Anda di halaman 1dari 4

MATERI MUKTAMAR KE-34 NU

KOMISI BAHTSUL MASAIL AD-DINIYAH AL-WAQI’IYAH


TAHUN 2021

AS’ILAH
POSISI ILMU FALAK DALAM PENENTUAN WAKTU IBADAH

A. Deskripsi Masalah

Pada dasarnya yang menjadi acuan waktu dalam ibadah adalah penampakan
fenomena alam. Fenomena bulan menjadi acuan waktu dalam ibadah yang bersiklus bulanan
atau tahunan, sedangkan fenomena matahari menjadi acuan waktu dalam ibadah yang bersiklus
harian. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk ilmu falak, fenomena alam
yang terkait dengan waktu ibadah dapat diprediksikan waktu kejadiannya. Bahkan makin hari,
tingkat akurasi prediksi ilmu falak makin tinggi.

Kemajuan ilmu falak mendorong para ahli falak dari kalangan muslim untuk melakukan
tajribah dalam penentuan waktu ibadah. Terkait ru’yat al-hilal misalnya, seorang ahli falak dari
Saudi melakukan penelitian terkait penetapan awal Bulan Ramadhan dalam 65 tahun, dari tahun
1370 H. sampai dengan 1435. Hasilnya adalah bahwa 38 dari 65 penetapan awal bulan
Ramadhan berdasarkan ru’yah berada dalam situasi saat mana menurut Ilmu falak hilal belum
nampak (tidak imkan ru’yah) atau bahkan masih di bawah ufuk. Ia juga menuturkan, pada tahun
1404 Hijriyah pemerintah Saudi menetapkan bahwa awal Ramadhan tahun tersebut jatuh pada
hari Kamis berdasarkan Ikmāl. Kemudian dalam penetapan bulan Syawwal di tahun yang sama
pemerintah Saudi memutuskan bahwa Awal bulan Syawwal jatuh pada hari Jumat berdasarkan
ru’yah. Dengan demikian puasa Ramadhan tahun tersebut hanya berlangsung 28 hari.

Penelitian yang sama juga dilakukan di Siria yang mengambil data penetapan awal
bulan Ramadhan, Syawwal, Dzul Hijjah dan Muharram dari tahun 1950 sampai dengan 2000.
Hasilnya adalah 30 dari 51 penetapan awal bulan Ramadhan berada dalam situasi saat mana
menurut ilmu falak, hilal masih di bawah ufuk. 17 dari 51 penetapan berada pada situasi saat
mana menurut ilmu falak hilal belum nampak (tidak imkan ru’yah).

Terkait penetapan berdasarkan ikmāl yang berpotensi menjadikan bulan berikutnya


hanya berusia 28 hari, juga terjadi di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan Lajnah
Falakiyah PBNU. Pada penetapan Jumadal Akhirah 1438, ketinggian hilal berdasarkan
penghitungan falak, adalah 7° 08' s/d 8° 51'. Namun demikian hilal tidak terlihat di hampir
seluruh Indonesia karena tertutup awan dan karenanya awal Jumadal Akhirah 1438 ditetapkan
jatuh pada 1 Maret 2017 atas dasar ikmāl. Kemudian pada Selasa 28 Maret 2017 terdapat
laporan ru’yah di Condrodipo dengan ketinggian hilal 3° 17' dan Pelabuhanratu dengan
ketinggian hilal 3° 27'. Laporan tersebut diterima dan ikmāl bulan Jumadal Ula dibatalkan.

Hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa berdasarkan penghitungan falak, hilal


pada ketinggian tertentu dapat menjadi acuan dalam menentukan apakah bulan berusia 29 hari
atau 30 hari. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Sudibyo dalam kurun tahun 2007 sampai
dengan 2009 yang menunjukkan bahwa pada ketinggian dan usia tertentu, hilal dapat dilihat
(imkān al-ru’yah) dan pada ketinggian dan usia yang lain hilal tidak dapat atau sulit dilihat.

