Anda di halaman 1dari 170

RANGKUMAN

Materi-materi Pembelajaran Masailul Fiqhiyah

Dosen Pengampu
Pahrurraji, M. Pd.

Disusun oleh;

Muhammad Nur Hussein F.A NIM : 20010120

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
SYEKH MUHAMMAD NAFIS
TABALONG
2023
BAB I
Hisab & Rukyat Dalam Penetapan 1 Syawal Serta Shalat
Jumat Bertepatan Hari Raya Id

A. Pengertian Hisab dan Rukyat

1. Pengertian Hisab

Kata hisab berasal dari bahasa Arab (‫ة َ َْي ِس ُة ِح َس ًاب‬


َ ‫ ) َح ِس‬yang artinya yaitu
menghitung1, Secara etimologi, kata hisab dari bahasa Arab al-hasb yang
berarti al-adad wa al-ihsha‟, bilangan atau hitungan. Kalau dihubungkan
dengan al-nasab (keturunan), hisab berarti menghitung keberanian,
kemulyaan, dan kebaikan nenek moyangnya. Hisab juga berarti berarti al-
katsir (banyak) dan al-kafa (cukup) seperti dalam Al-Qur‟an terdapat
ungkapan „atha‟an hisaban yang berarti „atha‟an katsiran kafiyan (pemberian
yang banyak yang mencukupi).2 Dengan demikian, hisab secara etimologi
dapat diartikan suatu perhitungan, suatu kemuliaan, dan kebaikan yang telah
dilakukan nenek moyang atau sesuatu yang mencukupi.

Adapun secara terminologi, istilah hisab sering dihubungkan dengan


ilmu hitung (arithmatic), yaitu suatu ilmu pengetahuan yang membahas
tentang seluk beluk perhitungan. Dalam literatur klasik, ilmu hisab disamakan
dengan ilmu falak, yaitu suatu ilmu yang mempelajari benda-benda langit,
matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planetnya3.

Tujuan hisab adalah memperkirakan kapan awal suatu bulan Qamariah,


terutama yang berhubungan dengan waktu ibadah. Hisab yang paling
sederhana adalah memperkirakan panjang suatu bulan apakah 29 atau 30 hari
dalam rangka menentukan awal bulan baru Kamariah. Tujuan lainnya adalah
menghitung kapan terjadinya ijtima‟. Sebagian ahli hisab berpendapat jika

1
Loewis Ma‟luf, Al-Munjid Fī al-Lughah, (Lebanon : 1986), hlm. 132
2
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Malang:2008) hlm. 213
3
Ibid, 213
2

ijtima‟ terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima‟ qabla al-ghurub) maka


telah menandakan dimulai bulan baru4.

Istilah hisab yang dikaitkan dengan sistem penentuan awal bulan Kamariah
berarti suatu sistem penentuan awal bulan yang didasarkan dengan
perhitungan benda-benda langit, matahari, dan bulan5. Dengan kata lain, hisab
adalah sistem perhitungan awal bulan Qamariah yang berdasarkan pada
perjalanan (peredaran) bulan mengelilingi bumi. Dengan sistem ini, dapat
diperkirakan dan ditetapkan awal bulan jauh-jauh sebelumnya, sebab tidak
tergantung pada terlihatnya hilal pada saat matahari terbenam menjelang
masuk tanggal 1 bulan Qamariah.

2. Pengertian Rukyat
Kata Rukyat secara bahasa berasal dari bahasa Arab (‫ )رأى يرى رؤية‬yang
artinya yaitu melihat dengan mata6. Umumnya diartikan dengan melihat
menggunakan mata kepala. Dalam penentuan awal bulan kamariah sering
dikenal dengan istilah Ru‟yah al-hilal yaitu kegiatan mengamati hilal saat
Matahari terbenam menjelang awal bulan kamariah baik itu dengan mata
telanjang atau dengan teleskop. Juga Biasanya dikenal dengan istilah
astronomi dengan observasi benda-benda langit seperti observasi Hilal7.

Sedangkan kata al-hilal sendiri, Menurut Ibn Mandzur menjelaskan


bahwa yang disebut hilal adalah malam tanggal 1, 2, dan 3 pada awal bulan
Kamariah8.

Rukyat juga dapat dikatakan sebagai suatu metode, kegiatan atau usaha
untuk melihat Hilal di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah Matahari
terbenam menjelang awal bulan baru (khususnya menjelang bulan Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah) untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.

4
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab Dan Rukyat (Jakarta 2005) hlm. 29
5
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, hlm. 213
6
Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: 2016) hlm. 939.
7
Muhyiddin Khazin, Kamus Falak, hlm. 69
8
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat Telaah Syariah, Sains dan Teknologi, (Jakarta:1996) hlm. 41
3

Maka dapat disimpulkan bahwa Hisab merupakan metode menghitung


posisi benda langit, khususnya matahari dan bulan. Sementara, rukyat adalah
observasi benda-benda langit untuk memverifikasi hasil dari hisab.

B. Dasar Hukum Hisab dan Rukyat

1. Dasar Hukum Hisab


a. Dalil Al-Qur‟an
1) Surah Al-An‟am Ayat 96. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman:

‫فَا ِم ُق ْ ِاْل ْض َحا حِ ۚ َو َح َؼ َل ام َّ َْ َل َس َكًٌا َّوا مشَّ ْم َس َوا مْ َل َم َر ُح ْس َحا ًنً ۗ ٰذ ِ َِل ث َ ْل ِد ٍْ ُر امْ َؼ ِز ٍْ ِز‬
‫امْ َؼ ِو ْ ِي‬
Artinya : "Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam
untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan
untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Maha
Perkasa, Maha Mengetahui."

2) Surah Yunus Ayat 5. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ّ ِ ‫ُ َُو َّ ِاَّل ْي َح َؼ َل امشَّ ْم َس ِض ََا ٓ ًء َّو امْلَ َم َر ه ُْو ًرا َّو كَدَّ َر ٍٗ َمٌَا ِز َل ِم َخ ْؼوَ ُم ْوا ػَدَ َد‬
‫امس ِي ْ َْي َو‬
ُ ّ ٰ ‫امْ ِح َسا َب ۗ َما ََو َ َق‬
‫اّل ٰذ ِ َِل ِا َّْل ِبمْ َح ّ ِـق ۚ ً ُ َف ّ ِط ُل ْ ٰاْلًٰ ِت ِملَ ْو ٍم ً َّ ْؼو َ ُم ْو َن‬
Artinya : "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-
tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun,
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui."

3) Surah At-Taubah Ayat 36. Allah Subhanahu Wa Ta'ala


berfirman:
4

‫امس ٰم ٰو ِت َوا ْ َْل ْر َض‬ َّ ‫اّل ً َ ْو َم ََو َ َق‬ ِ ّ ٰ ‫ََش شَ ِ ًْرا ِ ِْف ِن ٰخ ِة‬ َ َ ‫اّل ازْيَا غ‬ ِ ّ ٰ َ‫ِا َّن ِػ َّد َة امشُّ ِ ُْو ِر ِغ ْيد‬
ِ ْ ‫ِمْنْ َ ۤا َا ْرت َ َؼ ٌة ُح ُر ٌم ۗ ٰذ ِ َِل ّ ِال ٍْ ُن امْلَ ِ ّ ُي ۙ فَ ََل ث َْظ ِو ُم ْوا ِفْيْ ِ َّن َاهْ ُف َس ُ ُْك ۗ َوكَا ِثوُوا امْ ُم‬
‫َش ِن ْ َْي ََكٓف َّ ًة َ َمَك‬
‫اّل َم َع امْ ُمخَّ ِل ْ َْي‬
َ ّ ٰ ‫ًُلَا ِثوُ ْوىَ ُ ُْك ََكٓف َّ ًة ۗ َواػْو َ ُم ْۤوا َا َّن‬
Artinya : "Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah
dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah
pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya
ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam
(bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin
semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-
orang yang takwa".

b. Dalil Hadis
Riwayat Abdullah Bin Umar Ra9.

َ َّ ََ‫هللا ػو‬
‫ ْل‬،‫ إًنَّ ٔأ َّم ٌة ٔأ ِ ّمَِّ ٌة‬:‫وسَّل كال‬ َّ ‫هللا غْنام ٔأ َّن اميَّ َّيب‬
ُ ‫ضَّل‬ ُ ‫يض‬َ ‫َغ ْن غح ِد هللا ُجن َمع َر َر‬
‫ ىَ ْك ُذ ُة َوْل َ َْن ُسة‬.
Dari Abdullah Ibnu Umar Ra. Bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬Beliau
Bersabda :“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi,
tidak menulis dan tidak melakukan hisab. Bulan itu begini
dan yang begini, yang terkadang 29 hari dan terkadang 30
hari”.

2. Dasar Hukum Rukyat


a. Dalil Al-Qur‟an
1) Surah Al-Baqarah Ayat 185. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman:

َ‫شَ ِ ُْر َر َمضَ َان َّ ِاَّل ْۤي ُا ْى ِز َل ِف ِْ َِ امْ ُل ْرٰا ُن ُُدً ى ِن ّويَّ ِاس َو ت َ ًَِّٰ ٍت ِ ّم َن امُِْدٰ ى َو امْ ُف ْركَ ِان ۚ فَ َم ْن شَ ِِد‬
ُ ّ ٰ ُ‫ِم ٌْ ُ ُُك امشَّ ِ َْر فَوَِْ ُـط ْم َُ ۗ َو َم ْن ََك َن َم ِرًْضً ا َا ْو ػَ َّٰل َس َف ٍر فَ ِؼ َّد ٌة ِ ّم ْن َا ََّّي ٍم ُاخ ََر ۗ ٍُ ِرًْد‬
‫اّل ِج ُ ُُك‬
‫ٮُك َو م َ َؼو َّ ُ ُْك ج َ ْش ُك ُر ْو َن‬
ْ ُ ٰ‫اّل ػَ َّٰل َما َُد‬ َ ْ ُْ‫ام‬
َ ْ ‫ُْس َو َْل ٍُ ِرًْدُ ِج ُ ُُك امْ ُؼ‬
َ ّ ٰ ‫ْس ۖ َو ِم ُخ ْ ِْکوُوا امْ ِؼ َّد َة َو ِم ُخ َک ِ ّ ُّبوا‬

9
Hadits Bukhari Nomor 1780.
5

Artinya : "Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya


diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa
di antara kamu ada( Menyaksikan ) di bulan itu, maka
berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan
(dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu
bersyukur."

2) Surah Al-Baqarah Ayat 189. Allah Subhanahu Wa Ta'ala


berfirman:

‫ٌ َْســئَوُ ْوه ََم َغ ِن ْ َاْل ُِ َّ َِّل ۗ كُ ْل ِ َِه َم َوا ِك ِْ ُت ِنويَّ ِاس َوا مْ َح ّ ِج ۗ َومَُ َْس امْ ِ ُّّب ِ َب ْن ثَبِثُوا امْ ُح َُ ْو َت ِم ْن‬
‫اّل مَ َؼو َّ ُ ُْك ثُ ْف ِو ُح ْو َن‬
َ ّ ٰ ‫ُظِ ُْو ِرَُا َو ٰمـ ِك َّن امْ ِ َّّب َم ِن اث َّ ٰلى ۚ َو ِأثُوا امْ ُح َُ ْو َت ِم ْن َاتْ َوا ِبِ َا ۖ َوا ث َّ ُلوا‬
Artinya : "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah (penunjuk) waktu bagi
manusia dan (ibadah) haji." Dan bukanlah suatu kebajikan
memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan adalah
(kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah
dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung."

3) Surah Luqman Ayat 29. Allah Subhanahu Wa Ta'ala


berfirman:

‫اّل ً ُ ْو ِم ُج ام َّ َْ َل ِِف اهْنَّ َ ِار َوًُ ْو ِم ُج اهْنَّ َ َار ِِف ام َّ َْلِ َو ََس ََّر امشَّ ْم َس َو امْلَ َم َر ۖ ُ ل‬
‫ك َّ َْ ِر ْۤي‬ َ ّ ٰ ‫َام َ ْم حَ َر َا َّن‬
َ ّ ٰ ‫ِا ٰٰۤل َا َخ ٍل ُّم َس ًّمى َّو َا َّن‬
‫اّل ِت َما ثَ ْؼ َموُ ْو َن َخد ْ ٌِي‬
Artinya : "Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah
memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang
ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan,
6

masing-masing beredar sampai kepada waktu yang


ditentukan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa
yang kamu kerjakan."

4) Surah Yasin Ayat 38-40. Allah Subhanahu Wa Ta'ala


berfirman:

‫ َوا مْ َل َم َر كَ َّد ْ هٰر َُ َمٌَا ِز َل َح ٰ ّّٰ ػَا‬. ‫َوا مشَّ ْم ُس َ َْت ِر ْي ِم ُم ْس َخ َل ّ ٍر مََِّا ۗ ٰذ ِ َِل ث َ ْل ِد ٍْ ُر امْ َؼ ِز ٍْ ِز امْ َؼ ِو ْ ِي‬
‫ َْل امشَّ ْم ُس ًًَْْۢ َد ِغ ْي مََِ ۤا َا ْن ثُدْ رِكَ امْلَ َم َر َو َْل ام َّ َْ ُل َسا ت ُِق اهْنَّ َا ِر ۗ َو ُ ل‬. ‫َد ََك مْ ُؼ ْر ُح ْو ِن امْلَ ِد ْ ِْي‬
‫ك‬
ٍ َ َ‫ ِ ِْف ف‬.
‫َل ٌ َّْس َح ُح ْو َن‬
Artinya : "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa, Maha
Mengetahui. "Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran
bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran
yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.
"Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan
malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing
beredar pada garis edarnya."

b. Dalil Hadis
1) Riwayat Abu Hurairah Ra10.

،‫ َغ ْن َس ِؼَ ِد ْج ِن امْ ُم َس ُِ ّ ِة‬،‫ َغ ِن ا ْج ِن ِشِ ٍَاب‬،‫ َأَ َ َّْبًنَ ا ْج َرا ُِ ُي ْج ُن َس ْؼ ٍد‬،‫َح َّدزَيَا َ َْي ََي ْج ُن َ َْي ََي‬
ٍُ ‫ َو ا َذا َر َأًْ ُخ ُمو‬،‫ ا َذا َر َأًْ ُ ُُت امِْ ََِل َل فَ ُطو ُموا‬: ‫هللا ﷺ‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫ كَا َل َر ُ ّس‬: ‫ كَا َل‬، ‫َغ ْن َأ ِِب ُ َُر ٍْ َر َة‬
ّ ّ
‫ فَا ْن ُ َُّغ ػَو َ َْ ُ ُْك فَ ُطو ُموا زَ ََل ِز َْي ً َ ْو ًما‬،‫فَبَفْ ِع ُروا‬
ّ
Artinya : Yahya bin Yahya memberi tahu kami, Ibrahim bin
Saad memberi tahu kami, dari Ibn Shihab, dari Saeed bin Al-
Musayyib, dari Abu Hurairah Berkata, Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda: “Jika kamu melihat bulan sabit, lalu berpuasa, dan
jika kamu melihatnya, maka berbukalah, dan jika kamu
mendung, maka berpuasalah selama tiga puluh hari”.

10
Hadist Muslim .1806
7

2) Riwayat Ibnu Umar Ra11.

‫هللا‬ َّ ‫َّب ُت رسو َل هللا‬


ُ ‫ضَّل‬ ْ َ ٔ‫ فب‬،‫ حَر َاءى اميَّ ُاس امَِل َل‬:‫ كال‬،‫هللا غْنام‬ ُ ‫يض‬ َ ِ ‫غن اجن ُمع َر َر‬
َّ ‫ػوََ و‬
َ‫ و ٔأ َم َر اميَّ َاس تطَا ِم‬،َ‫ فطا َم‬،َ‫سَّل ٔأ ِ ّّن رأًٔ ُخ‬
Artinya : Dari Ibnu Umar Ra berkata “Masyarakat saat itu
melihat hilal, Maka aku beritahukan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬
Bahwasanya Aku melihat hilal, Maka nabi Berpuasa dan
Menyuruh Masyarakat untuk Berpuasa”.

C. Pandangan 4 Imam Madzhab dalam Masalah Hisab dan Rukyat

1. Imam Hanafi

Abu Hanifah / Imam Hanafi, Al-Nu‟man bin Tsabit bin Zutha Al-
Kufi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H/ 699 M, Di kufah dan Wafat Pada
tahun 150 H/ 767 M, Di Baghdad, Beliau merupakan Ulama yang ahli
tahajud, fasih dalam membaca Al-Qur'an, pernah ditawari menjadi hakim di
zaman bani Umayyah tetapi beliau menolak12.

Pendapat imam Hanafi mengenai hisab rukyat awal bulan Qamariyah


adalah seseorang yang melihat hilal, maka dia wajib berpuasa keesokan
harinya walaupun kesaksiannya ditolak hakim. Jika dia tidak berpuasa, maka
wajib baginya meng-qadha' puasa hari itu. Informasi ahli waktu, hisab, dan
perbintangan tidak dapat dijadikan pegangan, karena bertentangan dengan
syariat. Lebih lanjut, kalangan Hanafiyah menetapkan jika awan dalam
keadaan cerah, maka harus dilakukan rukyat kolektif (ru‟yah jama'ah)
sehingga tidak dapat diakui kesaksian perorangan menurut pendapat yang
rajih dalam mazhab ini. Dengan alasan, saat keadaan cuaca cerah tentu tidak
ada penghalang bagi semua orang untuk tidak dapat melihat hilal. Sebaliknya,
jika hilal dalam keadaan tidak memungkinkan untuk dilihat (seperti
mendung)13, maka cukuplah keaksian satu orang dengan syarat dia beragama
Islam, adil, berakal dan dewasa.

11
Hadist Abu Daud .2342
12
Moenawir Khalil, Biografi Empat serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: 2005), hlm 83
13
Arwin Juli Rakhmadi, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat, hlm. 22
8

2. Imam Maliki
Imam Malik / Maliki yang bernama Malik bin Anas bin Malik.
Dilahirkan pada tahun 93 H, Di Madinah dan Wafat pada tahun 179 H, Di
Madinah, Beliau diberi gelar dengan Imam Darul Hijrah adalah karena beliau
tidak pernah keluar dari kota Madinah14.

Beliau dikenal sebagai Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan


perbuatan Ahli Madinah (Al-'Amal) dari pada Khabaril Wahid (Hadits
perorangan). Karena bagi beliau mustahil bagi Ahli madinah berbuat
perbuatan yang bertentangan karena di masa itu Rasul berada di Madinah.
Dan juga haditsnya dikatakan sebagai hadits mutawatir15.

Pendapat imam Malik mengenai rukyat awal bulan kamariyah adalah


memberikan beberapa kriteria (syarat), yaitu orang yang melakukan rukyat
adalah laki-laki, adil, merdeka dan balig serta jumlahnya yaitu 2 orang laki-
laki. Kesaksian satu orang pada madzhab ini ditolak. Kesaksian satu orang
laki-laki dan satu orang perempuan tidak dapat diterima. Demikian juga,
kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan tidak dapat diterima.
Meski kesaksian satu orang tidak dapat diterima, namun terhadap orang
tersebut tetap di wajibkan mengamalkan rukyatnya (untuk puasa atau berhari
raya) secara pribadi, jika tidak; maka dia wajib menggantinya (gadha) di lain
hari. Namun, rukyat oleh satu orang adil baru dapat diterima jika tidak ada
orang lain yang memperhatikan masalah rukyat hilal, seperti jika tidak ada
penguasa di wilayah itu, atau ada penguasa tapi tidak peduli dengan masalah
rukyat. Orang yang mendapat kabar mengenai rukyat dari dua orang adil, atau
dia mendengar kedua orang adil itu, maka wajib baginya untuk memberitahu
orang lain mengenai rukyat tersebut, dan dengan demikian dia wajib berpuasa
dengan kesaksian tersebut. Selain itu, dia juga wajib melaporkan rukyat
tersebut kepada penguasa16.

14
Moenawir Khalil, Biografi Emapat serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: 2005), hlm 84
15
Ibid, hlm 85
16
Lu‟luatul Badriyyah, Perbedaan Mazhab Empat Imam Besar , 2020. hlm 68
9

3. Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i atau Muhammad bin Idris al-Syafi'i dilahirkan pada
tahun 150 H, di Ghuzzah dan wafat pada tahun 204 H, di Mesir, Beliau juga
belajar kepada Imam Malik, kemudian beliau pergi ke Irak belajar dengan
ulama irak, Keistimewaan beliau diantaranya Hafal Al-Qur'an usia 7 Tahun,
pandai diskusi serta intelectual17.

Pendapat imam Syafi‟i mengenai hisab rukyat awal bulan kamariyah


adalah secara umum menganut rukyatul hilal yaitu menentukan awal bulan
kamariah dengan melakukan rukyat. Salah satu tokoh madzhab safi‟iyah yaitu
Al-Qalyubi mengatakan bahwa “Rukyat hanyalah sah pada waktu hilal
memang mungkin terlihat”18.Walau demikian madzhab syafi‟i tetap
menempatkan hisab diposisi yang cukup penting sebagai informasi awal
sebelum melakukan rukyat19.

4. Imam Hambali
Imam Hambali atau Ahmad bin Hanbal As-Syaebani dilahirkan pada
tahun 164 H, di Baghdad, kemudian wafat pada tahun 248 H, di Baghdad.
Beliau mendapatkan gelar Al Hafidh, yaitu gelar untuk ulama yang sudah
hafal lebih dari 100.000 hadis. Pasalnya, selama hidupnya, Imam Hambali
diperkirakan telah menghafal setidaknya 750.000 hadis. Pencapaian itu
melebihi Muhammad al-Bukhari atau imam bukhari, Muslim bin al-Hajjaj
atau imam muslim, dan Abu Dawud al-Sijistani20.

Pendapat imam Hambali mengenai hisab rukyat awal bulan Qamariyah


adalah hilal paling minimal disaksikan oleh satu orang baik cuaca cerah
ataupun mendung. Namun orang yang melihat hilal itu diberikan syarat yaitu
Islam, dewasa, berakal, merdeka, laki-laki dan adil. Selajutnya persaksiannya
dilakukan didepan hakim. Bagi madzhab ini wajib hukumnya berpuasa bagi

17
Moenawir Khalil, Biografi Emapat serangkai Imam Madzhab, (Jakarta:2005), hlm 245
18
Arwin Juli Rakhmadi, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat, (Butar-Butar:2014). hlm 23
19
Lu‟luatul Badriyyah. Perbedaan Mazhab Empat Imam Besar , 2020. hlm 91
20
Moenawir Khalil, Biografi Empat serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: 2005), hlm 319
10

orang yang melihat hilal walau tidak dipersaksikan didepan hakim dan begitu
pula bagi orang yang percaya dengan kesaksian hilalnya21.

D. Tatacara Penetapan 1 Syawwal Dalam Hisab dan Rukyat

Dalam menentukan awal bulan qamariyah merupakan persoalan ijtihad


dikalangan ulama sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam
menentukannya. Umat Islam memanfaatkan teknik rukyat dan berhitung untuk
menentukan awal bulan Qamariyah, khususnya pada bulan Ramadhan dan Syawal.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam menentukan awal


bulan ramadhan, teknologi juga mengalami kemajuan yang pesat sehingga hasil yang
di dapat lebih akurat. Indonesia sendiri juga memakai sistem rukyat dan hisab
menggunakan teknologi, Namun terkadang tidak selamanya bulan atau Hilal dapat
terlihat, sehingga sulit untuk menentukan awal bulan, hal inilah yang menjadi
perbedaan di kalangan ulama.

Adapun alat-alat yang dilakukan untuk membantu pelaksanaan Hisab dan


Rukyat Diantarnya adalah;

1. Rubu‟ Al-Mujayyab
Pada zaman dahulu, Rubu' Mujayyab adalah kalkulator. Instrumen
seperempat lingkaran klasik ini dapat digunakan untuk menentukan arah
kiblat, juga dikenal sebagai Rubu Mujayyab. Pada zamannya, instrumen ini
adalah kalkulator trigonometri yang kuat. Terdiri dari fungsi sin, cos, dan tan
yang direpresentasikan dalam bahasa jaib (sin), qaus (cos), juyub mankusah,
dan juyub mabsuthah22. Pada zaman dahulu, Rubu'mujayyab juga dikenal
sebagai kalkulator. Alat yang berbentuk seperempat lingkaran ini juga dapat
digunakan untuk menentukan arah kiblat; di masa lalu, peralatan ini sangat
canggih pada masanya.

2. Theodolite

21
Arwin Juli Rakhmadi, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat, (Butar-Butar:2014). hlm 25.
22
Kemenag RI, Buku Saku Hisab Rukyat (Tanggerang:, 2013), hlm. 66
11

Theodolite atau Theodolite adalah alat yang digunakan untuk


mengukur sudut horizontal (HA) dan sudut vertikal (VA). Instrumen ini
sering digunakan dalam survei geologi dan geodesi sebagai alat pemetaan.
Theodolite akan menjadi alat yang dapat mengetahui arah dengan akurat
hingga skala detik busur (1/3600 °) dengan mengacu pada lokasi dan
pergerakan benda langit seperti matahari sebagai referensi atau dengan
bantuan satelit GPS. Theodolite adalah teleskop kecil yang ditempatkan di
atas platform. Ketika teleskop kecil ini diarahkan, jumlah lokasi vertikal dan
horizontal berubah seiring perubahan sudut gerakan23.

3. Teleskop
Teleskop adalah peralatan optik yang digunakan untuk memperbesar
objek yang jauh di langit, seperti bintang, agar terlihat lebih dekat dan lebih
jelas. Teleskop adalah alat pengamatan yang mengumpulkan radiasi
elektromagnetik sekaligus membentuk gambaran bentuk yang terlihat, dan
merupakan alat yang paling esensial.

4. Tongkat Istiwa‟
Tongkat istiwa' berasal dari istilah tongkat dan istiwa'. Tongkat adalah
bambu yang relatif panjang (rotan, kayu, dll). (untuk mendukung saat
berjalan, untuk mendukung). Dalam leksikon al-Bisri, istiwa' menyiratkan
keadaan lurus. Jadi tongkat istiwa' adalah tongkat lurus yang telah
dikondisikan dalam posisi berdiri. Hal ini dikarenakan para astronom
menyebut kata tersebut sebagai tongkat yang digunakan untuk
memperkirakan ketinggian Matahari, khususnya dalam meramalkan momen
kulminasinya (dalam menentukan waktu Dzuhur)24.Tongkat ini sering
digunakan untuk menghitung waktu salat, khususnya waktu salat zuhur dan
ashar, dan untuk mencocokkan waktu istiwa(waktu pertengahan matahari
setempat atau waktu rata-rata setempat) .

23
Dhiauddin Tanjung, Kajian Akurasi Arah Kiblat Kota Medan, Metode Dan Solusi (Medan: 2018), hlm. 113
24
Kemenag RI, Buku Saku Hisab Rukyat (Tanggerang:2013), hlm. 60
12

5. Hisab Urfi

Hisab urfi, juga dikenal sebagai hisab a‟dadi atau hisab a‟lamah,
adalah teknik penghitungan untuk memperkirakan awal bulan yang tidak
mengandalkan gerak intrinsik (nyata) benda langit bulan. Perhitungan, di sisi
lain, didasarkan pada pergerakan rata-rata Bulan dengan mengalokasikan
jumlah hari dalam bulan secara bergantian antara bulan bernomor ganjil dan
genap sesuai dengan parameter tertentu. Dengan kata lain, menghitung urfi
adalah teknik menghitung bulan lunar dengan menjumlahkan semua hari dari
1 Muharram sampai tanggal yang ditentukan menurut aturan, yang jumlahnya
adalah sebagai berikut25:

a. Tahun Hijriah dimulai pada tanggal 1 Muharram tahun 1 H, yang


jatuh pada hari Kamis, 15 Juli 622 M atau Jumat, 16 Juli 622 M
(ada Perbedaan pendapat di kalangan ahli hisab urfi mengenai hal
ini).

b. Tahun Hijriah dibagi menjadi dua bagian;


1) Basitha (tahun pendek)
Tahun basitah memiliki 354 hari dalam setahun, sedangkan
tahun basitah memiliki 19 tahun selama rentang 30 tahun.

2) Kabisat (tahun panjang)


Tahun kabisat memiliki 355 hari dalam setahun, dan memiliki
11 tahun dalam rentang 30 tahun. Jumlah hari dalam periode
tiga puluh tahun adalah 10631. Tahun kabisat adalah tahun-
tahun kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10,13, 16, 18, 21, 24, 26,
dan 29 (namun ada banyak variasi jadwal tahun kabisat selain
ini).

Menurut perhitungan urfi, umur bulan dalam setahun bervariasi antara


30 hingga 29 hari. Bulan-bulan bernomor ganjil memiliki durasi 30 hari.
25
Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak (Jakarta; 2015), hlm. 35
13

Kecuali bulan Zulhijah yang memiliki tambahan umur karena setiap tahun
kabisat, bulan dengan nomor urut genap berumur 29 hari.26

Akibat dari teknik penghitungan bulan lunar tersebut di atas, awal


ulan lunar dalam hisab urfi belum tentu sejalan dengan kemunculan Bulan di
langit: bisa lebih cepat, bersamaan, atau lebih lambat dari bulan. melihat
Bulan di langit. Misalnya, bulan Ramadhan dalam perhitungan urfi ditetapkan
30 hari karena merupakan bulan ganjil (bulan ke-9), tetapi bulan Ramadhan
berdasarkan penampakan bulan di langit mungkin berumur 29 hari.

6. Hisab Hakiky
Hisab haqiqi adalah perhitungan posisi benda langit serta
memperhatikan faktor-faktor yang terlibat. Hisab hakiki ini lebih tepat
daripada sistem hisab urfi, karena hisab ultimat menggunakan data dan rumus
astronomi yang tepat dan instrumen untuk mendapatkan temuan yang lebih
akurat. Perhitungan yang benar dibagi lagi menjadi banyak komponen, yaitu
sebagai berikut27:

a. Hisab Hakiky Taqriby

Dalam metode ini umur hilal tidak selalu bergantian antara 30


dan 29 hari, tetapi acuannya adalah ijtima', baik itu terjadi sebelum
atau sesudah terbenamnya matahari. Ketika ijtima terjadi sebelum
matahari terbenam, bulan baru sudah berada di atas cakrawala ketika
matahari terbenam (positif). Jika ijtima terjadi setelah matahari
terbenam, maka hilal sangat pasti masih di bawah ufuk (negatif).
Sullamun Nayyirain,Tadzkirah Al-Ikhwan, Fathurauful Manan,
Qawaidul Falakiyah,Risalah Qamarain, Risalah Falakiyah, Risalah
Hisabiyah, Risalah Syams Hilal, Hisab Qath'I, dan lain-lain
menggunakan perhitungan ini.

26
Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah (Yogyakarta:, 2009), hlm. 18-19
27
Arifin Jaenal, Fiqih Hisab Rukyah Di Indonesia ( Telaah Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyyah ) 2014, hlm. 101.
14

b. Hisab Hakiky Tahqiqy

Dengan menghitung letak bulan saat terbenamnya matahari,


perhitungan ini menggunakan sistem awal bulan Qamariyah. Metode
yang dicapai adalah dengan menentukan terjadinya solar ghurub pada
suatu lokasi, sehingga dapat dihitung garis bujur matahari dan bujur
bulan, serta data-data lain dengan koordinat ekliptika, kemudian
diterapkan pada ekuator dengan ekuator. koordinat untuk menentukan
jarak antara matahari dan bulan saat matahari terbenam. Setelah itu,
diproyeksikan ke dalam koordinat horizon, menghitung ketinggian
bulan saat matahari terbenam dan nilai azimuth. Data yang digunakan
berbeda tergantung pada literatur. Di antara novel-novel yang
menggunakan metode ini adalah: Khulasatul al Wafiyah, Al Mathla‟
al Said, Badiah al Mitsal, hisab Hakiki Menara Kudus, Nurul
Anwar,Markaz Al Falakiyah, Ittifaq Dzat al Bain, dan lain-lain.

c. Hisab Kontemporer

Perhitungan dalam hisab ini dilakukan dengan sangat hati-hati.


Ada beberapa prosedur yang harus diikuti. Untuk mendapatkan
temuan yang tepat, beberapa rumus digunakan, serta penyesuaian
planet tertentu. Metode ini digunakan dalam berbagai aplikasi;
beberapa menggunakan kalkulator, sementara yang lain menggunakan
komputer.

Teknik penetapan awal Sawwal berdasarkan hisab hakiki yang diikuti oleh
para ahli hitung terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut28:

1. Sistem Ijtima‟

Suatu metode yang menggunakan peristiwa ijtima' sebagai penentu


awal bulan sebagai dasar perhitungan pada akhir setiap bulan. Dalam metode
ini, jika ijtima terjadi sebelum matahari terbenam, bulan baru mulai
diperhitungkan sejak saat itu dan seterusnya.
28
Fadhliyatun Mahmudah AS, Jurnal: Peranan Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah (UIN Alauddin
Makassar: 2012), hlm. 29
15

2. Sistem Posisi Hilal

Awal bulan Syawwal ditentukan dengan menghitung letak hilal


dalam sistem ini. Menurut pendekatan ini, jika lokasi hilal berada di atas ufuk
saat matahari terbenam, hilal mulai dihitung dari titik tersebut.

Perbedaan pendapat antara ahli hisab dan ahli rukyah dalam


menentukan awal bulan Syawwal terjadi karena dasar hukum yang dijadikan
alasan oleh ahli hisab tidak dapat diterima oleh ahli rukyah, dan dasar hukum
karena ahli hisab melihat rukyah juga tidak layak. Untuk menjembatani
jurang pemisah antara kubu hisab dan rukyah, Kementerian Agama RI
meluncurkan kriteria Imkan Rukyat versi MABIMS pada tahun 1998, setelah
disepakati oleh Menteri Agama Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan
Singapura.

Diperlukan kesabaran dan penyatuan pemikiran yang cukup untuk


memulai penghitungan pemikiran rukyah yang cukup kuat dan mandiri yang
menggunakan rukyatul hilal atau istikmal dalam menghitung awal bulan
qamariyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah. Namun, hasil
rukyat bisa saja diabaikan jika tidak didukung oleh ilmu atau hisab yang
tepat. Sampai saat ini, ketinggian minimum hilal di Indonesia dibatasi hingga
2 derajat; apa pun yang kurang dapat ditolak. Teori yang digunakan adalah
wilayatul hukmi, yang menyatakan bahwa ulil amri (pemerintah) dapat
menentukan rukyatul hilal di mana saja di Indonesia berlaku untuk seluruh
wilayah29.

Menurut teori imkan rukyah, salah satu syarat untuk dapat melihat
hilal dengan baik, jika ketinggian hilal menurut data hisab yang diperoleh
belum mencapai ketinggian minimal 2 derajat, maka hilal tersebut tidak
pernah terlihat; inilah alasan teori imkan rukyah, salah satu syarat untuk bisa
melihat hilal dengan baik. Tinggi hilal 2 derajat (menurut ide ini, Anda harus
melihat dengan mata rukyah bil 'aini). Namun, penganut teori hilal tidak
menghitung ketinggian minimal hilal berdasarkan data hisab karena beberapa

29
Arifin, Fiqih Hisab Rukyah Di Indonesia ( Telaah Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyyah ).hlm. 419
16

alasan, salah satunya adalah selama hilal masih ada (dalam hal ini derajat
positif), besok akan menjadi bagian dari hilal karena penganut teori ini
melihat apa yang dimaksud dengan ilmu (rukyah bil 'ilmi)30.

E. Sholat Jumat Bertepatan Hari Raya id

1. Hukum dasar sholat jum‟at dan sholat id

a. Hukum dasar melaksanakan Sholat Jum‟at

Salat jumat merupakan salat yang dikerjakan pada hari Jumat


dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah. Perihal
bahwa salat Jumat wajib untuk setiap individu laki-laki sudah menjadi
kesepakatan dikalangan para fuqaha‟. Dasarnya karena salat Jumat
merupakan penganti kewajiban salat zhuhur31.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman QS. Al-Jumu‟ah Ayat 9:

ْ ُ َّ ‫اّل َو َذ ُروا امْ َح َْ َع ۗ ٰذ ِم ُ ُْك َ ْ ٌَي م‬


‫ـُك‬ ِ ّ ٰ ‫ٰۤ ََّي ُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍْ َن ٰا َمٌُ ْۤوا ِا َذا ه ُْو ِد َي ِن َّوط ٰوو ِة ِم ْن ً َّ ْو ِم امْ ُج ُم َؼ ِة فَا ْس َؼ ْوا ِا ٰٰل ِذ ْن ِر‬
‫ِا ْن ُن ْي ُ ُْت ث َ ْؼو َ ُم ْو َن‬
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru
untuk melaksanakan sholat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui."

Dalil wajibnya pelaksanaan salat Jumat dipahami dari lafazh


amar yang terdapat dalam ayat tersebut (fas‟au), ditambah lagi
perintah untuk meninggalkan jual beli. Dalam usul al fiqh, lafazh amar
berfaedah wajib.

b. Hukum dasar melaksanakan Sholat Eid

Salat hari Raya adalah salat yang dijalankan umat islam pada
dua hari raya, baik idul fitri maupun idul adha. Salat hari raya idul fitri
dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Syawal, seusai umat muslim

30
Dhiauddin Tanjung, Ramadhan 1435H Rukyah Dan Hisab Serta Aplikasinya, (2014): hlm 18.
31
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: 2002), hlm 351
17

menunaikan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh pada setiap tahun.


Sedangkan salat idul adha dilaksanakan pada setiap tanggal 10
Dzulhijjah pada setiap tahun.

Hukum melaksanakan sholat id adalah Sunnah Muakkad, karena


Rasulullah tidaklah mewajibkan sholat kecuali sholat lima waktu. Dari
Tholhah Bin Ubaidillah, ketika datang seorang lelaki bertanya kepada
Rasulullah menanyakan tentang Islam, Rasulullah pun menjawab32:

َّ ‫ ُل‬:‫»مخس َضوَو ٍات ِف امَوم وانوَََّّل» فلال‬


«‫ إْل ٔأن ث ََّع َّو َع‬،‫ «ْل‬:‫ػيل غَ ْ ُيَُا؟ كال‬
Artinya : "Sholat lima waktu di setiap sehari semalam", lalu lelaki itu
bertanya kembali: Apakah ada selainnya yang diwajibkan untukku?
Beliau pun menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau melakukan yang
sunnah" (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Perbedaan Pendapat Imam Syafi‟i dan Imam Hambali


a. Pendapat Imam Syafi‟i
Pendapat Mazhab Syafii tentang Salat Jumat bertepatan pada
hari raya Imam Syafii dan pengikutnya mengatakan: apabila
bertepatan hari jumat‟ dan hari raya sedangkan penduduk qaryah
(dusun) yang wajib jumat‟ kepada mereka karena sampai suara azan
balad (desa) kepada qaryah mereka, hadir melaksanakan salat hari
raya maka pada ketika itu, atas penduduk balad tidak gugur kewajiban
salat Jumat dengan tanpa khilaf. Sedangkan atas penduduk qaryah,
terdapat dua pendapat; yang shahih dan yang dinash oleh Syafii dalam
al-Um dan pendapat pendapat qadim, atas penduduk qaryah gugur
kewajiban salat Jumat33.

