Anda di halaman 1dari 15

Makalah Revisi Kelompok VIII

MAKALAH
BEBERAPA PEMIKIRAN MUSLIM KONTEMPORER TENTANG
KETATANEGARAAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fikih Siyasah
Kontemporer
Dosen Pengampu : Bapak Drs. Surya Sukti, M.H

Disusun Oleh:
Muhammad Thoriq Ababil
(NIM. 2012140087)
Suhardi
(NIM. 2012140104)
Ahmad Nazwa Alwisyah
(NIM. 2012140116)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA KELAS 4A
TAHUN 2022 M/1443 H
MOTTO
“Jika tidak ada yang bangga denganmu, maka itu adalah tugasmu untuk bangga dengan
apapun yang sudah kau lakukan”

MOTTO
“If there is no one proud of you, then it's your duty to be proud of whatever
you've done”

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt.
Karena dengan Rahmat dan Ridha-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Beberapa Pemikiran Muslim Kontemporer Tentang Ketatanegaraan”.
Tidak lupa shalawat serta salam, kami sampaikan kepada baginda Besar Nabi
Muhammad Saw., beserta keluarga, sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir
zaman.
Kami selaku penulis dalam pembuatan makalah ini, menyadari betul bahwa
masih banyak kesalahan dan kekurangan didalamnya. Oleh karena itu, kami memohon
dengan ikhlas kepada pembaca makalah ini untuk berkenan memberikan kritik dan
saran untuk membangun guna kesempurnaan makalah yang lebih baik.
Akhir kata, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada semua pihak
terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Fikih Siyasah Kontemporer olehBapak
Drs. Surya Sukti, M.H, serta kepada segenap teman-teman yang turut serta
memberikan dukungan dan semangat kepada kami. Dan kami harapkan makalah yang
kami buat ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Palangka Raya, 18 Maret 2022

Penulis

ii
Abstrak
Sebagai agama lengkap, Islam hadir tidak hanya memperbincangkan tidak hanya
persoalan yang bersifat ritus keagamaan, relasi transendental antara hamba dengan
pencipta, maupun urusan-urusan yang menjadi kebutuhan manusia dengan sesamanya
serta manusia dengan lingkungan sekitarnya. Ajaran Islam dengan universalitasnya
tidak hanya sesuai dan relevan untuk kondisi geografis masyarakat pertamanya
melainkan masyarakat-masyarakat manusia lainnya.
Islam, dengan begitu luasnya tidak ada satupun kebutuhan-kebutuhan manusia
dilewatinya dan tidak menjadi pembahasannya. Di samping ia bersifat universalitas,
Islam juga terintegrasi dengan semua satuan-satuan ajarannya, ia tidak terbagi secara
parsial, atau antara satu ajarannya dengan ajaran yang lain tidak saling bertalian. Inilah
yang disebut dengan Par Excellence.

ii
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................1
D. Metode Penulisan...............................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................1
PEMBAHASAN.........................................................................................................................1
A. Pemikiran Muhammad Abduh......................................................................................1
B. Pemikiran Al-Ma’ududi.................................................................................................2
C. Pemikiran Ali Syari’ati..................................................................................................4
D. Pemikiran Fazlur Rahman............................................................................................6
BAB III........................................................................................................................................7
PENUTUP...................................................................................................................................7
A. Kesimpulan........................................................................................................................7
Daftar Pustaka............................................................................................................................8

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai agama lengkap, Islam hadir tidak hanya memperbincangkan tidak hanya
persoalan yang bersifat ritus keagamaan, relasi transendental antara hamba dengan
pencipta, maupun urusan-urusan yang menjadi kebutuhan manusia dengan sesamanya
serta manusia dengan lingkungan sekitarnya. Ajaran Islam dengan universalitasnya
tidak hanya sesuai dan relevan untuk kondisi geografis masyarakat pertamanya
melainkan masyarakat-masyarakat manusia lainnya.
Islam, dengan begitu luasnya tidak ada satupun kebutuhan-kebutuhan manusia
dilewatinya dan tidak menjadi pembahasannya. Di samping ia bersifat universalitas,
Islam juga terintegrasi dengan semua satuan-satuan ajarannya, ia tidak terbagi secara
parsial, atau antara satu ajarannya dengan ajaran yang lain tidak saling bertalian. Inilah
yang disebut dengan Par Excellence.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Ketatanegaraan?
2. Bagaimana Pemikiran Al-Maududi tentang Ketatanegaraan?
3. Bagaimana Pemikiran Ali Syari’ati tentang Ketatanegaraan?
4. Bagaimana Pemikiran Fazlur Rahman tentang Ketatanegaraan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini, yakni:
1. Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh tentang
Ketatanegaraan.
2. Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Al-Ma’ududi tentang Ketatanegaraan.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Ali Syari’ati tentang Ketatanegaraan.

