PROGRAM PASCASARJANA
Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan segala macam nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyalesaikan apa yang sudah seharusnya
menjadi tugas seorang mahasiswa, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pendidikan Islam Wasathiyyah”. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan Nabi kita Nabi Agung Muhammad saw, yang kita nanti-
nantikan syafaatnya kelak di hari akhir. Penulis sangat bersyukur dengan
terselesaikannya makalah ini tepat pada waktunya. Selanjutnya, penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi untuk
menyelesaikan makalah ini. Terutama kepada dosen pengampu mata kuliah
Pendekatan dan Metode Studi Islam yakni Dr. Mukh Nursikin, M.S.I., M.Pd. yang
selalu membimbing sehingga makalah ini telah diselesaikan. Penulis hanya berharap
kritik dan saran yang membangun, karena setiap karya itu tidak lah luput dari kesalahan
dan keliputan, terkecuali karya Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata, semoga makalah
ini nantinya menjadi manfaat bagi penulis dan pembaca dikemudian hari. Amin yaa
robbal ‘alamin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah peradaban Islam, selalu diwarnai dengan pengaruh antara teks
dan konteks. Sebagian kalangan pemikir berpendapat bahwa teks-teks
keagamaan semestinya diaplikasikan dengan konsisten sehingga kemurnia
agama Islam senantiasa terjaga. Di lain sisi, banyak yang mencoba untuk
menggugat teks keagamaan, pihak ini menegaskan bahwa teks tidak lahir dari
ruang kosong, melainkan muncul dari konteks sosial budaya maupun politik
yang mengelilinginya (Fitri, 2015: 45).
Pemahaman tentang Islam moderat juga tidak dapat dilepaskan dari
periodesasi pemikiran di dunia, seperti: zaman klasik, zaman modern, post-
modern dan lain sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pola
Islam moderat diwarnai oleh pola pikir modern atau postmodern? pengaruh apa
yang dibawa oleh modernisme terhadap Islam? apa yang mendasari tata cara
berpikir modern? dan bagaimana sebaiknya muslim menyikapi wacana Islam
moderat?
Di tengah dinamika perkembangan Islam yang ada, muncul beragam
perspektif dan pandangan terkait makna Islam Wasathiyyah. Pembahasan ini
masih menarik, banyak dari berbagai kalangan turut serta dalam mengulasnya.
Berbagai pendekatan dilakukan, bahkan sampai merujuk kepada Al Qur’an dan
Sunnah, hal ini berupaya untuk menguatkan atau merumuskan Islam moderat
sebagai Identitas bersama dalam menangkal dari berbagai ancaman, seperti
halnya radikalisme-fundamentalisme (Dimyati, 2017: 140). Kesadaran bersama
dalam membentuk Islam yang damai menyadari bahwa fenomena kekerasan
yang dilakukan atas nama Islam merupakan salah satu bentuk dari faham
radikalisme Islam yang merupakan hasil dari abad ke-20 di dunia Islam, hal ini
menyebabkan tterjadi perpecahan di dunia Islam. Terpecahnya ini
1
2
B. Perumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan latar belakang di atas, agar pembahasan tidak
meluas, maka dalam penelitian masalah dirumuskan yaitu, pandangan filsafat
dalam memaknai Islam Wasathiyah atau Islam Moderat.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan yang telah dipaparkan, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu, bertujuan untuk
mengetahui pandangan filsafat dalam menafsirkan Islam Wasathiyah atau
Islam Moderat.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Dimensi Filsafat
3
4
Jadi, filsafat memiliki berbagai kegunaan dan fungsi karena filsafat merupakan
dasar dari semua ilmu pengetahuan. Disamping itu, dalam filsafat terdapat
berbagai macam teori dan metode yang bisa digunakan untuk membaca atau
menafsirkan suatu teks maupun konteks.
