Anda di halaman 1dari 15

Al-Ahkam, Vol AB No C (Year): pp

DOI: http://dx.doi.org/10.21580/ahkam......
Copyright © Year al-Ahkam

HISAB DAN RUKYAT DALAM LINTAS SEJARAH

M. Akbarul Humam1, Roza Anggara2, Moh. Fadllur Rohman Karim3


Rifki Muslim4 Mahsun5
1, 2, 3, 4, 5
Pascasarjana Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang
1
m.akbarulhumam@gmail.com, 2 rozaanggara7@gmail.com,
3
mfadllurrohman@gmail.com 4 rifkymuslim642@gmail.com,
5
mahsun_mahfud@yahoo.com

Abstract
Ada dua metode yang digunakan umat Islam dalam menghitung waktu peribadatan
mereka yaitu hisab (perhitungan) dan rukyat (observasi). Adapun ibadah yang dihitung
dan diamatinya adalah waktu salat, mengukur arah kiblat, awal bulan kamariah dan lain
sebagainya. Hisab dan rukyat merupakan salah satu kajian khusus di khazanah
keilmuan ilmu falak. Tinjauannya mengacu pada dua ilmu khusus yaitu fikih dan
astronomi. Astronomi sebagai sarana untuk memahami kondisi benda-benda langit
yang dikaji seperti Matahari, Bumi, dan Bulan sesuai yang dijelaskan dalam kaidah ilmu
fikih. Ilmu fikih sebagai dasar hukum utama dan wajib dipelajari terlebih dahulu agar
dapat memahami ilmu falak secara baik. Tidak seperti ilmu astronomi yang
menggunakan kaidah ilmu sains dengan penilaian berdasarkan kebenaran mutlak,
pengamalan ilmu fikih yang berbeda dari dua golongan dapat dimungkinkan adalah
jeduanya hal yang benar. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa banyak sekali
pemahaman yang berbeda dalam ilmu fikih yang bersumber dari sumber yang berbeda.
Pada tulisan ini penulis akan menjelaskan secara singkat mengenai bagaimana
perbedaan penerapan fikih hisab rukyat dari banyak golongan. Berawal dari penerapan
hisab pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat lalu sampai pada era imam mazhab
dan modern sampai ke Indonesia. Metode penelitian berdasarkan literatur review yang
didapatkan dari karya tulis sebelumnya yang membahas penerapan hisab rukyat.
Didapatkan hasil penerapan hisab rukyat yang beragam dari setiap golongan yang
dibahas dalam peper ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan membawa dampak besar bagi penerapan ilmu fikih dalam ranah
hisab rukyat.

Keywords: hisab, rukyat, ilmu falak, sejarah

AL-AHKAM
Vol AB No. C, Month Year ║---
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
M. Akbarul Humam, dkk.

Pendahuluan
Salah satu metode yang sering digunakan umat manusia dalam mengamati
benda-benda langit adalah Rukyat (Observasi 1). Umat Islam sendiri dalam
menentukan beberapa momentum ibadahnya juga menggunakan rukyat
seperti ibadah salat, puasa, haji dan lain sebagainya. Kata rukyat sangat
berkaitan dengan pembahasan hisab (perhitungan) yang menjadi salah satu
sebagai metode pendukungnya. Hal ini disebabkan diibaratkan sebagai
pasangan yang saling melengkapi.
Dalam literasi sejarah mencatat bahwa rukyat lebih mudah digunakan
oleh semua orang sehingga lebih dulu dilakukan dari sejak zaman Nabi sampai
sekarang dibanding hisab. Secara tidak langsung metode hisab hanya sedikit
orang Islam yang mampu mengetahuinya.
Rukyatul hilal merupakan perkembangan dari kata rukyah, kegiatan ini
dilakukan oleh sebagian umat Islam di dunia dalam menentukan awal bulan
kamariah dengan cara memantau hilal di akhir bulan. Zaman Nabi saw
rukyatul hilal menggunkan mata telanjang dan oleh seiring perkembangannya
pada zaman sekarang metode rukyatul hilal saat ini sudah mengguanakan alat
bantu seperti teropong atau teleskop dan alat-alat observasi lainnya.
Perkembangan ini tentu saja melewati perjalanan yang sangat panjang
sehingga sampai sekarang sudah menggunakan alat bantu canggih yang
bermacam-macam, sehingga penulis akan mencoba menjelaskannya
bagaimana timeline sejarah perkembangan hisab rukyat dari zaman Nabi
Muhammad saw sampai zaman sekarang ini (modern).

Pengertian Hisab dan Rukyat


Ada beberapa rujukan terkait definisi hisab, dari beberapa rujukan
tersebut pada intinya menarik satu benang merah dalam mendefinisikan
hisab. Secara arti bahasa hisab berasal dari bahasa Arab dengan asal kata
hasiba-yahsabu-hisaban yang mengandung makna menghitung atau
1
Observasi memiliki makna mengintip atau mengintai yang diadopsi dari
kata rashada yang memiliki bentuk kata murshad yang artinya tempat
observasi dan mirshadah yang berarti teropong.

