Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PEMIKIRAN TAFSIR KONTEMPORER

(Wawasan Al-Quran Tentang Islam Liberal, Islam Sekuler, dan Islam Modernis )

Makalah Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hermeneutika

Dosen Pembimbing :H. Fitrah Sugiarto M. Th. I

Disusun oleh :

1. YUZI ROYANTO : 170601047


2. ABDUL GHANI : 170601031

MAHASISWA SEMESTER V B

PROGRAM STUDI ILMU QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta, taufik dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Islam
Liberal, Islam Sekulerisme dan Islam Moderenis dengan baik meskipun masih terdapat
banyak sekali kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita semua. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi diri kami sendiri maupun
pembaca.

Mataram, 30 September 2019

Kelompok II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................

1. Latar Belakang .................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................................

1. Islam Liberal .....................................................................................................................

2. Islam Sekuler ....................................................................................................................

3. Islam Moderenis................................................................................................................

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................................

A. Kesimpulan ......................................................................................................................
B. Daftar Pustaka ..................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Setiap produk pemikiran, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari epistemology atau
cara pandang mereka terhadap suatu objek tertentu berdasarkan kerangka keilmuan yang
menjadi pisau analisisnya. Dari cara pandang tersebut nantinya akan mengasilkan buah
pemikiran. Keteguhan seseorang dalam mempertahankan argumentasinya akan tercermin
apabila produk pemikirannya mampu memberikan dampak perubahan cara pandang terhadap
orang lain. Seperti halnya para filosof terdahulu, bahwa diantara mereka saling memberikan
kontribusi dan pengaruh pemikiran terhadap filusuf yang lainnya.

Dalam konteks Islam, Kajian pemikiran dalam Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk
membuka kerangka berfikir dalam memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang pada
titik endingnya kemudian mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran maupun tindakan.
Dalam percaturan pemikiran Islam selama ini, disatu sisi dinilai bahwa hal demikan adalah
suatu keharusan, dengan harapan membangkitkan semangat dalam memahami pesan moral
Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat untuk kehidupan manusia. Dari kebodohan menuju
berpengetahuan dan berkeadaban. Namun disisi lain, justru pemikiran yang tidak terkontrol,
akan memiliki dampak negatif terhadap gaya berfikir seseorang, sehingga antara satu dengan
yang lainnya saling klaim kebenaran dan menjatuhkan.

Sekularisasi banyak dipahami sebagai proses pemisahan agama dari dunia. Istilah ini
merupakan suatu fenomena universal dan akibat yang tak terelakkan dari proses modernisasi.
Dengan demikian, maka sekularisasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan modern dan
menjadi sebuah kemestian. Dalam kehidupan modern ini, sekularisasi tidak bisa lagi
dibendung, sehingga kalau tidak ingin tersingkir, mau tidak mau harus belajar mencintainya.
Dengan ini, maka merupakan suatu kewajiban bagi manusia yang hidup di zaman modern
seperti sekarang ini, untuk menerapkan pola hidup yang sekuler. Atas dasar inilah, tidak
heran jika dewasa ini banyak ditemukan orang yang bersikap sangat agamis hanya ketika
berada di tempat peribadatan atau melaksanakan ritual-ritual keagamaan, dan bersikap seperti
orang tak beragama ketika berada di luar agama. Memang benar, Islam pada batas tertentu
juga melakukan sekularisasi. Akan tetapi proses tersebut berdasarkan pada wahyu, dikenal
dengan istilah Islamisasi.Sejatinya, sekularisme tidak pasti berakhir dengan atheisme, agama
pun tak akan lenyap karena sekulerisme, namun sebagai gantinya, masyarakat sekuler
cenderung akan beralih dari budaya beragama kepada sekedar percaya pada agama.

Konsep pembaharuan (At-Tajdid) dalam Islam merupakan sebuah keniscayaan


dimana Nabi Muhammad sendiri telah meramalkan hadirnya pembaharu Islam pada setiap
kurun waktu seratus tahun. Pembaharu ini tidak harus satu orang setiap abadnya, namun bisa
jadi berjumlah banyak sesuai dengan bidangnya masing-masing. Syarat seorang pembaharu
yaitu memiliki kompetensi agama, dikenal dan ditunjuk oleh umat, dan memberi kontribusi
besar dalam hal pembaharuan sesuai dengan tuntutan masanya. Pada abad modern terdapat
dua tokoh yang dapat dikategorikan sebagai seorang pembaharu yaitu Jamaluddin Al-Afghani
dan muridnya yang bernama Muhammad Abduh. Kedua tokoh ini memberikan solusi jalan
tengah untuk mendamaikan konsep yang ada dalam peradaban barat dengan pokok-pokok
keyakinan dalam ajaran Islam. Bahkan kemudian menginspirasi munculnya gerakan As-
Shohwah Al-Islamiyyah (kebangkitan Islam) dan gerakan-gerakan perbaikan Islam di seluruh
dunia. Jamaluddin Al-Afghani lebih cenderung bergerak dalam dunia politik dan kekuasaan
di samping pendidikan sedagkan Muhammad Abduh lebih cenderung bergerak dalam bidang
pendidikan
BAB II

PEMBAHASAN

1. Islam Liberal
A. Difinisi Islam Liberal

Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya
adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang
artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata
Liberalism dalambahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti
kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam
bahasa prancisnya yang bermakna bebas.

Setelah dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam,
sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas. Gerakan Islam
liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk untuk membebaskan
(liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.

