Anda di halaman 1dari 12

PROBLEMATIKA HISAB DAN RUKYAT

(Telaah Kajian Penentuan Awal Bulan Hijriah Perspektif Fikih


dan Sains)

Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Problematika Fikih dan Sains

Dosen Pengampu:
Dr. H. Mahsun, M.Ag.
Drs. Slamet Hambali, M.Si.

Oleh:
Fika Afhamul Fuscha 2202048007
Moh. Fadllur Rohman Karim 2202048020

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI ILMU FALAK
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN WALISONGO SEMARANG
2023
A. Latar Belakang
Perdebatan mengenai dalil rukyat atau hisab sudah berlangsung ratusan
tahun tanpa solusi. Perbedaan memaknai banyak hadis dan beberapa ayat al-
Qur’an tentang penetapan awal dan akhir puasa Ramadhan memunculkan
ijtihad atas dalil-dalil fikih. Hadis tentang perintah berpuasa ada yang
memaknai harus dengan rukyat, namun ada juga yang menganggap bisa atau
bahkan seharusnya diganti dengan hisab.
ِِ ِ ِ ِِ ِ ‫ص‬
ُ‫ فَإِ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه‬،‫ َوأَفْط ُروا ل ُرْؤيَته‬،‫وموا ل ُرْؤيَته‬
ُُ
berpedoman kepada lafadz ‫وموا لِرْؤيَتِ ِه‬
Penganut rukyat
ُ ُ‫ص‬ ُ (berpuasalah
apabila melihat hilal), sedangkan penganut hisab berpedoman kepada ُ‫فَاقْ ُد ُروا لَه‬
(perkirakan dengan hisab). Semakin digali dalil-dalilnya, semakin menjauh
perbedaan pendapat tentang rukyat dan hisab.
Madzhab rukyat dan hisab berdasarkan ijtihad dalil fikih sudah tidak bisa
dipertemukan lagi. Lantas, bagaimana cara mendialogkan madzhab rukyat dan
hisab sehingga menemukan solusi untuk bersatu? Disini penulis akan
memaparkan penjelasan mengenai problematika rukyat dan Hisab beserta
dengan solusi untuk menyatukan antara madzhab rukyat dan madzhab hisab.

B. Pembahasan
1) Problematika Rukyat
Rukyat secara Bahasa raā – yarā – ru’yatan artinya melihat. Secara
istilah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau Bulan sabit setelah
terjadinya ijtima di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah Matahari
terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah, untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.
Adapun dasar pelaksaan rukyatul hilal, tercantum dalam Hadis Nabi
riwayat Bukhori dari Umar bin Khattab Ra.

‫اَّللُ َعْن ُه َما‬ ِ ‫اَّللِ ب ِن عمر ر‬


َّ ‫ض َي‬ ِ ِ ٌ ِ‫اَّللِ بْ ُن َم ْسلَ َمةَ َحدَّثَنَا َمال‬
َ َ َ ُ ْ َّ ‫ك َع ْن ََنف ٍع َع ْن َعْبد‬ َّ ‫َحدَّثَنَا َعْب ُد‬

‫وموا َح ََّّت تَ َرْوا ا ْْلََِل َل َوََل تُ ْف ِط ُروا‬


ُ‫ص‬ ُ َ‫ال ََل ت‬ َ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ذَ َكَر َرَم‬
َ ‫ضا َن فَ َق‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ َّ ‫أ‬
َ ‫َن َر ُس‬

ُ‫َح ََّّت تَ َرْوهُ فَإِ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه‬

1
“'Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami, Malik
telah menceritakan kepada kami, dari Nafi’ dari Abdullah bin 'Umar
radliallahu 'anhumā bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: "Janganlah
kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian
berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan
maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)" (HR.
Bukhari).