--- ║ Vol AB, No C, Month Year AL-AHKAM


Sort Title …

perhitungan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan arithmatic. Ini sejalan
dengan pendapatnya Muhyiddin Khazin yang menjelaskan bahwa hisab
adalah perhitungan Arithmatic. Sedangkan hisab menurut istilah adalah ilmu
pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan atau dengan
arti lain adalah ilmu hitung. Perhitungan yang dimaksud sering juga dikenal
dengan istilah hisab.
Urgensi mengetahui posisi matahari dengan hisab sangatlah penting bagi
umat Islam karena demikian dijadikan sebagai patokan dalam menentukan
masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan dijadikan patokan untuk
mengetahui hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam tahun
Hijriah. Oleh karena, ibadah-ibadah dalam Islam berkaitan langsung dengan
benda langit tersebut, maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian
yang begitu besar terhadap astronomi/falak yang alur pembahasan di
dalamnya adalah perhitungan/hisab. Sehingga banyak ulama muslim yang
telah mengembangkan metode hisab ini sejak zaman dulu hingga zaman
modern, di antaranya adalah al-Biruni (973-1048 M), al-Khawarizmi (780-847
M), al-Batani (858-929 M) dan yang lainnya, mereka telah berhasil
mengembangkan metode hisab modern.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan alat-alat canggih, semisal
komputer, kalkulator scientific atau bahkan software/aplikasi semisal aplikasi
mawaqit (aplikasi hisab karya Dr. Ing. Khafidz) sehingga kemudian ini
berpengaruh terhadap tingkat akurasi dari suatu perhitungan/ hisab.
Tentunya hisab yang menggunakan alat-alat canggih akan memberikan
pengaruh terhadap hasil yang presisi dan akurat dibandingkan dengan hasil
hisab secara manual tanpa dibantu dengan alat-alat yang canggih. Sehingga di
dalam hisab itu akan mengenal tingkatan hisab, di antaranya ada hisab ‘urfi,
hisab haqiqi dan kontemporer.
Kata rukyat berasal dari bahasa Arab yang merupakan isim masdar dari
fi’il madhi ra’a-yara’ yang artinya melihat dengan mata kepala. Bentuk
masdarnya adalah rukyat. Dimaknai demikian jika maf’ul bih nya adalah
sesuatu yang tampak atau terlihat.
Dilihat dari asal katanya memang sudah jelas bahwa rukyat dapat
diartikan melihat, arti yang paling umum adalah melihat dengan mata kepala.

AL-AHKAM Vol AB, No C, Month Year ║ ---


M. Akbarul Humam, dkk.

Rukyat dapat juga diartikan sebagai observasi atau mengamati benda-benda


langit. Jika merujuk kepada definisi secara istilah maka rukyat dapat
didefinisikan sebagai kegiatan melihat atau observasi langsung ke lapangan.
Seringkali kata rukyat ini disandingkan dengan kata hilal, sehingga kemudian
lebih dikenal dengan istilah rukyat al-Hilal. Rukyat al-Hilal adalah kegiatan
pengamatan/observasi langsung melihat hilal pada saat matahari terbenam
biasanya dilakukan pada tanggal 29 bulan Qamariyah. Kendati demikian tidak
selamanya hilal dapat terlihat, maka jika pada saat itu hilal berhasil dirukyat
(dilihat), maka sejak matahari terbenam, waktu itu juga sudah dihitung masuk
bulan baru, esok harinya otomatis tanggal 1 bulan baru. Sebaliknya jika pada
saat itu hilal tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan esok harinya belum
masuk bulan baru, kejadian ini sering dikenal dengan istilah istikmal
(digenapkan 30 hari).
Kegiatan rukyat ini merupakan komponen yang sangat penting dalam hal
penentuan awal bulan. Hal ini berpijak pada pernyataan bahwa rukyat
merupakan konsep syar’i yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. kepada
umatnya. Kegiatan ini juga merupakan observasi praktis berupa pengamatan
untuk terciptanya hasil yang ingin dicapai dalam kaitannya dengan penentuan
awal bulan Qamariyah. Rukyat ini bisa dijadikan bahan untuk mengoreksi dari
hisab/perhitungan yang dipakai.
Dewasa ini rukyat sering dilakukan dengan menggunakan peralatan
canggih seperti teleskop, kamera, teropong, binokuler, theodolite dan alat-alat
lainnya yang dilengkapi CCD imaging. Akan tetapi tentunya perlu diperhatikan
bagaimana penerapannya. Secara garis besar rukyat dapat diklasifikasikan ke
dalam dua jenis, di antaranya adalah:
Pertama, rukyat bil fi’li kelompok ini menafsirkan hadits secara harfiah,
bahwa hilal harus dilihat dengan mata secara langsung. Ini pun masih
menimbulkan tanda tanya apakah harus dengan mata telanjang? Sebagian
berpendapat bahwa hilal harus dilihat dengan mata langsung dan tidak boleh
menggunakan alat yang memantulkan cahaya, ada juga yang
memperbolehkannya.
Kedua, rukyat bil ‘ilmi golongan yang setuju dengan rukyat ini mereka
menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat. Tidak peduli apakah langit

