Anda di halaman 1dari 4

ASTRONOMI UNTUK MASYARAKAT: MEMAHAMI POTENSI

PERBEDAAN HARI RAYA DAN UPAYA SOLUSINYA

TUGAS MERESUME

OLEH :

HARIANTO
NIM. 1922124

JURUSAN MANAJEMEN
INSTITUT BISNIS DAN EKONOMI INDONESIA
2023
Astronomi Untuk Masyarakat: Memahami Potensi Perbedaan Hari Raya dan
Upaya Solusinya

Dalam waktu dekat, kita akan memasuki bulan suci Ramadan yang diawali dengan penentuan
tanggal 1 Ramadan. Meskipun tanggal 1 Ramadan menurut kalender jatuh pada 23 Maret 2023, masih
terdapat perbedaan pendapat di masyarakat mengenai penetapan awal Ramadan dan penanggalan
Jawa yang dapat mempengaruhi penentuan tanggal 1 Syawal. Namun, ilmu astronomi dapat berperan
sebagai jembatan untuk menyelesaikan perbedaan ini.

Profesor Thomas Jamaludin, seorang peneliti ahli di bidang astronomi dan astrofisika, memberikan
paparannya mengenai astronomi untuk masyarakat serta solusi untuk perbedaan penetapan hari raya.
Ilmu Falak yang mempelajari peredaran benda langit, khususnya matahari dan bulan, diajarkan di
pesantren dan perguruan tinggi Islam. Selain itu, ilmu Falak juga mempelajari geometri bola untuk
menggambarkan koordinat, arah, dan jarak sudut antar objek, termasuk perhitungan arah kiblat di
permukaan bumi.

Meskipun saat ini sudah banyak aplikasi yang dapat menunjukkan arah kiblat dengan mudah, di balik
aplikasi tersebut terdapat rumus geometri bola yang digunakan untuk menentukan arah kiblat. Oleh
karena itu, ilmu astronomi dan Falak dapat membantu dalam menyelesaikan perbedaan dalam
penetapan hari raya dan memberikan solusi yang akurat bagi masyarakat Muslim.

ilmu Falak merupakan ilmu yang berkaitan dengan dalil fiqih dan digunakan dalam ibadah. Ilmu Falak
juga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di masyarakat, seperti menentukan awal Ramadan,
Syawal, dan Dzulhijjah. Para ahli ilmu Falak tidak hanya perlu fokus pada perhitungannya, tetapi juga
memahami aplikasi astronomi dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, dijelaskan bahwa bulan dalam kalender Islam bukanlah bulan fisik yang bergerak mengitari
bumi, melainkan bulan kalender yang telah ditentukan oleh Allah, dengan 12 bulan dalam setahun.
Matahari dijelaskan bercahaya sendiri, sedangkan bulan hanya bersinar karena memantulkan cahaya
matahari. Penentuan awal bulan Hijriyah dilakukan melalui sidang isbat yang dilakukan oleh otoritas
yang memverifikasi, seperti Kementerian Agama di Indonesia, dengan menggunakan kriteria tertentu,
seperti kriteria Hilal dan hisab. Meskipun hasil rukyat dapat ditemukan oleh masing-masing individu,
namun untuk menentukan penetapan awal bulan Hijriyah, harus ada otoritas yang memverifikasi dan
memastikan hasilnya.

Dalam menentukan awal bulan baru, tidak selalu menggunakan Purnama sebagai penanda awal, namun
bisa juga menggunakan Hilal atau bulan sakit pertama yang semakin besar dan kemudian menjadi bulan
setengah, lalu besar lagi menjadi Purnama, dan kemudian kecil lagi airnya menjadi bulan sabit tua.
Biasanya, pengamatan Hilal sulit dilakukan karena bulan sabit pertama harus diamati setelah Maghrib,
dan hal ini membutuhkan pengetahuan astronomi yang tepat.

Meskipun rekomendasi untuk Majelis Ulama Indonesia agar membahas kriteria penonton gereja sebagai
pedoman oleh Kementerian Agama belum dilaksanakan atau belum ada kesepakatan, Rasulullah sendiri
memverifikasi keimanan orang yang melihat Hilal sebelum menetapkan awal bulan baru.
Khalifah Umar, ketika memperkenalkan kalender Hijriah, menggunakan pengetahuan empiris yang
tersedia pada saat itu untuk membuat kalender dengan sifat keperiodikan, yang disebut sebagai kisah
dan kriteria Ukhti atau kriteria periodik. Dalam kalender ini, bulan-bulan ganjil selalu berjumlah 30 hari
dan bulan genap selalu berjumlah 29 hari.

Awalnya, hisab kurang digunakan untuk menentukan awal bulan baru, tetapi sampai sekarang masih ada
kelompok yang menggunakannya. Namun, jika hitungan tersebut tidak dikoreksi, bisa menyebabkan
perbedaan tanggal puasa yang cukup jauh dari pengamatan, seperti yang terjadi pada beberapa
kelompok yang mengawali puasa hingga tiga hari sebelum pengumuman pemerintah.

Ada beberapa pesantren yang masih menggunakan kitab untuk mengenali awal bulan. Secara estimasi
kasar, umur bulan baru adalah sekitar 12.00-12.12 siang dan pada saat magrib, umurnya adalah 6 jam.
Dalam metode hisab matematis atau astronomis, 6 dibagi dua tiga yang dianggap sebagai ketinggian
hilangnya masuknya awal bulan. Kemudian jarak bulan dan matahari ini, ahli set bisa memilih atau
dalam prakteknya kadang-kadang menggunakan beberapa parameter terkait dengan keterangan cahaya
sampah ini sebagai faktor pengganggu. Parameter yang digunakan adalah tinggi, lanjut beda tinggi bulan
matahari, beda azimut, dan beda waktu terbenam bulan dan matahari.