Pada penjelasan redaksi “faqduru lahu”, muncul beberapa pendapat,


sebegaimana pendapat imam syafi’i, imam hanafi dan mayoritas ulama
salaf dan khalaf dengen menyempurnakan 30 hari. Ada pula pendapat yang
mengatakan dengan mengalkulasi kedudukan hilal dengan hisab seperti
pendapat Muthorrof Ibnu Abdillah, Abu al-Abbas Ibn Suraij dan Abu
Quthaibah.1
Rukyah al-hilal Secara garis besar Rukyah al-hilal dapat
dikategorikan menjadi dua:
1) Rukyat al-Hilal bi al-Fi’li
Rukyat al-Hilal bi al-Fi’li merupakan upaya melihat hilal
dengan mata secara langsung atau dengan menggunakan alat (bantu)
yang dilaksanakan setiap akhir bulan kamariyah di sebelah barat saat
matahari terbenam. Jika hilal berhasil dirukyat, maka sejak malam itu
sudah dihitung tanggal satu bulan baru kamariyah. Tetapi jika hilal
tidak berhasil teramati, maka esok harinya masih dalam hitungan
bulan yang berjalan, sehingga umur bulan digenapkan 30 hari.2
2) Rukyat al-Hilal bi al-‘Ilmi
Rukyat al-Hilal bi al-‘Ilmi adalah usaha untuk melihat hilal
dengan menggunakan ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode
hisab. Dalam perkembangannya, hisab hingga sekarang dikenal
dengan dua aliran, yakni hisab urfi dan hisab haqiqi.
Hisab urfi merupakan sistem perhitungan yang didasarkan pada
peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara

1
Syamsul Arifin, “Manhaj Muhammadiyah Tentag Penentuan Awal Bulan Ramadhan,
Syawal Dan Dzulhujjah,” in Upaya Penyatuan Kalender Hijriyah Indonesia Sejak 1975 Hingga
Kini (Duta Media, 2018), 123.
2
Azhari Susiknan, “Ensiklopedi Hisab Rukyat,” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 183.

2
konvensional. Sedangkan hisab haqiqi adalah sistem hisab yang
didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Umur
bulan pada sistem hisab hakiki tidak selalu berurutan 29 hari atau 30
hari.3
Hisab dan rukyat merupakan dua entitas yang berbeda,
mempunyai pengertian dan penerapan yang berbeda, akan tetapi
keduanya mempunyai keterkaitan dalam mewujudkan kebutuhan
masyarakat dalam menentukan awal bulan Hijriah. Dengan
mengaplikasikan hisab untuk diuji verifikasi dengan observasi
(pengamatan) pada sore hari dengan rukyatul hilal.

Perintah rukyatul hilal pada dasarnya adalah ta’abuddi. Dengan


mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah dengan para
sahabatnya. Hadis banyak yang menjelaskan beliau mempraktikkan
pengamatan hilal secara langsung dalam rangka menentukan awal bulan.
Rasulullah tanpa menjelaskan alasannya melaksanakan rukyatul hilal saat
itu.
Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib. Itu
pasti penanda awal bulan. Tidak pada pagi bahkan siang hari. Jikalau ada
citra bulan sabit yang tertangkap, maka tetap tidak bisa pergunakan untuk
penentuan awal bulan hijriyah.
Hilal adalah bukti paling kuat telah bergantinya periode fase bulan
yang didahului bulan sabit tua dan bulan mati. Masalah utama rukyat atau
pengamatan hilal selain cuaca adalah masalah kontras cahaya hilal yang
sangat tipis dan redup dengan cahaya senja. Hilal yang terlalu rendah atau
terlalu dekat dengan matahari sulit teramati karena kalah terang.
Konsep pengamatan bulan sabit pada siang hari, pernah menjadi
trend pembahasan tertentu dengan tujuan ingin mengakhiri perseteruan
hisab dan rukyat. Salah satu tawaran yang bermasalah dalam fikih karena
tidak mempunyai landasan syariah yang jelas. Ketampakan bulan pada
siang hari tidak dikategorikan sebagai hilal penentu awal bulan. Karena

