Anda di halaman 1dari 16

Pendidikan Agama Islam I

Urgensi Ilmu Astronomi


Untuk Ibadah Umat Islam
( Klasifikasi Sumber, Metode, dan Coraknya )

Oleh : Dedi Romli Triputra, Lc., M.S.I


Pengertian
Astronomi/Falak
Bahasa (Etimologis)
Secara lughawi atau etimologi, Falak atau
‫( اﻟﻔﻠﻚ‬Arab) berarti orbit atau lintasan benda-
benda langit. secara bahasa, Ilmu Falak berarti
Pengertian pengetahuan tentang orbit atau garis edar
benda-benda langit.
Astronomi

Istilah (Terminologis)
Ilmu Falak ialah ilmu yang mempelajari seluk-
beluk benda-benda langit dari segi bentuk,
ukuran, keadaan pisik, posisi, gerakan, dan
saling hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya.
Keterangan mengenai seluk-beluk benda-benda langit tersebut dapat diketahui
berkat penyelidikan-penyelidikan dengan pertolongan ilmu astronomi atau ilmu
Ragam
Ilmu bintang yang meliputi:
astronom
i
Astrometri: Menentukan tempat kedudukan di Bumi dan di Langit, menentukan
jarak di Bumi dan di angkasa raya, dan menentukan besarnya benda-benda langit.
Astromekanika: Menyelidiki keadaan gerakan-gerakan, seperti rotasi, lintasan-
lintasan benda langit, perubahan-perubahan dalam gerakan- gerakan itu, dan
hukum-hukum yang mempengaruhi gerakan-gerakan itu.
Astrofisika: Menyelidiki ihwal benda-benda langit, suhunya, campuran- campuran
atmosfir, dan sebagainya.
Kosmogoni: Mempelajari dan menyelidiki bangun atau bentuk serta perubahan-
perubahan jagatraya
Di samping dinamai Ilmu Falak karena mempelajari lintasan benda- benda langit –
khususnya bumi, bulan, dan matahari– pada orbit masing- masing, terdapat
beberapa nama lain yang juga digunakan sebagai sebutan ilmu ini, yaitu:

Kosmografi, karena ilmu ini berbasiskan catatan tentang alam semesta (kosmos =
alam semesta; graphein = menulis).
Ilmu Rashd, karena ilmu ini memerlukan observasi atau pengamatan (‫= اﻟﺮﺻﺪ‬
pengamatan).
Ilmu Miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang batas-batas waktu (‫ = اﳌﻴﻘﺎت‬batas-
batas waktu).
Ilmu Hisab, karena ilmu ini bekerja dengan kalkulasi matematik atau perhitungan
(‫ = اﳊﺴﺎب‬perhitungan).
Nadzori Pengertiannya sebagaimana diawal
/Teori
Pembagian Ilmu
Astronomi