Berdasarkan Penelitian Sudibyo tersebut posisi hilal dapat dikalsifikasikan ke dalam


empat posisi. Pertama, hilal mustahil diru’yah, yaitu ketika menurut penghitungan falak hilal
berada di bawah ufuk dan karenanya usia bulan 30 hari. Kedua hilal pada ketinggian tertentu
sangat sulit mendekati mustahil diru’yah. Ketiga, hilal pada ketinggian tertentu mudah diru’yah

1
dan jika diikmāl tidak mengakibatkan bulan berikutnya hanya berusia 28 hari. Keempat, pada
ketinggian tertentu bulan mudah diru’yah, tetapi jika diikmāl akan mengakibatkan bulan
berikutnya hanya berusia 28 hari.

B. Pertanyaan

1. Apakah imkan ru'yah menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yatul hilal?


2. Ketika menurut penghitungan ilmu Falak, hilal berada di bawah ufuq, masihkah ru’yah
menjadi sunnah atau fardlu kifayah?
3. Jika berdasarkan penghitungan ilmu Falak, ikmāl mengakibatkan bulan berikutnya hanya
berusia 28, dapatkah ilmu falak menafikan ikmāl?

C. Usulan Jawaban

Ulama berbeda pendapat terkait legalitas penggunaan ilmu falak dalam penentuan
awal bulan hijriyah. Perbedaan ini bertolak dari perbedaan dalam memahami hadis
“ ‫” فإن غم عليكم فاقدروا له‬i. Mutharrif bin Abdullah dari generasi sahabat, Ibnu Suraij dan Ibnu
Qutaibah berpendapat bahwa makna hadis tersebut adalah jika malam tiga puluh hilal tidak
terlihat karena mendung maka ditetapkan berdasarkan ilmu hisab. Mayoritas ulama
berpendapat, jika mendung maka awal bulan ditetapkan dengan menggenapkan bulan
sebelumnya menjadi tiga puluh hari.

Namun demikian sebagian ulama tidak menolak mutlak peran falak dalam penentuan
awal bulan hijriyah. Berikut adalah kasus-kasus di mana sebagian ulama mempertimbangkan
hasil penghitungan ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyah.

Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa hasil penghitungan falak dapat


digunakan bagi dirinya dan orang lain yang mempercayainya. Imam Abdul Humaid dalam al-
Syarwani menyebutkan bahwa keadaan hilal di atas ufuk menurut ahli hisab dikategorikan ke
dalam tiga situasi: hilal dipastikan telah berada di atas ufuk dan tidak mungkin dilihat, hilal
dipastikan di atas ufuk dan dipastikan dapat dilihat, hilal dipastikan di atas ufuk dan mungkin
dilihat. Menurut al-Syarwani seorang ahli hisab hanya boleh mengamalkan ilmu hisab ketika
hasil penghitungannya menunjukkan bahwa hilal dipastikan telah berada di atas ufuk dan
dipastikan dapat dilihatii.

Kedua, ilmu falak dapat digunakan untuk menafikan ru’yah. Menurut al-Subki, jika ada
orang yang bersaksi telah melihat hilal, sementara hisab menunjukkan bahwa hilal tidak
mungkin terlihat, maka kesaksiannya ditolak dengan syarat premis-premis falak yang digunakan
bersifat qotiy dan ahli falak bersepakat bahwa hilal tidak mungkin diru’yah.

Ketiga Ilmu falak dapat digunakan untuk menafikan ikmāl. Imam Qosim al-Abbadi
menjelaskan bahwa jika ada kepastian hilal dapat diru’yah setelah matahari terbenam tetapi
tidak seorangpun menyaksikan hilal, maka awal bulan dapat ditentukan berdasarkan kepastian
tersebutiii. Pendapat senada disampaikan Imam Ali al-Ajhuri dari kalangan Malikiyah.
Menurutnya, jika empat bulan berturut-turut usia bulan 30 hari, maka bulan kelima harus 29
hari. Dengan kata lain jika pada bulan kelima tidak seorangpun menyaksikan hilal pada malam
30, maka hari ketiga puluh dari bulan kelima harus ditetapkan sebagai awal bulan keenam.

