Alhamdulillah, pak Thomas Djamaluddin dengan rajin mengkritisi konsep Wujudul Hilal Muhammadiyah
(WHM). Sepedas apa pun kritik beliau, warga Muhmamdiyah khususnya kader falak Muhammadiyah
harus berterimakasih kepada beliau. Kritik beliau membuat ahli falak Muhammadiyah ikut berfikir kritis.
Terimakasih pak Thomas, sungguh kami menjadi kian solid dengan kritik demi kritik anda. Selanjutnya,
ijinkan kami memberi cacatan tentang WHM
1. Benar kritik anda tentang konsep WHM yang tidak jelas dalam arti hilal mau diartikan apa karena
menggunakan kriteria Bulan tenggelam sebelum Matahari. Kami sedang berusaha merevisi
bahwa WHM berarti hilal belum tenggelam ketika Matahari terbenam, dengan kata lain piringan
bawah Bulan belum terbenam ketika Matahari tenggelam. (Nah, ini masih dalam usulan, harus
dimusyawarahkan dulu karena kami bekerja di organisasi)
2. Kami memang tidak menggunakan imkanu ar-rukyat yang bagi kami imkanu ar-rukyat itu
1. Tidak jelas parameternya. Sederhananya, itu adalah parameter yang mengada-ada. Saya
pribadi tidak gembira dengan sesuatu yang tidak jelas dan suka-suka ini yakni ada yang
ambil 2 derajat, 4 derajat, 5 derajat, 9 derajat sebagai criteria visibilitas. Apakah kalau
diambil 2 derajat lalu ketika hisab menghasilkan ketinggian 3 derajat otomatis hilal bisa
dilihat? Tidak kan?
2. Dalam perspektif kefilsafatan, mengapa kita mendasarkan pada sestau yang tidak tetap
dan variatif tersebut? Bukan dari variasi tersebut ada ujung yang konvergen, 2, 4, 5, 9 dan
seterusnya bisa dibalik menjasi …9,5, 4, 2 dan tujung atau ujuannya adalah NOL. Inilah
WHM.
3. Sebagai fisikawan teoritik, saya memang cenderung menghindari parameter by hand atau
given termasuk bagi visibilitas. Saya selalu berusaha bekerja mencari yang mendasar, first
principle. Nah, yang mendasar dari angkaa tersebut adalah NOL, sedangkan bilangan 2, 4,
5, 9 dapat dipandang sebagai fluktuasi dari vakum yang mendasar. Vakum itu asal-usul
dari system fisis tereksitasi. Jika berada di vakum berarti tersembunyi jika keluar dari
vakum yakni keluar dari NOL berarti tereksitasi dan ada. Tereksitasi dari NOL berarti
positip.
3. Argumenn tersebut seolah tidak syar’I, karena tidak berdasar pada tekss yang ada selain teks ke-
ummi-an Rasulullah saw dan para sahabat atas ilmu astronomi. Kami hanya berimajinasi, andai
para sahabat saat itu ada yang ahli hitung dalam astronomi apa yang diminta Rasulullah saw
untuk dihitung pada para sahabat tersebut. Saya bayangkan hal sederhana karena Islam
memang sederhana, tidak menyulitkan. Hal tersebut tidak lain adalah konjungsi. Seharusnya
konjungsilah yang jadi penanda akhir dan awal bulan lunar. Tetapi masalahnya, apakah bagian
Bulan yang tersinari Matahari dan menghadap Bumi tidak lama setelah konjungsi dapat terlihat
dari Bumi agar sesuai dengan hadits popular tentang keterlihatan hilal. Kami belum punya bukti
pendukung keyakinan kriteria konjungsi sebelum maghrib ini . Betul, keyakinan kami baru
sebatas keyakinan tanpa dasar data hilal teramati tidak lama setelah konjungsi.
