Anda di halaman 1dari 14

IMKAN RUKYAT DAN WUJUDUL HILAL

Alhamdulillah, pak Thomas Djamaluddin dengan rajin mengkritisi konsep Wujudul Hilal Muhammadiyah
(WHM). Sepedas apa pun kritik beliau, warga Muhmamdiyah khususnya kader falak Muhammadiyah
harus berterimakasih kepada beliau. Kritik beliau membuat ahli falak Muhammadiyah ikut berfikir kritis.
Terimakasih pak Thomas, sungguh kami menjadi kian solid dengan kritik demi kritik anda. Selanjutnya,
ijinkan kami memberi cacatan tentang WHM
1. Benar kritik anda tentang konsep WHM yang tidak jelas dalam arti hilal mau diartikan apa karena
menggunakan kriteria Bulan tenggelam sebelum Matahari. Kami sedang berusaha merevisi
bahwa WHM berarti hilal belum tenggelam ketika Matahari terbenam, dengan kata lain piringan
bawah Bulan belum terbenam ketika Matahari tenggelam. (Nah, ini masih dalam usulan, harus
dimusyawarahkan dulu karena kami bekerja di organisasi)

2.  Kami memang tidak menggunakan imkanu ar-rukyat yang bagi kami imkanu ar-rukyat itu
1. Tidak jelas parameternya. Sederhananya, itu adalah parameter yang mengada-ada. Saya
pribadi tidak gembira dengan sesuatu yang tidak jelas dan suka-suka ini yakni ada yang
ambil 2 derajat, 4 derajat, 5 derajat, 9 derajat sebagai criteria visibilitas. Apakah kalau
diambil 2 derajat lalu ketika hisab menghasilkan ketinggian 3 derajat otomatis hilal bisa
dilihat? Tidak kan?
2. Dalam perspektif kefilsafatan, mengapa kita mendasarkan pada sestau yang tidak tetap
dan variatif tersebut? Bukan dari variasi tersebut ada ujung yang konvergen, 2, 4, 5, 9 dan
seterusnya bisa dibalik menjasi …9,5, 4, 2 dan tujung atau ujuannya adalah NOL. Inilah
WHM. 
3. Sebagai fisikawan teoritik, saya memang cenderung menghindari parameter by hand atau
given termasuk bagi visibilitas. Saya selalu berusaha bekerja mencari yang mendasar, first
principle. Nah, yang mendasar dari angkaa tersebut adalah NOL, sedangkan bilangan 2, 4,
5, 9 dapat dipandang sebagai fluktuasi dari vakum yang mendasar. Vakum itu asal-usul
dari system fisis tereksitasi. Jika berada di vakum berarti tersembunyi jika keluar dari
vakum yakni keluar dari NOL berarti tereksitasi dan ada. Tereksitasi dari NOL berarti
positip.

3. Argumenn tersebut seolah tidak syar’I, karena tidak berdasar pada tekss yang ada selain teks ke-
ummi-an Rasulullah saw dan para sahabat atas ilmu astronomi. Kami hanya berimajinasi, andai
para sahabat saat itu ada yang ahli hitung dalam astronomi apa yang diminta Rasulullah saw
untuk dihitung pada para sahabat tersebut. Saya bayangkan hal sederhana karena Islam
memang sederhana, tidak menyulitkan. Hal tersebut tidak lain adalah konjungsi. Seharusnya
konjungsilah yang jadi penanda akhir dan awal bulan lunar. Tetapi masalahnya, apakah bagian
Bulan yang tersinari Matahari dan menghadap Bumi tidak lama setelah konjungsi dapat terlihat
dari Bumi agar sesuai dengan hadits popular tentang keterlihatan hilal. Kami belum punya bukti
pendukung keyakinan kriteria konjungsi sebelum maghrib ini . Betul, keyakinan kami baru
sebatas keyakinan tanpa dasar data hilal teramati tidak lama setelah konjungsi.

4. Alhamdulillah, akhirnya saat yang ditunggu datang juga. 5 Mei 2008 astronom Jerman Martin
Elsasser (www.mondatlas.de/index_e.html) mencatat rekor dunia dengan mengamati hilal hanya
beberapa menit sebelum dan setelah konjungsi. Artinya, kriteria ijtimak qabla al-ghurub menjadi
benar, WHM gugur apalagi imkanu ar-rukyat. Ijtimak qabla al-ghurub bisa disebut wujudul hilal
versi geometris-astronomis. Tetapi untuk sementara kami ambil jalan tengah dulu dengan WHM,
kalau umat sudah siap kita beralih pada criteria IJTIMAK QABLA AL-GHURUB
5. Jadi Pak Thomas benar, WHM salah, apalagi imaknurrukyat, lebih salah lagi. Allah adil dengan
memperlihatkan kesalahan kita bersama. Jadi tidak perlu saling menyalahkan. Mari kita pindah ke
kriteria baru kriteria ijtimak qabla al-ghurub, secara bersama-sama dan kompak. Jika ini kita
lakukan, muslim Indonesia dengan kementerian agamanya akan naik pamor karena melakukan
ijtihad besar di abad 21 ini.