--- ║ Vol AB, No C, Month Year AL-AHKAM


Sort Title …

sedang mendung atau badai sekalipun, selama perhitungan di atas kertas


mengatakan sudah terjadi hilal (ijtima’) maka pergantian bulan tetap terjadi.

Historitas Hisab Rukyat


Geneologi pemikiran hisab rukyat mempunyai urgensi yang perlu
dipertimbangkan sebagai bentuk konsekuensi ilmiah atas penemuan
pemikiran yang sedang berkembang saat ini. Buku atau artikel yang menulis
tentang sejarah perkembangan hisab dan rukyat tidak banyak dilakukan
karena keterbatasan referensi dan relevansinya dengan progresivitas saintifik
hisab dan rukyat.

Rukyah pada Masa Nabi


Pada masa Nabi Muhammad saw, rukyah masih belum ada permasalahan
dikarenakan pada masa itu umat Islam hanya ada di Arab dan mulai ada
perbedaan ketika umat Islam sudah mulai menyebar. Rukyah pada masa itu
hanya digunakan untuk menentukan awal bulan kKamariah seperti
Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah dan Muharram.
Kita bisa memahami bahwa penggunaan rukyat pada masa Nabi saw oleh
umat Islam sangat berkaitan dengan ibadah umat Islam seperti puasa
Ramadan, salat idul fitri, kurban, dan puasa asyura’. Dan pelaksaan rukyat
tersebut masih menggunakan kedua mata telanjang saja.
Hal ini dijelaskan oleh Muhammad Husain Farsukh bahwa sebelum masa
pemerintahan Islam orang-orang Islam belum mengetahui Ilmu Falak
terkecuali yang berkaitan dengan hajat mereka seperti musim hujan dan
kemarau, waktu puasa dan haji, dan waktu salat. Hal ini yang disebut dengan
ilmu perbintangan (ilmu tanjim) yang berkaitan dengan ahwal manusia. 2
Dalam hisab, bahwa semua kita sudah mengetahui Nabi pernah
mengatakan “ kita itu umat yang ummy, tidak mampu membaca dan menulis”,
sehingga pada masa itu kajian hisab belum ada di kalangan umat Islam. Oleh
karena itu dalam menentukan awal bulan umat Islam selalu menggunakan

2
Muhammad Husain Farukh, al-mausu’ah ‘Abaqirah al-Islamiah fi al-
Falak wa al-Ulum al Bahriah wa ‘Ilm al-Nabat wa al-Mikanika, juz 5, (Beirut: Dar
al-Fikr al-‘Arabi, 1995), hlm. 15.

AL-AHKAM Vol AB, No C, Month Year ║ ---


M. Akbarul Humam, dkk.

metode rukyat di akhir bulan yang kemudian menggenapkannya menjadi


tigapuluh hari jikalau hilal tidak terlihat. 3
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya hisab sudah mulai diperkenalkan
pada masa bangsa Babilonia yang pada masa itu telah memberikan kontribusi
yang sangat besar terhadap dunia astronomi. Kontribusi tersebut yang
kemudian menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan dalam mengamati benda-
benda langit seperti membuat ramalan hisab dalam menentukan terjadinya
gerhana, menetapkan satu hari 24 jam dengan 11 jam samadengan 60 menit
dan 1 menit dengan 60 detik. Hisab ini pada masa itu digunakan untuk
memuja para dewa.4
Seiring berkembangnya zaman, Islam masuk dan memberikan warna
dalam peradaban, dalam hal penanggalan misalnya, hisab penanggalan
mengalamai perkembangan yang sangat pesat. Sistem yang dulunya luni-solar
maka Islam mengubahnya menjadi lunar calendar (Kalender Bulan) dan
bilangan bulan ditetapkan menjadi 12 bulan yang sebelumnya bangsa Arab
menggunakan ke-13 bulan disetiap penghujung tahun Kabisat.5
Meski demikian, umat Islam masih belum menggunakan angka tahun
dalam penanggalannya, sehingga masih kerap menimbulkan kerancauan. Jika
mereka akan melakukan transaksi dan menulis 17 Ramadan akan
menimbulakan kebingungan terhadaap yang membacanya.

