Anda di halaman 1dari 19

EPISTIMOLOGI WASATHIYAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Islam Wasathiyyah

Disusun dan Dipersembahkan Oleh:


C Adhi Nugroho 12010230019

PROGRAM PASCASARJANA

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SALATIGA


2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan segala macam nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyalesaikan apa yang sudah seharusnya
menjadi tugas seorang mahasiswa, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pendidikan Islam Wasathiyyah”. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan Nabi kita Nabi Agung Muhammad saw, yang kita nanti-
nantikan syafaatnya kelak di hari akhir. Penulis sangat bersyukur dengan
terselesaikannya makalah ini tepat pada waktunya. Selanjutnya, penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi untuk
menyelesaikan makalah ini. Terutama kepada dosen pengampu mata kuliah
Pendekatan dan Metode Studi Islam yakni Dr. Mukh Nursikin, M.S.I., M.Pd. yang
selalu membimbing sehingga makalah ini telah diselesaikan. Penulis hanya berharap
kritik dan saran yang membangun, karena setiap karya itu tidak lah luput dari kesalahan
dan keliputan, terkecuali karya Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata, semoga makalah
ini nantinya menjadi manfaat bagi penulis dan pembaca dikemudian hari. Amin yaa
robbal ‘alamin.

Salatiga, 11 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian................................................................................................ 2
BAB II KAJIAN TEORI
A. Dimensi Filsafat ................................................................................................. 3
B. Pendidikan Islam Wasathiyah ............................................................................ 4
BAB III PEMBAHASAN
A. Hermeneutika Filsafat ........................................................................................ 5
B. Basis-Basis Moderasi dalam Epistimologi ........................................................ 6
C. Wasathiyah dalam Epistimologi Pendidikan Islam ............................................ 7
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN HERMENEUTIKA ATAS ISLAM
WASATHIYAH/ MODERAT
A. Hermeneutika Islam Wasathiyah ........................................................................ 9
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 13
B. Saran ................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah peradaban Islam, selalu diwarnai dengan pengaruh antara teks
dan konteks. Sebagian kalangan pemikir berpendapat bahwa teks-teks
keagamaan semestinya diaplikasikan dengan konsisten sehingga kemurnia
agama Islam senantiasa terjaga. Di lain sisi, banyak yang mencoba untuk
menggugat teks keagamaan, pihak ini menegaskan bahwa teks tidak lahir dari
ruang kosong, melainkan muncul dari konteks sosial budaya maupun politik
yang mengelilinginya (Fitri, 2015: 45).
Pemahaman tentang Islam moderat juga tidak dapat dilepaskan dari
periodesasi pemikiran di dunia, seperti: zaman klasik, zaman modern, post-
modern dan lain sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pola
Islam moderat diwarnai oleh pola pikir modern atau postmodern? pengaruh apa
yang dibawa oleh modernisme terhadap Islam? apa yang mendasari tata cara
berpikir modern? dan bagaimana sebaiknya muslim menyikapi wacana Islam
moderat?
Di tengah dinamika perkembangan Islam yang ada, muncul beragam
perspektif dan pandangan terkait makna Islam Wasathiyyah. Pembahasan ini
masih menarik, banyak dari berbagai kalangan turut serta dalam mengulasnya.
Berbagai pendekatan dilakukan, bahkan sampai merujuk kepada Al Qur’an dan
Sunnah, hal ini berupaya untuk menguatkan atau merumuskan Islam moderat
sebagai Identitas bersama dalam menangkal dari berbagai ancaman, seperti
halnya radikalisme-fundamentalisme (Dimyati, 2017: 140). Kesadaran bersama
dalam membentuk Islam yang damai menyadari bahwa fenomena kekerasan
yang dilakukan atas nama Islam merupakan salah satu bentuk dari faham
radikalisme Islam yang merupakan hasil dari abad ke-20 di dunia Islam, hal ini
menyebabkan tterjadi perpecahan di dunia Islam. Terpecahnya ini

