Anda di halaman 1dari 3

Sistem Kalender Menurut Astronomi

Secara umum, kalender yang paling banyak dipergunakan saat ini didasarkan pada peran penting dua benda
langit, yaitu Matahari serta Bulan, sehingga dikenal adanya sistem kalender Matahari, yang kita kenal sebagai
sistem kalender Masehi, yang tentunya kita pergunakan sehari-hari. Sistem yang lain, adalah sistem Kalender
Bulan, dipergunakan oleh Umat Islam dalam tata pelaksanaan ibadah. Selain itu, beberapa kebudayaan
mempergunakan kombinasi Solar-Lunar sebagai patokan sistem kalendernya, seperti yang dipergunakan
bangsa China serta Yahudi.

Tidak saja berdasar pada Bulan dan Matahari, bahkan dalam tradisi nenek moyang Indonesia, utamanya yang
berprofesi sebagai petani, seperti petani di Jawa, mempergunakan patokan beberapa benda langit yang lain,
seperti Pleiades serta rasi Orion, disamping juga menyesuaikan dengan siklus musim serta bagaimana juga
siklus hidup lainnya, dan sistem kalender yang cukup pelik tersebut dikenal sebagai Pranatamangsa , atau dalam
bahasa sekarang dapat disadur sebagai Pengelola/Penata Waktu.

Kalender Masehi
Kalender modern yang kita gunakan saat ini disebut sebagai kalender masehi, dan deret waktu tahunannya,
(tahun 1), diasumsikan dari tahun kelahiran Yesus Kristus. Berdasarkan pembagian tersebut, sebelum tahun 1
disebut sebagai SM (Sebelum Masehi), BC (Before Christ), atau BCE (Before Common Era), dan sesudahnya
sebagai M (Masehi), AD (Anno Dominii), atau CE (Common Era). Setiap tahun terbagi menjadi bagian-bagian
yang disebut sebagai bulan, sejumlah dua belas bulan dalam satu tahun, dan tiap bulan terbagi antara 28-31
hari.

Berdasarkan ilmu astronomi, sistem kalender masehi ditetapkan dari peredaran Bumi mengelilingi Matahari,
(sistem kalender solar). Jika matahari berada dari ufuk terbit, sampai terbenamnya disebut sebagai satu siang
hari, dan kebalikannya dari terbenam sampai terbitnya lagi disebut sebagai satu malam hari.

Sistem kalender solar berjumlah 365 hari dalam satu tahun dan 366 hari untuk tahun kabisat. Dalam satu tahun
terbagi menjadi 12 bulan, yang dinamai dari Januari, sampai Desember, dan tiap bulannya berjumlah antara 30-
31 hari, kecuali Februari berjumlah 28 hari dan 29 hari untuk tahun kabisat. Penentuan tahun kabisat ini muncul
karena pada kenyataannya Bumi mengelilingi Matahari dalam satu kali revolusinya (satu putaran penuh), selama
365,242199 hari (365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik), sehingga untuk mengatasi permasalahan kelebihan hari
tersebut, ditetapkan adanya tahun kabisat setiap empat tahun, yaitu pada tanggal 29 Februari, untuk tahun
kelipatan empat (pada tahun biasa, seperti 1992, 1996, 2000), dan harus kelipatan 400 untuk tahun abad
(contohnya tahun 2000, tetapi 1900 dan 2100 bukan, karena bukan kelipatan 400).

Kalender masehi telah digunakan semenjak jaman Romawi, dan mulai menerapkan sistem yang hampir serupa
dengan sistem masehi, yang juga berdasarkan astronomi, semenjak Julius Caesar. Pada saat itu berdasarkan
pengamatan astronomi, jarak satu tahun diterapkan sebesar 365,25 hari, lalu dibagi menjadi 12 bulan, dan
sistem ini disebut sebagai kalender Julian, berdasarkan nama Julius Caesar. Tetapi karena perhitungan yang
belum terlalu teliti, efek kumulatif kesalahan perhitungan menyebabkan sampai sekitar tahun 1500-an, kalender
telah mengalami pergeseran sampai 10 hari.

Untuk mengatasi permasalahn tersebut, pada tahun 1582 AD Paus Gregorius XIII, mengatur lagi penanggalan
dengan mengubah dari tanggal 4 Oktober 1582 AD, keesokan harinya menjadi 15 Oktober 1582 AD, serta
melengkapi perhitungan dengan menyatakan adanya sistem kabisat, untuk tahun kelipatan empat, dan harus
kelipatan 400 untuk tahun abad. Meskipun sistem ini pada awalnya diterapkan pada negara-negara yang
menganut agama Katholik, dan sistem kalendernya disebut sebagai kalender Gregorian, tetapi karena sistem ini
cukup bagus dalam penentuan waktu, seiring perkembangan dunia, mulai tersebar dan diterapkan di seluruh
dunia.
Kalender Bulan

Sistem kalender Bulan pada saat ini dipergunakan dalam sistem penanggalan Umat Islam. Pada penanggalan
Islam pergantian bulan barunya adalah berdasarkan pada penampakan hilal, yaitu bulan sabit terkecil yang
dapat diamati dengan mata telanjang. Hal ini tidak lain disebabkan penanggalan Islam adalah penanggalan yang
murni berdasarkan pada siklus sinodis bulan dalam sistem penanggalannya (lunar calendar), yaitu siklus dua
fase bulan yang sama secara berurutan.

