Anda di halaman 1dari 6

Pendahuluan

Latar Belakang
penentuan awal bulan qamariyah mempunyai cara yang sama dengan . Tiga bulan
tersebut mempunyai perhatian khusus karena di dalamnya terdapat ibadah yang bersifat publik,
yaitu dimulai dan selesainya ibadah puasa, juga ibadah haji. Pada masa Rasulullah, keputusan
awal bulan selalu didasarkan pada rukyat. Hal ini sesuai dengan beberapa hadis Nabi yang di
antaranya, "Berpuasalah kalian karena merukyat hilal dan berbukalah kalian karena
merukyatnya. Jika terhalang awan oleh kalian, sempurnakanlah bilangan Sya'ban 30 hari."(al-
Bukhari: 346, 2007). Melalui hadits ini, penentuan awal bulan qamariyah pada masa Nabi nyata
melalui rukyat hilal.
Ini terjadi karena ada kemungkinan Rasulullah adalah Nabi yang ummi, tidak membaca
dan tidak menulis, sehingga menggunakan rukyat merupakan keniscayaan. Hal ini sesuai isyarat
hadis Rasulullah, "Kami adalah umat yang ummi, kami tidak menulis dan tidak berhitung, bulan
adalah demikian dan demikian."(Muslim: 392, 2006). Dalam hadis ini Nabi mengisyaratkan
bahwa usia bulan qamariyah adalah 29 dan 30 hari.
Dalam makalah ini, juga membahas Pada umumnya, perhitungan kalender yang ada
sekarang didasarkan pada peredaran bumi terhadap matahari (sistem syamsiah) misal kalender
masehi dan peredaran bulan terhadap bumi (sistem qomariah) misalnya kalender hijriyah dan
jawa. Dalam terminologi umat islam yang menggunakan sistem kalender hijriyah, penentuan
awal bulan menjadi sangat penting karena terkait dengan waktu pelaksanaan suatu ibadah.
Karena itu pengamatan atau perhitungan peredaran bulan harus dilakukan.
Dalam penentuan kalender berdasarkan sistem qomariyah, akibat dari peredaran bulan
terhadap bumi yang mengitari matahari, muncul perbedaan waktu di setiap belahan bumi
sehingga untuk menentukan hisab perkiraan awal bulan dibutuhkan sistem hisab. Salah satu
sistem hisab yang terkenal adalah yang didasarkan pada sistem Ephemeris yaitu sistem yang
memuat data bulan dan data matahari yang berkaitan dengan perhitungan awal bulan. Di
samping itu, sistem ini juga bermanfaat dalam penentuan awal waktu shalat dan perhitungan arah
kiblat. Dibanding metode hisab kontemporer lainnya, data astronomis untuk metode ini lebih
mudah didapatkan. Karena itu metode ini menjadi metode perhitungan falak kontemporer yang
paling banyak digunakan. Di Indonesia terkait dengan sistem Ephemeris, Kementerian Agama
Republik Indonesia (Kemenag RI) telah menerbitkan buku Ephemeris Hisab-Rukyah yang berisi
data Ephemeris untuk metode ini setiap tahunnya. Kemenag juga mengeluarkan software
WinHisab yang merupakan software perhitungan data Ephemeris matahari dan bulan.
Pembahasan
Dasar Hukum
Secara umum penentuan awal bulan qamariyah bisa dicapai melalui dua cara, yaitu
rukyat dan hisab. Hanya saja, pada masa kenabian, penentuan awal bulan selalu didasarkan
melalui rukyat. Pertanyaannya, apakah pada masa itu belum ada ilmu hisab sehingga rukyat
merupakan keniscayaan, atau sudah ada tapi Nabi sengaja tidak memilih? Ataukah karena
Rasulullah seorang Nabi yang ummi?