3
Susiknan, 24.

3
asbabul wurud perintah rukyat pada saat itu adalah setelah matahari
terbenam atau waktu maghrib dalam rangka mengawali dan mengakhiri
ibadah puasa.
Jika pada 29 Ramadhan di laporkan bulan sabit teramati pukul 11.00,
apakah itu penanda akhir Ramadhan? Bukan. Sebab itu akan menimbulkan
persoalan hukum. Jika bulan sabit itu dianggap sebagai penanda akhir
Ramadhan dan awal Syawal, puasa harus dibatalkan, padahal syariat
mengajarkan puasa harus sampai maghrib. Lagi pula, puasa kan baru 28
hari. Kalau puasa diteruskan, Rasul melarang puasa pada 1 Syawal atau
Idul Fitri. Jadi, kita tidak boleh membuat definisi baru tentang awal bulan
(misalnya dengan menggunakan bulan sabit siang hari), karena akan
berbenturan dengan aturan hukum fikih. Sebagaimana pemberlakuan
hukum islam terhadap mukallaf dalam beberapa ibadah mahdah, yaitu
mulai ketika matahari terbenam atau dimulainya hari baru pada tahun
hijriyyah.

2) Problematika Hisab
Secara etimologis, kata hisab berasal dari bahasa Arab ( ‫ب‬
ُ ‫ب – ََْي ُس‬
َ ‫َح َس‬
‫ ِح َس ًاب‬-) yang berarti al-Adad wa al-Ihsha’, bilangan atau hitungan.4 Dalam

bahasa Inggris kata ini disebut arithmatic yang mempunyai arti ilmu
hitung.5 Hisab dalam perspektif bahasa merupakan suatu ilmu yang
membahas tentang seluk beluk perhitungan. Menurut para ahli ilmu falak,
hisab merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang perhitungan
benda-benda langit pada orbitnya untuk diketahui kedudukannya antara
satu dengan lainnya supaya diketahui waktu-waktu yang ada di Bumi.6
Pada zaman Rasulullah, pengetahuan masyarakat Arab mengenai
hisab masih bersifat praktis. Mereka belum mempunyai pengetahuan

4
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progesif, 1997), 261.
5
John M Echols, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 2005), 37.
6
Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah Di Indonesia ( Telaah Sistem Penetapan Awal Bulan
Qamariyyah ),” Yudisia 5, no. 2 (2014): 409.

4
canggih untuk melakukan perhitungan astronomis. Hal tersebut dapat
dilihat dari sabda Nabi,

‫ أَنَّهُ ََِس َع ابْ َن‬،‫يد بْ ُن َع ْم ٍرو‬


ُ ِ‫ َحدَّثَنَا َسع‬،‫س‬
ٍ ‫َس َوُد بْ ُن قَ ْي‬
ْ ‫ َحدَّثَنَا األ‬،ُ‫ َحدَّثَنَا ُش ْعبَة‬،‫آد ُم‬
َ ‫َحدَّثَنَا‬
ِ ِ َ َ‫ أَنَّهُ ق‬، ‫صلَّى هللا َعلَْي ِه و َسلَّم‬ ِ ِ ‫عمر ر‬
ُ ُ‫ ََل نَكْت‬،ٌ‫ «إ ََّن أ َُّمةٌ أ ُِّميَّة‬:‫ال‬
‫ب‬ َ َ ُ َ ‫َّب‬ ِِّ ِ‫ َعن الن‬،‫اَّللُ َعْن ُه َما‬
َّ ‫ض َي‬ َ ََ ُ
ِ ِ ِ
َ ‫َّه ُر َه َك َذا َوَه َك َذا» يَ ْع ِِن َمَّرةً ت ْس َعةً َوع ْش ِر‬
7
)‫ي (رواه خباري‬
َ ‫ َوَمَّرةً ثَََلث‬،‫ين‬ ْ ‫ الش‬،‫ب‬
ُ ‫َوََل ََْن ُس‬
“Telah menceritakan kepada kami [Adam] telah menceritakan
kepada kami [Syu’bah] telah menceritakan kepada kami [Al Aswad bin
Qais] telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin ‘Amr] bahwa dia
mendengar [Ibnu ‘Umar Radliallahu ‘anhuma] dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Kita ini adalah ummat yang ummi, yang
tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah
harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan
sekali berikutnya tiga puluh hari”. (HR. Bukhori)

