Anda di halaman 1dari 12

PERMASALAHAN RU’YAT DAN HISAB DI INDONESIA

Disusun oleh :
Kosin
Pengertian Hisab dan Rukyat

• Pengertian Hisab

Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam
ilmu falak(astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi.

• Pengertian Rukyat
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang
pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata
telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Metode Hisab dan Rukyat untuk
menentukan awal ramadhan
Penetapan awal Ramadhan oleh Kemenag, NU, dan Muhammadiyah

Kemenag
Dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal, Kemenag biasanya akan menggelar
sidang isbat penentuan awal Ramadhan. Selain itu, sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 2 Tahun 2004, penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah adalah dengan
mekanisme sidang isbat.
Sejak 1972, Kemenag telah membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) yang bertugas
melakukan hisab dan rukyatul hilal untuk menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan
Zulhijah.
Metode Hisab dan Rukyat untuk
menentukan awal ramadhan
Penetapan awal Ramadhan oleh Kemenag, NU, dan Muhammadiyah

Nahdlatul Ulama (NU)

NU menentukan awal Ramadhan dengan cara pengamatan atau rukyatul hilal. Pada penentuan Ramadhan 1442 Hijriah
atau tahun 2021 lalu, NU menentukan melakukan pengamatan rukyatul hilal di 35 titik di seluruh Indonesia.
Lembaga Falakiyah Pengurus Besar NU (LF PBNU) telah melakukan perhitungan terhadap hilal Ramadhan 1442 H. NU
menggunakan metode penghitungan hisab jama’i di Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta dengan koordinat 6º
11’ 25” LS 106º 50’ 50” BT. Dari hisab tersebut diperoleh data ketinggian hilal sudah mencapai 3 derajat 37 menit 01 detik.
Sementara, durasi kemunculannya mencapai 17 menit 11 detik, sedangkan ijtimak atau konjungsi terjadi pada Senin, 12
April 2021 pukul 09:29:29 WIB. Hal ini mengartikan, tinggi hilal sudah memenuhi kriteria imkanur rukyah dan kemungkinan
hilal terlihat, yakni sebesar 2 derajat. Sementara itu, tinggi hilal di wilayah lain juga masih di atas tiga derajat.
Metode Hisab dan Rukyat untuk
menentukan awal ramadhan
1. Hadis yang memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadan ketika telah melihat hilal, antara lain
sabda Nabi saw,

]‫ ومسلم‬، ‫ واللفظ له‬، ‫ ِإ َذا َرَأ ْي ُتم ُْو ُه فص ُْوم ُْوا َوِإ َذا َرَأ ْي ُتم ُْوهُ َفَأ ْفطِ ر ُْوا َفِإنْ ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم َفا ْق ُدر ُْوا لَ ُه [رواه البخاري‬.
Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh
awan terhadapmu, maka estimasikanlah [diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan diriwayatkan
pula oleh Muslim].
Secara harfiah hadis ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan rukyat (terlihatnya hilal),
dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan/perhitungan).

2. Hadis yang melarang berpuasa Ramadan dan beridulfitri sebelum melihat hilal,

]‫لهالَ َل َوالَ ُت ْفطِ ر ُْوا َحتىَّ َت َر ْوهُ َفِإنْ ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم َفا ْق ُدر ُْوا لَ ُه [رواه البخاري ومسلم‬
ِ ‫الَ َتص ُْوم ُْوا َحتىَّ َت َروُ ا ْا‬
Artinya: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika Bulan
terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim].
Secara harfiah hadis ini melarang memulai dan mengakhiri puasa Ramadan sebelum terlihatnya hilal, dan bilamana cuaca
berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan/perhitungan).
3. Hadis yang memerintahkan memaksimalkan umur bulan ketika cuaca berawan atau mendung.

]‫ُص ـ ْوـ ُم ْوا ِلــ ُرْؤ يَـ ِت ِهـ َوـَأف ِْط ُر ْوـا ِلــ ُرْؤ يَـ ِت ِهـ َفـــِإ ْنغُبَِّي َعل َيْك ُْم َفـــَأكـ ِْملُ ْوـا ِع َّد َة َش ـ ْع َب َان َثــــلَا ِثيْ َن[رـوـاـهـ اــلبخاريوـمـسلم‬
Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan
terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari [diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim].
Seperti halnya dua hadis sebelumnya, secara harfiah hadis ini pun memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadan
dengan terlihatnya hilal. Selain itu, hadis ini juga dijadikan sebagai satu-satunya tafsir terhadap kata ‫ َفـــاق ُْد ُرـ ْوـا َلـــ ُهـ‬pada dua hadis
sebelumnya, yakni yang dimaksud dengan kata itu adalah menggenapkan umur bulan Syakban tiga puluh hari (istikmal)
untuk memulai puasa Ramadan atau menggenapkan umur bulan Ramadan tiga puluh hari untuk mengakhiri puasa
Ramadan.
Metode Hisab dan Rukyat untuk
menentukan awal ramadhan
Penetapan awal Ramadhan oleh Kemenag, NU, dan Muhammadiyah

Muhammadiyah
Di lingkungan Muhammadiyah digunakan apa yang disebut dengan hisab wujudul hilal. Hisab wujudul hilal adalah metode
menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan kamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga para meter
(kriteria), yaitu:
a) telah terjadi konjungsi atau ijtimak,
b) konjungsi (ijtimak) itu terjadi sebelum matahari terbenam,
c) pada saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk.

Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadhan 1443 Hijriah jatuh pada 1 April 2022.

Keputusan ini tertuang dalam Maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal,
dan Zulhijah 1443 H. Kemudian untuk 1 Syawal 1443 H ditetapkan jatuh pada Senin, 2 Mei 2022 "Umur bulan Ramadhan
1443 H 30 hari dan tanggal 1 Syawal 1443 H jatuh pada hari Senin Pon, 2 Mei 2022 M," tulis maklumat tersebut.
Sedangkan, untuk 1 Zulhijah 1443 H jatuh pada Kamis, 30 Juni 2022 M, sehingga warga Muhammadiyah melaksanakan
ibadah salat Idul Adha (10 Zulhijah) pada Sabtu Legi, 9 Juli 2022.
Penggunaan metode hisab oleh Muhammadiyah didasarkan atas berbagai alasan, baik syar’i maupun astronomis,
yang antara lain sebagai berikut:

1. Semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 Allah berfirman,

]5 :55[‫ح ْس َب ٍان‬
ُ ‫اــل َّش ْم ُس َوـاـلـْقَ َم ُر ِبــــ‬
Ayat ini menegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan oleh karenanya dapat dihitung dan
diprediksi. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak
matahari dan Bulan karena banyak kegunaannya. Di antara kegunaan perhitungan gerak Bulan dan matahari itu,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat 5 dari surat Yunus, adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Ayat 5 surat Yunus dimaksud berbunyi,

ِ ِ ‫آل‬
]5 :10[‫اتلـــ َقـ ْوـ ٍم َيـــ ْعل َُم َون‬ ُ ِّ َ‫ابمـا َخ َل َقاــل َّ ُهـ َذـ ِلـ َكِإ َّال ِبــــالـ َْحِّق ُيـــف‬
َ ‫صلا ْـ ي‬ َ َ ‫ع َد َد اــل ِّس ِن َين َوـالـ ِْح َسـ‬
َ ‫اء َوـاـلـْقَ َم َر ُنــ ًورـا َوـ َق َّد َرـ ُهـ َمنَ ِ َازل ِلـــتَ ْعل َُموا‬ َ ‫ ُه َو اـل َّ ِذ‬.
ً ‫يج ََعلاــل َّش ْم َس ِض ـ َي‬
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-
manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui [Q. 10: 5].
2. Hadis-hadis yang secara harfiah mengharuskan rukyat atau istikmal dalam memulai dan mengakhiri puasa
Ramadan tidak berlaku permanen, karena hadis-hadis tersebut mengandung illat. Ini ditegaskan oleh Nabi saw dalam
hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut,

]‫ح ُ ُسباــل َّش ْهـ ُر َه َك َذا َوـ َه َك َذا َيـــ ْع ِني َمـ َّر ًة ِتــــ ْس َعـ ًة َوـ ِع ْشـ ِري َـن َوـ َم َّر ًة َثــــال ِث َين[رـوـاـهـ اــلبخاريوـمـسلم‬ ‫ِإ ن َّا ُأ َّم ٌة ُأ ِّمـيَّ ٌة الــ َنــك ْ ُتُ وـ‬.
ْ ‫بالـ َنــ‬
Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu
adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari
[diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim].

Hadis ini menunjukkan bahwa penggunaan rukyat pada zaman Nabi saw. itu karena keadaan umat masih ummi, yaitu
sebagian terbesar tidak mengenal baca tulis dan tidak dapat melakukan hisab.