1
2

mengakibatkan umat Islam mengalami terkikisan dalam ikatan agama dan


moral yang selama ini dipegang teguh (Niam, 2019: 92).
Islam Wasathiyah atau ummah wasat mendapat tantangan serius dari
berbagai proses penafsiran terhadap doktrin tentang agama. Warisan intelektual
masa lalu yang ditinggalkan oleh kaum spiritualis meninggalkan peluang bagi
lahirnya pemahaman yang berbeda dan juga bertentangan. Proses penafsiran
nash yang tidak terbebas dari konteks tujuan politik kolektif dan dinamika
sosial politik, melatar belakangi munculnya perbedaan pandangan mengenai
Islam Wasathiyah pada dua arah belawanan yang bertentangan, fundamental-
liberal. Kata wasat yang ditafsirkan sebagai ‘yang terbaik dan terpilih’
memunculkan bangkitnya tujuan untuk melahirkan identitas keislaman secara
lebih nyata dan tegas dalam kehidupan sosial-politik (Dimyati, 2017: 148).
Ditengan masyarakat modern yang ramai dengan konsep moderasi
beragama, dalam konteks ini dirasa penting masyarakat modern memahami
makna dari konsep moderasi beragama layak untuk dieksplorasi secara lebih
mendalam lagi. Karena itu, penulis bermaksud mengankat tema tersebut
menjadi bahan kajian penelitian ini.

B. Perumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan latar belakang di atas, agar pembahasan tidak
meluas, maka dalam penelitian masalah dirumuskan yaitu, pandangan filsafat
dalam memaknai Islam Wasathiyah atau Islam Moderat.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan yang telah dipaparkan, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu, bertujuan untuk
mengetahui pandangan filsafat dalam menafsirkan Islam Wasathiyah atau
Islam Moderat.
BAB II

KAJIAN TEORI
A. Dimensi Filsafat

Menurut sejarah, filsafat atau philosophia pertama kali digunakan oleh


Phytagoras (sekitar abad ke-6 SM). Philosophia diartikan sebagai “pecinta
kebijaksanaan (lover of wisdom). Sebelum Phytagoras memberikan pengertian
terhadap filsafat, orang-orang sebelumnya menyatakan bahwa sesorang
ilmuwan adalah juga seorang filsuf. Filsafat dianggap hanya berfokus pada
ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan itu Phytagoras meberikan peryatakan
yang kemudian dijadikan arti dari filsafat, yaitu “manusia adalah pencari
kebijaksanaan (filsuf) dan Tuhanlah yang memiliki kebijaksanaan (wisdom)
(Warsito & dkk, 2016: 3-4). Seorang filsuf bukanlah pemilik kebijaksanaan
atau kebijaksanaan itu sendiri, melainkan seorang filsuf adalah pencari
kebijaksanaan.
Secara etimologi, filsafat merupakan padanan kata falsafah (bahasa
Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), yang berasal dari bahasa Yunani
philosophia. Kata philosophia adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata,
yaitu philos dan Sophia. Philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan Sophia
berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga dapat disimpulkan etimologis bahwa
filsafat berarti love of widom (cinta kebijaksanaan) sebagai reaksi dari
Phytagoras terhadap sekelompok orang yang mengakui dirinya sophist (filsuf).
Permasalahan yang muncul ketika filsafat diyakini secara positif
menjadi suatu proses berpikir secara radikal dengan objek material dan
formalnya, maka sejauh mana filsafat mampu memenuhi harapan manusia.
Oleh karenanya, filsafat memberikan kepada manusia keinsafan dan pandangan
jauh ke depan serta arti penting dari hidupnya. Filsafat berfungsi sebagai upaya
dalam menjernihkan kepercayaan-kepercayaan pokok yang pada akhirnya
menetukan tekanan perhatian yang ada pada dasar karakter.(Ashari, 1987: 101)

3
4

Jadi, filsafat memiliki berbagai kegunaan dan fungsi karena filsafat merupakan
dasar dari semua ilmu pengetahuan. Disamping itu, dalam filsafat terdapat
berbagai macam teori dan metode yang bisa digunakan untuk membaca atau
menafsirkan suatu teks maupun konteks.