Di samping itu Imam Syafii juga menukilkan riwayat Utsman


bin Affan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari:

32
Hasbi As, Pedoman salat, (Jakarta: 1983). hlm 393.
33
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab. hlm 358.
18

‫ فطَّل كدل اخلعحة مث خعة‬,‫ فاكن ذِل ًوم امجلؼة‬,‫ مث شِدت امؼَد مع غامثن جن غفان‬:‫كال ٔأتو غحَد‬
‫ مفن ٔأحة ٔأن ًًذظر امجلؼة من ٔأُل امؼوايل‬,‫ ٔأن ُذا ًوم كد احمتع مُك فَِ غَدان‬,‫ َّي ٔأُّيا امياس‬:‫فلال‬
‫ ومن ٔأحة ٔأن ٍرحع فلد ٔأذهت هل‬,‫فوًَذظر‬.
Artinya : Abu Ubaid berkata, “kemudian aku menyaksikan hari raya
bersama Ustman bin Affan, dan saat itu adalah hari Jumat. Dia salat
sebelum khutbah, lalu berkhutbah. Dia berkata, „Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya hari ini telah berkumpul pada kalian dua hari
raya, barang siapa ingin menunggu salat Jumat diantara mereka yang
tinggal di pinggiran kota , maka silahkan menunggu, dan barang siapa
ingin pulang, maka sungguh aku telah mengizinkannya".
(HR.Bukhari).

b. Pendapat Imam Hambali

Imam Hambali adalah salah satu imam madzhab yang


memberikan keringanan dan membolehkan untuk tidak mengikuti
ibadah sholat Jumat apabila sebelumnya sudah terlebih dahulu
menjalankan ibadah sholat Idul Fitri. Beliau berpendapat bahwa jika
hari raya pada hari Jumat, orang yang telah salat hari raya selain imam
tidak wajib salat jumat, kecuali jika jamaah jumat tidak mencukupi34.
Ulama yang berpendapat tidak wajib melaksanakan salat Jumat
berdalil dengan hadis Zaid bin Arqam:

‫ ُل شِدت مع‬:‫حدًر زًد جن ٔأرمق ريض هللا غيَ ٔأن مؼاوًة جن ٔأِب سفِان ريض هللا غيَ سبٔهل‬
‫ ضَّل امؼَد مث رخص‬:‫ هَف ضيع؟ كال‬:‫ كال‬،‫ هؼم‬:‫رسول هللا ﷺ غَدٍن احمتؼا ِف ًوم واحد؟ كال‬
َ‫ رواٍ ٔأمحد و ٔأتو داود وامًسايئ واجن ماخ‬.‫ من شاء ٔأن ًطيل فوَطل‬:‫ فلال‬،‫ِف امجلؼة‬
Artinya :“Bahwasanya Muawiyah bin Abi Sufyan ia bertanya kepada
Zaid bin Arqom: Apakah kamu pernah mengalami shalat dua Id dalam
satu hari? Zaid bin Arqom menjawab: ia aku pernah. Abu Sufyan
kembali bertanya: bagaimana Rasulullah saw menyikapinya? dia
menjawab: Beliau Sholat Id bersama kita, dan kemudian beliau
memberikan keringanan kepada kita, barangsiapa yang mau sholat
Jumat, dan barangsiapa yang tidak mau maka silahkan”. (HR. Ahmad,
Abu Daud, Ibnu Majjah, An Nasai).
34
Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Riyadh: 1997), Jidil III, hlm 242
19

Kemudian diperkuat dengan dalil hadis dari Ibnu Umar Ra.

‫هللا ػَو َ َْ َِ َو َس َّ ََّل ً َ ْو ُم ِف ْع ٍر َو ُ ُْج َؼ ٌَ فَ َط ََّّل ِبِ ِ ْم‬


ُ ‫هللا َض ََّّل‬ ِ ِ‫َغ ِن ا ْج ِن ُ َمع َر كَا َل ا ْحذَ َم َع ِغَدَ ِان ػَ ََّل َغِْ ِد َر ُسول‬
‫هللا ػَو َ َْ َِ َو َس َّ ََّل َض ََل َة امْ ِؼَ ِد ُ َّمث َأ ْكدَ َل ػَوَْيْ ِ ْم ت َِو ْ ِْج َِ فَلَا َل ََّي َأُّيُّ َا اميَّ ُاس اى َّ ُ ُْك كَدْ َأ َض ْح ُ ُْت‬
ُ ‫هللا َض ََّّل‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫َر ُس‬
ّ
‫ون فَ َم ْن َأ َرا َد َأ ْن ُ َْ ِم َع َم َؼيَا فَوْ َُ َج ِّم ْع َو َم ْن َأ َرا َد َأ ْن ٍَ ْرحِ َع ا َٰل َأُ ِ ِِْل فَوْ َ ْيحِ ْع‬ َ ‫ َ ْ ًَيا َو َأ ْح ًرا َواًنَّ ُم َج ِّم ُؼ‬.
ّ ّ
Artinya : Dari Ibn „Umar (diriwayatan bahwa) ia berkata: Pada masa
Rasulullah saw pernah dua hari raya jatuh bersamaan, yaitu Idul fitri
dan Jumat, maka Rasulullah saw salat id bersama kaum Muslimin.
Kemudian beliau menoleh kepada mereka dan bersabda: Wahai kaum
Muslimin, sesungguhya kalian mendapat kebaikan dan pahala dan
kami akan menyelenggarakan salat Jumat. Barangsiapa yang ingin
salat Jumat bersama kami, silahkan, dan barang siapa yang ingin
pulang ke rumahnya silahkan pulang” [HR aṭ-Ṭabarānī].

Pertanyaan !!!

1. Mengapa terdapat perbedaan pendapat tentang penerapan Hisab atau rukyat di


Indonesia sedangkan sama-sama menggunakannya ?
2. Jelaskan apa yang dimaksud Ulil Amri Minkum ? dan Bagaimana kondisi
seseorang yang tidak mau mengikuti Ulil Amri dalam Hal penentuan 1 Syawwal
?
3. Bagaimana kondisi seseorang yang tidak tahu kapan 1 syawwal misalnya hidup
atau tersesat di hutan ?
4. Bagaimana hukum bagi seseorang yang menyakini bahwa besok 1 Syawwal
namun dirinya ikut sholat Ied dikemudian hari dengan orang yang meyakini
bahwa besoknya lagi baru 1 Syawwal ?
5. Bagaimana hukum bagi orang yang suka memperlambat untuk pergi ke mesjid
dalam melaksanakan Sholat jum‟at ketika Khatib sudah turun dari mimbar ?
apakah sah Sholat Jum‟at nya
BAB II
Hadiah Pahala Bacaan Al-Qur’an Bagi Mayat
Serta Perayaan Maulid Nabi SAW

A. Hadiah Pahala Bacaan Al-Qur’an Bagi Mayat

1. Pengertian
Dilihat, dari segi pengorbanannya, ibadah terbagi menjadi tiga bentuk,
yaitu: ibadah murni badaniyah atau fisik, ibadah murni maliyah dan ibadah
badaniyah maliyah. Ibadah murni badaniyah ialah ibadah yang modal
utamanya berupa gerakan fisik. Seperti shalat, puasa, zikir, azan, membaca
Al-Qur‟an, dan sebagainya. Sedangkan ibadah murni maliyah ialah ibadah
yang pengorbanan utamanya berupa harta. Misalnya zakat, infak, sedekah,
dan seterusnya. Sementara itu, ibadah badaniyah maliyah ialah ibadah yang
menggabungkan fisik serta harta sebagai pendukung utamanya. Contohnya
jihad, haji, dan umrah. Para ulama sepakat bahwa semua ibadah maliyah atau
yang dominan maliyah, seperti infak, sedekah, atau haji bisa dihadiahkan
kepada mayit. Sebagian ibadah badaniyah yang bisa diwakilkan, seperti puasa
pun bisa dihadiahkan pahalanya kepada mayit.

Ibnu Qudamah berkata,

‫ٔأما الػاء و الاس خغفار وامطدكة وكضاء الٍن و ٔأداء امواحدات فَل هؼَّل فَِ ََلفا اذ َكهت امواحدات مما ًدَِل‬
‫اميَاتة‬.
Artinya : “Doa, istighfar, sedekah, melunasi hutang, menunaikan
kewajiban (yang belum terlaksana), bisa sampai kepada mayit. Kami tidak
tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila kewajiban itu
bisa diwakilkan.”

Rasulullah Saw. bersabda,

‫ َر َوا ٍُ ُم ْس ِ ٌَّل‬.‫ َأ ْو َو َ ٍل َضا ِم ٍح ًَدْ غُو َ ُهل‬،َِ ‫ َأ ْو ِػ ْ ٍَّل ًًُْذَ َف ُع ِت‬،‫ َضدَ كَ ٍة َخ ِارً َ ٍة‬:‫ات ا ْج ُن أ ٓ َد َم اهْلَ َع َع َ َمع ُ ُِل ا َّْل ِم ْن زَ ََل ٍث‬
َ ‫ا َذا َم‬
ّ ّ
Artinya : “Jika anak Adam mati, maka amalnya terputus kecuali tiga
hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang
mendoakan orang tuanya.” (H.R. Muslim)
21

“Amal-amal kebajikan seorang mukmin dapat menyusulnya sesudah


ia mati, di antaranya ialah ilmu yang diajarkan dan disebarluaskannya, anak
saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang
dibangunnya, rumah yang didirikannya untuk orang-orang yang berjuang di
jalan Allah, sungai yang dialirkannya (untuk keperluan orang banyak), atau
sedekah yang dikeluarkannya dari hartanya sewaktu sehat semasa hidupnya,
semuanya itu akan mengikutinya mati.” (H.R. Ibnu Majah, sanadnya hasan)

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. katanya, ibuku


sudah wafat. Apakah bermanfaat baginya bila aku bersedekah daripadanya?
Rasulullah menjawab, Ya, dapat. (H.R. Bukhari)

Adapun ibadah lain yang bukan berupa ibadah maliyah atau tidak
dapat diwakilkan masih diperdebatkan apakah pahalanya bisa dihadiahkan
kepada mayit atau tidak. Termasuk pahala membaca Al-Qur‟an. Sebagian
masyarakat meyakini bahwa pahala membaca Al-Qur‟an dapat dihadiahkan
kepada mayit. Biasanya pahala tersebut dihadiahkan kepada mendiang orang
tua mereka, kiai atau guru yang dihormati, maupun tokoh-tokoh yang
disegani. Sehingga beredar di kalangan masyarakat sejumlah budaya, seperti
haul, tahlilan, dan yasinan.

Haul atau sering disebut khol, berasal dari bahasa Arab “haul” yang
artinya “tahun”. Adapun pengertian yang lazim di masyarakat ialah acara
peringatan hari ulang tahun kematian seseorang. Selain membaca Al-Qur‟an
dan menghadiahkan pahalanya bagi mayit, acara ini juga kerap diisi dengan
bacaan tahlil secara massal, ceramah agama, hingga penampilan seni Islam35.

Sedangkan tahlilan (‫ )هتوََل‬merupakan masdar dari kata ‫امَِوَّل‬ yang

bermakna pembacaan ucapan ‫( ْلاهل الاهللا‬Laa ilaaha illallah). Adapun definisi


tahlilan yang dimaksud ialah acara yang diselenggarakan ketika salah seorang
anggota keluarga meninggal. Setelah penguburan selesai, seluruh keluarga,
kerabat, dan tetangga berkumpul di rumah keluarga mayit lalu mengadakan
pembacaan beberapa ayat Al-Qur‟an, zikir, dan doa yang ditujukan bagi
mayit. Di dalamnya kerap dibacakan kalimat tahlil berkali-kali, sehingga

35
Abu Ubaidah Yusuf, Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) dan Perayaan Haul (Ulang Tahun Kematian), (Bogor: 2012), hlm. 21-22.
22

acara ini dikenal dengan istilah tahlilan. Tahlilan biasanya diadakan mulai
hari pertama hingga hari ketujuh setelah kematian mayit, kemudian hari
keempat puluhnya, hari keseratus, setahun, dan seterusnya. Pada acara
tersebut, keluarga mayit menyajikan hidangan makanan dan minuman kepada
orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya. Ini gambaran secara
umum, daerah lain mungkin memiliki teknis yang berbeda36.

Sementara itu, yasinan merupakan kegiatan membaca surat yasin yang


pahalanya ditujukan bagi mayit. Pembacaan surat yasin ini biasanya
dilakukan ketika berziarah ke makam mayit. Selain itu, sebagian masyarakat
biasanya membaca surat yasin bersama-sama setiap malam jumat. Di
samping menghadiahkan pahalanya bagi mayit, jamaah biasanya membaca
segelas air yang diyakini akan memperoleh berkah dari pembacaan surat
yasin tersebut.

2. Tinjauan Sosial

Keyakinan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an dapat dihadiahkan


kepada mayit telah bergeser dari sekadar keyakinan pribadi menjadi tradisi.
Sebab itu, pembacaan Al-Qur‟an biasanya tidak dilakukan oleh seorang diri.
Tetapi menjadi satu paket dengan kegiatan tertentu yang diselenggarakan
secara beramai-ramai. Sebagaimana kegiatan haul, tahlilan, dan yasinan yang
telah dipaparkan di atas. Di dalamnya terdapat pula ceramah agama,
pembacaan doa, hingga penampilan seni Islam.

Pada dasarnya, masyarakat Indonesia senang berkumpul. Masyarakat


menyukai kegiatan yang mengumpulkan warga sekitar, bercengkrama,
mengobrol, bercanda, dan saling bersilaturahmi. Tidak heran kegiatan
berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat ketika Hari Raya Idul Fitri masih
mengakar kuat di tengah masyarakat. Selain itu, masyarakat juga selalu
diajarkan untuk berbakti kepada orang tua meskipun keduanya telah tiada.
Perpaduan budaya inilah yang melahirkan sejumlah tradisi yang di dalamnya
terdapat pembacaan doa dan Al-Qur‟an bagi mayit. Doa dan membaca Al-

36
Ibid, hlm. 47-48
23

Qur‟an adalah amalan yang bisa dilakukan satu waktu, tidak perlu
mengeluarkan biaya, namun pahalanya bisa sampai kepada orang tua atau
guru yang telah tiada.

Sayangnya, sebagian orang yang meyakini hal ini tidak memiliki


landasan yang kuat. Mereka cenderung hanya mengikuti kebiasaan para
pendahulunya. Al-Qur‟an pun tidak dibaca setiap hari, hanya pada momen
tertentu. Sebagian lagi menganggap bahwa pemahaman ini berasal dari fatwa
Imam Syafi‟i, sebagai madzhab mayoritas di Indonesia. Padahal Imam
Syafi‟i merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwa pahala
membaca Al-Qur‟an tidak akan sampai kepada mayit. Di samping itu,
terkadang kegiatan seperti haul dan tahlilan tampak seperti dipaksakan,
seolah-olah hukumnya wajib. Sehingga keluarga mayit rela berhutang ke
sana-sini demi menyelenggarakan dua acara tersebut.

Meski begitu, mengatakan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an tidak


sampai kepada mayit bukan hanya berefek pada individu. Tetapi itu sama saja
mempermasalahkan tradisi haul, tahlilan, yasinan, dan tradisi masyarakat
lainnya yang telah berlangsung sejak lama. Dampak yang ditimbulkan bisa
jauh lebih besar. Ukhuwah Islamiyyah antar masyarakat berpotensi terusik.

3. Tinjauan Dalil Syar‟i


Para ulama telah bersepakat, bahwa semua ibadah murni maliyah
ibadah dapat diwakilkan dan dihadiahkan pahalanya bagi mayit. Ibnu Katsir
berkata, “Adapun doa dan pahala sedekah dapat sampai kepada mayit
menurut kesepakatan para ulama berdasarkan dalil-dalil syar‟i.”

Landasan syar‟i yang dimaksud ialah:

‫ َر َوا ٍُ ُم ْس ِ ٌَّل‬.ُ‫ َأ ْو َو َ ٍل َضا ِم ٍح ًَدْ غُو َهل‬،َِ ‫ َأ ْو ِػ ْ ٍَّل ًًُْذَ َف ُع ِت‬،‫ َضدَ كَ ٍة َخ ِارً َ ٍة‬:‫ات ا ْج ُن أ ٓ َد َم اهْلَ َع َع َ َمع ُ ُِل ا َّْل ِم ْن زَ ََل ٍث‬
َ ‫ا َذا َم‬
ّ ّ
Artinya : “Jika anak Adam mati, maka amalnya terputus kecuali tiga hal,
yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang
mendoakan orang tuanya.” (H.R. Muslim)
24

Dan hadits lain:

َ‫ان ٔأظَة ما ٔأك امر خل من هس حَ وان ولٍ من هس ح‬


Artinya : “Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan seseorang adalah
dari hasil usahanya dan sesungguhnya anaknya merupakan bagian dari
usahanya.” (H.R. Nasa‟i dan Abu Daud)

Ibadah badaniyah maliyah, seperti haji juga dapat diwakilkan dan


dihadiahkan pahalanya kepada mayit berdasarkan hadits:

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada
Nabi Saw. dan bertanya, “Sesungguhnya ibuku nazar untuk berhaji, namun
belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukan haji
untuknya?” Rasul menjawab, “Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu
mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah,
karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.” (H.R. Bukhari)

Lalu bagaimana dengan membaca Al-Qur‟an? Di sinilah para ulama


berbeda pendapat.

Pendapat pertama mengatakan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an


tidak dapat dikirim atau dihadiahkan kepada mayit. Inilah pendapat masyhur
Imam Malik dan Imam Syafi‟i. Dalam kitab Minan Al-Jalil, Al-Qarrafi
membagi ibadah menjadi tiga, yakni:

a. Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah dan hanya
berlaku bagi pemiliknya. Allah tidak menjadikan pahala itu dapat
berpindah atau dihadiahkan kepada orang lain. Contohnya, iman
dan tauhid.

b. Ibadah yang disepakati ulama bahwa pahalanya bisa dipindahkan


dan dihadiahkan kepada orang lain, seperti ibadah maliyah.

c. Ibadah yang diperselisihkan ulama apakah pahalanya bisa


dihadiahkan kepada mayit atau tidak, seperti membaca Al-Qur‟an.
Imam Malik dan Imam Syafi‟i melarangnya.
25

Sementara itu Ibnu Katsir, salah satu ulama Syafi‟iyah, sangat tegas
menyatakan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an tidak dapat dihadiahkan
kepada mayit. Ketika beliau menafsirkan firman Allah dalam Surat An-Najm:

‫َو َأ ْن مَُ َْس ِم َْلو ْ َس ِان ا َّْل َما َس َؼى‬


ّ ّ
Artinya : “Dan bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari
apa yang telah dia amalkan.” (Qs. An-Najm: 39)

Ibnu Katsir berkomentar,

َ‫ومن وُذٍ الاًة امكرمية اس خًدط امشافؼي رمحَ هللا ومن اثحؼَ ان املراءة ْل ًطل اُداء زوا ِبا ايل املويت ْله‬
‫مُس من معوِم وْل هس هبم‬
Artinya : “Dan dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi‟i rahimahullah beserta
para ulama yang mengikutinya mengeluarkan hukum bahwa bacaan Al-
Qur‟an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.
Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka.”

Dalam kitab Al-Ikhtiyarat Ilmiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah


rahimahullah berkata, “Tidak menjadi kebiasaan salaf, bila mereka shalat
sunnah, puasa sunnah, haji, atau membaca Al-Qur’an, lalu mereka
menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum
muslimin”.37

Pendapat kedua mengatakan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an dapat


dihadiahkan kepada mayit. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah,
beberapa ulama Malikiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan sejumlah ulama
lain. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam Surat Al-Hasyr:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan


Anshar), mereka berdoa, Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-
saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.” (Qs. Al-Hasyr: 10)

Dalam ayat ini, Allah Swt. menyanjung orang-orang beriman karena


mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang yang beriman

37
Abdul Hakim, Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama
Imam Asy-Syafi’i, (Jakarta:2016), hlm. 62-67.
26

sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat
manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.

Selain itu, para ulama juga menggunakan dalil qiyas. Mereka meng-
qiyaskan hadiah pahala membaca Al-Qur‟an dan pahala amal saleh lainnya
dengan sedekah dan doa bagi orang yang sudah meninggal. Ibnu Shalah suatu
hari pernah ditanya, ”Apakah diperbolehkan seseorang membaca AlQur‟an
dan dia hadiahkan (pahalanya) untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya
secara khusus dan bagi kaum muslimin secara umum?

Beliau menjawab, “Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih


tentang membaca AlQur‟an tersebut dan mayoritas membolehkannya. Dan
hendaknya dia mengucapkan, Ya Allah sampaikan pahala yang aku baca ini
untuk si fulan.‟ Dan barang siapa yang menginginkannya, bisa dia jadikan
sebagai doa.”

Imam Ibnu Abil Izz, salah seorang ulama Hanafiyyah, menulis


“Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan
pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah.
Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika
masih hidup atau membebaskan tanggungan teman muslimnya yang telah
meninggal. Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit.
Hal itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan Al-Qur‟an atau ibadah
badaniyah lainnya.”

Sementara itu, para ulama Hanbali terbagi dalam tiga pendapat.


Pertama, boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur‟an kepada mayit dan
itu bisa bermanfaat bagi mayit. Ini pendapat yang masyhur dari Imam
Ahmad. Kedua, tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan AlQur‟an kepada
mayit, meskipun jika ada orang yang mengirim pahala itu bisa sampai dan
bermanfaat bagi mayit. Al-Buhuti menyebut bahwa ini pendapat mayoritas
ulama Hanbali. Ketiga, pahala tetap menjadi milik pembaca (yang hidup).
Hanya saja, rahmat bisa sampai ke mayit.
27

4. Kesimpulan Hukum
Dengan perbedaan pendapat para ulama di atas, terlihat bahwa
masalah ini merupakan masalah ikhtilaf ijtihadiyah fiqhiyah. Tidak ada dalil
sharih (eksplisit) yang membicarakan kebolehan menghadiahi pahala bacaaan
Al-Qur‟an kepada mayit. Para ulama yang mendukung pun meng-qiyaskan
bacaan Al-Qur‟an dengan amalan lain. Sehingga kita berharap pahala itu
dapat sampai kepada mayit, sebagaimana pahala puasa, haji, serta lainnya.
Namun, tetap saja masalah ini termasuk masalah ghaib. Tidak ada yang tahu
sampainya pahala itu selain Allah, kecuali untuk amal-amal yang telah
ditegaskan melalui dalil sharih.

Ketiadaan dalil sharih dalam masalah ini, membuat dalil-dalil yang


ada tidak dapat dipadukan (Jam‟u) atau dipilih mana yang lebih kuat (Rajih).
Oleh karena itu, dalam hal ini berpedoman pada satu dari empat langkah
memilih pendapat versi Ahmad Sarwat, Lc., MA. Yaitu, pertimbangan
pendapat mayoritas (jumhur) ulama.

Pendapat mayoritas ulama dalam hal ini ialah pahala membaca Al-
Qur‟an dapat dihadiahkan kepada mayit. Pendapat ini juga diambil demi
menjaga stabilitas masyarakat dari kericuhan karena diganggunya sebuah
tradisi.

Adapun orang-orang meyakini bahwa pahala membaca Al-Qur‟an


dapat dihadiahkan kepada mayit hendaknya mengetahui landasan perbuatan
yang mereka lakukan. Tradisi bukanlah bentuk ibadah wajib dan hanya
diperbolehkan selama tidak melanggar syariat Islam secara umum.

B. Perayaan Maulid Nabi

1. Pengertian
Kata “Maulid” berasal dari akar kata wa-la-da, yang berarti
melahirkan, memberi keturunan, atau beranak. Bentuk masdar dari wa-la-da
ialah Wiladah, artinya kelahiran. Dari kata wa-la-da ini muncul istilah
Maulud, yang bermakna seseorang yang dilahirkan. Ada pula Walid, artinya
28

seorang bapak (yang punya anak) dan Walidah, yang berarti seorang ibu
(yang melahirkan anak)38.

Dari kata wa-la-da ini lalu muncul istilah Maulid, yang berarti tempat
atau waktu dilahirkannya seseorang. Tempat maulid Nabi adalah di Mekkah.
Sedangkan waktu maulid Nabi adalah pada hari Senin bulan Rabi‟ul Awwal
pada tahun Gajah 53 SH (Sebelum Hijrah) atau bertepatan dengan bulan April
571 M39.

Sehingga Maulid Nabi dapat diartikan sebagai hari kelahiran


Rasulullah Muhammad Saw. yang diyakini banyak orang jatuh pada tanggal
12 Rabi‟ul Awwal.

“Peringatan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti


nasihat (teguran dan sebagainya) untuk memper-ingatkan, kenang-kenangan
sesuatu yang dipakai untuk memperingati, catatan, ingat-an, hal memperingati
(mengenang dan sebagainya). Dengan begitu, Peringatan Maulid Nabi dapat
didefinisikan dengan usaha untuk sekadar mengenang kelahiran Rasulullah
Saw. Biasanya Peringatan Maulid Nabi lebih bersifat umum.

Sedangkan “Perayaan” menurut KBBI berarti pesta (keramaian dan


sebagainya) untuk merayakan suatu peristiwa. Maka Perayaan Maulid Nabi
didefinisikan sebagai upaya meramaikan atau memeriahkan hari kelahiran
Rasulullah Saw. Perayaan Maulid Nabi biasanya diadakan secara khusus,
serius, dan dilakukan oleh masyarakat yang benar-benar mendukung Maulid
Nabi.

2. Tinjauan Sosial
a. Sejarah Maulid Nabi
Perayaan Maulid Nabi di tengah umat Islam telah berlangsung
lama sejak abad 3 H. Mengenai sejarah perayaan Maulid Nabi,
setidaknya ada tiga teori berbeda.

38
AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta:2014), hlm. 20
39
Abu Muawiah Muhammad Arvan, Siapa Bilang Perayaan Maulid Nabi Bid’ah?, (Bekasi:2012), hlm. 153.
29

Pertama, perayaan Maulid Nabi dimulai pada masa Dinasti


Ubaid (Fathimiyah) di Mesir yang berafiliasi dengan Syiah Rafidhah.
Tepatnya di era kepemimpinan Al-Mu‟idz li Dinillah yang berkuasa
pada tahun 341-365 H. Bukan hanya Maulid Nabi, mereka juga
mengadakan perayaan tahun baru, perayaan Hari „Asyura, perayaan
Maulid Ali bin Abi Thalib, perayaan Maulid Hasan, perayaan Maulid
Husain, dan perayaan Maulid Fathimah40.

Kedua, Maulid Nabi dirayakan secara besar-besaran di kalangan


Ahlus Sunnah pertama kali oleh Sultan Abu Said Muzhaffar Kukbari,
gubernur Irbil di wilayah Irak. Beliau mengundang para ulama, ahli
tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh rakyatnya. Beliau menyediakan
berbagai hidangan, memberikan hadiah, bersedekah kepada fakir-
miskin, dan sebagainya. Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Orang
yang pertama kali merintis peringatan Maulid ini adalah penguasa
Irbil, Malik Al-Muzhaffar Abu Sa‟id Kukbari bin Zainuddin bin
Baktatin. Salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan.”

Ketiga, perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan oleh Sultan


Shalahuddin Al-Ayyubi. Beliau mengadakan perayaan Maulid untuk
meningkatkan semangat jihad kaum muslimin dalam rangka
menghadapi Perang Salib melawan kaum Salibis dari Eropa dan
merebut Yerusalem dari tangan Kerajaan Salibis41.

b. Kompromi Sejarah

Para pendukung perayaan Maulid Nabi biasanya beralasan


bahwa mereka mengikuti apa yang dirintis oleh Sultan Shalahuddin
Al-Ayyubi. Sehingga tidak ada alasan untuk menyebut perayaan
Maulid Nabi sebagai perbuatan bid‟ah. Kalau pun bid‟ah, maka itu
adalah bid‟ah hasanah. Sebab Shalahuddin mengadakannya untuk
memperkuat dan menyatukan kaum muslimin. Sedangkan para
penentang Maulid Nabi berdalih bahwa Maulid Nabi merupakan
budaya Syiah Rafidhah yang justru harus ditinggalkan.

40
Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Benarkah Shalahuddin Al-Ayubi Merayakan Maulid Nabi?, (Jakarta:2014), hlm. 21-31.
41
AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta:2014), hlm. 23-24.
30

Sebetulnya ketiga teori sejarah di atas dapat dikompromikan


tanpa harus dipertentangkan satu sama lain. Dalam buku biografi
Shalahuddin Al-Ayyubi, Ali Muhammad Ash-Shalabi memaparkan
sejumlah fakta menarik42. Ketika hendak menaklukkan Mesir yang
dikuasai Dinasti Ubaid, Shalahuddin tidak lantas menggunakan cara-
cara fisik. Sebab, pengaruh Syiah Rafidhah telah mengakar kuat di
Mesir selama bertahun-tahun dan tidak mudah untuk mencabutnya.
Untuk itu, Shalahuddin mengambil langkah-langkah kultural dengan
menghapus budaya Syiah Rafidhah satu per satu. Tujuannya agar
tidak terlalu mencolok dan perlahan menarik simpati rakyat Mesir.
Maka, Shalahuddin tetap mengadakan Maulid Nabi sebagai salah satu
metodenya sambil perlahan menghapus hari raya lain, melepas
pengaruh Syiah dari lembaga-lembaga pendidikan termasuk AlAzhar,
hingga mengganti khutbah Jumat yang menyebut Khalifah Al-Adhid
(Syiah) dengan nama Khalifah Abbassiyah saat itu.

Praktik Shalahuddin ini ternyata menarik perhatian Malik


Muzhaffar Kukbari di Irbil. Sehingga beliau pun mengadakan
perayaan Maulid Nabi pula. Apalagi Malik Muzhaffar merupakan
sejawat Shalahuddin dalam Perang Salib. Tidak heran hubungan
antara keduanya pun cukup erat.

c. Praktek Maulid Nabi

Hingga hari ini, hampir di seluruh negara mengadakan perayaan


Maulid Nabi kecuali Arab Saudi. Itu pun masih diadakan di beberapa
wilayah di Arab Saudi oleh jamaah Syaikh Muhammad Alawi Al-
Maliki, walaupun tertutup. Uniknya, setiap tempat memiliki cara-cara
tersendiri dalam melaksanakan perayaan Maulid Nabi ini.

Di Indonesia, ada beragam cara masyarakat memperingati


Maulid Nabi. Ada yang sekadar memanfaatkan momentum Maulid
Nabi saja. Mereka lalu mengadakan ceramah, lomba-lomba, pameran
buku, bazar produk Muslim, bakti sosial, dan sebagainya. Kegiatan ini
biasa diadakan di sekolah-sekolah, kantor, dan sejumlah masjid. Tak
42
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi, (Jakarta:2013), hlm. 253-255.
31

jarang momentum ini dimanfaatkan pula oleh para pedagang untuk


mencari untung. Karena biasanya acara-acara semacam ini akan
mengundang massa dalam jumlah besar. Para pedagang ini cukup
memakai peci dan baju koko untuk menyesuaikan penampilan. Soal
kemudian mereka shalat atau tidak shalat, mendengarkan ceramah
atau tidak, itu urusan lain.

Ada pula perayaan Maulid Nabi yang diadakan secara rutin dan
serius. Acara biasanya diisi dengan pembacaan ayat Al-Qur‟an,
sambutan tokoh, lantunan syair-syair pujian kepada Rasulullah, zikir
dan shalawat bersama-sama, pembacaan Manaqib (riwayat hidup)
Rasulullah, doa bersamasama, dan lain-lain.

Ketika pembacaan Manaqib Nabi, sampai di bacaan tertentu,


para jamaah biasanya diminta untuk berdiri dan bersama-sama
membacakan shalawat untuk Rasulullah Saw. Saat itulah, banyak
peserta kegiatan Maulid Nabi meyakini bahwa ruh Rasulullah hadir di
tengah-tengah mereka. Dalam konteks ini, perayaan Maulid Nabi
bukan lagi sekadar perkara muamalah, namun sudah bersifat ritual
atau ibadah.

Sejumlah komunitas kepercayaan juga kerap mengadakan


perayaan Maulid Nabi, seperti Kraton Yogya (Sekaten), Kraton Solo
(Grebeg Mulud), dan Kraton Cirebon. Acara yang diadakan biasanya
kental dengan suasana mistis.

Negara lain pun tak mau kalah. Di Pakistan, Maulid Nabi


dirayakan dengan memainkan genderang dan terompet selama 12 hari
pertama Rabi‟ul Awwal. Setelah diadakan ceramah sebagai puncak
acara, seribu gadis cantik lalu tampil menyajikan tarian serta digelar
pertunjukan akrobat dan puisi. Di India, masyarakat memasak
beberapa jenis makanan untuk dipersembahkan kepada ruh Nabi dan
fakir-miskin43.

43
AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta:2014), hlm. 28-41
32

Dari sekian banyak tata-cara perayaan Maulid Nabi, sebetulnya


Imam Suyuthi, Syaikh Yusuf Qardhawi, dan Syaikh Muhammad
Alawi Al-Maliki sebagai ulama yang mendukung kegiatan ini telah
memberikan sejumlah koridor.

Imam Suyuthi berkata, “Menurutku, asal amalan Maulid adalah


orang-orang berkumpul, lalu membaca apa-apa yang mudah baginya
dari Al-Qur‟an, kemudian meriwayatkan riwayat-riwayat tentang
Nabi Saw. dan apa yang terjadi pada kelahirannya berupa tanda-tanda
kemuliaan; kemudian menghidangkan makanan, lalu mereka
memakannya; kemudian selesai, tidak ada tambahan apa-apa lagi (min
ghairi ziyadatin „ala dzalika). Yang demikian ini termasuk bid‟ah
hasanah, yang pelakunya diberi ganjaran (oleh Allah), karena mereka
telah meninggikan keagungan Nabi Saw., berbahagia dan bergembira
atas kelahirannya.”

Sedangkan Syaikh Muhammad Alawi Al-Maliki ketika


menjelaskan dalil ke-21 kebolehan Maulid Nabi menjelaskan:

“Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya


peringatan Maulid Nabi Saw. secara syariat, hanyalah pada
peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar
yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid
mengandung hal-hal yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-
laki dan perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan terlarang,
banyaknya pemborosan, dan perbuatan-perbuatan lain yang tak
diridhai Shahibul Maulid (Rasulullah Saw.), tak diragukan lagi bahwa
(acara seperti) itu diharamkan. Tetapi keharamannya bukan pada
peringatan Maulidnya, melainkan pada hal-hal yang terlarang
tersebut.”44

3. Tinjauan Dalil Syar‟i

44
Ibid, hlm. 41-43.
33

Para ulama terbagi dalam tiga pendapat mengenai Maulid Nabi. Ada
yang mendukung, ada yang menolak secara bulat, serta ada pula yang tidak
terlalu mendukung dan tidak menolak secara mutlak. Berikut adalah landasan
syar‟i dari masing-masing pendapat.

a. Pendapat Pertama: Mendukung Perayaan Maulid Nabi

Ada begitu banyak dalil yang dipakai oleh para pendukung


Maulid Nabi. Berikut 21 dalil kebolehan Maulid Nabi yang
disampaikan Syaikh Muhammad Alawi AlMaliki dalam kitab Haula
al-Ihtilaf bi Dzikri Al-Maulidin Nabawi Al-Syarif.

1) Peringatan Maulid Nabi Saw. merupakan ungkapan


kegembiraan dan kebahagiaan terhadap kelahiran Al-
Musthafa Saw.

2) Rasulullah Saw. senantiasa mengagungkan hari


kelahirannya dan bersyukur kepada Allah Yang Maha
Tinggi. Beliau Saw. mengungkapkan pengagungan itu
dengan cara berpuasa sebagaimana diriwayatkan dalam
sebuah hadits dari Abu Qatadah: Ketika Rasulullah Saw.
ditanya tentang puasa beliau pada hari senin, beliau pun
bersabda, “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu
pula aku (untuk pertama kali) menerima wahyu.” (H.R.
Muslim) Dan ini adalah semakna dengan perayaan Maulid
Nabi, hanya saja bentuknya berbeda.

3) Kegembiraan karena hadirnya beliau Saw. merupakan


sesuatu yang diperintahan dalam AlQur‟an, Allah Swt.
berfirman, “Katakanlah: „Dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.”
(Qs. Yunus: 58) Allah Swt. menyuruh kita bergembira atas
rahmat-Nya, sedangkan Nabi Saw. adalah rahmat Allah
yang paling agung. “Dan tiadalah kami mengutusmu untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs. Al-Anbiya:
107)
34

4) Rasulullah sangat memperhatikan waktu-waktu penting


yang terjadi di masa lampau, lalu beliau mengambil
momentumnya untuk memperingati dan menghormati hari
tersebut. Hal ini sebagaimana kisah ketika Rasulullah
pertama kali tiba di Madinah dan melihat kaum Yahudi
berpuasa pada Hari „Asyura. Beliau lalu bertanya
mengenai hal itu, dan ada yang menjawab, “Sesungguhnya
mereka berpuasa karena Allah menyelamatkan Nabi
mereka (Musa) dan menenggelamkan musuh mereka
(Fir‟au dan tentaranya). Oleh karena itu, mereka berpuasa
sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat tersebut.”
Rasulullah lalu bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa
daripada kalian.” Kemudian beliau menyuruh para
shahabat untuk berpuasa juga.

5) Pembacaan kisah hidup Rasulullah Saw. dapat mengantar


kita mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau Saw.
Sebagaimana hal itu dianjurkan dalam Al-Qur‟an,
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

6) Kisah-kisah dalam perayaan Maulid Nabi membantu kita


untuk mengenal beliau, mengikutinya, meneladaninya,
mempercayai mukjizat-mukjizatnya, serta membenarkan
tanda-tanda kenabiannya.

7) Perayaan Maulid Nabi adalah upaya untuk membalas jasa


beliau dengan menjelaskan sifat-sifat beliau yang
sempurna dan akhlak beliau yang utama.

8) Menambah kecintaan dan kesempurnaan iman kepada Nabi


Saw. dengan mengenal mukjizat, akhlak, dan irhas beliau.
35

9) Penghormatan kepada beliau Saw. merupakan sesuatu yang


disyariatkan. Dan bergembira atas kelahiran beliau dengan
membuat acara jamuan, perkumpulan majelis zikir, serta
memuliakan fakir-miskin termasuk dalam perwujudan
pengagungan tersebut.

10) Dari hadits beliau tentang keutamaan Hari Jumat, “Dan


pada hari itu diciptakanlah Adam.” Kita dapat mengambil
kesimpulan mengenai kemuliaan waktu kelahiran seorang
nabi. Lalu bagaimana dengan hari kelahiran seorang Nabi
yang utama dan Rasul mulia?

11) Peringatan Maulid Nabi telah dinilai baik oleh para ulama
dan dilaksanakan oleh kaum muslimin di berbagai negara.
Oleh karena itu, Maulid Nabi termasuk sesuatu yang
dianjurkan syariat berdasarkan hadits mauquf dari Ibnu
Abbas, “Apa yang dipandang orang-orang Muslim baik,
maka itu adalah baik di sisi Allah. Dan apa yang
dipandang buruk oleh orang-orang Muslim, maka itu
adalah buruk di sisi Allah.” (H.R. Ahmad)

12) Atsar shahabat atau tabi‟in yang mengatakan, “Peringatan


Maulid meliputi perkumpulan sesama ikhwan, zikir,
sedekah, puji-pujian, dan pemuliaan kehadirat Nabi Saw.
merupakan sunnah. Perkara-perkara itu adalah perkara
yang dianjurkan dan terpuji dalam syari‟at.”

13) Hari ini kita membutuhkan peneguhan hati dengan


membaca kisah hidup Rasulullah Saw. sebagaimana
dahulu beliau diteguhkan hatinya oleh Allah dengan kisah
para nabi terdahulu. “Dan semua kisah dari rasul-rasul
Kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad), ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu...”
(Qs. Hud: 120)
36

14) Tidak semua perkara yang tidak dilakukan oleh para


generasi salaf merupakan bid‟ah yang buruk, haram
dilakukan, dan wajib diingkari. Setiap perkara tersebut
harus dihukumi berdasarkan dalil-dalil syar‟i.

15) Tidak semua bid‟ah itu haram. Jika begitu, kita bisa
menyebut pembentukan mushaf AlQur‟an di masa Abu
Bakar ra. dan shalat tarawih berjamaah di era Umar bin
Khattab sebagai sebuah bid‟ah.

