DOI: http://dx.doi.org/10.21580/ahkam......
Copyright © Year al-Ahkam
Abstract
Ada dua metode yang digunakan umat Islam dalam menghitung waktu peribadatan
mereka yaitu hisab (perhitungan) dan rukyat (observasi). Adapun ibadah yang dihitung
dan diamatinya adalah waktu salat, mengukur arah kiblat, awal bulan kamariah dan lain
sebagainya. Hisab dan rukyat merupakan salah satu kajian khusus di khazanah
keilmuan ilmu falak. Tinjauannya mengacu pada dua ilmu khusus yaitu fikih dan
astronomi. Astronomi sebagai sarana untuk memahami kondisi benda-benda langit
yang dikaji seperti Matahari, Bumi, dan Bulan sesuai yang dijelaskan dalam kaidah ilmu
fikih. Ilmu fikih sebagai dasar hukum utama dan wajib dipelajari terlebih dahulu agar
dapat memahami ilmu falak secara baik. Tidak seperti ilmu astronomi yang
menggunakan kaidah ilmu sains dengan penilaian berdasarkan kebenaran mutlak,
pengamalan ilmu fikih yang berbeda dari dua golongan dapat dimungkinkan adalah
jeduanya hal yang benar. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa banyak sekali
pemahaman yang berbeda dalam ilmu fikih yang bersumber dari sumber yang berbeda.
Pada tulisan ini penulis akan menjelaskan secara singkat mengenai bagaimana
perbedaan penerapan fikih hisab rukyat dari banyak golongan. Berawal dari penerapan
hisab pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat lalu sampai pada era imam mazhab
dan modern sampai ke Indonesia. Metode penelitian berdasarkan literatur review yang
didapatkan dari karya tulis sebelumnya yang membahas penerapan hisab rukyat.
Didapatkan hasil penerapan hisab rukyat yang beragam dari setiap golongan yang
dibahas dalam peper ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan membawa dampak besar bagi penerapan ilmu fikih dalam ranah
hisab rukyat.
AL-AHKAM
Vol AB No. C, Month Year ║---
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
M. Akbarul Humam, dkk.
Pendahuluan
Salah satu metode yang sering digunakan umat manusia dalam mengamati
benda-benda langit adalah Rukyat (Observasi 1). Umat Islam sendiri dalam
menentukan beberapa momentum ibadahnya juga menggunakan rukyat
seperti ibadah salat, puasa, haji dan lain sebagainya. Kata rukyat sangat
berkaitan dengan pembahasan hisab (perhitungan) yang menjadi salah satu
sebagai metode pendukungnya. Hal ini disebabkan diibaratkan sebagai
pasangan yang saling melengkapi.
Dalam literasi sejarah mencatat bahwa rukyat lebih mudah digunakan
oleh semua orang sehingga lebih dulu dilakukan dari sejak zaman Nabi sampai
sekarang dibanding hisab. Secara tidak langsung metode hisab hanya sedikit
orang Islam yang mampu mengetahuinya.
Rukyatul hilal merupakan perkembangan dari kata rukyah, kegiatan ini
dilakukan oleh sebagian umat Islam di dunia dalam menentukan awal bulan
kamariah dengan cara memantau hilal di akhir bulan. Zaman Nabi saw
rukyatul hilal menggunkan mata telanjang dan oleh seiring perkembangannya
pada zaman sekarang metode rukyatul hilal saat ini sudah mengguanakan alat
bantu seperti teropong atau teleskop dan alat-alat observasi lainnya.
Perkembangan ini tentu saja melewati perjalanan yang sangat panjang
sehingga sampai sekarang sudah menggunakan alat bantu canggih yang
bermacam-macam, sehingga penulis akan mencoba menjelaskannya
bagaimana timeline sejarah perkembangan hisab rukyat dari zaman Nabi
Muhammad saw sampai zaman sekarang ini (modern).
perhitungan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan arithmatic. Ini sejalan
dengan pendapatnya Muhyiddin Khazin yang menjelaskan bahwa hisab
adalah perhitungan Arithmatic. Sedangkan hisab menurut istilah adalah ilmu
pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan atau dengan
arti lain adalah ilmu hitung. Perhitungan yang dimaksud sering juga dikenal
dengan istilah hisab.
Urgensi mengetahui posisi matahari dengan hisab sangatlah penting bagi
umat Islam karena demikian dijadikan sebagai patokan dalam menentukan
masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan dijadikan patokan untuk
mengetahui hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam tahun
Hijriah. Oleh karena, ibadah-ibadah dalam Islam berkaitan langsung dengan
benda langit tersebut, maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian
yang begitu besar terhadap astronomi/falak yang alur pembahasan di
dalamnya adalah perhitungan/hisab. Sehingga banyak ulama muslim yang
telah mengembangkan metode hisab ini sejak zaman dulu hingga zaman
modern, di antaranya adalah al-Biruni (973-1048 M), al-Khawarizmi (780-847
M), al-Batani (858-929 M) dan yang lainnya, mereka telah berhasil
mengembangkan metode hisab modern.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan alat-alat canggih, semisal
komputer, kalkulator scientific atau bahkan software/aplikasi semisal aplikasi
mawaqit (aplikasi hisab karya Dr. Ing. Khafidz) sehingga kemudian ini
berpengaruh terhadap tingkat akurasi dari suatu perhitungan/ hisab.