B. Pendidikan Islam Wasathiyah

Pendidikan Islam merupakan elemen strategis dalam mencetak generasi


moderat. Untuk melahirkan generasi moderat ini diperlukan pengembangan
pendidikan Islam dengan menggunakan moderasi Islam sebagai paradigma dan
arus utama. Ini merupakan konsekuensi logis dari penggunaan Islam sebagai
basis utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dimana moderasi
merupakan identitas dan watak dasarnya. Pendidikan Islam wasathiyah
merupakan kegiatan yang terencana dalam mewujudkan tujuannya yaitu
menanamkan sikap peserta didik yang bersikap tengah-tengah yakni tidak
berlebih-lebihan dalam sesuatu dan mereka harus berada pada sikap yang tegak
lurus pada kebenaran serta keadilan (Fitri, 2015: 51).
Dalam sistem pendidikan, masalah klasik yang sering dipersoalkan oleh
para pakar pendidikan Islam yaitu adanya dikotomi dalam sistem pendidikan
Islam. Ahmad Tafsir (1991) menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap seseorang agar berkembang secara maksimal dan yang
sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan Islam Wasathiyah dalam praktinya
yaitu suatu konsep pendidikan yang memadukan antara teks al-Qur’an dan
konteks atau realitas yang ada seiring dengan perkembangan zaman
(Anwarudin, 2020: 117-122). Sejak decade 80-an yang lalu, banyak
bermunculan kesadaran sekaligus keprihatinan di kalangan ulama dan pemikir
Islam terhadap perkembangan sosial-masyarakat dan keilmuwan Islam (Fitri,
2015: 49).
BAB III

PEMBAHASAN
A. Hermeneutika Filsafat
Ketika suatu fenomena dilihat dan dibaca seseorang, di sadari atau tidak
akan memunculkan interprestasi terhadap konteks tersebut. Membicarakan
fenomena dan konteks tidak bisa terlepas dati unsur bahasa, Heidegger
menyebutkan bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak dan
memungkinkan terciptanya suatu pembaruan, sejak awal bahasa mempunyai
eksistensi sendir yang di dalamnya, manusia turut serta berpartisipasi
(Eagleton, 2006: 88). Sebagai metode tafsir, hemeneutika menjadikan bahasa
sebagai tema sentral, perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya ketika
munculnya dua aliran hermeneutika yang berlawanan, yaitu Hemeneutika
Intensionalisme dan Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang
makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusun sehingga hanya menuggu
interprestasi penafsir, sedangkan Gadamerian memandang makna itu dicari,
dikonstrujsi, dan direkontruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat
makna teks tidak pernah baku, dan senantiasa berubah tergantung dengan
bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya (Rahardjo, 1999: 55).
Dengan mengutip Nietzsche, Paul Ricoeur menyatakan bahwa hidup
adalah interprestasi, apabila terdapat pluralitas makna, maka di situ dibutuhkan
interprestasi. Terlebih lagi apabila symbol-simbol dilibatkan, interprestasi
menjadi penting sebab terdapat makna yang multilapis. Paul Ricoeur
mengatakan bahwasanya keseluruhan filsafat adalah interprestasi terhadap
interprestasi. Oleh karena itu, filsafat pada dasarnya adalah sebuah
hermeneutic, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang
kelihatan tersimpan suatu makna. Interprestasi adalah upaya untuk
membongkar makna yang masih tersembunyi atau usaha untuk membuka

5
6

lipatan dari tingkatan makna yang terkandung dalam makna suatu konteks
(Sumaryono, 1999: 105).