16) Meski tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah Saw.,


namun kita dapat menyebut Maulid Nabi sebagai bid‟ah
hasanah. Karena perkara ini tercakup dalam dalil-dalil
syar‟i yang bersifat umum.

17) Semua yang dilihat secara utuh tidak ada pada awal masa
Islam, tetapi perincian-perincian amalnya ada, maka itu
juga dituntut oleh syara‟. Karena apa yang tersusun dari
hal-hal yang berasal dari syara‟, pun dituntut oleh syara‟.

18) Imam Syafi‟i berkata, “Hal-hal baru yang menyalahi Al-


Qur‟an, sunnah, ijma‟, atau atsar, maka ia adalah bid‟ah
yang menyesatkan. Sedangkan suatu hal baru yang tidak
menyalahi salah satu dari keempatnya, maka ia (bid‟ah)
yang terpuji.

19) Segala kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar‟i


yang tidak dimaksudkan untuk menentang syari‟at serta
tidak mengandung sesuatu yang mungkar, maka kebaikan
itu termasuk syari‟at agama Islam.

20) Peringatan Maulid Nabi adalah upaya menghidupkan


kembali ingatan kita tentang Nabi Saw. dan itu merupakan
hal yang dianjurkan dalam Islam.

21) Semua yang disebutkan sebelumnya tentang


dibolehkannya peringatan Maulid Nabi Saw. secara
37

syariat, hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak


disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang tercela, yang
wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid
mengandung hal-hal yang wajib diingkari, seperti
bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya
perbuatan-perbuatan terlarang, banyaknya pemborosan,
dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai Shahibul
Maulid (Rasulullah Saw.), tak diragukan lagi bahwa (acara
seperti) itu diharamkan. Tetapi keharamannya bukan pada
peringatan Maulidnya, melainkan pada hal-hal yang
terlarang tersebut45.

Tentu masih banyak lagi dalil yang diungkapkan oleh para


pendukung Maulid Nabi. Beberapa ulama yang mendukung perayaan
Maulid Nabi, di antaranya: Al-Hafizh Ibnu Dihyah AlKalbi, Al-
Hafizh Ibnul Jauzi, Imam Izzudin bin „Abdissalam, Imam An-
Nawawi, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Jalaludin As-
Suyuthi, Ibnu Hajar Al-Haitami, Syaikh Ramadhan AlButhi, Syaikh
Ali Jum‟ah, Syaikh Yusuf Qardhawi, dan sebagainya.

Dalil-dalil para pendukung Maulid Nabi tidak lepas dari kritikan


dan bantahan dari kelompok yang menolak perayaan Maulid Nabi.
Pembaca bisa merujuknya ke dalam buku Pro dan Kontra Maulid Nabi
karangan AM. Waskito dan Siapa Bilang Perayaan Maulid Nabi
Bid‟ah? Karangan Abu Muawiah Muhammad Arwan, S.Pd.I.

b. Pendapat Kedua: Menolak Perayaan Maulid Nabi


Para penentang perayaan Maulid Nabi pun tidak kalah
mengeluarkan seluruh argumennya. Dalil-dalil yang mereka pakai,
antara lain:

1) Para ulama salaf, dari kalangan shahabat Nabi Saw., tabi‟in,


tabi‟ut tabi‟in, serta para imam madzhab tidak merayakan

45
Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Wajibkah Memperingati Maulid Nabi Saw. (Surabaya:2007), hal. 43- 65.
38

Maulid Nabi. Kalau bukan mereka, lalu siapa lagi yang


patut kita ikuti dan teladani?

2) Perayaan Maulid Nabi adalah sarana yang dapat


menjerumuskan seseorang kepada perbuatan syirik. Kita
kerap mendengar pujian-pujian yang dibacakan dalam
Maulid Nabi sampai mendudukkan beliau pada kedudukan
Tuhan. Misal dalam Qasidah Al-Burdah, terdapat lafadz,
“Wahai engkau manusia yang termulia dari sekalian alam.
Kepada siapa lagi aku harus meminta pertolongan. Pada
saat musibah datang..”

3) Maulid Nabi merupakan perbuatan bid‟ah, sehingga


dilarang dalam agama Islam. Perbuatan ini diadakan oleh
orang-orang sebagai sesuatu yang menyerupai syari‟at
dengan tujuan beribadah kepada Allah.

4) Perbuatan ini jelas-jelas menyerupai orang-orang kafir


(tasyabbuh). Kita merayakan hari kelahiran Rasulullah
Saw. sebagaimana kaum Nasrani merayarakan hari
kelahiran Nabi Isa as. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum, maka orang itu
termasuk golongan mereka.” (H.r. Abu Daud)

5) Banyak kemungkaran terjadi di dalam perayaan Maulid


Nabi. Hal ini bisa dirujuk dalam kitab At-Tanbihat Al-
Wajibat Li Man Yashna‟ul Maulid bil Munkarat
(Peringatan yang Wajib Disampaikan Bagi Orang yang
Merayakan Maulid Denagn Kemungkaran) karangan KH.
Hasyim Asy‟ari.

6) Tak jarang perayaan Maulid Nabi diadakan sampai larut


malam. Keesokannya, para jamaah justru bangun
kesiangan dan tidak melaksanakan shalat shubuh
berjamaah di masjid.
39

7) Perayaan Maulid Nabi termasuk dalam perbuatan mubazir.


KH. Hasyim Asy‟ari menulis, “Di antara kemungkarannya
adalah apa yang telah disebutkan sebelum ini, seperti
adanya musik dan permainan yang menyerupai perjudian.
Serta kemungkaran-kemungkaran lain, di antaranya
perbuatan mubazir dengan membuang-buang harta dan
menggunakannya pada hal-hal yang dilarang agama.”

8) Perayaan ini hanyalah membuang waktu dengan percuma.


Karena kita telah mengadakan kegiatan yang tidak
diperintahkan oleh agama, bahkan termasuk perbuatan
bid‟ah.

9) Maulid Nabi merupakan salah satu sebab kemunduran umat


Islam karena isi acara Maulid Nabi membuat kebodohan
tersebar di tengah umat. Rasyid Ridha berkata,
“Perayaanperayaan Maulid itu sama halnya dengan pasar
kejahatan, di dalamnya ada minuman keras, tempat
berdansa bersama para wanita yang telanjang dan
membinasakan, serta acara lawak yang diadakan untuk
membuat para hadirin tertawa-tawa.”

10) Bukankah bulan Rabi‟ul Awwal juga merupakan hari


wafatnya Rasulullah? Mengapa kita harus bergembira
pada bulan itu?

Selain itu, fakta bahwa Rasulullah lahir pada tanggal 12 Rabi‟ul


Awwal pun masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Syaikh
Shafiyyurrahman dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum menukil penelitan
yang dilakukan seorang ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-
Manshurfury dan peneliti astronomi, Mahmud Basya yang menyebut
bahwa Rasulullah Saw. lahir pada tanggal 9 Rabi‟ul Awwal.

Ulama-ulama yang menentang perayaan Maulid Nabi, antara


lain Imam Asy-Syathibi, Ibnul Hajj, Al-Fakihani, Ibnu Taimiyah,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad Ibrahim
40

Alu Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan lain-lain.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan pun tidak luput pula dari bantahan
kelompok pendukung Maulid Nabi. Pembaca dapat merujuk dalam
buku Pro dan Kontra Maulid Nabi karya AM. Waskito untuk
mengetahuinya.

c. Pendapat Ketiga: Moderat


Di antara dua pendapat yang saling bertentangan tersebut,
ternyata ada satu pendapat yang dapat dibilang cukup moderat.
Pendapat ini tidak anti terhadap Maulid Nabi, namun tidak bisa
dibilang mendukung juga. Salah satu kelompok atau badan yang
menyuarakan pendapat ini ialah Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Dalam fatwanya tentang Maulid Nabi, dinyatakan:

“Pada prinsipnya, Tim Fatwa belum pernah menemukan dalil


tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw,
sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang
penyelenggaraannya. Oleh sebab itu, perkara ini termasuk dalam
perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada
larangan untuk melaksanakannya. Apabila di suatu masyarakat
Muslim memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi
Saw. tersebut, yang perlu diperhatikan adalah agar jangan sampai
melakukan perbuatan yang dilarang serta harus atas dasar
kemaslahatan. Perbuatan yang dilarang di sini, misalnya adalah
perbuatan-perbuatan bid'ah dan mengandung unsur syirik serta
memuja-muja Nabi Muhammad Saw. secara berlebihan, seperti
membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas
sumber dan dalilnya.”

Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang bahwa dalil-dalil


yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya adalah dalil-dalil yang
umum. Tidak ada dalil yang secara eksplisit membolehkan atau
melarang perayaan Maulid Nabi.
41

Dalil-dalil tentang keutamaan puasa hari senin, latar belakang


sejarah puasa „Asyura, juga perintah dalam Al-Qur‟an agar kaum
muslimin bergembira atas rahmat Allah, tidak dianggap sebagai dalil
yang memerintahkan Maulid. Sedangkan dalil hadits tentang bid‟ah,
larangan meniru perilaku orang kafir, fakta bahwa generasi salaf tidak
mengadakan Maulid, serta fakta bahwa Maulid pertama kali diadakan
oleh Dinasti Ubaid yang beraliran Syiah Rafidhah, tidak dianggap
sebagai dalil larangan.

4. Kesimpulan Hukum
Sebelum sampai kepada kesimpulan hukum Maulid Nabi dalam
pandangan Islam, berikut sejumlah keterangan untuk memperjelas praktik
perayaan Maulid Nabi:

a. Perayaan Maulid Nabi telah diadakan selama beratus-ratus tahun


oleh banyak umat Islam di berbagai negara.

b. Di Indonesia, Maulid Nabi telah menjadi budaya yang mengakar


kuat. Mulai dari yang dosisnya ringan, sampai yang
menganggapnya sebagai ibadah bahkan dibumbui dengan kegiatan-
kegiatan mistis.

c. Tidak ada dalil-dalil sharih (eskplisit) yang membolehkan atau


melarang perayaan Maulid Nabi.

d. Maulid Nabi adalah perkara khilafiyah ijtihadiyah fiqhiyah yang


tidak membuat pelakunya keluar dari Islam, kecuali jika pelakunya
secara nyata melakukan perbuatan syirik.

Oleh karena itu, dalam hal ini tidak menggunakan Thariqah Ar-Rajih
atau menguatkan satu dalil lalu melemahkan dalil yang lain. Jika demikian,
justru akan semakin memperlebar perpecahan di kalangan umat Islam,
khususnya di Indonesia. Sebagai tradisi yang sudah mengakar kuat, tentu
Maulid Nabi tidak dapat dihapuskan begitu saja. Perlu diperhatikan, dalam
buku Pro dan Kontra Maulid Nabi, AM. Waskito menyebutkan sebuah fakta
42

menarik. Maulid Nabi disebut oleh beliau sebagai salah satu corong Syiah
Rafidhah untuk menguatkan ajarannya. Selama ini mereka membuat nasyid
dan puji-pujian terhadap Rasulullah Saw. disertai pujian terhadap sosok Ali,
Fathimah, Hasan, dan Husain. Sebagaimana dapat disimak pada lirik lagu-
lagu ciptaan Hadad Alwi. Kemudian mereka mencoba mengadu-domba kaum
muslimin dengan membesar-besarkan isu perselisihan seputar Maulid Nabi.

Maka, untuk mengambil kesimpulan hukum, menggunakan Thariqah


Jam‟u atau mencoba menggabungkan semua dalil-dalil yang ada.
berpendapat bahwa pada dasarnya Maulid Nabi boleh saja diadakan, dengan
beberapa syarat:

a. Sebagai sebuah tradisi, hendaknya Maulid Nabi tidak dianggap


sebagai indikator mutlak bukti kecintaan pada Rasulullah Saw.
Kecintaan dan penghormatan kita pada Rasulullah Saw. harus
dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengerjakan serta
meninggikan sunnah-sunnahnya, mempelajari kehidupannya secara
utuh termasuk jihad dan cara beliau mengelola negara, serta
meneladaninya dalam setiap aspek kehidupan baik dalam bidang
akhlak, ibadah, pemerintahan, hukum, militer, ekonomi, sosial,
budaya, dan sebagainya.

b. Perayaan Maulid Nabi tidak dianggap sebagai perbuatan ibadah


yang wajib dan rutin dilakukan. Tidak mengadakan Maulid Nabi
tidaklah berdosa apalagi dihukumi sesat.

c. Acara perayaan Maulid Nabi tidak diisi dengan perbuatan syirik,


praktik paganisme, dan kemaksiatan bercampurnya laki-laki dan
perempuan, tarian-tarian, meminum khamr, pulang larut malam,
menghaburkan uang dan sebagainya.

d. Hendaknya mengadakan perayaan Maulid Nabi tidak sampai


melalaikan kaum muslimin dari kewajiban dan sunnah-sunnah
yang utama, seperti shalat shubuh berjamaah, shalat Tahajud, dan
lain-lain.
43

Pertanyaan !!!

1. Jelaskan wahyu apa yang dimaksud pada hadits yang memperbolehkan maulid?
2. Jelaskan mengapa tidak ada haul rasulullah? Dan jelaskan hukum dasar haul?
3. Apa hukumya memperingati haul para aulia atau wali Allah ? sedangkan arti dari
haul adalah memperingati hari kematian seseorang yang berlawanan dari firman
Allah dalam surah Ali Imran ayat 169 dan surah Yunus ayat 62 !
4. Kenapa imam malik dan iman syafie menyebutkan bahwa mendoakan orang yg
sudah meninggal tidak sampai pahalanya dan Mengapa maulid disebut dengan
bid'ah hasanah ?
5. Bagaimana hukum jika tidak menunaikan amanah untuk melaksanakan sholat
hadiah dari orang lain dan Jelaskan Dasar hukum shalat hadiah?
BAB III

Poligami, Kawin Kontrak (Nikah Mut’ah) dan Kedudukan Nikah Sirri


dalam Islam dan Negara

A. Poligami
1. Pengertian Poligami
Poligami (berasal dari bahasa Yunani yaitu apolus yang berarti
banyak) dapat diartikan sebagai suatu sistem pernikahan yang membolehkan
seseorang menikahi lebih dari satu pasangan dalam waktu yang bersamaan.
Sidi Ghazalba mengartikan bahwa poligami adalah perkawinan antara
seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan. Lawannya adalah
poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang
laki-laki. Namun dari segi makna poligami terdiri atas pernikahan antara
seorang laki-laki dengan dua atau lebih perempuan (poligini) dalam waktu
yang bersamaan, atau prnikahan seorang wanita dengan dua atau lebih laki-
laki (poliandri) dalam waktu yang bersamaan. Poligini diberi peluang dalam
Islam dengan persyaratan-persyaratan. Sedangkan praktik poliandri dilarang
dalam Islam46.

2. Hukum Poligami
Dasar poligami ada pada Ayat suci Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 3 :
ْ ُ َ ‫َو ِا ْن ِخ ْف ُ ُْت َا َّْل ثُ ْل ِس ُع ْوا ِِف امْ ََ ٰخ ٰمى فَا ىْ ِك ُح ْوا َما َظا َب م‬
‫ـُك ِ ّم َن ام ًِ ّ َسا ٓ ِء َمث ْٰٰن َوزُ ٰو َر َو ُرتٰ َع فَ ِا ْن ِخ ْف ُ ُْت َا َّْل ث َ ْؼ ِدمُ ْوا‬
‫فَ َوا ِحدَ ًة َا ْو َما َموَـ َك ْت َاًْ َما ىُ ُ ُْك ٰذ ِ َِل َاد ْٰٰۤن َا َّْل ثَ ُؼ ْومُ ْوا‬
Artinya “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu tikut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”

46
Muhammad Yusuf, Masail Fiqhiyah; Memahami Permasalahan Kontemporer (Jakarta::2017), hlm. 67.
45

Quraish Shihab dan tafsir Al-maraghi memberikan penafsiran bahwa


poligami di dalam surat An-Nisa ayat 3 itu merupakan hak yang boleh.
Karena yang boleh melakukan itu adalah orang yang benar-benar sangat
membutuhkan. Artinya ia merasa sangat darurat, bila ia tidak melakukan itu
khawatir menjadi mudharat. Oleh karena itu seseorang yang ingin
berpoligami sepatutnya waspada baik itu dari niat dan tujuan poligaminya.
Waspada terhadap kekhawatiran bila ke depan melanggar syariat agama47.

Sementara itu, ada sebagian ulama yang berpendapat, seorang pria


dibolehkan mengawini sembilan orang isteri. Pendapat ini didasarkan pada
pemahaman bahwa yang dimaksud dengan kata matsna wa tsulatsa wa ruba‟
adalah: 2+3+4=9. Bahkan ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan matsna wa tsulatsa wa ruba‟ adalah (dua-dua)+(tiga-
tiga)+(empat-empat), hal ini berarti: (4)+(6)+(8)=(18). Dengan demikian
menurut mereka, seorang pria boleh mengawini sebanyak delapan belas
orang. Akan tetapi, dua pendapat ini dinilai oleh jumhur ulama‟ sebagai
bertentangan dengan ketentuan ihma‟ para ulama‟ terdahulu48.

Menurut jumhur „ulama, huruf waw dalam lafaz َ ‫َمثْ ٰنى َوث ُ ٰل‬
‫ث َو ُر ٰب َع‬
menunjukkan arti „pilihan (atau)‟ sehingga bermakna „dua, atau tiga, atau
empat„ dan pendapat semacam itu tidak pernah dikenal sejak era sahabat.
Dalam masyarakat Arab juga tidak dikenal penyebutan istilah „sembilan‟
dengan „dua dan tiga dan empat‟. Demikian juga tidak dikenal penyebutan
istilah „delapan belas‟ dengan „empat dan enam dan delapan‟.

Jumhur „ulama juga menolak argumen yang mengatakan bahwa


kebolehan menikahi sembilan wanita mengacu pada apa yang dilakukan Nabi
dimana beliau menikahi sembilan orang wanita. Dalam pandangan jumhur,
menikahi sembilan wanita merupakan bagian dari ke-khusus-an untuk Nabi.
Menurut Imam Syafi‟i, sunnah Nabi yang memerintahkan sahabat
menceraikan istri-istrinya dengan menyisakan hanya empat saja menunjukkan
hal tersebut49.

47
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: 2017), hlm. 176.
48
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum Materil, (Tanggerang:2018), hlm. 183.
49
Iffah Muzammil, Fiqh Munahakat (Hukum Pernikahan dalam Islam), (Tanggerang:2019), hlm. 94.
46

Khoiruddin Nasution memaparkan bahwa poligami itu tidak dilarang,


tetapi hanya dibatasi oleh Al-Qur‟an. Di dalam Al-qur‟an pun tidak menyuruh
poligami melainkan hanya membolehkan. Namun suatu kebolehan dari Al-
Qur‟an ini juga tidak tanpa syarat, disitu ada syarat kemampuan untuk
berbuat adil. Syarat itu pula tercantum didalam Al-Qur‟an yaitu pada surat
An-Nisa ayat 129. Arti dari surat ini adalah : “Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterim (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatungkatung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.50

Syari‟at Islam memperbolehkan berpoligami dengan batasan sampai


empat orang istri dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam
urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan
tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang
berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah.

Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua
hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup
dipenuhinya hanya tiga, maka baginya haram menikah dengan empat orang.
Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri, maka haram baginya
menikah tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan
mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukannya51.

3. Poligami di Indonesia
Hukum perkawinan di Indonesia juga membuka untuk seorang laki-
laki berpoligami. Walaupun sesungguhnya hukum perkawinan di Indonesia
ini menganut asas monogami. Asas monogami ini dimungkinkannya untuk
melakukan poligami bila dikehendaki. Ada yang mengatakan bahwa asas
yang dianut oleh Indonesia ini adalah asas perkawinan monogami terbuka.

50
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, …… hlm. 178.
51
Rusdaya Basri, Fiqh Munahakat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, (Sulawesi: 2019), hlm. 201.
47

Untuk melakukan poligami tentu harus melalui prosedur dan permohonan ke


pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya
ada 3 norma hukum yang ada pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang mengatur poligami yaitu :

a. Pasal 3 yang normanya berbunyi :

1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya


boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami.

2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk


beristeri dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang
bersangkutan.

b. Pasal 4 yang normanya berbunyi :

1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang


sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-
undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya


memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:

a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai


isteri;

b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak


dapat disembuhkan;

c) Isteri tidak dapa melahirkan keturunan.

c. Pasal 5 yang normanya berbunyi:

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan


sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
48

a) Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin


keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil


terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini


tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-
isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangna 2 (dua)
tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim pengadilan52.

Selanjutnya UUP (Undang-Undang Pernikahan) mengatur tentang


syarat-syarat dibolehkan poligami. Syarat-syarat sebagaimana diatur dalam
UUP dibagi menjadi 2, yaitu: Syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat
alternatif tersebut meliputi53:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat


disembuhkan

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Adapun syarat kumulatif:

a. Ada persetujuan tertulis dari isteri atau isteri-isteri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup


isteri dan anak-anak merek

c. Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri


dan anak-anaknya

52
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan …, hlm. 178.
53
Ibid hlm. 178.
49

4. Hikmah Poligami

Adapun hikmah dari poligami yang dapat diambil contoh dari


Rasulullah SAW ada 4 hikmah seperti 54:

a. Hikmah syariat, artinya Rasulullah SAW mencontohkan bahwa


poligami itu mubah, oleh karena itu beliau melakukannya sebagai
contoh kepada umatnya.

b. Hikmah pendidikan, dengan berpoligami Rasulullah SAW ingin


menyebarkan pendidikan islam dan pengajaran agama kepada
isteri-isterinya. Artinya isteri-isteri Rasulullah SAW mengetahui
bahwa gaya hidup, sikap, dan praktik berkeluarga beliau dapat
dicontoh oleh mereka para isterinya untuk dapat diajarkan dan
disampaikan ke orang lain. Seperti contoh adalah Siti Aisyah,
beliau selalu menjadi rujukan dan pusat informasi tentang
persoalan wanita.

c. Hikmah Politik, dengan berpoligami Rasulullah SAW dapat


mengajak suku lain untuk bisa masuk ke agama Islam dan bersatu
dengan beliau. Hal ini dilakukan untuk kepentingan politik agar
bangsa arab tidak terpecah belah. Seperti contoh Rasulullah SAW
menikahi Juwairiyah seorang putri dari Harith Suku Bani Mustaliq.

d. Hikmah Sosial, ini hikmah yang menjadi tujuan Rasulullah SAW


untuk memuliakan janda para pejuang islam yang gugur dimedan
perang. Yang dinikahi Rasulullah SAW adalah janda yang sudah
lanjut usia, tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup,
menjaga jiwa, dan keyakinan agama islamnya.

D. Nikah Mut’ah

1. Pengertian Nikah Mut‟ah

54 Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian ..., hlm. 204.
50

Kata “mut‟ah” secara harfiyah berarti kesenangan, kenikmatan,


kelezatan atau kesedapan. Kata ini juga berarti sesuatu yang dengannya dapat
diperoleh suatu manfaat atau kesenangan, tetapi kesenangan atau manfaat
tersebut akan cepat hilang sebab habis atau berakhirnya sesuatu tadi dan
merasakan kelezatan tersebut akan segera berlalu dalam waktu yang relatif
singkat.

Menurut istilah, nikah mut‟ah adalah seseorang laki-laki menikahi


seorang wanita dengan sesuatu dari harta untuk jangka waktu tertentu,
pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut tanpa adanya
perceraian, juga tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal serta tidak
ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal
sebelum berakhirnya masa pernikahan. Pernikahan ini juga tidak
mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari bapak atau
wali, dan status wanitanya sama dengan wanita sewaan atau budak55.

Nikah mut‟ah adalah pernikahan yang dilakukan seseorang untuk


jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun, atau satu bulan, satu hari, dan
lain-lain. Pernikahan ini disebut mut‟ah, karena dilakukan semata untuk
mendapatkan manfaat dan kenikmatan untuk jangka waktu tertentu56.

2. Sejarah Nikah Mut‟ah


Sejarah dilakukannya nikah mut‟ah ini ada ketika Rasulullah
memberikan izin kepada sahabat untuk nikah mut‟ah pada waktu perang
penaklukan Makkah, tetapi itu kemudian diharamkan kembali. Ada beberapa
riwayat hadis yang menjelaskan bahwa nikah mut‟ah ini diharamkan57.

Hikmah diperbolehkan nikah muth‟ah ketika itu adalah karena


masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari
jahiliyah kepada Islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang
biasa. Maka setelah Islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi
berperang, karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan

55
Rusdaya Basri, Fiqh Munahakat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah….., hlm. 222.
56
Iffah Muzammil, Fiqh Munahakat (Hukum Pernikahan dalam Islam) …. , hlm.112.
57
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan …, hlm. 185
51

yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan sebagian tidak kuat
imannya.

Bagi yang lemah imannya aka nmudah untuk berbuat zina yang
merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat
imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya.
Hal ini sebagaimana yang dikatakatan oleh Abdullah :

‫هللا ػَوَ َْ َِ َو َس َّ ََّل مَُ َْس مَيَا ِو َسا ٌء فَ ُلوْيَا َأ َْل‬ ِ ِ‫ول ُنيَّا هَغ ُْزو َم َع َر ُسول‬
ُ ‫هللا َض ََّّل‬ ِ َ‫َغ ْن كَُ ٍْس كَا َل َ َِس ْؼ ُت َغ ْحد‬
ُ ‫هللا ً َ ُل‬
‫و َ ْس خَخْىص فْناًن غن ذِل ُ َّمث َرخ ََّص ميا ٔأن هي ِك َح امْ َم ْر ٔأة بمثوب ا َٰٕل َأ َخ ٍل‬
Artinya: “Dari Qais berkata saya mendengar Abdullah mengatakan: waktu itu
kami sedang perang bersama Rasulullah Saw dan tidak ada bersama kami
wanita, maka kami berkata: bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami).
Maka Raulullah Saw. melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah
memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan
mahar baju sampai satu waktu.”( HR. Muslim).

Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para sahabat hanya


selama tiga hari setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :

‫هللا ػَو َ َْ َِ َو َس َّ ََّل ػَام َأ ْو َظ ِاس ِِف امْ ُم ْخ َؼ ِة ز َ ََل ًًث ُ َّمث َنَ َىى َغْنْ َا‬
ُ ‫هللا َض ََّّل‬
ِ ‫ول‬ُ ‫َغ ْن ا ََّي ِس ْج ِن َسوَ َم َة َغ ْن ٔأتَِ َِ كَ َامرخ ََّص َر ُس‬
ّ
Artinya: “Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya berkata : Rasulullah Saw.
memberikan keringanan nikah muth‟ah pada tahun authas (penaklukan kota
Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya” (HR Muslim).”

Berdasarkan hadits Salamah di atas memberikan keterangan


bahwasanya Rasulullah Saw pernah memperbolehkan nikah muth‟ah
kemudian melarangnya dan menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi
dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua
kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian diharamkannya
dalam perang khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan
Makah (tahun Authas), setelah itu nikah muth‟ah diharamkan selamalamanya,
sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya58.

58
Rusdaya Basri, Fiqh Munahakat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah….., hlm 224
52

3. Hukum Nikah Mut‟ah


Nikah mut‟ah pada awal Islam mubah, dalam hadist dijelaskan bahwa
Nabi saw., pernah mengijinkannya dalam suatu peperangan dan sahabat
dalam kondisi berat membujang (meninggalkan isteri berbulan-bulan), namun
kemudian ditetapkan secara pasti bahwa beliau melarang pernikahan mut‟ah
dan menasekh (menghapus) kebolehannya. Larangan kemudian ini melalui
periwayatan yang mencapai tingkat mutawattir. Beliau melarang nikah
mut‟ah ini terjadi sampai enam kali dalam enam peristiwa untuk memperkuat
penghapusan tersebut59.

Nikah mut‟ah telah lama menjadi perdebatan di kalangan kaum sunni


dan syi‟ah. Menurut orang-orang bermadzhab syi‟ah, hadis tentang
dibolehkannya nikah mut‟ah masih tetap relevan dan masih tetap bisa dipakai
sampai sekarang. Menurut orang-orang Syi‟ah, dasar hukum selanjutnya
terkait nikah mut‟ah ini juga terdapat dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 24:

‫ـُك َّما َو َرا ٓ َء ٰذ ِم ُ ُْك َا ْن ثَ ْحذَـغ ُْوا ِ َب ْم َوا ِم ُ ُْك‬ ِ ّ ٰ ‫َّوا مْ ُم ْح َطًٰ ُت ِم َن ام ًِ ّ َسا ٓ ِء ِا َّْل َما َموَـ َك ْت َاًْ َما ىُ ُ ُْك ِن ٰخ َة‬
ْ ُ َ ‫اّل ػَو َ َْ ُ ُْك َو ُا ِح َّل م‬
‫ُّم ْح ِط ِي ْ َْي غَ ْ َي ُم َسا ِف ِح ْ َْي فَ َما ْاس خَ ْم َخ ْؼ ُ ُْت ِت َٖ ِمْنْ ُ َّن فَ ٰا ث ُْوُ َُّن ُا ُح ْو َرُ َُّن فَ ِرًْضَ ًة َو َْل ُحٌَا َح ػَو َ َْ ُ ُْك ِف ِْ َما حَ ٰرضَ ِْ ُ ْـُت ِت َٖ ِم ْْۢن‬
‫اّل ََك َن ػَ ِو َْ ًما َح ِك ِْ ًما‬ َ ّ ٰ ‫ت َ ْؼ ِد امْـ َف ِرًْضَ ِة ِا َّن‬
Artinya: “Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi)
perempuanperempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi
budak kalian. (Ini adalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan
bagi kalian perempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan
memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina.
Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka,
dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah
saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha
mengetahui dan maha bijaksana”.

Ulama madzhab Syi‟ah berpendapat bahwa penggalan ayat dalam


surat an-Nisa ayat 24 merujuk kepada nikah mut‟ah, yaitu akad nikah untuk
masa-masa tertentu dan syarat-syarat tertentu. Berkaitan dengan ayat tersebut,

59
Rudi Santoso, “Hukum Nikah Mut’ah Pendekatan Tekstual dan Kontektual”, Jurnal El-Izdiwaj, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2020, hlm.
45.
53

Ubay bin Ka‟ab, Ibn Abbas, Sa‟id bin Jubair, as-Suddiy dan beberapa yang
lainnya membacanya dengan menambahkan kata ‫إٰل ٔأخل مسمى‬

Orang-orang madzhab Ahlu Sunnah beranggapan bahwa hukum yang


berkaitan dengan diperbolehkannya melakukan nikah mut‟ah telah dinasakh
dan Nabi pun telah melarang kaumnya untuk melakukannya Terjadinya
perbedaan pendapat antara golongan yang melarang dan memperbolehkan
nikah mut‟ah disebabkan adanya perbedaan penetapan para ulama terhadap
riwayat-riwayat yang menghapuskan hukum kebolehannya.

Sebenarnya kapan waktu diharamkannya nikah mut‟ah tersebut?


Riwayat-riwayat tentang waktu keharaman nikah mut‟ah ada yang
menyebutkan terjadi pada saat perang Khaibar, pada saat penaklukkan Fathul
Makkah, pada saat perang tabuk, pada saat haji wada‟, pada saat umrah
qadha‟, dan ada juga yang mengatakan pada saat tahun authas. Imam an-
Nawawi menyatakan bahwa nikah mut‟ah dihalalkan sebelum perang
Khaibar, kemudian pada peperangan tersebut diharamkan, kemudian
dihalalkan kembali pada saat penaklukkan kota Mekkah yang dikenal juga
dengan tahun Authas, dan setelah tiga hari diharamkan kembali untuk selama-
lamanya.

Pendapat lain mengatakan bahwa sesungguhnya nikah mut‟ah itu


diharamkan pada tahun pengalahan Mekkah. Andaikan Nabi mengharamkan
nikah mut‟ah pada saat perang Khaibar, maka telah terjadi nasakh sebanyak
dua kali. Penghapusan hukum yang demikian tidak pernah ada dalam syari‟at
Islam. Pendapat ini beranggapan bahwa di Khaibar tidak ada perempuan-
perempuan Islam, semuanya Yahudiyah. Sedangkan ayat yang membolehkan
umat Islam menikahi wanita Kitabiyah yang terdapat dalam surat al-Maidah,
turun sesudah peristiwa itu, ayat tersebut turun sesudah haji wada‟ atau
didalam haji wada‟.

Sebagian perawi berpendapat bahwa perang Khaibar adalah masa


Nabi mengharamkan nikah mut‟ah dan memakan daging keledai kampung.
Namun, hadis itu lebih kepada hujjah „Ali kepada sahabat Ibnu „Abbas,
karena dalam kedua masalah tersebut, Ibnu „Abbas membolehkannya. Maka,
54

„Ali membantah dan menerangkan kedua-duanya telah dilarang oleh Nabi.


„Ali menerangkan bahwa daging keledai diharamkan dalam peperangan
Khaibar, namun ia tidak menerangkan diwaktu mana nikah mut‟ah
diharamkan60.

Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin al-Sarkhasi (w 490H)


mengatakan bahwa nikah Mut‟ah ini batil menurut Madzhab kami. Dari
Madzhab Maliki, Imam Ibn Rusyd (w.595H) mengatakan:Hadits-hadits yang
mengharamkan Nikah Mut‟ah mencapai peringkat Mutawatir. Sementara itu
Imam Malik bin Anas (W. 179H) mengatakan: Apabila seorang lelaki
menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil. Dari Madzhab
Syafi‟i, Imam al-Syafi‟i (w.204H) mengatakan: Nikah Mut‟ah yang dilarang
itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang
perempuan: Aku nikahi kamu selama 1 (satu) hari, 10 (sepuluh) hari atau 1
(satu) bulan. Dari Madzhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah (w.620H) dalam
kitabnya mengatakan: Nikah Mut‟ah ini adalah nikah yang batil. Ibnu
Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (w.242H) yang
menegaskan bahwa Nikah Mut‟ah adalah haram61.

Tidak ada perbedaan pendapat fuqaha dari kalangan ahlu sunnah dan
syi‟ah tentang kebolehan nikah mut‟ah pada masa Rasulullah saw., namun
kemudian nikah mut‟ah menjadi perbedaan (ikhtilaf) dikalangan mereka.
Menurut fuqaha ahlu sunnah bahwa nikah mut‟ah hukumnya haram di era
setelah nabi sampai sekarang bahkan sampai hari kiamat, sebagaimana
rasulullah telah mengharamkannya sampai enam kali dalam peristiwa yang
berbeda. Empat mazhab sepakat bahwa nikah mut‟ah adalah batal.

Sedangkan kalangan fuqaha syi‟ah Imamiyah membolehkan nikah


mut‟ah dengan alasan bahwa tidak ada satu ayat pun yang melarang nikah
mut‟ah dan dihalalkannya bagi laki-laki baik dalam keadaan safar

60
M. Luthfi Habibi, “Kajian Hadis Tentang Larangan Melakukan Nikah Mut’ah (Studi Analisis Sanad dan Matan Hadis), Jurnal Studi
Hadis Nusantara, Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hlm. 4.
61
Rusdaya Basri, Fiqh Munahakat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah….., hlm. 231.
55

(bepergian), maupun muqim (menetap), dan hukum nikah mut‟ah sampai saat
ini masih dibolehkan62.

4. Dalil-dalil Tentang Keharaman Nikah Mut‟ah


a. Dalil dari al-Qur‟an
Al-Qur‟an surat al-Ma‟arij ayat 29-31:

Artinya : “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya (29).


Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (30).
Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas (31)”.

Allah SWT. menjelaskan bahwa sebab disahkannya


berhubungan badan hanya melalui dua cara, yaitu kepada wanita yang
telah dinikahinya secara shahih (sah) dan kepada para budak.
Sedangkan wanita mut‟ah bukan termasuk kedalam keduanya.

Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 25:

Artinya: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak


cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budakbudak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari
sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu adalah bagi orang-orang

62
Rudi Santoso, Hukum Nikah Mut’ah Pendekatan Tekstual....., hlm. 52.
56

yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di


antara kamu dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Pada ayat tersebut terdapat dua alasan. Pertama, jika nikah


mut‟ah diperbolehkan, maka tidak lagi ada alasan untuk melakukannya
bagi orang-orang yang kesulitan dalam menjaga diri mereka atau
keperluan menikahi budak-budak mereka atau bersabar untuk tidak
menikah. Yang kedua adalah, ayat tersebut merupakan larangan
terhadap nikah mut‟ah karena Allah SWT. menjelaskan dalam firman-
Nya: ”Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”.
Sedangkan didalam nikah mut‟ah tidak mensyaratkan adanya izin dari
orang tua atau wali.

Al-Qur‟an surat al-Mukminun ayat 5-7:

Artinya: ”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5). kecuali


terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka
Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa (6). Barangsiapa
mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorang yang
melampaui batas (7)”.

b. Dalil dari Hadis

‫اّل كَدْ َح َّر َم َذ ِ َِل ا َٰل ً َ ْو ِم امْ ِلَِا َم ِة‬


َ َّ ‫الاس ِخ ْمخَاعِ ِم ْن ام ًِ ّ َساء َوا َّن‬ ْ ‫يت ٔأ ِذه ُْت مَ ُ ُْك ِِف‬ ُ ‫ََّي َأُّيُّ َا اميَّ ُاس ا ِ ّّن كَدْ ُن‬
ّ ّ ّ
ُ َ ‫َش ٍء فَوْ َُ ْحلِ َسخ‬
‫ِِِل َوْل ثَبَِ ُُذوا ِم َّما َأثَُْ ُذ ُموُ َُّن شَ ُْئًا‬ ْ َ ‫فَ َم ْن ََك َن ِغ ْيدَ ٍُ ِمْنْ ُ َّن‬
Artinya : “Hai Manusia, sungguh aku telah membolehkan kepadamu
nikah mut’ah dengan para wanita dan sungguh Allah telah
mengharamkan yang demikian itu sampai hari kiamat. Maka
barangsiapa yang ada punya wanita, maka hendaklah ikuti jalanNya,
dan jangan mengambil dari mahar yang telah kamu berikan
kepadanya”.

Berdasarkan hadis tersebut, pada mulanya Nabi membolehkan


nikah mut‟ah namun kemudian Nabi mengharamkannya. Oleh karena
57

itu pembolehan nikah mut‟ah telah mansukh (telah dilarang/


diharamkan).

c. Ijma‟ Para Ulama

Imam Thahawi mengatakan bahwa „Umar telah melarang


melakukan nikah mut‟ah dihadapan sahabat-sahabat Nabi yang lainnya.
Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Tentu itu
menunjukkan bahwa sahabat-sahabat Nabi telah setuju dan menuruti
apa yang telah dilarang oleh Nabi. Dan juga bukti ijma‟ mereka bahwa
hukum melakukan nikah mut‟ah telah dihapus.

Qadhi „Iyadh mengatakan bahwa telah terjadi ijma‟ dari seluruh


ulama atas pengharaman nikah mut‟ah, kecuali dari golongan Rafidhah
(kelompok Syi‟ah). Juga berkata al-Khattabi bahwasanya pengharaman
nikah mut‟ah nyaris menjadi sebuah ijma‟ para ulama, kecuali dari
sebagian Syi‟ah63.

E. Nikah Sirri

1. Pengertian Nikah Siri

Secara etimologi, Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirrun yang
artinya adalah rahasia. Namun apabila digabungkan antara kata nikah dan
kata siri maka dapat diartikan secara bahasa dengan nikah diam-diam yang
dirahasiakan yakni tidak ditampakkan. Suami-istri, wali dan saksi bersepakat
untuk merahasiakan pernikahan ini dari masyarakat. Dalam hal ini, sering
pihak lelakilah yang berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita
mengenai pernikahan yang terjadi64.