Hisab dan Rukyat Masa Sahabat


Berlanjut pada masa Sahabat, tepatnya pada masa sahabat Umar bin
Khattab. Pada masa itu penanggalan Islam mendapatkan saran dari Gubernur
Irak yaitu Musa Al-Asy’ari. Surat itu berisi tentang rekomendasi Musa Al-
Asy’ari kepada khalifah Umar untuk angka tahun pada penanggalan hijriah.
Sahabat Umar menyetujuinya yang kemudian terpilihlah beberapa panitia
seperti (Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman
bin Auf, sa’ad bin Abi Waqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubaer bin awwam.
Penanggalan Hijriah yang dicetusan oleh Umar bin Khattab pada masa itu
menjadi pedoman untuk hisab urfi yang pertama kali. Hisab urfi sendiri

3
Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Selayang Pandang Hisab
Rukyat, (Jakarta: KEMENAG, 2004) hlm, 15.
4
Ahmad Musonnif, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm, 6.
5
Ahmad Musonnif, Ilmu,…hlm, 13.

--- ║ Vol AB, No C, Month Year AL-AHKAM


Sort Title …

merupakan sistem perhitungan kalender yang menggunakan rata-rata bulan


mengelilingi bumi. Hisab urfi sudah digunakan sahabat Umar pada tahun 17 H.
penanggalan akan berulang secara berkala setelah 30 tahun.6
Pasca masa kenabian dan khalifah al-rasyidin, selanjutnya penulis
membagi periodesasi sejarah peradaban Islam mengutip pendapat Harun
Nasution. Secara garis besar, Harun membagi sejarah perkembangan
pemikiran dalam Islam ke dalam tiga priode besar: Klasik (650 - 1250 M),
Pertengahan (1250 - 1800 M) dan Modern (1800 - sekarang).7

Hisab dan Rukyat Periode Dinasti Umayah (40 H-132 H / 661 M-750M)
Peradaban ilmu falak (astronomi) dimulai dari pemerintahan Khalid bin
Yazid bin Abi Sufyan (w. 85 H/ 704 M) yang sedang menjabat menjadi khalifah
pada masa itu walaupun perkembangannya hanya fokus dalam menerjemah
buku-buku astronomi bangsa Yunani.8
Buku-buku yang berhasil diterjemah pada masa itu adalah The Sphere in
Movement (al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Antolyccus, Ascentions of the
Signs (Matali’ al Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (al-Madhkhal
ila ilmi al-Falak) karya Hiparkus dan Al-Magesty karya Ptolomeus.9 Hal ini
terbukti dengan ditemukannya globe karya Batlamus ada pertengahan abad
ke-4 Hijriyah yang diperuntukan kepada Khalid bin Yazid di perpustakan
Kairo.10

Hisab dan Rukyat Periode Dinasti Abbasiyah (132 H-656 H/ 749 M-1258
M)

6
Uum Jumsa, Ilmu Falak, (Bandung: Humaniora, 2006), hlm, 1-2.
7
Muhammad Saleh Tajuddin, Mohd. Azizuddin Mohd. Sani, and Andi Tenri
Yeyeng, “Dunia Islam Dalam Lintasan Sejarah Dan Realitasnya Di Era
Kontemporer,” AL-Fikr 20, no. 2 (2016): 345–58, http://journal.uin-
alauddin.ac.id.
8
Masa dinasti Umayah diklaim sebagai penerjemah pertama buku-
buku ilmu falak dalam sejarah Islam dari buku-buku Yunani. Muhammad
Husain Farsukh, al-Mausu’ah,…. Hlm, 15.
9
Uum Jumsa, Ilmu Falak,… hlm, 15.
10
Ahmad Musonnif, Ilmu,… hlm, 15.