ilmu falak seperti yang dikenal masyarakat umum di


negeri ini sebagai ilmu hisab, yaitu ilmu yang
Amali/ memanfaatkan hasil-hasil penyelidikan tentang pola
Praktik gerakan benda-benda langit, khususnya Bumi, Bulan,
dan Matahari untuk kepentingan praktis, seperti untuk
menghitung tibanya waktu-waktu salat, saat
kemunculan Hilal untuk acuan penentuan awal bulan
kamariah, sudut arah kiblat, dan sebagainya.
Sejarah Ilmu Falak
Dari sisi sejarahnya, Ilmu Falak dapat dikatakan sebagai ilmu yang sangat tua. Berbasiskan
hasil pengamatan atau penyelidikan terhadap benda-benda langit, ilmu yang dulunya
banyak dikenal dengan sebutan Ilmu Perbintangan ini lahir dan tumbuh-kembang
berseiring dengan perkembangan aktivitas penyelidikan manusia terhadap benda-benda
langit itu sendiri. Ribuan tahun sebelum masehi, penyelidikan terhadap benda- benda langit
itu telah dilakukan oleh bangsa-bangsa berperadaban tua seperti Mesir, Mesopotamia,
Babilonia, dan Tiongkok.
Di antara buah dari penyelidikan tersebut, pada sekitar tahun 4221 SM (sebelum masehi)
bangsa Mesir telah membuat Kalender Matahari (Syamsiyah, Solar), yakni kalender yang
disusun berseirama dengan siklus tropis matahari. Kepentingan mereka pada kalender
Matahari tersebut bertemali dengan kebutuhan pada pengetahuan tentang waktu
meluapnya sungai Nil, musim tanam, dan musim panen. Mereka pada waktu itu
menghitung panjang siklus tropik matahari sama dengan 365 hari. Untuk penyusunan
kalender, mereka membagi rata yang 360 hari menjadi 12 bulan (masing-masing bulan
umurnya 30 hari), dan 5 hari sisanya mereka skedulkan untuk penyelenggaraan pesta
perayaan tahunan.
Bangsa Babilonia yang berada di antara sungai Tigris dan sungai Efrat (selatan Irak
sekarang) pada sekitar 3.000 tahun SM sudah menemukan adanya duabelas gugusan
bintang (zodiak) yang posisinya di langit mereka bayangkan membentuk satu lingkaran.
Setiap gugusan bintang akan berlalu setelah 30 hari. Temuan mereka ini akhirnya
melahirkan ilmu geometri dan matematika, ilmu ukur, dan ilmu hisab (hitung).
Pada abad ke-8 masehi atau satu abad sepeninggal Nabi Muhammad SAW (632
M), dunia Islam mengambil alih ilmu perbintangan tersebut dari Yunani. Pada
zaman pemerintahan al-Mansur (754-775 M), salah seorang khalifah dari Bani
Abbasiyah, di kota Baghdad telah didirikan sekolah astronomi, dan khalifah
sendiri termasuk salah seorang ahli astronomi. Selanjutmnya di bawah
pemerintahan pengganti-penggantinya, yakni Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun,
sekolah itu menghasilkan karya-karya penting. Kekayaan ilmu dari Yunani dikaji,
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan disajikan kembali dengan tambahan-
tambahan komentar (syarah) yang penting. Di antara karya-karya penting Yunani
yang diterjemahkan dan sangat mempengaruhi perkembangan ilmu falak di
dunia Islam adalah The Sphere in Movement (al-Kurah al-Mutaharrikah) karya
Antolycus, Ascentions of The Signs (Mata}>li' al-Buruj) karya Aratus,
Introduction to Astronomy (Al-Madkhal ila>’Ilmi al-Falak) karya Hipparchus, dan
Tabril Magesthi (Ptolemy’s al-Magest) karya Claudius Ptolemaeus. Al-Magest
yang artinya “usaha yang paling besar” adalah kata-kata Yunani yang diarabkan
dengan imbuhan al. Karya-karya ini tidak hanya hanya diterjemahkan dan
disyarahi, tetapi ditindaklanjuti dengan kegiatan- kegiatan pengamatan atau
observasi. Hasil observasi yang dilakukan oleh sekolah di Baghdad itu dicatat
dalam tabel yang diperiksa dengan teliti
. Dari kawasan Arab, ilmu falak kemudian menyeberang ke Eropah, dibawa oleh
bangsa Eropah yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla,
Granada, dan Cordoba. Muncullah di Eropah Nicolas Copernicus (1473-1543), ahli
ilmu falak dari Polandia yang mencetuskan teori Heliosentris yang terus
digunakan sampai sekarang. Dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei
(1564-1642) yang menguatkan teori Copernicus, ilmu falak kian maju lebih jauh
lagi.
Ilmu Falak juga masuk dan berkembang di Indonesia. Dalam Ensiklopedi Islam
Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang dikenal sebagai bapak ilmu falak
Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Selain Syekh Taher Jalaluddin
pada masa itu terdapat juga tokoh-tokoh ilmu falak lainnya yang berpengaruh,
seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
Ahmad Rifa'i, dan K.H. Sholeh Darat.
Selanjutnya perkembangan ilmu falak di Indonesia dipelopori oleh
K.H. Ahmad Dahlan dan Jamil Djambek. Kemudian diteruskan oleh anaknya Siraj
Dahlan dan Saadoe'ddin Djambek (1330-1398 H/ 1911-1977 M). Di antara murid
Saado'eddin yang menjadi tokoh falak adalah H. Abdur Rachim. Beliau adalah
salah seorang ahl falak Muhammadiyah yang sangat disegani.
 