Kemungkinan belum adanya ilmu hisab pada masa Nabi mungkin alasan yang kurang tepat,
karena istilah ilmu hisab sudah dikenal sejak masa Nabi Idris Alaihissalam (Zubair Umar: 5, tt)
(al-Qurtubi: VI: 35, 2003). Hal yang mungkin adalah hisab belum dikenal di Semenanjung Arab,
karena Nabi Idris Alaihissalam memang tidak diutus di Jazirah Arab (al-Qurtubi: IV: 168,
2003) . Namun apakah karena alasan itu Nabi kemudian menentukan awal bulan melalui ru'yat.
Tentu tidak demikian. Karena, kalau saja ilmu hisab merupakan ilmu yang wajib dipelajari, di
antara sahabat pasti ada yang diperintahkan untuk belajar ilmu tersebut. Hal ini seperti dalam
belajar baca dan tulis, dimana Rasulullah memerintahkan, minimal mengijinkan, sebagian
sahabat untuk mempelajarinya (Subhi Shalih: 17-18, 1988). Dapat dipahami, penentuan awal
bulan melalui rukyat merupakan alasan yang mandiri. Nabi sengaja memilih rukyat sebagai cara
menentukan awal bulan qamariyah, bukan karena belum kenal ilmu hisab.
Jadi, pemakaian rukyat pada masa kenabian bukan karena alasan tehnik semata, tapi Nabi
memang memilih cara itu sebagai teori penentuan awal bulan qamariyah. Alasan ini bisa
dipahami dari isyarat hadis "Berpuasalah kalian karena merukyat hilal..." Artinya, seandainya
ilmu hisab merupakan sarana yang mesti dipakai dalam penentuan awal bulan, Rasul pasti
memerintahkan sebagian sahabatnya untuk belajar ilmu tersebut. Hal ini seperti perintah
Rasulullah kepada Zaid bin Tsabit untuk belajar bahasa Suryani (Nashif: V: 230, 2006). Namun
hal tersebut tidak ditemui dalam ilmu hisab.
Kendati demikian, mempelajari ilmu hisab bukan hal yang dilarang, bahkan ulama menfatwakan
sebagai fardu kifayah (Umar: 14, tt). Yang ada adalah larangan belajar ilmu nujum, sementara
ilmu nujum dan ilmu hisab adalah ilmu yang tujuan mempelajarinya berbeda
(Umar: 10, tt).
Ulama lebih memilih alasan bahwa pemilihan rukyat sebagai cara penentuan awal bulan adalah
karena syiar Islam, dimana setiap akhir bulan umat Islam diseru untuk memperhatikan posisi
bulan yang menandai datangnya hari dan bulan baru (Zuhaili: II:604, tt). Ini yang kemudian
menjadi pembeda dengan kalender Masehi yang menggunakan sentral matahari, dimana
penentuan awal bulan cukup melalui hisab, kendati secara urfi. Karena gerak matahari (gerak
bumi) relatif konstan dan tidak melibatkan bulan dalam hitungan hisabnya. Sementara kalender
Islam melibatkan keduanya, disamping bumi itu sendiri.
Macam Metode Hisab
Metode hisab terdapat dua paham, yakni hisab haqîqi wujûd al-hilâl dan hisab imkân al-ru’yat.
menurut metode hisâb haqîqi wujûd al-hilâl untuk menghisab jatuhnya tanggal satu bulan baru
qamariyah dapat disimpulkan. Pertama, yang harus dilakukan adalah menentukan telah terjadi
ijtimak sebelum terbenam matahari. Kedua, menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu
ditentukan posisi bulan, apakah sudah berkedudukan di atas ufuk atau masih di bawahnya.
Apabila sudah berkedudukan di atas ufuk, berarti sudah berada di sebelah Timur garis ufuk dan
sekaligus di sebelah Timur matahari. Dalam istilah Muhammadiyah, hilal sudah wujud.

