proses untuk menyadari problem yang begitu urgen untuk
diselesaikan ini sudah muncul lama pada akhir abad-19 dan awal abad-20 ketika
Wilhelm Dilthey (1833-1911) mencoba untuk membedakan antara dua bidang
ilmu pengetahuan yaitu Geisteswissenschaften (ilmu humaniora) dan
Naturwissenschaften (ilmu kealaman). Menurut Diltehey ilmu humaniora hanya
bisa disentuh dengan pemahaman (verstehen) dan interpretasi (hermeneutika).

Dilthey menganjurkan penggunaan hermeneutika, karena baginya,


hermeneutika adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan
keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya,
diperlukan bentuk pemahaman yang khusus. Hermeneutikanya Dilthey berkisar
pada tiga unsur yaitu Verstehen (memahami), erlebnis (dunia pengalaman batin)
dan Ausdruck (ekspresi hidup). Ketiga unsur ini saling berkaitan dan saling
mengandaikan.

Dari metode hermeneutika inilah nantinya, ilmu humaniora dapat


dibedakan dengan ilmu-ilmu alam sehingga ilmu humaniora pada waktu tertentu
dapat berdiri sendiri tanpa menggunakan cara kerja ilmu-ilmu alam tidak seperti
ketika ilmu ini baru mulai berkembang.

22
B. Saran
Demikianlah makalah yang telah kami buat. Kritik dan saran sangat kami
harapkan, demi perbaikan makalah kami. Jika ada kesalahan harap dimaklumi dan
kami harapkan masukan dari pembaca, karena kesempurnaan hanya milik Allah.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R,. Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern


tentang Filsafat Sejarah. terj. Dick Hartoko, ( Jakarta, Gramedia. 1987).
A.S.P Woodhouse, The Nature of Humanities: Historical Perspective,
(http:/charon.sfsu.edu, diunduh 29 Desember 2012).
Kleden, Ignas., Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES,
1987).
Koento, Wibisono., Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme
Auguste Comte, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983).
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1981).
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cetakan ketiga,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003).
Mustansyir, Rizal, Refleksi Filosofis Atas Perkembangan Ilmu–Ilmu
Humaniora, Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, di unduh 30
Desember 2012.
Poespoprodjo, W., Interpretasi. (Bandung: Remadja Karya, 1987).
Rickman, H.P., Wilhelm Dilthey, Pioneer of The Human Studies. (London : Paul
Elek, 1979) .
Sastraprateja, Filsafat Sebagai Paradigma Ilmu-Ilmu Humaniora, Makalah
disajikan dalam Internship Dosen-dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se- Indonesia,
26 Juli sampai dengan 7 Agustus 1998, Kerjasama Ditjen Dikti Depdikbud dengan
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1998
Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. (Yogyakarta :
Kanisius. 1997).
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Wisarja, I Ketut, Hermeneutika Sebagai Metode Ilmu Humaniora
Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey, Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid
35, Nomor 3, diunduh 30 Desember 2012.
Verhaak, C dan R Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan .(Jakarta:
Gramedia, 1989).

24

Anda mungkin juga menyukai