Dasar yang digunakan ulama dalam kasus-kasus tersebut adalah bahwa hisab memiliki
tingkat kepastian yang lebih tinggi dibanding ru’yatul hilal. Imam Qolyubi menjelaskan, jika hasil
hisab qotiy menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, maka kesaksian ru’yatul hilal
ditolak. Imam Qolyubi menambahkan bahwa ini adalah hal yang jelas (dhohirun jaliyyun) dan

2
‫‪mengingkarinya adalah mu’ānadah dan mukābarahiv. Dalam penjelasannya tentang hisab yang‬‬
‫‪dapat menafikan kesaksian ru’yah, Imam Subki menjelaskan bahwa hisab yang dibangun di atas‬‬
‫‪premis yang qoth’i juga bersifat qoth’i, sedangkan ikhbar ru’yatul hilal hanya bersifat dhanniv.‬‬

‫‪Oleh karena itu jika menurut ilmu falak tidak mungkin diru’yah, maka melakukan‬‬
‫‪ru’yatul hilal tidak menjadi fardlu kifayah atau sunnah. Sebab jika tujuan melakukan ru’yah‬‬
‫‪adalah memastikan terlihatnya hilal, sementara hilal diyakini tidak akan terlihat, maka‬‬
‫‪melakukan ru’yatul hilal adalah tindakan sia-sia. Dalam kasus tayammum, jika seseorang yakin‬‬
‫‪tidak air di sekitarnya, maka ia diperbolehkan tayammum tanpa harus melakukan pencarian air‬‬
‫‪terlebih dahulu.‬‬

‫‪D.‬‬ ‫‪Kesimpulan Jawaban‬‬

‫‪1. Sebagian ulama berpendapat bahwa imkān ru’yah menjadi syarat penerimaan kesaksian‬‬
‫‪ru’yah dan pendapat ini memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dalam penentuan‬‬
‫‪awal bulan hijriyah.‬‬

‫‪2. Ketika menurut Ilmu Falak hilal berada di bawah ufuk, maka sesuai jawaban poin 1‬‬
‫‪ru’yah tidak lagi fardlu kifayah atau sunnah. Sebab tujuan ru’yah untuk memastikan‬‬
‫‪terlihatnya hilal, sedangkan hilal menurut hisab tidak mungkin terlihat.‬‬

‫‪3. Sesuai dengan jawaban poin 1, ketika menurut ilmu falak hilal di atas ufuk dan‬‬
‫‪dipastikan terlihat, tetapi tidak seorangpun yang menyaksikan hilal dan ketika bulan‬‬
‫‪berjalan digenapkan (ikmāl) akan mengakibatkan bulan berikutnya berumur 28, maka‬‬
‫‪ilmu falak dapat digunakan acuan dalam menafikan ikmāl‬‬