PEMBAHASAN
A. Hermeneutika Filsafat
Ketika suatu fenomena dilihat dan dibaca seseorang, di sadari atau tidak
akan memunculkan interprestasi terhadap konteks tersebut. Membicarakan
fenomena dan konteks tidak bisa terlepas dati unsur bahasa, Heidegger
menyebutkan bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak dan
memungkinkan terciptanya suatu pembaruan, sejak awal bahasa mempunyai
eksistensi sendir yang di dalamnya, manusia turut serta berpartisipasi
(Eagleton, 2006: 88). Sebagai metode tafsir, hemeneutika menjadikan bahasa
sebagai tema sentral, perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya ketika
munculnya dua aliran hermeneutika yang berlawanan, yaitu Hemeneutika
Intensionalisme dan Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang
makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusun sehingga hanya menuggu
interprestasi penafsir, sedangkan Gadamerian memandang makna itu dicari,
dikonstrujsi, dan direkontruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat
makna teks tidak pernah baku, dan senantiasa berubah tergantung dengan
bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya (Rahardjo, 1999: 55).
Dengan mengutip Nietzsche, Paul Ricoeur menyatakan bahwa hidup
adalah interprestasi, apabila terdapat pluralitas makna, maka di situ dibutuhkan
interprestasi. Terlebih lagi apabila symbol-simbol dilibatkan, interprestasi
menjadi penting sebab terdapat makna yang multilapis. Paul Ricoeur
mengatakan bahwasanya keseluruhan filsafat adalah interprestasi terhadap
interprestasi. Oleh karena itu, filsafat pada dasarnya adalah sebuah
hermeneutic, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang
kelihatan tersimpan suatu makna. Interprestasi adalah upaya untuk
membongkar makna yang masih tersembunyi atau usaha untuk membuka
5
6
lipatan dari tingkatan makna yang terkandung dalam makna suatu konteks
(Sumaryono, 1999: 105).
keseluruhan dari esensi dan elemen materi terintegrasi secara sintetik pada
manusia. Yakni, Allah telah mengumpulkan seluruh esensi dari keseluruhan
unsur materi dalam rangkaian jasad manusia. Allah Swt mengatakan bahwa Ia
telah menciptakan manusia dari debu (turāb) sebagaimana disebutkan dalam
QS al-Ḥajj [22]:5. Debu mengisyaratkan akan materi primer.
ِ ب ِمنَ ْال َب ْع
ٍ ث فَ ِانَّا َخلَ ْقن ُك ْم ِم ْن ت ُ َرا
ب ُ َّٰٓيا َ ُّي َها الن
ٍ اس ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ِف ْي َر ْي
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari debu…”
(QS al-Ḥajj [22]:5).
Ayat di atas mengimplikasikan bahwa keseluruhan potensi esensi alam
semesta telah digabungkan dalam wujud manusia. Oleh karenanya, manusia
dapat mengetahui semua fenomena alam dan menganugerahkannya nama-
nama (asmā); sehingga benaknya dapat menerima konsep-konsep abstrak dan
bentuk-bentuk intelligible (Kerwanto, 2022: 96). Dari uraian singkat tentang
realitas diri manusia ini, maka seluruh proses pendidikan dan kurikulum
pembelajaran harus memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan
dan peningkatan pada dua dimensi manusia tersebut. Sehingga, diharapkan
pendidikan yang diselenggarakan akan berhasil mencetak generasi yang kuat
jasmani maupun ruhaninya, menjadi bangsa yang maju sekaligus menjadi
bangsa yang berperadaban, bermoral.