Makna nikah siri saat ini lebih diidentikkan kepada sebuah


perkawinan yang dilakukan tanpa melibatkan pejabat yang berwenang
(kehadiran negara). Terhadap praktek semacam ini dikenal di masyarakat
dengan sebutan perkawinan di bawah tangan. Artinya perkawinan yang

63
M. Luthfi Habibi, Kajian Hadis Tentang Larangan Melakukan Nikah…., hlm.6.
64
Mahmud Hadi Riyanto, Nikah Siri: Apa Sih Hukumnya?, (Bandung: Hakim PA Soreang), hlm. 3&8.
58

dilakukan tersebut tidak dicatatkan, tidak diketahui negara, dan tidak dapat
dikatakan sebagai perbuatan hukum dimata hukum Indonesia65.

2. Kedudukan Nikah Siri dalam Islam

Sesungguhnya tidak ada istilah nikah siri dalam perspektif Islam,


karena semua perbuatan perkawinan yang telah memenuhi rukun dan
syaratnya di mata Islam itu adalah sah. Yang menimbulkan kata dalam nikah
siri dalam perspektif Islam lebih kepada untuk membandingkan dengan kata
nikah siri dalam persepktif undang-undang. Nikah di dalam agama Islam itu
hanya memperhatikan rukun dan syarat:

b. Adanya calon mempelai pria dan wanita;

c. Adanya wali dari mempelai wanita;

d. Ada dua orang saksi dari masing-masing pihak;

e. Adanya ijab dan qobul.

Sepanjang rukun dan syarat diatas terpenuhi, maka pernikahan itu


sudah sah berdasarkan agama Islam. Oleh karena itu, kalau ada nikah siri
yang tidak memenuhi rukun dan syarat di atas, maka itu tidak dapat dikatakan
telah terjadi pernikahan yang sah.

Pada perspektif Islam, nikah siri diartikan sebagai nikah yang


dirahasiakan. Hal ini dapat saja terjadi karena ada beberapa pertimbangan-
pertimbangan yang tidak mau diketahui oleh orang lain. Tentunya perbuatan
ini memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Ada yang
mengartikan bahwa nikah siri terjadi bila pernikahan itu tanpa adanya wali.
Artinya pernikahan yang dilangsungkan itu secara sembunyi-sembunyi
(rahasia) karena tidak diketahui oleh wali si perempuan. Karena bila diketahui
oleh wali maka bisa saja tidak disetujui oleh wali. Nikah semacam ini jelas
tidak sah dari sisi rukun dan syaratnya, praktek semacam ini hanya

65
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogyakarta:, 2017), hlm. 164-165.
59

mengedepankan nafsu syahwat semata hingga tidak mengindahkan syariat


Islam.

3. Kedudukan Nikah Siri dalam Negara

Dari perspektif undang-undang yang dimaksud dengan nikah siri


adalah nikah di bawah tangan. Yaitu nikah yang dilakukan tanpa
mengindahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dimana
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 2 ayat (2) ini mempunyai arti bahwa orang yang hendak menikah
hendaknya memberitahukan kepada negara. Seperti detail pemberitahuannya
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 3 :

a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan


memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat
perkawinan dilangsungkan;

b. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-


kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan;

c. Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat (2) disebabkan


sesuatu alasan yang penting diberikan oleh camat (atas nama)
bupati kepala daerah.

Dari ketentuan pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat


diketahui bahwa negara melarang suatu perkawinan yang tanpa adanya
pelibatan negara yang berwenang. Oleh karena itu perkawinan dibawah
tangan tidak mempunyai akibat hukum, akibatnya salah satu pihak yang
dirugikan baik suami atau istri di kemudian hari tidak bisa mendapatkan
perlindungan hukum. Sebuah perkawinan yang tidak mendapatkan
perlindungan hukum dari negara, maka salah satu atau ada pihak yang nanti
ke depannya berpotensi menjadi korban66.

66
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan..., hlm. 166-167
60

4. Pendapat Para Ulama tentang Nikah Siri

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama


memandang pernikahan seperti ini sah akan tetapi hukumnya adalah makruh.
Sisi kemakruhannya adalah disebabkan adanya perintah Rasulullah saw.,
untuk melakukan mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Hal itu
dilakukan untuk menghilangkan unsur yang berpotensial mengundang
keragu-raguan serta tuduhan tidak benar pada keduanya. Sebagaimana
sabdanya:

‫ َاػْ ِو ُي ْوا َُ َذا ام ِيّ َاك َح َو ْاح َؼوُ ْو ٍُ ِِف امْ َم َساخِ ِد‬:‫اّل ػَو َ َْ َِ َو َس َّ ََّل‬
ُ َّ ‫اّل َغْنْ َا كَامَ ْت كَا َل َر ُس ْو ُل َّاّل َض َّيل‬
ُ َّ ‫يض‬ َ ِ ‫َغ ْن ػَائِشَ َة َر‬
‫ْضت ُ ْوا ػَو َ َْ َِ ِبلُّ ت ُ ْوب‬
ِ ْ ‫َو ا‬
Artinya: ”Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
tampakkanlah pernikahan ini dan laksanakan di masjid-masjid serta pukullah
terbang atasnya.” (HR al-Tirmidzi)

Sedangkan kalangan ulama Malikiyyah menilai pernikahan yang


seperti ini tidak sah, karena maksud dari perintah untuk menyelenggarakan
pernikahan adalah pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sahnya pernikahan.

Pendapat yang rajih (kuat), nikah ini sah, karena syarat-syarat dan
rukunnya telah terpenuhi, walaupun tidak diberitahukan kepada khalayak.
Sebab kehadiran wali dan dua saksi telah merubah sifat kerahasiaan menjadi
sesuatu yang diketahui oleh umum. Semakin banyak yang mengetahui, maka
semakin baik. Oleh karena itu, dimakruhkan merahasiakan pernikahan agar
supaya pasangan itu tidak mendapatkan gunjingan dan tuduhan tidak sedap,
ataupun persangkaan-persangkaan yang buruk dari orang lain67.

5. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Nikah Siri

Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah siri


adalah sebagai berikut:

a. Faktor ekonomi;

b. Faktor belum cukup umur;

67
Mahmud Hadi Riyanto, Nikah Siri..., hlm. 8.
61

c. Faktor ikatan dinas/kerja atau sekolah;

d. Faktor adanya anggapan bahwa nikah siri sah menurut agama,


pencatatan itu hanya tertib administrasi;

e. Hamil diluar nikah, sebagai efek pergaulan bebas;

f. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang


pencatatan pernikahan;

g. Sulitnya aturan berpoligami.

6. Dampak Nikah Siri


a. Dampak positif
1) Menghindari zina;

2) Apabila suami dan istri bekerja pada instansi yang melarang


orang beristri bersuami maka nikah siri adalah solusi
alternatif.

b. Dampak negatif
1) Hukum
a) Tidak ada perlindungan hukum bagi wanita;

b) Tidak ada kepastian hukum terhadap status anak;

c) Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam


harta waris.

2) Ekonomi

a) Wanita yang diperistri tidak mempunyai kekuatan


hukum untuk menuntut besarnya ekonomi yang
diperlukan;

b) Terjadi kesewenangan dari pihak suami dalam


memberikan nafkah;
62

c) Tingkat kesejahteraan kehidupan keluarga rendah;

3) Pendidikan

a) Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak


terjamin pendidikannya;

b) Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak


memiliki peluang untuk meningkatkan prestasinya.

Pertanyaan !!!

1. Bagaimana hukumnya istri mencarikan istri kedua untuk suaminya?


2. Apa yang dimaksud kedaruratan yang diperbolehkan berpoligami?
3. kenapa kelompok syiah membolehkan nikah mutah?
BAB IV

Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Islam dan Negara

A. Pengertian Pernikahan

Pernikahan adalah terjemahan dari kata nakaha (‫ )ىكح‬dan zawwaj (‫)زوج‬

Kedua-dua kata inilah yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur‟an untuk menunjuk
pernikahan. Istilah atau kata nakaha berarti berhimpun, sedangkan istilah zawwaja
berarti berpasangan.

Dengan kedua istilah yang digunakan tersebut untuk menunjuk pernikahan


dapat dikatakan bahwa pernikahan menjadikan seseorang berhimpun mempunyai
pasangan. Suami adalah pasangan isteri, demikian sebaliknya, isteri adalah
pasangan suami. Oleh karena itu, tanpa pasangan hidup, dunia tiada berarti.

Pengertian pernikahan secara istilah adalah ikatan lahir dan bathin antara
dua insan sebagai pasangan untuk menciptakan keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan sejahtera, sebagaimana yang diisyaratkan dalam surah al-Rum (30): 21.

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran-Nya ialah Dia


menciptakan pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebasaran Allah)
bagi kaum yang berfikir”.

Ada juga yang mengatakan bahwa pernikahan adalah perjanjian antara


lelaki dan perempuan untuk bersuami isteri (secara resmi) dengan syarat adanya
dua orang saksi, dengan demikian kalau tidak ada saksi maka pernikahannya tidak
sah.

Dari sudut pandang kemasyarakatan, pernikahan adalah penyatuan antara


dua keluarga, yaitu pihak keluarga lelaki dengan keluarga pihak perempuan
menyatu dan terbentuk menjadi satu keluarga besar yang sebelumnya tidak saling
kenal mengenal kemudian menjadi kenal dan menjadi silaturrahmi yang kuat.
64

Karena itu, dari sudut pandang sosiologi, pernikahan yang pada mulanya
perpaduan antara dua insan untuk membina rumah tangga, dapat pula menjadi
pemersatu dua keluarga menjadi satu keluarga yang utuh dan menyatu.

Dengan demikian, dapat dilihat betapa pentingnya pernikahan dalam Islam,


karena makna pernikahan adalah untuk membentuk keluarga dan masyarakat
muslim secara berterusan atau berlanjut terus dari satu generasi ke generasi
selanjutnya dalam rangka melaksanakan Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Oleh
karena itu, sebelum dilaksanakan kajian terhadap pernikahan beda agama perlu
diketahui terlebih dahulu tujuan pernikahan.

B. Tujuan Pernikahan dalam Al-Qur’an

Dalam al-Qur‟an terdapat sejumlah ayat yang membahas mengenai tujuan


pernikahan, kalau dikelompokkan terbagi menjadi lima bagian, yaitu: memperoleh
ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang, meneruskan generasi Islam,
pemenuhan hasrat nafsu syahwat atau seksual, menjaga kehormatan, dan menjadi
ibadah.

1. Memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang.

Seluruh tujuan pernikahan tersebut di atas saling terkait antara yang


satu dengan yang lainnya, artinya tujuan pertama ini dapat tercapai secara
sempurna kalau tujuan-tujuan lain dapat terpenuhi dengan baik. Dengan
perkataan lain, tujuan pertama adalah sebagai pelengkap untuk memenuhi
tujuan lainnya. Kalau sudah dapat zuriat keturunan (anak) terpenuhi
kebutuhan seks suami isteri dan dapat menjaga kehormatan, serta pernikahan
dapat dijadikan ibadah, insya Allah Ta‟ala tercapai pula ketenangan,
ketenteraman, cinta dan kebahagiaan dalam rumah tangga.

Tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh ketenangan bathin,


ketenteraman jiwa, kebahagiaan hati, cinta dan kasih sayang, setelah
sebelumnya merasa gelisah, goncang dan jiwa bergejolak. Tetapi untuk
mencapai tujuan ini, haruslah terlebih dahulu dapat dipenuhi keperluan
lahiriyah, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal yang layak. Dengan
65

demikian, apabila pelayanan yang bersifat lahiriyah sudah terpenuhi maka


dicapai dan diperoleh lah ketenteraman jiwa.

2. Meneruskan Keturunan atau Generasi Islam

Tujuan kedua pernikahan dalam al-Qur‟an adalah untuk


mengembangbiakkan generasi umat manusia, khususnya umat Islam, di bumi
untuk pergantian generasi, sekaligus inilah makna pernikahan itu, yaitu
membentuk keluarga dan masyarakat muslim secara berkasusinambungan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam rangka melaksanakan
Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. dalam surah an-Nisa‟ (4): 1.

Artinya: “Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan Allah menciptakan
pasangannya (Hawa). Dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan
lelaki dan perempuan yang banyak ”.

Ayat al-Qur‟an di atas menunjukkan betapa pentingnya meneruskan


keturunan atau generasi dalam pernikahan. Namun demikian dengan
pernikahan diharapkan bukan hanya meneruskan keturunan atau generasi
secara umum saja, tetapi keturunan atau generasi Islam yang berkualitas.
Sebab pada ayat lain Allah Ta‟ala memperingatkan kita agar tidak
meninggalkan generasi yang lemah di kemudian hari. Dengan demikian, salah
satu tujuan dari pernikahan dalam al-Qur‟an adalah untuk melahirkan umat
yang banyak. Disebalik umat yang banyak itu, supaya mereka kelak menjadi
pejuang yang dapat menyiarkan atau menegakkan agama Islam.

3. Pemenuhan Hasrat Nafsu Syahwat atau Seksual Dalam surah al-Baqarah


(2): 223

Artinya: “Isteri-isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah


ladangmu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang
baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah , dan ketahuilah bahwa kamu
66

(kelak) akan menemuiNya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang


yang beriman”.

Dalam surah al Mukminun (23): 5-7

Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap


isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari dibalik itu
(seperti zina, homoseks dan lesbian) maka mereka itulah orang-orang yang
melampui batas”.

Ayat al-Qur‟an di atas yang secara langsung membicarakan


pernikahan untuk pemenuhan hasrat nafsu syahwat atau seksual, pada surah
al- Baqarah (20): 223. Sedangkan surah al-Mukminun (23): 5-7, lebih
menekankan pada usaha menjaga kemaluan atau kehormatan. kedua-dua ayat
di atas dapat juga dijadikan dasar untuk tujuan pernikahan untuk menjaga
kehormatan.

Adapun konteks surah al-Baqarah (2): 223, yang menggambarkan


isteri tempat bercocok-tanam karena kondisi Arab yang sangat jarang
ditemukan kebun untuk bercocok-tanam. Sebab Arab dikenal sebagai daerah
tandus yang kurang baik digunakan bercocok-tanam. Sebab itu, majaz al-
Qur‟an menggunakan kebun ditamsilkan untuk isteri dimaksudkan agar isteri
dijaga, dirawat, diperhatikan dengan baik dan penuh pengertian agar dia
senantiasa terawat baik, cantik dan siap untuk ditanami. Sama seperti kebun
perlu dirawat, disirami dan siap untuk ditanami. Dari segi sebab turunnya ayat
ini adalah untuk menolak pandangan atau anggapan orang Yahudi Madinah
ketika itu, bahwa anak yang lahir dari suami yang menggauli isterinya dari
belakang ke farajnya bermata juling. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa
Umar datang menghadap Rasulullah s.a.w. dan berkata: “Celaka saya”. Nabi
bertanya: “Apa yang menyebabkanmu celaka?”. Umar menjawab “Tadi
malam saya berjima‟ dengan isteri saya dari belakang. Nabi terdiam, dan
turunlah ayat ini sebagai jawabannya.
67

4. Menjaga Kehormatan

Kehormatan yang dimaksud dalam bagian ini adalah kehormatan diri


sendiri, anak, dan keluarga. Tujuan ini telah ditulis ketika mengutarakan
(membincangkan) tujuan pemenuhan hasrat nafsu syahwat (seksual).

Dalam sûrah an-Nisa‟ (4): 24

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami,


kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki
sebagai ketentuan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain
(perempuanperempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan
hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan
yang kamu dapatkan dari mereka berilah maskawinnya kepada mereka
sebagai suatu kewajiban”.

Dihalalkan bagi suami mencari isteri-isteri dengan hartanya untuk


dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati,
berilah mereka maharnya. Pernikahan seperti ini bertujuan untuk menjaga
kehormatan, di samping memenuhi hasrat nafsu syahwat. Memang antara
keduanya tidak dapat dipisahkan.

Kalau hanya untuk memenuhi hasrat nafsu syahwat atau seksual saja,
seseorang lelaki atau perempuan dapat saja mencari pasangan kemudian
melakukan hubungan badan untuk memenuhi hasrat nafsu syahwat atau
seksualnya. Tetapi dengan melakukan hal itu di luar pernikahan dia
kehilangan kehormatan, sama halnya dengan wanita yang melacurkan diri.
Tetapi dengan pernikahan keduanya dapat terpenuhi, yaitu hasrat nafsu
syahwat atau seksualnya terpenuhi dan kehormatannya terjaga.

5. Menjadi Ibadah

Secara umum semua aktiviti yang dilakukan orang beriman dapat


dipastikan adalah untuk beribadah kepada Allah Ta‟ala, tidak terkecuali di
dalamnya pernikahan. Mulai dari memberikan nafkah bathin kepada isteri
(bersetubuh), nafkah lahir (belanja), mengasuh anak dan mendidiknya
68

menjadi generasi Islam yang berilmu dan berkualitas, menyiapkan tempat


tinggal yang layak, bekerja mencari nafkah untuk keluarga, semuanya adalah
bertujuan untuk dapat menjadi ibadah kepada Allah Ta‟ala. Tujuan
memperoleh kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah atau
ketenangan, cinta dan kasih sayang, tidak dapat dipisahkan dari tujuan
meneruskan generasi Islam, tujuan pemenuhan hasrat nafsu syahwat atau
seksual, tujuan memelihara dan menjaga kehormatan dan tujuan beribadah
kepada Allah Ta‟ala. Karena mulianya tujuan pernikahan itu, maka Islam
membenci perceraian (perpisahan). Makanya dalam alQur‟an disebutkan
kalau pun ada kebencian di antara suami dan isteri dalam rumah tangga,
mereka dianjurkan bahkan diharuskan kepada mereka tetap bersabar68.

C. Pernikahan Beda Agama dalam Al-Qur’an

Nikah beda agama secara umum didefenisikan sebagai sebuah ikatan


pernikahan yang dilaksanakan seorang laki-laki dan seorang wanita/perempuan
yang secara keyakinan memiliki perbedaan, namun atas dasar cinta yang terdapat
oleh kedua pasangan tersebut, sehingga mereka sepakat untuk bersama menjalin
bahtera rumah tangga. Pelaksanaan perkawinan seperti ini banyak terjadi khususnya
di Indonesia terutama bagi beberapa publik figur yang banyak kita lihat diberbagai
media69.

1. Pernikahan Orang Islam dengan Orang Musyrik

Mengenai larangan orang muslim menikah dengan orang musyrik


dalam surah al-Baqarah (2): 221.

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungghnya budak yang mukmin lebih baik dari oraang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
68
Syamruddin Nasution, Pernikahan Beda Agama dalam Al-Qur’an, (Riau: 2011), hlm. 266.
69
Muhammad Ilham, Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum Nasional, Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 2, No.
1, (Riau: 2020), h. 49.
69

sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin- Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya”.

Ada dua riwayat yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas.


Pertama, sebagai jawaban atas permohonan Ibnu Abi Murthid al- Ghaznawi
yang meminta izin kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk menikah dengan
seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang. Lantaran itu turunlah
ayat, Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka
beriman.

Kedua, berkenaan dengan Abdullah bin Rawah}ah yang mempunyai


seorang hamba sahaya yang hitam. Pada suatu hari dia marah kepadanya
sampai menamparnya, kemudian dia menyesal. Atas perbuatan itu dia
menghadap Nabi Muhammad s.a.w. untuk menceritakan hal tersebut dan
menyatakan; Saya memerdekakannya dan menikahinya, dan dia
melaksanakan janjinya itu. Ketika itu banyak orang yang mencela dan
mengejeknya. Ayat di atas turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dan
sesungguhnya seorang hamba wanita yang beriman, lebih baik dari wanita
(merdeka) yang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Untuk menegaskan
bahwa menikah dengan seorang hamba sahaya muslimah lebih baik dari
menikah dengan wanita musyrik. Demikian sebaliknya, Dan janganlah kamu
nikahi lelaki musyrik sehingga mereka beriman, Dan sesungguhnya budak
lelaki beriman lebih baik dari seorang lelaki musyrik walaupun kamu tertarik
padanya.

Dalam mencari pasangan hidup berumah tangga harus lebih


mendahulukan pertimbangan keyakinan, yaitu satu aqidah dari pertimbangan
lainnya. Karena kecantikan dan ketampanan keduanya bersifat relatif, dan
akan pudar. Harta mudah didapat dan mudah pula lenyap. Kebangsawanan
pun bersifat sementara bahkan lenyap seketika. Oleh karena itu, pondasi yang
kokoh dalam memilih pasangan hidup adalah iman kepada Allah Ta‟ala Yang
Maha Kaya dan Maha Bijaksana. Itu sebabnya, menurut M. Quraish Shihab,
wajar jika pesan pertama kepada yang bermaksud menikah adalah janganlah
kamu wahai lelaki- lelaki muslim menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman kepada Allah Ta‟ala Tuhan Yang Maha Esa. dan beriman
70

pula kepada Nabi Muhammad s.a.w. Sesungguhnya wanita muslimat yang


berstatus rendah dalam pandangan masyarakat, lebih baik dari wanita
musyrik walaupun ia cantik, kaya dan bangsawan.

Sebalik dari itu, janganlah kamu wahai para wali menikahkan wanita-
wanita mukminat dengan orang orang musyrik sebelum mereka beriman yang
benar kepada Allah Ta‟ala dan Nabi Muhammad s.a.w. Biasanya lelaki
tertarik kepada wanita karena cantiknya. Disebalik itu, wanita tertarik kepada
lelaki, karena kayanya. Tetapi keyakinan harus lebih utama dari kecantikan
dan kekayaan.

Larangan menikahkan wanita-wanita muslimat dengan orang-orang


musyrik, bukan berarti ada izin untuk lelaki Ahl al-Kitab menikahi wanita
muslimat. Larangan tersebut dalam ayat di atas berlanjut hingga mereka
beriman, sedang Ahl al-Kitab tidak dinilai beriman. Walaupun mayoritas
ulama tidak memasukkan Ahl alKitab dalam kelompok orang musyrik, tetapi
mereka dimasukkan dalam kelompok orang kafir. sedangkan dalam ayat lain
dipahami bahwa wanita-wanita muslimat dilarang untuk dinikahkan dengan
lelaki kafir, termasuk lelaki kafir Ahl al-Kitab. Sebagaimana secara tegas
disebutkan Allah Ta‟ala dalam surah al- Mumtah}anah (60): 10.

Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikat baik dari


bangsa Arab maupun bangsa bukan Arab tidak boleh dinikahi lelaki muslim
atau musyrik lelaki juga tidak boleh dinikahi wanita muslimat, kecuali Ahl al-
Kitab, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Hindu, Budha, Kong
Hu Cu, Majusi, karena pemeluk agama selain Islam dan Ahl al-Kitab
termasuk kelompok musyrik.

Oleh sebab itu perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenarnya yang


disebut al-Qur‟an dengan katagori orang musyrik yang haram dinikahi oleh
orang Islam. Orang musyrik itu adalah, (1) mempersekutukan Allah Ta‟ala,
(2) tidak mempunyai atau mempercayai salah satu dari kitabkitab samawi,
baik yang masih asli, maupun yang telah terdapat penyimpangan, dan (3)
tidak seorang Nabi pun yang mereka percayai. Adapun Ahl al- Kitab adalah
orang yang mempercayai salah seorang Nabi dari Nabi-nabi Allah Ta‟ala dan
percaya kepada salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, walau dalam kitab
71

tersebut sudah terjadi penyimpangan, baik pada bidang akidah maupun


amalan. Sedangkan yang disebut orang muslim adalah orang yang mengakui
dan mempercayai risalah dan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w., baik mereka
lahir dalam Islam ataupun yang kemudian memeluk Islam.

2. Pernikahan Orang Islam dengan Orang Kafir

Pernikahan beda agama dalam al-Qur‟an adalah ayat yang melarang


wanitawanita muslimat menikah dengan lelaki kafir, dan lelakilelaki muslim
menikah dengan wanita-wanita kafir, yaitu dalam surah al- Mumtahanah (60):
10.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah


kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih menegtahui tentang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-
orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami)
mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir,
dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah
mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah
yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha
bijaksana”.

Ada riwayat yang menjelaskan bahwa setelah Rasulullah mengadakan


Perjanjian Hudaibiyah dengan kafir Quraish musyrik. Di dalam naskah
perjanjian tersebut, antara lain dijelaskan bahwa Rasulullah harus
mengembalikan wanita-wanita mukminat yang hijrah dari Makkah ke
Madinah. Maka ayat tersebut di atas turun yang memerintahkan kepada
Rasulullah agar wanita-wanita mukminat itu tidak boleh dikembalikan ke
suami-suami mereka yang masih kafir di Makkah.
72

Dalam riwayat lain ada dikemukakan bahwa Saidah, isteri Shaifi bin
al- Rahib hijrah dari Makkah ke Madinah dan meninggalkan suaminya yang
masih kafir di Makkah. Ia hijrah setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kaum kafir
Quraish menuntut pengembaliannya. Dengan turunnya ayat di atas, dia tidak
dikembalikan Nabi.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa setelah penandatanganan


Perjanjian Hudaibiyah, Ummu Kaltsum binti „Uqbah berhijrah ke Madinah.
Kedua saudaranya yang bernama „Imarah dan Al-Walid bin Uqbah
menyusulnya ke Madinah dan mereka meminta kepada Rasulullah agar
saudara mereka itu diserahkan kepada mereka. Dengan turunnya ayat ini
Rasulullah membatalkan Perjanjian Hudaibiyah, khususnya mengenai wanita-
wanita muslimat yang harus dikembalikan kepada suami-suami mereka kaum
kafir Quraish.

Berdasarkan tiga riwayat tersebut di atas dapat diketahui bahwa


turunnya surah al-Mumtahanah (60): 10 berkenaan dengan larangan wanita-
wanita muslimat yang ikut hijrah ke Madinah dikembalikan kepada suami-
suami mereka yang masih kafir di Makkah. Maknanya, ayat ini turun untuk
melarang terjadinya pernikahan antara wanita orang Islam dengan lelaki kafir
Quraish. Kemudian Allah Ta‟ala memerintahkan kepada suami untuk
menceraikan isteri-isteri mereka yang masih kafir, sebagaimana yang
disebutkan dalam surah alMumtahanah (60): 10.

Karena ayat ini menyuruh suami memutuskan tali kasih sayang


dengan isteri-isteri mereka yang masih kafir di Makkah, maka Umar bin
Khaththab menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Quraibah binti
Abu Umaiyah dan Ummi Kaltsum binti “Amr al-Khuza‟iyah. Kemudian
Quraibah binti Abu Umaiyah dikawini oleh Muawiyah bin Abi Sofyan,
(waktu itu masih musyrik). Sedangkan Ummi Kaltsum binti “Amr al-
Khuza‟iyah, dikawini oleh Abu Jahm bin Hudzaifah.

Berdasarkan tindakan beberapa sahabat tersebut di atas, yang


menceraikan isteri-isteri mereka yang masih kafir di Makkah seperti Umar
bin Khaththab dan Thalhah bin „Ubaidillah karena adanya suruhan
menceraikan isteri yang masih kafir atau larangan lelaki orang Islam menikah
73

dengan wanita-wanita kafir musyrikat. Dengan sendirinya ayat tersebut


adalah ayat Makkiyah yang membicarakan hubungan kaum muslimin dengan
kaum kafir Quraish. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa isi kandungan
surah al-Mumtah}anah (60): 10 tersebut adalah larangan bagi orang Islam
menikah dengan orang kafir.

3. Pernikahan Orang Islam dengan Ahl Al-Kitab.

Pernikahan beda agama dalam al-Qur‟an adalah ayat yang


memperbolehkan lelaki-lelaki muslim menikah dengan wanita-wanita Ahl al-
Kitab, yaitu dalam surah al-Maidah, 5: 5, Allah Ta‟ala berfirman,

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan


(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi
Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalnya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi”.

Menurut Hamka ayat ini menjelaskan bahwa orang mukmin


dihalalkan kawin dengan wanita Ahl al-Kitab, asal telah dibayar maharnya.
Yaitu wanita-wanita Yahudi dan Nashrani yang dikawini tidak usah terlebih
dahulu masuk Islam; sebab dalam agama tidak ada paksaan. Tetapi kebolehan
yang diberikan ini menurut Hamka, adalah kepada lelaki yang kuat iman yang
di dalam dirinya telah ada sinar Tauhid dan tidak ditakuti dia goyah dari
agamanya karena berlainan agama dengan isterinya. Dia tetap menjadi suami
yang memimpin dalam rumah tangganya. Memberikan contoh yang baik
dalam ketaatan kepada Allah Ta‟ala. Sebagai suami menjadi teladan bagi
keluarganya dan keluarga isterinya. Sebaliknya, kepada lelaki yang lemah
iman, keizinan ini tidak diberikan, sebab di zaman penjajahan Belanda ada
lelaki Islam yang tertarik kawin dengan wanita Kristen, berakibat kucar-kacir
agamanya, sengsara di akhir hidupnya.
74

Catatan khusus bagi orang beriman yang telah diberikan izin


bertoleransi kawin dengan wanita-wanita Ahl al-Kitab tetapi imannya goyah
dan lebih tertarik kepada agama isterinya, sehingga dia tinggalkan agamanya
yang asli dan terseret keluar dari Islam, niscaya gugurlah semua amalannya
dan hidupnya menjadi orang kafir dan putus hubungannya dengan masyarakat
Islam.

Tetapi dalam konteks dakwah, ada hikmah dibalik dibolehankannya


lelaki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitab, yaitu karena pada
hakikatnya antara agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan agama
Islam, sebab sama-sama agama wahyu. Maka kalau seorang lelaki Muslim
yang baik menikah dengan wanita Yahudi dan Kristen yang baik dan ta‟at
atau patuh pada ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kemauannya sendiri,
masuk Islam karena ia dapat merasakan dan menyaksikan sendiri kebaikan
dan kasusempurnaan ajaran Islam, setelah hidup di tengah-tengah keluarga
Islam.

Sebab agama Islam mempunyai pedoman hidup yang lengkap, mudah,


demokratis dan menghargai kedudukan wanita Islam dalam keluarga,
masyarakat dan Negara, toleransi terhadap agama lain yang hidup di tengah
masyarakat dan mengharagai kebebasan beragama. Dalam hal tersebut fakta-
fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita Barat dan Timur yang menikah
dengan lelaki Muslim yang baik dan ta‟at pada ajaran agamanya, dapat
terbuka hatinya, dengan kasusadaran sendiri, ia masuk agama Islam.

Selanjutnya, mayoritas ulama Indonesia, baik zaman dahulu maupun


sekarang dan Organisasi Masyarakat Islam, seperti NU (Nahdlatul Ulama)
Muhammadiyah, MUI (Majelis Ulama Indonesia), berpendapat bahwa (1)
perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah dan (2) perkawinan lelaki
Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab adalah haram dan tidak sah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa mayoritas


sahabat dan ulama terdahulu membolehkan pernikahan lelaki muslim dengan
wanita Yahudi dan Kristen berdasarkan surah al-Maidah (5): 5, sunnah Nabi
dan perbuatan sahabat. Tetapi sebagian ulama melarang pernikahan antara
lelaki muslim dengan wanita Yahudi atau Kristen karena Ahl al-Kitab sama
75

kedudukannya dengan orang musyrik. Mayoritas Ulama Indonesia termasuk


dalam kelompok yang melarang lelaki muslim menikah dengan wanita Ahl
al-Kitab, hal itu haram dan tidak sah. Sama kedudukannya dengan wanita
muslimat menikah dengan lelaki Ahl alKitab haram dan tidak sah. Mengenai
wanita muslimat yang tidak dibolehkan menikah dengan lelaki bukan muslim,
ijma‟ ulama pun telah sepakat bahwa wanita Islam dilarang menikah dengan
lelaki bukan Islam, baik calon suami itu termasuk pemeluk agama yang
memiliki kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi maupun pemeluk agama yang
mempunyai sama dengan kitab suci, seperti Hindu dan Budha, atau
kepercayaan yang tidak punya kitab suci, seperti penganut Animisme dan
Politeisme dan kepercayaan lainnya.

Sekalipun tidak ada ayat yang secara tegas melarang wanita muslimat
menikah dengan lelaki muslim, menurut jumhur ulama tetap terlarang karena
beralasan dengan kaidah: “Hukum asal pada kemaluan perempuan adalah
haram kecuali ada alasan yang membolehkan”. Dengan demikian, tidak ada
nash al-Qur‟an bukan berarti boleh tetapi terlarang. Demikian pendapat
jumhur Ulama. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang membolehkan
wanita muslimat menikah dengan lelaki muslim. Dalam Undang-Undang
Peradilan Agama di Indonesia juga melarang wanita Islam menikah dengan
pria bukan Islam.

Adapun hikmah adanya larangan wanita muslimat menikah dengan


lelaki bukan muslim karena dikhawatirkan wanita muslimat itu kehilangan
kebebasan beragama dan menjalankan aktivitas keagamaannya, kemudian
terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari
hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mengikuti agama bapaknya, karena
bapaknya sebagai kepala keluarga bagi anak-anaknya melebihi ibunya.
Adapun hikmah larangan pernikahan antara agama karena antara Islam
dengan yang bukan Islam terdapat falsafah hidup yang jauh berbeda. Islam
percaya sepenuhnya kepada Allah Ta‟ala, para Nabi, kitab suci, Malaikat dan
Hari Akhirat, sedangkan bukan Muslim, pada umumnya tidak percaya pada
semua itu70.

70
Syamruddin Nasution, Pernikahan Beda Agama dalam Al-Qur’an, (Riau: 2011), hlm. 267-297
76

D. Hukum Pernikahan Menurut Negara

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan


dianggap sah apabila diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah
memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif.
Mengenai perkawinan antarorang yang beda agama apabila diteliti pasal-pasal dan
penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tidak ditemukan
ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai perkawinan antar orang yang
berbeda agama tersebut, disamping itu apabila diteliti maka hanya dapat
disimpulkan bahwa tidak ada satu pasal pun, baik secara tersurat maupun tersirat
yang melarang dilakukannya perkawinan antarorang yang berbeda agama.

Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974


memperbolehkan atau melarang perkawinan antar beda agama? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut
yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu :Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilaku-kan menurut hukum masing-masing agamanya dan keper-cayaannya.

Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan


tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing
agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama


untuk menentukan caracara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut
disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara. Jadi
apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai
telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga
ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.

Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan
77

bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.

Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa


disamping adanya larangan-larangan yang secara tegas disebutkan di dalam UU
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada
larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya. Oleh
karena di dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya
larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan
ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum
agama itu sendiri. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan
atau tidaknya perka-winan antarorang yang beda agama tergantung kepada hukum
agama itu sendiri. Pembuat undangundang agaknya menyerahkan persoalan
tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak71.

E. Pandangan Pemikiran Mazhab Tentang Nikah Beda Agama

Dalam beberapa pendapat mazhab maka perlu menjadi pandangan bagi kita
untuk membahas tentang makalah perkawinan beda agama terutama melakukan
pernikahan dengan perempuan yang dari kalangan lain (ahlul kitab), sebagai
berikut:

1. Menurut Pendangan Mazhab Hanafi

Para ulama mazhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin


mengawini perempuan ahli kitab yang berdomisili di wilayah yang sedang
berperang dengan Islam (dar al-harb). Karena mereka tidak tunduk terhadap
hukum orang-orang Islam sehingga bisa membuka pintu fitnah. Seorang
suami muslim yang kawin dengan perempuan Ahli kitab dikhawatirkan akan
patuh terhadap sikap istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknyan yang
beragama dengan selain agama Islam. Yang dimkasud ahl kitab menurut
Imam Hanafi adalah siapa saja yang mempercayai Nabi dan kitab yang
pernah diturunkan oleh Allah SWT, termaksud Nabi Ibrahim As dan Nabi
71
Muhammad Yusuf, Masail Fiqhiyah Memahami Permasalahan Kontemporer, (Jakarta: 2017), hlm. 47.
78

Musa As dengan kitab Zaburnya. Sedangkan mengawini perempuan Ahli


Kitab Dzimmi hukumnya hanya makuh, sebab mereka tunduk pada hukum
Islam. Imam Hanafi berpendapat nikah beda agama yaitu72:

a. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita non muslim


(musyrikah) hukumnya adalah haram.

b. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan


Nasrani) hukumnya mubah atau boleh. Yang dimkasud ahl kitab
menurut Imam Hanafi adalah siapa saja yang mempercayai Nabi
dan kitab yang pernah diturunkan oleh Allah SWT, termaksud Nabi
Ibrahim As dan Nabi Musa As dengan kitab Zaburnya maka wanita
tersebut boleh dinikahi.

c. Pernikahan wanita kitabiyah yang ada di dar al harbi hukumnya


makruh tahrim, karena akan menimbulkan fitnah dan bisa membuat
mafasid (kerusakan) yang besar.

d. Pernikahan wanita ahlu kitab dzimmi hukum ya makruh tanzih,


karena wanita ahl kitab dzimmi menghalalkan minuman keras dan
daging babi.

2. Menurut Pandangan Mazhab Maliki

Pendapat mazhab maliki terbagi menjadia dua, kelompok pertama


memandang bahwa mengawini perempuan ahli kitab, baik di dar al-harb
maupun dzimmiyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan yang
di dar alharb kualitasnya lebih berat. Kelompok kedua memandang tidak
makruh mutlak sebab zohir QS. Al-Maidah ayat 5 membolehkan secara
mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena digantungkan kemakruhannya dar al-
Islam (pemerintah Islam), sebab perempuan ahli kitab tetap saja boleh minum
khamar, memakan babi, dan pergi ke gereja. Padahal suaminya tidak
melakukan semua itu. Menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya boleh.
Hal ini menutup kemafsadatan, jika dikhawatirkan kemafsadatan akan

72
Az-Zailay, Tabyin Al-Haqaiq Syah Kanzu Ad-Daqaiq, (Beirut : Daar Al-Ma‟rifah, t.th), juz II, h. 109.
79

muncul dalam pernikahan beda agama, maka diharamkan. Imam Maliki


berpendapat nikah beda agama ada dua pendapat yaitu:

a. Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh baik dzimmi (wanita


non muslim yang tinggal di suatu negara yang menggunakan
hukum islam) maupun harbiyah. Namun makruh menikahi wanita
harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si istri
yang kitabiyah ini akan memengaruhi anak-anaknya dan
meninggalkan agama ayahnya maka hukumnya haram.

b. Menikah dengan kitabiyah hukumnya boleh karena menutup


kemafsadatan. Jika dikhawatirkan kemafsadatan akan muncul
dalam pernikahan beda agama, maka diharamkan.

3. Menurut Pandangan Mazhab Syafi‟i

Para fuqaha mazhab syafii memandang makruh mengawini


perempuan ahli kitab yang berdomisili di Dar Al-Islam, dan sangat
dimakruhkan (tasydid alkarahah) bagi yang berada di dar al-harb,
sebagaimana pendapat fuqaha malikiyah. Namun Imam Syafii mengatakan
ahl kitab itu dari golongan (Yahudi dan Nasrani) keturunan bangsa Israel dan
tidak termaksud bangsa lainnya sekalipun penganut agama Yahudi dan
Nasrani. Alasan Imam Syafii yaitu:

a. Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus untuk bangsa Israel bukan
bangsa lainnya.

b. Surah Al-Maidah ayat 5 menunjukan kepada dua kelompok


golongan Yahudi dan Nasarani bangsa Israel. Menurut mazhab ini
yang termaksud Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang
menganut agama tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum di utus
menjadi rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur‟an diturunkan,
tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah
Al-Qur‟an diturunkan tidak termaksud Yahudi dan Nasrani
80

kategori ahli kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min
qoblikum tersebut.

4. Menurut Pandangan Mazhab Hambali

Laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan sama sekali tidak


dimakruhkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan keumuman QS.
Al-Maidah ayat 5. Disyaratkan perempuan ahli kitab tersebut adalah
perempuan merdeka (bukan budak), karena almuhsanat yang dimaksud dalam
ayat tersebbut adalah perempuan merdeka. Imam Hambali cenderung
mendukung pendapat imam Syafii. Dalam hal ini imam Hambali tidak
membatasi ahli kitab, karena termaksud ahli kitab menganut Yahudi dan
Nasrani sejak Nabi Muhammad SAW belum diutus menjadi Rasul.

