Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH ILMU FALAK PADA MASA PRA ISLAM

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Perkembangan Ilmu Falak

Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad Arif Junaidi, M. Ag

Oleh:

RIZA AFRIAN MUSTAQIM

NI M:1600028014

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2016

1
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang

Ilmu falak dalam sejarah perkembangannya mengalami era


perkembangan yang panjang. Setidaknya, di awali dari persoalan
pandangan manusia melihat dan memandang alam semesta (cosmos).
Sementara itu, pandangan manusia itu sendiri terus mengalami
perubahan sesuai dengan tingkat kemampuannya memahami alam.
Oleh sebab itu, ilmu falak sebagai khazanah keilmuan dalam Islam
perlu dilakukan periodisasi untuk melihat fase-fase perkembangannya.
Selain itu, untuk menunjukan basis sejarah ilmu falak untuk tidak
mengatakan ilmu falak tidak memiliki akar sejarah.1

Dalam makalah ini akan mencoba untuk mengurai tentang


sejarah ilmu falak itu sendiri pada masa pra Islam. Dengan sebuah
pembahasa yaitu bagaimanakah sejarah ilmu falak pada masa pra
Islam.

B. Pembahasan
1. Ilmu Falak Pada Masa Pra Islam

Masa pra Islam, pada umumnya manusia memahami seluk


beluk alam semesta hanyalah seperti apa yang mereka lihat, bahkan
sering ditambah dengan macam-macam tahayul yang bersifat fantastis.
Menurut mereka, bumi merupakan pusat alam semesta. Seperti
matahari, bulan, dan bintang-bintang dengan sangat tertib mengelilingi
bumi.2

Ilmu falak dimulai dari zaman Babilonia, Mesir Kuno, China,


India, Persia, dan Yunani. Pengkajian ilmu falak bersamaan dengan
perkembangannya dengan ilmu nujum (astrologi). Keduanya memiliki

1
Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, Semarang; Farabi Istitute Publisher, 2011, h. 5.
2
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004, h. 23.

2
style serta ciri khas masing-masing dalam mengamati serta meneliti
benda-benda luarangkasa tersebut. Bahkan dalam Islam sendiri tanda-
tanda akan adanya kajian ilmu astronomi sudah diawali ketika Nabi
Ibrahim a.s. Dalam kondisi pencarian Tuhan, Nabi Ibrahim senantiasa
mengawasi dan mengamati benda-benda luar angkasa seperti;
Matahari, Bulan dan Bintang di langit untuk menyakinkan bahwa siapa
sebenarnya Tuhan.3

Akan tetapi, pengamatan pada saat itu belum dapat dikatakan


sabagai hasil dari proses ilmu pengetahuan karena belum ada
penelitian secara ilmiah, hanya sebatas pengetahuan yang ditunjukkan
khusus oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim a.s.4

Astronomi sudah dikenal semenjak bangsa Babilonia (Irak


kuno) dan Mesir Kuno yang pada tahap setelahnya Yunani dan
Romawi sebagai pewarisnya. Bangsa Babilonia mengenalnya ilmu
tersebut dengan mengamati rasi-rasi bintang. Dimana perbintangan
tersebut menurut bangsa Babilonia sebagai petunjuk Tuhan yang harus
dipecahkan.Bahkan pada zaman tersebut, manusia lebih banyak
menggunakan rasi bintang untuk meramal kehidupan mereka sehari-
hari. Sehingga ilmu ramal (astrologi) lebih maju dan lebih diminati
dibandingkan dengan astronomi itu sendiri.5

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan mereka tetap


menggunakan ilmu astronomi guna membantu kehidupan mereka
sehari-hari dalam hal penentuan musim, arah, pergantian hari dan
bulan. Bahkan pada masa itu sudah mengalami perkembangan untuk
melihat kapan terjadinya gerhana matahari atau bulan dengan petunjuk
rasi bintang. Sehingga bangsa Babylonia memberikan sumbangan yang
sangat penting sekali karena mereka bisa memunculkan tabel-tabel

3
Slamet Hambali, Pengantar ..., h. 5.
4
Slamet Hambali, Pengantar ..., h. 6.
5 Slamet Hambali, Pengantar ..., h. 6.

3
kalender tentang pergantian musim, waktu, bulan, gerhana dan
pemetaan langit (observational tables).6