Umat Nabi Muhammad Saw disebut oleh Al-Qur’an sebagai ummatan waṣaṭan
(QS al-Baqarah [2]: 143) karena tidak berlebihan atau lalai terhadap aspek-
aspek penting kehidupannya. Dengan demikian, substansi istilah ini, bisa
dikatakan, terambil dari ayat-ayat Al-Quran. Banyak tempat dalam Al-Quran
menyebutkan istilah waṣaṭiyyah, sebagai sebuah konsep yang menjembatani
persolan keseimbangan atau keadilan (Fauzi, 2018: 101). Istilah ini juga
diadopsi dari bahasa latin ‘moderatio’ yang berarti sedang, tidak kekurangan
maupun tidak berlebihan (Hasan, 2021: 104). Dari uraian singkat istilah ini,
maka wasatiyyah dapat dipahami sebagai pemahaman atau cara pandang yang
terpuji, yang selalu mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak berlebihan
dalam berfikir, bertindak dan berperilaku sehingga menjadikannya tidak
ekstrim dalam menyikapi segala hal.
9
10
berjudul “Ihya Ulumuddin” ketika membahas sikap para Sahabat Nabi saw
terhadap dunia pada Bab Zuhud, al Ghazali mengatakan: “bahwa para sahabat
tidak bekerja di dunia untuk dunia tetapi untuk agama, para sahabat tidak
menerima dan menolak dunia secara keseluruhan atau secara mutlak. Sehingga
mereka tidak ekstrem dalam menolak dunia dan menerima, tetapi mereka
bersikap antara keduanya secara seimbang, itulah keadilan dan pertengahan
antara dua sisi yang berbeda dan inilah sikap yang paling dicintai oleh Allah
Swt (Arif, 2023: 30-31). Al-Ghazali melihat bahwa kehidupan ideal dalam
mengaktualisasikan ajaran Islam dengan jalan pertengahan, seimbang dan adil
atau proporsional antara dunia dan akhirat, antara rohani dan jasmani, antara
materi dan spriritual.
Wasathiyah bukanlah pemikiran Islam yang berorientasi budaya negeri-
negeri tertentu, sekte-sekte tertentu, madzhab-madzhab tertentu, jama’ah-
jama’ah tertentu atauapun karena zaman tertentu, namun moderasi Islam adalah
hakikat ajaran Islam pertama kali yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw,
sebelum dicemari oleh pemikiran-pemikiran, dicampuri bid’ah, dipengaruhi
perbedaan pendapat dalam tubuh umat, diterpa pandangan arah dan sekte Islam
yang diwarnai oleh ideology asing. Al-Qardhawi dapat dikataka sebagi bapak
moderasi Islam modern. Qardhawilah merupakan ulama pertama di zaman
modern yang memperkenalkan kembali ajaran moderasi Islam. Manhaj dan
pemikiran Islam tentang wasathiyah tidak boleh dibelokkan lagi kepada arah
yang lain seperti liberalism dan sebagainya.
Al-Qardhawi merupakan ulama kontemporer yang layak disebut
sebagia bapak modersi Islam era modern, dan layak untuk menjadi rujukan
moderasi Islam yang tepat. Qardhawi adalah ulama abad 21 yang paham
terhadap maqashid syari’ah dan thuruq Istinbath Nushus Syari’ah di era
modern. Selain itu, Qardhawi konsisten dalam pemikiran Islam moderatnya
sehingga bisa berijtihad menjawab segala problematikan dan isu keislaman
kontenporer dalam bingkai al-Qur’an dan as-Sunnah lalu disinergikan dengan
12
konsisi umat Islam era modern (Arif, 2023: 39-41). Dalam moderasi beragama,
sudah seharusnya tidak memandang sautu problem hanya denga menggunakan
satu landasan dasar, namun diperlukan juga landasan-landasan, kerangka
perpikir dan fenomena-fenomena yang lain supaya tercipta suatu moderasi dan
terciptanya Islam moderat.