AL-AHKAM Vol AB, No C, Month Year ║ ---


M. Akbarul Humam, dkk.

Ilmu pengetahuan mendapat perhatian besar dan tampat istimewa pada


masa pemerintahan khalifah al-Mansur, tak terkecuali Ilmu Falak sendiri. Pada
masa ini ilmu falak tak hanya dikembangkan dalam hal peribadatan saja
melainkan dikembangkan secara luas sebagai dasar keilmuan yang bisa ditarik
untuk memunculkan ilmu-ilmu yang lain, seperti pelayaran, pertanian, militer
dan lain sebagainya. Dukungan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan
khususnya ilmu falak sehingga menyebabkan ilmu ini berkembang sampai
masa pemerintan khalifah al-Ma’mun dan hisab mengalami kemajuan pesat
dengan munculnya tokoh-tokoh astronomi muslim seperti al-Battani (w. 317
H), al-Buzjani (w. 387 H), Ibnu Yunus (w. 399 H) at-Thusi, al-Biruni (w. 442 H).
Pada masa ini juga tercatat oleh sejarah perkembangan hisab mulai
diaplikasikan dalam bentuk alat-alat peraga seperti astrolabe yang dibuat oleh
tokoh falak yaitu al-Fazari.11 Dikatakan juga bahwa Ya’qub bin Thariq (w.
179H/796M) berhasil menerjemah kitab al-Kindi dan Tarkibul Aflak yang
membahas almanac (ephemeris). Maka bisa disimpulakan pada masa ini Islam
sudah sudah sangat berkembang dar sebelumnya daam hal hisab. Mereka
sudah menggunakannya untuk penentuan ibadah waktu salat, mengukur arah
kiblat, dan juga menghitung musim. Adapun rukyat dijadikan sebagai pondasi
dasar untuk menemukan ilmu-ilmu lain. Selain untuk pembuktian keakuratan
hisab juga sebagai metode yang sering dilakukan. Hal ini dengan dibangunnya
observatorium untuk mengamati benda-benda langit.12
Pada abad ke-8 muncul Abu ja’far Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi
(780-847 M) sebagai ketua observatorium al-Makmun. Penemuannya sangat
besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan seperti menemukan angka 0 ,
tabel trigonometri, kemiringan ekliptika 23,5 terhadap ekuator.
Tahun 1201-12274 M perkembangan rukyah juga semakin berkembang
dengan dibangunnya observatorium di Maragha atas perintah Hulagu,
sumbangan dari hasil yang didapatkan oleh pengamatan (rukyat) tersebut
adalah berupa data astronomi umum yang dinamakan jadwal al-kaniyan.

Hisab Rukyat Periode Pertengahan


Rukyah (Observasi) mengalami kemajuan yang baik ketika Galileo Galilei
menemukan metode observasi sebagai kajian ilmiah. Ia menyumbang dan

11
Muhammad Husain Farsukh, al-Mausu’ah,… hlm, 16
12
Ahmad Musonnif, Ilmu Falak,… hlm, 17.

--- ║ Vol AB, No C, Month Year AL-AHKAM


Sort Title …

membuka jalan untuk perkembangan ilmu modern walaupun ia jauh hidup


pada abad ke-16.13 Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa sejatinya
Nabi Muhammad saw sendiri sudah menekankan rukyah ketika hendak
melakukan ibadah puasa.
Dari sini bisa disimpulakn bahwa perkembangan hisab dan rukyat
mengalami perkembangan yang sangat luar biasa dikarenakan metode
tersebut tidak hanya digunakan untuk kepentingan ibadah umat islam tetapi
juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan manusia yang lain seperti berlayar,
bertani, menentukan musim, dan lain sebagainya.14

Hisab Rukyat di Indonesia


Perkembangan Islam di Indonesia dari masa awal masuknya Islam
pertama kali, hingga banyaknya tokoh Timur Tengah yang mengajarkan
beragamnya ilmu fikih kepada banyak muridnya. Hal tersebut mengakibatkan
adanya tokoh yang kemudian berinisiatif untuk membentuk keorganisasian
masyarakat Islam dengan tujuan agar dapat lebih menggerakkan masyarakat
pada kegiatan keIslaman. Dari adanya organisasi masyarakat Islam tersebut,
dibentuk pula pedoman-pedoman mengenai ilmu fikih yang dapat diterapkan
anggota-anggotanya. Penulis memaparkan bagaimana pedoman Hisab dan
Rukyat terkhusus pada penentuan awal bulan pada organisasi masyarakat
Islam besar saat ini, yakni Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, dan Persatuan
Islam, sebagai berikut:
1. Nahdlatul Ulama (NU)
NU menyikapi kata “rukyat” dengan sifat ta’abbudy (ghairu ma’qulatil
ma’na) makna lafadnya tidak bisa dikembangkan atau diperluas. Yakni dalam
kata lain hanya berpegang pada teks hadis tsb. Sehingga makna rukyat hanya
terbatas pada melihat dengan mata kepala. Rukyat ini biasa disebut dengan
rukyat bil aini (melihat dengan mata kepala). Sehingga dalam pernyataan Nabi
SAW yang berbunyi faqduruulah NU memaknainya dengan menggenapkan
bilangan bulan tersebut menjadi tiga puluh hari (istikmal). Sehingga hadis
yang lafadnya memang berbunyi fa akmilul iddata tsalatsina menjadi tabyin
dari hadis yang berbunyi faqduruulah.
13
Ibid. hlm, 26.
14
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta :
Buana Pustaka), hlm, 23-25.