Pertanyaan !!!

1. Bagaimana cara mengetahui orang yang dimaksud sebagai ahli kitab saat ini dan
bagaimana cara membedakan dengan orang yang kafir?
2. Bagaimana hukum bagi orang yang melakukan mandi kembang dan bagaimana
hukum bagi orang yang mengamalkan sesuatu untuk memikat seseorang?
3. Bagaimana seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non muslim menikah
atau sebaliknya, menurut agama dan menurut undang-undang?
4. Apa yang dimaksud dengan kedamaian dalam pernikahan?
5. Bagaimana hukum seorang wali bagi perempuan yang ternyata bukan islam dan
bagaimana hukumnya menghadiri pesta pernikahan yang bukan agama islam?
BAB V

Jihad, Bom Bunuh Diri Dan Terorisme Dalam Pandangan Islam

A. Jihad Menurut Pandangan Islam

1. Pengertian Jihad
Secara etimologi, kata jihad bila ditelaah akar katanya dalam bahasa
Arab, berasal dari akar kata jahada-yajhadu-jahdan/juhdan yang berarti
kesungguhan (al-Taqah), kesulitan (alMasyaqqah), kelapangan (al-
Mubalaqah). Jihad berkedudukan sebagai masdar dari kata jahada diartikan
sebagai “berusaha menghabiskan segala daya kekuatan, baik berupa
perkataan maupun perbuatan.

Dari segi bahasa, secara garis besarnya jihad dapat pula diartikan
sebagai penyeruan (alDa‟wah), menyeruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah
kemungkaran, (amar ma‟ruf nahi munkar), penyerangan (gazwah),
pembunuhan (qitâl), peperangan (harb), penaklukan (siyar), menahan hawa
nafsu (jihad al-Nafs) dan lain yang semakna dengannya ataupun mendekati.

Dari pengertian di atas, jihad merupakan istilah Islami yang


mengandung pengertian luas, dapat diartikan sebagai perang, dakwah, dan
sejenisnya serta tidak tepat jika hanya diartikan dengan salah satu pengertian
saja. Dalam bahasa Indonesia perkataan yang hampir menyamai perkataan
jihad, adalah kata perjuangan karena sifatnya yang umum dan mengandung
pengertian yang luas, seluas pengertian dan keumuman makna jihad. Dari
makna umum inilah, kata jihad seringkali dipahami secara dangkal (parsial),
melenceng dari makna sesungguhnya73.

Muhammad Fuad mengatakan bahwa istilah jihad dengan berbagai


macam bentuk maknanya disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 41 kali, dari
41 istilah tersebut kebanyakan bergandengan dengan istilah fii sabilillah (di
jalan Allah). Kata jihad yang mengandung pengertian “berjuang” ditemukan

73
Farid Naya, “MENGUNGKAP MAKNA DAN TUJUAN JIHAD DALAM SYARIAT ISLAM”, Tahkim : Jurusan Hukum Keluarga Fak.
Syariah dan Ekonomi Islam, Vol. IX No. 2, (Desember 2015), h. 90 - 91
82

sejumlah 33 ayat. Ayat-ayat memberikan indikasi bahwa jihad mengandung


pengertian yang luas, yakni perjuangan secara total yang meliputi seluruh
aspek kehidupan, sekalipun tidak dapat dipungkiri adanya ayat yang
mengandung pengertian bahwa jihad yang dimaksud adalah perang fisik atau
mengangkat senjata terhadap para pembangkang atau terhadap musuh. Tetapi
ayat-ayat yang lain justru jihad dimaknai dengan perjuangan yang bersifat
universal.

Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat


Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu
menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara
yang sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang
dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan
kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan hati, memberikan
pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan
penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi.

Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh orang yang tidak mengenal
prinsip-prinsip agama Islam sebagai “perang suci” (holy war); istilah untuk
perang adalah Qital, bukan Jihad. Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan
jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa
serangan-serangan dari luar).

Pada dasarnya arti kata jihad adalah "berjuang" atau "berusaha dengan
keras", namun bukan harus berarti "perang dalam makna fisik". Jika sekarang
jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus
berarti perjuangan fisik. Jika mengartikan jihad hanya sebagai peperangan
fisik dan extern, untuk membela agama, akan sangat berbahaya, sebab akan
mudah dimanfaatkan dan rentan terhadap fitnah74.

2. Dasar Hukum Jihad


a. Al-Qur‟an

74747474
Amri Rahman, op.cit, h. 144 - 145
83

Kewajiban jihad (Perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT,


memerintahkan dalam firmannya75 :

1) Surah An-Nisa ayat 95 :

ِ ّ ٰ ِ‫امَّض ِر َو امْ ُم َجا ُِدُ ْو َن ِ ِْف َس ِخ ِْل‬


‫اّل ِ َب ْم َوا ِمِِ ْم‬ َ َّ ‫َْل ٌ َْس خَ ِوى امْلَا ِػدُ ْو َن ِم َن امْ ُم ْؤ ِم ٌِ ْ َْي غَ ْ ُي ُا ِوٰل‬
ُ ّ ٰ َ‫اّل امْ ُم ٰج ِِ ِد ٍْ َن ِ َب ْم َوا ِمِِ ْم َو َاهْ ُف ِسِِ ْم ػَ ََّل امْ ٰل ِؼ ِد ٍْ َن د ََر َخ ًة ۗ َو ُ ًّّلُك َّوػَد‬
‫اّل‬ ُ ّ ٰ ‫َو َاهْ ُف ِسِِ ْم ۗ فَضَّ َل‬
ُ ّ ٰ ‫امْ ُح ْس ٰٰن ۗ َو فَضَّ َل‬
‫اّل امْ ُم ٰج ِِ ِد ٍْ َن ػَ ََّل امْ ٰل ِؼ ِد ٍْ َن َا ْح ًرا َغ ِظ َْ ًم ۙا‬
Artinya : "Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk
(yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur
(halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-
orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-
orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan).
Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang
baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang
besar".

2) Surah Al-Ma‟idah ayat 35 :

‫اّل َو اتْخَغ ُْوْٓا ِام َ َْ َِ امْ َو ِس َْ َ ََّل َو َخا ُِدُ ْوا ِ ِْف َس ِخ ِْ ِ ِِل م َ َؼو َّ ُ ُْك ثُ ْف ِو ُح ْو َن‬
َ ّ ٰ ‫ٰ ٓ ََّيُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍْ َن ٰا َمٌُوا اث َّ ُلوا‬
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
(berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung".

3) Surah Al-Hujurat ayat 15 :

‫ِاه َّ َما امْ ُم ْؤ ِمٌُ ْو َن َّ ِاَّل ٍْ َن ٰا َمٌُ ْوا ِب ٰ ّ ِّل َو َر ُس ْو ِ ِهل ُ َّمث م َ ْم ٍَ ْرَتَ ت ُ ْوا َو َخاَُدُ ْوا ِ َب ْم َوا ِمِِ ْم َو َاهْ ُف ِسِِ ْم ِ ِْف‬
ّ ٰ ‫اّل ۗ ُاو ٰمۤى َم ُ ُُه‬
‫امط ِدكُ ْو َن‬ ِ ّ ٰ ِ‫َس ِخ ِْل‬
ّ

75
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaidi, “Ki Fatul Akhyar “ (Surabaya : Bina Iman), 2003, h. 426
84

Artinya : Sesungguhnya orang-orang mukmin yang


sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka
itulah orang-orang yang benar".

Dan sebaliknya, Allah telah mencela dan


mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang)
di jalan Allah :

4) Surah Al-Anfal ayat 15-16 :

ٍٓٗ ‫ٰ ٓ ََّيُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍْ َن ٰا َمٌُ ْوْٓا ِا َذا مَ ِل ِْ ُ ُُت َّ ِاَّل ٍْ َن َن َف ُر ْوا َز ْح ًفا فَ ََل ث َُوم ُّ ْو ُ ُُه ْ َاْلد َْب َر َو َم ْن ً ُّ َو ِم ِّ ِْم ً َ ْو َمى ٍذ دُجُ َر‬
ّ ِ ّ ٰ ‫ِا َّْل ُمذَ َح ّ ِرفًا ِم ّ ِلذَالٍ َا ْو ُمذَ َح ِ ّ ًّيا ِا ٰٰل ِفئَ ٍة فَلَدْ َ ۤب َء ِتغَضَ ٍة ِ ّم َن‬
‫اّل َو َمبِ ٰوى َُ َ َْجّنَّ ُ ۗ َو ِتئْ َس‬
‫امْ َم ِط ْ ُي‬
Artinya : ”Wahai orang yang beriman! Apabila kamu
bertemu dengan orang-orang kafir yang akan
menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik
membelakangi mereka (mundur). Dan barangsiapa mundur
pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain,
maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa
kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka
Jahanam, seburuk-buruk tempat kembali”.

5) Surah At-Taubah ayat 38-39 :

‫اّل از َّلَوْ ُ ُْت ِا َٰل ْ َاْل ْر ِۗض َا َر ِض َْ ُ ُْت‬ ِ ّ ٰ ِ‫ٰ ٓ ََّيُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍْ َن ٰا َمٌُ ْوا َما مَ ُ ُْك ِا َذا ِك ِْ َل مَ ُ ُُك اهْ ِف ُر ْوا ِ ِْف َس ِخ ِْل‬
‫ِبمْ َح َٰو ِة الُّ هْ ََا ِم َن ْ ٰاْل ِخ َر ِ ۚة فَ َما َمذَا ُع امْ َح َٰو ِة الُّ هْ ََا ِِف ْ ٰاْل ِخ َر ِة ِا َّْل كَ ِو َْ ٌل ِا َّْل ث َ ْي ِف ُر ْوا ًُ َؼ ِّذ ْج ُ ُْك‬
‫َش ٍء كَ ِد ٍْ ٌر‬ َْ ‫ك‬ ّ ِ ُ ‫اّل ػَ َّٰل‬ ُّ ُ ‫ػَ َذ ًاب َا ِهمي ً ۙا َّو ٌ َْسد َ ْد ِد ْل كَ ْو ًما غَ ْ َيُ ُْك َو َْل ث‬
ُ ّ ٰ ‫ََّض ْو ٍُ شَ ِْ ًٔـا ۗ َو‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa
apabila dikatakan kepada kamu, “Berangkatlah (untuk
berperang) di jalan Allah,” kamu merasa berat dan ingin
85

tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi


kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal
kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak
berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan
menghukum kamu dengan azab yang pedih dan
menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak
akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu”.

b. Hadis

Banyak hadis nabi yang mengungkapkan makna jihad, tetapi


tidak ditemukan dalam hadis nabi yang menjelaskan secara eksplisit
perintah berjihad dengan menggunakan senjata melawan orang kafir,
atau musuh-musuh Islam. Jihad dalam kebanyakan hadis nabi justru
lebih berorientasi kepasa makan berjihad terhadap kedua orang tua,
kebodohan, kemiskinan, dan berjuang mendapatkan haji mabrur. Hal ini
dapat dilihat dalam beberapa hadis nabi berikut ini:

1) Hadis tentang jihad

‫َح َّدزَيَا ُم َح َّمدُ ْج ُن ثَشَّ ٍار َح َّدزَيَا َ َْي َي ْج ُن َس ِؼ َْ ٍد َغ ْن ُس ْفَِ َان َو ُش ْؼ َح َة َغ ْن َح ِد َْ ِة ْج ِن َأ ِِب ًَثت ٍِت‬
‫هللا ػَو َ َْ َِ َو َس َّ ََّل‬
ُ ‫هللا جْ ِن َ ْمع ٍر َو كَا َل َخ َاء َر ُخ ٌل ا َٰل اميَّد ّ ِِـي َض ََّّل‬ ِ ‫َغ ْن َأ ِِب امْ َؼحَّ ِاس َغ ْن َغ ْح ِد‬
ّ
‫ٌ َْس َخبِ ِذه ُ َُ ِِف ا ِجلَِا ِد فَلَا َل َأ َ َِل َو ِ َال ِان كَا َل ه َ َؼ ْم كَا َل فَ ِفْيْ ِ َما فَ َجا ُِدْ كَا َل َأت ُ ْو ِػُ ََْس َو ِِف امْ َحا ِب‬
‫َص َْ ٌح‬ ِ َ ‫َغ ْن ا ْج ِن َغ َّح ٍاس َو َُ َذا َح ِدًْ ٌر َح َس ٌن‬
Artinya : Kami telah disampaikan Muhammad bin
Bashshâr, telah disampaikan kepada kami Yahyâ bin Sa‟îd
dari Sufyân dan Shu‟bah, dari Habîb bin Abî Thâbit dari
Abî al-„Abbâs dari „Abd Allâh bin „Amr berkata: Seorang
laki-laki telah mendatangi Nabi saw, ia sengaja meminta
izin untuk berjihad, maka Nabi berkata: Apakah kamu
mempunyai orang tua, lakilaki itu menjawab: ya, lalu Nabi
berkata: Maka kepada keduanya kamu berjihad. Manurut
86

Abu „Isa di dalam satu pembahasan dari Ibn „Abbâs, bahwa


hadis ini adalah hasan shahîh.

2) Dalam hadis lain disebutkan sebagai berikut:

‫سايِـ َْ ُل‬ َ ْ ‫اِس ْج ُن ِدًْيَ ٍار امْ ُك ْو ِف ُّـي َح َّدز َ َيا َغ ْحدُ َّامر ْمح َِن ْج ُن ُم ْط َؼ ٍة َأت ُ ْو ٍَ ِزًْدَ َح َّدزَيَا ا‬
ُ ِ ‫َح َّدزَيَا امْ َل‬
ّ
‫اّل ػَو َ َْ َِ َو َس َّ ََّل‬
ُ َّ ‫َغ ْن ُم َح َّم ِد ْج ِن ُح َحا َد َة َغ ْن َغ ِعََّ َة َغ ْن َأ ِ ِْب َس ِؼ َْ ٍد امْخُدْ ِر ِ ّي َأ َّن اميَّ ِ َّيب َض ََّّل‬
‫كَا َل ا َّن ِم ْن َأغ َْظ ِم امْجِ َِا ِد َ َِك َم َة ػَدْ لٍ ِغ ْيدَ ُسوْ َع ٍان َخائِ ٍر‬
ّ
Artinya : Kami diberitakan Qâsim bin Dînâr al-Kûfiyyu,
diberitakan kepada kami „Abd al-Rahmân bin Mus‟ab Abû
Yazîd, diberitakan kepada kami Isrâ‟îl dari Muhammad bin
Juhâdah dari Âthiyyah dari Abî Sa‟îd al-Khudrî,
bahwasanya Nabi saw., telah berkata: Sesungguhnya dari
semua jihad yang lebih besar adalah jihad ucapan yang adil
(benar) di depan penguasa yang kejam.

Kemudian nabi juga pernah menyampaikan bahwa


yang termasuk jihad di jalan Allah adalah menjauhkan diri
dari kemaksiatan.

3) seperti hadis nabi sebagai berikut:

َ‫َح َّدزَيَا َأت ُ ْو َ َّمع ٍار َح َّدزَيَا امْ َو ِم َْدُ جْ ُن ُم ْس ِ ٍَّل َغ ْن ْ َاْل ْو َزا ِغ ّ ِي َح َّدزَيَا ُّامز ُْ ِر ُّي َغ ْن َغ َعا ِء جْ ِن ٍَ ِزًد‬
‫اّل ػَوَ َْ َِ َو َس َّ ََّل َأ ُّي اميَّ ِاس‬
ُ َّ ‫اّل َض ََّّل‬ِ َّ ‫انو َّ َْ ِ ِ ّث َغ ْن َأ ِ ِْب َس ِؼ َْ ٍد اخلُدْ ِر ِ ّي كَا َل ُس ِئ َل َر ُس ْو ُل‬
ّ ِ ‫اّل كَامُ ْوا ُ َّمث َم ْن كَا َل ُ َّمث ِِف ِش ْؼ ٍة ِم ْن‬
‫امش َؼ ِاب ً َـخَّ ِلي‬ ِ َّ ِ‫َأ ْفضَ ُل كَا َل َر ُخ ٌل ََُا ُِدُ ِِف َس ِخ ِْل‬
ٍِ ‫ش‬
ِ ّ َ ‫َرتَّـ َُ َوًَدَ ُع اميَّ َاس ِم ْن‬

Artinya : Kami disampaikan abu „Ammar, kami


disampaikan al-Walîd bin Muslim dari al-Auzâ‟î, kami
disampaikan al-Zuhrî dari „Atâ‟ ibn Yazîd al-Laishiî dari
Abî Sa‟îd al-Khudrî berkata: Rasulullah saw. pernah ditanya
87

tentang orang yang paling afdal, Nabi menjawab: Laki-laki


yang berjihad di jalan Allah, lalu mereka bertanya lagi,
kemudian siapa lagi, kemudian Nabi menjawab: orang
mukmin (yang berjalan di bukit) bertakwa kepada
Tuhannya dan menyeruh manusia meninggalkan kejahatan.

Di samping itu, nabi pernah mengatakan bahwa


yang termasuk jihad adalah jihad dengan melaksanakan haji
dan mendapatkan haji mabrur.

4) seperti hadis nabi sebagai berikut:

‫َح َّدزَيَا ُم َس َّد ٌد َح َّدزَيَا َ ِ ٌَال َح َّدزَيَا َح ِد َْ ُة ْج ُن َأ ِِب َ ْمع َر َة َغ ْن ػَائِشَ َة ِتً ْ ِت َظوْ َح َة َغ ْن ػَائِشَ َة‬
‫اّل ث َُـرى امْجِ َِا َد َأفْضَ َل امْ َؼ َملِ َأفَ ََل ُُنَا ُِدُ كَا َل مَ ِك َّن‬
ِ َّ ‫اّل غٌَ ْـَِا َأهَّـَِا كَامَ ْت ََّي َر ُس ْو َل‬ َ ِ ‫َر‬
ُ َّ ‫يض‬
‫َأفْضَ َل امْجِ َِا ِد َح لج َم ْد ُـر ٌور‬
Artinya : Kami disampaikan Musaddad, kami disampaikan
Khâlid, kami disampaikan Habîb ibn Abî „Amrah dari
„Âishah bint Talhah dari „Âishah ra. Telah berkata kepada
Rasulullah: Ya Rasulullah, kami telah melihat jihad adalah
amal yang paling utama, pada hal kami tidak berjihad. Lalu
Nabi berkata: Tidak, akan tetapi jihad yang paling utama
adalah haji mabrur.

Dari hadis nabi diatas, tidak ditemukan anjuran


untuk melakukan jihad dengan mengangkat senjata atau
melakukan perlawanan fisik terhadap musuh-musuh Islam
dengan menggunakan pedang, seperti yang dipahami
kebanyakan orang Barat. Dalam kajian hadis nabi, makna
jihad ditemukan antara lain anjuran untuk mengungkap
kebenaran kepada pemimpin yang berbuat zalim, walaupun
teguran itu merasa berat untuk dilakukan, tetapi menurut
nabi itu adalah salah satu bentuk jihad di jalan Allah.
Demikian juga seorang anak yang merawat orang tuanya
88

yang telah lanjut usia, juga dianggap berjihad di jalan


Allah76.

Hukum Jihad itu terbagi dua: Fardu A'in dan Fardu


Kifayah. Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu
A'in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardu Kifayah
yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A'in.

Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut


jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di
negeri-negeri mereka. Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah,
jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan persediaan yang
memadai, telah mengambil tanggung jawab melaksanakannya,
maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi
sebaliknya, jika tidak ada yang melaksanakannya, maka
kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin
semuanya berdosa.

Empat Imam Madzhab dan lainnya telah sepakat bahwa


jihad fii sabillah hukumnya fardhu kifayah, apabila sebagian
kaum muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas
yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya, maka
berdosa semuanya.

Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu a‟in


pada tiga kondisi77:

1) Apabila pasukan Muslimin dan kafirin (orang-orang kafir)


bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang,
maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik.

2) Apabila musuh menyerang negeri Muslim yang aman dan


mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk
keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan
tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.

76
Kamarudin,”JIHAD DALAM PERSPEKTIF HADIS”, Jurnal Hunafa, Vol. 5 No. 1, (April 2008), h. 105 - 107
77
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaidi, op.cit., h. 429.
89

3) Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan


beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib
berangkat. Dalilnya adalah surat at-Taubah: 38-39.

Bagi kaum wanita tidak ada jihad, jihad mereka adalah


haji dan umrah. Hal ini berdasarkan hadit Rasulullah SAW. dari
Aisyah RH, ketika beliau bertanya kepada Rasulullah SAW. Dan
jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat
badannya dan mampu melaksanakan jihad. Dan ia tidak
diwajibkan atas anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang
pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang
sakit. “Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad?
Rasulullah SAW. menjawab: Ya, kaum wanita wajib berjihad
(meskipun) tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu (ibadah) haji
dan umrah.‟

3. Perspektif Jihad Menurut 4 Madzhab


Menurut para ulama tafsir, para fikih, ushul, dan hadits pengertian
jihad dengan makna berperang di jalan Allah swt dan semua hal yang
berhubungan dengannya. Sebab, mereka memahami, bahwa kata jihad
memiliki makna syar‟i, dimana, makna ini harus diutamakan di atas makna-
makna yang lain (makna lughawi dan‟urfi). Pandangan Imam Madzhab
sebagai berikut78:

a. Madzhab Maliki
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maliki, seperti yang
termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang
Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam
rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana
(yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum
Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn „Arafah.

78
Muhammad „Ilyasy, “Munah al-Jaliil, Muhktashar Sayyidi Khaliil”, juz III, h. 135.
90

b. Madzhab as Syafi‟i.
Madzhab as-Syafi‟i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab
al-Iqnaa‟, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-
Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya
jihad itu adalah perang.

c. Madzhab Hanbali.
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam
kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang
dibahas dalam kitab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang
berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir,
baik fardhu kifayah maupun fardlu „ain, ataupun dalam bentuk sikap
berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan
celah-celah wilayah Islam. Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata:
Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad.
Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardhu
„ain bagi mereka... jika hal ini memang benar- benar telah ditetapkan,
maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas
seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan
kepadanya.

d. Madzhab Hanafi.
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam
kitab Badaa‟i‟ as-Shanaa‟i‟, “Secara literal, jihad adalah ungkapan
tentang pengerahan seluruh kemampuan... sedangkan menurut
pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan
tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan
ataupun yang lain.
91

B. Bom Bunuh Diri Menurut Islam

1. Pengertian Bom Bunuh Diri


Kata bom berasal dari bahasa Yunani βόμβος (bombos), sebuah istilah
yang meniru suara ledakan „bom‟ dalam bahasa tersebut. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai senjata peledak; peluru besar yang isinya
mampu meledak. Sedangkan, bunuh diri merupakan tindakan (oleh dan pada
diri) untuk mengakhiri hidup dengan berbagai cara, motif, dan faktor. Bunuh
diri mengandung makna aktivitas yang dilakukan oleh diri terhadap dirinya
sendiri, diri berposisi sebagai pelaku (subyek) sekaligus sebagai sasaran
(obyek)79.

Bom bunuh diri atau juga dikenal sebagai bom manusia (human
bombing) menurut Nawaf Hail Takruri adalah aktivitas seorang (mujahid)
mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan
peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka
berkumpul, hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh. Adapun
menurut Muhammad Tha‟mah Al- Qadah, bom bunuh diri adalah aktivitas
seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk
melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan
tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin. Bom bunuh diri
yaitu kegiatan bunuh diri yang dilatarbelakangi keyakinan oleh pelaku bahwa
perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan untuk
memperjuangkan kebenaran. Dalam bahasa arab, bom bunuh diri disebut
intihaar, yang berasal dari kata kerja nahara yang berarti menyembelih
(dzabaha) dan membunuh (qatala). Artinya seseorang menyembelih dan
membunuh dirinya sendiri.

Terjadinya bom bunuh diri merupakan bentuk penolakan terhadap


globalisasi. Mereka menganggap bahwa sistem hukum di negara Indonesia
adalah hasil dari pemikiran barat. juga memiliki sistem Thagut (berhala) dan
tidak menggunakan hukum syariat Islam. Hal ini ditunjukan dengan doktrin-
doktrin yang mereka diberikan sehingga terinternalisasi menjadi sebuah

79
Mohammad Rosyid, “Kontribusi Penyuluh Agama dalam Meminimalisasi Bunuh Diri,” Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling
Islam 5, no. 2 (2014): 353
92

pegangan hidup dan diterima sebagai suatu kebenaran, kemudian disucikan


dalam bentuk dogma, yang hanya kematian yang dapat memisahkan keyakian
mereka.

Dalam kasus bom bunuh diri, keyakinan menjadi martir melawan


‟musuh‟ dengan mengorbankan diri sesungguhnya berasal dari desakan
superego. Keinginan kuat melakukan itu dengan keyakinan tindakan saya
‟benar mulia bernilai surga‟ dilatarbelakangi oleh sumber nilai di luar diri
pelaku, utamanya tokoh yang memiliki kewibawaan-kekuatan di matanya
dengan argumentasi meyakinkan. Mesti ada satu masa dimana pelaku merasa
bimbang atau tidak yakin atas tindakan yang akan dilakukan. Kebimbangan
itu sesungguhnya adalah upaya ego untuk mengambil-alih diri yang lebih
dikuasai superego. Upaya ini bisa ditanggapi sebagai sebuah ketakutan,
pertanyaan hati nurani, atau apapun yang mempertanyakan niatan pelaku.

2. Perspektif Bom Bunuh Diri Menurut Islam


Dalam kitab-kitab fikih terdahulu tidak secara eksplisit ditemukan
pembahasan mengenai masalah ini. Hal ini dapat dipahami karena bom bunuh
diri merupakan metode baru untuk berperang dan membunuh, hanya saja
masalah ini dapat diqiyaskan terhadap aksi serupa yang dilakukan di masa
lalu, yakni aksi menerobos pasukan musuh. Secara garis besar ada tiga sikap
ulama terhadap aksi seseorang yang menerobos pasukan musuh80:

Pertama, jumhur ulama, termasuk ulama empat madzhab


mengkategorikan menerobos pasukan musuh sebagai jihad. Pelakunya
disebut sebagai mujahid dan apabila mati maka dia akan mati syahid dan
bukan bunuh diri. Namun demikian aksi semacam ini harus memenuhi dua
syarat, pertama, orang yang melakukannya harus ikhlas didasari dengan niat
untuk menggapai ridha Allah Swt. Kedua, pelaku harus yakin atau dengan
perhitungan yang matang bahwa aksinya tersebut akan mengalahkan musuh.

80
Mohammad Rosyid, “Kontribusi Penyuluh Agama dalam Meminimalisasi Bunuh Diri,” Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling
Islam 5, no. 2 (2014): 353
93

Kedua, sebagian ahli fiqih membolehkan menerobos pasukan musuh


dengan mensyaratkan satu saja, yaitu apabila dengan niat ikhlas untuk jihad
karena Allah. Mencari mati syahid, berperang membunuh kaum musyrikin
dengan niat yang ikhlas diperbolehkan. Ini berdasarkan firman Allah swt
dalam surat al-Baqarah ayat 207:

‫اّل َر ُء ْو ٌۢف ِبمْ ِؼ َحا ِد‬ ِ ّ ٰ ‫ات‬


ُ ّ ٰ ‫اّل َۗو‬ ِ َ‫ََّش ْي ه َ ْف َس َُ اتْ ِخغَ ۤا َء َم ْرض‬
ِ ْ ٌ ‫َو ِم َن اميَّ ِاس َم ْن‬
Artinya : “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-
hamba-Nya”

Ketiga, sebagian ulama tidak membolehkan menerobos barisan


musuh, karena aksi tersebut sama saja dengan aksi bunuh diri pada umumnya
yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-
Baqarah ayat 195:

َ ّ ٰ ‫اّل َو َْل ثُوْ ُل ْوا ِ َبًْ ِد ٍْ ُ ُْك ِا َٰل اهََّّ ْوُ َك ِة ۛ َو َا ْح ِس ُي ْوا ۛ ِا َّن‬
‫اّل ُ َِي ُّة امْ ُم ْح ِس ِي ْ َْي‬ ِ ّ ٰ ِ‫َو َاهْ ِف ُل ْوا ِ ِْف َس ِخ ِْل‬
Artinya : “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan
berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Dalam ilmu Ushul, memelihara jiwa (hifdz al-nafs) adalah salah satu
dari lima maslahat dharuriyat (maslahat utama) yang harus kita jaga. Jika
seseorang hendak menghilangkan kehidupan (nyawa) kita, maka menjadi
kewajiban kita untuk mempertahankan diri kita. Artinya kita tidak boleh
begitu saja membiarkan diri kita dibunuh, tanpa berusaha lebih dahulu untuk
mempertahankan jiwa yang kita punya. Selain itu juga, berkenaan dengan
menjaga hidup kita dilarang untuk membunuh orang lain tanpa alasan yang
jelas, yaitu yang memang dibenarkan secara syar‟i untuk menghilangkan
nyawa orang lain81.

81
Nasruddin Yusuf, “Fatwa Fiqih Jinayah : Bom Bunuh Diri,” Jurnal Al-Syir‟ah 1, no. 2 (2003): h. 2
94

C. Terorisme Menurut Islam

1. Pengetian terorisme
Salah seorang pakar ilmuan barat, bernama John Louis Esposito
mengemukakan, bahwa tindakan terrorisme tidak ada hubungannya sama
sekali dengan Islam, atau agama besar manapun. Oleh karena itu, prase
seperti “ terorisme Islam “ secara signifikan member gambaran yang keliru
terhadap keagamaan dari kekerasan yang dilakukan oleh kaum muslimin82.

Pada hakekatnya keseluruhan ajaran Islam yang terkandung di dalam


al- Qur‟an adalah rahmat bagi ummat manusia. Rahmat dalam pengertian
bahwa Islam sebagai agama membawa kebaikan dan kenikmatan, bukan
hanya kepada manusia, tapi juga seluruh jagad raya ini. Islam sangat
menghormati hak-hak asasi manusia, bahkan menurut pandangan Islam,
darah, harta dan kehormatan seseorang memiliki derajat dan kemuliaan yang
tinggi. Oleh karena itu, Islam sama sekali tidak membenarkan aksi terorisme
meskipun dengan alasan untuk membela agama. Menurut pandangan Islam,
kemuliaan harta, jiwa dan kehormatan seseorang hanya akan gugur pada
kondisi-kondisi tertentu yang telah digariskan dalam syariat Islam, dan
tentunya dengan menjaga sisi-sisi lain yang ada. Selain itu pun Islam
memberikan kebebasan kepada orang-orang kafir yang mengakui legalitas
agama Islam.

Kata “ Islam “ secara bahasa dapat berarti tunduk, patuh dan pasrah.
Dalam konteks yang lebih luas, Islam dapat bermakna selamat, sejahtera dan
damai, maka dalam konteks ini, Islam sebagai agama yang dapat member
keselematan, kesejahteraan dan kedamaian bagi masyarakat disekitarnya.
Islam menghendaki agar setiap ummatnya memiliki faham “ Egalitarisme “
adalah faham seseorang yang memandang sesuatu atau seseorang itu
sederajat, tidak menganggap rendah dan tidak diskriminatif. Dari paham
inilah kemudian menjadi sikap positif kepada orang lain.

Akhir-akhir ini citra Islam dan Ummat Islam sedang dipertaruhkan,


akibat ulah segelintir orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan

82
Hamzah junaid, “Pergerakan Terorisme Dalam Persfektif Barat Dan Islam”, Pendidikan Agama Islam, Vol. 8 No. 2, 2013, h. 213
95

melakukan aksi terror dimana-mana, intimidasi, menakut-nakuti, menjadikan


orang Islam identik dengan teroris. Padahal dengan tegas dinayatakan bahwa
tidak ada sepotong ayat maupun hadis yang membenarkan akasi-aksi terror
seperti yang dilakukan oleh gembong teroris sekarang ini. Terorisme adalah
salah satu bentuk kejahatan yang diorganisir dengan baik dan rapi serta
terampil, bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan yang luar
biasa, yang tidak mebeda-bedakan sasaran.

Sebenarnya seseorang dianggap sebagai teroris bila ia melancarkan


aksi- aksi ancaman dengan menggunakan kekerasan sebagai bagian dari
bentuk cirri dan gerakannya. Bila jihad diidentikkan dengan aksi terorisme
sangat tidak benar jika seorang muslim berjihad atas nama agama dan
kemudian melakukan kekerasan atau membnuh orang lain atas nama agama
tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat Islam. Bila dilihat kasus Bom
Bali misalnya, aksi pemboman yang dilakukan oleh Amrozi Cs, semata-mata
dendam dan Amarah kepada Amerika dan sekutunya yang menindas para
pejuang muslim di Palestina, Afghanistan dan lain-lainnya. Pemboman yang
dilakukan Amrozi Cs bukan atas nama agama Islam, hanya kebetulan ia
sorang muslim sehingga menjadi sorotan dunia internasional bahwa seorang
muslim bisa menjadi teroris seperti yang dituduhkan oleh mereka (non Islam).

Dengan beragamnya pandangan orang tentang terorisme,


menunjukkan kenyataan bahwa terorisme adalah sebuah diskursus yang dapat
dipandang dari berbagai sudut disiplin ilmu pengetahuan, seperti sosiologi,
kriminologi, politik, hubungan internasional, hukum, ekonomi, dan
sebagainya. Karena itu, agaknya sulit untuk merumuskan suatu definisi yang
mampu mencakup keseluruhan aspek dan dimensi. Namun demikian, kita
dapat saja menemukan empat kriteria utama yang terdapat dikategorisasikan
tindakan terorisme global akhir-akhir ini, yakni83:

a. Merupakan representasi “kejahatan yang terorganisasi” (organized


crime). Organisasi semacam pada umumnya tidak memiliki
struktur dan bentuk yang jelas. Agaknya, faktor inilah yang (boleh
jadi) membuat gerakan terorisme sulit diberantas secara tuntas.

83
Muhammad Amin Suma, “Perkuliahan Pascasarjana” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah), 30 Desember 2003.
96

b. Gerakan terorisme bersifat “lintas kawasan” (trans-national crime).


Hal ini dapat dilihat dari para teroris yang melancarkan teror
terkadang tidak dilakukan di tempat di mana ia berasal. Bahkan,
pada umumnya dilakukan di luar negaranya.

c. Gerakan terorisme bertujuan memunculkan perasaan ketakutan


yang luar biasa (extra ordinary crime) kepada objek tindakan teror.

d. Gerakan terorisme pada umumnya cenderung tidak mengenal


pemilahan (indiscrimination) atau dalam bahasa militer disebut
“non-combatant” yakni objek serangan diarahkan pada tempat-
tempat atau zona sipil yang tidak layak menjadi wilayah kekerasan.

Teks-teks suci, baik al-Qur‟an maupun Hadis, tidak ada yang secara
tegas menyebut terminologi “terorisme”. Namun menilik modus dan dampak
yang ditimbulkan oleh perilaku tersebut, meluruskan suatu pemikiran untuk
mengangkat diskursus terorisme ke dalam konteks perilaku perusakan di
muka bumi, sebagaimana yang terekam dalam Q.S. al-Mâidah/5 ayat 33 :

Artinya : “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya


dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat
kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di
akhirat mereka mendapat azab yang besar”.

Ayat ini, seperti dikemukakan di atas, meskipun turun menyangkut


kasus al- „Urainiyyûn, tetapi karena redaksinya bersifat umum, maka tentu
saja, sesuai dengan kaidah tafsir, pemahaman teks ayat bukan berdasar sebab
turunnya, tetapi berdasarkan redaksinya yang bersifat umum. Para ulama
membahas maksud kata yang bersifat umum itu, dalam hal ini adalah kalimat
Yuhâribuna Allâh wa Rasûlah (memerangi Allah dan Rasul- Nya). Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat.
97

2. Perspektif Terorisme Menurut Para Ulama

Pertama, Imâm Mâlik menyatakan bahwa “al-Muhârib” (orang yang


memerangi) itu adalah orang yang mengganggu orang lain dengan senjata dan
mengancamnya, baik di kota (tempat yang ramai penduduknya) atau di hutan
belantara (tanah yang tidak berpenduduk).

Kedua, Imâm Abû Hanîfah berpandangan bahwa yang dimaksud


dengan penjahat yang dikategorikan sebagai penyamun ialah orang yang
mengganggu orang lain dengan senjata baik di tanah lapang atau di hutan
belantara. Adapun di kota (daerah permukiman), maka tidaklah dapat
dikatakan sebagai penyamun. Sebab korbannya masih dapat ditolong.

Ketiga, Imâm al-Syâfi„î berpendapat bahwa siapa mencuri besar-


besaran di kota, maka dikatakan sebagai “muhârib” (orang yang memerangi,
baik yang beroperasi di rumah- rumah, di jalan-jalan, di daerah pedalaman,
ataupun di desa, hukumnya adalah sama84.

Sementara itu, Ibnu Mundzir menegaskan bahwa “penjelasan al-


Qur‟an adalah secara umum, maka tidaklah dapat sesorang dikecualikan dari
kandungan ayat tersebut dengan tanpa adanya alasan yang mendukung.
Karena masing-masing dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi.”

Muhammad „Alî al-Shâbûnî berpendapat bahwa tampaknya inilah


pendapat yang paling kuat, karena keumuman ayat tersebut. Barangkali di
sana terdapat segerombolan penjahat yang mengganggu harta benda dan jiwa
orang lain yang lebih membahayakan dari pada para penyamun di tanah
lapang yang sunyi dari penduduk.

Dalam magnum opus-nya, Tafsir al-Azhar, Hamka menyatakan bahwa


memerangi Allah dan Rasul-Nya diartikan dengan menentang kehendak
Allah dan Rasul dengan sengaja. Arti dasar dari perang adalah tindakan
permusuhan. Maka, apabila kita meng- hilangkan nyawa seseorang, maka
dinamakan membunuh.

84
Muhammad „Alî al-Sayis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm (Mesir:1953), h. 183-184
98

Tetapi, apabila seseorang menentang sekumpulan orang dengan


menggunakan senjata, digunakan juga kata “qital” atau “berbunuhan”.
Namun, jika mengangkat senjata bukan karena peperangan yang sah,
misalnya menyamun bersama, merampok bersama, maka dinamakan
memerangi Allah dan Rasul. Sebab orang yang dirampok atau dirampas itu
bukan musuh, melainkan orang-orang yang merasa hidup aman di bawah
lindungan peraturan Allah dan rasul. Maka sikap mengadakan perkumpulan
atau gerombolan perampok atau penyamun itu jelas menggnggu keamanan
masyarakat. Sikap mereka ini bukan berperang dengan orang yang mereka
rampok, sebab tidak ada sebab-sebab yang menyebabkan orang-orang yang
aman itu boleh diperangi. Maksud merampok dan menyamun ini benar-benar
hanya karena hendak merampas harta benda mereka, kalau perlu dengan
membunuh orangnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Badui Bani Ukal dan
Bani Urainah terhadap penggembala unta.

Pertanyaan !!!