PENGERTIAN DAN TEORI IMKANUR RUKYAH


Irnkanur Aukyah dua kata bahasa Arab yaitu imkan dan al-Rukyah. Kata Imkan
agak dekat dengan kata mumkim yutnkin yang dalam bahasa Indonesia diserap menjadi
niungkih. Adapon al-Rukyah berasal dari kata roa, secara umum bermakna melihat
dengan mata kepala, mata telanjang. 1 Kalau digabungkan menjadi mungkin (dapat)
melihat (sesuatu). Dalam terminologis falak perkataan Inlkan alRukyah biasa
disandingkan kata hital, bulan baru atau new moon. Jadi secara sederhana dapat disebut
dengan keadaan hidal mungkin dapat dilihat dengan mata. Para ahli menye. butnya
dengan visibilitas penampakan hitar."'
Irnkanur Rukyah merupakan Suatu teori dalam menentukan awal bulan Qamariyah
yang menyatakan bahwa bulan baru, new moon, akan terlihat ketika rukyatul hilal
apabila telah memenuhi kriteria tertentu yang telah disepakati. Dan jika kriteria itu tidak
sesuai baik dari scgi teori, maupun ketika observasi (rgkyatul hilal) , maka bulan
sebelumnya disempurnakan menjadi 30 hari, istikmal.ll' Adapun jika ketika observasi
terlihat tetapi menurut teori belum memenuhi kriteria Irnkanur Rukyah, rnaka hasil
observasi yang dijadikan tolok ukur.
Di Indonesia kriteria yang masih disepakati sesuai kesepakatan MABIMS, yaitu
minimal ketinggian 4 2 detajat. Kelompok yang mengikuti teori ini oleh Ahmad Izzudin.
disebut mazhab Rukyah dan yang meng:ikuti teori Hila/ disebutnya mazhab Wuiudt'l
Hilar.
Setidaknya ada lima teori tentang Rukyah: per12 derajat (Kiiab kedua, 7 derajat
(Imam Ba Machromah), ketiga, 6 derajat. keempai, 4 derajat dan ada yang 2 derajat
(sebagaitnana yang disepakati di Indonesia).
Sebagai tambahan setidaknya ada dua klafrkasi tentang teori lmkanur Rukyah.
Pertama teori berdasarkan Kesepakatan, kedua teori berdasarkan Pendapat Ahli
(Astronom)Dari teori Kesepakatan terdapat dua pandangan. Pertama, berdasarkan
Kesepakatan Istambul, "Iurki, pada Konferensi A Imanak Islam pada tahun 1978
menyatakan visibilitas hilal dapat dilihat apabila tinggi hila/ tidak kurang 5 derajat (di
atas ufuk) dengan jarak busur (jarak lengkung bulanMatahari ketika Matahari terbenam)
minimal derajat.ut' Kedua, Kesepakatan MABIMS (Menteri•menteri Agama Brunai
Darussalamv Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada tahun 1992 menyatakan bahwa
visibilitas hilal dapat dilihat jika tinggi hilar minimal 2 derajat dengan jarak lengkung
bulan- Matahari minimal 3 derajat bulan minimal S jam setelah ijtimak.
Dari teori pendapat (astronom) setidaknya ada tiga pendapat, Pertamo, menurut
Danjon berdasarkan kajian ilmiah yaitu jarak basur antara bulan dan Matahari, Sa.at
tahari terbenam minimal derajat. Menurutnya terdapat hubungan Phytagoras antara
ketinggian hilal, beda Azimut dan jarak busur. Kedua, sebagai mana dius ulkan
Muhammad llyas dengan tinggi hilal minimurn 5 derajat dengan jarak basur minimum
10.5 derajat.ln Ketiga. Tomas Djamaludin, berdasarkan kajiannya mengusulkañ jarak
Bulan -Matahari minimal 5,6 dera)at. Remudian ketinggian hila/ tidak Iagi selalu 2
derajat tetapi harus memperhatikan beda Azimut bulan Matahari dengan perincian: beda
ti nggi derajat (tinggi Ilital > dua derajat) untuk beda azimut 6 derajat, tetapi bila beda
azimutnya < 6 derajat perlu beda tinggi yang lebih besar Iagi. Untuk beda azimut nol
derajat. beda tingginya harus 9 derajat.
Syarat cukup kriteria imkan al-rukyah adalah “cahaya hilal bisa mengalahkan cahaya syafak
(cahaya senja)” sehingga hilal nyata terlihat. Agar ada kontras cahaya hilal relatif terhadap
cahaya senja perlu syarat-syarat tertentu yang menjadi topik menarik penelitian astronomis
terkait visibilitas hilal (ketampakan hilal). Jadi, kriteria wujudul hilal bisa menjadi kriteria imkan
al-rukyah dengan menambahkan syarat visibilitas hilal agar “syarat perlu dan cukup” terpenuhi.1
Wujudnya bulan di atas ufuk belum menjamin adanya hilal menurut pandangan manusia. Hilal
bisa diperkirakan keberadaannya dengan memperhitungkan kriteria penampakan hilal (imkan al-
rukyat). Jadi, bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, saya berpendapat hisab dengan
kriteria imkan al-rukyat (walau pun masih terus disempurnakan, seperti lazimnya riset ilmiah)
lebih dekat kepada dalil syar’i.

Imkan al-Rukyat MABIMS adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang
ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan
Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip bahwa awal bulan (kalender) Hijriyah
terjadi jika:
1. Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°.
2. Sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
3. Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak
Syarat cukup kriteria imkan al-rukyah adalah “cahaya hilal bisa mengalahkan cahaya syafak
(cahaya senja)” sehingga hilal nyata terlihat. Agar ada kontras cahaya hilal relatif terhadap
cahaya senja perlu syarat-syarat tertentu yang menjadi topik menarik penelitian astronomis
terkait visibilitas hilal (ketampakan hilal). Jadi, kriteria wujudul hilal bisa menjadi kriteria imkan