Lebih lanjut Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free)
dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Seandainya kita
sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam
memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri
memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang
dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk
kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan
kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak
bebas”. beberapa program Islam Liberal dengan beberapa ciri lainnya, antara lain :

a. Menolak penerapan hukum syari’at dalam kehidupan, tetapi mendorong kehidupan


sekular, yakni pemisahan agama dari kehidupan bernegara.
b. Memperjuangkan emansipasi wanita, sehingga wanita benar-benar setara dengan lelaki.
c. Menganggap semua agama adalah baik dan benar
d. Menolak hukum-hukum fiqh yang sudah mapan
e. Menganggap al-Qur’an sebagai produk budaya, bukan wahyu yang sacral.

B. Sejarah Islam Liberal

Islam liberal pada mulanya diperkenalkan oleh buku “Liberal Islam : A Source Book”
yang ditulis oleh Charles Kuzman (London, Oxford University Press, 1988) dan buku
“Islamic Liberalism : A Critique of Development Ideologies ” yang ditulis oleh Leonard
Binder (Chicago, University of Chicago Press, 1998). Walaupun buku ini terbit tahun 1998,
tetapi idea yang mendukung liberalisasi telah muncul terlebih dahulu seperti gerakan
modernisasi Islam, gerakan sekularisasi dan sebagainya. Oleh sebab itu walaupun Jaringan
Islam Liberal di Indonesia bermula tahun 2001, tetapi idea-idea Islam Liberal di Indonesia
sudah ada sejak tahun 1970 dengan munculnya idea sekularisasi dan modernisasi Islam yang
dibawa oleh Nurkholis Majid, Harun Nasution, Mukti Ali, dan kawan- kawannya.

Gerakan liberalisme ini sebenarnya adalah pengaruh dari pada falsafah liberalisme yang
berkembang di negara Barat yang telah masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan seperti
liberalisme ekonomi, liberalism budaya, liberalisme politik, dan liberalisme agama. Gerakan
Liberalisme di Barat bermula dengan gerakan reformasi yang bertujuan menentang
kekuasaan Gereja, menghadkan kekuasaan politik, mempertahankan pemilikan serta
menetapkan hak asasi manusia. Gerakan liberalisme tersebut masuk ke dalam bidang agama,
sebagai contoh gerakan reformasi Inggris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan
kekuasaan golongan agama (papal jurisdiction) dan menghapuskan cukai terhadap gereja
(clerical taxation). Oleh sebab itu gerakan liberalisme berkait rapat dengan penentangan
terhadap agama dan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau
raja-raja yang memerintah atas nama Tuhan.

Gerakan liberalisasi agama ini telah lama meresap ke dalam agama Yahudi dan Kristian.
Contohnya, Gerakan Yahudi Liberal (Liberal Judaism) telah muncul pada abad ke-19 sebagai
usaha menyesuaikan dasar-dasar agama yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan
(Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Organisasi Yahudi Liberal
diasaskan pada tahun 1902 oleh orang yahudi yang memiliki komitmen terhadap falsafah
liberal dengan tujuan mempercayai kepercayaan dan tradisi Yahudi dalam dunia
kontemporer. Akibatnya daripada pemahaman liberal tersebut maka daripada 31 pemimpin
agama yang tergabung dalam persatuan Rabbi Yahudi Liberal (Liberal Judaism’s Rabbinic
Conference) terdapat empat orang rabbi lesbian dan dua orang rabbi gay.

Dalam agama Kristian juga terdapat golongan Kristian Liberal, di mana mereka
melakukan rekonstruksi keimanan dan hukum dengan menggunakan metode sosio-historis
dalam agama (mengubah prinsip iman dan hukum agama sesuai dengan perkembangan
masyarakat), sehingga Charles A. Briggs, seorang Kristian Liberal menyatakan : “It is
sufficient that Bibel gives us the material for all ages, and leaves to an the noble task of
shaping the material so as to suit the wants of his own time”.

Akhir-akhir ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama Yahudi dan Kristian
mulai diikuti oleh sekumpulan sarjana dan pemikir muslim seperti yang dilakukan oleh Nasr
Hamid Abu Zayd (Mesir), Muhammad Arkoun (Al Jazair), Abdulah Ahmed Naim (Sudan),
Asghar Ali Enginer (India), Aminah Wadud (Amerika), Noorkholis Madjid, Syafii Maarif,
Abdurrahman Wahid, Ulil Absar Abdalla (Indonesia), Muhamad Shahrour (Syria), Fetima
Mernisi (Marocco) Abdul Karim Soroush (Iran), Khaled Abou Fadl (Kuwait) dan lain-lain.
Di samping itu terdapat banyak kelompok diskusi, dan institusi seperti Jaringan Islam Liberal
(JIL – Indonesia), Sister in Islam (Malaysia) hampir di seluruh negara Islam.

Golongan Islam Liberal tidak menzahirkan diri mereka sebagai orang yang menolak
agama, tetapi berselindung di sebalik gagasan mengkaji semula agama, mentafsir semula al-
Quran, menilai semula syariat dan hukum- hukum fiqih. Mereka menolak segala tafsiran
yang dianggap lama dan kolot mengenai agama termasuk hal yang telah menjadi ijmak
ulama, Termasuk tafsiran dari pada Rasulullah dan sahabat serta ulama mujtahid. Bagi
mereka agama hendaklah disesuaikan kepada realita semasa, sekalipun terpaksa menafikan
hukum-hukum dan peraturan agama yang telah sabit dengan nas-nas syara’ secara putus
(qat’ie). Jika terdapat hukum yang tidak menepati zaman, kemodenan, hak-hak manusia, dan
tamadun global, maka hukum itu hendaklah ditakwilkan atau sebolehnya digugurkan.

Gerakan Islam Liberal sebenarnya adalah lanjutan dari pada gerakan modernisme Islam
yang muncul pada awal abad ke-19 di dunia Islam sebagai suatu konsekuensi interaksi dunia
Islam dengan tamaddun barat. Modernisme Islam tersebut dipengaruhi oleh cara berfikir
barat yang berasaskan kepada rasionalisme, humanisme, sekularisme dan liberalisme.