AL-AHKAM Vol AB, No C, Month Year ║ ---


M. Akbarul Humam, dkk.

Meskipun NU dalam penentuan awal bulannya berdasarkan rukyat,


namun NU tidak menolak adanya hisab sebelum melakukan proses rukyat. Hal
ini dikarenakan rukyat yang diinginkan NU adalah rukyat yang berkualitas.
Untuk mewujudkan rukyat yang berkualitas, maka NU menggunakan ilmu
hisab dan menerima kriteria imkanur rukyat sebagai pendukung proses
pelaksanaan rukyat. Adapun kriteria imkanur rukyat yang telah diperbaharui
dan disepakati oleh Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdatul Ulama’ (LF
PBNU) sekarang (1443 H) adalah tinggi hilal minimal 3° dan elongasi nya
minimal 6,4° setelah sebelumnya mengkriteriakan tinggi hilal minimal 2° dan
elongasi minimal 3°. Perubahan ini sebagaimana didasari oleh penjelasan
pakar astronomi Prof Thomas Djamaluddin bahwa ketinggian hilal minimal
harus 3° karena kekuatan cahaya bulan di bawah 3 derajat kalah dengan
cahaya mega (syafaq). Kuatnya cahaya mega membuat hilal yang masih di
bawah 3° itu sulit untuk dapat teramati.
Adapun fungsi diadakannya kriteria imkanur rukyat sendiri hanyalah
sebagai menolak laporan adanya rukyatul hilal, jika para ahli hisab telah
bersepakat bahwa hilal masih berada di bawah ufuk atau di atas ufuk tetapi
ghairu imkanir rukyat maka ketika ada yang mengaku melihat hilal maka,
kesaksian tersebut akan ditolak.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya prinsip ta’abbudiy, hal ini
berkonsekwensi NU harus tetap menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li
(observasi langsung), sekalipun menurut hisab hilal masih di bawah ufuk atau
di atas ufuk tapi ghairu imkanir rukyat. Hal demikian ini dilakukan agar
pengambilan keputusan istikmal itu tetap didasarkan pada sistem rukyatul
hilal, bukan atas dasar hisab. Sehingga posisi ilmu hisab serta kriteria imkanur
rukyat hanya bersifat ta’aqquli yakni sebagai sarana untuk mendukung proses
penyelenggaraan rukyat.
2. Muhammadiyah
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah menetapkan bahwa dalam penentuan awal bulan Qamariyah
menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, yaitu awal bulan Qamariyah
dimulai apabila terpenuhi tiga kriteria berikut :
1. Telah terjadi ijtimak (konjungsi)

--- ║ Vol AB, No C, Month Year AL-AHKAM


Sort Title …

2. Ijtimak (konjungsi) terjadi sebelum Matahari terbenam, dan15


3. Pada saat terbenam Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk
(bulan baru telah wujud).16
Selain ketentuan tersebut di atas Muhammadiyah juga memberlakukan
penentuan awal bulan Qamariyah dengan pendekatan wilayatul ḥukmi, yaitu
memberlakukan penentuan awal bulan untuk seluruh wilayah Indonesia. Ini
memberikan arti bahwa di manapun di seluruh wilayah Indonesia telah
memenuhi ketiga persyaratan wujudul hilal tersebut di atas, maka seluruh
wilayah Indonesia dinyatakan sudah memasuki bulan baru. Dengan demikian
berarti dalam satu wilayah negara (Indonesia) masuknya awal bulan terjadi
pada hari yang sama. Penggunaan pendekatan wilayatul ḥ ukmi dalam
Muhammadiyah dimaksudkan untuk menghindari mafsadat dengan cara
penyeragaman hari dalam mengawali bulan qamariah dalam satu negara.
Konsep wilayatul ḥ ukmi yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah
merupakan wujud dari pelaksanaan Keputusan Musyawarah Nasional XXV
Tarjih Muhammadiyah tahun 2000. Dalam lampiran hasil keputusan Munas
tersebut pada salah satu poin memberikan arahan tentang pedoman
Penetapan Awal Bulan Qamariyah dan Matlak dimana dijelaskan bahwa
“Matlak yang digunakan adalah matlak yang didasarkan wilayatul ḥukmi”.
Selanjutnya Keputusan Munas tersebut diperkuat kembali dalam Musyawarah
Nasional XXVI Tarjih Muhammadiyah tahun 2003 yang juga menegaskan
bahwa “Matlak yang digunakan adalah matlak yang didasarkan pada wilayatul
ḥ ukmi (Indonesia)”.
Penerapan wilayatul ḥukmi tidak bermasalah bila diterapkan pada bulan-
bulan dimana hasil perhitungan hisab menunjukkan kesamaan untuk seluruh
wilayah Indonesia. Akan tetapi bila terjadi perbedaan hasil perhitungan
dengan ditunjukkan oleh hasil hisab ketinggian hilal dimana pada sebagian
wilayah bernilai positif yang berarti bahwa pada saat terbenam Matahari,
posisi hilal sudah di atas ufuk, sementara di sebagian wilayah yang lain
15
ijtima’ bisa pula disebut Iqtiran yaitu pertemuan atau berimpitnya dua benda
yang berjalan secara aktif. Ijtima’ adalah peristiwa saat Bulan dan Matahari
terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dari arah Timur ataupun arah
Barat. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedia Hisab Rukyat, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, Cet.II, 2008, hlm. 93-94.
16
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009. Pedoman
Hisab Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
hlm. 78.