Hadis tersebut bukan menyatakan ketidakpahaman Rasulullah


pada ilmu hisab, tetapi justru menunjukkan bahwa hisab sudah dikenal
pada zaman Rasul tetapi masih sangat sederhana. Dari pengalaman
empirik, Rasul mengetahui bahwa satu bulan dalam kalender hijriah itu
tidak kurang dari 29 dan tidak lebih dari 30. Hanya saja pengetahuan saat
itu belum mampu menentukan perkiraan bulan mana saja yang berjumlah
29 hari dan yang 30 hari.
Kalender baru diperkenalkan pada zaman khalifah Umar bin
Khattab terutama untuk keperluan penentuan tahun yang pasti, dengan
menggunakan sistem periodik, yaitu jumlah hari dalam satu bulan
berselang-seling 30 dan 29 hari. Sistem ini dikenal dengan Hisab Urfi.
Dalam sejarah perkembangannya hisab dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Hisab Urfi
Sistem hisab urfi merupakan sistem perhitungan yang
didasarkan pada peredaran bulan berdasarkan pada gerak semu Bulan.
Sistem hisab urfi menetapkan hari dalam satu bulan sebesar 30 dan 29
hari secara berurutan.

7
Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori, “Sahih Bukhori,” in 3 (Dar al-Thuq al-
Najah, n.d.), 27.

5
Hisab urfi menggunakan sistem perhitungan aritmatika
kalender, sehingga dalam setiap tahunnya memiliki jumlah hari yang
tetap. Pada bulan ganjil jumlah harinya adalah 30 hari, sedangkan
untuk bulan genap jumlah harinya adalah 29 hari, kecuali pada bulan
ke-12 untuk tahun kabisat.8
Sistem perhitungan aritmatika kalender memiliki siklus 30
tahun. Dalam satu siklus terdapat 11 tahun kabisat dan 19 tahun
basithoh. Dalam sejarah penggunaan kalender islam aritmatika,
terdapat 4 macam versi dalam peletakan tahun kabisatnya. Adapun 4
macam varian tersebut adalah sebagai berikut:9
Pada pola I, kabisat terletak pada tahun 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18,
21, 24, 26, dan 29. Sistem ini banyak dianut dalam kitab falak klasik
di Indonesia, seperti Syams al-Hilāl, Ad-Durūs al-Falakiyah, Badī’ah
al-Mitṡāl, al-Khulāṣah al-Wafiyyah. Dalam kitab Syams al-Hilāl Juz
I, tahun-tahun kabisat tersebut terkumpul dalam bait yang ditulis
dengan huruf jumali sebagai berikut:

‫(ل) ِم ْن ِه ْجَرة‬
10ِ ِ ‫ َكبائِس ِِف ُك ِل‬# ‫ب ْه ِز ي يج ي ْه يح َكأْ َك ْد َكو َك ِط‬
ِّ ْ ٌ َ ْ َُ َ َْ ُ َ
Selain bait diatas, tahun-tahun kabisat pada pola ini juga
terdapat pada syair yang lain, dimana huruf yang bertitik adalah tahun
kabisat, dan yang tidak bertitik adalah tahun basithoh.
ِ ِ َّ ‫َك‬
َ َ‫ َع ْن ُك ِِّل َخ ٍِّل ُحبَّهُ ف‬# ‫ف ا ْْلَلْي ُل َكفَّهُ د ََينَ ْه‬
11
‫صانَ ْه‬
Pada tahun kabisat pola I, tahun akan dianggap kabisat apabila
akumulasi sisa sama atau telah melebihi 12 jam. Jika terdapat 2 tahun
yang akumulasi sisanya sama atau telah melebihi 12 jam, maka tahun
yang dianggap kabisat adalah akumulasi sisa jam yang paling
mendekati.