B. Basis-Basis Moderasi dalam Epistimologi


Pendidikan Islam mengkaji lima sub-tema dan konsep pilihan perspektif
Al-Qur’an, seperti: (1). realitas ontologi manusia yang tercipta secara
berimbang (moderat); (2). akhlak sebagai basis moderasi dalam pendidikan
islam; (3). ibadah sebagai basis moderasi pendidikan jasmani dan ruhani
seorang muslim; (4). peran keluarga sebagai basis moderasi pendidikan islam;
(5). doa sebagai media moderasi gerakan zahir dan batin manusia.
Pembahasan ontologi maupun aksiologi dalam pendidikan Islam
perspektif Al-Qur’an. Hal ini urgen dilakukan sebab dasar-dasar epistemologi
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari cara pandang manusia terhadap ontologi
dan aksiologi. Selanjutnya, pada setiap sub tema kajian, penulis akan
mengaitkannya dengan sebuah pertanyaan epistemologis yang berkaitan
dengan pendidikan. Realitas Ontologi Manusia yang Tercipta secara
Berimbang (Moderat). Perlu diketahui bahwa Islam selalu memperhatikan dua
aspek pada diri manusia, baik aspek jasmani maupun aspek ruhaninya.
Berdasarkan prinsip ini, maka pendidikan tidak diperkenankan jompang, atau
terlalu fokus pada satu aspek saja. Tidak diperkenankan terlalu memberikan
porsi berlebihan pada kebutuhan jasmani, dan melupakan aspek ruhani
sebagaimana epistemologi pendidikan yang berkembang di Barat. atau
sebaliknya, terlalu condong pada aspek-aspek ruhani seperti ajaran para petapa
sehingga malah menghambat kemajuan bangsa, dan membuat masyarakat
menjadi jumud, tidak maju.
Ditinjau dari ayat-ayat Al-Qur’an, pada satu sisi, dijelaskan bahwa
manusia diciptakan dari sebuah materi hina, dari debu (turāb) dan air mani
(nutfah), akan tetapi kemudian berubah bentuk menjadi wujud manusia
(sebagai sebaik-baiknya bentuk). Ini berarti bahwa pada aspek materinya,
7

keseluruhan dari esensi dan elemen materi terintegrasi secara sintetik pada
manusia. Yakni, Allah telah mengumpulkan seluruh esensi dari keseluruhan
unsur materi dalam rangkaian jasad manusia. Allah Swt mengatakan bahwa Ia
telah menciptakan manusia dari debu (turāb) sebagaimana disebutkan dalam
QS al-Ḥajj [22]:5. Debu mengisyaratkan akan materi primer.
ِ ‫ب ِمنَ ْال َب ْع‬
ٍ ‫ث فَ ِانَّا َخلَ ْقن ُك ْم ِم ْن ت ُ َرا‬
‫ب‬ ُ َّ‫ٰٓيا َ ُّي َها الن‬
ٍ ‫اس ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ِف ْي َر ْي‬
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari debu…”
(QS al-Ḥajj [22]:5).
Ayat di atas mengimplikasikan bahwa keseluruhan potensi esensi alam
semesta telah digabungkan dalam wujud manusia. Oleh karenanya, manusia
dapat mengetahui semua fenomena alam dan menganugerahkannya nama-
nama (asmā); sehingga benaknya dapat menerima konsep-konsep abstrak dan
bentuk-bentuk intelligible (Kerwanto, 2022: 96). Dari uraian singkat tentang
realitas diri manusia ini, maka seluruh proses pendidikan dan kurikulum
pembelajaran harus memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan
dan peningkatan pada dua dimensi manusia tersebut. Sehingga, diharapkan
pendidikan yang diselenggarakan akan berhasil mencetak generasi yang kuat
jasmani maupun ruhaninya, menjadi bangsa yang maju sekaligus menjadi
bangsa yang berperadaban, bermoral.

C. Wasatiyyah dalam Epistimologi Pendidikan Islam


Wasatiyyah dalam istilah Arab berasal dari kata wasath yang memiliki
makna di tengah-tengah (Sodikin & Ma’arif, 2021: 191). Istilah ini diambil dan
dielaborasi dari kata ummatan wasatan dalam surah Al-Baqarah ayat 143.
Terdapat banyak tafsir oleh para ulama dalam ayat tersebut, salah satunya
adalah Abu al-Qasim Jar Allah Muhammad bin ‘Umar bin Muhammad Al-
Zamakhsyariy. Menurut tafsir Al-Zamakhsyariy dalam tulisannya berjudul
“Al-Kasysyaf ‘an Haqa'iq wa Ghawamid al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi
8

Wujud al-Ta'wil” menyatakan bahwa, ummatan wasatan berarti yang terbaik


dan paling adil. Kedua elemen tersebut memiliki karakteristik sebagai pusat
karena apa pun yang ada di samping lebih cenderung mengarah pada kejahatan
dan kehancuran artinya, yang dipilih adalah yang terbaik dan adil.