1. Jelaskan Mengapa Terorisme identik dengan islam?


2. Bagaimana membersihkan nama islam yang diterorismekan padahal tidak semua
islam itu teroris?
3. Mengapa Di indonesia apa bila seseorang memiliki atau mengoleksi buku
berjudul jihad bisa didakwa atau di sangka teroris dan terpapar radikal?
4. Apa itu radikal? Sehingga di indonesia apabila ada penceramah yang berdakwah
tentang tema jihad dikatakan radikal?
5. Jelaskan Bagaimana menjelaskan kepada masyarakat dan lingkungan agar
terhindar dari pemahaman yang salah tentang jihad?
BAB VI

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Dalam Pandangan Islam

A. Pengertian KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)

Kata korupsi berasal dari bahasa Inggris, corruption, yang berarti


penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya,
untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata kolusi berasal dari bahasa
Inggris, collution, yang berarti kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji; atau
persekongkolan. Kata nepotisme berasal dari bahasa Inggris, artinya kecenderungan
untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam
jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, atau tindakan memilih kerabat atau
sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan85. Berdasarkan pengertian
menurut bahasa tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa korupsi, kolusi,
nepotisme dan suap (KKN) adalah mencerminkan tingkah laku, baik dilakukan
sendiri atau bersama-sama yang berhubungan dengan dunia pemerintahan yang
merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Pengertian korupsi, kolusi, dan nepotisme menurut terminologis dapat


ditelaah dari pendapat para ahli berikut ini 86:

1. Menurut JW. Schoorl, korupsi adalah penggunaan kekuasaan negara untuk


memperoleh penghasilan, keuntungan atau prestise perorangan, atau untuk
memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial
dengan cara yang bertentangan dengan Undang-Undang atau dengan
norma akhlak yang tinggi.

2. Menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang RI Nomor 28 tahun 1999, kolusi


adalah pemufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara
penyelenggara negara, atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain,
masyarakat, bangsa dan negara.

85
1Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. IV; Jakarta, Balai Pustaka, 1995), h.527.
86
Huzaemah T. Yangggo, “Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Suap (KKNS) Dalam Pandangan Hukum Islam” Tahkim Vol. IX, Juni 2013, h.
2-3.
100

3. Menurut Sayed Husen al-Athas, nepotisme adalah pengangkatan sanak


saudara, teman-teman atau rekan-rekan politik pada jabatan-jabatan publik
tanpa memandang jasa mereka maupun konsekuensinya pada
kesejahteraan publik.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan, bahwa korupsi, kolusi, dan


nepotisme adalah tindakan atau perbuatan memanfaatkan jabatan atau kedudukan
untuk mendapatkan keuntungan, baik material atau prestise bagi pribadi atau
keluarga, atau kelompok, tanpa melihat kapabilitas, profesionalitas dan moralitas,
dengan jalan melanggar ketentuan-ketentuan yang ada, yang mana akibatnya
merugikan orang lain, masyarakat, bangsa dan negara.

B. Motif Perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Secara umum, munculnya perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme


didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan
memperoleh kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi, dalam hal ini
pelaku merasa mendapatkan kepuasan dan kenyamanan tersendiri ketika berhasil
melakukannya. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri
perilaku itu sendiri, seperti karena alasan ekonomi, dan juga ingin mendapatkan
karir jabatan melalui jalan pintas.

Sedangkan faktor penyebab terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme secara


umum juga dapat dikalsifikasikan menjadi dua macam, yaitu internal dan eksternal.
Factor internal adalah faktor yang ada dalam diri seorang pemegang amanah yang
mendorong melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau
kelompok tertentu. Faktor internal ini sangat beragam, misalnya: sifat rakus
terhadap harta/kekayaan, sifat iri kepada orang lain, atau terbentur kebutuhan
mendesak yang memicu seseorang melakukan korupsi. Sedangkan factor eksternal
adalah sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang tidak seimbang sehingga
memberikan kesempatan kepada pemegang amanah untuk melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Factor eksternal ini juga senantiasa berkembang, misalnya
lemahnya pengawasan, lemahnya hukum, tidak adanya tanggung-gugat
(akuntabilitas), penegak hukum yang mudah disuap, sanksi hukum yang lebih
101

ringan dibanding dengan hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak ada teladan
kejujuran para pemimpin dan lain-lain. Secara rinci, terjadi setidaknya ada tiga hal
87
:

1. Corruption by greed (keserakahan) korupsi ini terjadi pada orang yang


sebenarnya tidak butuh, tidak terdesak ekonomi, bahkan mungkin sudah
kaya. Jabatan tinggi, gaji besar, rumah mewah, popularitas menanjak,
tetapi kerakusan yang tak terbendung menyebabkannya terlibat praktik
korupsi. Mental serakah dan rakus inilah yang pernah diingatkan oleh Nabi
Muhammad Saw. kalau saja seorang anak Adam telah memiliki dua
lembah emas, ia pun berkeinginan untuk mendapatkan tiga lembah emas
lagi. Kasus korupsi karena keserakahan inilah yang banyak terjadi di
lingkungan pejabat tinggi dan pengusaha.

2. Corruption by need (kebutuhan). Korupsi yang dilakukan karena


keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic needs).
Misalnya, korupsi dilakukan seseorang yang gajinya sangat rendah jauh
dibawah standar upah minimum dan terdesak untuk memenuhi kebutuhan
dasar tertentu, seperti membayar SPP anaknya yang masih bersekolah.
Korupsi ini banyak dilakukan oleh pegawai/karyawan kecil, polisi/prajurit
rendahan, buruh kasar, tukang parker, sopir angkutan umum, dan lain-lain

3. Corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan karena adanya


peluang yang besar untuk berbuat korup, peluang besar untuk cepat kaya
melalui jalan pintas, peluang cepat naik jabatan secara instan, dan
sebagainya. Biasanya didukung oleh lemahnya sistem organisasi,
rendahnya akuntabilitaspublic, longgarnya pengawasan masyarakat, dan
keroposnya penegakan hukum, yang diperparah dengan sanksi hukum
yang tidak membuat jera. Dalam kenyataan sehari-hari, seringkali korupsi
justru diberi kesempatan dan diberi peluang, bahkan dilindungi, sehingga
menggoda para pejabat atau pemegang amanah untuk berbuat korup atau
menerima suap, padahal sebelumnya tidak pernah terlibat korupsi.

Ketiga sebab diatas terkadang menyatu. Dengan kata lain seorang koruptor,
disamping mentalnya serakah, dipicu oleh kebutuhan dasar ekonomi yang tinggi,
87
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, (Jakarta:2006), h. 13-15.
102

pun ditunjang adanya peluang atau kesempatan yang aman untuk korupsi. Kemauan
yang tinggi atau keserakahn yang kelewat batas sekalipun, jika peluang korupsi
ditutup rapat, korupsi akan sulit terlaksana. Parahnya, jika ketiga sebab ini
menyatu, dapat dipastikan dampak yang ditimbulkan juga pasti lebih hebat.

C. Bentuk-bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Dalam khazanah fiqih, setidaknya terdapat 6 (enam) jenis tindak pidana


yang mirip dengan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keenam macam
jarimah atau tindak pidana tersebut adalah; Risywah (gratifikasi/penyuapan),
Ghulul (Penggelapan), Ghashab (mengambil paksa hak/harta orang lain), Khiyanat
(Pengkhianatan), Sariqah (Pencurian), Hirabah (perampokan88).

1. Risywah (Gratifikasi/penyuapan)
Risywah menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menghantarkan
tujuan dengan segala cara agar tujuan tersebut dapat tercapai. Definisi
tersebut diambil dari kata rosya yang bermakna tali timba yang dipergunakan
untuk sumur. Sedangkan ar-raasyi adalah orang yang memberikan sesuatu
kepada pihak kedua untuk mendukung maksud jahat dari perbuatannya. Lalu
ar-roisyi adalah mediator atau penghubung antara pemberi suap dan penerima
suap, sedangkan penerima suap disebut sebagai al-murtasyi. Praktik Suap bisa
terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi,
pertama yang disuap (al-murtasyī), kedua, penyuap (al-rasyī), dan ketiga,
suap (al-risywah). Suap dilarang dan sangat dibenci dalam Islam karena
sebenarnya perbuatan tersebut (suap) termasuk perbuatan yang batil. Suap
dengan segala bentuknya haram hukumnya, di antara bentuk suap adalah
hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah, meskipun
seorang pejabat tersebut yang tidak sedang terkait perkara atau urusan.

Al-Nawāwi dalam kitab Mughnī, menetapkan keharaman risywah. Ibn


Ziyād menfatwakan bahwa risywah hukumnya haram secara mutlak, baik ia
bertujuan untuk menghasilkan keputusan hukum dengan tidak benar atau

88
Fazzan, “Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam” Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 14. No. 2, Februari 2015,
h.158-159
103

menghukum dengan benar, sebagaimana yang telah disabdakan oleh baginda


Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

Artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasul SAW bersabda: “Allah SWT
melaknat penyuap dan yang di suap”. (HR. Imam Ahmad).

2. Ghulul (Penggelapan)
Menurut Abu Firda dalam Suradi, Ghulul (penggelapan) adalah
“mencuri harta rampasan perang atau menyembunyikan sebagiannya untuk
dimiliki sebelum menyampaikan ke tempat pembagian. Nama lain yang
masih dalam satu makna, kata ghulul dimaknai “akhdzu al-syai wa dassahu fi
mata‟ihi”, yang artinya “ambil sesuatu dan menyembunyikan dalam
hartanya”. Dengan demikian, ghulul merupakan perbuatan khianat dalam
rangka mengambil harta yang bukan haknya dan menyembunyikan di dalam
hartanya. Manifestasi praktik ghulul bagi aparatur negara, antara lain berupa
komisi, hadiah atau gratifikasi. Rasulullah menperjelas praktik ghulul melalui
haditsnya: “siapa saja yang telah aku angkat sebagai pekerja dalam satu
jabatan, kemudian aku gaji, maka suatu yang diterima di luar gajinya adalah
korupsi (ghulul)” (HR. Abu Daud).

Komisi merupakan “tindakan seseorang yang mengambil sesuatu atau


penghasilan di luar gajinya yang telah ditetapkan”. Sedangkan “hadiah
dikatakan korupsi, jika seseorang mendapatkannya karena jabatan yang
melekat pada dirinya. Hadiah bagi penyelenggara negara sering” disebut
gratifikasi. Pemberian bisa berupa “uang, barang, diskon, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket, pesawat, liburan, biaya pengobatan, dan fasilitas lainnya.”

3. Ghasab ( Mengambil Paksa Hak/Harta Orang Lain)


104

Ghasab berasal dari kata kerja ‫غطحا ًغطة غطة‬ yang berarti

mengambil sesuatu secara paksa dan zalim. Secara istilahi, ghasab dapat
diartikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara
permusuhan/terang-terangan. Menurut Dr.Nurul irfan, MA, ghasab adalah
mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan
unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan serta dilakukan dengan
cara terang-terangan. Karena ada unsur terang-terangan, maka ghasab
berbeda dengan pencurian dimana salah satu unsurnya adalah pengambilan
barang secara sembunyi-sembunyi89.

Imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu‟ syarh al-Muhadzab


menguraikan secara detail terhadap sanksi yang harus dijatuhkan kepada
pelaku ghasab. Pertama, jika barang yang diambil masih utuh dalam keadaan
semula, maka barang tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik aslinya.
Kedua, seandainya barang yang diambil ternyata sudah tidak ada, maka wajib
mengganti dengan barang yang sama atau dengan membayar ganti dengan
harga yang sama. Ketiga, andai barang yang diambil itu barang hidup dan
mengalami penyusutan, maka pelaku harus membayar kekurangan yang telah
hilang dari barang tersebut. Namun jika barang tersebut adalah benda mati
seperti piring atau gelas, maka pelaku harus menggantinya secara utuh.

4. Khiyanat ( Penghianatan)

Kata khianat berasal dari bahasa Arab ‫خِون َان‬ yang artinya sikap

ingkarnya seseorang saat diberikan kepercayaan. Bentuk isim, dari kata kerja
‫َان‬- ‫خِون‬ adalah ‫َائن‬ yang definisinya dikemukakan oleh al Syaukani yaitu

seseorang yang diberi keperayaan untuk merawat/mengurus sesuatu barang


dengan akad sewa menyewa dan titipan, tetapi sesuatu itu diambil dan kha‟in
mengaku jika barang itu hilang atau dia mengingkari barang sewaan tersebut
ada padanya. Sedangkan Wahbah Zuhaili mendefinisikan khianat dengan
segala sesuatu bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah

89
Luluatu Nailul Roja, “Analisis Memadu Hukum Islam dan Hukum Nasionl Mengenai Korupsi Di Indonesia” Diktum: Jurnal Syariah dan
Hukum, Volume 18 Nomor 2 Desember 2020, h. 256-257.
105

dipersyaratkan di dalamnya atau telah berlaku menurut adat kebiasaan, seperti


tindakan pembantaian terhadap kaum muslim atau sikap menampakkan
permusuhan terhadap kaum muslim. Perilaku khiyanat seseorang akan sangat
berpengaruh kepadanya, jika dikemudian hari ia diberikan kesempatan untuk
memberikan kesaksian misalnya, maka kesaksiannya tidak akan dapat
diterima, hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW tentang perilaku
khiyanat :“Kesaksian si khā’in dan khā’inah (laki-laki dan perempuan yang
berbuat khianat) ditolak”

Seseorang yang dipercayakan sesuatu padanya tentu karena dapat


dipercaya, jika di kemudian hari dia mengkhianati kepercayaan itu, berarti dia
berubah menjadi jahat atau dengan kata lain perbuatan seseorang yang
mengambil sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) padanya. Adapun khiyanat
dalam bentuk KKN dapat terbagi menjadi dua macam, diantaranya90 :

a. Pengkhianatan terhadap rahasia negara. Islam sangat menjaga darah


kaum muslimin, Imam al-Syāfi„ī pernah ditanyakan tentang
seorang muslim yang membeberkan rahasia kaum muslimin kepada
kaum musyrikin melalui sepucuk surat. Al-Syāfi„ī menjawab,
“Tidak halal darah seorang muslim yang telah diharamkan
darahnya dengan keislaman, kecuali jika ia membunuh atau berzina
setelah menikah. Atau ia jelas-jelas menjadi kufur setelah beriman,
lalu tetap dalam kekufuran.”

b. Pengkhianatan terhadap harta (ghulūl). Ghulūl adalah


penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu,
penyalahgunaan terhadap amanah hukumnya haram dan termasuk
perbuatan tercela. Perbuatan ghulūl misalnya menerima hadiah,
komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya
dia terima.

5. Sariqah (Mencuri)

90
Nur Iqbal Mahfudh, “Hukum Pidana Islam Tentang Korupsi” In Right Jurnal Agama dan Asasi, Vol. 6, No. 2, Mei 2017, h.256.
106

Mencuri adalah mengambil harta hak milik orang lain dengan cara
yang sembunyi-sembunyi (tidak terang-terangan) terhadap harta yang
seharusnya dijaga baik, sementara harta itu tersimpan di tempat yang
seharusnya. Jadi, ciri utama pencurian adalah caranya yang tidak terang-
terangan, barangnya tersimpan rapi, dan ditempat yang dipandang aman oleh
pemiliknya, serta barang yang sebaiknya dijaga oleh pencuri.

Menurut Ibnu Arafah “pencuri” menurut orang arab adalah orang yang
datang dengan sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan barang orang lain
untuk mengambil isinya. Dengan demikian, mencuri mengandung 3 unsur,
yaitu :

a. Mengambil milik orang lain;

b. Mengambilnya secara sembunyi – sembunyi;

c. Milik orang lain ada ditempat penyimpanan;

Jadi, apabila barang yang diambil bukan milik orang lain, cara
mengambilnya dengan terang-terangan, atau barang yang diambil berada
tidak pada tempat penyimpanannya, pelakunya tidak dijatuhi hukuman
potong tangan.

6. Hiraabah (Perampokan)
Hirabah adalah gerombolan pembunuh, sindikat penculik anak – anak
kecil, sindikat penjahat untuk menggarong rumah-rumah dan bank, sindikat
penculik perempuan untuk dijadikan pelacur, sindikat penculikan pejabat
untuk dibunuh agar terjadi fitnah dan kegoncangan stabilitas keamanan, serta
sindikat perusak tanaman dan peternakan. pada satu sisi dan menyerang
ajaran Islam yang datang untuk memberi keamanan dan keselamatan
masyarakat pada sisi lain. Kata hirabah berasal dari kata Harb artinya perang.
Bagi sindikat yang keluar dari peraturan disebut orang yang menyerang
masyarakat pada satu sisi dan menyerang ajaran Islam yang datang untuk
memberi keamanan dan keselamatan masyarakat pada sisi lain.
107

Hirabah termasuk dosa besar. Hal yang demikian telah ditegaskan


oleh Allah Swt. dalam al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 33:

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi


Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

Ayat tersebut jika dilihat secara harfiyah, setidaknya ada empat sanksi
yang disebutkan kepada pelaku perampokan:

a. Hukuman mati.

b. Hukuman pasung.

c. Hukuman potong tangan dan kaki.

d. Hukuman pengasingan.

Mengenai hal ini, madzhab Syafi„i berpendapat bahwa kata aw (atau)


pada ayat tersebut sebagai rincian secara berurutan sesuai bentuk dan jenis
kejahatan yang dilakukan oleh perampok. Sedangkan Imam Malik
berpendapat bahwa hukuman-hukuman tersebut bermakna pilihan.

D. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam Sejarah Islam

1. Korupsi
Sejarah mencatat, setidaknya telah terjadi empat kali kasus korupsi
pada zaman Nabi SAW, yaitu pertama, kasus ghulul atau penggelapan yang
dituduhkan oleh sebagian pasukan perang Uhud terhadap Nabi SAW. Kedua,
kasus budak bernama Mid‟am atau Kirkirah yang menggelapkan mantel.
Ketiga, kasus seseorang yang menggelapkan perhiasan seharga 2 dirham.
Keempat, kasus hadiah (gratifkasi) bagi petugas pemungut zakat di kampung
Bani Sulaim, bernama Ibn al-Lutbiyyah.
108

Mengenai kasus pertama, ghulul atau penggelapan yang dituduhkan


oleh sebagian pasukan perang Uhud terhadap Nabi SAW, Allah berfrman di
dalam surat Ali Imran ayat 161:

Artinya :“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta


rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, kemudian tap-tap diri akan diberi pembalasan tentang
apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setmpal, sedang mereka tdak
dianiaya.”

Menurut ulama ahli tafsir dan ahli sejarah, ayat ini turun berkaitan
dengan kasus yang terjadi saat perang Uhud tahun ke-2 Hijriah. Kala itu
pasukan kaum muslimin menderita kekalahan sangat tragis, para pasukan
panah berbondong-bondong turun dari bukit Uhud untuk ikut berebut harta
rampasan perang. Padahal Rasulullah SAW sejak semula sudah berpesan
jangan sekali-kali meninggalkan bukit Uhud. Apapun yang terjadi, kata
beliau, menang atau kalah, jangan sekali-kali meninggalkan posisi bukit Uhud
agar kita bisa melindungi atau membentengi bala tentara yang berada di
bagian bawah bukit, termasuk Nabi SAW sendiri yang kala itu menjadi
panglima perang. Namun mereka melanggar perintah Nabi SAW, bahkan
mencurigai Nabi SAW akan menggelapkan harta rampasan perang yang
tampak sangat banyak oleh mereka. Pada saat Rasulullah SAW mengetahui
pasukan pemanah turun dari bukit Uhud, beliau bersabda:“Kalian past
mengira bahwa kami akan melakukan ghulul, korupsi terhadap ghanimah,
atau harta rampasan perang dan tdak akan membagikannya kepada kalian”!

Kasus korupsi kedua, menimpa seorang budak bernama Mid‟am atau


Kirkirah. Dia seorang budak yang dihadiahkan untuk Nabi SAW. Kemudian,
Nabi SAW. mengutusnya untuk membawakan sejumlah harta ghanîmah atau
hasil rampasan perang. Dalam sebuah perjalanan, tepatnya di wâdil qurâ, tiba-
tiba Mid‟am atau Kirkirah, seorang budak itu terkena bidikan nyasar, salah
tembak, sebuah anak panah menusuk lehernya sehingga dia tewas. Para
sahabat Nabi kaget. Mereka serentak mendoakan sang budak semoga masuk
surga. Di luar dugaan, Rasulullah SAW tiba-tiba bersabda bahwa dia tidak
109

akan masuk surga. Nabi Bersabda yang Artinya: “Tidak demi Allah, yang
diriku berada di tanganNya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada
waktu penaklukan Khaibar dari rampasan perang yang belum dibagi akan
menyulut api neraka yang akan membakarnya. Ketika orang-orang
mendengar pernyataan Rasulullah itu ada seorang lelaki datang kepada
Rasulullah SAW membawa seutas tali sepatu atau dua utas tali sepatu. Ketika
itu, Nabi SAW mengatakan: seutas tali sepatu sekalipun akan menjadi api
neraka (HR. Abu Dawud).

Pelajaran yang bisa diambil, korupsi sebuah mantel dan seutas tali
sepatu saja, sabda Nabi SAW, pasti akan masuk neraka. Jelaslah, posisi
korupsi yang terjadi pada hari ini, dengan modus dan jumlah yang sangat
besar, dan dampak yang sangat luas, sistemik, dan terstruktur.

Kasus korupsi ketiga adalah kasus seorang yang menggelapkan


perhiasan seharga 2 dirham. Hal ini dijelaskan dalam hadits riwayat Abu
Dawud yang Artinya: “Dan orang baik seyogyanya tidak perlu ikut menyalat
orang yang fasik agar menjadi pelajaran dan mencegah bagi yang lain agar
tidak meniru menjadi fasik.”

Kasus berikutnya adalah korupsi Abdullah bin al-Lutbiyyah (atau Ibn


al Atbiyyah), petugas pemungut zakat di Bani Sulaim. Kasus ini terjadi pada
tahun 9 H. Sebagai petugas pemungut zakat, dia menjalankan tugasnya di
Bani Sulaim. sekembalinya dari bertugas, Ibn al-Lutbiyyah melaporkan hasil
penarikan zakat yang diperolehnya dan beberapa yang dia anggap sebagai
hadiah untuknya (sebagai petugas). Ibnu al-Lutbiyyah berkata kepada
Rasulullah SAW, “Ini adalah hasil pungutan zakat untukmu
(Rasulullah/Negara); dan yang ini hadiah untuk saya.” Mendengar laporan
ini, Rasulullah SAW menolak hadiah yang diperoleh saat seseorang menjadi
petugas. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu duduk saja di rumah bapak
dan ibumu, apakah hadiah itu akan datang sendiri untuk kamu?” Kemudian,
Rasulullah SAW langsung naik mimbar berpidato di hadapan orang banyak
untuk memberitahukan ke publik tentang peristiwa ini. Hadits tentang kasus
110

Ibn al-Lutbiyyah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan al-Bukhari dengan
redaksi Imam Muslim sebagai berikut :

Artinya: Dari Abi Humaid as-Sa‟idi ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata:


Rasulullah SAW mengangkat seorang lelaki dari suku al-Azd bernama Ibn al-
Lutbiyyah untuk menjadi pejabat pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketka ia
datang (menghadap Nabi SAW untuk melaporkan hasil pemungutan zakat)
beliau memeriksanya. Ia berkata: “Ini harta zakatmu (Nabi/Negara), dan yang
ini adalah hadiah (yang diberikan kepadaku).” Lalu Rasulullah SAW
bersabda, “jika engkau memang benar, maka apakah kalau engkau duduk di
rumah ayahmu atau di rumah ibumu hadiah itu datang kepadamu?”
Kemudian Nabi SAW berpidato mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu
berkata: “Selanjutnya saya mengangkat seseorang di antaramu untuk
melakukan tugas yang menjadi bagian dari apa yang telah dibebankan Allah
kepadaku. Lalu, orang tersebut datang dan berkata: “ini hartamu (Rasulullah /
Negara) dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.” Jika ia memang
benar, maka apakah kalau ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya hadiah itu
juga datang kepadanya? Demi Allah begitu seseorang mengambil sesuatu dari
hadiah tanpa hak, maka nanti di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan
membawa hadiah (yang diambilnya itu), lalu saya akan mengenali seseorang
dari kamu keitka menemui Allah itu ia memikul di atas pundaknya unta (yang
dulu diambilnya) melengkik atau sapi melenguh atau kambing mengembik…
(HR. al-Bukhari dan Muslim dan teks dari Muslim).

Tindakan Nabi berpidato di hadapan publik membicarakan


ketidakbenaran yang dilakukan oleh bawahannya ini dapat dikatakan bahwa
Nabi SAW mempublikasikan tindakan koruptor di media massa atau tempat
umum agar menjadi pembelajaran bagi publik, dan agar seorang koruptor dan
keluarganya malu dan jera dari tindakan korupsinya.

2. Kolusi
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat
111

rasul, anak- anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ayat 161 surah Ali „Imran yang telah disebutkan sebelumnya


mengandung pengertian, bahwa setiap perbuatan curang dan khianat seperti
kolusi akan diberi hukuman yang setimpal kelak di akhirat. Hal ini memberi
peringatan agar setiap pejabat tidak terlibat dalam perbuatan kolusi. Dalam
sejarah tercatat peristiwa- peristiwa yang mengandung arti, bahwa Islam
melarang keras perbuatan Kolusi. Misalnya: Nabi Muhammad SAW
mengancam Fatimah ra putri kandungnya, jika mencuri akan dipotong
tangannya. Umar bin Khattab mengancam keluarganya yang melakukan
pelanggaran akan dihukum dengan hukuman yang lebih berat. Umar bin
Abdul Aziz marah dan memerintahkan putrinya mengembalikan kalung emas
pemberian pengawas kas negara (bait al mal) ke bait al mal (kas negara),
karena kalung tersebut adalah milik negara dan hanya untuk negaralah harta
itu boleh digunakan, bahkan pernah khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika
datang kepadanya seorang anak kandungnya dalam urusan yang bertalian
dengan urusan pribadi, dia memadamkan lampu yang sedang dipakainya.
Ketika ditanya oleh putranya mengapa dia memadamkan lampu pada saat
kedatangannya itu, dia menjawab, bahwa lampu ini adalah milik negara,
sedangkan yang datang itu bertalian dengan urusan pribadi saya.

3. Nepotisme

Fenomena nepotisme merupakan hal sudah tak asing lagi. Nepotisme


sudah ada sejak masa khulafā‟ al-rāsyidīn dalam sejarahIslam. Pada masa
khulafā‟ al- rāsyidīn khalifah ketiga yakni khalifah Usmān bin Affān dituduh
melakukan tindakan nepotisme sehingga terjadi pemberontakan dimana-
dimana sampai puncaknyaterbunuhnya khalifah Usmān bin Affān dengan
keji.
112

Pada saat itu, tersebarlah berbagai fitnah keji yang menimpa beliau
melalui motif nepotisme. Jika ditelusuri secara mendalam sikap nepotisme
khalifah Usmān bin Affān bukanlah untuk kepentingan pribadi beliau dan
keluarganya. Beliau mendapatkan berbagai tuduhan untuk menjatuhkan dari
kursi pemerintahan saat itu, diantaranya :

a. Khalifah Usmān bin Affān mendapatkan fitnah karena telah


mengangkat kerabatnya menduduki jabatan gubernur di berbagai
wilayah kekuasaan Islam. Para kerabat beliau dianggap tidak cakap
dalam menjalankan tugas pemerintahan. Pengangkatan gubernur
wilayah merupakan hak seorang pemimpin. Mengangkat
kerabatbukanlah hal yang melanggar syari‟at Islam selama
keputusan tersebut tidak timbul dari hawa nafsu dan tidak
bertentangan dengan norma masyarakat, negara serta syari‟at
Islam. Selain itu, khalifah Usmān bin Affān merupakan sosok yang
lembut dan menyayangi para kerabat beliau.

b. Para pemberontak memfitnah khalifah Usmān bin Affān beserta


kerabatnya memanfaatkan harta yang bukan hak milik mereka.
Contohnya, ketika khalifah menikahkan putranya dengan putra Al-
Harits Ibn al-Hakam.Mereka menuduh bahwa pernikahan tersebut
menggunakan uang negara. Padahal beliau menggunakan harta
beliausendiri, yang mana bani umayyah memang terkenal dengan
kekayaan yang melimpah sejak zaman jahiliyyah. Di sisi lain,
ketika khalifah Usmān bin Affān memberikan hutang kepada
Abdullah bin Khālif bin Ash, mereka berpendapat bahwa Abdullah
bin Khālif bin Ash tidak memiliki hak. Padahal pada saat itu, setiap
muslim berhak untuk berhutang dari Baitul Mal.
113

E. Sanksi Hukuman Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Sanksi KKN dapat diklasifikasikan sesuai dengan berat dan ringannya cara
atau akibat yang ditimbulkan. Di antaranya91:

a. Celaan dan teguran/peringatan. Hukuman ini dijatuhkan kepada


pelaku tindak pidana tertentu yang dinilai ringan namun dianggap
merugikan orang lain. Adapun peringatan dimaksudkan untuk
mendidik pelaku dengan cara mengancam pelaku kriminal jika ia
mengulangi kejahatannya dengan ancaman penjara, cambuk,
sampai pada ancaman hukuman terberat. Hukuman jenis ini dapat
diberlakukan kepada pelaku tindak pidana ringan.

b. Masuk daftar orang tercela (al-tasyhir) yang diberlakukan atas


pelaku kesaksian palsu dan kecurangan dalam bisnis. Dalam tradisi
klasik memasukkan pelaku dalam daftar orang tercela dilakukan
dengan mengumumkan kejahatan serta dosa pelaku pidana di
tempat-tempat umum seperti pasar dan sebagainya. Saat ini,
pengumuman dapat dilakukan di media masa, koran, majalah serta
tempat-tempat publik.

c. Menasehati dan menjauhkannya dari pergaulan sosial. Rasulullah


sendiri pernah memberikan hukuman kepada tiga orang sahabat
yang enggan ikut berperang dalam perang Tabuk, yaitu Mirarah ibn
al-Rabi' al-'Amiri, Ka'ab ibn Malik, dan Hilal ibn Umayyah al-
Waqifi, dengan menjauhkan mereka (mendiam- kan mereka)
selama lima puluh hari, dan tidak ada yang berbicara dengan
mereka Memecat dari jabatannya (al-'azl min al-wadzifah). Hal ini
bisa diberlakukan atas pelaku yang duduk pada jabatan publik, baik
yang diberi gaji atau jabatan yang sifatnya sukarela. Sebagaimana
yang tertuang dalam al-Qur‟an al-Taubah: 118

Artinya "Dan terhadap tiga orang yang dijauhkan dari pergaulan


hingga mereka merasakan bumi yang memberikan mereka
keuntungan menjadi terasa sempit, mereka merasakan diri-diri

91
Dewi Kusuma Putri, Tafsir Makna Kekerabatan dan Nepotisme Dalam al-Qur’an, (Jakarta, 2022), h. 40-41.
114

mereka sempit dan mengira bahwa tidak ada tempat bersandar


selain hanya pada Allah, lalu mereka taubat dengan sungguh-
sungguh bertaubat. (Ketahuilah) sesungguh- nya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

d. Dengan pukulan (dera/cambuk). Hukuman ini diberlakukan atas


pelaku pidana dengan tidak dimaksudkan untuk melukai atau
mengganggu produktivitas kerjanya, sebaliknya diberlakukan
dengan tujuan membuat jera si pelaku. Menurut Abu Hanifah,
minimal deraan sebanyak 39 kali. Sedangkan ukuran maksimalnya,
menurut Imam Malik boleh lebih dari seratus kali jika kondisi
menghendaki demikian.

e. Penjara. Pemenjaraan bisa berjangka pendek atau jangka panjang,


sampai penjara seumur hidup. Hukuman jangka pendek paling
sebentar satu hari dan paling lama tidak ditentukan, karena tidak
disepakati oleh para ulama. Ada yang menyatakan 6 bulan,
sementara ulama lain berpendapat tidak boleh melebihi satu tahun,
dan menurut kelompok lain penentuannya diserahkan kepada
pemerintah. Adapun penjara yang tidak terbatas waktunya,
memperhatikan pelaku jika akhlaknya membaik maka pada saat itu
hukuman bisa dihentikan. Tetapi jika pelakunya selalu mengulang
kejahatannya dan jenis kejahatannya sangat membahayakan maka
hukumannya dipenjara hingga mati.

f. Pengasingan. Untuk mengasingkan para terpidana, ulama berbeda


pendapat tentang batas maksimal lama pengasingan boleh lebih
dari satu tahun, karena pada mulanya pengasi. diberlakukan kepada
pelaku zina yang lamanya satu tahun. Sedangkan Abu Hanifah
membolehkan lebih dari satu tahun, karena tujuan ta'zir untuk
memberikan penyadaran dan. bukan berarti sebagai pemberlakuan
had seperti pada pelaku zina. Hal ini pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan Umar ibn Khattab kepada Nasr ibn Hajjaj.
Pengasingan pelaku pidana dicabut ketika pelakunya sadar dan
berkelakuan baik.
115

g. Sanksi Akhirat. Selain ancaman sanksi dunia yang cukup berat dan
menghinakan, di akhirat kelak para koruptor akan sangat dihinakan
di hadapan Allah dengan saksi barang-barang atau segala sesuatu
yang ia korupsi ketika di dunia. Hal ini betul-betul akan terjadi
sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah Hadis yang
diriwayatkan dari sahabat Abu Humaid al-Saïdy: "Demi yang
menguasai jiwa Muhammad, tidaklah seseorang di antara kalian
mengkorupsi sesuatu kecuali dia pada hari kiamat akan memanggul
sesuatu yang dikorupsi pada tengkuknya. Jika yang dikorupsi
seekor unta, ia akan datang (menghadap Allah) dengan unta hasil
korupsinya yang bersuara. Jika yang dikorupsi seekor sapi, maka ia
akan datang dengan sapi korupsinya yang melenguh. Jika yang
dikorupsi seekor kambing, maka ia akan datang dengan kambing
hasil korupsinya yang mengembik. "(HR. Bukhari no. 6145)

h. Sanksi Moral dan Sosial. Adapun sanksi moral dan sosial bagi para
koruptor, jenazahnya tidak disalatkan, terutama oleh para pemuka
agama yang dikenal kedudukan dan kredibilitasnya. Hal ini
berdasarkan pada salah satu Hadis: "Dari Zaid ibn Khalid, seorang
laki-laki mari pada Perang Khaibar, lantas Rasulullah bersabda:
salatkanlah teman kalian itu, (Aku sendiri tidak mau
menyalatkannya) karena dia telah melakukan penggelapan (ghulul)
saat berjuang di jalan Allah. Ketika kami periksa barang-
barangnya, kami menemukan manik-manik orang Yahudi yang
harganya tidak mencapai dua dirham." (HR. Nasai, Kitab Janaiz,
no.1933)

i. Mengembalikan harta yang telah diambil. Ulama memberikan


penjelasan yang berbeda mengenai pembayaran uang pengganti
atau pengembalian uang hasil korupsi, di antaranya:

1) Imam Syafi'i dan Ahmad ibn Hambal berpendapat bahwa


pelaku korupsi harus mengembalikan uang yang
dikorupsi, meskipun ia telah dikenakan hukuman. Alasan
mereka di samping ada Hadis yang menjelaskan bahwa
116

seseorang berkewajiban mengembalikan hak orang lain


yang diambil- nya, Imam Syafi'i dan ibn Hambal
berpendapat bahwa sanksi dan ganti rugi pelaku korupsi
itu dapat digabungkan. Artinya pelaku korupsi mendapat
hukuman kedua-duanya, yaitu berupa sanksi ta'zir dan
ganti rugi harta yang dikorupsi. Alasan mereka, pelaku
korupsi telah melanggar dua hak, dalam hal ini hak Allah
berupa pengharaman korupsi dan hak hamba berupa
pengambilan harta orang lain.

2) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bila pelaku korupsi


telah ditetapkan hukumannya, maka ia tidak wajib
mengganti uang hasil korupsi, karena merujuk QS.al-
Maidah: 38. Ayat ini hanya menyebutkan hukuman pokok
saja dan tidak ada hukuman tambahan berupa harta atau
uang pengganti dalam tindak pencurian. Abu Hanifah juga
berpendapat bahwa sanksi dan ganti rugi adalah dua hal
yang tidak dapat digabungkan. Artinya bila si pelaku
korupsi sudah dikenai sanksi hukuman maka tidak ada
keharusan untuk membayar ganti rugi. Alasannya bahwa
al-Qur'an hanya menyebutkan masalah sanksi saja. Selain
itu jika pencuri harus membayar ganti rugi maka seakan-
akan uang itu adalah miliknya. Akan tetapi pada umumnya
menurut beliau pemilik uang itu boleh meminta
dikembalikannya uang tersebut setelah pencurinya dikenai
sanksi hukuman bila uang itu masih ada.
117

Pertanyaan !!!

1. Bagaimana orang yang minjam barang orang tapi tidak meminta ijin terlebih
dahulu( karena merasa sudah terbiasa seperti kerabat, keluarga, atau tetangga) ?
2. Apakah hukum potong tangan bisa diterapkan diindonesia dan kenapa tidak
diterapkan ?
3. Sanksi KKN yang sudah dijelaskan apakah harus diterapkan semuanya ?
4. Bagaimana menyuap orang demi bisa masuk pekerjaan, tapi kita sebenarnya
sudah sesuai dengan kompetensi pekerjaan tersebut ?
5. Bagaimana hukum Sim, vaksin betembak ?
BAB VII

Operasi Ganti Kelamin dan Operasi Selaput Dara

A. Operasi Ganti Kelamin

1. Pengertian Operasi Ganti Kelamin


Menurut Edward Brace dalam bukunya yang berjudul Penuntun
Populer Bahasa Kedokteran, orang yang melakukan pergantian kelamin atau
operasi kelamin pada umumnya disebut dengan transgender92.

Transgender berasal dari dua kata yaitu “trans” yang berarti pindah
atau pemindahan dan “gender” yang berarti jenis kelamin. Transgender
adalah orang yang mengidentifikasi karakter atau sifatnya berlawanan dengan
jenis kelamin yang dimilikinya. Istilah lain yang digunakan dalam operasi
pergantian kelamin ialah “transseksual” yaitu merupakan terjemahan dari
Bahasa Inggris. Disebut juga dengan transseksual karena memang operasi
tersebut sasaran utamanya adalah mengganti kelamin seorang waria yang
menginginkan dirinya menjadi perempuan atau laki-laki, baik perpindahan
kelamin dari kelamin laki-laki atau pindah dengan kelamin perempuan.93

Penjelasan tentang pengertian transgender dapat disimpulkan bahwa


transgender adalah ketidakpuasan seseorang terhadap kelamin yang
dimilikinya atau seseorang yang memang memiliki kelamin yang ambigu
sehingga mereka merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dengan
kelamin. Beberapa ekspresi ini berawal dari bentuk dandanan (make up) gaya
dan tingkah laku bahkan sampai kepada operasi pergantian kelamin.

2. Jenis-Jenis Transgender
Berbicara tentang transgender berarti berkaitan dengan operasi
kelamin. Era globalisasi saat ini banyak orang yang merasa tidak cocok
dengan kelamin yang dimilikinya dan mereka beranggapan bahwa operasi
92
Edward Brace, Penuntun Populer Bahasa Kedokteran, (Bandung:Angkasa, 1984), h. 344.
93
Gibtiah, Fiqh Kotemporer, (Palembang: Rafah Press, 2016), h. 269-270.
119

kelamin atau pergantian kelamin suatu jalan keluar yang tepat. Dalam hal ini
transgender bisa dimulai dari berubahnya bentuk gaya dandanan bahkan
sampai kepada operasi kelamin, namun hal yang paling ironisnya di kalangan
masyarakat kita pada saat ini ada saja seseorang yang melakukan operasi
kelamin dari kelamin yang memang normal. Karena operasi kelamin itu mulai
dari penyempurnaan pembuangan dan pergantian kelamin. Namun ada yang
operasi dari kelamin normal, penyempurnaan kelamin serta pembuangan
kelamin. Dalam hal ini ada tiga bentuk transgender atau operasi kelamin
antara lain:

a. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang


yang sejak lahir memiliki kelamin normal.

b. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang


dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin,
seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak
sempurna

c. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan


terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin
laki-laki dan perempuan.