1
4. Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Fazlur Rahman tentang Ketatanegaraan.

D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan dalam makalah ini adalah deskriptif analitis.
Dilakukan melalui penelusuran kepustakaan online. Sehingga memerlukan literatur
untuk memberikan penjelasan yang lengkap.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Muhammad Abduh.

Al-Qur’an Memiliki fungsi kehidayahan untuk semua aspek kehidupan,


termasuk di dalamnya adalah relasi agama dengan penyeenggaraan negara yang di
dalamnya terstruktur komponen masyarakat, baik yang homogen maupun yang
heterogeny. Tafsir sebagai produk penjelasan dari seorang Mufassie tentunya sangat
terkait dengan situasi sosial yang dihadapinya dan pada gilirannya, situasi sosial ini
memengaruhinya, baik cara kerjanya maupun materi penafsiranna. Keduanya akan
terlihat bagaimana realitas teksdengan penafsiran mufassir dalam kitab tafsir Al-
Manaar.1

Allah swt. menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang akan diberikan kekuasaan


akan tetap melakukan kebaikan, baik melakukan salat, menunaikan zakat dan
memerintahkan kepada yang baik dan mencegah kepada yang mungkar. Mereka
ditetapkan oleh Allah swt. sebagai pengurus urusan duniawi dan pemimpin ummat
beragama dengan baik.

Muhammad Abduh menyatakan bahwa QS. An-Nisa [4]: 59-59 sebagai dasar
dibentuknya Pemerintahan Islam, al-qur’an dan al-hadits adalah sebagai pedoman
dasar penyelenggaraan negara tersebut, meskipun di dalam al-Quran tidak
diturunkan selain keduanya, maka sesungguhnya bagi orang Islam merasa cukup
dan sudah sangat otoriatif dengan kedua pedoman tersebut.

1
Supriadi AM, Konsep Pembaruan Sistem Pendidikan Islam Menurut Muhammad ‘Abduh,
Jurnal
Kordinat, Kopertais Wil. I. DKI Jakarta, Jakarta: 2016), Kordinat-XV, No. 1 April 2016.

1
Kedua ayat di atas menurut Abduh menjelaskan pokok-pokok an syari’at-syari’at
agama dan pemerintahan Islam. Pokok-pokok tersebut meliputi:

1. Al-Qur’an dan mengamalkan kandungannya merupakan bentuk kepatuhan


Kepada Allah SWT.
2. Sunnah nabi Muhammad saw. Dan mengamalkannya adalah bentuk
kepatuhan kepaa Rasulullah saw.
3. Konsensus Ulil Amri, yakni mereka adalah ahl hal wa al-‘aqdi yang mana
mereka juga orang-orang yang dijadikam piakan bagi ummat, contohnya
ulama, pemimpin dala hal militer ataupun dalam hal menciptakan
kemaslahatan seperti bidang perniagaan, industry, pertanian. Begitu juga
dengan dengan para pemimpin serikat pekerja dan partai. Kepatuhan kepada
mereka di atas adalah salah satu contoh kepatuhan kepada Ulil Amri.
4. Memaparkan persoalan-persoalan yang diperselisihkan berdasarjan kaidah-
kaidah dan hukum-hukum yang umum dan telah diketahui dalam kitab al-
Qur’an dan as-Sunnah.2

Sehingga dengan pokok-pokok tadi, Penulis dapat berpendapat bahwa


konsep ketatanegaraan milik Muhammad Abduh mengandung corak Islami yang
sangat kental dan secara umum masih relevan hingga sekarang.