Namun, mengapa kita belum bisa bersepakat atau belum mempunyai satu sistem kalender? Itu karena
tiga prasyarat untuk kalender yang mapan belum terpenuhi. Pertama, harus ada otoritas tunggal yang
mengaturnya, dan saat ini di Indonesia, otoritasnya adalah pemerintah. Kedua, harus ada kriteria yang
tunggal, seperti kriteria Hilal atau kriteria visibilitas hilang. Ketiga, harus ada batas wilayah yang
disepakati. Di Indonesia, batas wilayah sudah disepakati, tetapi di negara lain mungkin ada perbedaan.
Kalender, cara sadar atau tidak sadar, memang mensyaratkan 3 hal ini harus ada. Sebelum tahun 1792,
antara hari Natal di Inggris dengan hari Natal di Roma bedanya sampai dengan 12 hari karena
otoritasnya tidak tunggal, ada otoritas di Roma dan ada otoritas di Inggris yang menggunakan kriteria
yang berbeda. Oleh karena itu, untuk memiliki satu sistem kalender yang mapan, tiga prasyarat ini harus
terpenuhi.

Pada tahun 1925, Wilayah Global disepakati dengan garis tanggal di Samudra Hindia dan Pasifik setelah
terdapat perbedaan antara Alaska dan Kanada. Terdapat tiga prasyarat yang harus dipenuhi agar terjadi
kesepakatan ini, yaitu ada otoritas tunggal yang mengaturnya, kriteria yang digunakan harus tunggal,
dan harus ada batas wilayah yang disepakati. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi beragam kalender
Islam yang dibuat oleh berbagai organisasi seperti Muhammadiyah dan NU yang keduanya membuat
kalender sendiri dengan kriteria yang berbeda-beda. Di Indonesia, terdapat perbedaan kriteria antara
Muhammadiyah, pemerintah, NU, Persis, dan ormas lainnya dalam menentukan waktu-waktu penting
seperti Idul Adha.

Kriteria yang berbeda ini dapat menyebabkan perbedaan antara wilayah barat dan timur karena ada
wilayah yang sudah memenuhi kriteria atau sudah melewati tanggal, sementara wilayah lainnya belum.
Konsep garis tanggal ini dapat diselesaikan secara fikih melalui taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri.
Ada upaya untuk menyatukan kriteria ini melalui berbagai usulan kriteria baru dan diskusi sejak tahun
2004 hingga tahun 2021.

Kriteria minimal yang diterapkan oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, adalah tinggi matahari
minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat astronomi. Pemerintah Indonesia mulai menerapkan kriteria
baru ini dalam menentukan awal Ramadan dan Zulhijjah 1443 mulai tahun 2022. Pada awal Ramadan
tahun ini, Indonesia telah memenuhi kedua kriteria tersebut pada tanggal 22 Maret, sehingga besoknya,
tanggal 23 Maret, akan menjadi awal Ramadan secara seragam di Indonesia dan kemungkinan secara
global. Namun, untuk awal Syawal, hanya kriteria 3 derajat yang digunakan.

Kesimpulannya, penyebab utama perbedaan dalam menentukan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul
Adha adalah karena belum adanya kesepakatan mengenai kriteria awal bulan Hijriah. Perbedaan ini
tidak disebabkan oleh perbedaan metode hisap dan rukyat. Untuk terwujudnya unifikasi dalam
penentuan kalender Hijriah, prasyarat utamanya adalah adanya otoritas tunggal secara global, namun
saat ini belum ada. Jika ingin dicoba, otoritas eksisting seperti Organisasi Kerjasama Islam dapat
mengumpulkan negara-negara Islam untuk menjadi otoritas tunggal dalam penentuan kalender global.
Otoritas tunggal ini akan menentukan kriteria dan batas tanggalnya, dan di tingkat nasional, pemerintah
akan menjadi otoritas tunggal. Namun, kondisi saat ini belum memungkinkan adanya otoritas tunggal
yang dapat diwujudkan.

Pada tingkat nasional atau regional, Menteri Agama biasanya mewakili pemerintah. Di tingkat regional
Asia Tenggara, seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, Menteri Agama juga
dapat menjadi otoritas regional. Batas wilayah sebagai satu wilayah hukum atau wilayah Teluk Bumi
dapat disesuaikan dengan batas kedaulatan negara. Saat ini, Indonesia telah menerapkan konsep
wilayah hukum di mana satu wilayah Indonesia NKRI menjadi satu wilayah hukum. Ketika Menteri
Agama menyatakan setelah sidang isbat bahwa bulan itu telah teramati, misalnya di Jawa, maka Menteri
Agama memutuskan bahwa esok hari adalah hari raya Atau Ramadan untuk seluruh wilayah Indonesia,
menggunakan konsep wilayah hukum, sehingga mengikuti daerah yang telah melihatnya.

Namun, meskipun konsep wilayah hukum sudah diterapkan, otoritasnya belum diputuskan secara resmi
karena pemerintah, Muhammadiyah, dan organisasi lain mungkin memiliki kriteria yang berbeda. Oleh
karena itu, dibentuklah tim unifikasi kalender Hijriah dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan
melalui dialog dan mencapai titik temu. Diharapkan bahwa dari tim unifikasi ini, organisasi-organisasi
juga dapat menerima keputusan bersama pimpinan ormas bersama dengan pemerintah yang diwakili
oleh Menteri Agama. Harapannya, kriteria bersama ini dapat disepakati sehingga tidak ada lagi
perbedaan dalam menentukan hari raya dan awal puasa.

Anda mungkin juga menyukai