Selain dari tiga bentuk operasi itu transgender juga dari berbagai
bentuk gaya make up serta dandanan yang dilakukan seseorang tersebut.
Misalnya laki-laki namun kejiwannya seperti wanita padahal dia telah jelas
memiliki kelamin laki-laki bukanlah perempuan. Di dalam Islam juga
94
mengenal istilah khuntsa dan khuntsa ini terbagi dua yakni khuntsa
musykil95 dan khuntsa ghoiru musykil 96
. Ada lagi mutarajjil dan
mukhannasts ini bagian dari transgender karena operasi kelamin itu bermula
dari hal seperti ini.

94
Khuntsa adalah seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan karena memiiki alat kelamin secara
bersamaan ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki-laki atau perempuan. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 172.
95
Khuntsa Musykil adalah orang yang terlahir dengan dua alat kelamin yang berbeda yakni alat kelamin perempuan dan alat kelamin laki-
laki dan kedua alat kelamin itu berfungsi dengan baik secara bersamaan atau orang yang memang tidak memiliki kelamin sama sekali.
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 87.
96
Khuntsa Ghoiru Musykil adalah orang yang terlahir dengan dua alat kelamin secara bersamaan namun salah satu alat kelamin dari kedua
tersebut lebih dominan, yakni seseorang yang jelas tanda-tanda kelaki-lakiannya (maskulinitas) dan kewanitaannya (feminitas). Ahmad
Rofiq Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 173 .
120

3. Hukum Transgender
Kedudukan hukum dari operasi pergantian kelamin kelompok
transgender tergantung kepada keadaan organ kelamin. Dalam dunia
kedokteran modern sendiri, dikenal tiga bentuk operasi atau transgender
kelamin yakni97:

a. Operasi pergantian kelamin yang dilakukan terhadap orang yang


sejak lahir memiliki kelamin normal, MUI mengharamkan dalam
musyawarah nasional II Tahun 1980 tentang operasi kelamin.

b. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan


terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin seperti alat
kelamin yang tidak berlubang atau tidak sempurna, sehingga sangat
dibutuhkan kejelasan dari kelamin yang dimilikinya dalam hal ini

c. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan


terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ jenis kelamin.

B. Operasi Selaput Dara

1. Pengertian Operasi Selaput Dara


Operasi dalam bahasa arab adalah jirahah diambil dari kata jarh yang
berarti membekasi dengan senjata tajam. Bentuk jama‟nya adalah jara‟ah,
tetapi jarh bisa juga jamaknya adalah jirahah. Makna kebahasan jirahah ath
Thibbiyah (operasi medis) ini jelas, karena ia mencakup pembedahan kulit,
mencari sumber penyakit, memotong anggota tubuh dengan alat operasi dan
pisau operasi yang hukumnya seperti senjata dan bekasnya seperti bekas
senjata98.

Operasi secara bahasa ialah, bedah atau bedel (untuk mengobati


penyakit atau bisa diartikan menjadi untuk mengobati penyakit). Operasi

97
Duski Ibrahim, Kaidah-Kaidah Fiqh Pedoman Praktis dalam Penyelesaian Masalah Hukum Islam Kotemporer, (Palembang:Grafika
Telindo Press, 2014), h. 38.
98
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: 2017), h. 140.
121

adalah penyembuhan suatu penyakit yang dijalankan lewat pembedahan.2


Keperawanan dalam kamus kedokteran adalah virginity atau virginitas,
artinya perempuan yang belum melakukan senggama. Operasi pengembalian
keperawanan wanita dalam istilah bahasa Arab adalah ritqu ghisy al-bikârah.
Secara harfiah, ritqu dapat diartikan “menempelkan atau merapatkan”.
Sedangkan ghisyya al bikârah berarti selaput klitoris atau selaput dara yaitu
permukaan daging tipis dan lembut yang terletak pada kelamin wanita. Ia
disebutkan juga dengan selaput keperawanan (udzrah).

Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa pengertian operasi


selaput dara adalah mengembalikan selaput dara atau selaput keperawanan
yang telah sobek atau rusak karena sebab-sebab tertentu dengan cara
dioperasi.

2. Sebab-Sebab Robeknya Selaput Dara


Jaringan vulva (bagian luar dari alat kelamin wanita) biasanya sangat
tipis dan mudah sobek sebelum pubertas. Kegiatan apa saja yang menekan
jaringan vulva bisa merusak atau merobek hymen (selaput dara). Banyak
gadis yang tidak sadar kalau selaput daranya sobek atau hilangnya sebab
aktifitas fisik seperti bersepeda, naik kuda, memasukan tampon, atau ketika
bermastrubasi. Gadis ini tidak tahu karena mungkin tidak terjadi pendarahan
atau darah yang menetes terlalu sedikit, juga tidak terasa sakit. Atau terjadi
ketika ia masih kanak-kanak sehingga ia lupa atau tidak mengerti apa yang
telah berlangsung saat terjadi kecelakaan tersebut99.

Ketika seorang gadis bersenggama, hymen (selaput dara) ini akan


rusak dan robek oleh penis yang ereksi. Hal ini bisa disertai rasa sakit atau
tidak nyaman, pendarahan, dan juga bisa tidak. Setiap manusia memang
dilahirkan berbeda-beda. Perbedaan itu nampak nyata dan mudah ditemukan
dari banyak hal, mulai dari jenis kelamin, wajah hingga hal-hal yang
tersembunyi sekalipun. Berbicara mengenai perbedaan dari hal tersebumyi,
organ reproduksi adalah salah satu diantaranya.

99
Muhammad Yusuf, Masail Fiqhiyah : Memahami Permasalahan Kontemporer, (Makasar: 2017), h. 200.
122

Selaput dara atau hymen robek karena tiga sebab yaitu:

a. Senggama. Seperti berhubungan suami-istri, dan mastrubasi


terutama yang dilakukan dengan benda asing besar seperti vibrator.

b. Olahraga. Seperti naik kuda, naik sepeda, bermain lompat tinggi,


senam, bela diri, dan lain-lain.

c. Tindakan lain menyebabkan trauma. Bisa dikatakan seperti


pemerkosaan. Alat-alat tertentu oleh dokter ketika menjalani
pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan panggul atau operasi
pembedahan.

3. Hukum Melakukan Operasi Selaput Dara


Banyak kalangan memperdebatkan tentang persoalan ini, di mana
banyak dari kalangan wanita yang menggunakan alasan melakukan operasi
pengembalian keperawanan ini karena sobeknya selaput dara disebabkan oleh
kecelakaan. Tetapi tidak banyak wanita yang melakukan operasi ini dengan
alasan sudah bertaubat dan ingin memperbaiki yang sudah rusak agar tidak
membuat dampak yang besar bagi dirinya.

Praktek pemulihan selaput dara ini karena mengandung unsur-unsur,


terbukanya aurat kepada orang lain, terlihatnya aurat oleh orang lain,
penipuan terhadap orang lain, menimbulkan rasa sakit dan lain-lain. “Faidh
al-Qadir Syarh al-Al Imam Jalaluddin al-Suyuthi berkata: “kaedah yang
keempat ialah, kemudharatan itu harus dihilangkan berdasarkan sabda Nabi
Muhammad SAW, (tidak boleh kemudharatan terhadap diri sendiri dan tidak
boleh berbuat kemudharatan terhadap orang lain). Dalam al-Jami al-Shaghir
terdapat hadis, “Barang siapa menipu, maka bukan termasuk golongan dari
kamu”. HR. Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah ra, Hadis shahih, Al-Munawi
berkata: “Maksud hadis (barang siapa yang menipu) yaitu berkhianat atau
menyembunyikan yang sebenarnya, (maka bukan termasuk golongan kami)
yaitu bukan golongan pengikut kami.
123

Dari apa yang telah disebutkan, baik tentang kemaslahatan maupun


mudharat yang terwujud dari pengembalian keperawanan di atas, jelaslah
bahwa:100

a. Jika selaput dara itu rusak disebabkan oleh kecelakaan atau


perbuatan yang bukan maksiat secara syariat dan bukan hubungan
seksual dalam pernikahan, maka dapat dilihat sebagai berikut: Jika
diyakini bahwa si gadis akan menerima kedzaliman karena adat
istiadat yang ada, maka operasi tersebut wajib dilakukan, karena
hal itu untuk menghilangkan mudharat yang kemungkinan. Namun
jika diperkirakan kemudharatan itu kecil kemungkinannya untuk
terjadi, maka perbaikan selaput dara itu disunnahkan, tapi tidak
wajib. Kerena tindakan itu hanya dijadikan sebagai batasan untuk
menetapkan urgen tidaknya operasi itu adalah tabiat dan adat
istiadat masyarakat di mana si gadis hidup di dalamnya.

b. Jika penyebab pecah selaput dara itu adalah hubungan seksual


dalam pernikahan, maka operasi pengembalian keperawanan
tersebut diharamkan atas janda atau wanita yang dicerai. Karena
tidak ada kepentingan di dalamnya. Terlebih diharamkan untuk
yang sudah menikah karena hal itu sama saja dengan main-main.
Dan dokter tidak dibolehkan untuk melihat aurat wanita kecuali
dalam keadaan darurat.

c. Jika penyebab rusak selaput dara itu dikarenakan zina yang


diketahui masyarakat, baik yang diketahui melalui keputusan
pengadilan bahwa si gadis berzina, maupun karena perbuatan
berzina tersebut dilakukan berulang-ulang, atau karena pengakuan
si gadis akan perbuatannya dia terkenal sebagai pelacur, maka
pengembalian selaput dara dalam hal ini juga diharamkan. Karena
operasi itu tidak ada maslahatnya sama sekali dan tidak lepas dari
mudharatnya.

d. Jika penyebab rusak selaput dara itu adalah zina yang tidak
diketahui oleh masyarakat dalam artian yang sudah dijelaskan,
100
Nalisa Agustina, “Penetapan Kewarisan Bagi Transgender Ditinjau Dari Hukum Islam”, (Palembang: 2016), h. 42.
124

dokter bisa memilih untuk melakukan operasi atau tidak. Dan


melakukannya lebih baik jika memungkinkan karena perbuatannya
ini termasuk menutup aib, dan menutup aib orang yang berbuat
maksiat.

Ulama kontemporer memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada


yang mengharamkan secara mutlak apapun alasannya dan ada pula yang
memperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

Meskipun permasalahan operasi selaput dara ini tidak disebutkan


dalam nash syari‟at, tetapi para ulama kontemporer memberikan pendapat
tentang hukumnya. Ulama kontemporer memiliki pendapat mengenai
masalah operasi selaput dara, yakni :

a. Tidak boleh merapatkan selaput dara secara mutlak. Ini pendapat


Syaikh Al „Izz Bin Abdussalam dan Muhammad Muhtar Asy-
Syinqithi.

b. Boleh merapatkan selaput dara ketika robek di usia muda dengan


sebab selain persetubuhan. Diperbolehkan juga bila suami
menginginkannya. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad
Mukhtar As-Salami.

c. Boleh, ini adalah pendapat Dr. Taufiq Al Wa‟i. Boleh merapatkan


selaput dara dalam kondisi-kondisi berikut :

1) Apabila sebab robeknya selaput dara karena insidental


yang tidak dianggap maksiat secara syara‟, dan bukan
karena persetubuhan dalam ikatan nikah, yaitu : apabila
disangka kuat bahwa seorang perempuan muda akan
menerima kekejaman dan kezhaliman berdasarkan
kebiasaan dan tradisi, maka wajib merapatkan selaput
dara. Sedangkan apabila tidak disangka kuat demikian,
maka memperbaiki selaput dara hukumnya sunnah.

2) Apabila sebab robeknya adalah zina yang tidak tersebar


beritanya di tengah masyarakat, maka dokter memiliki
125

pilihan antara melakukan operasi atau tidak, namun


melakukan operasi lebih kuat.

d. Jika perlakuan penipuan pengembalian keperawanan untuk


menutup zina yang diketahui masyarakat atau dilakukan berulang-
ulang maka hukumnya haram.

Pertanyaan !!!

1. Apakah jatuh talak ketika suami baru mengetahui ternyata istri tidak perawan lagi
padahal belum ada disentuh oleh suaminya?
2. Bagaiman hukumnya seseorang yang di atas seperti wanita bawah nya laki-laki,
maka boleh kah operasi mengganti kelamin?
3. Bagaimana hukum seorang suami meubar atau menceritakan aib istri ke mertua
bahwa istrinya tidak perawaanya gara-gara kecelakaan?
BAB VIII

Transplantasi Dalam Islam

A. Transplantasi Dalam Islam.

Terkait transplantasi organ, terdapat beberapa pendapat antara ulama klasik


dan modern. Ulama klasik membolehkan transplantasi selama tidak mendapatkan
organ lainnya dan tidak menimbulkan mudharat. Sebagian dari ulama
memperbolehkannya transplantasi organ. Yusuf Qardhawi membolehkan, akan
tetapi sifatnya tidak mutlak melainkan bersyarat. Maka dari itu, tidak dibenarkan
mendonorkan sebagian tubuh yang akan meninggalkan darar atasnya, tidak pula
mendonorkan organ tubuh yang hanya satu-satunya dalam tubuh, seperti hati dan
jantung.

B. Transplantasi yang bertujuan perbaikan (Qs. An-Nisa ayat 29)

َ ّ ٰ ‫ـُك تٌََُْ ُ ُْك ِب مْ َحا ِظلِ ِا َّ ْۤل َا ْن حَ ُك ْو َن َِتَا َر ًة َغ ْن حَ َرا ٍض ِ ّمٌْ ُ ُْك ۗۗ َو َْل ث َ ْل ُذوُ ْۤوا َاهْـ ُف َس ُ ُْك ۗۗ ِا َّن‬
‫اّل‬ ْ ُ َ ‫ًٰۤـ َاُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍْ َن ٰا َمٌُ ْوا َْل ثَبِ ُ َُك ْۤوا َا ْم َوا م‬
‫ََك َن ِج ُ ُْك َر ِح ِْ ًما‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
hartasesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengansuka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

C. Transplantasi yang didasari pada kedaruratan (Al-an’am ayat 119)

‫ـُك َّما َح َّر َم ػَوَ َْ ُ ُْك ِا َّْل َما اضْ ُع ِر ْر ُ ُْت ِام َ َْ َِ ۗۗ َو ِا َّن َن ِث ْ ًيا م َّ َُ ِضو ُّ ْو َن ِ َب‬
ْ ُ َ ‫اّل ػَو َ َْ َِ َوكَدْ فَ َّط َل م‬ِ ّ ٰ ‫اِس‬ ُ ْ ‫ـُك َا َّْل ثَبِ ُ َُك ْوا ِم َّما ُذ ِن َر‬
ْ ُ َ ‫َو َما م‬
‫ُ َْوآِئِ ِ ْم ِتغ ْ َِي ِػ ْ ٍَّل ۗۗ ِا َّن َرت َّ َم ُ َُو َاػْ َ َُّل ِب مْ ُم ْؼ َخ ِدٍْ َن‬
Artinya “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar
127

benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa
pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang melampaui batas.”101

D. Transplantasi didasari pada kebutuhan (Al-Maidah ayat 2)

‫اّل َو َْل امشَّ ِ َْر امْ َح َـرا َم َو َْل امَِْدْ َي َو َْل امْلَ ۤ ََل ِيدَ َو َ ْۤل ٰا ٓ ِ ّم ْ َْي امْ َحُ َْت امْ َح َـرا َم ً َ ْدـ َخغ ُْو َن فَضْ ًَل‬
ِ ّ ٰ ‫ًٰۤـ َاُّيُّ َا َّ ِاَّلٍْ َن ٰا َمٌُ ْوا َْل ُ ُِتو ُّ ْوا شَ َؼا ٓ ِئ َر‬
ۗۘ ‫ِ ّم ْن َّر ِ ّ ِِب ْم َو ِرضْ َوا ًنً ۗۗ َو ِا َذا َحوَوْ ُ ُْت فَا ْض َعا د ُْوا ۗۗ َو َْل َ َْ ِر َمٌ َّ ُ ُْك َش يَ ٰا ُن كَ ْو ٍم َا ْن َضد ُّْو ُ ُْك َغ ِن امْ َم ْسجِ ِد امْ َح َـرا ِم َا ْن ث َ ْؼ َخدُ ْوا‬
‫اّل شَ ِدًْدُ امْ ِؼ َلا ِب‬ َ ّ ٰ ‫اّل ۗۗ ِا َّن‬ َ ّ ٰ ‫َوث َ َؼ َاوه ُْوا ػَ ََّل امْ ِ ِّّب َوا مخَّ ْل ٰوى ۖۗ َو َْل ثَ َؼ َاوه ُْوا ػَ ََّل ْ ِاْل ْ ِمث َوا مْ ُؼدْ َوا ِن ۖۗ َوا ث َّ ُلوا‬
Artinya "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-
syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan
kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya.
Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu.
Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-
halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."102

Ada beberapa pula persoalan mengenaia transplantasi, diantaranya: Pertama,


transplantasi organ tubuh dalam keadaan sehat. Apabila transplantasi organ diambil
dari orang yang hidup dan sehat, maka hukumnya haram. Karena perbuatan itu
akan memiliki efek bagi yang mendonorkan seperti mata atau ginjal. Ia akan
menghadapi resiko dan mendatangkan bahaya dirinya dalam kebinasaan.
Pengharaman ini seperti hadis Rasulullah SAW: “Tidak diperbolehkanya bahaya
pada diri sendiri dan tidak boleh membahayakan diri orang lain” (HR. Ibnu
Majah)103.

101
Ibid hlm. 106
102102102
Ibid. hlm. 143.

103
4Masjfuk Zuhdi, Pencangkokan Organ tubuh dalam Masaail Fiqhiyah (Jakarta: haji mas agung, 1993). Hlm.
128

Maka dari itu, tidak dibenarkan mendermakan organ tubuh seperti mata,
tangan dan kaki. Karena menimbulkan dharar yang besar pada diri sendiri.
Seseorang harus lebih mengutamakan penjagaan dirinya sendiri daripada menolong
orang lain dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang berakibat fatal. Kedua,
transplantasi dalam keadaan koma. Hukumnya tetap haram. Karena ini sama halnya
dengan mempercepat kematian pendonor. Maka tidak dibenarkan melakukan
transplantasi organ. Ketiga, transplantasi dalam keadaan meninggal. Ada beberapa
syarat diantaranya: penerima donor dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam
jiwanya, dan pencangkokan tidak mengakibatkan penyakit yang lebih gawat.
Kemudian firman Allah dalam Qs. Al-Maidah ayat 32:

‫سا ٓ ِءًْ َل َاه َّ َٗ َم ْن كَذَ َل ه َ ْف ًسا ِتْۢغ ْ َِي ه َ ْف ٍس َا ْو فَ َسا ٍد ِِف ْ َاْل ْر ِض فَ َاكَ ه َّ َما كَذَ َل اميَّا َس‬ َ ْ ‫ِم ْن َا ْخلِ ٰذ ِ َِل ۛۗ َن َخخٌَْا ػَ َّٰل ت َ ِ ِْۤ ِا‬
‫َ ُِج َْ ًؼا ۗۗ َو َم ْن َا ْحَِاَُا فَ َاكَ ه َّ َم ۤا َا ْح َِا اميَّا َس َ ُِج َْ ًؼا ۗۗ َومَـلَدْ َخا ٓ َءهتْ ُ ْم ُر ُسوُيَا ِب مْ َح ِ ًَّٰ ِت ُ َّمث ِا َّن َن ِث ْ ًيا ِ ّمْنْ ُ ْم ت َ ْؼدَ ٰذ ِ َِل ِِف ْ َاْل ْر ِض‬
ِ ْ ‫م َ ُم‬
‫ْسفُ ْو َن‬
Artinya : “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka rasul- rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menyamakan antara pembunuhan


manusia yang tidak berdosa dengan membunuh sesama manusia. Karena peraturan
baik apapun yang ditetapkan Allah, pada hakiukatnya demi kemaslahatan manusia
itu sendiri.104 Kata “menghidupkan” pada ayat diatas bukan saja bermakna
“memelihara kehidupan”, tetapi juga mencakup “ memperpanjang harapan hidup”
dengan cara apapun yang tidak melanggar hukum. Secara kontekstual ayat tersebut
mengisyaratkan bahwasanya transplantasi menjadi salah satu teknik pengobatan
khidupan yang membawa kemaslahatan, dan ini dibolehkan dalam al-Quran.

104
5M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah:Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, . (Jakarta: 2002). Hlm. 81
129

Pertanyaan !!!

1. Bagaimana hukum trnsplantasi orang yang bukan islam ?


2. Jelaskan Alsannya kenapa tidak boleh melakukan tranplantasi tubuh pada orang
yang sudah meninggal ?
BAB IX

Bayi Tabung, Kloning dan Status Dokter Laki-Laki dalam Persalinan

A. Bayi Tabung

1. Pengertian Bayi Tabung


Bayi Tabung Bayi tabung merupakan terjemahan dari artificial
insemination. Artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination
berasal dari bahasa latin “inseminatus” yang artinya pemasukan atau
penyimpanan. Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro
Fertilization (IVF) adalah suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan
mempertemukan sel sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus tanpa
melalui senggama (sexual intercourse). Dalam bahasa Arab inseminasi buatan
ini biasa disebut “al-Talqiih al-Shina’iy”105.

Program bayi tabung dilakukan ketika pembuahan tidak mungkin


dilakukan di dalam rahim. Caranya, sel telur wanita dan sperma lelaki diambil
untuk menjalani proses pembuahan dalam sebuah tabung yang direkayasa dan
dikondisikan agar menyerupai kondisi rahim yang asli. Begitu pembuahan
berhasil, bakal janin kemudian dikembalikan ke dalam rahim wanita. Setelah
itu, proses kehamilan berlangsung sebagaimana biasa.

Dengan kata lain, untuk menjalani proses pembuahan yang dilakukan


di luar rahim, perlu disediakan ovom (sel telur dan sperma). Jika saat ovulasi
(bebasnya sel telur dari kandung telur) terdapat sel-sel yang masak maka sel
telur itu di hisab dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut,
kemudian di taruh dalam suatu tabung kimia, lalu di simpan di laboratorium
yang diberi suhu seperti panas badan seorang wanita. Kedua sel kelamin
tersebut bercampur (zygote) dalam tabung sehingga terjadinya fertilasi.
Zygote berkembang menjadi morulla lalu dinidasikan ke dalam rahim seorang
wanita. Akhirnya wanita itu akan hamil.

105
Febri Handayani, “Problematika Bayi Tabung Menurut Hukum Islam” Jurnal Hukum Islam Vol. XIII No. 01 Juni 2013. H. 111
131

Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan


dalam dunia kedokteran, antara lain106:

a. Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami


dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah
terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri.

b. Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma


suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan,
maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) dengan kata lain,
mempertemukan sel benih (gamet), yaitu sperma dan ovum dengan
cara menyemprotkan campuran sel benih itu memakai kanul tuba
ke dalam ampulla, namun teknik ini bukan merupakan bayi tabung.
Teknik kedua ini lebih alamiah dibanding teknik pertama, sebab
sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba falupi si ibu sendiri
setelah terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual

2. Hukum Bayi Tabung


Masalah bayi tabung (inseminasi buatan) telah banyak dibicarakan di
kalangan Islam dan di luar Islam, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Misalnya Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya
tahun 1980 mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma. Lembaga Fiqh
Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengadakan sidang di Amman
pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik inseminasi buatan (bayi
tabung) dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma dan/atau ovum
donor. Vatikan secara resmi pada tahun 1987 telah mengecam keras
pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan, dan seleksi jenis kelamin anak,
karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia107.

Kemudian Kartono Muhammad, Ketua IDI (Ikatan Dokter Indonesia)


mengharap agar masyarakat Indonesia bisa memahami dan menerima bayi
tabung dengan syarat sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri.

106
Hasballah Thaib, 20 Kasus Kedokteran Kontemporer dalam Perspektik Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2011) H. 35
107
Katbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017) H. 113
132

Dalam pandangan Islam, bayi tabung (inseminasi buatan) apabila


dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer
embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain
(bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan, baik dengan cara
mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus
istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian
buahnya (vertilized ovum) ditanam di Bayi Tabung dan Inseminasi Buatan
115 dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan
benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak,
karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh
anak. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Fiqh Islam: “Hajat (kebutuhan
yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa.
Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang
terlarang”

Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan,


donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan
zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah
dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.

Dalil-dalil syara‟ yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk


mengharamkan inseminasi buatan dengan donor ialah sebagai berikut:

a. (QS. Al-Isrâ‟ [17]: 70)

Artinya: ”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,


Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki
dari yang baik-bak dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”

b. (QS. At- Tin [95]: 4)

Artinya: “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam


bentuk yang sebaik-baiknya”

Mengenai status/anak hasil inseminasi dengan donor sperma dan/atau


ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak
133

hasil prostitusi. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya bank sperma dan


bank ovum untuk pembuatan bayi tabung, karena selain bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945, juga bertentangan dengan norma agama dan moral,
serta merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi
tanpa perlu adanya perkawinan. Pemerintah hendaknya hanya mengizinkan
dan melayani permintaat bayi tabung dengan sel sperma dan ovum suami istri
yang bersangkutan tanpa ditransfer ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan),
dan pemerintah hendaknya juga melarang keras dengan sanksi-sanksi
hukumannya kepada dokter dan siapa saja yang melakukan inseminasi buatan
pada manusia dengan sperma dan/atau ovum donor.

B. Kloning

1. Pengertian Kloning
Istilah “kloning” adalah khas dalam bidang biologi, berasal dari kata
clone atau klon (Indonesia) yang berarti kumpulan sel turunan dari sel induk
tunggal dengan reproduksi seksual (KBBI, 1991: 509). Menurut sebagian ahli
biokimia dan biologi, kloning merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menghasilkan atau memperoleh individu yang persis sama dengan induknya.
Individu yang dihasilkan melalui kloning biasanya disebut klon (clone)108.

Metode kloning berbeda dengan metode pembuahan biasa, karena sel


telur tidak lagi memerlukan sel sperma untuk pembuahannya. Secara
sederhana dapat disebut bahwa bayi klon dibuat dengan mempersiapkan sel
telur yang sudah diambil intinya kemudian digabungkan dengan sel donor
yang merupakan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasil gabungan tersebut
kemudian ditanamkan ke dalam rahim dan dibiarkan berkembang dalam
rahim sampai lahir.

Secara teoritis teknik kloning kelahiran seorang bayi tidak lagi


memerlukan sperma ayah. Bahkan seorang perempuan dapat memiliki anak
tanpa melalui ikatan perkawinan. Demikian juga dengan seorang laki-laki
apabila ingin punya anak tidak perlu beristri. Cukup hanya dengan memesan

108
Muh. Idris. “Bayi Tabung dalam Pandangan Islam” Jurnal Al-„Adl Vol. XII No. 1 Januari 2019. h. 20
134

sel telur pada suatu firma, memberikan selnya dari salah satu organ tubuhnya
dan kemudian menitip calon anaknya pada rahim seorang wanita yang bisa
jadi telah disediakan oleh firmanya tersebut (Daulay, 2005: 42). Namun
kloning yang dilakukan tidaklah sesederhana itu tapi ia memiliki prosedur
dan mekanisme yang cukup rumit untuk dijelaskan, terutama bagi kaum non
eksakta dan non biologi.

2. Hukum Kloning Menurut Ulama Islam


Menurut syara‟ hukum Kloning pada tumbuhan dan hewan tidak apa-
apa untuk dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah (boleh) hukumnya.
Dari hal itu memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses Kloning guna
mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia terutama
yang kronis adalah kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya
sunnah (mandub), sebab berobat hukumnya sunnah. Begitu pula
memproduksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan pengobatan hukumnya
juga sunnah. Tetapi apabila kloning itu diaplikasikan pada manusia, maka ia
akan bertaut dengan interaksi sosial. Pertautan tersebut dapat dilihat bahwa
manusia sejak Nabi Adam A.S sudah terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu laki-laki
dan perempuan. Dua jenis kelamin ini menjalin hubungan (cinta kasih) sesuai
dengan prinsip normatif pada masanya yang dilakukan melalui perkawinan.

Dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaplikasian kloning


pada manusia, mungkin dapat berhasil. Hal tersebut terbukti ketika para
peneliti dari perusahaan Advanced Cell Technoloy (ACT), Massachusetts
Amerika Serikat melakukannya. Pelaksanaan kloning yang dilakukan oleh
para peneliti ACT yaitu sel telur sapi diambil dan kemudian materi
genetiknya, DNA (asam deoksiribonukleat) dihilangkan untuk diganti dengan
DNA manusia. Sel baru itu kemudian direkayasa secara kimiawi sehingga
bisa seperti embrio baru yang kemudian mulai melakukan pembelahan sel,
sebagaimana yang terjadi dalam proses pembuahan alami. Pada Fatwa
Musywarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kloning pada manusia
haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalilnya adalah :
Anak-anak produk Kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki),
135

tidak akan mempunyai ayah. Dan anak produk Kloning tersebut jika
dihasilkan dari proses pemindahan sel telur-yang telah digabungkan dengan
inti sel tubuh-ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak
pula akan mempunyai ibu. Sebab rahim perempuan yang menjadi tempat
pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung, tidak lebih. Ini
merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia, sebab dalam kondisi ini tidak
terdapat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT (QS.
Al-Hujuraat: 13)

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan”

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengemukakan bahwa kloning


terhadap manusia dapat menimbulkan mafsadah (bahaya) antara lain109:

a. Menghilangkan nasab anak hasil kloning yang berakibat hilangnya


banyak hak anak dan terabaikannya sejumlah hukum yang timbul
dari nasab;

b. insitusi perkawinan yang telah disyariatkan sebagai berketurunan


secara sah menjadi tidak diperlukan lagi, sebab proses reproduksi
dapat dilakukan tanpa melakukan hubungan seksual;

c. lembaga keluarga (yang dibangun melalui perkawinan) akan


menjadi hancur, dan pada gilirannya akan terjadi pula kehancuran
moral (akhlak), budaya, hukum, dan syariah Islam lainnya;

d. tidak akan ada lagi rasa saling mencintai dan saling memerlukan
antara laki-laki dan perempuan;

e. hilangnya maqashid syari‟ah dari perkawinan, baik maqashid


awwaliyah (utama) maupun maqashid tabi‟ah (sekunder).

C. Status Dokter Laki-Laki dalam Persalinan

109
Zainal Fadri, “Mengkaji Kloning Manusia dari Perspektik Hukum Kodrat” Jurnal AlAqidah:Jurnal Ilmu Aqidah Filsafat
Vo. 12 No. 2 Desember 2020. h. 81
136

1. Kedudukan Dokter kandungan laki-laki


Secara operasional dokter adalah seorang tenaga kesehatan (dokter)
yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk
menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang
jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan
sedapat mungkin, secara menyeluruh, dalam koordinasi serta kolaborasi
dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip
pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab
profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya
adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama
pendidikan kedoktera110n.

2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kedudukan Dokter Kandungan Laki-Laki


Dalam Membantu Proses Persalinan

Islam sangat menjunjung tinggi moralitas dalam setiap aspek dan


bidang kehidupan termasuk dalam profesi kedokteran dan medis yang dikenai
dengan kode etik kedokteran yang berupa norma-norma atau tata nilai yang
harus diperhatikan oleh setiap dokter dan para medis dalam melakukan
tugasnya sebagai pelayan kemanusiaan. Dibalik tugasnya yang mulia, profesi
kedokteran juga menuntut tanggung jawab yang tinggi.

Kekeliruan dalam mediagnosis dan mengobati suatu penyakit terhadap


pasien dapat berakibat fatal bagi pasien tersebut. Oleh karena itu, kalangan
medis menyusun landasan etika profesional, khususnya berkenaan dengan
segala akibat dari transaksi terapi dokter terhadap pasiennya, sebagai panduan
bagi mereka dalam melakukan praktik kedokteran. Etika kedokteran ini
mempunyai dua tujuan yang berimbang, yaitu mengutamakan keselamatan
pasien dan melindungi terhadap masyarakat profesi kedokteran sendiri.

Perempuan sebaiknya berobat kepada dokter atau tabib perempuan.


yang akan berobat harus didampingi oleh suaminya atau mahramnya. Jika
kepada selain dokter tersebut.

110
Aman, “Kloning Manusia dan Masalah Sosial-Etik” Jurnal Dimensia Vol. 1 No. 1 Maret 2007. h. 9
137

Ketentuan yang berlaku bagi perempuan berlaku pula bagi laki-laki.


jika di wilayahnya ada dokter laki-laki. Apabila ada dokter perempuan,
disyaratkan bagi laki-laki tersebut untuk mengajak orang lain yang dapat
mencegah terjadinya khalwat (berduaan di tempat tertutup) bersama dokter
tersebut.

Syariat Islam selalu menjunjung tinggi norma, etika, dan ikatan moral
luhur yang disepakati bersama, sebagaimana diketahui bersama bahwa Islam
sangat memperhatikan kesehatan dan kedokteran. Salah satu tujuan pokok
Islam adalah untuk memelihara jiwa (hifzun-nafs). Banyak ayat alqur‟an dan
hadits yang membicarakan pentingnya memelihara kesehatan diri dan
melarang melakukan hal-hal yang membahayakan diri.

Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah


kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
Al- Baqarah: 195)

Islam juga memberikan landasan nilai-nilai etika dalam masalah


pengobatan. Sebagaimana halnya dengan KODEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia), Islam pun mengutamakan prinsip perlindungan berimbang baik
kepada pasien maupun dokter. Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa dalam
rangka pengobatan, seorang dokter dibolehkan melihat aurat orang yang
bukan mahramnya, jika hal itu merupkan satu- satunya cara atau terapi dalam
pengobatan penyakit pasiennya, sepanjang kebutuhan (haajah) dan kadar
kedaruratannya. Hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqih:

‫امَّضورات ثخِح احملظورات‬


Artinya: “Dalam keadaan darurat, perbuatan yang dilarang oleh syara’
boleh dilakukan.”

Yang dimaksud dari kaidah ini adalah sesuatu yang pada hukum
asalnya ialah haram, tapi disebabkan ada kemudaratan, Dengan kata lain,
kemudaratan yang terjadi telah mengharuskan untuk memakan atau
menggunakan perkara-perkara yang diharamkan syarak. “Sebab jika ia tidak
138

melakukannya, pasien itu akan meninggal dunia atau dapat


membahayakannya”.

Sesuai dengan kaidah tersebut juga; Islam membenarkan seorang


dokter melakukan untuk menyelamatkan jiwa ibu si bayi. Adapun praktik
khalwat pada prinsipnya dilarang dalam syariat, sebagaimana hadits
Rasulullah saw. yang melarang dua orang berlainan jenis yang bukan
mahramnya berduaan secara tertutup. Namun dalam kondisi kebutuhan medis
profesional, dan darurat, hal tersebut mendapat toleransi sebatas kebutuhan
yang syar‟i dan harus diusahakan.

Pertanyaan !!!

1. Jelaskan apakah bayi tabung disebut dengan hasil zina ?


2. Bagaimana Jika suami mengijinkan istrinya untuk berhubungan dengan laki laki
lain untuk mendapatkan keturunan. Apakah bisa dianggap dengan hukum bayi
tabung?
3. Bagaimana hukumnya bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan
rahim isteri yang lain misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama ?
4. Apa hukum bayi tabung yang dalam proses mengeluarkan sperma atau air mani
dengan cara yang tidak Muhtarom apa dalilnya alasannya?
5. Bolehkah melakukan proses persalinan dengan dokter laki-laki dan apa saja
syaratnya ?
BAB X

Riba dan Bunga Bank serta Asuransi dalam Islam

A. Bunga Bank dan Riba

1. Pengertian Bunga Bank dan Riba


Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau tambahan untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat
atau persentase modal yang berkaitan dengan itu dan biasa dinamakan suku
bunga modal. Sedangkan bank (perbankan) adalah suatu lembaga keuangan
yang usaha pokoknya adalah simpan-pinjam, memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi
kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Kegiatan perbankan adalah
bergerak dalam bidang keuangan dan kredit, serta mencakup dua fungsi
penting, yaitu menciptakan uang dan sebagai perantara pemberi kredit.

Adapun kata riba, secara etimologi diambil dari bahasa Arab yang
mempunyai makna Ziyadah yaitu tambahan, kelebihan, tumbuh, tinggi dan
naik. Selain itu riba juga bisa diartikan sebagai tambahan khusus yang
dimiliki dalam satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu.
Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar.

Sedangkan menurut terminologi, riba berarti pengambilan tambahan


dari harta pokok atau modal secara batil. Menurut istilah syara‟ ialah suatu
akad perjanjian yang terjadi dalam tukar menukar suatu barang yang tidak
diketahui sama atau tidaknya menurut syara‟ atau dalam tukar menukar itu
disyaratkan dengan menerima salah satu dari dua baran, atau ada unsur
penambahan.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum


terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara
140

batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. mengenai hal
ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya:

َ ‫ََّي َأُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍَن أ ٓ َمٌُوا َْل ثَبِ ُ َُكوا َأ ْم َوامَ ُ ُْك تٌََُْ ُ ُْك ِبمْ َحا ِظلِ ا َّْل َأ ْن حَ ُك‬
َ َّ ‫ون َِت ََار ًة َغ ْن حَ َر ٍاض ِمٌْ ُ ُْك ۚ َو َْل ثَ ْل ُذوُوا َأهْ ُف َس ُ ُْك ۚ ا َّن‬
‫اّل‬
ّ ّ
‫ََك َن ِج ُ ُْك َر ِحميًا‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (QS. An-Nisa‟: 29) 111

2. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing
adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi
menjadi riba qaradh dan riba Jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual-
beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah112.

a. Riba Qardh, Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang


disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh)

b. Riba Jahiliyyah, Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si


peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang
ditetapkan.

c. Riba Fadhl, disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat
pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kreteria sama
kualitasnya (mistlan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawa-an bi
sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
Pertukaran seperti mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi
kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.

d. Riba Nasiah, Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis


barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi

111
Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), h. 136-138
112
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2007), h. 16-17
141

lainnya. Riba dalam nasiah muncul karena adanya perbedaan,


perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian.

3. Larangan Riba dalam Alquran dan Hadis

Larangan Riba yang terdapat dalam Alquran tidak diturunkan


sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.

Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada


zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.

‫اّل فَبُوم َ َٰـ ِئ َم ُ ُُه‬


ِ َّ ََ ‫ون َو ْخ‬ ِ َّ َ‫َو َما أٓثَُ ُ ُْْت ِم ْن ِر ًب ِم َ ْيت ُ َو ِِف َأ ْم َوالِ اميَّ ِاس فَ ََل ٍَ ْرتُو ِغ ْيد‬
َ ُ‫اّل ۖ َو َما أٓثَُ ُ ُْْت ِم ْن َز ََك ٍة حُ ِرًد‬
‫ون‬َ ‫امْ ُمضْ ِؼ ُف‬
Artinya : “dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39) 113

Tahap Kedua, riba digunakan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba. Terdapat dalam QS. An-Nisaa‟: 160-161

َُ ‫اّل َن ِث ًي َاو َأ َْ ِذ ِ ُُه ّ ِامر َب َوكَدْ َنُ ُوا َغ ْي‬


ِ َّ ِ‫ات ُأ ِحو َّ ْت مَُِ ْم َوت َِط ِّد ِ ُْه َغ ْن َسخِِل‬ ٍ ‫فد ُِظ ْ ٍَّل ِم َن َّ ِاَّل ٍَن َُا ُدوا َح َّر ْمٌَا ػَوَْيْ ِ ْم َظ َِّ َح‬
‫َو َأ ْ َِكِِ ْم َأ ْم َوا َل اميَّ ِاس ِبمْ َحا ِظلِ ۚ َو َأ ْغ َخدْ ًنَ ِنوْ َاك ِف ِر ٍَن ِمْنْ ُ ْم ػَ َذ ًاب َأ ِهميًا‬
Artinya : “maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan
atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-

113
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 48-49.
142

orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa‟:
160-161)114.