ARGUMENTASI HISAB WUJUDUL HILAL


Pendahuluan
Satu Islam ragam pemahaman. Maknanya, meskipun satu keyakinan agama yang sama kaum Muslimin bisa
mengekspresikan Islam yang warna-warni karena cara memahami agamanya yang tidak sama dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai ukhuwah islamiyah. Itulah barangkali yang dapat mentalitemalikan Islam dan kaum Muslimin
seantero dunia tak terkecuali di tanah air. Salah satu fakta keragaman yang hingga saat ini diperbincangkan antar
sesama ummat Islam adalah persoalan rukyat dan hisab. Menariknya perbedaan ini dirujukan oleh masing-masing
penganutnya pada satu hadis yang sama. Hadis dimaksud adalah:
‫ صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فاٍن غم‬:‫قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال‬
)‫عليكم فاقدروا له (رواه البخاري و مسلم واللفظ للبخاري‬
Artinya:”Berpuasalah kamu sekalian karena melihat awal bulan dan beridul fithrilah kamu sekalian karena
melihat awla bulan ketika awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi” (Hadis Riwayat al-Bukhari
dan Muslim).
Tentang makna rukyat
Satu kata penting yang termuat dalam hadis Nabi saw di atas yang menjadi sumber terjadinya perbedaan pendapat
adalah kata liru’yatih. Kata ru’yat atau rukyat adalah ism al-mashdar (gerund) dari akar kata kerja ra-a yaraa
yang makna harfiyahnya adalah “melihat”. Karena itulah misalnya Mu’jam Lughat al-Fuqaha (Qal’ah ji,
1985:298) mengartikan rukyat sebagai “al-ibshar” melihat dengan mata. Dengan bingkai itu penyusun Mu’jam ini
menurunkan misal “wa minhu ru’yatu hilali ramadlana”, antara lain melihat awal bulan (hilal) ramadlan.
Sementara dengan bantuan al-mu’jam al-mufahras li-alfazh al-Quran (Abdul Baqi:1984) terbaca bahwa ungkapan
kata ra-a yaraa digunakan al-Qur’an untuk dua pengertian sekaligus. Arti yang pertama melihat suatu benda secara
visual sedangkan yang kedua melihat sesuatu dalam fikiran atau hati. Untuk makna pertama berjumlah 26 %
sedangkan untuk makna kedua lebih dari 74%. Untuk misal pertama, antara lain, al-Quran menyebutkannya dalam
Surah al-An’am (6) ayat 78 saat menceritakan pengalaman religiusitas Ibrahim a.s.: Falamaa ra-a sy-syamsa
baazighah qaalaa haadzaa rabbii hadzaa akbar, tatkala Ibrahim melihat matahari itu terbit lalu ia berucap “inilah
Tuhan-ku ini lebih besar”. Sedangkan untuk makna kedua al-Qur’an meyebutkannya, antra lain, dalam Surah al-
Fiil (105) ayat 1: Alam tara kayfa fa’ala rabbuka bi ash-haabil fiil? Tidakkah kamu melihat bagaimana Tuhanmu
memperlakukan pasukan gajah? Kata kerja “melihat”pada ayat pertama tidak sama dengan “melihat” pada ayat
kedua. Yang pertama kata melihat ditujukan untuk sesuatu yang tampak dan terindera oleh mata yaitu matahari
sedangkan yang kedua kata melihat ditujukan untuk sesuatu yang tidak tampak karena peristiwa penyerangan
Pasukan Gajah yang dipimpin Abrahah dalam upaya menghancurkan Ka’bah itu terjadi jauh sebelum Nabi saw
dilahirkan, akan tetapi Allah menyuruh Nabi saw. untuk “melihat” atau memperhatikan peristiwa itu tentu saja kali
ini bukan dengan mata tetapi dengan hati dan fikiran Nabi saw.
Sealur dengan kandungan al-Quran di atas, Ibnu Manzhur al-Mashri dalam karya monumentalnya, Lisan al-Arab
(XIV:291), mengutip pernyataan Ibnu Sayyidih yang menegaskan bahwa kata rukyat itu adalah “an-nadharu
bil’ayni wal-qalbi” melihat sesuatu dengan mata dan hati (fikiran). Dengan uraian makna rukyat sedemikian itu
maka terjemahan yang lengkap untuk hadis di atas menjadi “berpuasalah kamu sekalian karena melihat atau
menghitung awal bulan dan beridul fithri lah kamu sekalian karena telah melihat atau menghitung awal bulan jika
awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi”.
Memilah antara pesan inti dan pesan sekunder
Abu Ishaq asy-Syathibi dalam karya magnum opusnya al-Muwafaqaat fi Ushul asy-Syari’ah (II:176-183)
menegaskan bahwa ketika Syari’ menyampaikan pesan melalui firman Allah dan sabda Rasul Nya, seorang
pembaca pesan itu mesti memilah dan memastikan dengan seksama mana yang menjadi pesan inti (al-maqshad al-
ashliy) dan mana yang sekedar pesan ikutannya (al-maqshad at-taba’iy). Misalnya, Nabi saw bersabda “law laa an
asyuqqa ‘alaa ummatii la amartuhum bis-siwaaki ‘inda kulli shalaatin”. Jika sabda tersebut dibaca dengan
harfiyah ia menyebutkan tuntunan menggunakan siwak saat berwudlu. Jika itu pesan yang ditarik (isthinbat) dari
hadis tersebut menyisakan pertanyaan “Bagaimana dengan penggunaan sikat gigi dan odol? Dengan pembacaan ala
Syathibiyan penggunaan siwak bukanlah pesan inti sabda Nabi di atas. Sejatinya Nabi saw sedang mengajarkan
tuntunan bahwa ketika seorang Muslim berwudlu saat hendak menunaikan shalat ia mesti mengupayakan untuk
bersih mulut dan gigi. Untuk tujuan itu Nabi menyebutkan satu alat atau sarana yang tersedia pada zamannya yaitu
perkakas yang bernama siwak. Dengan demikian penggunaan sikat gigi dan odol pada saat ini sama martabatnya
dengan penggunaan siwak pada saat Nabi saw menyampaikan hadis siwak itu. Bahkan karena pertimbangan-
pertimbangan tertentu kaum Muslimin saat ini lebih memilih menggunakan sikat gigi dan odol daripada siwak.
Demikianlah terhadap hadis “shuumuu liru’yatihi dan wa afthiruu li ru’yatih..” pun dapat dilakukan cara
pembacaan yang sama. Dengan hadis di atas sejatinya Nabi saw menyebutkan kata rukyat bukan sebagai pesan inti.
Pesan inti yang disampaikan Nabi adalah memastikan telah terjadi bulan baru untuk melakukan ibadah puasa dan
idul fithri. Dengan demikian hadis “laa tashuumuu hattaa taraul hilaalaa walaa tufthiruu hatta tarawhu…” dapat
dimaknai menjadi “janganlah kamu sekalian berpuasa hingga telah memastikan masuk awal bulan baru.
Janganlah kamu sekalian beridul fithri hingga telah memastikan awal bulan baru”. Bagaimana bulan baru itu
dipastikan? Pada zaman Nabi saw bulan baru itu dipastikan dengan cara merukyatnya atau melihatnya secara
visual karena itulah cara yang paling dimungkinkan pada saat itu. Pilihan terhadap rukyat untuk memastikan
terjadinya awal bulan karena itulah cara yang tersedia saat itu mengingat kondisi umumnya kaum Muslimin yang
belum bertradisi membaca dan berhitung sebagaimana terungkap dari hadis Nabi saw “innaa ummatun
ummiyyatun laa naktubu wa laa nahsibu…”.
Memilih hisab atas rukyat
Sebagaimana halnya odol dan sikat gigi yang semartabat dengan siwak sebagai wahana membersihkan mulut dan
gigi demikian halnya dalam memastikan bulan baru jika ditemukan cara selain rukyat maka cara tersebut sama
martabatnya dengan rukyat. Cara ini belum menjadi pengetahuan yang massif pada masa Nabi (laa nahsibu) tetapi
sudah diisyaratkan al-Quran dengan kata “husbaan” dalam Surah ar-Rahman (55) ayat 5 dan kata “wal-hisab”
dalam Yunus (10) ayat 5 sebagai cara yang akan digunakan oleh kaum Muslimin sebagai wahana pemasti
terjadinya awal bulan dan lain-lain. Sabda Nabi pasti adalah wahyu Allah karena itu ketika Nabi bersabda
liru’yatihi tentu tidak memisahkannya dengan dua ayat yang disebutkan diatas. Ini sekaligus membenarkan apa
yang dikatakan Muhammad ibn Idris asy-Syafi’ii bahwa Fal-ashlu Qur’aanun wa sunnatun, sumber hukum Islam
itu al-Quran dan as-sunnah dalam satu kesatuan dan sejalan dengan apa yang dikatakan asy-Syathibi bahwa antara
al-Quran dan as-Sunnah terjadi relasi yang saling memerlukan. Setiap keterangan dalam al-Quran dijelaskan as-
Sunnah demikian juga sebaliknya. Jika bingkai ini dikembalikan pada konteks memposisikan antara hisab dan
rukyat maka sinergi nash al-Quran dan as-Sunnah itu mengakui penggunaan rukyat dan hisab secara sekaligus
dengan lebih memprioritaskan penggunaan hisab.
Mengapa hisab diprioritaskan al-Quran dan as-Sunnah daripada rukyat? Hemat penulis kata menghitung (hisab dan
husban) yang disebut al-Qur’an mengindikasikan kepastian dan mengusakahan segala sesuatu secara terukur. Ini
beda dengan kata rukyat yang sejak awal mengisyaratkan potensi kelemahan. Seorang bisa mengklaim melihat
hilal sementara pada saat yang sama di tempat yang sama orang lain tidak melihatnya. Dalam hal ini Nabi saw
mengajarkan cukup dilakukan sumpah kepada orang yang mengaku melihat hilal itu, Kenyataan di lapangan tidak
seserhana itu. Berulangkali disini terjadi ketika diinginkan hilal itu terlihat oleh para pemantau hilal meskipun
musthail untuk melihatnya maka dari sekian puluh pemantau itu ada beberapa yang mengkalim melihatnya
meskipun menurut standar yang wajar sesungguhnya sukar untuk merukyat hilal dalam batas 2,5 derajat.
Sebaliknya ketika dikehendaki hilal itu tidak terlihat manakala ada satu dua orang yang mengaku melihat
pengakuan ini tidak akan dihitung sama sekali.
Memilih hisab wujudul hilal daripada imkanurrukyat
Ada dua metode hisab yang sering dipertentangkan pertama imkanurrukyat dan kedua wujudul hilal. Dari dua
metode itu wujudul hilal yang dipilih Persyarikatan. Pilihan Persyarikatan pada hisab wujudul hilal sejalan dengan
prinsip keilmuan yang dikemukakan oleh Filsuf bernama William Ockham Razor (1280-1347) yang menegaskan
manakala untuk memastikan sesuatu ditemukan beberapa cara pastikanlah dengan satu cara yang lebih mudah dan
memberikan kepastian segera. Metode wujudul hilal memenuhi prinsip-prinsip keilmuan yang objektif, murah dan
mudah dan memberikan kepastian. Dikatakan objektif karena nilai-nilai objektivitas wujudul hilal betul-betul jauh
dari prakiraan yang sulit untuk direalisasikan. Ini berbeda dengan metode imkanuurrukyat yang mengasumsikan
angka derajat tertentu yang di lapangan jarang sekali teraplikasikan. Ironi pada imkaanurukyat adalah metode hisab
yang semestinya memberikan kepastian menjadi sulit untuk diaplkasikan karena adanya syarat derajat tertentu
yang tidak dapat dikembalikan asal-usulnya pada andasan syar’I dan kelimuan. Dikatakan murah dan mudah
karena dengan perangkat yang sangat sederhana seseorang dapat mempraktekkan metode wujudul hilal di manapun
kapanpun tanpa memerlukan biaya sidang istbat yang miliaran rupiah itu. Dikatakan memberikan kepastian karena
wujudul hilal dapat segera memastikan suatu peristiwa itu terjadi dalam waktu yang segera jauh sebelum peristiwa
itu terjadi sehingga segala sesuatu yang dihajatkan dapat dipersiapakan jauh sebelum hari H nya. Analogi wujudul
hilal sama dengan lampu lalulintas yang digital itu. Tatkala para pengguna kendaraan berhenti menunggu
berjalannya waktu tertentu yang diprogram dan saat angka menunjukkan angka 0 para pengendara pun bersiap-siap
melajukan kendaraannya tanpa menunggu angka digital di lampu menunjuk angka 2, 3,4, 5 dan seterusnya.
Akhirul kalam
Mengngat konsistensi hasil perhitungan hisab wujudul hilal sebagaimana terbuktikan pada tanggal 14 malam bulan
purnama syawal 1432, patut kiranya dipertanyakan penggunaan kaidah hukmul haakim ilzaamum wa yarfa’ul
khilaaf? Pertama, konsistensi aplikasi kaedah itu perlu benar-benar diawasi terus menerus. Kedua, dan ini lebih
penting, jika diasumsikan putusan pemerintah dalam sidang istbat itu dikatakan menghapuskan perbedaan dan
mengikat untuk diikuti oleh segenap warga kaum Muslimin maka itu meniscayakan beberapa syarat dipenuhi
terlebih dahulu oleh pemerintah. Syarat tersebut yang terutama adalah seluruh keragaman yang dianut oleh
berbagai ormas mesti benar-benar disantuni dan diwadahi oleh pemerintah sehingga dirasakan adil untuk
semuanya. Jika tidak dapat dipenuhi maka kaidah yang digunakan sebaiknya adalah tasharuful imam ‘alarra’iyyati
manuuthun bilmashlahati. Manakala perbedaan itu sukar untuk disatukan dalam satu kriteria bersama maka
diyakini akan menjadi kemaslahatan bagi semua pihak manakala Pemerintah menampilkan diri sebagai pengayom
perbedaan itu dengan mengedepankan nilai-nilai ukhuwah islamiyah.
WUJUDUL HILAL SEBUAH METODA HISAB YANG JADI SOROTAN