8
Muh. Rasywan Syarif, “Diskursus Perkembangan Formulasi Kalender Hijriah,”
ElFalaky: Jurnal Ilmu Falak Vol. 2, no. 1 (2018).
9
M.G. Rashed, M.G. Moklof, and Alaa E. Hamza, “Investigation the Arithmetical or
Tabular Islamic Calendar,” NRIAG Journal of Astronomy and Geophysics 7, no. 1 (2018): 21.
10
Noor Ahmad SS and Abu Syaiful Mujab, Risalah Syams Al-Hilāl Juz I (Kudus: Madrasah
Tasywiquth Thullab Salafiyah Kudus, n.d.), 4.
11
SS and Mujab, 4.

6
Pada pola II, kabisat terletak pada tahun 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18,
21, 24, 26, dan 29. Sistem ini digunakan oleh Al-Fazari, Al-
Khawarizmi, Al-Battani, Toledan Tables, Al-Fonsine Tables, MS
Hijri Calender. Pada pola ini, tahun akan dianggap kabisat apabila
akumulasi sisa telah melebihi 12 jam. Jika terdapat 2 tahun yang
akumulasi sisanya telah melebihi 12 jam, maka tahun yang dianggap
kabisat adalah akumulasi sisa jam yang paling mendekati.
Pada pola III, kabisat terletak pada tahun 2, 5, 8, 10, 13, 16, 19,
21, 24, 27, dan 29. Sistem ini digunakan oleh Kalender Fathimiyyah
(juga dikenal sebagai kalender Misri atau kalender Buhrah), Ibn al-
Ajdabi. Pada pola ini, tahun akan dianggap kabisat apabila akumulasi
sisa telah melebihi 15 jam. Jika terdapat 2 tahun yang akumulasi
sisanya telah melebihi 15 jam, maka tahun yang dianggap kabisat
adalah akumulasi sisa jam yang paling mendekati.
Pada pola IV, kabisat terletak pada tahun 2, 5, 8, 11, 13, 16, 19,
21, 24, 27, dan 30. Sistem ini digunakan oleh Habasy al-Hasib, Al-
Biruni, Elias dari Nisibis. Pada pola ini, tahun akan dianggap kabisat
apabila akumulasi sisa telah melebihi 16 jam 30 menit. Jika terdapat
2 tahun yang akumulasi sisanya telah melebihi 16 jam 30 menit, maka
tahun yang dianggap kabisat adalah akumulasi sisa jam yang paling
mendekati.12
Sampai saat ini masih terdapat beberapa golongan yang masih
menggunakan hisab urfi diantaranya adalah penganut tarekat
Naqsabandiyah dan tarekat Syatariyah.13
2) Hisab Haqiqi
Metode perhitungan dalam hisab haqiqi terbagi lagi menjadi
tiga jenis sistem perhitungan, yaitu:

12
Fika Afhamul Fuscha, “Verification of the Hisab Ephemeris System Against the Hijri
Calendar Leap Year Pattern with Criteria Imkan Al-Rukyah MABIMS: Case Study in Kudus
District,” Al-Hilal: Journal of Islamic Astronomy 3, no. 1 (May 19, 2021): 115–18,
https://doi.org/10.21580/al-hilal.2021.3.1.7733.
13
Adlan Sanur, “Mengukuhkan Metode ’Urf Kelompok Dalam Melanggengkan
Keberagaman Untuk Penentuan Bulan Qamariya Tareqat Syatthariyyah Di Sumatera Barat,” Al-
Hurriyah: Jurnal Hukum Islam 1, no. 2 (2016).