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu


tambahan yang berlipat ganda. Para ahli Tafsir berpendapat bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cuku tinggi merupakan fenomena
yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman,

َ ‫اّل م َ َؼو َّ ُ ُْك ثُ ْف ِو ُح‬


‫ون‬ َ َّ ‫ََّي َأُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍَن أ ٓ َمٌُوا َْل ثَبِ ُ َُكوا ّ ِامر َب أَضْ َؼافًا ُمضَ ا َغ َف ًة ۖ َواث َّ ُلوا‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertawaklah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130).

Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus
dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syariat dari
terjadinya riba (jikalau berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan
riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada
saat itu.

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan


apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir
yang diturunkan menyangkut riba.

ِ َّ ‫) فَا ْن م َ ْم ث َ ْف َؼوُوا فَبِ َذهُوا ِِب َْر ٍب ِم َن‬۸۷۲( ‫اّل َو َذ ُروا َما ت َ ِل َي ِم َن ّ ِامر َب ا ْن ُن ْي ُ ُْت ُم ْؤ ِم ٌِ َْي‬
‫اّل‬ َ َّ ‫ََّي َأُّيُّ َا َّ ِاَّل ٍَن أ ٓ َمٌُوا اث َّ ُلوا‬
ّ ّ
۸۷۲( ‫ون‬ َ ‫ون َو َْل ث ُْظوَ ُم‬ َ ‫وهل ۖ َوا ْن ثُ ْخ ُ ُْت فَوَ ُ ُْك ُر ُء ُوس َأ ْم َوا ِم ُ ُْك َْل ث َْظ ِو ُم‬
ِ ِ ‫) َو َر ُس‬
ّ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu
bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya, dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279). 115

Larangan Riba dalam Al-Hadist Dari Jubair ra, Rasulullah saw


mencela penerima dan pembayar bunga orang yang mencatat begitu pula

114
M. Ali Hasan, Masail fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 80-81
115
Muhammad Syafi‟i Antonio, Op.Cit., h. 49-50
143

yang menyaksikan. Beliau bersabda, “mereka semua sama-sama berada


dalam dosa”.

Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasulullah bersabda, “Jangan melebih-


lebihkan satu dengan lainnya, janganlah menjual perak kecuali keduanya
setara, dan jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya, dan jangan
menjual sesuatu yang tidak tampak” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa‟i
dan Ahmad). 116

4. Berbagai Fatwa tentang Riba dan Bunga Bank

Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan lembaga ijtihad


mengenai riba dan pembungaan uang.

a. Majelis Tarjih Muhammadiyah


Majelis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum
ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968
dan 1972), keuangan secara umum (1976) dan koperasi simpan-
pinjam (1989). Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:

1) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Alquran dan


Sunah

2) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa


riba hukumnya halal

3) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada


para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku,
termasuk perkara musytabihat (belum jelas haramnya).

4) Menyarankan kepada PP Muhammadiyyah untuk


mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem
perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang
sesuai dengan kaidah Islam.

116
Heri Sudarsono, Op.Cit., h. 13
144

Penjelasan keputusan in menyebutkan bahwa bank negara,


secara keseluruhan pemilikan dan misi yang diemban, sangat
berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga Bank pemerintah
(pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta
Nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini
masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).

b. Lajnah Bahsul Masa‟il Nahdhatul Ulama


Mengenai Bank dan pembungaan uang, Lajnah Bahsul
Masa‟il Nahdlatul Ulama memutuskan masalah tersebut melalui
beberapa kali musyawarah. Manurut Lajnah, hukum Bank dan
hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga
pendapat Ulama sehubungan dengan masalah ini. Para musyawirin
masih berbeda pendapatnya tentang hukum bunga bank
konvensional sebagai berikut:

Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank


dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram. Sebab
termasuk hutang yang dipungut rente. Pendapat ini dari beberapa
variasi antara lain:

1) Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba


sehingga hukumnya haram.

2) Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan


tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya
sistem perbankan islami (tanpa bunga)

3) Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan


tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat
(hujah rajihah).

Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank


dengan riba, sehingga hukumnya boleh. Sebab tidak ada syarat
pada waktu akad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu
saja dijadikan syarat. Pendapat kedua ini juga dengan beberapa
variasi antara lain:
145

1) Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan


bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal

2) Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama


dengan riba, hukumnya halal.

3) Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke


bank hukumnya boleh.

4) Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif


bunganya terlebih dahulu secara umum.

Ketiga, pendapat yang mengatakan hukumnya syubhat


(diragukan tentang halal atau haramnya). Sebab para ahli hukum
berselisih pendapat tentangnya.

c. Konsul Kajian Islam Dunia


Ulama-Ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul
Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang di
selenggarakan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Pada bulan
Muharram 1385 H/Mei 1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit
pun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti
yang dilakukan bank-bank Konvensional.

Namun mereka memerinci pemanfaatan bunga bank ,


Pertama, menurut Prof. Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Syari‟ah
Universitas Cairo), Abu a‟la al-Maududi di Pakistan, dan Yusuf
Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasi‟ah
yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh
bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali
dalam keadaan darurat (terpaksa).

Kedua, menurut Prof Mustafa Ahmad az-zarqa (Guru Besar


Hukum Islam dan Hukum Perdata Fakultas Syariah Universitas
Damaskus), riba yang diharamkan iu adalah seperti riba yang
146

berlaku pada masyarakat jahiliah, yang merupakan pemerasan


terhadap orang yang lemah (miskin) dan bersifat konsumtif. Hal ini
berbeda dengan yang bersifat produktif, yang tidak termasuk
haram.

d. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)


Semua peserta sidang OKI ke-2 yang berlangsung di Karachi,
Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu:
pertama, praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai
dengan syariah Islam. Kedua, perlu segera didirikan bank-bank
alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah. Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi
Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).

e. Mufti Negara Mesir

Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bank


senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak
tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir
memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu riba yang
diharamkan.

5. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Aspek Bank Syariah Bank Konvensional


Legalitas Akad syariah Akad konvensional

Penghimpunan dan penyaluran dana


Struktur Tidak terdapat dewan
harus sesuai dengan fatwa dewan
Organisasi sejenis
pengawasan syariah
147

Investasi yang halal dan


Melakukan investasi yang halal saja
haram profit oriented
Hubungan dengan nasabah dalam
Bisnis dan Usaha Hubungan dengan nasabah
bentuk hubungan kemitraan
yang dibiayai dalam bentuk kreditor-
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual debitur
beli atau sewa.
Memakai perangkat bunga

Lingkungan Kerja Islami Non Islami

G. Asuransi dalam Islam

1. Asuransi Konvensional
Kata asuransi berasal dari kata Assurantie yang berasal dari bahasa
Belanda dan memiliki arti pertanggungan. Kemudian dalam bahasan inggris,
asuransi disebut juga insurance yang menurut Echols dan Shadly bermakna
(a) asuransi dan (b) jaminan. Menurut pengertian secara ekonomi, istilah
asuransi adalah suatu aransemen ekonomi yang mengurangi akibat yang
merugikan di masa akan datang disebabkan karena kemungkinan menyangkut
individu. Sedangkan asuransi dalam bahasa Arab disebut at-ta‟min, berasal
dari kata amanah yaitu memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman dan
bebas dari rasa sakit.117

Di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, dijelaskan asuransi ialah


transaksi perjanjian antara dua belah pihak. Yaitu pihak yang satu
berkewajiban untuk membayar iuran sedangkan pihak lain berkewajiban
untuk memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila
terjadi hal yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.

117
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 57.
148

Berikut ini beberapa definisi tentang asuransi yang dikemukakan oleh


para ahl118i:

a. Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1992 tentang usaha


perasuransian sebagaimana dikutip oleh Ghazaly, Ghufron Ihsan,
dan Sapiudin Shidiq (2010: 235). Asuransi mengacu pada
perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan membebankan premi
asuransi untuk dipertanggungjawabkan atas kerugian yang
diantisipasi, kerusakan atau kehilangan keberuntungan, atau
pertanggungjawaban hukum kepada seseorang penanggung
memberikan ganti rugi. Tertanggung yang disebabkan oleh
kejadian yang tidak pasti atau biaya yang dibayarkan berdasarkan
kematian atau kematian tertanggung.

b. Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang


sebagaimana dikutip oleh Subekti dan Citrosudibio (1986: 74),
asuransi diartikan sebagai suatu perjanjian yang dengan perjanjian
tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seseorang
tertanggung untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak
tertentu.

c. M. Ali Hasan (2003: 95) menyatakan bahwa asuransi adalah


jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung
(biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk risiko
kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis).
Bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan dan sebagainya.
Ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan
lainya, dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang
ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.

118
Abdul Aziz Dahlan, et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 138.
149

Secara umum pengertian asuransi adalah perjanjian antara


penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung (peserta
asuransi) di mana penanggung menerima pembayaran premi dari tertanggung.
Dan penanggung berjanji membayarkan sejumlah uang atau dana
pertanggungan manakala tertanggung:

a. Mengalami kerugian, kerusakan, atau hilangnya suatu barang atau


kepentingan yang dipertanggungkan karena suatu peristiwa yang
tidak pasti.

b. Berdasarkan hidup atau hilangnya nyawa seseorang.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi memiliki


empat unsur, diantaranya: a) Kesepakatan tersebut menjadi dasar kesepakatan
kedua belah pihak, yang sekaligus menjalin hubungan perdata (mu'amalah).
b) Tertanggung dapat membayar premi dalam bentuk uang kepada
penanggung. c). Jika terjadi klaim atau berakhirnya masa perjanjian, maka
perusahaan asuransi akan memberikan kompensasi kepada tertanggung. d).
Ada peristiwa yang tidak pasti, dan peristiwa tersebut mungkin berisiko atau
tidak.

2. Asuransi Syari‟ah
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam
bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Echols dan
Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan.
Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan
verzekering (pertanggungan).

Sedangkan asuransi dalam dunia Islam biasa dikenal dengan istilah


takaful, ta‟min, atau tadhamun. Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa
diungkapkan dengan kata at-ta‟min yang secara bahasa berarti tuma‟ninatun
nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut.
Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang
150

dan tidak ada rasa takut ataupun waswas dalam menjalani kehidupan, karena
ada pihak yang memberikan jaminan atau pertanggungan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (Ar: at-


ta‟min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu
berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan
jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang
menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.”

Menurut istilah lain, asuransi juga dapat ditemukan dalam ketentuan


Pasal 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 (tentang usaha perasuransian),
atau merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan
Undang- Undang Kepailitan, pada bab kesembilan Pasal 246, yang mana
dalam undang- undang tersebut didefinisikan sebagai berikut:

“Asuransi atau pertanggungan, adalah suatu perjanjian, dengan mana


seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan suatu pergantian kepadanya
(tertanggung) karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang
tidak tertentu.”

Dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam


fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang
asuransi. Menurutnya, asuransi syariah (Ta‟min, takaful, tadhamun) adalah
usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru‟ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah.

Dari definisi asuransi syariah di atas jelas bahwa pertama, asuransi


syariah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah setiap
peserta sejak awal bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan
yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut
tabarru‟. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko (transfer of
risk) dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan
151

pembagian risiko (sharing of risk) di mana para peserta saling menanggung.


Kedua, akad yang digunakan dalam asuransi syariah harus selaras dengan
hukum Islam (syariah), artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari riba,
gharar (ketidakjelasan dana), dan maisir (gambling), di samping itu investasi
dana harus pada obyek yang halal-thoyibah.

Dapat dirumuskan bahwa asuransi syariah merupakan model


perusahaan produk jasa pertanggungan atas risiko, yang mengikatkan dirinya
kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan suatu
pergantian kepada tertanggung atas suatu kerugian (klaim). Sedangkan dalam
praktiknya, mendasarkan kepada prinsip ta‟awun, dan selalu komitmen
kepada prinsip-prinsip syariah, terutama kemaslahatan umat dan rahmat bagi
alam.

Bila kita melirik ke sejarah Islam, dari sisi praktik tentang dasar-dasar
takâful di antara sesama Muslim telah berlangsung. Misalnya, pada sistem
“aqila”, sebagaimana dipraktikkan antara Muslim Makkah (Muhajirin)
dengan Madinah (Anshar). Bantu membantu merupakan salah satu sikap yang
tampak diantara sikap-sikap baik lainnya memancar dari “Persaudaraan
Islam”.

Rasulullah saw, juga telah menggambarkan bagaimana seharusnya


umat Islam itu berpadu, maka beliau menyebutkan bagaimana suatu
bangunan. Dari Nabi Saw, bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin bagi
mukmin lainnya laksana satu bangunan yang saling menguatkan. Beliau lalu
menganalogikannya dengan jari-jari pada tangannya”. (H.r. Bukhari
Muslim).

Syekh Husni Adham Jarror dalam kitab “al-Ukhuwah wa al-Hubb


Fillah” mengatakan bahwa dalam sejarah hidup manusia belum pernah ada
suatu masyarakat yang ditegakkan atas dasar ta‟âwun sebagaimana yang telah
terjadi antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin, yaitu dengan prinsip
ta‟âwun yang berdasarkan cinta kasih penuh kemuliaan. Karena kecintaan
terhadap saudaranya yang berdasarkan pada iman dan takwa maka kaum
Anshar rela sepenuh hati untuk membantu segala keperluan kaum muhajirin,
152

sehingga akhirnya mereka bersatu dalam bangunan “masyarakat Islami”


pertama di Madinah.

3. Prinsip-Prinsip Asuransi
Berdasarkan hukum untuk mempertanggungkan suatu risiko berkaitan
dengan keuangan yang diakui secara sah oleh hukum, antara tertanggung dan
suatu yang dipertanggungkan dan dapat menimbulkan hak dan kewajiban
keuangan secara hukum. Ada beberapa prinsip-prinsip dalam asuransi,
yaitu119:

a. Isurable Interest, yang dimaksud dengan prinsip Isurable Interest


(prinsip kepentingan adalah hak atau adanya hubungan dengan
persoalan pokok seperti menderita kerugian sebagai akibat
terjadinya kerusakan, kerugian, atau kehancuran suatu benda.

b. Utmost good faith, atau itikad baik dari kedua pihak, antara
tertanggung dan penanggung. Karena itu, hal yang sangat penting
bagi kedua belah pihak dalam prinsip ini adalah adanya informasi
yang benar dari masing-masing pihak. Artinya, informasi yang
diberikan tidak mengandung unsur kebohongan, penipuan dan
kecurangan. Di dalam bermuamalah hal tersebut dapat merusak
perjanjian (akad) karena dalam perjanjian muamalah satu sama lain
harus saling memenuhi akad atau perjanjian tersebut.

c. Indemnity, Artinya mengendalikan posisi keuangan tertanggung


setelah terjadi kerugian seperti pada posisi sebelum terjadinya
kerugian tersebut. Bertujuan untuk memberikan ganti rugi terhadap
kerugian yang diderita tertanggung yang disebabkan oleh bahaya
sebagaimana ditentukan dalam akad. Bentuk idemnity yaitu: cash,
repair, replacement, dan reinstatement.

d. Proximate cause, adalah suatu sebab aktif, efisien yang


mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau

119
Zarqâ, Musthafâ Ahmad, al-Ta’mîm fî al-Islâm, (Syria: Mathba‟ah Jamiah Dimasq: tp, 1999), h. 200.
153

berurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan


aktif dari suatu sumber baru dan independen.

e. Subrogation, merupakan hak penanggung yang telah memberikan


ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang
mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu
peristiwa kerugian. Subrogasi mempunyai tujuan mencegah
tertanggung mendapat ganti kerugian yang melebihi kerugian atau
double pergantian dari perusahaan asuransi dan pihak yang
menyebabkan kerusakan yang dideritanya

f. Contribution, suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak


penanggung- penanggung lain yang memiliki kepentingan yang
sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seorang
tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing
penanggung belum tentu sama besarnya.

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda
dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomi Islam secara
komprehensif dan bersifat major, hal ini disebabkan karena kajian asuransi
Islam merupakan turunan dari konsep ekonomi Islam.

Sebuah bangunan haruslah mempunyai fondasi dan prinsip dasar yang


kuat agar tegak dan kokoh begitu juga dengan asuransi syariah, harus
dibangun diatas fondasi dan prinsip dasar yang kuat dan kokoh. dalam hal ini
prinsip dasar asuransi syariah ada banyak macamnya yaitu:

a. Tauhid (Unity)
Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah.
Karena pada hakikatnya setiap muslim harus melandasi dirinya
dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya,
tidak terkecuali dalam bermuamalah (baca ; berasuransi syariah).
Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah
berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah
SWT.
154

Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang


digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih
keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung
pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk
mengimplementasikan nilai- nilai syariah dalam dunia asuransi.
Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan
untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang
berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari
“perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, maka
nilai tauhid terimplementasikan pada industri asuransi syariah.

b. Keadilan (Justice)
Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam
pengimplementasian asuransi syariah adalah prinsip keadilan.
Artinya bahwa asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil,
khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan
nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi
syariah, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Asuransi syariah tidak boleh menzalimi nasabah dengan hal-hal
yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah.

Prinsip keadilan ini merupakan nilai yang sangat penting


dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan
nilai yang secara inhern melekat dalam fitrah manusia, hal ini
berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan
energi untuk berbuat adil dalam aspek kehidupannya. Terpenuhinya
nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad
asuransi. Keadilan dalam menempatkan hak dan kewajiban antara
anggota dan perusahaan asuransi juga profit yang dihasilkan
perusahaan dari hasil investasi.

c. Tolong menolong (Ta‟awun)


155

Prinsip yang paling utama dalam konsep asuransi syariah


dalam prinsip tolong menolong. Tolong menolong merupakan
fondasi dasar dalam menegakkan konsep asuransi syariah.

d. Kerja Sama (Coorperation)


Coorperation merupakan prinsip universal yang selalu ada
dalam literatur ekonomi Islam, kerja sama dalam bisnis asuransi
dapat terwujud dalam bentuk akad antara kedua belah pihak yaitu
akad mudarabah dan musyarakah.

e. Amanah
Hal ini dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas
(pertanggungjawaban) perusahaan tiap periode, amanah juga
melekat pada nasabah asuransi dimana seseorang yang menjadi
nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang
benar berkaitan dengan pembayaran premi dan tidak memanipulasi
kerugian yang dideritanya.

f. Kerelaan
Dalam transaksi apapun, aspek saling meridhai harus selalu
menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan
asuransi syariah yang amanah dan profesional. Dan perusahaan
asuransi syariah ridha terhadap amanah yang diembankan nasabah
dalam mengelola kontribusi (premi) mereka. Demikian juga
nasabah ridha dananya dialokasikan untuk nasabah-nasabah lainnya
yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan
mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling
tolong menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena
156

semuanya menolong dengan ikhlas dan ridha, bekerja sama dengan


ikhlas dan ridha, serta bertransaksi dengan ikhlas dan ridha pula.

g. Larangan Riba
Dalam asuransi diharamkan adanya unsur riba. Ar-riba,
makna asalnya adalah bertumbuh, bertambah dan subur. Adapun
pengertian tambahan dalam konteks riba ialah tambahan uang atas
modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan oleh
syar‟a.

Dalam rangka untuk menghindari praktik riba, maka


implementasi mudarabah dapat diterapkan pada takaful keluarga,
hal ini dapat dilihat misalnya pada perhitungan rate premi. Cara
perhitungan dengan asumsi bunga tetap diganti dengan skim
mudarabah (bagi hasil), demikian juga dalam skim investasi baik
dana hasil investasi produk saving atau non saving semuanya harus
bebas dari bunga.

h. Larangan Maysir (Judi)


Seperti halnya larangan riba, larangan untuk maysir pun tidak
dibenarkan pada aktivitas ekonomi seperti tersirat dalam surat QS.
al-Maidah: 90 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman
sesungguhnya (minuman) khamar, berjudi, (berkorban bentuk)
pahala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
157

i. Larangan gharar (Ketidakpastian)


Garar dalam pengertian bahasa al-khida (penipuan) dimana
suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur
kerelaan. Garar dalam asuransi ada dua bentuk yaitu: Pertama,
bentuk akad syariat yang melandasi penutupan polis. Kedua,
sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar‟i penerimaan
uang klaim itu sendiri.

j. Prinsip saling bertanggung jawab


Dimana setiap orang bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan dan implikasinya untuk kehidupan dunia dan
sesudahnya. Konsep pertanggung jawaban tersebut dapat di
interpretasikan secara luas baik seseorang melakukan tugas dan
kewajibannya.

Dari berbagai macam prinsip yang ada pada asuransi syariah


tentunya ada yang tidak dimiliki oleh asuransi konvensional,
dimana perbedaan ini lebih banyak mempunyai kemaslahatan baik
didunia dengan adanya keberkahan rezeki dan kemaslahatan di
akhirat yang abadi nantinya dengan mendapat ridho dari yang maha
Khaliq dan akhirnya akan menghasilkan sebuah pemikiran langkah
mana yang aman yang harus kita pilih untuk kemaslahatan dan
melindungi kehidupan keluarga kita dan masyarakat pada
umumnya.

4. Dasar Hukum Asuransi Syariah


Landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan
hukum praktik asuransi syariah. Asuransi syariah dimaknai sebagai wujud
dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nila-nilai yang dalam ajaran
Islam, yaitu Alquran dan sunah Rosul, maka landasan yang dipakai dalam hal
ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli
hukum Islam.

a. Dalil Alquran
158

1) Perintah Allah untuk saling bekerja sama


a) QS. Al-Mâidah [5]: Artinya: “... dan tolong
menolonglah dalam (mengerjakan) kebaikan dan
Taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran..”.

Prinsip yang paling utama dalam konsep


asuransi syariah adalah prinsip tolong menolong baik
untuk life insurance maupun general insurance. Ini
adalah bentuk solusi bagi mekanisme operasional
untuk asuransi syariah. Tolong- menolong atau dalam
bahasa Alquran disebut ta‟awun adalah inti dari
semua prinsip dalam asuransi syariah.

b) QS. Al Baqarah :185 Artinya: “…Allah


menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
agar kamu bersyukur.”

2) Perintah mempersiapkan hari depan


a) QS. Al-Hasyr : 18 Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

b) QS. Yusuf: 46-49 Artinya: “Yusuf berkata, "Supaya


kalian bertanam tujuh tahun (lamanya)
sebagaimana biasa; maka apa yang kalian panen
hendaklah kalian biarkan dibulirnya, kecuali sedikit
159

untuk kalian makan. Kemudian sesudah itu akan


datang tujuh tahun yang amat sulit, yang
menghabiskan apa yang kalian simpan untuk
menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari
(bibit gandum) yang kalian simpan. Kemudian
setelah itu akan datang tahun yang padanya
manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa
itu mereka memeras anggur."

Ayat tersebut mengajarkan kepada kita suatu


pelajaran yang luar biasa berharga, dalam peristiwa mimpi
raja Mesir yang kemudian ditafsirkan oleh Nabi Yusuf
dengan sangat akurat sebagai suatu perencanaan negara
dalam menghadapi krisis pangan tujuh tahun mendatang.
Kisah ini sebagai pelajaran untuk menyiapkan proteksi dari
suatu ancaman ekonomi di masa mendatang.

3) Perintah untuk bertawakal dan optimis berusaha


a) QS. At-Taghabun: 11 Artinya: “Tidak ada suatu
musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan ijin Allah; dan barang siapa yang beriman
kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”

b) QS. Luqman: 34 Artinya: “Sesungguhnya hanya di


sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada
dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang
dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun
yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha
Mengenal.”
160

b. Sunnah Nabi saw. Atau Hadits


1) Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang
beberapa prinsip bermu‟amalah, antara lain: “Barang
siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di
dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari
kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya
selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah).

2) Perintah untuk saling melindungi. Diriwayatkan oleh Abu


Hurairah ra, Nabi Muhammad SAW bersabda: “barang
siapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang
mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan
kesulitannya pada hari kiamat. Barang siapa yang
mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah akan
mempermudah urusannya di dunia dan akhirat”. (HR.
Muslim).

3) Hadist tentang menghindari risiko Diriwayatkan dari Anas


bin Malik ra bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW.
Tentang (untanya): “Apa (unta) ini saya ikat saja atau
langsung bertawakal pada Allah SWT? Bersabda
Rasulullah SAW.: Pertama ikatlah unta itu kemudian
bertawakallah kepada Allah SWT.” (HR. At-Turmuzi)

Prinsip dasar yang digunakan oleh asuransi syariah adalah


berasaskan konsep "takaful" yang merupakan perpaduan tanggung
jawab dan persaudaraan peserta. Perpaduan tanggung jawab adalah
salah satu bentuk dari sikap saling tolong menolong (ta‟awun) yang
menjadi doktrin ajaran Islam. Juga bisa diartikan sebagai bentuk
saling berbuat kejujuran, keadilan, dan saling menjamin. Disisi lain
dalil yang menjadi landasan asuransi syariah sesuai dengan fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2000, mengacu
kepada dalil ayat Alquran, dan dalil-dalil hukum lainnya.
161

Mengenai hukum asuransi, walaupun masih terdapat


perbedaan pendapat, pada asasnya tidak bertentangan dengan
hukum Islam dalam prinsip dasarnya, baik prinsip hukum maupun
prinsip teknisnya. Namun tidak tertutup kemungkinan, dalam
bentuk mengoperasionalkannya, bertentangan dengan hukum
Islam. Oleh karena itu dalam mengoperasionalkan asuransi ini
perlu diperhatikan agar tidak mengandung unsur-unsur yang
diharamkan seperti: maisir (judi), gharar (ketidakpastian) dan riba.

Pada dasarnya konsep asuransi adalah konsep pembagian


kerugian yang timbul dari kemungkinan kecelakaan tertentu atas
nama beberapa individu, daripada beban kecelakaan tersebut harus
didera oleh satu orang saja. Prinsip Asuransi terbangun atas dua
unsur:

1) Unsur Normatif (UU), yang tergambar atas hubungan sah


antara pihak penanggung dan pihak tertanggung, yang
dengan hubungan ini, pihak penanggung diwajibkan untuk
menanggung segala ancaman bahaya, sejumlah premi
angsuran yang telah dibayar oleh pihak tertanggung.
Hubungan sah inilah yang kemudian disebut sebagai Akad
Asuransi.

2) Unsur Teknis, yang tergambar dari pelaksanaan sebanyak


mungkin upaya kompensasi atas sebanyak mungkin
ancaman bahaya oleh pihak penanggung sesuai dengan
Undang-Undang Statistik.

c. Ijtihad
Ada baiknya, kita mengutip pandangan ulama Islam
terhadap eksistensi asuransi pada masa-masa awal sehingga
melahirkan satu konsep yang disebut dengan asuransi takaful.
Tujuannya sama dengan asuransi, namun beda dalam banyak
praktik dan teori. Yang paling mengemuka dari pendapat-pendapat
tersebut terbagi tiga, yaitu: pertama, Mengharamkan. Asuransi itu
162

haram dalam segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa.


Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, „Abd Allâh al-Qalqi
(mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-
Muth‟I (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan
ialah:

1) Asuransi sama dengan judi;

2) Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;

3) Asuransi mengandung unsur riba/renten;

4) Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang


polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran
preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau
dikurangi;

5) Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam


praktik-praktik riba;

6) Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang


tidak tunai.

Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama


halnya dengan mendahului takdir Allah.

Kedua, Membolehkan. Pendapat kedua ini dikemukakan


oleh Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar
Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad
Yûsuf Musa (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo
Mesir), dan „Abd Rahman „Isa (pengarang kitab al-Muamalah al-
Haditsah wa Ahkâmuha). Mereka beralasan:

1) Tidak ada nas (Alquran dan Sunah) yang melarang


asuransi;

2) Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;


163

3) Saling menguntungkan kedua belah pihak;

4) Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab


premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk
proyek-proyek yang produktif dan pembangunan;

5) Asuransi termasuk akad mudarabah (bagi hasil);

6) Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta‟âwuniyah);

7) Asuransi dianalogikan (qiyas) dengan sistem pensiun


seperti taspen.

Ketiga, Asuransi sosial dibolehkan dan asuransi komersial


diharamkan. Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad
Abu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Kairo).

Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama


dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula
dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial
(boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhât adalah
karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya
asuransi itu.

Pertanyaan !!!

1. Bagaimana Hukum BPJS menurut syara‟?


2. Bagaimana hukumnya gaji guru ngaji dan ASN menggunakan bank
konvensional?
DAFTAR PUSTAKA

Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2016. Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut
Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur‟an Untuk Mayit Bersama
Imam Asy-Syafi‟i. Jakarta: Maktabah Mu‟awiyah bin Abi Sufyan.

Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassan. Taudhih Al-Ahkam Min Bulugh Al Maram,


diterjemahkan oleh Thahirin Suparta “Syarah Bulughul Maram” jilid. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006.

Agustina, Nalisa. Penetapan Kewarisan Bagi Transgender Ditinjau Dari Hukum Islam.
Skripsi. Palembang: Universitas Islam Negeri Raden Fatah, 2016.

Aibak, Katbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017

Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Kalimedia, 2017.

Al-Husaidi, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. 2003. “Ki Fatul Akhyar“.
Surabaya : Bina Iman.

Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Kencana. 2004

Ali, Sidin, dan Khaeruddin, Evaluasi Pembelajaran, (Makassar: Badan Penerbit UNM,
2012.

Al-Kasaani, “Badaa‟i‟ as-Shanaa‟i‟”. Juz VII.

Al-Khathiib, “Haasyiyah al-Bujayrimi „alaa Syarh al-Khathiib”. Juz IV.

Al-Sayis, Muhammad „Alî. 1953. “Tafsîr Âyât al-Ahkâm”. Mesir: Muhammad „Alî
Shubhî wa Auladuh.

Aman, “Kloning Manusia dan Masalah Sosial-Etik” Jurnal Dimensia Vol. 1 No. 1
Maret2007

Amin, Ma‟ruf. Himpunan Fatwa Majlis Ulama‟ Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Erlangga,
2011.

Anonim. Tafsir Ayat Pilihan Al-Haramain: Al-Qur'an Terjemahan dan Tajwid Berwarna.
(Bandung: Cordoba, 2012).

Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press. 2001. h. 48-49

Arfaj, Abdul Ilah bin Husain Al. 2013. Konsep Bid‟ah dan Toleransi Fiqih. Jakarta: Al-
I‟tishom.

Arvan, Abu Muawiah Muhammad. 2012. Siapa Bilang Perayaan Maulid Nabi Bid‟ah?.
Bogor: Khazanah Islamiah.
140

Asrul, dkk, Evaluasi Pembelajaran, Bandung: Citapustaka Media, 2014.

Az-Zailay, Tabyin Al-Haqaiq Syah Kanzu Ad-Daqaiq, Beirut : Daar Al-Ma‟rifah, t.th.

Badriyyah Lu‟luatul, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman PERBEDAAN MAZHAB


EMPAT IMAM BESAR (HANAFI, MALIKI, SYAFI‟I, DAN HAMBALI)
DALAM PARADIGMA HUKUM FIKIH, UIN Muhammadiyah Tapanuli,
2020.

Brace, Edward. Penuntun Populer Bahasa Kedokteran. Bandung:Angkasa, 1984.

Dahlan, Abdul Aziz et. al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
1996

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai
Pustaka Cet. IV, 1995.

Fadri,Zainal, “Mengkaji Kloning Manusia dari Perspektik Hukum Kodrat” Jurnal


AlAqidah:Jurnal Ilmu Aqidah Filsafat Vo. 12 No. 2 Desember 2020

Fazzan. “Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”. Jurnal Ilmiah
ISLAM FUTURA Vol. 14. No. 2, Februari 2015.

Gibtiah. Fiqh Kotemporer. Palembang: Rafah Press, 2016.

Hafiyah, Evie Nurlyta. 2014. “Mengapa Bom Bunuh Diri?”. Jurist-Diction Vol. 4 No. 1

Handayani, Febri, “Problematika Bayi Tabung Menurut Hukum Islam” Jurnal


HukumIslam Vol. XIII No. 01 Juni 2013

Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. h. 80-81

Hasballah Thaib, 20 Kasus Kedokteran Kontemporer dalam Perspektik Islam,


Medan:Perdana Publishing, 2011

Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Hifdzil Alim Dkk. Jihad NU Melawan Korupsi. Jakarta: Lakpesdam PBNU Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, 2016.

Ibrahim, Duski. Kaidah-Kaidah Fiqh Pedoman Praktis dalam Penyelesaian Masalah


Hukum Islam Kotemporer. Palembang:Grafika Telindo Press, 2014.

Idris, Muh. “Bayi Tabung dalam Pandangan Islam” Jurnal Al-„Adl Vol. XII No. 1
Januari2019

Ilham Muhammad, Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum
Nasional, Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 2, No. 1, Riau: 2020.
141

Ilyasy, Muhammad. “Munah al-Jaliil, Muhktashar Sayyidi Khaliil”. Juz III.

Iqbal Mahfudh, Nur. “Hukum Pidana Islam Tentang Korupsi”. In Right Jurnal Agama
dan Asasi, Vol. 6, No. 2, Mei 2017, h.256.

Irawan, Andre. Pandangan Hukum Islam Tentang Operasi Keperawanan Sebagai Alasan
Untuk Memperlancar Pernikahan. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2016.

Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah Di Indonesia ,Telaah Sistem Penetapan Awal Bulan
Qamariyyah” 2014.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2015. Yasinan. Bogor: Media Tarbiyah.

Junaid, Hamzah. 2013. “Pergerakan Terorisme Dalam Persfektif Barat Dan Islam”.
Pendidikan Agama Islam. Vol. 8 No. 2.

Kamarudin. 2008. ”JIHAD DALAM PERSPEKTIF HADIS”. Jurnal Hunafa. Vol. 5 No.
1. April 2008.

Kasdi, Abdurrohman. Masail Fiqhiyyah. Kudus: Nora Media Enterprise. 2011. h. 136-
138

Kemenag RI, Buku Saku Hisab Rukyat, Sub Direktorat Pembinaan Syariah dan Hisab
Rukyat, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Tanggerang:2013.

Khalil Moenawir, Biografi Emapat serangkai Imam Madzhab,Jakarta,Metro Pos

Khazin Muhyiddin, Moedji Raharto, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta:2005,Buana Pustaka

Kusuma Putri, Dewi. Tafsir Makna Kekerabatan dan Nepotisme Dalam al-Qur‟an.
Skripsi: UIN Jakarta, 2022.

Maa‟luf Lowesy Al-Yassu'i, Al-munjid fi al-lughah wa al-alam . Dar Al-Mashriq

Mahfuzh, Ali. 2009. Kupas Tuntas Bid‟ah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Mahmudah Fadhliyatun AS, Jurnal Peranan Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Dalam
Penentuan Awal Bulan Qamariyah , UIN Alauddin Makassar: 2012.

Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab


Muhammadiyah Yogyakarta:2009.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama


Muhammadiyah. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006.

Maliki, Muhammad bin Alawi Al. 2007. Wajibkah Memperingati Maulid Nabi Saw?.
Surabaya: Cahaya Ilmu.
142

Marpaung, Watni, Pengantar ilmu falak, Jakarta:2015, Prenada Media

Moh.Sudirman, Murtadho, Ilmu falak praktis, Malang :2008,UIN-Malang Press

Mubarakfuri, Shafiyurrahman Al. 2012. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Mustofa, Imam. 2017. “Kajian Fikih Kontemporer: Jawaban Hukum Islam atas Berbagai
Problem Kontekstual Umat”. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta.

Nailul Roja, Luluatu. “Analisis Memadu Hukum Islam dan Hukum Nasionl Mengenai
Korupsi Di Indonesia”. Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 18
Nomor 2 Desember 2020.

Nasution Syamruddin, Pernikahan Beda Agama dalam Al-Qur‟an, Yayasan Pusaka Riau:
2011.

Naya, Farid. 2015. “MENGUNGKAP MAKNA DAN TUJUAN JIHAD DALAM


SYARIAT ISLAM”. Tahkim : Jurusan Hukum Keluarga Fak. Syariah dan
Ekonomi Islam. Vol. IX No. 2. Desember.

Noviyanti, Erlina, dkk, Penerapan Penilaian Beracuan Patokan dan Beracuan Norma
pada Pelajaran Bahasa Indonesia di SDN 1 Wana, Jurnal Pendidikan dan
Dakwah, Vol. 2, No. 2, Mei 2020.

Pangastuti, Ratna, Penilaian Acuan Norma, Penilaian Acuan Patokan, Kriteria Ketuntasan
Minimal di Madrasah Ibtidaiah An-Nur Plus Junwangi Krian Sidorajo Jawa
Timur, Surabaya: UIN Sunan Ampel.

Qudaamah, Ibn. “al-Mughniy”. Juz X.

Rahman, Amri. 2018. “MEMAHAMI JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM (UPAYA


MENANGKAL TUDUHAN TERORISME DALAM ISLAM)”. J-PAI:
Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol.4 No.2. Januari-Juni.

Rakhmadi Arwin Juli, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan
Rukyat, Malang: Madani

Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Rosyid, Mohammad. 2014. “Kontribusi Penyuluh Agama dalam Meminimalisasi Bunuh


Diri” Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam Vol.5 No. 2.

Ruskanda Farid, 100 Masalah Hisab Dan Rukyat,Jakarta:2005,Gema Insane Press

Saini, Ibnu. 2014. Benarkah Shalahuddin Al-Ayyubi Merayakan Maulid Nabi. Jakarta:
Maktabah Mu‟awiyah bin Abi Sufyan.

Saldi, Rafli. Analisis Korupsi dan Dampaknya (Telaah Atas Hukum Islam). Makassar,
2017.
143

Shalabi, Ali Muhammad Ash. 2013. Shalahuddin Al-Ayyubi. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah:Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, .


(Jakarta: Lentera Hati, 2002).

Sidawi, Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As. 2012. Hukum Tahlilan (Selamatan
Kematian) dan Perayaan Haul (Ulang Tahun Kematian). Bogor: Media
Tarbiyah.

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogyakarta: Ekonisia. 2007. h. 16-17

Sufiati, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam Dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI), Universitas Muhammadiyah Makasar 2022.

Suma, Muhammad Amin. 2003. “Perkuliahan Pascasarjana” Jakarta : UIN Syarif


Hidayatullah.

Syafe‟i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

T. Dhiauddin, “Ramadhan 1435H Rukyah Dan Hisab Serta Aplikasinya”, 2014

T. Dhiauddin, Kajian Akurasi Arah Kiblat Kota Medan, Metode Dan Solusi,
Medan:2018, Perdana Publishing 1999

T. Yangggo, Huzaemah. “Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Suap (KKNS) Dalam


Pandangan Hukum Islam”. Tahkim Vol. IX, Juni 2013.

Waskito, AM. 2014. Pro dan Kontra Maulid Nabi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Witrin Gamayanti, Witrin. 2014. “Usaha Bunuh Diri Berdasarkan Teori Ekologi
Bronfenbrenner”. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol.1 No. 2.

Yasin, M. Nu‟aim. Fikih Kedokteran. Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2008.

Yusuf Muhammad, Masail Fiqhiyah Memahami Permasalahan Kontemporer, Gunadarma


Ilmu, Jakarta: 2017.

Yusuf, Muhammad. Masail Fiqhiyah : Memahami Permasalahan Kontemporer.Makasar:


Gunadarma Ilmu, 2017.

Yusuf, Nasruddin. 2003. “Fatwa Fiqih Jinayah : Bom Bunuh Diri”. Jurnal Al-Syir‟ah
Vol. 1. No. 2.

Zarqâ, Musthafâ Ahmad. al-Ta‟mîm fî al-Islâm. Syria: Mathba‟ah Jamiah Dimasq: t.p.
Ali Atabik, Ahmad Muhdlor Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
Yogyakarta: 2015 Multi Karya Grafika
144

Zuhdi Masjfuk, Pencangkokan Organ tubuh dalam Masaail Fiqhiyah (Jakarta: haji mas
agung, 1993).

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam.Jakarta: Haji Masagung,
1994.

Anda mungkin juga menyukai