Pada zaman ini, mulai ada penetapan waktu dalam satu hari
yaitu 24 jam. Satu jamnya = 60 Menit dan satu menitnya = 60 detik.
Ketika itu masyarakat Babilonia menyebutnya sebagai hukum Sittiny,
yaitu hukum per enam puluh. Karena mereka menganggap bahwa
keadaan bumi adalah bulat dan berbentuk lingkaran yang memilki 360
derajat dan pembagiannya habis dengan 60 (Muhitu’l arḍ atau
muhithu’l falak).7

Saat itu bangsa Yunani dalam mengamati perkembangan dan


kejadian-kejadian alam sebatas melihat tanpa lebih dari itu, bahkan
kejadian-kejadian tersebut sering ditambah dengan segala jenis yang
terkait takhayul. Peristiwa gerhana matahari maupun bulan, jatuhnya
meteor dipahami sebagai kajian alam yang terkait dengan sesuatu yang
pada hakikatnya tidak memiliki hubungan. Munculnya anggapan
raksasa menelan bulan, dewa marah atau dewa lagi berbaik hati
merupakan bentuk-bentuk takhayul yang berlaku pada masa tersebut.8

Pada intinya, ilmu falak memiliki kaitan erat dengan mitos-


mitos Yunani Kuno tentang keberadaan dewa. Pengetahuan falak pada
saat itu masih merupakan ilmu yang digunakan sebagai alat untuk
menghasilkan hitungan waktu untuk menyembah dewa, yaitu Dewa
Ashtarath dan Dewa Ba’al di Babilonia dan Mesopotamia agar doa
mereka diterima yang dalam konteks ini ilmu falak dikaitkan dengan
upacara ritual.9

Pada masa ini ada dua ilmuan yang memberikan pendangan


seputar tentang kosmos, sebagaimana berikut:

6
Penelitian Imam Ghozali, Tentang “Prespektif Historis Tentang Ilmu Falak”, h. 5
7
Imam Ghozali, “Prespektif ..., h. 5
8 Muhyiddin Khazin, Ilmu ..., h. 21.
9 Slamet Hambali, Pengantar ..., h. 8.

4
a. Aristoteles (384-322 SM)

Aristoteles adalah ilmuan dan filsuf yang terkenal di


zamannya bahkan hingga saat ini. Ia adalah orang pintar dari
negerinya dan dikagumi oleh masyarakatnya.10

Aristoteles berbendapat bahwa pusat jagat raya adalah


Bumi. Adapun bumi selalu dalam keadaan tenang, tidak
bergerak dan tidak berputar. Semua gerak benda-benda angkasa
mengitari Bumi. Lintasan masing-masing benda angkasa
berbentuk lingkaran. Adapun peristiwa gerhana misalnya, tidak
lagi dipandang sebagai adanya raksasa menelan bulan,
melainkan merupakan peristiwa alam.

Pandangan manusia terhadap jagat raya pada era ini


telah mulai berubah dan mengikuti pandangan aristoteles, yaitu
geosentris yang pada prinsipnya bahwa Bumi sebagai pusat
peredaran benda-benda langit.11

b. Claudius Ptolomeus (140 M)

Pada prinsipnya Claudius Ptolomius mengikuti


pandangan geosentris yang telah dibangun Aristoteles
sebelumnya. Menurutnya, bahwa seluruh Planet, Bulan,
Matahari, dan yang lainnya mengitari bumi secara berturut-
turut dan semakin jauh. Lintasan benda-benda langit tersebut
berupa lingkaran di dalam bola langit. Sementara itu, langit
tempat bintang-bintang sejati sehingga berada pada dinding
bola langit.12

Namun pada hakikatnya mazhab astronomi yang pertama dan


sangat berpengaruh sebenarnya bukan lahir di Yunani, tetapi di koloni

10
Lihat Anton Ramadan, Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indoesia, 2009, h. 23.
11 Muhyiddin Khazin, Ilmu ..., h. 22.
12 Muhyiddin Khazin, Ilmu ..., h. 22.

5
Selatan Troy di sekitar Turki, yang dimulai pada tahun 600 SM
seorang filsuf yang bernama Thales yang mengemukakan konsep
tentang perputaran tersebut seperti cakram atau piringan yang datar.13

Thales yang dianggap sebagai pelopor astronomi Yunani kuno


berpendapat bahwa bumi merupakan sebuah dataran yang sangat luas.
Kemudian muncul seorang filsuf matematika, yaitu Pythagoras yang
lahir disebelah selatan Italia tahun 580 SM dan meninggal 500 SM. Ia
berpendapat peredaran waktu terkait dengan kebiasaan dan gerak
secara alami. Demikian juga bintang, ia bergerak karena ada ikatan
kebiasaan dan gerakan alam. Pythagoras mengungkapkan pendapatnya
dengan mengatakan bahwa Bumi itu bulat. Sementara bulan itu
merupakan bagian tubuh yang kuat yang beredar dengan sendirinya
seperti bumi juga.14