Konsep ini mencerminkan jiwa yang tidak beriman kerana kecewa dengan agama.
Konsep tragedi ini mengakibatkan mereka asyik berpandu kepada keraguan, dan dalam
proses ini falsafah telah diiktiraf sebagai alat utama menuntut kebenaran yang tiada tercapai.

C. Ciri-Ciri Pemikiran Islam Liberal.

Leonard Binder, penulis buku Islamic Liberalism dan seorang pakar politik beragama
Yahudi dari Universiti Chicago mengakui bahwa sekularisme sebenarnya telah gagal di
Timur Tengah (dunia Islam), oleh sebab itu kini barat memberikan konsep Islam Liberal
untuk memperkuat liberalisme politik di negara-negara muslim. Buku ini (Islamic liberalism)
mempersoalkan kemungkinan wujudnya Islam Liberal dan menyimpulkan bahawa tanpa
liberalisme Islam yang kuat, maka liberalisme politik di Timur Tengah tidak akan berhasil.

Disisi lain ciri-ciri pemikiran Islam Liberal menurut Khalif Muammar adalah :

1. Rasionalisme dan Sekularisme.


2. Penolakan terhadap syariah.
3. Pluralisme Agama.
4. Penolakan terhadap autoriti keagamaan.
5. Kebebasan mentafsirkan teks-teks agama Islam.
6. Tiada dakwaan kebenaran (faham relativisme).
7. Mempromosikan nilai-nilai Barat.
8. Pembebasan Wanita.
9. Mendukung demokrasi liberal sepenuhnya

Terdapat berbagai problem-problem atau isu-isu kemanusiaan dalam konteks


kenegaraan, kemasyarakatan dan keagamaan, dan keilmuan, seperti adanya system teokrasi
dalam Islam, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non muslim, kebebasan berfikir, serta
gagasan tentang kemajuan, dapat dikemukakan sebagai berikut:

a) Menentang teokrasi

Kaum muslim liberal berkeberatan terhadap pemberlakukan syariah karena


beberapa alasan. Argumen tradisional, yang dipelopori oleh ali abd raziq dan
diagungkan oleh Khalaf Allah, menerapkan bentuk silent shari’a: wahyu ilahi
menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi
Muhammad saw merupakan pemimpin pemerintahan sekaligus juga pemimpin
agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan
selanjutnya. Karena Al Quran hanya lebih memberikan penekanan pada penciptaan
masyarakat yang adil ketimbang ideology Negara, bentuk Negara yang dipilih
bukanlah sesuatu yang diamanatkan. Kaum muslimin seharusnya memandang al
quran sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hukum.
Dengan demikian, Negara muslim yang baru sesungguhnya adalah Negara sekuler,
dengan ketentuan bahwa istilah Negara sekuler tersebut tidak dipahami dalam sebuah
pengertian yang negatif. Negara yang demikian dapat melindungi agama dari
manipulasi politik oleh kekuasaan Negara

b) Demokrasi

Muhammad bin al Arbi al alawi berpendapat tentang masalah demokrasi


bahwa hak penguasa untuk merumuskan sebuah konstitusi bagi kepentingan diri
mereka sendiri yang upaya perwujudannya dengan memaksa rakyat untuk
memberikan suaranya merupakan kontradiksi yang menyolok dengan prinsip-prinsip
Islam dan bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional.

Islam hanya menentukan syura(musyawarah) sebagai sebuah metode untuk


menentukan pilihan, apapun keadaan yang harus dihadapi, ummah(masyarakat
islam)bebas untuk memilih dan menunjuk pemimpin. Prosedur yang sebenarnya
diserahkan kepada mereka untuk menentukan sendiri, dan karena itu boleh jadi
berbeda dari waktu kewaktu dan dari satu tempat ketempat yang lainnya.

c) Mengangkat hak-hak perempuan

Posisi Islam liberal terhadap hak-hak perempuan, tidak seperti tentang


demokrasi yang tidak terlalu banyak disinggung dalam penafsiran-penafsiran oleh
para kaum intelektual muslim, melainkan dihadapkan pada sejumlah peryataan Ayat
Al Quran dan sunnah yang kelihatannya menunjukkan kontradiksi langsung. Sebagai
contoh, Ayat al Qur’an tentang poligami bagi laki-laki, hak-hak unilateral kaum pria
untuk bercerai, hak-hak kewarisan dan otoritas kesaksian hukum pria yang lebih
besar. Hadits-hadits tentang jilbab, pemisahan gender, dan ketidaksesuaian kaum
perempuan untuk menjadi pemimpin sebuah komunitas muslim. Para cendekiawan
liberal menentang pernyataan-pernyataan dengan berbagai cara. Pertama-pertama
memeriksa kembali pernyataan-pernyataan tersebut dan kedua menyimpulkan bahwa
pernyataan-pernyataan itu tidak benar-benar mengurangi hak-hak kaum perempuan
sebagaimana anggapan sebelumnya.

d) Menghargai hak-hak non muslim.

Muhammed Talbi menggunakan pendekatan teoretis terhadap topic tentang


hubungan antar agama, dan mengemukakan pendapatnya menurut 3 ketiga model
islam liberal. Talbi mengutip ajaran ajaran positif mengenai perlakuan yang baik
terhadap non muslim.(model liberal shari’a), dia berpendapat bahwa ajaran tentang
toleransi memungkinkan pembentukan dialog antar komunitas, tanpa memperhatikan
contoh-contoh masa lalu(model liberal shari’a). Dan dia menentang unsur-unsur
syariah yang tidak toleran, khususnya mengenai hukuman mati bagi orang murtad,
sebagai sesuatu yang potensial menimbulkan keragu-raguan(model interpreted
shari’a). Sebagaimana muzaffar, pundato dan yang lainnya, talbi menerjemahkan
pandangan liberalnya kedalam aksi politik bergabung dengan kaum liberal dari agama
lain dalam dialog umum dan menyerukan untuk mengurangi ketegangan-ketagangan
yang bermuatan agama.

e) Menghargai kebebasan berfikir

Pendekatan liberal shari’a tentang kebebasan berfikir menyatakan bahwa


Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemikir dan bahwa syariah mendorong
kaum muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Kata “kebebasan” ini
merupakan kata yang dipilih Tuhan bagi orang-orang yang diberkahi disurga.