Umat Nabi Muhammad Saw disebut oleh Al-Qur’an sebagai ummatan waṣaṭan
(QS al-Baqarah [2]: 143) karena tidak berlebihan atau lalai terhadap aspek-
aspek penting kehidupannya. Dengan demikian, substansi istilah ini, bisa
dikatakan, terambil dari ayat-ayat Al-Quran. Banyak tempat dalam Al-Quran
menyebutkan istilah waṣaṭiyyah, sebagai sebuah konsep yang menjembatani
persolan keseimbangan atau keadilan (Fauzi, 2018: 101). Istilah ini juga
diadopsi dari bahasa latin ‘moderatio’ yang berarti sedang, tidak kekurangan
maupun tidak berlebihan (Hasan, 2021: 104). Dari uraian singkat istilah ini,
maka wasatiyyah dapat dipahami sebagai pemahaman atau cara pandang yang
terpuji, yang selalu mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak berlebihan
dalam berfikir, bertindak dan berperilaku sehingga menjadikannya tidak
ekstrim dalam menyikapi segala hal.

Dalam konteks epistemologi pendidikan islam, moderasi dapat


dipahami sebagai sikap secara seimbang memberikan perhatian pada aspek-
aspek penting perkembangan manusia, yakni melihat struktur manusia secara
holistik, tidak parsial. Aspek-aspek perkembangan jasmani maupun rohani
manusia diberikan perhatian yang adil. Manusia tidak hanya dilihat sebagai
makhluk individu, maupun makhluk sosial. Al-Qur’an memberikan perhatian
secara serius pada seluruh ruang manusia, baik ruang-ruang privat maupun
ruang sosial manusia. Bahkan, dalam tahapan tertentu, Al-Qur’an dalam
banyak tempat memberikan perhatian secara serius terhadap pendidikan etika-
moral, guna menjaga keseimbangan tersebut, agar hak-hak individual maupun
hak-hak sosial mereka tidak bertabrakan (Kerwanto, 2022: 94).
BAB IV

ANALISIS PENAFSIRAN HERMENEUTIKA ATAS ISLAM


WASATHIYAH/ MODERAT
A. Hermeneutika Islam Wasathiyah
Pemaknaan serta penafsiran teks maupun konteks didasari dari suatu
landasan atau pijakan yang akan digunakan untuk memaknai konteks terkait.
Dalam hal ini, pembacaan tentang Islam Wasathiyah menggunakan landasan
teori Hermeneutika. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani ”Hermeneuien”
ysng memiliki arti tafsir atau interprestasi. Plato menamai para penyair dengan
sebutan hermenes. Aristoteles menggunakan istilah hermeneutika di dalam
karyanya pada bab logika pro posisi yang berjudul “Peri Hermeneutis” (Fitria,
2016: 33). Menurut Ricoeur (1991), hermeneutika adalah “the theory of
operations of understanding in their relation to the interpretation of the text
(Ricoeur, 1991: 53). Dengan kata lain, hermeneutika merupakan metode filsafat
olah pikir yang menafsirkan dan memahami makna suatu teks, konteks secara
rasional untuk menemukan hakikatnya. Hermeneutika ada dan dipengaruhi oleh
filsafat fenomenologi. Maka tidak heran apabila metode hermeneutika
menafsirkan/memahami makna melihat dari fenomena yang ada (Putra, 2010:
76-77).
Asumsi mendasar dalam hermeneutika adalah adanya pluralitas dalam
pemahaman manusia. Keragaman konteks dalam pemahaman telah muncul
sejak adanya tradisi intelektual-filosofis. Pemikiran atau pemahaman seseorang
tentang suatu hal didapatkan karena pengaruh dari lingkungan sekitar dan
penginderaannya. Ketika lingkungan suatu hal difahami oleh seseorang yang
berbeda, maka memunculkan pengetahuan dan pemahaman yang berbeda pula.
Pemahaman dengan menimbang konteks yang dipahami terhadap apa saja
dapat mempengaruhi suatu pemahaman sehingga menghasilkan keragaman, hal
itulah yang menjadi focus dari Hermeneutika dalam Islam Wasathiyah atau
moderat (Fitria, 2016: 34-35).