Penguasaan ulama Islam terhadap ilmu falak telah memungkinkan mereka
melakukan perhitungan untuk menentukan waktu-waktu salat, sudut arah
kiblat, awal bulan hijriyah, gerhana Bulan (khusu>f), dan gerhana
Matahari (kusu>f).
Khusus berkenaan dengan penentuan awal bulan hijriyah berdasarkan ilmu
falak atau hisab, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, karena di zaman
Nabi SAW belum pernah dilakukan, ramailah perbincangan mengenai itu dari
sudut hukum Islam (fiqh). Di tengah kontroversi mengenai boleh tidaknya
berpedoman pada hisab, sejumlah fuqaha seperti Ibnu Banna, Ibnu Syuraih, al-
Qaffal, Qadi Abu Taib, Mutraf, Ibnu Qutaibah, Ibnu Muqatil al-Razi, Ibnu Daqiq
al-‘Id, dan al-Subki, membolehkan penggunaan hisab dalam menentukan awal
dan akhir Ramadan.
Kedudukan Ilmu Falak Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam, aspek penentuan waktu dan tempat (mawa>qit>) menjadi
bagian yang inheren dalam pembebanan (takli>f) sejumlah pekerjaan (af’a>l) atas
orang-orang mukallaf. Hukum Islam bahkan menjadikan aspek mawa>qi>ttersebut
sebagai bagian dalam pelaksanaan empat pekerjaan utama yang terangkum dalam
rukun-rukun Islam, yakni salat, zakat, puasa, dan haji.
Salat disyariatkan untuk ditegakkan pada waktu-waktu tertentu (mawa>qi>t al-
sa}lah>) dan dengan cara menghadap ke tempat atau ke arah tertentu (al-qiblah).
Zakat, untuk jenis harta tertentu, kewajiban membayarnya berlaku pada saat masa
kepemilikannya sebesar minimalnishab telah memenuhi ketentuan jatuh tempo
satu tahun (h}awl). Puasa difardukan atas para mukallaf yang menyaksikan (hidup
dan mengalami) bulan Ramadan dan dalam bentangan waktu tertentu, yakni mulai
dari terbit fajar sadiq sampai terbenam matahari. Haji wajib dikerjakan pada waktu
tertentu (mi>qa>t zama>ni>) serta dari —dan pada— tempat tertentu (mi>qa>t
maka>ni>).
Di luar itu aspek mawaq>it> juga hadir sebagai bagian dari pensyariatan salat sunah
seperti salat sunah Duha, Tahajjud, dan Witir, juga puasa sunah seperti puasa hari
‘Arafah, Ta>su>’a, ‘As<yur>a,>dan Ayya>m al-Bi>d}(hari-hari di pertengahan bulan),
serta pensyariatan waktu-waktu terlarang salat dan hari-hari terlarang puasa. Bahkan
unsur mawa>qi>t juga hadir dalam hukum nikah, yaitu berkenaan dengan masa
iddah wanita non-haid yang ditalak — dan wanita yang ditinggal mati— oleh suaminya.
Ragam Metode Penentuan
Awal Bulan Hijriyah

RU’YA HISAB IMKAN


H U
RU’YA
H
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan
posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang
tampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan
dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan
setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib),
karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta
ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu
setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka
awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak
terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara
penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena
itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 ha
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada
Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan
merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat
(atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30
hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika
terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".Kriteria ini di Indonesia
digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan
para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun,
hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu
masuknya awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan
menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam
(ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after
sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender)
Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari
terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan
awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan
tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi,
tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk
menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul
Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender)
baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada
QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran
astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang
ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi
untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum
2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

Anda mungkin juga menyukai