Tentunya hisab yang menggunakan alat-alat canggih akan memberikan
pengaruh terhadap hasil yang presisi dan akurat dibandingkan dengan hasil
hisab secara manual tanpa dibantu dengan alat-alat yang canggih. Sehingga di
dalam hisab itu akan mengenal tingkatan hisab, di antaranya ada hisab ‘urfi,
hisab haqiqi dan kontemporer.
Kata rukyat berasal dari bahasa Arab yang merupakan isim masdar dari
fi’il madhi ra’a-yara’ yang artinya melihat dengan mata kepala. Bentuk
masdarnya adalah rukyat. Dimaknai demikian jika maf’ul bih nya adalah
sesuatu yang tampak atau terlihat.
Dilihat dari asal katanya memang sudah jelas bahwa rukyat dapat
diartikan melihat, arti yang paling umum adalah melihat dengan mata kepala.
2
Muhammad Husain Farukh, al-mausu’ah ‘Abaqirah al-Islamiah fi al-
Falak wa al-Ulum al Bahriah wa ‘Ilm al-Nabat wa al-Mikanika, juz 5, (Beirut: Dar
al-Fikr al-‘Arabi, 1995), hlm. 15.
3
Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Selayang Pandang Hisab
Rukyat, (Jakarta: KEMENAG, 2004) hlm, 15.
4
Ahmad Musonnif, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm, 6.
5
Ahmad Musonnif, Ilmu,…hlm, 13.
Hisab dan Rukyat Periode Dinasti Umayah (40 H-132 H / 661 M-750M)
Peradaban ilmu falak (astronomi) dimulai dari pemerintahan Khalid bin
Yazid bin Abi Sufyan (w. 85 H/ 704 M) yang sedang menjabat menjadi khalifah
pada masa itu walaupun perkembangannya hanya fokus dalam menerjemah
buku-buku astronomi bangsa Yunani.8
Buku-buku yang berhasil diterjemah pada masa itu adalah The Sphere in
Movement (al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Antolyccus, Ascentions of the
Signs (Matali’ al Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (al-Madhkhal
ila ilmi al-Falak) karya Hiparkus dan Al-Magesty karya Ptolomeus.9 Hal ini
terbukti dengan ditemukannya globe karya Batlamus ada pertengahan abad
ke-4 Hijriyah yang diperuntukan kepada Khalid bin Yazid di perpustakan
Kairo.10
Hisab dan Rukyat Periode Dinasti Abbasiyah (132 H-656 H/ 749 M-1258
M)
6
Uum Jumsa, Ilmu Falak, (Bandung: Humaniora, 2006), hlm, 1-2.
7
Muhammad Saleh Tajuddin, Mohd. Azizuddin Mohd. Sani, and Andi Tenri
Yeyeng, “Dunia Islam Dalam Lintasan Sejarah Dan Realitasnya Di Era
Kontemporer,” AL-Fikr 20, no. 2 (2016): 345–58, http://journal.uin-
alauddin.ac.id.
8
Masa dinasti Umayah diklaim sebagai penerjemah pertama buku-
buku ilmu falak dalam sejarah Islam dari buku-buku Yunani. Muhammad
Husain Farsukh, al-Mausu’ah,…. Hlm, 15.
9
Uum Jumsa, Ilmu Falak,… hlm, 15.
10
Ahmad Musonnif, Ilmu,… hlm, 15.
11
Muhammad Husain Farsukh, al-Mausu’ah,… hlm, 16
12
Ahmad Musonnif, Ilmu Falak,… hlm, 17.
ketinggian hilal masih negatif yang berarti pada saat Matahari terbenam posisi
Bulan masih di bawah ufuk. Maka untuk kasus kejadian seperti ini
Muhammadiyah karena menggunakan prinsip wilayatul ḥukmi maka daerah
dengan ketinggian hilal yang masih negatif dapat dimasukkan ke dalam daerah
yang sudah positif posisi hilalnya sehingga daerah itupun bisa memasuki awal
bulan baru pada saat tersebut.17
Persatuan Islam (PERSIS)
PERSIS (Persatuan Islam) adalah salah satu organisasi Islam di Indonesia
didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang
berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan18. Sama halnya dengan
organisasi masyarakat lainnya dalam hal penentuan awal bulan Qamariyah
yang memiliki metode tersendiri dalam menentukannya sesuai dengan
pemahaman ormas tersebut.