9
10

Islam dalam perkembangannya dimoderasi penyikapannya dan


diselarasakan dengan semua kemajuan yang ada. Di penghujung abad 20 M
hingga abad 21 M ini, keunikan mencari ciri dan karakter muslim Indonesia
yang mengedepankan toleransi, sikap terbuka terhadap perbedaan maupun
kemajemukan. Namun, tidak sedikit kelompok dengan mengatasnakam agama
bahkan dengan dalih membela agama malah justru merusak kebhinekaan dan
toleransi ini. Islam yang merupakan agama rahmatann lil ‘alamin dan
wasathiyah, banyak ajan spiritualitas ilahiyah yang berimplikasi pada sikap
hidup yang humanis, inklusif, toleran dan damai (menebar kedamaian) dalam
tataran sosial umat yang dikenal dengan doktrin hablun minannas (Usman,
2015: 2-3).
Gerakan pembaruan dalam Islam sering dikenal dengan istilah tajdid,
dapat diartikan sebagai upaya baik secara individual maupun kelompok pada
kurun waktu yang teretentu utntuk melakukan perubahan dari persepsi dan juga
praktik keislaman yang telah ada sebelumnya untuk memberikan pandangan
baru serta pemahaman baru (Widayani, 2020: 87). Islam Wasathiyah secara
bahasa menurut A. W Munawwir (1997:1557) diambil dari istilah wasatha,
wustha yang bermakna tengah, dan menjadi istilah wasith-alwasith artinya
penengah. Menurut Fuad Abdul Baqy’ (1981:750), wasatha hanya sekali
disebut dalam al-Qur’an yakni pada QS al-Baqarah: 143, di samping istilah lain
seperti: wasathna, ausathi, ausathuhum dan alwustha. Istilah umatan wasathan
dalam ayat tersebut ditafsirkan oleh Quarish Shihab (Shihab, 2002: 347) yakni
umat pertengahan, moderat dan tauladan. Keberadaan umat Islam pada posisi
pertengahan sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada di pertengahan. Ada
makna lain tentang umatan wasathan, yaitu pertengahan dalam pandangan
tentang Tuhan dan dunia, tidak mengingkari wujud Tuhan, tetapi tidak juga
menganut palam politeisme (banyak Tuhan) (Usman, 2015: 4-5).
Islam wasathiyah tidak baru-baru ini muncul, tokoh-tokoh muslim
seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali , beliau berpendapat dalam karyanya yang
11

berjudul “Ihya Ulumuddin” ketika membahas sikap para Sahabat Nabi saw
terhadap dunia pada Bab Zuhud, al Ghazali mengatakan: “bahwa para sahabat
tidak bekerja di dunia untuk dunia tetapi untuk agama, para sahabat tidak
menerima dan menolak dunia secara keseluruhan atau secara mutlak. Sehingga
mereka tidak ekstrem dalam menolak dunia dan menerima, tetapi mereka
bersikap antara keduanya secara seimbang, itulah keadilan dan pertengahan
antara dua sisi yang berbeda dan inilah sikap yang paling dicintai oleh Allah
Swt (Arif, 2023: 30-31). Al-Ghazali melihat bahwa kehidupan ideal dalam
mengaktualisasikan ajaran Islam dengan jalan pertengahan, seimbang dan adil
atau proporsional antara dunia dan akhirat, antara rohani dan jasmani, antara
materi dan spriritual.
Wasathiyah bukanlah pemikiran Islam yang berorientasi budaya negeri-
negeri tertentu, sekte-sekte tertentu, madzhab-madzhab tertentu, jama’ah-
jama’ah tertentu atauapun karena zaman tertentu, namun moderasi Islam adalah
hakikat ajaran Islam pertama kali yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw,
sebelum dicemari oleh pemikiran-pemikiran, dicampuri bid’ah, dipengaruhi
perbedaan pendapat dalam tubuh umat, diterpa pandangan arah dan sekte Islam
yang diwarnai oleh ideology asing. Al-Qardhawi dapat dikataka sebagi bapak
moderasi Islam modern. Qardhawilah merupakan ulama pertama di zaman
modern yang memperkenalkan kembali ajaran moderasi Islam. Manhaj dan
pemikiran Islam tentang wasathiyah tidak boleh dibelokkan lagi kepada arah
yang lain seperti liberalism dan sebagainya.
Al-Qardhawi merupakan ulama kontemporer yang layak disebut
sebagia bapak modersi Islam era modern, dan layak untuk menjadi rujukan
moderasi Islam yang tepat. Qardhawi adalah ulama abad 21 yang paham
terhadap maqashid syari’ah dan thuruq Istinbath Nushus Syari’ah di era
modern. Selain itu, Qardhawi konsisten dalam pemikiran Islam moderatnya
sehingga bisa berijtihad menjawab segala problematikan dan isu keislaman
kontenporer dalam bingkai al-Qur’an dan as-Sunnah lalu disinergikan dengan
12