AL-AHKAM Vol AB, No C, Month Year ║ ---


M. Akbarul Humam, dkk.

ketinggian hilal masih negatif yang berarti pada saat Matahari terbenam posisi
Bulan masih di bawah ufuk. Maka untuk kasus kejadian seperti ini
Muhammadiyah karena menggunakan prinsip wilayatul ḥukmi maka daerah
dengan ketinggian hilal yang masih negatif dapat dimasukkan ke dalam daerah
yang sudah positif posisi hilalnya sehingga daerah itupun bisa memasuki awal
bulan baru pada saat tersebut.17
Persatuan Islam (PERSIS)
PERSIS (Persatuan Islam) adalah salah satu organisasi Islam di Indonesia
didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang
berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan18. Sama halnya dengan
organisasi masyarakat lainnya dalam hal penentuan awal bulan Qamariyah
yang memiliki metode tersendiri dalam menentukannya sesuai dengan
pemahaman ormas tersebut.
Terkait dengan penggunaan kriteria oleh PERSIS dalam menentukan awal
bulan qamariyah bahwa penggunaan kriteria yang digunakan oleh PERSIS
dalam penentuan awal bulan Qomariah terus berkembang. Yang dimulai dari
hisab Ijtima’ Qablal Ghurub pada tahun 1960-1995, dilanjut dengan kriteria
hisab wujudul hilal pada tahun 1966-2001. Kriteria yang ketiga digunakan
Imkan Rukyat MABIMS yang sama dengan kriteria hisab pemerintah pada saat
itu, ini berlaku selama 10 tahun (2002-20011). Kemudian 10 tahun lamanya
berjalan karena kriteria ini mendapatkan banyak kritikan dari para astronom,
karena diantaranya kriteria ini tidak sesuai dengan pengamatan secara
astronom.
Metode yang digunakan oleh PERSIS sendiri sejak tahun 1960 yakni telah
4 kali mengalami pergantian metode dalam penentuan awal bulan
qamariyah:19
1. Kriteria Ijtimak Qobla al-Ghurub, tahun 1960
2. Kriteria Wujud al-Hilal, tahun 1996
17
Nugroho Eko Atmanto,2017, Implementasi Matlak wilayatul Hukmi dalam
Penentuan Awal Bulan Qomariah, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Semarang, ELFALAKY: Jurnal Ilmu Falak vol .1 No 1
18
Howard M. Pederspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, Cet. ke-1,hal. 14
19
Dindin Syawaludin, Pemahaman Kriteria Wujud Al-Hilal Di PD Persis Cianjur
dalam Tinjauan Syar’i dan Astronomi, (Sinopsis, Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang, 2012), 2

--- ║ Vol AB, No C, Month Year AL-AHKAM


Sort Title …

3. Kriteria Hisab Imkan Rukyat MABIMS, tahun 2002


4. Kriteria Hisab Imkan Rukyat Astronomi, tahun 2011
Ada juga yang berpendapat bahwa PERSIS telah mengalami 5 kali
perubahan metode dalam menentukan awal bulan Qamariyah , yang
disampaikan oleh H. Syarief Ahmad Hakim, M.H. 20dalam webinar webinar
Diskusi Observatorium & Astronomi (DOA) yang ke-18 dengan tema “Metode
penentuan awal bulan menurut PERSIS,“ via Zoom, Senin (25/10/2021)21.
Karena PERSIS menggunakan kriteria hisab dalam penentuan awal bulan
qamariyah, ketika pada saat hilal belum terlihat secara hisab, namun
berdasarkan rukyat ada kesaksian melihat hilal. Maka pengakuan tersebut
diharuskan menyertakan bukti visual. Sebagaimana yang tercantum dalam
Surat Keputusan Dewan Hisbah 2012 menegaskan tentang kriteria visibilitas
hilal yakni sebagai berikut:22
1. Beda jarak antara bulan dan matahari minimal 4 derajat.
2. Jarak busur antara bulan dam matahari minimal 6,4 derajat.
3. Kesaksian melihat hilal kurang dari kriteria poin 1 dan 2 dapat
diterima bila dibuktikan dengan bukti visual.
Pemegang Setiap organisasi masyarakat memililiki metode maupun
kriteria tersendiri sesuai pemahaman organisasi tersebut. Begitu pula dengan
yang memegang wewenang dalam menentukan awal bulan. Dalam hal ini
PERSIS memiliki corak wewenang yang dipegangboelh ulil amri (pimpinan
jam’iyah) berdasarkan Surat Keputusan Dewan Hisbah PERSIS NO.001 Tahun
1434 H/2013 M tentang ulil amri yang berwenang menentapkan awal
Ramadhan dan ‘Idain (hari raya islam)”23.