Terkait dengan penggunaan kriteria oleh PERSIS dalam menentukan awal
bulan qamariyah bahwa penggunaan kriteria yang digunakan oleh PERSIS
dalam penentuan awal bulan Qomariah terus berkembang. Yang dimulai dari
hisab Ijtima’ Qablal Ghurub pada tahun 1960-1995, dilanjut dengan kriteria
hisab wujudul hilal pada tahun 1966-2001. Kriteria yang ketiga digunakan
Imkan Rukyat MABIMS yang sama dengan kriteria hisab pemerintah pada saat
itu, ini berlaku selama 10 tahun (2002-20011). Kemudian 10 tahun lamanya
berjalan karena kriteria ini mendapatkan banyak kritikan dari para astronom,
karena diantaranya kriteria ini tidak sesuai dengan pengamatan secara
astronom.
Metode yang digunakan oleh PERSIS sendiri sejak tahun 1960 yakni telah
4 kali mengalami pergantian metode dalam penentuan awal bulan
qamariyah:19
1. Kriteria Ijtimak Qobla al-Ghurub, tahun 1960
2. Kriteria Wujud al-Hilal, tahun 1996
17
Nugroho Eko Atmanto,2017, Implementasi Matlak wilayatul Hukmi dalam
Penentuan Awal Bulan Qomariah, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Semarang, ELFALAKY: Jurnal Ilmu Falak vol .1 No 1
18
Howard M. Pederspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, Cet. ke-1,hal. 14
19
Dindin Syawaludin, Pemahaman Kriteria Wujud Al-Hilal Di PD Persis Cianjur
dalam Tinjauan Syar’i dan Astronomi, (Sinopsis, Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang, 2012), 2
20
Wakil ketua Dewan Hisab dan Rukyat PERSIS
21
https://oif.umsu.ac.id/2021/10/metode-penentuan-awal-bulan-menurut-
persis-doa-18/ diakses pada 06:58 (14/12/2022)
22
Lihat Surat Keputusan DHR yang dilampirkan dalam skripsi: Lina Rahmawati,
Analisis Ulil Amri Dalam Konteks Penetapan Awal Ramadhan Dan ‘Īdaini (Idul
Fitri Dan Adha) Dalam Perspektif Persatuan Islam (Persis), (Semarang:2017), h.
Lampiran.
23
Lihat Surat Keputusan DHR yang dilampirkan dalam skripsi: Lina Rahmawati,
Analisis Ulil Amri Dalam Konteks Penetapan Awal Ramadhan Dan ‘Īdaini (Idul
Fitri Dan Adha) Dalam Perspektif Persatuan Islam (Persis), (Semarang:2017), h.
Lampiran.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka penulis dapat memberikan
kesimpulan bahwa rukyat yang digunakan pada zaman Nabi menggunakan
mata telanjang yang seiring perkembangannya menggunakan alat bantu yaitu
teleskop dan alat observasi lainnya. Sementara metode hisab sebenarnya jauh
sudah ada sebelum masa Rasulullah saw, namun pada masa Nabi umat Islam
masih belum mengenal metode hisab. Berlanjut ke masa sahabat baru
mengenal metode hisab hanya sebatas penanggalan. Adapun kajian terhadap
rukyat saat itu masih bermuara pada ibadah umat Islam seperti Ibadah puasa
dan salat.
Perkembangan dari masa sahabat kemudian ke masa dinasti sebagai
langkah pertama umat Islam dalam perkembangan Ilmu falak dengan
menerjemahkan buku-buku dari Yunani dan mulai membuat alat observasi
seperti astrolabe dan observatorium.
Era modern yang ditandai dengan munculnya teleskop yang diawali oleh
Galileo Galilei kemudan olehnya membuka jalan bagi pengembang ilmu falak
selanjutnya sehingga mengalami kemajuan yang sangat signifikan yang
mengahsilkan data-data astronomis yang kemudian diadopsi oleh para ilmuan
muslim sehingga bisa sampai ke Indonesia.
Daftar Pustaka
Atmanto, Nugroho Eko. “Implementasi Matlak wilayatul Hukmi dalam Penentuan
Awal Bulan Qomariah, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Semarang”, Elfalaky: Jurnal Ilmu Falak. Vol. 1 No 1. 2017.
Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Selayang Pandang Hisab Rukyat.
Jakarta: Kemenag. 2004.
https://oif.umsu.ac.id/2021/10/metode-penentuan-awal-bulan-menurut-
persis-doa-18/ diakses pada 06:58 (14/12/2022)
Khazin, Muhyiddin. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana
Pustaka.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009. Pedoman Hisab
Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Rahmawati, Lina. Analisis Ulil Amri dalam Konteks Penetapan Awal Ramadhan
dan ‘Īdaini (Idul Fitri dan Adha) dalam Perspektif Persatuan Islam (Persis).
Skripsi UIN Walisongo Semarang: 2017.
Tajuddin, Muhammad Saleh dkk., “Dunia Islam Dalam Lintasan Sejarah Dan
Realitasnya Di Era Kontemporer,” AL-Fikr 20, No. 2 (2016): 345–58,
http://journal.uin-alauddin.ac.id.