Wujudul Hilal (WH) yang dikenal sebagai metoda "milik" Muhammadiyah, belakangan ini menjadi sorotan, ketika
dengan "berani" menyatakan bahwa 9 Juli 2013 kemarin = 1 Ramadhan untuk wilayah Indonesia, sementara
sebagian besar kaum muslimin lainnya yang berada pada wilayah bujur yang sama, bahkan juga kaum muslimin
yang berada di wilayah yang lebih barat dari itu,  semuanya menetapkan 1 Ramadhan = 10 Juli, bukan 9 Juli. WH
merupakan sebuah metoda bukan ideologi bukan juga agama, sehingga pembahasan WH hendaknya tidak
dikaitkan dengan keyakinan kelompok dalam hal ini Muhammadiyah. WH boleh dirombak, disempurnakan, atau
diganti tanpa harus mempengaruhi "iman" Muhammadiyah. Berikut ini penjelasan mengenai WH melalui
pendekatan yang lebih simpel untuk segera mengetahui titik masalahnya.

WH vs RH  (Wujudul Hilal vs Ru'yatul Hilal)


Salah satu cara sederhana memahami WH adalah dengan menyandingkannya dengan RH. WH yang diyakini
sebagai sebuah metoda "baru" yang "pasti",  muncul sebagai "lawan" yang memiliki semangat menggantikan RH
yang dianggap sebagai metoda lama yang mengandung ketidakpastian. Kritik WH atas RH disandarkan pada dua
paradigma berikut:
1. Peredaran Bumi Matahari dan Bulan merupakan sebuah pola pergerakan yang bisa ditentukan posisinya pada
saat tertentu dengan perhitungan. Hilal terbentuk menurut posisi bulan-matahari terhadap pengamat di bumi.
Karena posisi bulan-matahari-bumi dapat dihitung dengan pasti maka kita bisa menentukan tanggal 1 Ramadhan
dan 1 Syawal hanya dengan melakukan perhitungan tanpa harus observasi/ru'yat.
2. Pengamatan/ru'yat mengandung ketidakpastian karena dipengaruhi beberapa faktor teknis di lapangan.
Sementara perhitungan dapat menentukan secara pasti posisi bulan-matahari-bumi. Hal ini membawa implikasi
bahwa sangat mungkin Hilal tidak bisa terlihat ketika ru'yat dilakukan, padahal sebenarnya Hilal sudah Wujud.
WH menyandarkan hujjahnya pada  paradigma di atas, sehingga samasekali tidak diperlukan observasi maupun
bukti empiris “terdeteksinya” hilal. Yang diperlukan WH adalah definisi “wujud” nya hilal. Kapan atau kondisi
seperti apa yang disebut Hilal sudah Wujud itu? 

Kapan Hilal disebut sudah Wujud?


Minimal ada tiga kondisi yang dipahami sebagai saat Hilal sudah Wujud. Beberapa pengusung WH nampaknya
tidak cukup menaruh perhatian untuk menyepakati tiga kondisi yang saling berlainan ini. Kita bisa simak gambar
berikut:  
Tiga kondisi di atas harus disepakati salah satunya. Kriteria "moonset after sunset" bukanlah satu kriteria spesifik
karena ketiga kondisi dalam gambar di atas semuanya bisa masuk dalam kriteria tersebut. Beberapa orang
memilih aman dengan merapatkan opini menuju paradigma Hisab yang tidak memerlukan "terinderanya" hilal.
Mereka memilih kondisi ketiga sebagai kriteria Wujud nya Hilal. Mereka mengatakan bahwa yang terpenting
adalah Konjungsi sudah terjadi, dan sebarang waktu setelah konjungsi adalah waktu yang menandakan bahwa
Hilal sudah Wujud (delta T lebih besar atau = nol). Statement ini sejalan dengan paradigma Ijtimak Qoblal
Ghurub (IQG). Akan tetapi benarkah IQG tidak bertentangan dengan WH? Beberapa fakta justru menunjukkan hal
sebaliknya.