7
a) Hisab Haqiqi bi al-Taqrib
Sistem hisab taqribi adalah sistem perhitungan yang tingkat
keakurasiannya rendah karena basis data yang dijadikan
acuannya adalah Zij (tabel astronomi) Ulugh Beg dan dalam
pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori geosentrisnya
ptolomeus. Diantara kitab-kitab yang termasuk hisab taqribi
adalah Taẑkirah al-Ikhwān karya KH. Ahmad Dahlan, Sulam an-
Nayyiroin karya KH. Muhammad Manshur bin Abdul Hamid,
Fatḥu ar-Rauf al-Mannān karya KH. Abu Hamdan Abdul Jalil
bin Abdul Hamid Kudus, Tashīl al-Miṡāl karya KH. Muhammad
Nawawi Yunus Kediri, Risalah al-Falakiyah karya KH. Ramli
Hasan Gresik, Al-Qowaid al-Falakiyah karya Sayid Abdul Fatah
ath-Thuhy Mesir, Syams al-Hilāl karya KH. Noor Ahmad SS
Jepara, Bugyah al-Rofiq karya KH. Ahmad Ghazali M. Fathullah
Sampang.14
b) Hisab Haqiqi bi al-Tahqiq
Sistem hisab hakiki adalah sistem perhitungan yang tingkat
akurasinya cukup tinggi, namun masih tergolong klasik. Karena
data yang dijadikan dasar perhitungan masih bersifat statis. Hisab
ini sudah mengadopsi rumus spherical trigonometry. Diantara
kitab-kitab yang masuk dalam kategori hisab hakiki adalah
Manāhij al-Hamidiyah karya Syekh Abdul Hamid Mesir,
Muntaha Natāij al-Aqwāl karya KH. Hasan Asy’ari Pasuruan, Al-
Maṭla’ as-Said karya Syekh Husain Zaid Mesir, Nur al-Anwār
karya KH. Noor Ahmad SS Jepara, Badī’ah al-Miṡal karya KH.
Ma’shum bin Ali Jombang, Al-Khulāṣah al-Wafiyah karya KH.
Zubeir Umar al-Jailani Salatiga.
c) Hisab Haqiqi bi al-Tadqiq
Sistem hisab Kontemporer adalah sistem perhitungan yang
memiliki tingkat akurasi tinggi dengan menggunakan data-data

14
Muh. Hadi Bashori, Penanggalan Islam: Peradaban Tanpa Penanggalan, Inikah Pilihan
Kita? (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), 118.

8
yang kontemporer yang bersifat dinamis. Diantara yang tergolong
hisab kontemporer adalah Irsyād al-Murīd karya KH. Ahmad
Ghozali M. Fathullah Sampang, Ad-Dur al-Aniq karya KH.
Ahmad Ghozali M. Fathullah Pamekasan, New Comb karya Drs.
Abdurrachim Yogyakarta, EW. Brown karya Drs. Tengku Ali
Muda Medan, Al-Manak Nautika karya HM. Nautical Inggris,
Astronomical Alghorithm karya Jean Meeus, Ephemeris Hisab
Rukyat karya Kementrian Agama RI.

3) Titik Temu antara Hisab dan Rukyat


Seringkali masyarakat mendikotomikan antara hisab dengan rukyat,
padahal keduanya adalah sama. Dalam sebuah hadis rasul disebutkan
bahwa,
ِِ ِ ِ ِِ ِ ‫ص‬
ُ‫ فَإِ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه‬،‫ َوأَفْط ُروا ل ُرْؤيَته‬،‫وموا ل ُرْؤيَته‬
ُُ
Lafadz ‫وموا لُِرْؤيَتِ ِه‬
ُ‫ص‬ ُ (berpuasalah apabila melihat hilal) menunjukkan
perintah untuk melaksanakan rukyat dengan menggunakan mata secara
langsung atau menggunakan bantuan teleskop. Sedangkan lafad ُ‫فَاقْ ُد ُروا لَه‬
(perkirakan dengan hisab) juga bisa diartikan dengan hisab dengan
formulasi astronomi maupun programming.
Menurut Prof. Thomas Djamaluddin, kedua madzhab tersebut dapat
disatukan dengan ijtihad kriteria Ilmiah. Penganut rukyat baik yang
menggunakan mata secara langsung maupun menggunakan alat bantu
teleskop perlu dilakukan verifikasi melalui Sidang Itsbat. Karena bisa saja
perukyat keliru dalan mengidentifikasi hilal yang sangat tipis. Begitu juga
dengan penganut hisab, perkembangan ilmu hisab mengalami kemajuan
yang cukup pesat dengan algoritma yang makin akurat namun terbantu
teknologi komputasi yang makin canggih. Maka dari itu untuk
memverifikasi hisab diperlukan suatu kriteria visibilitas hilal. Karena bisa
saja dimungkinkan jumlah hari dalam satu bulan bisa kurang dari 29 atau
lebih dari 30 hari.