konsisi umat Islam era modern (Arif, 2023: 39-41). Dalam moderasi beragama,
sudah seharusnya tidak memandang sautu problem hanya denga menggunakan
satu landasan dasar, namun diperlukan juga landasan-landasan, kerangka
perpikir dan fenomena-fenomena yang lain supaya tercipta suatu moderasi dan
terciptanya Islam moderat.
Melihat realitas telah mengkristalnya esensi yang terdapat di dalam
konsepsi Islam wasathiyah, banyak kalangan yang terpanggil untuk menggali
dan memaknai konsepsi Islam wasathiyah dalam berbagai perspektif. Konsep
Islam wasathiyah sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, khususnya di Indonesia yang
merupakan negara majemuk. Dengan begitu, edukasi dan sosialisasi untuk
mengenalkan dan mengimplemetasikan makna yang tersurat serta tersirat
dibalik konsepsi Islam wasathiyah ini penting untuk direalisasikan. Urgensinya
untuk menciptakan karekter dan kepribadian yang lebih harmonis dan toleran
terhadap seluruh manusia secara umumnya. Dengan karakter yang lebih
harmonis dan toleran, maka keharmonisan dan kedaiman dalam tatanan
kehidupan bebangsa, bernegara, dan bermasyarakat dapat diciptakan secara
bersamaan.
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan global yang terjadi diseluruh duniat, terutama di
kawasan Timur Tengah yang penduduknya mayoritas muslim menunjukkan
fenomena negative terhadap ajaran Islam yang cinta damai dan toleran. Konflik
bersenjata antar umat Islam yang berbeda pahama tau aliran, kekerasan antara
pemerintah negara-negara Islam menimbulkan banyak kerusakan dan
kehancuran.
Apabila dikaji lebih mendalam, semua permasalahan yang terjadi tidak
terlepas dari pendidikan. Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah pendidikan
yang berlandaskan pada al-Qur’an dan as-sunnah. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi merupakan akibat dari misunderstanding atau kesalahan dalam
memahami suatu teks maupun konteks ajaran Islam itu sendiri. Bahkan secara
salah kaprah, Islam wasathiyah yang bermakna moderat digunakan untuk
mengkategorikan orang yang bertindak dan pikir secara liberal dalam
beragama. Sementara sekelompok orang yang konsisten menjalankan ajaran
Islam justru dianggap tidak moderat (wasathiyah).
Dalam penafsiran mengenai wasathiyah memang banyak terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama maupun pemikir Islam, hal ini karena
dalam setiap penafsiran seseorang akan dipengaruhi dengan kejadian atau
fenomena sekitar yang secara tidak langsung akan mendorong konsep berpikir
seseorang mengenai suatu hal dalam hal ini moderat (wasathiyah). Filsafat
mengajarkan dalam menafsirkan suatu teks maupun konteks dengan
menggunakan suatu metode. Metode yang lazim digunakan adalah
hermeneutika. Hermenutika, khusunya hermeneutika gadamerian memandang
makna itu dicari, dikonstrujsi, dan direkontruksi oleh penafsir sesuai konteks
penafsir dibuat makna teks tidak pernah baku, dan senantiasa berubah

13
14

tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya. Singkatnya,


hermenutika mengungkapkan bahwa sautu pandangan atau pengetahuan tidak
bisa bersifat kekal, karena aka nada pemikir baru yang memiliki pandanga baru
mengenai hal yang sama.
Pendidikan Islam wasathiyaj adalah pendidikan yang bersifat moderat,
moderat dalam hal pendidikan secara mudahnya mengkobinasikan kurikulum
pendidikan yang disesuaikan denga kebutuhan masyarakat. Hal ini karena
permasalahan yang muncul saat ini tidak bisa serta merta dikembalikan pada
teks, tetapi perlu juga untuk melihat realitas dan fenomena yang ada.