‫‪ « i‬واختلف العُلمآ ُء فِي مع ٰنى قو ِل ِه صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّم " فإن غم عليكم فاقدروا له " فقال أحمد ابن‬
‫صيام ليل ِة الغي ِم وقال‬ ‫ب وأوجب هؤَُل ِء ِ‬ ‫حنب ٍل وطائِفةٌ ق ِليلةٌ معناهُ ض ِِّيقُوا لهُ وق ِد ُِّروهُ تحت السَّحا ِ‬
‫از ِل وقال ما ِلكٌ‬ ‫ب المن ِ‬ ‫ج وابنُ قُتيبة وآخ ُرون معناهُ بِ ِحسا ِ‬ ‫سري ٍ‬ ‫َّاس ابن ُ‬ ‫ف بنُ عب ِد هللاِ وأبُو العب ِ‬ ‫ُمط ِ ِّر ُ‬
‫ف ‪ :‬معناهُ ق ِد ُِّروا لهُ تمام العد ِد ثَلثِين يوما » «‬ ‫ف والخل ِ‬ ‫ي و ُجم ُهو ُر السَّل ِ‬ ‫شافِ ِع ُّ‬ ‫وأبُو حنِيفة وال َّ‬
‫المجموع شرح المهذب » (‪)270/6‬‬
‫صو ِم هل‬ ‫ب بِ ِحسابِ ِه فِي ال َّ‬ ‫ِّح ِمن جو ِاز عم ِل الحا ِس ِ‬ ‫سئِل ع ِن ال ُمر ِج ِ‬ ‫ي ُ‬ ‫الرم ِل ِِّ‬ ‫ب َّ‬ ‫شها ِ‬ ‫‪ « ii‬وفِي فتاوى ال ِ ِّ‬
‫ث‬ ‫محلُّهُ إِذا قُ ِطع بِ ُو ُجو ِد ِه و ُرؤيتِ ِه أم بِ ُو ُجو ِد ِه وإِن لم يُج ِّ ِوز ُرؤيتهُ فإِ َّن أئِ َّمت ُهم قد ذك ُروا ِلل ِهَل ِل ثَل ُ‬
‫ت حالة يُقط ُع فِيها ِب ُو ُجو ِد ِه و ِبامتِناعِ ُرؤيتِ ِه وحالة يُقط ُع فِيها ِب ُو ُجو ِد ِه و ُرؤيتِ ِه وحالة يُقط ُع‬ ‫حاَل ٍ‬
‫ث انتهى وهُو مح ُّل‬ ‫ت الثََّل ِ‬ ‫ام ٌل ِللحاَل ِ‬ ‫بش ِ‬ ‫فِيها بِ ُو ُجو ِد ِه ويُج ِّ ِو ُزون ُرؤيتهُ فأجاب بِأ َّن عمل الحا ِس ِ‬
‫اْلفتاء وأقَّرهُ‬ ‫ث نقل هذا ِ‬ ‫شي حي ُ‬ ‫اض ِل ال ُمح ِ ِّ‬‫ب ِمن الف ِ‬ ‫تأ ُّم ٍل بِالنِِّسب ِة ِللحال ِة اْلُولى بل والثَّا ِلث ِة والعج ُ‬
‫شه ِر‬ ‫ي قولُهُ م ر نعم لهُ أن يعمل ِب ِحسا ِب ِه ِإلخ أي الدَّا ِِّل على ُو ُجو ِد ال َّ‬ ‫ي ِعبارة ُ َّ‬
‫الر ِشي ِد ِِّ‬ ‫اهـ بص ِر ٌّ‬
‫اْلشكا ِل ؛ ِْل َّن‬ ‫الرؤي ِة كما هُو ُمص َّر ٌح بِ ِه فِي كَل ِم وا ِل ِد ِه وهُو فِي غاي ِة ِ‬ ‫ان ُّ‬ ‫وإِن د َّل على عد ِم إِمك ِ‬
‫اء‬ ‫شه ُر ِفي أثن ِ‬ ‫شه ِر ويلز ُم علي ِه أنَّهُ ِإذا دخل ال َّ‬ ‫الرؤي ِة َل ِب ُو ُجو ِد ال َّ‬
‫صوم ِب ُّ‬ ‫ارع ِإنَّما أوجب علينا ال َّ‬ ‫ش ِ‬ ‫ال َّ‬
‫ظ ُّن اْلصحاب يُوافِقُون على ذ ِلك وقد بسطتُ‬ ‫ت ُد ُخو ِل ِه وَل أ ُ‬ ‫اْلمساكُ ِمن وق ِ‬ ‫ب ِ‬ ‫ار أِّنَّهُ ي ِج ُ‬ ‫النَّه ِ‬
‫ف ما قالهُ‬ ‫ح و ُرؤيةُ ال ِهَل ِل ما يُص ِ ِّر ُح بِ ِخَل ِ‬ ‫القول على ذ ِلك فِي غي ِر هذا المح ِِّل اهـ ويأتِي فِي شر ِ‬
‫شا ِه ِد ما‬ ‫ب ال َّ‬ ‫اب على ك ِذ ِ‬ ‫ي ِفي اْلُولى والثَّا ِلث ِة ج ِميعا وع ِن ال ِِّنهاي ِة ِفيما لو د َّل ال ِحس ُ‬ ‫الرم ِل ُّ‬ ‫اب َّ‬‫شه ُ‬ ‫ال ِ ِّ‬
‫ارع لم يعت ِم ِد ال ِحساب بل ألغاهُ بِال ُك ِلِّيَّ ِة كما أفتى بِ ِه الوا ِل ُد – ر ِحمهُ هللاُ تع ٰالى – اهـ «‬ ‫ش ِ‬‫صهُ أ َّن ال َّ‬ ‫ن ُّ‬
‫تحفة المحتج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي » (‪)373/3‬‬
‫ارع إِنَّما أناط ال ُحكم‬ ‫ش ِ‬ ‫ب إِيعابٌ (قولُهُ ؛ ِْل َّن ال َّ‬ ‫‪( « iii‬قولُهُ لوَلهُ) أي الغي ِم (ل ُرئِي قطعا) أي بعد الغُ ُرو ِ‬
‫ث يتأتَّى ُرؤيتُهُ‬ ‫ب ِبحي ُ‬ ‫ب ِإلخ) ينب ِغي فِيما لو د َّل القط ُع على ُو ُجو ِد ِه بعد الغُ ُرو ِ‬ ‫الرؤي ِة بعد الغُ ُرو ِ‬ ‫ِب ُّ‬