1 T. Djamaluddin, Menuju Titik Temu Hisab Wujudul Hilal dan Hisab Imkan Rukyah, dalam
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/25/menuju-titik-temu-hisab-wujudul-hilal-danhisab-
imkan-rukyat/, diakses tanggal 17 Februari 2014.
al-rukyah dengan menambahkan syarat visibilitas hilal agar “syarat perlu dan cukup”
terpenuhi.22 Wujudnya bulan di atas ufuk belum menjamin adanya hilal menurut pandangan
manusia. Hilal bisa diperkirakan keberadaannya dengan memperhitungkan kriteria penampakan
hilal (imkan al-rukyat). Jadi, bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, saya
berpendapat hisab dengan kriteria imkan al-rukyat (walau pun masih terus disempurnakan,
seperti lazimnya riset ilmiah) lebih dekat kepada dalil syar’i. Sesama pengguna rukyat pun
keputusannya pun bisa berbeda antara penganut rukyat “murni” dan rukyat terpandu hisab.
Dalam beberapa kali kesaksian rukyat murni (bebas hisab) yang kontroversial, satu-satunya
penyelesaiannya adalah dengan sumpah. Secara syar’i itu sah. Apalagi para pengamat itu
umumnya orang yang ditokohkan yang tidak diragukan lagi keimanannya dan kejujurannya.
Tetapi dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang
lainnya, kita masih boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang meyakinkannya karena
banyak hal yang bisa mengecoh, seperti venus maupun awan yang menyerupai hilal. Sebagai
bahan pemikiran bersama, berikut ini akan dibahas beberapa masalah terkait upaya penerapan
iptek dalam mencari solusi penyatuan hari raya. Selain upaya di lingkup nasional, ada juga upaya
lingkup internasional yang mungkin terkait dengan dukungan Indonesia. Iptek sebagai alat bantu
penyelesaian tidak dapat diterapkan tanpa mempertimbangkan syariat. Penentuan hari raya dan
awal bulan qamariyah lainnya, bukan sekadar melihat bulan. Ada beberapa persyaratan yang
terkait syariat yang penafsirannya tidak tunggal. Penafsiran yang tidak tunggal tentang syariat ini
yang kemudian.
PENGGUNAAN WUJUDUL HILAL
Terlepas dari perbedaan ulama tentang boleh-tidaknya menggunakan bisab sebagai dasar
penentuan awal bulan, maka dapat kami katakan bahww tidak dapat dipersalahkan bagi orang
yang menggunakan wujudul hila/ sebagai kriteria penetapan awal bulan Qamariyah manakala
cara rukyah bil fi'li tidak dapat dilaksanakan atau tidak berhasil melihat hilal, padahal secara
empirik posisi hilal saat itu sangat mungkin dapat dilihat.
Yang menarik tinttik diperhatikan adalah sejauh mana pernberlakuan wilayah hílal itu. Dalarn
hal ini, kami cenderung untuk memberlakukannya pada daerah-daerah ga untuk daerah-daerah
ini malam itu dan keesokan harinya sudah bulan baru, sedangkan daerah•daerah yang menurut
hisab bahwa hila] masih belum wujud, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan hari
terakhir bagi bulan yang sed ang berjalan Padahal ketinggian hilal (Y itu tidak tentu di tempat
tertemu, sehingga mungkin dapat terjadi suatu negara (wi/aya. tul hukmi) dilalui oleh ketinggian
hilal 00. Kalau hal demiki• an ini terjadi maka daerah•daerah barat 0 0 di suatu negara itu sudah
bulan baru, sedangkan daerah-daerah timurnya di negara itu pula masih melanjutkan bulan yang
sedang ber• jalan. Kalau hal demikian ini terjadi, sungguh akan mengu• rangi ukhwah islamiyah.
Oleh karena itu, apabila yang dimaksudkan dengan wuþudul hilol itu seberapa pun ketinggian
hila] di atas ufuk maka seyogyanya yang dijadikan dasar adalah ketinggian hi• III untuk
daerah•daerah di sebelah timur dari suatu negara itu, sehingga selamatlah daerah.daerall di
sebelah baratnya karena untuk daerah•daerah itu tentunya hilal sudah wujud. Sebab kalau ticiak
dernikian, misalnya mengambil wujudul hilol di suatu daerah di sebelah barat dari suatu negara,
ke• mudian ditarik ke timur, artinya daerah.daerah timur dihukumi hilal sudah wujud. maka yang
demikian ini sudah keluar dari pemahaman Hadis di atas. Karena menurut hisab untuk
daerahrdaerah itu hilal belum wujud (di bawah ufuk).
Lain halnya apabila yang dimaksudkan Wiljudrut hilal itu sama dengan irnkanurrukyah, maka
yang dijadikan dasar dapat dari daerah.daerah sebelah barat suatu negara, karena daerah•daerah
yang berada di sebelah timurnya sekalipun belurn imkanurrukyah, namun hilal untuk daerah-
daerah itu pada umumnya sudah wujud. Dengan demikian, kedua pengertian tentang wujudu/
hilal seperti di atas dapat diber lakukan secara bersama•sama.

Anda mungkin juga menyukai