B. Saran
Penulis berharap nantinya ada pihak lain yang melakukan penelitian
lebih mendalam lagi mengenai Epistemologi Islam Wasathiyah dalam
pendidikan Islam. Penulis berharap semakin banyak kajian-kajian tentang
pokok bahasan mengenai Islam Wasathiyah yang lebih mendalam, sehingga
kajian keilmuan selalu ada penyegaran. Dimulai dari lingkungan Program
Pascasarjana Pendidikan Agama Islam, untuk menambah literature di UIN
Salatiga yang kemudia dapat diakses secara publik.
Akhirnya, sebagai penyusun makalah yang sederhana ini, penulis
mengahrapkan partisipasi pembaca. Saran dan Kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan, serta penulis berharap dengan makalah yang
sederhana ini mampu memberikan manfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan
bagi para pembaca yang memiliki ketertarikan terhadap kajian-kajian keilmuan.
Selanjutnya diharapkan bagi penulis untuk lebih memperkaya bahan denfan
membaca dan memahami tentang Islam Wasathiyah yang berkaitan dengan
pendidikan Islam, karena makalah ini masih jauh dari sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Anwarudin, U. K. (2020). Analisis Implementasi Pendidikan Islam Wasathiyah dalam
Mengembangkan Pemikiran Holistik Mahasiswa. Jurnal At-Tadbir: Media
Hukum Dan Pemikiran, 30(2), 113–128.

Arif, K. M. (2023). MODERASI ISLAM (WASATHIYAH ISLAM) PERSPEKTIF


AL-QUR’AN, AS-SUNNAH SERTA PANDAGAN PARA ULAMA DAN
FUQAHA. Al-Risalah: Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam, 14(2), 22–43.

Ashari, E. S. (1987). Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.

Dimyati, A. (2017). ISLAM WASATIYAH: IDENTITAS ISLAM MODERAT ASIA


TENGGARA DAN TANTANGAN IDEOLOGI. Islamic Review Jurnal Riset
Dan Kajian Keislaman, VI(2), 139–168.

Eagleton, T. (2006). Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:


Jalasutra.

Fitri, A. Z. (2015). PENDIDIKAN ISLAM WASATHIYAH : MELAWAN ARUS


PEMIKIRAN TAKFIRI DI NUSANTARA. Jurnal Kuariositas, 1(VIII), 45–53.

Fitria, R. (2016). MEMAHAMI HERMENEUTIKA DALAM MENGKAJI TEKS.


Jurnal Syi’ar, 16(2), 33–42.

Niam, Z. W. (2019). KONSEP ISLAM WASATHIYAH SEBAGAI WUJUD ISLAM


RAHMATAN LIL’ALAMIN: PERAN NU DAN MUHAMMADIYAH DALAM
MEWUJUDKAN ISLAM DAMAI DI INDONESI. PELITA: Journal of Social-
Religion Research, 4(2), 91–106.

Putra, R. M. S. (2010). TRADISI HERMENEUTIKA DAN PENERAPANNYA


DALAM STUDI KOMUNIKASI. Jurnal UMN, II(2), 73–85.

Rahardjo, M. (1999). Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana


Politik Gus Dur. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

15
16

Ricoeur, P. (1991). From Text to Action. Northwestern University Press.

Shihab, M. Q. (2002). TAFSIR AL-MISBAH (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an).


Jakarta: Lentera Hati.

Sumaryono, E. (1999). Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Usman, A. M. (2015). ISLAM RAHMAH DAN WASATHIYAH (PARADIGMA


KEBERISLAMAN INKLUSIF, TOLERAN DAN DAMAI). Jurnal Humanika,
15(September), 1–12.

Warsito, L. C., & dkk. (2016). Pengantar Filsafat. Surabaya: UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA Press.

Widayani, H. (2020). NEOMODERNISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF


FAZLUR RAHMAN. Jurnal El-Afkar, 9(1), 85–100.

Anda mungkin juga menyukai