‫‪3‬‬
‫ل ِكن لم يُوجد ِبال ِفع ِل أن يك ِفي ذ ِلك فليُتأ َّمل سم » « تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي‬
‫الشرواني والعبادي » (‪)374/3‬‬
‫ي‬ ‫اب القط ِع ُّ‬ ‫اب ال ُمن ِج ِِّم ِلنف ِس ِه و ِلمن صدَّقهُ‪ ،‬بل قال الع ََّلمةُ العبَّا ِد ُّ‬
‫ي ‪ :‬إِنَّهُ إِذا د َّل ال ِحس ُ‬ ‫« و ِمنهُ ِحس ُ‬ ‫‪iv‬‬

‫ي وَل ي ُجوزُ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬


‫على عد ِم ُرؤيتِ ِه لم يُقبل قو ُل العد ِل ِل ُرؤيتِ ِه‪ ،‬وتر ُّد شهادت ُهم بِها انتهى‪ .‬وهُو ظاه ٌِر ج ِل ٌّ‬
‫صو ُم ِحينئِ ٍذ و ُمخالفةُ ذ ِلك ُمعاندة ٌ و ُمكابرة ٌ » « حاشيتا قليوبي وعميرة » (‪)63/2‬‬ ‫ال َّ‬
‫ت قط ِعيَّ ٍة‬ ‫ان ُرؤيتِ ِه ويُدركُ ذ ِلك بِ ُمقدَّما ٍ‬ ‫اب على عد ِم ِإمك ِ‬ ‫صورة ٌ أخرى وهُو أن ي ُد َّل ال ِحس ُ‬ ‫ُ‬ ‫« وه ُهنا ُ‬ ‫‪v‬‬

‫ض ُرؤيتِنا لهُ ِحسًّا ِْلنَّهُ يست ِحي ُل‬ ‫شم ِس ف ِفي ه ِذ ِه الحال ِة َل يُم ِكنُ فر ُ‬ ‫ب ِمن ال َّ‬‫وي ُكونُ فِي غاي ِة القُر ِ‬
‫َّ‬
‫اح ٌد أو أكث ُر ِم َّمن يحت ِم ُل خب ُرهُ الكذِب أ ِو الغلط فالذِي يُتَّجهُ قبُو ُل هذا الخب ِر‬ ‫فلو أخبرنا بِ ِه ُمخبِ ٌر و ِ‬
‫شهادة‬ ‫ي وال َّ‬‫ان لم تُقبل شهادت ُ ُهما ِْل َّن ال ِحساب قط ِع ٌّ‬ ‫ب أ ِو الغل ِط ولو ش ِهد بِ ِه شاهِد ِ‬ ‫وحملُهُ على الك ِذ ِ‬
‫والخبر ظنِِّي ِ‬
‫َّان »‬

‫‪4‬‬

Anda mungkin juga menyukai