9
C. Kesimpulan
Perdebatan mengenai dalil rukyat atau hisab sudah berlangsung ratusan
tahun tanpa solusi. Perbedaan memaknai banyak hadis dan beberapa ayat al-
Qur’an tentang penetapan awal dan akhir puasa Ramadhan memunculkan
ijtihad atas dalil-dalil fikih. Semakin digali dalil-dalilnya, semakin menjauh
perbedaan pendapat tentang rukyat dan hisab. Madzhab rukyat dan hisab
berdasarkan ijtihad dalil fikih sudah tidak bisa dipertemukan lagi. Kedua
madzhab tersebut dapat disatukan dengan ijtihad kriteria Ilmiah, yaitu
melakukan verifikasi. Rukyat dapat diverifikasi melalui Sidang Itsbat,
sedangkan hisab dapat diverifikasi melalui kriteria visibilitas hilal.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhori, Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah. “Sahih Bukhori.” In 3.


Dar al-Thuq al-Najah, n.d.
Arifin, Jaenal. “Fiqih Hisab Rukyah Di Indonesia ( Telaah Sistem Penetapan
Awal Bulan Qamariyyah ).” Yudisia 5, no. 2 (2014).
Arifin, Syamsul. “Manhaj Muhammadiyah Tentag Penentuan Awal Bulan
Ramadhan, Syawal Dan Dzulhujjah.” In Upaya Penyatuan Kalender
Hijriyah Indonesia Sejak 1975 Hingga Kini. Duta Media, 2018.
Bashori, Muh. Hadi. Penanggalan Islam: Peradaban Tanpa Penanggalan,
Inikah Pilihan Kita? Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013.
Echols, John M. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia, 2005.
Fuscha, Fika Afhamul. “Verification of the Hisab Ephemeris System Against
the Hijri Calendar Leap Year Pattern with Criteria Imkan Al-Rukyah
MABIMS: Case Study in Kudus District.” Al-Hilal: Journal of Islamic
Astronomy 3, no. 1 (May 19, 2021): 107–28. https://doi.org/10.21580/al-
hilal.2021.3.1.7733.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progesif, 1997.
Rashed, M.G., M.G. Moklof, and Alaa E. Hamza. “Investigation the
Arithmetical or Tabular Islamic Calendar.” NRIAG Journal of
Astronomy and Geophysics 7, no. 1 (2018).
Sanur, Adlan. “Mengukuhkan Metode ’Urf Kelompok Dalam
Melanggengkan Keberagaman Untuk Penentuan Bulan Qamariya
Tareqat Syatthariyyah Di Sumatera Barat.” Al-Hurriyah: Jurnal Hukum
Islam 1, no. 2 (2016).
SS, Noor Ahmad, and Abu Syaiful Mujab. Risalah Syams Al-Hilāl Juz I.
Kudus: Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah Kudus, n.d.
Susiknan, Azhari. “Ensiklopedi Hisab Rukyat.” Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Syarif, Muh. Rasywan. “Diskursus Perkembangan Formulasi Kalender
Hijriah.” ElFalaky: Jurnal Ilmu Falak Vol. 2, no. 1 (2018).

11

Anda mungkin juga menyukai