3. Secara astronomis, penggunaan rukyat sebagai metode penetapan awal bulan kamariah menimbulkan masalah
yang tak terhindarkan, antara lain:
a. Tidak dapat digunakan untuk menyusun kalender, karena masuknya bulan baru diketahui paling cepat H-1.
b. Rukyat tidak dapat menyatukan penanggalan kamariah secara global, karena rukyat tidak bisa mengkaver seluruh
permukaan bumi pada waktu yang bersamaan.
c. Jangkauan rukyat terbatas sehingga tidak dapat diberlakukan ke seluruh dunia, bahkan ada kawasan tertentu di muka
bumi tidak dapat merukyat sama sekali karena tempatnya tidak normal.
Permasalahan Hisab dan Rukyat di
Indonesia
Problem Fikhiah
Seperti terlihat pada uraian di atas bahwa baik pengguna rukyat maupun hisab masing-masing memiliki argumentasi yang
dibangun khususnya dari landasan–landasan syari’ah yang berupa hadis Nabi saw atau pun ayat al-Quran, meskipun untuk
ayat al-Quran ini para pengguna rukyat tidak cenderung untuk menggunakannya sebagai dalil dalam hal yang ada kaitannya
dengan hukum-hukum kongkrit, seperti penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, maupun Zulhijah.

Menurut umat Islam Indonesia pendukung rukyat, melihat hilal dan istikmal sebagaimana secara harfiah ditegaskan dalam
hadis-hadis Nabi saw. di atas adalah merupakan satu-satunya cara untuk menentukan mulai dan berakhirnya puasa
Ramadan. Cara ini harus berlaku kapan pun dan di mana pun, tanpa ada pembatas waktu dan tempat berlakunya. Rukyat
dan istikmal itu tidak dapat diganti dengan cara apapun karena ia termasuk dalam wilayah taabudiah, yakni semata-mata
karena ketentuan Allah dan RasulNya yang tidak boleh diubah dan tidak akan pernah mengalami perubahan. Rukyat dan
istikmal itu satu-satunya cara yang sah menurut syar’i untuk menentukan mulai dan berakhirnya puasa Ramadan, atau kalau
diperluas untuk menentukan awal bulan kamariah.

Pandangan yang sebaliknya dikemukakan oleh Muhammadiyah yang menyatakan bahwa cara untuk menentukan mulai dan
berakhirnya puasa Ramadan, termasuk cara untuk menentukan awal bulan kamariah adalah wilayah ijtihadiah yang dapat
berubah-ubah. Ketika ada cara yang lebih menjamin kepastian maka cara yang masih menimbulkan keraguan dapat bahkan
harus ditinggalkan. Itulah sebabnya mengapa Muhammadiyah lebih memilih hisab daripada rukyat karena hisab lebih
menjamin kepastian.
Problem Non-Fikhiah

Problem lain di seputar hisab rukyat adalah mengenai pertanda bulan baru, maksudnya apa yang menjadi tanda yang
dengan tanda itu tanggal 1 bulan baru sudah masuk. Dalam hal ini, antara pendukung rukyat dan pendukung hisab
berbeda. Bagi pendukung rukyat dengan metode rukyatnya, tanda masuknya bulan baru itu adalah terlihatnya hilal
atau, kalau tidak terlihat hilal, genapnya umur bulan berjalan 30 hari.

Berbeda dengan pendukung rukyat, pendukung hisab tidak menjadikan terlihatnya hilal maupun genapnya umur bulan
berjalan 30 hari sebagai tanda masuknya bulan baru kamariah. Masuknya bulan baru kamariah ditandai dengan posisi
atau kedudukan Bulan. Para pendukung hisab tidak satu kata dalam menentukan posisi atau kedudukan Bulan
sebagai tanda masuknya bulan baru kamariah. Dari sini lahirlah beragam kriteria hisab awal bulan kamariah seperti
hisab wujudul hilal, hisab imkanu rukyat, hisab ijtimak sebelum matahari terbenam, hisab ijtimak sebelum fajar, dan
lain sebagainya, sebagaimana telah disinggung terdahulu. Dari sisi konsep dasarnya dan keterkaitannya dengan
rukyat, jenis hisab tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hisab imkanu rukyat di satu sisi, dan hisab
wujudul hilal, hisab ijtimak sebelum matahari terbenam, dan hisab ijtimak sebelum fajar di sisi lain.

Dasar pijak dan cara berpikirnya metode hisab dengan kriteria imkanur rukyat ini adalah rukyat yakni awal bulan
dimulai ketika hilal terlihat secara fisik aktual, sebagaimana digunakan dalam metode rukyat, kemudian dari fakta
terlihatnya hilal itu dialihkan dan dicarikan fakta astronomisnya yakni dicari kriteria visibilitasnya. Dengan demikian,
dalam rukyat tampakan hilal itu sungguh-sungguh tampak menurut penglihatan sedangkan dalam imkanur rukyat
tampakan hilal itu adalah tampak berdasarkan kriteria visibilitasnya. Jadi dalam hal ini ada dua hal yang harus teruji
kebenarannya, yaitu pertama, apakah tampakan hilal menurut penglihatan itu adalah benar-benar hilal sehingga
dengan begitu dapat ditetapkan kriteria visibilitasnya, dan kedua, berkaitan dengan penetapan kriteria atau paramater
visibilitasnya itu sendiri.
Thanks

Anda mungkin juga menyukai