Sedangkan pendekatan silent shari’a, berdasarkan alasan-alasan prakmatis


meperlihatkan bahwa kebebasan berfikir berguna bagi kemajuan intelektual dunia
muslim dan karena itu diperbolehkan berdasarkan ajaran-ajaran yang bersifat umum
berkaitan wujud komunitas yang baik.

Dibawah karunia kebebasan, masyarakat harus diberikan perlindungan dalam


mengembangkan aktifitas penelitian berikut perenungannya. Masyarakat harus diberi
kebebasan untuk berfikir dan berpendapat. Masyarakat seperti inilah yang
didambakan oleh demokrasi.

f) Gagasan tentang ide pembaharuan (kemajuan).

Pada sisi ini, Charles Kurzman memandang bahwa modernitas dan perubahan
sebagai perkembangan-perkembangan positif yang potensial. Sikap ini merefleksikan
sebuah peralihan kebiasaan yang signifikan dari pandangan tradisional dalam islam,
yang memandang sejarah kontemporer sebagai kemunduran dan peralihan yang
berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan yang diagungkan. Dalam
konteks ini, kemajuan atau progress hanya berarti sebuah pemulihan praktik-praktik
masa lalu.

Sebagaimana dikemukakan oleh rahman, model interpretasi shari’a dalam konteks ini
memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolute adalah tidak mungkin dan diperlukan.
Perbedaan pendapat keberadaannya sangatlah berarti, harus diberi nilai positif yang tinggi.
Rahman mengkritik pemikiran islam tradisional yang lebih terikat pada penafsiran masa lalu
ketimbang menghadapi tantangan perubahan.

2. Islam Sekularisme
A. Pengertian Sekularisme
dalam pengertian ruang adalah Mundus. Sekularisme diterjemahkan kedalam bahasa
Inggris secularism yang berarti bersifat keduniaan, non agama atau irreligious ,non spiritual
Secara terminologi Secara etimologi Seculer dari bahasa latin yang berarti saeculum, yang
memiliki dua konotasi yaitu Time ( masa ) dan Location ( tempat ). Sekuler dalam pengertian
waktu menunjukan kepada “ sekarang “ dan dalam pengertian ruang berarti “ dunia atau
duniawi “. Makna lain dari sekuler atau unspiritual seluruhnya berdasarkan dari kata dunia (
world ).
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata sekuler dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari
cengkeraman kekuatan Gereja yang sangat kuat di zaman pertengahan. Pembebasan dari
asuhan agama dan metafisika, dari sebuah pengalihan perhatian “ dunia lain “ menuju “ dunia
kini “. Maka tidak sepantasnya kaum kristen menolak sekulerisasi yang menjadi konsukensi
otentik dari kepercayaan Bible. Sewajibnya kaum kristen memelihara sekularisasi ini.
Dengan ini pun Harvey Cox, salah seorang “Penabuh Genderang “ dibarat, membedakan
sekularisasi dan sekularisme. Menurutnya sekularisme adalah nama sebuah ideologi yang
tertutup. Sedangkan sekularisasi lebih membebaskan alam masyarakat dari kontrol agama
dan pandangan yang tertutup.
Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia pertama dari belenggu agama dan
metafisika yang terlalu mengatur akal dan kehidupan manusia. Kebebasan yang menurutnya
terlepas segala paham berunsurkan agama, menghapus segala mitos, membebaskan segala hal
dari campur tangan nasib, dan bertahan bahwa nasib dunia ada pada tangan pribadi masing-
masing. Karena sudah menjadi sebuah keharusan bagi kaum kristen pun dilarang keras untuk
menolak ajaran ini, melainkan menyokong, mendukung dan memelihara sekularisasi.
Sekularisasi pun dapat diartikan sebagai faham atau pandangan yang berpendirian
bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Dengan beberapa devinisi diatas
maka, munculah beberapa perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme walaupun sekilas
keduanya tampak sama.