B. Pemikiran Al-Ma’ududi.
Abul A’la Al-Maududi merupakan salah satu pembaharu pemikiran
islam yang gagasan dan cita-citanya sangat berpengaruh dalam pembangunan
islam. Pemikiran nya yang sistematik dan komprehensif membuat tata pikir Al-
Maududi sangat terpadu. Menurut Abul A’la Al-Maududi asas terpenting dalam
islam adalah tauhid dan tugas utama para nabi dan rasul adalah mengajarkan
tauhid (the unity of godhead) kepada seluruh umat manusia. Ajaran tauhid
itu sangatlah

2
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, (Daar al-Kutub Ilmiyyah, Beirut: 1999.

2
sederhana yaitu’’Tidak ada tuhan selain allah dan Muhammad itu rasul allah’’.
Kita meyakini adanya allah berrti menjalankan perintahnya dan menjauhi segala
larangannya dan meyakini nabi Muhammad saw adalah utusan allah dengan
mencintai dan menjadikan teladan dalam hidup kita. Kemudian merelevansikan
pemikiran tersebut dengan pemerintahan di Indonesia serta
mengimplementasikan pemikiran tersebut dengan pemerintahan di Indonesia
serta mengimplementasikan pemikiran Abul A’la Al-Maududi di Pakistan.3
Abul A’la Al-Maududi mengajak umat islam untuk kembali kepada ajaran
islam yang seutuhnya, yaitu, kembali kepada al-quran dan sunnah. Itu artinya
Negara pun harus menggunakan hukum allah seutuhnya dalam menjalankan
pemerintahan. Hukum menggunakan undang-undang allah (al-quran dan sunnah)
adalah wajib. Apabila tidak menggunakan undang-undang Allah dan menggunakan
undang-undang buatan manusia maka hukumnya haram. Dalam hal ini, Abul A’la
Al-Maududi mengemukakan tiga konsep dasarnya yaitu konsep alam semesta,
konsep al- hakimiyah al-ilahiyah dan kekuasaan Allah di bidang perundang-
undangan. Dalam relevansinya dalam pemerintahan di Indonesia sangatlah susah
penerepannya. Agar relevan dengan pemerintahan di Indonesia caranya adalah
mengambil intisari dalam ajaran islam kemudian melakukan rekonstruksi agar dapat
sesuai dengan afmosfer pemerintahan di Indonesia. Dalam implementasinya dengan
pemerintahan di Pakistan, pemikiran Abul A’la Al-Maududi sangat sesuai karena
beliau merupakan tokoh revolusioner yang ikut merumuskan negara Pakistan.
Pakistan resmi menggunakan dasar-dasar agama islam serta menyatakan Negara
yang berdaulat dibawah kedaulatan Allah. Hal itu merupakan cita-cita yang
diinginkan Abul A’la Al- Maududi dan para ulama Pakistan.
Dari materi Al-Maududi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Abul
A’la Maududi merupakan orang yang sangat idealis, terlihat dengan kemampuan
beliau dalam merumuskan konsep negara Pakistan. Dan juga, menerapkan konsep
ketatanegaraan milik Al-Maududi di Indonesia sangatlah susah, karena konsep
negara

3
Abu al-A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, h. 189. juga W. Montgomery, Kerajaan Islam, h. 12

3
Indonesia sudah ada sejak awal berdiri, ditambah lagi fakta bahwa jika melakukan
pencocokan sistem negara sama saja dengan mengganti konsep yang sudah ada.

C. Pemikiran Ali Syari’ati.

Konsep pemerintahan Islam banyak dibahas oleh Ali Syari’ati dalam bukunya
ummah dan imamah. Menurutnya tujuan pemerintahan ini ditentukan oleh konsep
negara itu sendiri. Ali Syari’ati membedakan konsep siyasah dalam istilah Islam dan
konsep politique dalam bahasa Yunani. Berbedaan ini berimplikasi kepada berbedanya
pula tujuan yang ingin dicapai oleh negara.