Ungkapan yang dikemukakan oleh Thales dan Phythagoras


dibantah oleh Aristarchus pada abad ke-3 SM. Ia mengemukakan
bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, tetapi Matahari yang
merupakan pusat alam semesta dan bumi yang berputar mengelilingi
matahari (Heliosentris).15

Hal ini juga diungkapkan oleh Aristoteles (384-322 SM)


bahwasanya bintang lima selain Bumi (Merkurius, Venus, Mars,
Jupiter dan Saturnus) juga beredar dan bergerak bersamaan secara
terikat dan teratur mengelilingi matahari. Hal senada juga ditegskan
Nicolaus Copercius (1543 M), ia menuturkan; planet dan bintang
bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da’iry).
Johanes Kepler (1630 M) juga memberikan pendapatnya tentang benda
luar angkasa yang beredar mengelilingi Matahari dan memiliki orbit
berbentuk elips. Sebenarnya, kemunculan ilmu astronomi pada masa

13 Muhyiddin Khazin, Ilmu ..., h. 8.


14 Slamet Hambali, Pengantar ..., h. 9.
15 Slamet Hambali, Pengantar ..., h. 9.

6
Yunani juga timbul bersamaan dengan ilmu astrologi sebagai warisan-
warisan pengetahuan dari bangsa Babilonia dan Mesir Kuno. Dari sini
para fisuf Yunani memulai memikirkan dan mengamati akan peredaran
gerak bintang atau benda-benda angkasa lainnya yang tampak dengan
kasat mata.16

Dalam peradaban Mesir kuno, mereka menyakini bahwasanya


bintang keseluruhannya hanyalah berjumlah 36 bintang dan masing-
masing memiliki dewa penjaga dan setiap dewa tugasnya menjaga
bintang tersebut selama 10 hari untuk setiap tahunnya yang menurut
mereka setahunnya hanya berjumlah 360 hari. Sebenarnya mereka juga
mempercayai, bahwasanya jumlah hari dalam setahun berjumlah 365
hari. Akan tetapi mereka berpendapat bahwasannya 5 hari selebihnya
dijadikan sebagai hari kebahagiaan bagi mereka sehingga tidak masuk
hitungan hari.17

Bangsa Mesir kuno dinilai kurang begitu memperhatikan kajian


seputar perbintangan atau benda-benda luar angkasa. Akan tetapi
bangsa ini memberikan peninggalan yang sangat monumental yaitu
dengan diciptakannya jam matahari (mizwalah) dan sebagai tanda
penanggalan munculnya bintang sirius yang muncul sekitar tanggal 19
juli sampai dengan bulan agustus atau ditandai dengan banjirnya
sungai nil.18

Berbeda halnya dengan Arab Pra Islam. Bangsa Arab yang


dikenal nomaden, prinsip-prinsip astronomi telah dimiliki oleh orang
Arab Yaman dan Kaldea. Sementara itu, orang Arab Badui ilmu
astronomi lebih berfungsi pada pengenalan terhadap fenomena alam.
Besarnya perhatian mereka terhadap ilu ini terkait kebutuhan mereka
terhadap air. Sebagai bangsa pengembara dan pengembalakebutuhan

16 Muhyiddin Khazin, Ilmu ..., h. 9.


17 Muhyiddin Khazin, Ilmu ..., h. 9.
18 Imam Ghozali, “Prespektif ..., h. 6.

7
akan rumput yang segar menjadi tujuan utama, maka untuk
mengetahui letak tempat akan dituruni hujan harus mencatat
perputaran musim.19

C. Penutup

Demikian makalah tentang Sejarah Ilmu Falak Pada Masa Pra


Islam ini. Semoga dapat bermanfaat sebagai pengembangan keilmuan
Islam. Dalam penulisan makalah ini, tentunya terdapat banyak
kekurangan, baik dari segi substansi, maupun dari segi penulisan.
Terhadap kesalahan tersebut penulis meminta maaf karena hal tersebut
terjadi karena kekurangan wawasan penulis.

19 Muhyiddin Khazin, Ilmu ..., h. 10.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ghozali, Imam, Penelitian Tentang “Prespektif Historis Tentang Ilmu Falak”.

Hambali, Slamet, Pengantar Ilmu Falak, Semarang; Farabi Istitute Publisher,


2011.

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
Pustaka, 2004.

Ramadan, Anton, Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indoesia, 2009.

Anda mungkin juga menyukai