B. Latar belakang sejarah dan perkembangan


Sekularisasi menjadi fenomena khas dalam dunia kristen melalui penyebaran yang
membawa pesan sekukarisasi. Ada beberapa latar belakang yang menjadi dasar bangsa Barat
dalam memilih jalan hidup sekuler dan mengglobalkannya dalam pandangan hidup dan nilai-
nilai keseluruh dunia, termasuk dunia Islam. Diantaranya :
1. Problema Sejarah Kristen.
Sejarah ini bermula pada zaman Gereja Konstantinopel, antara katolik dan
protestan. Berbagai konflik dan pertumpahan darah yang terjadi memunculkan
pemikiran bahwasanya toleransi antar masyarakat terjadi jika menghilangkan
kekuasaan Gereja atas politik. Salah satu fenomena penting dalam sejarah abad
pertengahan di Eropa adalah upaya gereja kristen memperoleh dan memelihara
kekuatan politiknya. Setelah beratus-ratus tahun lamanya dibawah penindasan
Imperium Romawi maka agama Kristen pun dapat menghirup udara kebebasan.
Konflik bermula pada pertengahan abad ke-11 saat seorang paus bernama
Gregorius melarang keterlibatan raja dalam urusan pengangkatan pejabat gereja. Paus
berargumen penuh bahwa yang berhak mengangkat ataupun memberhentikan uskup
adalah Paus, bukan kaisar. Di zaman ini pula lahirlah institusi Gereja yang kejam nan
jahat yaitu Inquisisi. Metode ini digunakan oleh Gereja protestan untuk melakukan
penindasan dan kontrol terhadap kaum katolik di daerah mereka yang berlangsung
hingga akhir abad ke-17. Inquisisi yang penuh dengan siksaan dan pembakaran
terhadap korban ini justru dilakukan oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas
perintah wakil kristus.
Dendam masyarakat barat ini kepada tokoh Agama membawa pengaruh besar
terhadap sikap Barat dalam memandang Agama. Hal ini juga menjadi trauma bagi
masyarakat barat yang kemudian lahirlah daripadanya paham sekularisme, bahwa
antara Agama dan negara harus dipisahkan. Agama dianggap sebagai wilayah
pribadi, dan negara sebagai wilayah publik.
2. Problema teks dalam Bible.
Hingga kini penulis bible masih merupakan misteri bagi agama kristen sendiri.
Sejatinya, dalam buku tertua di duni, tidak pernah tercatat bahwa Moses adalah
penulis kitab suci agama kristen. Cetakan pertama dari The New Tastement hadir
dengan bahasa Greek di Spanyol pada tahun 1514. Mereka menyadari rumitnya
memahami bahasa Greek dalam bible dengan banyaknya manuskrip menyebabkan
keanekaragaman teks dalam bible. Hingga pada tahun 1519, terbitlah edisi kedua dari
The New Testament dalam bahasa Yunani. Teks inilah yang digunakan untuk
menerjemahkan bible dalam bahasa Jerman dan Inggris .
Penggunaan bahasa dalam beberapa teks bible dengan versi yang berbeda-beda
pun menimbulkan banyak kesalah pahaman dalam mengartikan maksud teks tersebut.
3. Problema Teologi Kristen
Kekacauan para pemikir kristen di dunia barat memberikan pengaruh besar bagi
simpangsiur dalam kultural barat sendiri . Jika dilihat dengan cermat maka titik
problem itu terletak pada para ilmuwan dan pemikir yang dipaksa untuk tunduk pada
teks bible dan otoritas Gereja. Maka tidak sedikit hasil pemikiran para ilmuwan
mengalami benturan dengan paksaan ini.
Tentang konsep ketuhanan Yesus pun terdapat keyakinan bahwa Yesus bukan
berasal dari zamannya, tetapi dari konsili Nicea yang dipimpin oleh seorang kaisar
konstantin. Begitu juga dengan “penyaliban “ dan “ kebangkitan “ yang merupakan
doktrin utama dalam teologi Kristen, maka timbulah berbagai jenis perdebatan.
Diantaranya pun menceritakan tentang kubur Yesus yang kosong . Maka lahirlah
pertanyaan-pertanyaan atas sosok Yesus merupakan fiktif atau simbolik.
Terlihat bahwa pemikiran kaum Kristen tentang Yesus berbeda satu dengan
lainnya. Padahal iman sendiri mestilah mendahulukan pemahaman terlebih dahulu
dan akan selalu melampaui pemahaman. Teologi maupun Kristologi hanyalah sebuah
sarana. Dalam Kristologi tidak membicarakan tentang Yesus Kristus melainkan
pikiran orang-orang tentang Yesus . Kepelikan para Teolog sejak zaman dahulu yang
merumuskan pemahaman Yesus tidak pernah mencapai titik temu, karena jelas bahwa
Yesus sendiri tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan dalam teks Bible
manapun.
Adapun yang mereka temukan adalah seluruh hakekat sifat kemanusiaan dalam
diri Yesus. Problem teologi Kristen ini membentuk sikap “ traumatis” dalam diri
masyarakat barat.

C. Ciri – ciri atau ajaran


Bagian-bagian utama dari dimensi sekularisasi yang diajarkan adalah sebagai berikut :
1. Penghilangan pesona alam tabii’ ( disenchantment of nature )
Inilah penghapusan makna-makna rohani dan unsur keagamaan. Memisahkan diri
manusia dengan dewa-dewanya dan kekuasaan Tuhan. Maka manusia tidak lagi
terikat dengan tuntutan dalam Agama yang suci. Manusia pun boleh bertindak bebas
sesuai dengan keinginan dan rancangan hidup individual. Menurutnya sains akan
berkembang dan maju jika dunia dikosongkan dari tradisi atau agama yang
menyatakan adanya kekuatan supranatural yang menjaga dunia. Dengan kata lain,
manusia harus mengeksploitasi alam seoptimal mungkin tanpa perlu dibatasi oleh
pandangan hidup agama apa pun.
2. Peniadaan kesucian dan kewibaan agama dari politik ( desacralization of politics )
Dalam hal ini yang dilakukan adalah menghapus keabsahan agama dalam
kekuasaan politik. Menghapuskan segala hal yang menimbulkan munculnya
pergerakan sejarah. Dalam artian, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan
dari politik. Oleh karena itu, peran agama terhadap institusi politik harus disingkirkan,
karena menurut mereka ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan
sosial. Inilah salah satu dari rekayasa atau skenario pembentukan sejarah versi
manusia.
3. Penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan manusia (
deconsecration of values )

Ajaran ini akan menjadikan semua jenis karya budaya hanya berdasarkan dari
pandangan alam yang memiliki makna akhir dan tidak bisa diubah lagi. Dengan inilah
masa depan akan mengalami perubahan dengan kebebasan manusia dalam
menciptakan perubahan dan melibatkan dirinya dalam proses “ evolusi “. Perubahan
pada nilai-nilai ini juga merupakan pertukaran akidah dan terjadi pada tindakan serta
sikap manusia terhadap sejarah. Semua nilai-nilai akan terus menerus mengalami
pembaharuan sesuai dengan sejarah yang berevolusi.