Melihat realitas telah mengkristalnya esensi yang terdapat di dalam
konsepsi Islam wasathiyah, banyak kalangan yang terpanggil untuk menggali
dan memaknai konsepsi Islam wasathiyah dalam berbagai perspektif. Konsep
Islam wasathiyah sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, khususnya di Indonesia yang
merupakan negara majemuk. Dengan begitu, edukasi dan sosialisasi untuk
mengenalkan dan mengimplemetasikan makna yang tersurat serta tersirat
dibalik konsepsi Islam wasathiyah ini penting untuk direalisasikan. Urgensinya
untuk menciptakan karekter dan kepribadian yang lebih harmonis dan toleran
terhadap seluruh manusia secara umumnya. Dengan karakter yang lebih
harmonis dan toleran, maka keharmonisan dan kedaiman dalam tatanan
kehidupan bebangsa, bernegara, dan bermasyarakat dapat diciptakan secara
bersamaan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan global yang terjadi diseluruh duniat, terutama di
kawasan Timur Tengah yang penduduknya mayoritas muslim menunjukkan
fenomena negative terhadap ajaran Islam yang cinta damai dan toleran. Konflik
bersenjata antar umat Islam yang berbeda pahama tau aliran, kekerasan antara
pemerintah negara-negara Islam menimbulkan banyak kerusakan dan
kehancuran.
Apabila dikaji lebih mendalam, semua permasalahan yang terjadi tidak
terlepas dari pendidikan. Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah pendidikan
yang berlandaskan pada al-Qur’an dan as-sunnah. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi merupakan akibat dari misunderstanding atau kesalahan dalam
memahami suatu teks maupun konteks ajaran Islam itu sendiri. Bahkan secara
salah kaprah, Islam wasathiyah yang bermakna moderat digunakan untuk
mengkategorikan orang yang bertindak dan pikir secara liberal dalam
beragama. Sementara sekelompok orang yang konsisten menjalankan ajaran
Islam justru dianggap tidak moderat (wasathiyah).
Dalam penafsiran mengenai wasathiyah memang banyak terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama maupun pemikir Islam, hal ini karena
dalam setiap penafsiran seseorang akan dipengaruhi dengan kejadian atau
fenomena sekitar yang secara tidak langsung akan mendorong konsep berpikir
seseorang mengenai suatu hal dalam hal ini moderat (wasathiyah). Filsafat
mengajarkan dalam menafsirkan suatu teks maupun konteks dengan
menggunakan suatu metode. Metode yang lazim digunakan adalah
hermeneutika. Hermenutika, khusunya hermeneutika gadamerian memandang
makna itu dicari, dikonstrujsi, dan direkontruksi oleh penafsir sesuai konteks
penafsir dibuat makna teks tidak pernah baku, dan senantiasa berubah
13
14
B. Saran
Penulis berharap nantinya ada pihak lain yang melakukan penelitian
lebih mendalam lagi mengenai Epistemologi Islam Wasathiyah dalam
pendidikan Islam. Penulis berharap semakin banyak kajian-kajian tentang
pokok bahasan mengenai Islam Wasathiyah yang lebih mendalam, sehingga
kajian keilmuan selalu ada penyegaran. Dimulai dari lingkungan Program
Pascasarjana Pendidikan Agama Islam, untuk menambah literature di UIN
Salatiga yang kemudia dapat diakses secara publik.
Akhirnya, sebagai penyusun makalah yang sederhana ini, penulis
mengahrapkan partisipasi pembaca. Saran dan Kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan, serta penulis berharap dengan makalah yang
sederhana ini mampu memberikan manfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan
bagi para pembaca yang memiliki ketertarikan terhadap kajian-kajian keilmuan.
Selanjutnya diharapkan bagi penulis untuk lebih memperkaya bahan denfan
membaca dan memahami tentang Islam Wasathiyah yang berkaitan dengan
pendidikan Islam, karena makalah ini masih jauh dari sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Anwarudin, U. K. (2020). Analisis Implementasi Pendidikan Islam Wasathiyah dalam
Mengembangkan Pemikiran Holistik Mahasiswa. Jurnal At-Tadbir: Media
Hukum Dan Pemikiran, 30(2), 113–128.
15
16
Warsito, L. C., & dkk. (2016). Pengantar Filsafat. Surabaya: UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA Press.