20
Wakil ketua Dewan Hisab dan Rukyat PERSIS
21
https://oif.umsu.ac.id/2021/10/metode-penentuan-awal-bulan-menurut-
persis-doa-18/ diakses pada 06:58 (14/12/2022)
22
Lihat Surat Keputusan DHR yang dilampirkan dalam skripsi: Lina Rahmawati,
Analisis Ulil Amri Dalam Konteks Penetapan Awal Ramadhan Dan ‘Īdaini (Idul
Fitri Dan Adha) Dalam Perspektif Persatuan Islam (Persis), (Semarang:2017), h.
Lampiran.
23
Lihat Surat Keputusan DHR yang dilampirkan dalam skripsi: Lina Rahmawati,
Analisis Ulil Amri Dalam Konteks Penetapan Awal Ramadhan Dan ‘Īdaini (Idul
Fitri Dan Adha) Dalam Perspektif Persatuan Islam (Persis), (Semarang:2017), h.
Lampiran.

AL-AHKAM Vol AB, No C, Month Year ║ ---


M. Akbarul Humam, dkk.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka penulis dapat memberikan
kesimpulan bahwa rukyat yang digunakan pada zaman Nabi menggunakan
mata telanjang yang seiring perkembangannya menggunakan alat bantu yaitu
teleskop dan alat observasi lainnya. Sementara metode hisab sebenarnya jauh
sudah ada sebelum masa Rasulullah saw, namun pada masa Nabi umat Islam
masih belum mengenal metode hisab. Berlanjut ke masa sahabat baru
mengenal metode hisab hanya sebatas penanggalan. Adapun kajian terhadap
rukyat saat itu masih bermuara pada ibadah umat Islam seperti Ibadah puasa
dan salat.
Perkembangan dari masa sahabat kemudian ke masa dinasti sebagai
langkah pertama umat Islam dalam perkembangan Ilmu falak dengan
menerjemahkan buku-buku dari Yunani dan mulai membuat alat observasi
seperti astrolabe dan observatorium.
Era modern yang ditandai dengan munculnya teleskop yang diawali oleh
Galileo Galilei kemudan olehnya membuka jalan bagi pengembang ilmu falak
selanjutnya sehingga mengalami kemajuan yang sangat signifikan yang
mengahsilkan data-data astronomis yang kemudian diadopsi oleh para ilmuan
muslim sehingga bisa sampai ke Indonesia.

--- ║ Vol AB, No C, Month Year AL-AHKAM


Sort Title …

Daftar Pustaka
Atmanto, Nugroho Eko. “Implementasi Matlak wilayatul Hukmi dalam Penentuan
Awal Bulan Qomariah, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Semarang”, Elfalaky: Jurnal Ilmu Falak. Vol. 1 No 1. 2017.

Azhari, Susiknan. Ensiklopedia Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet.II.


2008.

Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Selayang Pandang Hisab Rukyat.
Jakarta: Kemenag. 2004.

Farukh, Muhammad Husain. Al-Mausu’ah ‘Abaqirah al-Islamiah fi al-Falak wa


al-Ulum al Bahriah wa ‘Ilm al-Nabat wa al-Mikanika. Juz 5. Beirut: Dar al-
Fikr al-‘Arabi. 1995.

https://oif.umsu.ac.id/2021/10/metode-penentuan-awal-bulan-menurut-
persis-doa-18/ diakses pada 06:58 (14/12/2022)

Jumsa, Uum. Ilmu Falak. Bandung: Humaniora. 2006.

Khazin, Muhyiddin. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana
Pustaka.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009. Pedoman Hisab
Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.

Musonnif, Ahmad. Ilmu Falak. Yogyakarta: Teras. 2011.

Pederspiel, Howard M. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet. ke-1. 1996.

Rahmawati, Lina. Analisis Ulil Amri dalam Konteks Penetapan Awal Ramadhan
dan ‘Īdaini (Idul Fitri dan Adha) dalam Perspektif Persatuan Islam (Persis).
Skripsi UIN Walisongo Semarang: 2017.

Syawaludin, Dindin. Pemahaman Kriteria Wujud Al-Hilal Di PD Persis Cianjur


dalam Tinjauan Syar’i dan Astronomi. Sinopsis. Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang. 2012.

Tajuddin, Muhammad Saleh dkk., “Dunia Islam Dalam Lintasan Sejarah Dan
Realitasnya Di Era Kontemporer,” AL-Fikr 20, No. 2 (2016): 345–58,
http://journal.uin-alauddin.ac.id.

AL-AHKAM Vol AB, No C, Month Year ║ ---

Anda mungkin juga menyukai