Secara khusus, keutamaan nilai-nilai keagamaan dan kebiasaan hadir di gereja


diharapkan akan terkikis saat sebuah masyarakat mengalami transisi jangka panjang
dari masyarakat agraris yang lebih miskin ke negara industri yang lebih makmur.

D. Kritik dari prespektif Islam

Ideology sekuler akan memberi makna baru terhadap konsep Tuhan,wahyu, alam,
kenabian , manusia, kepemimpinan, moral dan etika yang telah pasti dalam ajaran agama
Islam. Ideologi sekularisme akan terus menceraikan hubungan antara alam dan Tuhan.
Sekalipun Islam mempunyai sisi dalam pengosongan nilai-nilai, tetapi hal itu lebih diberatkan
kepada animisme, takhayul, khurafat dan mengisinya dengan nilai-nilai Islami , dengan
pandangan bahwa alam semesta adalah tanda-tanda kekuasaan Allah swt.

Begitupun dalam desakralisasi politik yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang
membuang peranan ulama dalam pemerintahan. Hal ini sangat bertentangan dengan risalah
Rasulullah SAW yang mengajarkan dirinya menjadi pemimpin negara dan kemudian
dilanjutkan oleh para khulafa setelahnya. Seluruhnya memiliki kepribadian yang arif dalam
masalah agama. Menceraikan Islam dari politik akan menghalangi sepak terjang agama Islam
dalam masyarakat . Dengan demikian agama menjadi urusan pribadi bukan publik.

Dalam relativisme sejarah, yang mana hal ini menjadi titik utama dalam pemikiran
sekuler juga bertentangan dalam ajaran Islam. Agama Islam memiliki nilai-nilai kebenaran
yang mutlak bukan hanya untuk masa dahulu, tetapi untuk sekarang dan akan datang, bersifat
sepanjang masa. Penolakan agama Islam atas ide relativisme yang dianut oleh sekularis ini
dikarenakan ide ini akan merelativkan semua system akhlak .

Dapat dipastikan bahwa sekularisme tidak terdapat dalam ajaran Islam, karena bertujuan
untuk memisahkan antara akal dan ilmu, antara agama dan kehidupan. Inilah hal besar yang
ditentang oleh ajaran agama Islam sendiri. Karena didalam agama Islam sendiri tidak ada
pemisahan antara agama dan negara. Dalam Al-Qur’an telah dipaparkan mengenai politik di
zaman para khulafa’ Ar-rasyidin. Definisi politik sendiri menurut para ulama ialah untuk
melanjutkan peran Rasullulah SAW dalam penegakan agama dan pengaturan dunia.

Dengan melihat konsep sekuler tentang motto bahwa Agama adalah untuk Tuhan
sedangkan Negara adalah untuk semua, adalah keburukan jahiliyyah yang tidak dapat
diterima dalam pandangan Islam. Dalam agama Islam penciptaan segala sesuatu dan pengatur
segala urusan bahkan masalah yang diperbuat oleh manusia termasuk dalam ruang lingkup
kehendak dan penguasaanNYA. Sedangkan manusia hanyalah khalifah Allah yang mengatur
sesuai dengan kehendakNYA.

Sebagai khalifah, manusia terikat dengan syari’ahNYA dalam segala perbuatan. Maka
sangat tidak semestinya konsep agama Islam bahwa Allah yang maha pengatur segala urusan
dimuka bumi ini disandingkan dengan konsep pemisah antara agama dan Negara yang
ditawarkan oleh sekularisme.

Rasulullah SAW telah merumuskan prinsip Al-Qur’an sebagai refrensi agama landasan
atas pembentukan sebuah Negara dan mewujudkan kehidupan yang kaffah. Karena jika
undang-undang dalam suatu Negara dibentuk berdasarkan syari’at Allah, maka inilah politik
agama yang memberi manfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat . Segala aspek
kepemimpinan berujung pada segala kemaslahatan seluruh umat. Tetapi apa yang dibawa
oleh kaum sekuler hanya mengatur menurut peraturan akal untuk mewujudkan kemaslahatan
duniawi saja.

3. Islam Modernis
A. Pengertian Mujaddid Dan Modernis Islam

a. Pengertian Mujaddid

Istilah Mujaddid secara bahasa berasal dari Bahasa Arab yaitu Jaddada – Yujaddidu
yang bermakna memperbaharui. Mujaddid sendiri adalah isim fa‟il (subjek) sehingga
maknanya yaitu „orang yang memperbaharui

Jadi istilah Mujaddid yang dimaksud di sini yaitu memperbaharui perkara-perkara


yang bersinggungan dengan agama. Dan yang dimaksud dengan memperbaharui agama disini
bukan mengubah dasar atau perkara fundamental dalam agama, namun dia berkaitan dengan
perkara cabang yang membangun Islam.

Dalam „Aunul Ma‟bud disebutkan bahwa kriteria seorang Mujaddid setidaknya


adalah sebagai berikut: Menguasai ilmu agama, masyhur, ditunjuk oleh umat, dan hidup
hingga akhir abad. Sa‟id Hawa menambahkan kriteria lain yaitu memberikan kontribusi
manfaat untuk Islam.

Lima kriteria di atas ada yang dapat dinilai secara objektif berdasarkan fakta-fakta dan
adapula yang bisa bersifat subjektif atau relatif, berbeda penilaiannya dari satu orang ke yang
lainnya. Yang paling kentara sifat relatifnya adalah kriteria „ditunjuk‟ (yusyaaru ilaiih). Ini
tentu akan menimbulkan pertanyaan semisal : „Siapa yang menunjuk?‟, „Berapa banyak
yang harus menunjuk?‟, dan seterusnya.

b. Pengertian Modernis Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata modern bermakna terbaru, mutakhir, atau
sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan imbuhan –is
di belakang kata modern bermakna menunjukan pada orang yang melakukan pembaharuan
atau pemutakhiran mengenai suatu hal tertentu.