Satu bulan dalam sistem penanggalan Islam terdiri antara 29 dan 30 hari, sesuai dengan rata-rata siklus fase
sinodis Bulan 29,53 hari. Satu tahun dalam kalender Islam adalah 12 x siklus sinodis bulan, yaitu 354 hari 8 jam
48 menit 36 detik. Itulah sebabnya kalender Islam lebih pendek sekitar sebelas hari dibandingkan dengan
kalender masehi dan kalender lainnya yang berdasarkan pada pergerakan semu tahunan matahari (solar
calendar). Karena ini pula bulan-bulan dalam sistem penanggalan Islam tidak selalu datang pada musim yang
sama.

Perbedaan antara penanggalan hijriah dengan penanggalan masehi yang kita gunakan sehari-hari tidak berhenti
disitu saja. Terdapat pula perbedaan pada pergantian harinya.

Dalam penanggalan Hijriah hari baru berawal setelah Matahari terbenam dan berlangsung sampai saat
terbenamnya Matahari keesokan harinya. Misalnya, hari pertama dimulai sejak matahari terbenam hari sabtu dan
berakhir sampai matahari terbenam pada hari minggu.

Kalender Pranatamangsa

Selain kalender yang didasarkan pada pengamatan astronomi saja, masyarakat agrarian di nusantara, seperti di
Pulau Jawa , memanfaatkan pengetahuan baik astronomi, ekologi serta biologi dalam penyusunan kalendernya,
dikenal sebagai sistem kalender Pranotomongso, atau Pranatamangsa.

Pembagi tahunan dalam periode berdasar pola musim & siklus alam (seperti kalender Masehi pada suatu
tingkatan tertentu) bagi masyarakat agraris di Pulau Jawa (dan mungkin petani-petani di Nusantara?). Satuan
waktu terkecil adalah hari: Matahari terbit-terbenam. Bulan/Mangsa bervariasi antara 23 ñ 43 hari, dikarenakan
posisi Jawa yang sekitar 7 derajat Selatan. Siklus tahun terbagi menjadi empat Mangsa Utama (Ketiga, Labuh,
Rendheng, & MarËng) yang panjangnya berbeda-beda, dengan pola 6 bulan serta 6 bulan berpola kebalikannya.

Awal Mangsa 1, biasanya dekat dengan Solstice Juni, ditandai dengan Pleiades/Wuluh/Kartika dan
Orion/Waluku di Heliacal Rising. Tengah tahun Mangsa 6 dekat dengan Solstice Desember, kebalikannya yang
terjadi. Sistem kalender Pranatamangsa dalam prakteknya cukuplah rumit, karena tidak hanya mempergunakan
panduan benda langit, akan tetapi juga dengan fenomena alam yang menyertainya, meteorologi, ekologi, serta
ungkapan sastra yang memperkayanya.

Sebagai contoh, awal mangsa, disebut sebagai Kasa (Kartika), yang merupakan mangsa utama Ketiga ñ
Terang, pada rentang waktu di sekitar 22 Juni – 1 Agustus (41 hari), memiliki Chandra: Sesotya murc ing
embanan (Permata berguguran). Biasanya ditandai dengan fenomena alam: Daun-daun berguguran, kayu-kayu
mengering, belalang membuat liang & bertelur. Bagi petani merupakan panduan untuk waktunya membakar
batang padi/jerami/dami; dan mulai bercocok tanam Palawija. Biasanya pada masa tersebut akan memasuki
musim Kemarau, curah hujan 67,2 mm, lengas udara 60,1%, suhu 27,4?C, sinar Matahari 76%. Dinaungi oleh
Zodiak: Mesa & Dewa Wisnu, berbintang: Sapigumarah (sumber: Pranatamangsa, Seri Lawasan), dan secara
astronomi: Wuluh/Pleiades di Heliacal Rising, Matahari terbit ke Utara terjauh.

Praktek penggunaan kalender ini telah dilakukan semenjak sejarah Indonesia belum tercatat. Patokannya tidak
hanya benda langit, tapi juga fenomena yang terjadi di alam: Musim tanaman, perilaku binatang, arah angin,
kelembaban, curah hujan; dan kalender ini dipergunakan sebagai pedoman bertani, berdagang, merantau,
berperang & pemerintahan. Baru di abad ke-19, kalender ini dibakukan sebagai sistem kalender oleh Sri
Susuhunan Pakubuwono ke-VII , 22 Juni 1856, juga dengan memasukkan tahun Kabisat.

Kalender Pranatamangsa dapat juga dipandang sebagai Kalender Orionik, karena kehadiran Orion yang
menurut masyarakat agraris dipandang sebagai (Wa)luku/bajak lebih memegang peranan bagi masyarakat. Bagi
petani di masa lampau, dengan memegang beras pada telapak tangan terbuka, kemudian mengarahkan tangan
pada Luku pada rembang petang, maka ketika bulir-bulir beras jatuh dari tangan, itulah saat untuk memulai
bercocok tanam.

Sistem kalender Pratamangsa tidak hanya sebagai penjaga waktu tapi juga mencerminkan kearifan lokal
masyarakat agraris pada masa lampau, akan tetapi seiring dengan perubahan jaman, sistem kalender ini mulai
terpinggirkan, akankah kearifan lokal relevan?.

Sebagaimana digambarkan pada Mangsa 1: Sesotya murc ing embanan (Permata berguguran), yaitu ketika
bulir air jatuh dari kapuk randu. Kondisi lingkungan menyebabkan embun tidak lagi mudah terbentuk, atau pohon
kapuk sudah sulit ditemukan.

Orion sang pemburu. kredit: Nggieng

Orion atau rasi Wlauku. kredit: Nggieng

Anda mungkin juga menyukai