4. Alhamdulillah, akhirnya saat yang ditunggu datang juga. 5 Mei 2008 astronom Jerman Martin
Elsasser (www.mondatlas.de/index_e.html) mencatat rekor dunia dengan mengamati hilal hanya
beberapa menit sebelum dan setelah konjungsi. Artinya, kriteria ijtimak qabla al-ghurub menjadi
benar, WHM gugur apalagi imkanu ar-rukyat. Ijtimak qabla al-ghurub bisa disebut wujudul hilal
versi geometris-astronomis. Tetapi untuk sementara kami ambil jalan tengah dulu dengan WHM,
kalau umat sudah siap kita beralih pada criteria IJTIMAK QABLA AL-GHURUB
5. Jadi Pak Thomas benar, WHM salah, apalagi imaknurrukyat, lebih salah lagi. Allah adil dengan
memperlihatkan kesalahan kita bersama. Jadi tidak perlu saling menyalahkan. Mari kita pindah ke
kriteria baru kriteria ijtimak qabla al-ghurub, secara bersama-sama dan kompak. Jika ini kita
lakukan, muslim Indonesia dengan kementerian agamanya akan naik pamor karena melakukan
ijtihad besar di abad 21 ini.
Wujudul Hilal (WH) yang dikenal sebagai metoda "milik" Muhammadiyah, belakangan ini menjadi sorotan, ketika
dengan "berani" menyatakan bahwa 9 Juli 2013 kemarin = 1 Ramadhan untuk wilayah Indonesia, sementara
sebagian besar kaum muslimin lainnya yang berada pada wilayah bujur yang sama, bahkan juga kaum muslimin
yang berada di wilayah yang lebih barat dari itu, semuanya menetapkan 1 Ramadhan = 10 Juli, bukan 9 Juli. WH
merupakan sebuah metoda bukan ideologi bukan juga agama, sehingga pembahasan WH hendaknya tidak
dikaitkan dengan keyakinan kelompok dalam hal ini Muhammadiyah. WH boleh dirombak, disempurnakan, atau
diganti tanpa harus mempengaruhi "iman" Muhammadiyah. Berikut ini penjelasan mengenai WH melalui
pendekatan yang lebih simpel untuk segera mengetahui titik masalahnya.
Kriteria IQG merupakah patokan paling mudah difahami. Ada beberapa usaha mengakomodir IQG ke dalam
paradigma WH, dengan statement, "Jika Ijtimak (konjungsi bulan-matahari) sudah terjadi maka saat
maghribnya sudah pasti Hilal Wujud." Akan tetapi fakta astronomis berbicara lain. IQG tidak selalu berkorelasi
dengan Wujud atau tidaknya Hilal.
Secara teori hilal terbentuk jika posisi matahari-bulan dan pengamat tidak lagi berada dalam satu garis lurus
sehingga ada bagian bulan yang tersinari matahari, yang sebagian pantulan sinarnya mengarah ke pengamat
di bumi.
Berdasarkan teori ini tidak salah apabila WH menyimpulkan bahwa sesaat setelah konjungsi matahari-bulan-
pengamat tidak lagi segaris, oleh karenanya Hilal pasti sudah Wujud. Akan tetapi IQG bukan menyempurnakan
WH melainkan justru akan menggantikan WH berdasarkan fenomena berikut:
Ada delapan posisi yang kesemuanya menunjukkan Wujud nya Hilal. Artinya ketika letak bulan lebih utara atau
lebih selatan dari matahari, teropong canggih ala T. Legault -jika berita itu benar- akan selalu bisa menjepret hilal,
baik sebelum konjungsi, saat konjungsi maupun setelah konjungsi. (ctt: hasil jepretan T. Legault mirip gambar
hilal pra konjungsi bagian utara / kanan bawah).
Sementara IQG mengabaikan semuanya itu. Menurut IQG satu satunya batas hanyalah saat konjungsi, tanpa
menyertakan batasan wujud atau tidaknya hilal. Artinya tidak mungkin mengakomodir IQG untuk
menyempurnakan akurasi WH karena sejatinya IQG terhadap WH tidak bersifat komplementer melainkan saling
menggantikan. Ketika IQG digunakan maka WH menjadi tidak relevan.
2. Orbit Elips Bulan Mengelilingi Bumi dan Orbit Elips Bumi Mengelilingi Matahari
Orbit bulan mengelilingi bumi berbentuk elips, artinya adakalanya bulan berada pada jarak terdekat dari bumi,
pada saat lain berada pada jarak terjauh. Implikasinya menurut pengamat di bumi piringan bulan terlihat paling
besar ketika jaraknya terdekat, dan terlihat paling kecil ketika jaraknya terjauh.
Hal serupa juga terjadi pada matahari karena orbit bumi mengelilingi matahari juga berbentuk elips. Fenomena
ini menyebabkan perbandingan besarnya lingkaran bulan dan matahari menurut pengamat di bumi tidak selalu
sama. Pada satu saat lingkaran matahari lebih besar pada saat yang lain lebih kecil dibanding lingkaran bulan.
Coba perhatikan ilustrasi berikut:
1. Piringan Matahari < Piringan Bulan : Sinar matahari sepenuhnya terhalang sehingga pengamat melihat
matahari tertutup bulan (Gerhana Matahari Total)
2. Piringan Matahari = Piringan Bulan : Sama dengan kondisi 1, pengamat tidak melihat piringan matahari
(Gerhana Matahari Total)
3. Piringan Matahari > Piringan Bulan : Bagian pinggir piringan matahari terlihat oleh pengamat di bumi (Gerhana
Matahari Cincin). Pada kondisi ini sebenarnya ada bagian bulan yang memantulkan sinar matahari ke arah bumi
(lihat panah kuning)
Pada kasus ketiga (Gerhana Matahari Cincin) sebenarnya yang sampai pada pengamat di bumi ada 2 sinar yaitu
sinar dari piringan luar matahari dan pantulan dari piringan luar bulan. Pantulan dari piringan luar bulan ini sama
hakikatnya dengan hilal tetapi berbentuk garis satu lingkaran penuh. Dengan memanipulasi tingkat kecerahan
objek, kita bisa menangkap citra hilal baik sebelum konjungsi, saat konjungsi, maupun sesudahnya. Dengan kata
lain hilal selalu wujud pada sebarang waktu sebelum konjungsi-saat konjungsi dan setelahnya.
Satu satunya posisi bulan-matahari yang ideal untuk menjelaskan bahwa Hilal bisa Wujud sesaat setelah
konjungsi adalah ketika terjadi gerhana matahari total. Itupun kalau lingkaran bulan tepat sama besar dengan
piringan matahari. (Lihat gambar atas bagian tengah)
Jika piringan bulan dan matahari tidak sama besar maka hanya ada dua kemungkinan berikut:
Wujud Hilal Saat Gerhana Matahari Total dan Cincin
1. Foto kiri (Gerhana Matahari Total): Pada kasus "piringan matahari=piringan bulan", garis luar matahari dan
bulan berimpit saat konjungsi, sehingga sebarang waktu setelah konjungsi pasti hilal sudah wujud. Tetapi untuk
kasus "piringan matahari <piringan bulan", piringan bawah bulan lebih rendah dari piringan bawah matahari
sehingga hilal tidak serta merta wujud meskipun saat konjungsi telah lewat.
2. Foto kanan (Gerhana Matahari Cincin) : Karena "piringan matahari > piringan bulan" maka akan selalu ada
bagian bulan yang memantul kan cahaya matahari ke bumi. Hilal terbentuk sebagai garis tipis terang di sepanjang
pinggir lingkaran bulan. Pada foto kanan, letaknya ada di pinggiran lingkaran hitam bulan. Dalam foto tidak
nampak karena sinar matahari (orange) jauh lebih terang.
Beberapa fenomena ini memberikan dua pilihan sulit bagi penganut WH, mengambil IQG sebagai acuan atau
mengembalikan pengertian "wujud" mendekati pengertian "ru'yat". Artinya yang dimaksud hilal sudah wujud
adalah telah wujud dalam receptor pengamat.
Para pengusung WH tampaknya lebih nyaman memilih langkah pertama yaitu mengakomodir IQG meskipun
konsekuensinya konsep WH menjadi tidak bermakna. Apakah selesai sampai di sini? Ternyata tidak, karena IQG
tidak kontekstual terhadap bahasan penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. IQG mengabaikan "hilal", sementara
dalam masalah 1 Ramadhan dan 1 Syawal justru "hilal" inilah yang menjadi subyek bahasan utama.
Pembahasan IQG versus Ru'yatul Hilal disajikan dalam artikel tersendiri, insyaallah. Jika ada yang salah tentu
disebabkan kebodohan saya, dan tentu saja jangan diikuti. Sekiranya ada yang benar sesungguhnya kebenaran
datang hanya dari sisi Allah. Dan sebaik baik orang adalah yang bersegera menanggalkan yang salah dan
menggantikannya dengan kebenaran.
Pemerintah mempunyai standar ganda dalam menentukan awal Ramadhan dengan waktu Sholat misalnya. Jika
awal Ramadhan ditentukan lewat Rukyat sedangkan Sholat ditentukan oleh Hisab.
Jika menilik kelompok yang mempercayai Rukyat adalah satu-satunya cara menentukan awal Ramadhan dalam
sidang it’sbat, penulis melihat alasan kuat mereka sbb:
1. Hadis Nabi gamblang mengatakan jika melihat Hilal dengan mata telanjang barulah berpuasa esok harinya,
jika tidak melihat dengan alasan apapun maka puasa dilakukan pada esok lusanya.
2. Hisab yang merupakan hasil dari proses ilmu pengetahuan Astronomi adalah buatan manusia sehingga
tidak dapat mereduksi Hadis Nabi yang mempunyai makna yang jelas.
Sampai disini penulis memberikan apresiasi pada kelompok Pro Rukyat, tetapi ada semacam inkonsistensi jika
kelompok Pro Rukyat menggunakan metode Hisab dalam menentukan awal Sholat 5 waktu dan Imsak.
Seperti kita ketahui Firman Allah dalam Al Qur’an menyaratkan Rukyat atau melihat langsung posisi matahari
dalam menentukan awal tiap-tiap waktu sholat seperti sbb:
“Sesungguhnya solat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu yang tertentu”
( Q.S. An-Nisa’ :103 )
“Dirikanlah solat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah solat subuh
sesungguhnya solat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)” ( Q.S. Al-Isra’ : 78 )
Dari sudut pandang Fiqih penentuan waktu shalat fardhu seperti dinyatakan di dalam kitab-kitab fiqih adalah
sebagi berikut :
Waktu Subuh Waktunya diawali saat Fajar Shiddiq sampai matahari terbit (syuruk). Fajar Shiddiq ialah
terlihatnya cahaya putih yang melintang mengikut garis lintang ufuk di sebelah Timur akibat pantulan cahaya
matahari oleh atmosfer.
Waktu Zuhur Disebut juga waktu Istiwa (zawaal) terjadi ketika matahari berada di titik tertinggi. Istiwa juga
dikenal dengan sebutan Tengah Hari (midday/noon). Pada saat Istiwa, mengerjakan ibadah shalat (baik wajib
maupun sunnah) adalah haram. Waktu Zuhur tiba sesaat setelah Istiwa, yakni ketika matahari telah condong ke
arah Barat.
Waktu Ashar Menurut Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali, waktu Ashar diawali jika panjang bayang-bayang
benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara Madzab Imam Hanafi mendefinisikan waktu Ashar jika
panjang bayang-bayang benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri.
Waktu Maghrib Diawali saat matahari terbenam di ufuk sampai hilangnya cahaya merah di langit Barat.
Waktu ‘Isya Diawali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit Barat, hingga terbitnya Fajar Shiddiq di
Langit Timur.
Diagram Waktu Sholat Berdasarkan Posisi Matahari (Dok: Rukyatul Hilal . Org)
Kesimpulan Penulis
Dengan melihat kriteria yang ketat diatas maka umat Muslim seharusnya melihat dulu ke langit jika ingin
menunaikan Sholat.
Dilihat dari derajat hukum me-rukyat menentukan Sholat lebih kuat daripada menentukan 1 Ramadhan, jika
rukyat sholat diperintahkan lewat Firman Allah sedangkan 1 Ramadhan diperintahkan lewat Hadis Nabi.
Kesimpulan akhir penulis mengapa kelompok Pro Rukyat tidak bisa menerima Hisab dalam menentukan 1
Ramadhan jika semata-mata ingin mengikuti Hadis Nabi, jika dalam mengerjakan Sholat bisa menerima Hisab
sebagai metoda penetuan awal waktu.
Hisab yang diusung Muhammadiyah adalah metodeyang semata-mata mengandalkan perhitungan astronomi dalam
menentukan bulanbaru. Metode hisab ini di Muhammadiyah dinamai “Wujudul Hilal”. Kriterianyaadalah:
1. Telahterjadinya ijtimak/konjungsi antara bumi, bulan dan matahari
2. Bulantenggelam belakangan setelah matahari tenggelam pada petang itu.
Kekuatandari metode ini adalah: Kemudahan dan kepastian. Karena dalam astronomi, semuapergerakan benda2
angkasa sudah bisa dipetakan dan dibuat rumus atau dibuattabel untuk tahun2 ke depan. Kelemahan dari metode
ini adalah: membuangsama sekali faktor “rukyat” atau melihat bulan. Padahal di hadits2 shahih jelassekali
menerangkan faktor “keterlihatan” hilal.
Rukyat adalah metode menentukan bulan barudengan pengamatan/observasi semata. Jikalau bulan tidak
terlihat/terhalang,maka hitungan hari pada bulan tersebut digenapkan menjadi 30. Sebaliknya jikabulan kelihatan
pada petang tersebut, maka keesokan harinya adalah tanggal 1.
Kekuatanmetode ini: Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh nash2 shahih, yaitudengan me”rukyat” /melihat
hilal. Kelemahan metode ini adalah: Ketidak pastian.Kita sebagai umat islam tentu menginginkan kalender hijriyah
superior darisistem penanggalan lainnya. Tetapi kalau tidak pasti, bagaimana kita bisamenonjolkan? Misalkan jika
memesan tiket pesawat tanggal 30 Julhijah seminggusebelumnya, tetapi sehari sebelum keberangkatan ternyata
hasil rukyatmenyatakan bulan julhijah tahun itu hanya 29 hari, kan berarti tiketnya hangus.
Pemerintahdan ormas2 Islam secara umum (kecuali Muhammadiyah) sudah bersepakat untukmengedepankan
metode imkanur rukyat, meskipun belum ada kesepahaman berapanilai nominal dari tambahan kriteria rukyat
tersebut. Pada umumnya ormas2 Islammensyaratkan minimal 2 derajat sementara para ahli astronomi
mengisyaratkanbulan sebenarnya tidak bakal terlihat jika masih di bawah 4 derajat di atasufuk setelah matahari
tenggelam. Sementara Muhammadiyah masih tetap bersikukuhdengan metode wujudul hilal yang murni
penghitungan.
WUJUDUL HILAL VS IMKANUR RUKYAH, MANA YANG PALING TEPAT?
Sudah tahu yang dimaksud judul tersebut bukan? Ya, kali ini SitusWahab akan menulis tentang kriteria penetapan
Idul Fitri yang dipakai oleh Muhammadiyah dan pemerintah bersama NU. Kedua patokan ini membuat Idul Fitri
1432 H atau 2011 M kemarin jadi berbeda. Bagi yang belum atau kurang paham, begini ceritanya:
Untuk menetapkan hari raya, pemerintah memakai patokan imkanur rukyah, yakni batas minimal hilal
memungkinkan dilihat dengan pengamatan mata. Batas tersebut adalah 20 (dua derajat). Bila masih di bawah
ketinggian 20 (dua derajat) ini, berarti secara teoritis hilal mustahil diamati dengan mata. Sebaliknya bila lebih,
maka secara teoritis hilal sudah memungkinkan untuk diamati dengan mata. Perhitungan teoritis ini penting karena
patokan pemerintah sebenarnya adalah rukyah (pengamatan mata), sedangkan hisab hanya membantu saja. Kalau
ada yang melihat hilal berarti besoknya hari raya kalau tidak ada ya besoknya belum hari raya. Selengkapnya
silakan baca ini.
Adapun Muhammadiyah– setidaknya sampai tulisan ini dibuat– memakai patokan wujudul hilal atau adanya hilal
di atas ufuk. Patokan ini berarti berapa pun ketinggian hilalnya, meskipun nol koma sekian derajat, asal sudah di
atas ufuk/horizon (gampangnya: hilalnya tenggelam belakangan dari matahari setelah waktu konjungsi) berarti
malam itu sudah bulan baru atau sudah 1 Syawal sehingga besoknya hari raya bisa dilakukan. Dengan kata lain,
patokan yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab murni sedangkan rukyah hanyalah pendukung saja yang tidak
harus diperlukan. Yang penting adalah hakikat posisi hilal/bulan baru secara astronomis, tanpa mempedulikan hilal
tersebut bisa teramati mata atau tidak.
Manakah di antara kedua patokan tersebut yang paling tepat? Untuk menjawabnya, perlu kajian dari sisi hadith dan
rasio seperti berikut:
A. Kajian hadith terhadap penetapan hari raya.
Terlebih dahulu, marilah kita merujuk petunjuk Rasulullah Muhammad saw. dalam hal penetapan hari raya. Rasul
bersabda dengan berbagai redaksi berikut:
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ص
َ فَِإ ْن غُىِّبَ َعلَْي ُك ْم فََأ ْكملُوا ع َّد َة َش ْعبَا َن ثَالَث، َوَأفْط ُروا لُرْؤ يَته، وموا ل ُرْؤ يَته
ني ُ ُ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalangi atas kalian, maka
sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. (Bukhari)
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمى عليكم فأكملوا العدد
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka
sempurnakan bilangannya. (Muslim)
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم الشهر فعدوا ثالثني
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka
hitunglah jadi 30 hari. (Muslim)
َ وموا لُِرْؤ يَتِ ِه َوَأفْ ِط ُروا لُِرْؤ يَتِ ِه فَِإ ْن َح
ن9َ ال َبْينَ ُك ْم َو َبْينَهُ َس َحابَةٌ َْأو ظُْل َمةٌ فََأ ْك ِملُوا الْعِ َّد َة ِع َّد َة َش ْعبَا ُ صُ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau di antara kalian dan hilal ada
penghalang berupa awan atau kegelapan, maka sempurnakan hitungannya, yakni hitungan Sya’ban. (al-Nasa’i)
Selain redaksi itu masih ada redaksi lain, tapi sangat serupa sehingga rasanya tidak perlu semuanya disebutkan
untuk menyingkat waktu.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bahwa bila hilal terlihat pada malam ke 30, berarti esok harinya sudah
lebaran yang berarti puasanya hanya 29 hari saja. Akan tetapi, bila hilal masih tidak dapat terlihat pada malam ke
30 karena terhalang sesuatu, berarti esok harinya, yakni tanggal 30 masih harus berpuasa karena bulan yang
bersangkutan harus digenapkan menjadi 30 hari. Dalam kasus awal puasa berarti Sya’ban digenapkan 30 hari,
dalam kasus akhir puasa berarti Ramadhan digenapkan 30 hari.
Dalam berbagai hadits di atas, yang oleh Rasulullah disebutkan sebagai penghalang melihat/rukyat hilal adalah
awan (Ghamm atau Sahab), kegelapan (dhulmah) dan satu redaksi memakai kata (ghubbiya) yang artinya terhalang
dalam arti umum tanpa menjelaskan objek apa yang menghalangi. Dengan begini berarti objek apapun yang
menghalangi terlihatnya bulan, entah itu awan, kegelapan, kesamaran, atau silau sinar matahari serta terlalu
tipisnya bentuk hilal–seperti bila tinggi hilal masih di bawah dua derajat–, berarti hilal dianggap belum terlihat dan
karenanya jumlah puasa harus digenapkan 30 hari. Inilah yang menjadi landasan seluruh ormas Islam selain
Muhammadiyah dan akhirnya dikuatkan oleh keputusan pemerintah pada sidang itsbat penetapan idul fitri tahun
2011 kemarin.
Berbeda dengan itu, Muhammadiyah tetap kukuh pada pendiriannya bahwa meskipun hilal tidak dan bahkan tidak
mungkin terlihat, namun bila secara perhitungan/hisab sudah di atas ufuk/horizon setelah terjadinya
ijtimak/konjungsi, maka itu sudah berarti lahirnya bulan baru dan puasa tidak perlu digenapkan menjadi 30 hari,
namun cukup 29 hari saja. Landasan yang dipakai–yang juga dimunculkan oleh perwakilan Muhammadiyah dalam
sidang itsbat idul fitri tahun 2011 lalu–adalah redaksi hadits berikut:
ِ ِ
ُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه. َوِإ َذا َر َْأيتُ ُموهُ فََأفْط ُروا9وموا
ُ صُ َاهْل الَ َل ف
Kalau kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kalau kalian kalian melihat hilal, maka akhirilah puasa. Kalau
terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Majah)
فإن غم عليكم فاقدروا له، وال تفطروا حىت تروه، حىت تروا اهلالل9ال تصوموا
Janganlah kamu berpuasa Ramadhan hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian mengakhiri puasa hingga
kalian melihatnya. Jika terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Hibban)
Redaksi di atas tidak menyuruh untuk menggenapkan puasa menjadi 30 hari, tapi memperkirakan atau menghitung
hilal. Muhammadiyah memahami ini sebagai memperkirakan atau menghitung ada atau tidaknya hilal secara
hakikat seandainya tidak ada penghalang. Dengan kata lain memakai hisab untuk memperkirakan hilal.
Tepat atau tidak pemahaman Muhammadiyah ini? Saya pribadi jelas mengatakan tidak tepat karena dua alasan.
Pertama, pemahaman seperti ini berarti kontradiksi dengan hadits-hadits sebelumnya di atas. Kedua, ada redaksi
lain yang telah menjelaskan maksud “perkirakan” itu, yaitu:
ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ص
َ وموا ل ُرْؤ يَته َوَأفْط ُروا لُرْؤ يَته فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْد ُروا ثَاَل ث
ني ُ ُ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka
perkirakanlah jadi 30 hari. (al-Nasa’i dan Ibnu Hibban)
Jadi yang dimaksud adalah memperkirakan atau menghitung jumlah hari genap menjadi 30 hari. Pemahaman
seperti ini berarti menafsirkan hadits dengan hadits lain, menafsirkan keterangan Nabi di satu tempat dan waktu
dengan keterangan Nabi di tempat dan waktu lain sehingga semua cocok dan tidak ada pertentangan. Adapun
pemahaman seperti yang dilakukan Muhammadiyah berarti menafsirkan hadits/keterangan Nabi dengan akal
pikiran sendiri sehingga wajar bila hasilnya terlihat bertentangan dengan hadits lain. (Buat yang merasa
Muhammadiyah, peace dulu…. :-) ini diskusi bro!).
Tetapi, pemahaman Muhammadiyah itu dapat dikuatkan dengan hadits berikut:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وإن تشكوا هلا فإن غم عليكم فأمتوا ثالثني
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau kalian ragu melihatnya, kalau
terhalang awan atas kalian, maka sempurnakan hitungannya menjadi 30 hari. (Ahmad ibnu Hanbal)
Hadits di atas menyebut kalau ragu melihat hilal karena berbagai faktor, maka perlu menyempurnakan hitungan.
Dengan kata lain, berarti kalau sudah tidak ragu lagi karena adanya bantuan teknologi saat ini yang sudah sangat
canggih dan meyakinkan, maka tidak perlu lagi menyempurnakan hitungan jadi 30 hari, tapi cukup 29 hari saja.
Sayangnya hadits dengan redaksi ini lemah karena di dalam jalur periwayatannya ada Hujjaj Ibn Arthoh yang
lemah. Karena itu, hadits tersebut tidak bisa dipakai.
B. Kajian rasio tentang penetapan hari raya.
Yang di atas itu adalah kajian haditsnya. Lalu bagaimana dari sudut pandang rasionya? Bukankah kalau hilal sudah
benar di atas ufuk/horizon setelah terjadinya ijtimak/konjungsi berarti sudah bulan baru? Bukankah melihat dengan
kepala itu untuk tahu dan meyakini, sedangkan untuk tahu dan yakin itu sendiri tidak harus melihat bukan?
Bukankah mata kepala bisa salah lihat dan orang yang bersumpah melihat bisa saja bohong atau keliru sedangkan
perhitungan kontemporer menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan? Bukankah bila menurut perhitungannya
ramadhan hanya 29 hari tapi terhanyata harus puasa 30 hari berarti puasa di hari lebaran yang jelas diharamkan dan
malah lebaran tanggal 2 Syawal yang aneh bin ajaib? Lagian bukankah Nabi sendiri keseringan puasa 29 hari saja?
Wuihh… banyak pertanyaan yang harus dijawab, jari sudah mulai capek, punggung mulai gak enak, tapi baiklah
daripada saya tulis di postingan lain di SitusWahab ini, mending langsung di sini saja. :-D
Memang benar bila sudah di atas ufuk setelah ijtimak berarti secara hakikat sudah bulan baru, tapi mulai kapan
hitungan hakikat seperti itu dipakai dalam ritual agama Islam yang mudah dan memang dimudahkan untuk semua
orang ini? Yang dipakai tak pernah yang hakikat-hakikat, tapi yang mudah saja, yakni yang teramati dengan mata
kepala. Lihatlah bagaimana waktu zawalus syamsi (tergelincirnya matahari atau bergeser turunnya matahari dari
titik tertingginya) yang menandakan awal waktu solat dhuhur! Ukuran yang dipakai bukan hakikatnya, tapi yang
teramati oleh mata dari bumi ini. Oleh karena itu, ukurannya dengan berpindahnya bayang-bayang benda tegak
lurus ke arah timur bukan dengan menghitung hakikat pergeseran matahari dari puncak tertingginya yang hanya
sepersekian detik itu. Lihatlah juga ukuran waktu tenggelamnya lingkaran matahari di horizon yang jadi pedoman
awal waktu maghrib! Yang jadi ukuran bukan lingkaran hakikat matahari, tapi lingkaran matahari yang tampak
oleh mata manusia yang ukurannya lebih besar dari hakikatnya. Begitu pula harusnya hilal diperlakukan, meskipun
secara hakikat sudah ada di atas ufuk, tapi bila tidak terlihat oleh mata, apalagi bila memang mustahil dilihat secara
teoritis karena berada di bawah standar imkanur rukyah, berarti hilal dianggap belum ada.
Untuk tahu memang tidak harus melihat dengan mata kepala, tapi petunjuk Rasul adalah rukyat/melihat dengan
mata kepala, bukan lainnya. Tapi tentu saja, rukyat yang diterima hanyalah rukyat yang masuk akal dan benar,
yakni yang tidak bertentangan dengan teori hisabnya. Kalau rukyatnya tidak masuk akal dengan mengatakan hilal
di sebelah utara matahari padahal harusnya di selatan matahari, hilal sudah terlihat padahal mestinya tidak mungkin
terlihat dan sebagainya, maka rukyat itu harus ditolak. Karena itu, rukyat dan hisab harus dipakai bersamaan
sebagai cek kebenaran satu sama lain. Memakai rukyat saja memungkinkan salah, hisab saja juga tidak tepat secara
agama. Pemakaian kedua metode hisab dan rukyat ini secara bersamaan akan berujung pada pedoman imkanur
rukyah yang telah dipakai oleh pemerintah dan
Puasa 30 hari yang menurut hisab murni ramadhan-nya hanya 29 hari itu bukan berarti puasa di hari raya yang
diharamkan karena yang diharamkan itu kalau sengaja puasa di hari yang diyakini sebagai hari raya, bukan pada
hari yang diyakini masih termasuk bulan ramadhan. Dengan logika terbalik, berarti dapat dikata bahwa orang yang
memakai hisab saja yang meyakini bahwa puasa 29 hari padahal belum ada rukyat berarti berlebaran di bulan
puasa yang jelas diharamkan. Nah lo… Sebagian saudara saya, begitu pula beberapa orang lain bertanya-tanya
karena pada bulan Syawal tahun 1432 H/2011 ini bulannya sudah terlihat besar meskipun hari raya hanya berlalu
dua hari, tapi besarnya bulan seolah sudah berumur tiga hari? yang secara tidak langsung meragukan keputusan
pemerintah yang berlebaran telat satu hari dari Muhammadiyah. Ya itu karena memang pada hakikatnya bulan saat
itu sudah berlalu 3 x 24 jam (tiga hari), tapi sekali lagi yang dibuat patokan hari raya bukan hakikatnya, tapi
tampaknya hilal oleh mata.
Satu lagi, memang benar bahwa kebanyakan puasa Nabi Muhammad hanya 29 hari saja dan hanya beberapa kali
yang tercatat 30 hari. Tapi tentu ini bukan patokan, yang menjadi patokannya adalah petunjuk Nabi sendiri, bukan
fakta bahwa di Arab sana dahulu pada masa Nabi hilal sering terlihat di malam ketiga puluh.
Intinya, sudah bukan jamannya lagi mempertentangkan hisab dan rukyat. Keduanya sama-sama punya kelemahan
dan kelebihan, karena itu harus dipakai bersamaan untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Penggunaan keduanya secara bersamaan ada dalam teori Imkanur Rukyah yang selama ini dipakai oleh pemerintah
dan sebagian besar ormas Islam. Semoga kedepannya nanti semua ormas dan tokoh masyarakat sepakat untuk
menjadikannya sebagai pedoman bersama hingga menjadikan semua golongan kompak dalam menetapkan hari
raya, lebih-lebih dasar pendapat ini bisa dibilang sebagai yang terkuat dan paling komprehensif menampung semua
dalil dan arahan Rasulullah. Akhirnya, bagaimana pun alasannya, kebersamaan dan kekompakan mengikuti
keputusan terbanyak (pemerintah) tetap lebih indah.