Siyasah menurutnya adalah suatu filsafat yang mendobrak dan dinamis, dan tujuan
negara dalam filsafat politik adalah merombak bangunan, pranata-pranata, dan
hubungan–hubungan sosial, bahkan juga akidah, akhlaq, peradaban, tradisi sosial; dan
secara umum menegakkan nilai-nilai sosial diatas landasan pesan revolusi dan ideologi
revolusioner, serta bertujuan merealisasikan cita-cita dan harapan-harapan yang lebih
sempurna, membimbing masyarakat mencapai kemajuan, menciptakan kesempurnaan
dan bukan kebahagiaan, yang baik dan bukan pelayanan, pertumbuhan dan bukan
kenyamanan, kebaikan dan bukan kekuatan yang hakiki dan superficial, yang kesemua
itu bisa dirumuskan dalam satu kalimat pendek “pembangunan masyarakat” dan bukan
“administrasi dan pemeliharaan masyarakat.4

Berbeda dengan siyasah, politik yang didasarkan kepada filsafat pemerintahan barat.
Politik menurut Ali Syari’ati sama sekali tidak bermaksud membangun melainkan
bertopang pada apa yang mungkin dikerjakan dan politik bertujuan untuk mengatur
negara tidak atas dasar ideologi revolusioner, tetapi berdasarkan pandangan popular dan
mencari perkenan bukan membimbing menuju keutamaan. Politik hanya bertujuan agar
masyarakat hidup nyaman dan bukan melakukan perbaikan terhadap masyarakat agar
mereka bisa hidup dengan baik. 5

Dari dua pengertian ini, lanjut Syari’ati, konsep siyasah lebih unggul daripada
konsep politik. Siyasah membangun masyarakat sedangkan politik mengatur negara
yang

4
Ghulam ‘Abbas Tawassuli, Sepintas Tentang Ali Syari’ati, Dalam Ali Syari’ati, Al-Ihasan, Al-Islam wa
Madaris Al-Gharb, h. 12
5
Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis, h.58

4
berimplikasi kepada pemasungan aspirasi rakyat, pengendalian kebijaksanaan
pemerintah, penindasan alam pikiran dan penyingkapan taqiyyah.

Untuk itulah tujuan dari pemerintahan Islam adalah sama halnya dengan konsep
imamah dalam pengertian Ali Syari’ati. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata:

“Imamah bukanlah semacam kantor dan pemelihara masyarakat dalam bentuknya


yang beku dan kaku. Tanggung jawab paling utama dan penting dari imamah-yakni
filsafat politik untuk membentuk imamah dan seperti yang tercakup dalam
pengertiannya- adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah
kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, dan akan
melakukan selerasi dan menggiring ummat menuju kesempurnaan sampai pada
lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.”

Tampaknya yang digaris bawahi oleh Ali Syari’ati adalah adanya perubahan
dalam masyarakat yang berwujud kemajuan. Perubahan inilah yang tonggak dari
pemerintahan Islam. Ali Syari’ati menghendaki seluruh dari rakyat sebagai individu
yang merupakan bagian dari negara tidak sekedar eksis melainkan membetuk diri
kepada keadaan yang lebih baik: “…tujuan manusia bukan sekedar eksis, melainkan
pembentukan diri. Umat, dengan demikian, tidaklah bebas dari keenakan berdiam
ditempatnya, tetapi ia harus lestari dan senantias bergerak cepat”.6

Sebab pada dasarnya manusia memiliki dua karakteristik yaitu suatu


transformasi terus menerus menuju tercapainya kesempurnaan-kesempurnaan yang
mutlak dan perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi. Dua
prinsip diatas, mengandung makna revolosioner yang amat dalam yang
membukakan ufuk yang amat luas.

Sebagai aplikasi dari keinginan-keinginan dari Ali Syari’ati untuk mewujudkan


perubahan revolusioner dalam masyarakat Islam. Ia banyak menulis buku yang
menggugah semangat juang para kaum muda. Selain itu ia juga mendirikan
Husayniyah Irsyad yang kerap melakukan riset diberbagai bidang.