Sehingga istilah „Modernis Islam‟ dapat diartikan sebagai orang yang melakukan
pembaharuan dalam agama Islam dan menjauhkannya dari kejumudan dalam rangka
merespon tantangan zaman. Namun adapula pengertian lain mengenai modernisme Islam,
yaitu : “Gerakan yang telah digambarkan sebagai „respons ideologis Muslim pertama‟ yang
berusaha untuk mendamaikan iman Islam dengan nilai-nilai Barat modern seperti
nasionalisme, demokrasi, hak-hak sipil, rasionalitas, kesetaraan, dan kemajuan.”
Dalam hal latar belakang tentu dunia barat dan dunia Islam jauh berbeda. Dalam
dunia barat modernitas melahirkan sekulerisme yang bertentangan dengan prinsip agama di
sana, yaitu kristen. Dimana para ilmuan menempati posisi yang berseberangan dengan
otoritas keagamaan di sana. Namun dalam Islam kondisi ini jelas berbeda karena sejarah
mencatat banyak pemegang otoritas kegamaan di dunia Islam dan pada saat yang sama juga
merupakan seorang ilmuan dan saintis. Artinya bahwa Islam lebih adaptif dan akomodatif
terhadap perubahan zaman (Solihun likulli zaman).

Meski begitu akan lain halnya jika berbicara umat Islam yang mungkin saja kurang
adaptif terhadap perubahan zaman karena sikap yang cenderung kaku (tasyaddud) dalam
memahami teks (literal), bahkan cenderung parsial. Hal ini terbukti dengan munculnya
paham khawarij sejak abad pertama lahirnya Islam. Di lain sisi adapula yang terlalu
akomodatif terhadap nilai modern sehingga mengabaikan nilai-nilai substantif dalam Islam
itu sendiri, yang dalam perjalanan sejarah Islam tercermin dengan kemunculan kelompok
muktazilah. Seharusnya sebagai seorang muslim mampu akomodatif terhadap zaman namun
tidak pula kehilangan jati diri dan mengabaikan nilai-nilai fundamental dalam ajaran Islam.

Kontribusi Jamaludin Al-Afghani Terhadap Islam

Dalam hal madzhab keagamaan dan politik, Al-Afghani bermadzhab Hanafi, walau
dalam hal akidah beliau tidak menggunakan metode taqlidi (konservatif) namun menurut
Muhammad Abduh beliau selalu berpedoman pada sunnah-sunnah yang sahih, beliau juga
cenderung mengikuti jalan kesufian. Secara politik Al-Afghani berpedoman pada nilai-nilai
Islam untuk membangkitkan kembali kejayaannya. Di antaranya adalah penentangan
terhadap penjajahan Inggris di wilayah timur dan mereduksi pengaruh Inggris terhadap
pemimpin-pemimpin Islam disana.

Membuat koran Al-Urwah Al-Wutsqa di Paris bersama dengan Muhammad Abduh.


Serta menulis berbagai karya semisal Taarikh AlAfghan dan Risalat Ar-Radd „ala Ad-
Dahriyyin. Terdapat pula karya yang memotret biografi dan pemikirannya semisal Khatirat
Jamaluddin AlAfghani oleh Muhammad Basya, atau Jamaluddin Al-Afghani Baa‟its
AnNahdhat Al-Fikriyyah fii Asy-Syarq oleh Muhammad Salam Madkur.

Al-Afghani juga menyusun rancangan undang-undang kenegaraan Iran namun ditolak


oleh Syah Iran karena isinya mereduksi kekuasaan mutlak dan memperbesar pengaruh rakyat
dalam wujud majelis perwakilan.
Pemikiran dan Pengaruh Al-Afghani dalam Dunia Islam

Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani diantaranya yaitu pelestarian ijtihad, pemurnian


ajaran Islam dan salafiyah, penentangan terhadap penjajahan, panIslamisme (persatuan
Islam), penyatuan agama dan politik, dan modernitas.

Gerakan yang dimunculkan oleh Jamaluddin Al-Afghani juga menjadi penggerak


lahirnya gerakan As-Sahwah Al-Islamiyyah (kebangkitan Islam) yang hadir setelahnya. Hal
ini terungkap dalam konfrensi di Qairawan, Tunisia yang digagas oleh PBB pada tahun 1983
yang menyebut bahwa gerakan kebangkitan Islam berkaitan erat dengan edukasi yang telah
dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afghani.

Syakib Arsalan berkomentar mengenai Al-Afghani dan menyebutnya sebagai seorang


filsuf muslim yang telah menjadi lentera perbaikan yang bersinar di ufuk timur setelah
pekatnya kegelapan. Ibnu „Asyur menyebutnya sebagai orang yang bijaksana, sufi, zuhud,
dan tawadhu. Muhammad Imarah menyebutnya sebagai Imam dalam sastra, hikmah, dan
pembaharuan agama.

Tidak hanya dari masyarakat timur yang menghromati Al-Afghani, bahkan para tokoh
di barat pun menaruh penghargaan yang besar. Ernest Renan yang merupakan filsuf Perancis
misalnya, merasa seolah tengah berhadapan dengan tokoh besar seperti Ibnu Sina atau Ibnu
Rusyd ketika berdiskusi dengan Al-Afghani. Begitu pula halnya dengan politikus dan
orientalis Inggris, S. Blunt yang menyebut Jamaluddin sebagai seorang jenius yang mampu
memberikan pengaruh besar pada gerakan perbaikan Islam.