WH vs IQG (Wujudul Hilal vs Ijtimak Qoblal Ghurub)

Kriteria IQG merupakah patokan paling mudah difahami. Ada beberapa usaha mengakomodir IQG ke dalam
paradigma WH, dengan statement, "Jika  Ijtimak (konjungsi bulan-matahari) sudah terjadi maka saat
maghribnya sudah pasti Hilal Wujud." Akan tetapi fakta astronomis berbicara lain. IQG tidak selalu berkorelasi
dengan Wujud atau tidaknya Hilal.
Secara teori hilal terbentuk jika posisi matahari-bulan dan pengamat tidak lagi berada dalam satu garis lurus
sehingga ada bagian bulan yang tersinari matahari, yang sebagian pantulan sinarnya mengarah ke pengamat
di bumi. 
Berdasarkan teori ini tidak salah apabila WH menyimpulkan bahwa sesaat setelah konjungsi matahari-bulan-
pengamat tidak lagi segaris, oleh karenanya Hilal pasti sudah Wujud. Akan tetapi IQG bukan menyempurnakan
WH melainkan justru akan menggantikan WH berdasarkan fenomena berikut:

1. Perbedaan "Posisi Lintang" Matahari dan Bulan


Menurut pengamat di bumi, bulan bisa terlihat lebih utara dari matahari atau sebaliknya, bulan lebih selatan dari
matahari. Artinya matahari-bulan-bumi hampir selalu tidak pernah segaris termasuk ketika ijtimak atau konjungsi
terjadi. Kondisi benar benar segaris hanya terjadi saat terjadi gerhana matahari total atau cincin. Oleh karenanya
secara teori sebenarnya Hilal hampir selalu Wujud baik sebelum konjungsi, saat konjungsi maupun setelah
konjungsi. Kita bisa lihat ilustrasi berikut:

Ada delapan posisi yang kesemuanya menunjukkan Wujud nya Hilal.  Artinya ketika letak bulan lebih utara atau
lebih selatan dari matahari, teropong canggih ala T. Legault -jika berita itu benar- akan selalu bisa menjepret hilal,
baik sebelum konjungsi, saat konjungsi maupun setelah konjungsi. (ctt: hasil jepretan T. Legault mirip gambar
hilal pra konjungsi bagian utara / kanan bawah).
Sementara IQG mengabaikan semuanya itu. Menurut IQG satu satunya batas hanyalah saat konjungsi, tanpa
menyertakan batasan wujud atau tidaknya hilal. Artinya tidak mungkin mengakomodir IQG untuk
menyempurnakan akurasi WH karena sejatinya IQG terhadap WH tidak bersifat komplementer melainkan saling
menggantikan. Ketika IQG digunakan maka WH menjadi tidak relevan.

2. Orbit Elips Bulan Mengelilingi Bumi dan Orbit Elips Bumi Mengelilingi Matahari
Orbit bulan mengelilingi bumi berbentuk elips, artinya adakalanya bulan berada pada jarak terdekat dari bumi,
pada saat lain berada pada jarak terjauh. Implikasinya menurut pengamat di bumi piringan bulan terlihat paling
besar ketika jaraknya terdekat, dan terlihat paling kecil ketika jaraknya terjauh.
Hal serupa juga terjadi pada matahari karena orbit bumi mengelilingi matahari juga berbentuk elips. Fenomena
ini menyebabkan perbandingan besarnya lingkaran bulan dan matahari menurut pengamat di bumi tidak selalu
sama. Pada satu saat lingkaran matahari lebih besar pada saat yang lain lebih kecil dibanding lingkaran bulan.
Coba perhatikan ilustrasi berikut:
1. Piringan Matahari < Piringan Bulan : Sinar matahari sepenuhnya terhalang sehingga pengamat melihat
matahari tertutup bulan (Gerhana Matahari Total)
2. Piringan Matahari = Piringan Bulan : Sama dengan kondisi 1, pengamat tidak melihat piringan matahari
(Gerhana Matahari Total)
3. Piringan Matahari > Piringan Bulan : Bagian pinggir piringan matahari terlihat oleh pengamat di bumi (Gerhana
Matahari Cincin). Pada kondisi ini sebenarnya ada bagian bulan yang memantulkan sinar matahari ke arah bumi
(lihat panah kuning)

Pada kasus ketiga (Gerhana Matahari Cincin) sebenarnya yang sampai pada pengamat di bumi ada 2 sinar yaitu
sinar dari piringan luar matahari dan pantulan dari piringan luar bulan. Pantulan dari piringan luar bulan ini sama
hakikatnya dengan hilal tetapi berbentuk garis satu lingkaran penuh. Dengan memanipulasi tingkat kecerahan
objek, kita bisa menangkap citra hilal baik sebelum konjungsi, saat konjungsi, maupun sesudahnya. Dengan kata
lain hilal selalu wujud pada sebarang waktu sebelum konjungsi-saat konjungsi dan setelahnya.
Satu satunya posisi bulan-matahari yang ideal untuk menjelaskan bahwa Hilal bisa Wujud sesaat setelah
konjungsi adalah ketika terjadi gerhana matahari total. Itupun kalau lingkaran bulan tepat sama besar dengan
piringan matahari. (Lihat gambar atas bagian tengah)

Jika piringan bulan dan matahari tidak sama besar maka hanya ada dua kemungkinan berikut:
Wujud Hilal Saat Gerhana Matahari Total dan Cincin

1. Foto kiri (Gerhana Matahari Total): Pada kasus "piringan matahari=piringan bulan", garis luar matahari dan
bulan berimpit saat konjungsi, sehingga sebarang waktu setelah konjungsi pasti hilal sudah wujud. Tetapi untuk
kasus "piringan matahari <piringan bulan", piringan bawah bulan lebih rendah dari piringan bawah matahari
sehingga hilal tidak serta merta wujud meskipun saat konjungsi telah lewat.
2. Foto kanan (Gerhana Matahari Cincin) : Karena "piringan matahari > piringan bulan" maka akan selalu ada
bagian bulan yang memantul kan cahaya matahari ke bumi. Hilal terbentuk sebagai garis tipis terang di sepanjang
pinggir lingkaran bulan. Pada foto kanan, letaknya ada di pinggiran lingkaran hitam bulan. Dalam foto tidak
nampak karena sinar matahari (orange) jauh lebih terang.
Beberapa fenomena ini memberikan dua pilihan sulit bagi penganut WH, mengambil IQG sebagai acuan atau
mengembalikan pengertian "wujud" mendekati pengertian "ru'yat". Artinya yang dimaksud hilal sudah wujud
adalah telah wujud dalam receptor pengamat.

Para pengusung WH tampaknya lebih nyaman memilih langkah pertama yaitu mengakomodir IQG meskipun
konsekuensinya konsep WH menjadi tidak bermakna. Apakah selesai sampai di sini? Ternyata tidak, karena IQG
tidak kontekstual terhadap bahasan penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. IQG mengabaikan "hilal", sementara
dalam masalah 1 Ramadhan dan 1 Syawal justru "hilal" inilah yang menjadi subyek bahasan utama.

Pembahasan IQG versus Ru'yatul Hilal disajikan dalam artikel tersendiri, insyaallah. Jika ada yang salah tentu
disebabkan kebodohan saya, dan tentu saja jangan diikuti. Sekiranya ada yang benar sesungguhnya kebenaran
datang hanya dari sisi Allah. Dan sebaik baik orang adalah yang bersegera menanggalkan yang salah dan
menggantikannya dengan kebenaran.

INKONSISTENSI PENGUSUNG RUKYAT UNTUK RAMADHAN & SYAWAL

Pemerintah mempunyai standar ganda dalam menentukan awal Ramadhan dengan waktu Sholat misalnya. Jika
awal Ramadhan ditentukan lewat Rukyat sedangkan Sholat ditentukan oleh Hisab.
Jika menilik kelompok yang mempercayai Rukyat adalah satu-satunya cara menentukan  awal Ramadhan dalam
sidang it’sbat, penulis melihat alasan kuat mereka sbb:
1. Hadis Nabi gamblang mengatakan jika melihat Hilal dengan mata telanjang barulah berpuasa esok harinya,
jika tidak melihat dengan alasan apapun maka puasa dilakukan pada esok lusanya.
2. Hisab yang merupakan hasil dari proses ilmu pengetahuan Astronomi adalah buatan manusia sehingga
tidak dapat mereduksi Hadis Nabi yang mempunyai makna yang jelas.
Sampai disini penulis memberikan apresiasi pada kelompok Pro Rukyat, tetapi ada semacam inkonsistensi jika
kelompok Pro Rukyat menggunakan metode Hisab dalam menentukan awal Sholat 5 waktu dan Imsak.
Seperti kita ketahui Firman Allah dalam Al Qur’an menyaratkan Rukyat atau melihat langsung posisi matahari
dalam menentukan awal tiap-tiap waktu sholat seperti sbb:
“Sesungguhnya solat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu yang tertentu”
( Q.S. An-Nisa’ :103 )
“Dirikanlah solat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah solat subuh
sesungguhnya solat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)” ( Q.S. Al-Isra’ : 78 )
Dari sudut pandang Fiqih penentuan waktu shalat fardhu seperti dinyatakan di dalam kitab-kitab fiqih adalah
sebagi berikut :
Waktu Subuh Waktunya diawali saat Fajar Shiddiq sampai matahari terbit (syuruk). Fajar Shiddiq ialah
terlihatnya cahaya putih yang melintang  mengikut garis lintang ufuk di sebelah Timur akibat pantulan cahaya
matahari oleh atmosfer.
Waktu Zuhur Disebut juga waktu Istiwa (zawaal) terjadi ketika matahari berada di titik tertinggi. Istiwa juga
dikenal dengan sebutan Tengah Hari (midday/noon). Pada saat Istiwa, mengerjakan ibadah shalat (baik wajib
maupun sunnah) adalah haram. Waktu Zuhur tiba sesaat setelah Istiwa, yakni ketika matahari telah condong ke
arah Barat.
Waktu Ashar Menurut Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali, waktu Ashar diawali jika panjang bayang-bayang
benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara Madzab Imam Hanafi mendefinisikan waktu Ashar jika
panjang bayang-bayang benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri.
Waktu Maghrib Diawali saat matahari terbenam di ufuk sampai hilangnya cahaya merah di langit Barat.
Waktu ‘Isya Diawali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit Barat, hingga terbitnya Fajar Shiddiq di
Langit Timur.
Diagram Waktu Sholat Berdasarkan Posisi Matahari (Dok: Rukyatul Hilal . Org)
Kesimpulan Penulis
 Dengan melihat kriteria yang ketat diatas maka umat Muslim seharusnya melihat dulu ke langit jika ingin
menunaikan Sholat.
 Dilihat dari derajat hukum me-rukyat menentukan Sholat lebih kuat daripada menentukan 1 Ramadhan, jika
rukyat sholat diperintahkan lewat Firman Allah sedangkan 1 Ramadhan diperintahkan lewat Hadis Nabi.
Kesimpulan akhir penulis mengapa kelompok Pro Rukyat tidak bisa menerima Hisab dalam menentukan 1
Ramadhan jika semata-mata ingin mengikuti Hadis Nabi, jika dalam mengerjakan Sholat bisa menerima Hisab
sebagai metoda penetuan awal waktu.

KELEMAHAN METODE HISAB


Sebagian ormas tetap bersikeras atau ‘ngotot’ untuk menggunakan metode hisab. Yang jadi masalah utama adalah
sikap mereka yang tidak ambil peduli lagi dengan cara yang telah digariskan oleh Islam yaitu dengan cara rukyatul
hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ketika jelas tidak nampak hilal, karena hasil
perhitungan hisabnya seperti itu, maka tetap hasil tersebut yang digunakan. Ditambah lagi ormas yang ngotot
seperti ini ternyata menggunakan metode hisab yang sudah usang sebagaimana dinyatakan sendiri oleh pakar
hisab.
Kelemahan Metode Hisab Menurut Pakarnya
Salah satu ormas menggunakan metode hilal yang sebenarnya sudah lemah dan dikatakan usang, yaitu metode
hisab wujudul hilal. Metode lainnya adalah hisab imkanur ru’yah, artinya hilal masih mungkin dihilal, bukan hanya
sekedar hilal itu ada. Metode ini yang lebih mendekati dalil. Karena dalam dalil disebutkan,
‫ َوِإ َذا َرَأ ْيتُ ُموهُ فََأ ْف ِطرُوا‬,‫ِإ َذا َرَأ ْيتُ ُموهُ فَصُو ُموا‬
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari
rayalah. ” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080). Jadi hilal harus terlihat dan bukan sekedar ada.
Mengenai kriteria metode wujudul hilal disebutkan ada tiga sebagai berikut:
1- telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2- ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3- pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila
salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai.
Atau pemahaman mudahnya, “Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka
malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari
terbenam.”
Dari metode ini, bila posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk, berapapun tingginya,
asal lebih besar dari pada NOL derajat, maka sudah dianggap masuk bulan baru. (Sumber: Kelemahan Metode
Hisab & Metode Hisab dan Rukyat)
Berikut keterangan pakar hisab, T. Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN dan Anggota
Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI) mengenai metode wujudul hilal:
Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama bukan perbedaan metode hisab
(perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar
masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila
posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan
rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan
terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri
1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat
dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung,
tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada,
Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk?
Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi
bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan
hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu
sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya.
Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus
2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang
mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011
karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus
2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat
masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007,
laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan
seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya
perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di
intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka
yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah,
tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya
diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul
hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan
teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir
yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-
dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul
hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan
29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur,
yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern). Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas
hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang
akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk
menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari
terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada
matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa
kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender
Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa
dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan
perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah
diakses secara online di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran)
dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal,
kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang
sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas
Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini
sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU
jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan
Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria
hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang
mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal
ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang
diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU,
Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung
resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota
Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang
katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak
membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau
berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri,
jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kalendernya usang”.
Semoga Muhammadiyah mau berubah! (Sumber: Metode Hisab Wujudul Hilal ‘ala Muhammadiyah yang Sudah
Usang)
Kita dapat simpulkan bahwa kelemahan metode hisab terletak saat menggunakan alat hitung yang tidak sempurna
sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab yang lainnya. Selain itu banyaknya macam dalam metode hisab
mengakibatkan berbeda juga hasilnya, antara lain hisab urfi dengan hasil hisab modern atau kontemporer. Karena
hasil yang berbeda dari berbagai metode, itu menunjukkan kelemahan cara manusia dibandingkan jika ditempuh
cara yang telah digariskan Islam.
Cara Islam Menentukan Awal Bulan Hijriyah
Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Perhatikan hadits berikut.
‫ َوِإ َذا‬,‫وموا‬ ُ ‫ول اَللَّ ِه – صلى اهلل عليه وسلم – َي ُق‬ ِ ِ ِ
ُ ‫ص‬ُ َ‫ ِإ َذا َر َْأيتُ ُموهُ ف‬:‫ول‬ ُ ‫ مَس ْع‬:] ‫َو َع ِن ابْ ِن عُ َمَر َرض َي اَللَّهُ َعْن ُه َما [ قَ َال‬
َ ‫ت َر ُس‬
ِ
ُ‫ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه‬,‫َر َْأيتُ ُموهُ فََأفْطُروا‬
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari
rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR.
Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak ada cara ketiga. Cara
pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Jika Ada yang Menyanggah …
1- Kenapa kalau dalam jadwal shalat memakai hisab boleh, kalau dalam penentuan awal Ramadhan tidak boleh?
Jawaban simpelnya, jadwal waktu shalat itu memakai petunjuk posisi matahari dan itu setiap hari bisa berulang
sehingga mudah diperkirakan. Sedangkan penentuan awal Ramadhan dengan bulan. Keduanya jelas berbeda,
ditambah pula berbeda dalil.
Jawaban tambahan, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah
menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam,
dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian
matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang
dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini
sama sekali berbeda. (Sumber: Menyoal Metode Hisab)
2- Sekarang teknologi sudah maju, kenapa masih menggunakan rukyatul hilal?
Simpel pula jawabannya, karena kita manut pada dalil. Dalil perintahkan untuk rukyatul hilal, maka kita
melakukannya. Dan pula di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada metode hisab tetapi beliau tidak
menggunakannya. Urusan mesti angkat-angkat alat ketika rukyat, yah itu karena tuntutan dalam beramal.
Sebagaimana kita perlu susah payah berjalan menuju masjid untuk shalat jama’ah.
Seharusnya sikap seorang muslim adalah patuh pada dalil, jangan cuma karena alasan berat dan susah sehingga
enggan menggunakan cara yang Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tempuh. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫ضى اللَّهُ َو َر ُسولُهُ َْأمًرا َأ ْن يَ ُكو َن هَلُ ُم اخْلَِيَرةُ ِم ْن َْأم ِر ِه ْم َو َم ْن َي ْع‬
َ ‫ص اللَّهَ َو َر ُسولَهُ َف َق ْد‬
‫ض َّل‬ ٍِ ِ ِ
َ َ‫و ََما َكا َن ل ُمْؤ م ٍن َواَل ُمْؤ منَة ِإ َذا ق‬
‫ضاَل اًل ُمبِينًا‬
َ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al
Ahzab: 36).
Ijma’ (Sepakat Ulama): Metode Hisab Bukan Jadi Tolak Ukur
Kami pun simpulkan bahwa metode hisab jika jadi rujukan utama seperti yang dipilih sebagian ormas, maka ini
keliru dan telah menyelisihi ijma’ atau kesepakatan para ulama. Al Baaji berkata,
‫ وأن إمجاعهم حجة على من بعدهم‬، ‫إمجاع السلف على عدم االعتداد باحلساب‬
“Para ulama sepakat bahwa metode hisab bukanlah jadi tolak ukur dalam penentuan awal bulan. Kesepatan para
ulama inilah yang jadi argumen untuk meruntuhkan pendapat mereka yang masih membela metode hisab.” (Fathul
Bari, 4: 127)
Begitu pula Ibnu Bazizah berkata, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sungguh
syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan
(zhon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan
dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini  kecuali sedikit”.
(Idem)
Rasul sendiri yang katakan bahwa beliau tidak mengenal hisab. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar,
‫َّه ُر َه َك َذا َو َه َك َذا‬ ِ
ْ ‫الش‬, ‫ب‬
ُ ‫ب َوالَ حَنْس‬
ُ ُ‫ الَ نَكْت‬، ٌ‫إِنَّا َُّأمةٌ ُِّأميَّة‬
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal
hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan
bilangan 30).” (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080).
Beda halnya jika metode tersebut hanya sebagai cara untuk sekedar memperkirakan dan tetap menjadikan rukyatul
hilal sebagai penentuan awal dan akhir Ramadhan. Lihat saja di Kerajaan Saudi Arabia, metode hisab memang
digunakan untuk memperkirakan kalender Hijriyah dalam setahun, apalagi mereka yang menjadikan kalender
hijriyah sebagai rujukan keseharian. Namun ketika awal bulan masih dikoreksi dengan metode rukyatul hilal.

WUJUDUL HILAL VS IMKANUR RUKYAT


Sebagaipemerhati perbedaan antara 2 metode penentuan bulan Hijriyah, izinkan sayasedikit menulis mengenai hal
ini dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti.Tangan ini tergerak untuk menulis karena banyaknya ketidak
tahuan masyarakatpada umumnya yang cenderung mengedepankan semangat golongan ketimbang mencaritahu apa
sebenarnya substansi perbedaan tersebut.

Hisab yang diusung Muhammadiyah adalah metodeyang semata-mata mengandalkan perhitungan astronomi dalam
menentukan bulanbaru. Metode hisab ini di Muhammadiyah dinamai “Wujudul Hilal”. Kriterianyaadalah:
1. Telahterjadinya ijtimak/konjungsi antara bumi, bulan dan matahari
2. Bulantenggelam belakangan setelah matahari tenggelam pada petang itu.
Kekuatandari metode ini adalah: Kemudahan dan kepastian. Karena dalam astronomi, semuapergerakan benda2
angkasa sudah bisa dipetakan dan dibuat rumus atau dibuattabel untuk tahun2 ke depan. Kelemahan dari metode
ini adalah: membuangsama sekali faktor “rukyat” atau melihat bulan. Padahal di hadits2 shahih jelassekali
menerangkan faktor “keterlihatan” hilal.

Rukyat adalah metode menentukan bulan barudengan pengamatan/observasi semata. Jikalau bulan tidak
terlihat/terhalang,maka hitungan hari pada bulan tersebut digenapkan menjadi 30. Sebaliknya jikabulan kelihatan
pada petang tersebut, maka keesokan harinya adalah tanggal 1.
Kekuatanmetode ini: Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh nash2 shahih, yaitudengan me”rukyat” /melihat
hilal. Kelemahan metode ini adalah: Ketidak pastian.Kita sebagai umat islam tentu menginginkan kalender hijriyah
superior darisistem penanggalan lainnya. Tetapi kalau tidak pasti, bagaimana kita bisamenonjolkan? Misalkan jika
memesan tiket pesawat tanggal 30 Julhijah seminggusebelumnya, tetapi sehari sebelum keberangkatan ternyata
hasil rukyatmenyatakan bulan julhijah tahun itu hanya 29 hari, kan berarti tiketnya hangus.

Makanya adajalan tengah, yaitu:


ImkanurRukyat adalahmetode jalan tengah yang dimotori oleh pakar astronomi yang sudah muak denganperbedaan
hisab vs rukyat. Dalam metode imkanur rukyat ini, ada tambahankriteria seperti minimal tinggi bulan sebelum
dirukyat dan atau umur bulansebelum dirukyat dan atau lengkung sudut bulan terhadap matahari sebelumdirukyat.
Meskipun secara nominal belum ada kesepakatan misalkan berapa tinggibulan sebelum dirukyat, tetapi ini
merupakan kemajuan yang sangat berarti untukmenjembatani perbedaan hisab vs rukyat.
Kekuatanmetode imkanur rukyat adalah: Kepastian dan pemenuhan faktor rukyat yangtertera di hadits2 shahih.
Kepastian karena dengan menentukan minimal berapaderajat ketinggian bulan sebelum dirukyat, akan
meminimalkan kesalahan prediksiapakah bulan akan terlihat atau tidak. Kelemahannya: boleh dibilang tidak
ada.Karena ini adalah hasil musyawarah, menentukan secara nominal misalkan berapaketinggian bulan yang
disepakati sebelum dirukyat.

Pemerintahdan ormas2 Islam secara umum (kecuali Muhammadiyah) sudah bersepakat untukmengedepankan
metode imkanur rukyat, meskipun belum ada kesepahaman berapanilai nominal dari tambahan kriteria rukyat
tersebut. Pada umumnya ormas2 Islammensyaratkan minimal 2 derajat sementara para ahli astronomi
mengisyaratkanbulan sebenarnya tidak bakal terlihat jika masih di bawah 4 derajat di atasufuk setelah matahari
tenggelam. Sementara Muhammadiyah masih tetap bersikukuhdengan metode wujudul hilal yang murni
penghitungan.
WUJUDUL HILAL VS IMKANUR RUKYAH, MANA YANG PALING TEPAT?

Sudah tahu yang dimaksud judul tersebut bukan? Ya, kali ini SitusWahab akan menulis tentang kriteria penetapan
Idul Fitri yang dipakai oleh Muhammadiyah dan pemerintah bersama NU. Kedua patokan ini membuat Idul Fitri
1432 H atau 2011 M kemarin jadi berbeda. Bagi yang belum atau kurang paham, begini ceritanya:
Untuk menetapkan hari raya, pemerintah memakai patokan imkanur rukyah, yakni batas minimal hilal
memungkinkan dilihat dengan pengamatan mata. Batas tersebut adalah 20 (dua derajat). Bila masih di bawah
ketinggian 20 (dua derajat) ini, berarti secara teoritis hilal mustahil diamati dengan mata. Sebaliknya bila lebih,
maka secara teoritis hilal sudah memungkinkan untuk diamati dengan mata. Perhitungan teoritis ini penting karena
patokan pemerintah sebenarnya adalah rukyah (pengamatan mata), sedangkan hisab hanya membantu saja. Kalau
ada yang melihat hilal berarti besoknya hari raya kalau tidak ada ya besoknya belum hari raya. Selengkapnya
silakan baca ini.
Adapun Muhammadiyah– setidaknya sampai tulisan ini dibuat– memakai patokan wujudul hilal atau adanya hilal
di atas ufuk. Patokan ini berarti berapa pun ketinggian hilalnya, meskipun nol koma sekian derajat, asal sudah di
atas ufuk/horizon (gampangnya: hilalnya tenggelam belakangan dari matahari setelah waktu konjungsi) berarti
malam itu sudah bulan baru atau sudah 1  Syawal sehingga besoknya hari raya bisa dilakukan. Dengan kata lain,
patokan yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab murni sedangkan rukyah hanyalah pendukung saja yang tidak
harus diperlukan. Yang penting adalah hakikat posisi hilal/bulan baru secara astronomis, tanpa mempedulikan hilal
tersebut bisa teramati mata atau tidak.
Manakah di antara kedua patokan tersebut yang paling tepat? Untuk menjawabnya, perlu kajian dari sisi hadith dan
rasio seperti berikut:
A. Kajian hadith terhadap penetapan hari raya.
Terlebih dahulu, marilah kita merujuk petunjuk Rasulullah Muhammad saw. dalam hal penetapan hari raya. Rasul
bersabda dengan berbagai redaksi berikut:
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ‫ص‬
 َ ‫ فَِإ ْن غُىِّبَ َعلَْي ُك ْم فََأ ْكملُوا ع َّد َة َش ْعبَا َن ثَالَث‬، ‫ َوَأفْط ُروا لُرْؤ يَته‬، ‫وموا ل ُرْؤ يَته‬
‫ني‬ ُ ُ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalangi atas kalian, maka
sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. (Bukhari)
 ‫صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمى عليكم فأكملوا العدد‬
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka
sempurnakan bilangannya. (Muslim)
 ‫صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم الشهر فعدوا ثالثني‬
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka
hitunglah jadi 30 hari. (Muslim)
 َ ‫وموا لُِرْؤ يَتِ ِه َوَأفْ ِط ُروا لُِرْؤ يَتِ ِه فَِإ ْن َح‬
‫ن‬9َ ‫ال َبْينَ ُك ْم َو َبْينَهُ َس َحابَةٌ َْأو ظُْل َمةٌ فََأ ْك ِملُوا الْعِ َّد َة ِع َّد َة َش ْعبَا‬ ُ ‫ص‬ُ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau di antara kalian dan hilal ada
penghalang berupa awan atau kegelapan, maka sempurnakan hitungannya, yakni hitungan Sya’ban. (al-Nasa’i)
Selain redaksi itu masih ada redaksi lain, tapi sangat serupa sehingga rasanya tidak perlu semuanya disebutkan
untuk menyingkat waktu.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bahwa bila hilal terlihat pada malam ke 30, berarti esok harinya sudah
lebaran yang berarti puasanya hanya 29 hari saja. Akan tetapi, bila hilal masih tidak dapat terlihat pada malam ke
30 karena terhalang sesuatu, berarti esok harinya, yakni tanggal 30 masih harus berpuasa karena bulan yang
bersangkutan harus digenapkan menjadi 30 hari.  Dalam kasus awal puasa berarti Sya’ban digenapkan 30 hari,
dalam kasus akhir puasa berarti Ramadhan digenapkan 30 hari.
Dalam berbagai hadits di atas, yang oleh Rasulullah disebutkan sebagai penghalang melihat/rukyat hilal adalah
awan (Ghamm atau Sahab), kegelapan (dhulmah) dan satu redaksi memakai kata (ghubbiya) yang artinya terhalang
dalam arti umum tanpa menjelaskan objek apa yang menghalangi. Dengan begini berarti objek apapun yang
menghalangi terlihatnya bulan, entah itu awan, kegelapan, kesamaran, atau silau sinar matahari serta terlalu
tipisnya bentuk hilal–seperti bila tinggi hilal masih di bawah dua derajat–, berarti hilal dianggap belum terlihat dan
karenanya jumlah puasa harus digenapkan 30 hari. Inilah yang menjadi landasan seluruh ormas Islam selain
Muhammadiyah dan akhirnya dikuatkan oleh keputusan pemerintah pada sidang itsbat penetapan idul fitri tahun
2011 kemarin.
Berbeda dengan itu, Muhammadiyah tetap kukuh pada pendiriannya bahwa meskipun hilal tidak dan bahkan tidak
mungkin terlihat, namun bila secara perhitungan/hisab sudah di atas ufuk/horizon setelah terjadinya 
ijtimak/konjungsi, maka itu sudah berarti lahirnya bulan baru dan puasa tidak perlu digenapkan menjadi 30 hari,
namun cukup 29 hari saja. Landasan yang dipakai–yang juga dimunculkan oleh perwakilan Muhammadiyah dalam
sidang itsbat idul fitri tahun 2011 lalu–adalah redaksi hadits berikut:
ِ ِ

ُ‫ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه‬.‫ َوِإ َذا َر َْأيتُ ُموهُ فََأفْط ُروا‬9‫وموا‬
ُ ‫ص‬ُ َ‫اهْل الَ َل ف‬
Kalau kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kalau kalian kalian melihat hilal, maka akhirilah puasa. Kalau
terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Majah)
 ‫ فإن غم عليكم فاقدروا له‬، ‫ وال تفطروا حىت تروه‬، ‫ حىت تروا اهلالل‬9‫ال تصوموا‬
Janganlah kamu berpuasa Ramadhan hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian mengakhiri puasa hingga
kalian melihatnya. Jika terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Hibban)
Redaksi di atas tidak menyuruh untuk menggenapkan puasa menjadi 30 hari, tapi memperkirakan atau menghitung
hilal. Muhammadiyah memahami ini sebagai memperkirakan atau menghitung ada atau tidaknya hilal secara
hakikat seandainya tidak ada penghalang. Dengan kata lain memakai hisab untuk memperkirakan hilal.
Tepat atau tidak pemahaman Muhammadiyah ini? Saya pribadi jelas mengatakan tidak tepat karena dua alasan.
Pertama, pemahaman seperti ini berarti kontradiksi dengan hadits-hadits sebelumnya di atas.  Kedua, ada redaksi
lain yang telah menjelaskan maksud “perkirakan” itu, yaitu:
ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ‫ص‬
َ ‫وموا ل ُرْؤ يَته َوَأفْط ُروا لُرْؤ يَته فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْد ُروا ثَاَل ث‬
‫ني‬ ُ ُ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka
perkirakanlah jadi 30 hari. (al-Nasa’i dan Ibnu Hibban)
Jadi yang dimaksud adalah memperkirakan atau menghitung jumlah hari genap menjadi 30 hari. Pemahaman
seperti ini berarti menafsirkan hadits dengan hadits lain, menafsirkan keterangan Nabi di satu tempat dan waktu
dengan keterangan Nabi di tempat dan waktu lain sehingga semua cocok dan tidak ada pertentangan. Adapun
pemahaman seperti yang dilakukan Muhammadiyah berarti menafsirkan hadits/keterangan Nabi dengan akal
pikiran sendiri sehingga wajar bila hasilnya terlihat bertentangan dengan hadits lain. (Buat yang merasa
Muhammadiyah, peace dulu…. :-) ini diskusi bro!).
Tetapi, pemahaman Muhammadiyah itu dapat dikuatkan dengan hadits berikut:
‫صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وإن تشكوا هلا فإن غم عليكم فأمتوا ثالثني‬
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau kalian ragu melihatnya, kalau
terhalang awan atas kalian, maka sempurnakan hitungannya menjadi 30 hari. (Ahmad ibnu Hanbal)
Hadits di atas menyebut kalau ragu melihat hilal karena berbagai faktor, maka perlu menyempurnakan hitungan.
Dengan kata lain, berarti kalau sudah tidak ragu lagi karena adanya bantuan teknologi saat ini yang sudah sangat
canggih dan meyakinkan, maka tidak perlu lagi menyempurnakan hitungan jadi 30 hari, tapi cukup 29 hari saja.
Sayangnya hadits dengan redaksi ini lemah karena di dalam jalur periwayatannya ada Hujjaj Ibn Arthoh yang
lemah. Karena itu, hadits tersebut tidak bisa dipakai.
B. Kajian rasio tentang penetapan hari raya.
Yang di atas itu adalah kajian haditsnya. Lalu bagaimana dari sudut pandang rasionya? Bukankah kalau hilal sudah
benar di atas ufuk/horizon setelah terjadinya ijtimak/konjungsi berarti sudah bulan baru? Bukankah melihat dengan
kepala itu untuk tahu dan meyakini, sedangkan untuk tahu dan yakin itu sendiri tidak harus melihat bukan?
Bukankah mata kepala bisa salah lihat dan orang yang bersumpah melihat bisa saja bohong atau keliru sedangkan
perhitungan kontemporer menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan? Bukankah bila menurut perhitungannya
ramadhan hanya 29 hari tapi terhanyata harus puasa 30 hari berarti puasa di hari lebaran yang jelas diharamkan dan
malah lebaran tanggal 2 Syawal yang aneh bin ajaib? Lagian bukankah Nabi sendiri keseringan puasa 29 hari saja?
Wuihh… banyak pertanyaan yang harus dijawab, jari sudah mulai capek, punggung mulai gak enak, tapi baiklah
daripada saya tulis di postingan lain di SitusWahab ini, mending langsung di sini saja. :-D
Memang benar bila sudah di atas ufuk setelah ijtimak berarti secara hakikat sudah bulan baru, tapi mulai kapan
hitungan hakikat seperti itu dipakai dalam ritual agama Islam yang mudah dan memang dimudahkan untuk semua
orang ini? Yang dipakai tak pernah yang hakikat-hakikat, tapi yang mudah saja, yakni yang teramati dengan mata
kepala. Lihatlah bagaimana waktu zawalus syamsi (tergelincirnya matahari atau bergeser turunnya matahari dari
titik tertingginya) yang menandakan awal waktu solat dhuhur! Ukuran yang dipakai bukan hakikatnya, tapi yang
teramati oleh mata dari bumi ini. Oleh karena itu, ukurannya dengan berpindahnya bayang-bayang benda tegak
lurus ke arah timur bukan dengan menghitung hakikat pergeseran matahari dari puncak tertingginya yang hanya
sepersekian detik itu. Lihatlah juga ukuran waktu tenggelamnya lingkaran matahari di horizon yang jadi pedoman
awal waktu maghrib! Yang jadi ukuran bukan lingkaran hakikat matahari, tapi lingkaran matahari yang tampak
oleh mata manusia yang ukurannya lebih besar dari hakikatnya. Begitu pula harusnya hilal diperlakukan, meskipun
secara hakikat sudah ada di atas ufuk, tapi bila tidak terlihat oleh mata, apalagi bila memang mustahil dilihat secara
teoritis karena berada di bawah standar imkanur rukyah,  berarti hilal dianggap belum ada.
Untuk tahu memang tidak harus melihat dengan mata kepala, tapi petunjuk Rasul adalah rukyat/melihat dengan
mata kepala, bukan lainnya. Tapi tentu saja, rukyat yang diterima hanyalah rukyat yang masuk akal dan benar,
yakni yang tidak bertentangan dengan teori hisabnya. Kalau rukyatnya tidak masuk akal dengan mengatakan hilal
di sebelah utara matahari padahal harusnya di selatan matahari, hilal sudah terlihat padahal mestinya tidak mungkin
terlihat dan sebagainya, maka rukyat itu harus ditolak. Karena itu, rukyat dan hisab harus dipakai bersamaan
sebagai cek kebenaran satu sama lain. Memakai rukyat saja memungkinkan salah, hisab saja juga tidak tepat secara
agama. Pemakaian kedua metode hisab dan rukyat ini secara bersamaan akan berujung pada pedoman imkanur
rukyah yang telah dipakai oleh pemerintah dan
Puasa 30 hari yang menurut hisab murni ramadhan-nya hanya 29 hari itu bukan berarti puasa di hari raya yang
diharamkan karena yang diharamkan itu kalau sengaja puasa di hari yang diyakini sebagai hari raya, bukan pada
hari yang diyakini masih termasuk bulan ramadhan. Dengan logika terbalik, berarti dapat dikata bahwa orang yang
memakai hisab saja yang meyakini bahwa puasa 29 hari padahal belum ada rukyat berarti berlebaran di bulan
puasa yang jelas diharamkan. Nah lo… Sebagian saudara saya, begitu pula beberapa orang lain bertanya-tanya
karena pada bulan Syawal tahun 1432 H/2011 ini bulannya sudah terlihat besar meskipun hari raya hanya berlalu
dua hari, tapi besarnya bulan seolah sudah berumur tiga hari? yang secara tidak langsung meragukan keputusan
pemerintah yang berlebaran telat satu hari dari Muhammadiyah. Ya itu karena memang pada hakikatnya bulan saat
itu sudah berlalu 3 x 24 jam (tiga hari), tapi sekali lagi yang dibuat patokan hari raya bukan hakikatnya, tapi
tampaknya hilal oleh mata.
Satu lagi, memang benar bahwa kebanyakan puasa Nabi Muhammad hanya 29 hari saja dan hanya beberapa kali
yang tercatat 30 hari. Tapi tentu ini bukan patokan, yang menjadi patokannya adalah petunjuk Nabi sendiri, bukan
fakta bahwa di Arab sana dahulu pada masa Nabi hilal sering terlihat di malam ketiga puluh.
Intinya, sudah bukan jamannya lagi mempertentangkan hisab dan rukyat. Keduanya sama-sama punya kelemahan
dan kelebihan, karena itu harus dipakai bersamaan untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Penggunaan keduanya secara bersamaan ada dalam teori Imkanur Rukyah yang selama ini dipakai oleh pemerintah
dan sebagian besar ormas Islam. Semoga kedepannya nanti semua ormas dan tokoh masyarakat sepakat untuk
menjadikannya sebagai pedoman bersama hingga menjadikan semua golongan kompak dalam menetapkan hari
raya, lebih-lebih dasar pendapat ini bisa dibilang sebagai yang terkuat dan paling komprehensif menampung semua
dalil dan arahan Rasulullah. Akhirnya, bagaimana pun alasannya, kebersamaan dan kekompakan mengikuti
keputusan terbanyak (pemerintah) tetap lebih indah.

Anda mungkin juga menyukai