6
Ali Rahmena, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta: Erlangga, 2006)

5
D. Pemikiran Fazlur Rahman.
Konsep negara yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman adalah negara Islami, baik
dari tujuan pembentukan negara, hubungan kepala negara dengan warga negara,
hubungan negara dengan agama serta majelis syura, walaupun ia menyatakan bahwa
Islam tidak memerintahkan dan tidak mengajarkan secara tegas mengenai sistem
ketatanegaraan, namun Fazlur Rahman mengakui terdapatnya sejumlah nilai dan
etika bermasyarakat dalam Al Qur'an. Oleh karena itu Fazlur Rahman berargumen
bahwa negara Islam itu ada. Untuk membuktikan konsepnya tersebut Fazlur
Rahman merujuk pada tindakan Nabi dalam memimpin umatnya di Madinah
sebagai landasan politik umat Islam, bahwa Nabi Muhammad di Madinah tidak
hanya sebagai pemimpin spiritual/agama, tetapi juga menjadi kepala negara, kepala
militer, pemerintahan, tempat meminta fatwa hukum, dan sebagainya. Juga merujuk
pada praktek Khulafa' Al Rasyidin.

Relevansi pemikiran Fazlur Rahman dengan fiqh siyasah dapat terlihat dari
ungkapannya dari terbentuknya sebuah negara, bahwa ia menyatakan negara dapat
terbentuk apabila telah ada kesanggupan dari suatu kelompok untuk mentaati dan
menjalankan perintah Allah. selain itu juga dapat dilihat dari sebuah negara yang
diindikasikan sebagai pemelihara dari Undang-undang Tuhan tersebut. Dalam
sistem kenegaraan FazlurRahman memilih sistem demokratik sebab menututnya
negara atau organisasi Islam memperoleh kekuasaan dari rakyat, yaitu masyarakat
muslim. Indikasi lainnya adalah seluruh konsep kenegaraan selalu disandarkan pada
Al Qur'an dan al Hadis.

6
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Muhammad Abduh menyatakan bahwa QS. An-Nisa [4]: 59-59 sebagai dasar
dibentuknya Pemerintahan Islam, al-qur’an dan al-hadits adalah sebagai pedoman
dasar penyelenggaraan negara tersebut, meskipun di dalam al-Quran tidak
diturunkan selain keduanya, maka sesungguhnya bagi orang Islam merasa cukup
dan sudah sangat otoriatif dengan kedua pedoman tersebut.

Menurut Abul A’la Al-Maududi asas terpenting dalam islam adalah tauhid dan
tugas utama para nabi dan rasul adalah mengajarkan tauhid (the unity of godhead)
kepada seluruh umat manusia.
Menurutnya tujuan pemerintahan ini ditentukan oleh konsep negara itu sendiri.
Ali Syari’ati membedakan konsep siyasah dalam istilah Islam dan konsep politique
dalam bahasa Yunani. Berbedaan ini berimplikasi kepada berbedanya pula tujuan
yang ingin dicapai oleh negara.

Fazlur Rahman berargumen bahwa negara Islam itu ada. Untuk membuktikan
konsepnya tersebut Fazlur Rahman merujuk pada tindakan Nabi dalam memimpin
umatnya di Madinah sebagai landasan politik umat Islam, bahwa Nabi Muhammad
di Madinah tidak hanya sebagai pemimpin spiritual/agama, tetapi juga menjadi
kepala negara, kepala militer, pemerintahan, tempat meminta fatwa hukum, dan
sebagainya. Juga merujuk pada praktek Khulafa' Al Rasyidin.

7
Daftar Pustaka
 Supriadi AM, Konsep Pembaruan Sistem Pendidikan Islam Menurut
Muhammad ‘Abduh, Jurnal Kordinat, Kopertais Wil. I. DKI Jakarta, Jakarta:
2016), Kordinat- XV, No. 1 April 2016.
 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, (Daar al-Kutub Ilmiyyah,
Beirut: 1999.
 Abu al-A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, h. 189. juga W. Montgomery,
Kerajaan Islam, h. 12
 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, Sepintas Tentang Ali Syari’ati, Dalam Ali Syari’ati,
Al-Ihasan, Al-Islam wa Madaris Al-Gharb, h. 12
 Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis, h.58
 Ali Rahmena, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:
Erlangga, 2006)

Anda mungkin juga menyukai