Namun tidak berarti bahwa tidak ada yang menentang Jamaluddin AlAfghani, bahkan
di antara kaum muslimin sendiri ada yang menghujaninya dengan tuduhan dan fitnah semisal
disebut zindiq dan mulhid (atheis), yang kemudian memunculkan buku bantahan semisal
Jamaluddin Al-Afghani Baina Haqaiq At-Tarikh wa Akadzib Luis „Awadh yang disusun oleh
Muhammad Imarah atau Jamaluddin Al-Afghani Al-Muslih Al-Mutaro „alaih oleh Muhsin
Abdul Hamid.

Kontribusi Muhammad Abduh Terhadap Islam

Muhammad Abduh telah menelurkan banyak karya yang memuat pemikirannya, yang
pertama yaitu koran Al-„Urwah Al-Wutsqa yang merupakan karya bersama dengan gurunya,
Jamaluddin Al-Afghani dan diterbitkan di Paris. Selain itu beliau juga menulis Risalat At-
Tauhid yang membahas perjalanan sejarah ilmu teologi Islam beserta pembahasan berbagai
permasalahannya serta metode dalam mempelajarinya. Beliau menjelaskan kaitan akal
dengan syariat beserta peran filsafat dalam perkembangan ilmu akidah itu sendiri dengan
batasan-batasan tertentu.

Beliau juga menerangkan mengenai tidak relevannya taklid dalam Islam karena taklid
akan menegasikan dan menihilkan peranan akal manusia, padahal Allah memerintahkan
untuk berpikir dan menggunakan akal. Bahkan beliau menyebut bahwa Islam sendiri
melarang umatnya untuk bertaklid.

Selain itu Muhammad Abduh bersama muridnya, Rasyid Ridha juga membuat
majalah Al-Manar yang menjadi penyampai ide gerakan pembaharuan dalam dunia Islam dan
menjadi penerus dari surat kabar AlUrwah Al-Wutsqa. Dan dari majalah Al-Manar kemudian
muncul Tafsir AlManar yang merupakan seri kajian tafsir dalam majalah tersebut.
Muhammad Abduh juga yang mempelopori pendirian kampus Mesir yang baru terwujud
setelah beliau wafat, dan kemudian dinamai dengan Universitas Kairo.

Pemikiran dan Pengaruh Muhammad Abduh dalam Dunia Islam


Muhammad Abduh sebagaimana gurunya membawa ide pembaharuan dalam dunia
Islam dan kemudian ide pembaharuan tersebut terus ditularkan ke seluruh dunia Islam dan
menginspirasi banyak tokoh serta organisasi Islam, di antaranya yaitu organisasi
Muhammadiyah.
Pada bidang pendidikan dan pengajaran Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa
pendidikan merupakan „tongkat sihir‟ yang mampu mengubah segala sesuatu dan
memperbaiki kerusakan yang ada. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman
pribadinya dalam belajar dan menuntut ilmu.
Pendidikan menurut beliau juga harus berlandaskan pada agama dan lahir dari ajaran-
ajarannya, serta berkaitan erat dengannya. Karena beliau yakin bahwa agama adalah solusi
dari berbagai permasalahan dalam masyarakat. Bahkan walau beliau mengajarkan nilai
nasionalisme namun dia tidak mampu menempati posisi agama untuk membawa umat
menjadi lebih baik. Bahkan beliau menganggap menempatkan nasionalisme di atas agama
akan menyebabkan kesesatan dalam masyarakat.
Dalam bidang politik, Muhammad Abduh memandang bahwa Islam tidak
membakukan suatu sistem atau bentuk pemerintahan. Semuanya disesuaikan dengan ijtihad
yang sesuai pada masa itu dengan catatan bahwa sistem itu harus menjamin pemeliharaan
terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Adapun dalam perkara keduniaan maka terdapat
keleluasaan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam
maksudnya adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan
Liberal yang artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil
dari kata Liberalism dalambahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti
kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam
bahasa prancisnya yang bermakna bebas.

sekularisme diterjemahkan kedalam bahasa Inggris secularism yang berarti bersifat


keduniaan, non agama atau irreligious ,non spiritual Secara terminologi Secara etimologi
Seculer dari bahasa latin yang berarti saeculum, yang memiliki dua konotasi yaitu Time (
masa ) dan Location ( tempat ). Sekuler dalam pengertian waktu menunjukan kepada “
sekarang “ dan dalam pengertian ruang berarti “ dunia atau duniawi “. Makna lain dari
sekuler atau unspiritual seluruhnya berdasarkan dari kata dunia ( world ).

Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia pertama dari belenggu agama


dan metafisika yang terlalu mengatur akal dan kehidupan manusia. Kebebasan yang
menurutnya terlepas segala paham berunsurkan agama, menghapus segala mitos,
membebaskan segala hal dari campur tangan nasib, dan bertahan bahwa nasib dunia ada pada
tangan pribadi masing-masing.

Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh sama-sama memiliki kapasitas


keilmuan agama Islam sehingga dapat saja dikategorikan sebagai seorang mujaddid sekaligus
disebut sebagai seorang modernis Islam karena membuka paradigma untuk mengadopsi hal-
hal positif dari peradaban barat selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jamaluddin
Al-Afghani dan Muhammad Abduh merupakan dua orang pembaharu yang membawa ruh
pergerakan perbaikan umat Islam agar dapat membawa kembali kejayaan Islam dan kaum
muslimin. Dari gerakan inilah kemudian lahir banyak jamaah Islam yang terinspirasi dengan
teori AshShohwah Al-Islamiyyah (kebangkitan Islam
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi Didik “Modernis Islam : Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh”

Dr. Imarah Muhammad, Perang Terminologi Islam Versus Barat

Leonard binder, Islam Liberal; Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai