Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HADIST AHKAM

HUKUM MELIHAT HILAL


Dosen Pengampu : Alven Putra, LC, M.S.I

Disusun Oleh :
1. Doni Sanjaya (20651007)
2. Prima Saputra (21651014)

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
TAHUN AJARAN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT , berkat rahmat dan hidayah-
Nya ,kami dapat menyelesaikan makalah kami ini yang berjudul “Makalah hukum melihat
hilal”.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar yang telah
memberikan arahan hingga kami dapat menyelesaikannya dengan baik.

Dalam penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan baik secara teknis maupun
secara materi yang ada, sehingga kami menerima setiap kritik dan saran yang membangun
dari setiap pembaca agar kami bisa lebih baik lagi kedepannya.

Akhir kata kami mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Curup , 23 oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG...............................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................4
C. TUJUAN...................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A. HADIST TENTANG HUKUM MELIHAT HILAL..................................................................6
B. KOSA KATA SULIT................................................................................................................6
C. MAKNA GLOBAL...................................................................................................................7
D. PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TERKAIT HADIST.....................................................7
BAB III................................................................................................................................................11
PENUTUP...........................................................................................................................................11
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................11
B. SARAN...................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penentuan awal Bulan Kamariah yang merupakan salah satu out put dari
kajian ilmu falak sebagai suatu penentu dari beberapa ibadah yang urgen dalam
tuntunan syariat islam. Diantara ibadah-ibadah itu adalah shalat Idul Adha dan Idul
Fitri, shalat gerhana Bulan dan Matahari, puasa Ramadhan dengan zakat fitrahnya,
haji dan sebagainya. Hari-hari besar dalam Islam tersebut, semuanya diperhitungkan
menurut perhitungan Bulan Qamariah (lunar system) yang menjadikan hilal sebagai
objek utama sebagai penanda pergantian awal Bulan (Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama,1981, hlm. 98).
Salah metode menentukan awal bulan Qamariah adalah dengan mengamati
hilal secara langsung di lapangan dalam penentuan awal Bulan Qamariah adalah
dengan rukyat al-hilal. Posisi rukyat al-hilal selain sebagai ajang pengamalan hadist
nabi tentang perintah rukyat, rukyat al-hilal juga menjadi salah satu syarat dan rukun
yang harus dipenuhi dalam rangka penentuan awal Bulan Qamariah dalam sidang
itsbat RI. Rukyat al-hilal adalah usaha melihat atau mengamati hilal1 di tempat
terbuka dengan mata telanjang atau peralatan pada saat Matahari terbenam menjelang
Bulan baru Qamariah pada setiap tanggal 29 Bulan Qamariah dengan acuan
perhitungan atau hisab data astronomi pada hari yang ditentukan (Khazin, 2005, hlm.
69).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Hadis apa yang menjelaskan tentang hukum melihat hilal ?


2. Bagaimana bentuk kosa kata sulit yang ada pada hadis tersebut ?
3. Apa makna global hadis tersebut?
4. Bagaimana perbedan pendapat ulama terkait hukum atau tema pada hadis
tersebut?

4
C. TUJUAN
1. Mengetahui hadis apa yang menjelaskan tentang hukum melihat hilal
2. Mengetahui bagaimana bentuk kosa kata sulit yang ada pada hadis tersebut
3. Mengetahui apa makna global hadis tersebut
4. Mengetahui bagaimana perbedaan pendapat ulama terkait hukum atau tema pada
hadis tersebut

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. HADIST TENTANG HUKUM MELIHAT HILAL

HADIST PERTAMA

Artinya: Dari Muhammad bin Ziyad, ia mengatakan, "Bahwasanya Abu Hurairah RA


berkata; Abul-qasim RA (Rasulullah SAW) telah bersabda: puasalah karena
melihatnya (hilal) dan berbukalah ('id) karena melihatnya, jika terhalang atas kalian,
sempurnakanlah bilangan (bulan) sya'ban menjadi tiga puluh

HADIST KEDUA

Artinya: Dari Ibnu 'Umar RA berkata ; Aku telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda : „ Jika kalian melihatnya (hilal) maka puasalah, dan jika kalian melihatnya
maka berbukalah ('id), maka jika terhalang (hilal) atas kalian maka sempurnakanlah
bilangannya (bulan)

B. KOSA KATA SULIT


Dalam hadits yang kedua menggunakan istilah Raitumuuhu yang berasal dari
kata Ra'a ((‫ ) رأى‬yang merupakan salah satu huruf dari af'alul al-yaqin sehingga
mempunyai 2 makna bisa berarti melihat dengan ilmu (rukyatul 'ilmi) dan mata
(Rukyatul Bashariyyah). Akan tetapi kalimat Ra'a ((‫ رأى‬di dalam hadits tersebut
adalah melihat dengan mata (Rukyatul Bashariyyah) dikarenakan hanya terdapat satu
Maf'ul bih (objek). yaitu Ra'aitumuu ( ‫ )َر َأْي ُتُم ُُو‬sebagai Fi'il (kata kerja/verb) dan Fa'il
(Pelaku/Subjek) sedangkan kalimat Huu (‫ ) َر َأْي ُتُم وُُه‬sebagai Maf'ul bih (objek).
Berbeda dengan kalimat Ra'a ((‫ ) رأى‬pada sebuah hadits ( ‫) َص ُّلْو ا َُك َم اَر َأْي ُتُم ْو ِني ُُأَص َُلُْي‬
artinya "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat mempunyai dua maf'ul
bih (objek) yaitu pada kalimat nii (‫ ) َر َأْي ُتُم ْو ِني‬sebagai Maf'ul bih ke satu dan kalimat
Ushalli ( ‫ ) ُأَص َُلُْي‬sebagai Maf'ul bih ke dua, sehingga kalimat Ra'a (‫ ) رأى‬pada hadits

6
tersebut diartikan dengan melihat dengan ilmu (Rukyatul 'Ilmi) yaitu kita mesti shalat
sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW di dalam As-Sunnah.
Dengan demikian pada hadits yang kedua di atas adalah melihat dengan mata
(Rukyatul Bashariyyah), karena apabila kita lihat lanjutan redaksi hadits tersebut ada
kalimat fain ghumma (maka jika terhalang) menunjukkan bahwa dalam hal ini melihat
dengan mata, karena yang namanya melihat hilal dengan mata suatu saat akan
terhalang seperti salah satunya adalah faktor cuaca yang tidak mendukung dan faktor-
faktor lainnya yang sekiranya akan mengganggu penglihatan. Maka Apabila hadits
tersebut dimaknai dengan melihat dengan ilmu (rukyatul ilmi), maka sangatlah kurang
tepat sebab pertama secara ilmu nahwiyyah kalimat Ra'a (‫ ) رأى‬pada hadits tersebut
terdapat satu Maf'ul bih sehingga dimaknai dengan melihat dengan mata, kemudian
yang kedua lanjutan redaksi hadits tersebut terdapat kalimat Fain Ghumma (maka jika
terhalang ), maka ketika kita menghubungkan pada makna melihat dengan ilmu ini
sangat kurang cocok karena yang namanya melihat dengan ilmu dalam hal ini hisab
(perhitungan) tidak akan mengalami istilah terhalang sebab perhitungan akan selalu
ada hasilnya baik itu benar maupun salah. Maka dapat disimpulkan bahwa cara
melihat hilal adalah dengan mata (Rukyatul Bashariyyah), dan apabila terhalang (Fain
Ghumma) maka disinilah wilayah hisab

C. MAKNA GLOBAL
Makna nya yaitu :
1. Kewajiban berpuasa Ramadhan itu tergantung pada penglihatan manusia atau
sebagian dari mereka terhadap hilal (tanggal 1 Ramadhan).
2. Begitu juga berbuka (Idul Fitri atau Hari raya) berkaitan erat dengan hilal (1
Syawal)
3. Jika hilal (1 Ramadhan) tidak terlihat, maka tidak boleh berpuasa kecuali setelah
menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, begitu juga tidak boleh berhenti
puasa Ramadhan (berhari raya) kecuali setelah menggenapkan Ramadhan
menjadi 30 hari.
4. Tidak diperkenankan berpuasa pada hari ke – 30 di bulan Sya’ban meskipun ada
mendung atau sejenisnya.

D. PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TERKAIT HADIST

1. Mazhab Hanafi

7
Dalam mazhab Hanafi, penerimaan persaksian rukyat sangat tergantung pada
kondisi langit. Dalam hal ini ada dua kemungkinan dalam penentuan hilal awal
Ramadan dan Syawal, yaitu:
a. Jika langit itu cerah, maka harus dilakukan rukyat secara kolektif. Adapun
ukuran kolektif adalah berdasarkan ukuran kebiasaan. Tak ada ukuran pasti
dalam jumlah orang yang merukyat ini.Lebih lanjut diterangkan bahwa jika
langit dalam keadaan cerah, tidak ada illat yang menghalanginya baik
mendung dan sebagainya, maka persaksian seorang saja belum cukup. Dalam
hal ini imam tidak menerima kesaksian tunggal ini.Alasannya, saat keadaan
langit cerah tentu tidak ada penghalang bagi seseorang untuk melihat hilal
sementara yang lain dapat melihatnya. Namun meskipun ditolak
persaksiannya oleh imam, orang yang berhasil merukyat tadi tetap diwajibkan
berpuasa pada keesokan harinya, dan apabila tidak berpuasa maka ia wajib
mengqada puasa tersebut.
b. Jika langit dalam keadaan mendung atau berawan, maka imam bisa menerima
persaksian tunggal dari seorang muslim yang adil6 baik itu laki-laki maupun
perempuan, merdeka atau budak. Persaksian tunggal ini diterima karena hal ini
termasuk perintah agama (amr diny) Rukyat hilal dilakukan pada sore hari
setelah terbenamnya Matahari di hari ke dua puluh sembilan. Jika pada hari
tersebut bulan tidak dapat dirukyat karena tertutup oleh mendung, maka bulan
digenapkan (diistikmalkan) menjadi tiga puluh hari.

Sedangkan rukyat yang dilakukan pada siang hari, maka pembahasan dibagi
menjadi dua, yaitu rukyat siang hari pada hari kedua puluh sembilan dan rukyat
siang hari pada hari ketiga puluh. Untuk rukyat siang hari pada hari kedua puluh
sembilan, ulama mazhab H}anafi sepakat bahwa rukyat siang hari tersebut tidak
bisa dijadikan rujukan hilal awal bulan. Adapun jika hilal terlihat dua kali, yaitu
sebelum dan sesudah terbenamnya Matahari, maka yang dijadikan acuan adalah
hilal yang terlihat setelah terbenamnya Matahari. Sebab menurut mazhab ini hilal
tidak mungkin dirukyat pada pagi dan sore di hari yang sama.
Adapun rukyat siang hari yang dilakukan pada hari ketiga puluh, maka ulama’
Hanafiyah terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menetapkan
waktu kenampakan hilal sebelum dan sesudah zawal (tergelincirnya Matahari) dan
ulama’ yang tidak mensyaratkan waktu zawal tersebut. Di antara ulama’
Hanafiyah yang menetapkan kenampakan hilal sebelum dan sesudah zawal adalah
Abu Yusuf. Menurut Abu Yusuf, jika hilal dapat dirukyat sebelum zawal maka
hilal tersebut dianggap sebagai hilal untuk malam sebelumnya, dan hari
terlihatnya hilal itu adalah hari untuk awal bulan. Sedangkan hilal yang terlihat
sesudah zawa>l diperhitungkan untuk malam berikutnya, jadi pada saat itu belum
masuk bulan baru. Lebih lanjut Abu Yusuf menggambarkan jika hilal dapat
dirukyat pada hari Jum’at sebelum zawa>l misalnya, maka menurutnya hilal
tersebut adalah hilal pada malam sebelumnya. Artinya pada dasarnya hilal
tersebut sebenarnya telah berada di atas ufuk pada malam Jum’at (sore hari
Kamis) hanya saja hilal itu hilang (tidak berhasil dirukyat), kemudian pada siang
harinya hilal itu nampak, maka hukumnya sama dengan malam kedua berikutnya,
artinya malam tersebut sudah masuk malam kedua dihitung dari awal bulan. Hal
ini bisa terjadi karena berdasarkan adat atau kebiasaan, hilal itu tidak bisa dirukyat
sebelum zawa>l kecuali jika hilal tersebut telah berumur dua hari. Maka dari itu
awal bulan dihitung mulai hari Jum’at tersebut.

8
Sedangkan Abu Hanifah sendiri tidak membedakan antara kenampakan hilal
sebelum dan sesudah zawal. Menurutnya, hilal yang dapat dirukyat siang hari
pada hari ketiga puluh baik sebelum maupun sesudah zawal, mengikuti malam
berikutnya. Artinya hari dapat dirukyatnya hilal itu belum dianggap awal bulan
dan awal bulan baru ditetapkan keesokan harinya.
Adapun mengenai Matlak12, mazhab Hanafi termasuk dalam mazhab yang
menggunakan ittifaq al-matali’ artinya jika hilal terbukti terlihat di suatu negeri,
maka berlaku bagi semua penjuru bumi.Mazhab Hanafi tidak mengakomodir
penggunaan hisab dalam penentuan awal bulan Hijriyah karena menurutnya cara
ini menyalahi ketentuan Rasulullah SAW.14 Orang yang mampu mengetahui
masuknya bulan baru melalui hisab juga tidak boleh memulai bulan meskipun
untuk dirinya sendiri.

2. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki, penentuan awal bulan ditentukan melalui rukyat dengan
tiga bentuk berikut:
a. Hilal dirukyat secara kolektif oleh banyak orang meskipun bukan oleh
orang yang adil. Ukuran banyak ditentukan oleh adat kebiasaan
masyarakat dan tidak memungkinkan terjadinya kesepakatan untuk
berdusta. Dalam hal ini tidak disyaratkan mereka harus laki-laki,
merdeka, dan tidak disyaratkan harus adil.Yang demikian ini menurut
Abu al-Qasim, salah seorang ulama mazhab Maliki, tidak membutuhkan
persaksian.
b. Hilal dirukyat oleh dua orang adil atau lebih. Dalam hal ini, ulama
mazhab Maliki tidak membedakan keadaan langit baik itu langit cerah
maupun langit mendung juga tidak membedakan antara keberhasilan
rukyat di kota kecil maupun di kota besar.Penerimaan persaksian rukyat
dari dua orang adil ini menjadi ciri khas mazhab Maliki ini. Dua orang
adil merupakan batas minimal kebolehan diterimanya laporan rukyat.
Kurang dari itu tidak bisa diterima meskipun laporan diterima dari orang
yang adil.
c. Hilal yang hanya dirukyat oleh satu orang saja. Hakim tidak boleh
menetapkan hilal berdasarkan kesaksian seorang saja, meskipun ia adalah
orang yang adil. Namun apabila satu orang yang berhasil merukyat itu
adalah imam sendiri, maka bisa diterima meskipun hanya dari satu orang
saja.Meski kesaksian tunggal tidak dapat diterima, namun terhadap orang
tersebut tetap diwajibkan mengamalkan rukyatnya (untuk berpuasa atau
berhari raya) secara pribadi. Jika tidak, maka ia wajib mengqada’ di hari
lain. Khusus untuk orang yang melihat hilal Syawal sendirian, maka ia
harus tetap berpuasa secara zahir. Namun secara batin, orang yang
bersangkutan harus berniat tidak berpuasa, karena dia yakin bahwa hari
itu adalah hari lebaran. Jika ia tidak berpuasa secara zahir, maka ia harus
dinasehati atau ditakzir
3. Mazhab Shafi’i
Awal bulan ditetapkan melalui salah satu dari dua cara berikut, yaitu dengan
menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya menjadi tiga puluh hari atau dengan
rukyat al-hila>l pada malam ketiga puluh.Kesaksian rukyat diterima jika
dilaporkan dari orang yang adil baik pada waktu itu langit sedang cerah maupun
sedang mendung. Hanya saja dalam mazhab Shafi’i terdapat beberapa perbedaan
terkait jumlah saksi yang bisa diterima. Imam Shafi’i sendiri menyatakan bahwa

9
hilal Ramadan baru bisa diterima jika dilaporkan dari dua orang saksi yang adil
atau lebih. Pendapat ini juga dipegang oleh al-Bulqi>ni. Namun menurut al-
Zarkashi, cukup dengan kesaksian satu orang saja. Ia berpegang pada hadith yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAWmenerima persaksian seorang badui (A’rabi)
atau persaksian Ibn Umar. Menurut al-Sharbi>ni kedua pendapat itu sama
benarnya, baik yang mensyaratkan seorang saksi maupun dua orang saksi. Namun
menurut al-Sharbini, mazhab Shafi’i juga menerima persaksian dari satu orang
saja, dengan syarat ia adalah orang yang adil, merdeka dan lakilaki. Orang yang
berhasil merukyat hilal, maka wajib baginya berpuasa meskipun ia adalah orang
yang fasik atau anak kecil atau seorang wanita atau orang yang berhasil merukyat
namun tidak dilaporkan kepada hakim atau dilaporkan tetapi ditolak oleh hakim

4. Mazhab Hanbali
Penentuan awal bulan dalam mazhab H}anbali ditentukan melalui ru’yat al-
hilal atau dengan menyempurnakan bilangan bulan menjadi tiga puluh hari. Hal
ini didasarkan pada hadith perintah puasa yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah.47 Dalam hal berpuasa, menurut salah satu riwayat dalam mazhab
H}anbali, bila pada malam ketiga puluhlangit tertutup mendung, maka keesokan
harinya wajib berpuasa.
Namun apabila pada hari tersebut langit cerah namun hilal tak terlihat, maka
bulan digenapkan menjadi tiga puluh hari. Ada juga pendapat yang mengatakan
bahwa jika langit pada saat itu tertutup mendung, maka keesokan harinya belum
wajib puasa. Sedangkan pendapat yang terakhir adalah menunggu keputusan
hakim.Kesaksian rukyat bisa diterima dari satu orang saja, baik itu lakilaki
maupun perempuan, merdeka atau budak, asalkan dia adalah orang mukallaf yang
adil. Hakim bisa menetapkan awal bulan dengan kesaksian satu orang ini.Namun
Imam Ahmad lebih menyukai jika hilal dilaporkan dari dua orang.Ibn Qudamah
berpendapat bahwa laporan dari satu orang saja bis diterima karena laporan ini
sifatnya laporan keagamaan (diny) yang mana antara pihak yang memberikan
laporan dan yang menerima laporan sama-sama terlibat di dalam ibadah tersebut.
Ia menyamakan laporan satu orang yang berhasil merukyat ini dengan laporan
tentang sudah masuknya waktu salat

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dalam makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:


Perkara penentuan awal bulan Qamariah dengan cara rukyat al-hilal
merupakan salah satu aktifitas yang dihukumi fardlu kifayah. Tentunya hukum
tersebut muncul berdasarkan pemahaman terhadap dalil-dalil yang membahas tentang
penentuan awal bulan Qamariah baik dari al-alquran maupun al-Sunnah (Hadis).
Dalam hal ini posisi al- Sunnah tampaknya lebih dominan memperinci dan
menjelaskan ke globalan dalil al-Quran tentang penentuan awal Ramadhan. Berbagai
riwayat dan redaksi matan yang berbeda-beda disertai dengan mata rantai perowi
(sanad) yang adil menjadikan dasar para ulama untuk berijtihad terhadap apa yang
terdapat dalam matan hadis tersebut serta dengan pemahaman yang proporsional dan
komprehensif.

B. SARAN

Semoga setelah membuat makalah ini kita bisa memahami tentang hukum
melihat hilal dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari .

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, I. H. (t.t.). Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari (juz II). Libanon: Dar Kutub al-
Ilmiyah.

Al-Jauhari, I. C. (1999). Hermeneutika Islam (Membangun Peradaban Tuhan di Pentas


Global) . Yogyakarta: ITTAQA Press.

Al- t.t.). Irsyad Ahli al-Millah fi Isbati al-Ahillah. Mesir: Kurdistan Ilmiyah.Badan Hisab dan
Rukyat Departemen Agama. (1981). Almanak Hisab Rukyat . Jakarta.

Bukhari, A. A. M. bin I. ibn M. al-J. al-B. (1994). Matnu al-Bukhori (Juz I). Beirut: Darul
Fikr.

Departeman Agama RI. (1995). Pedoman Tehnik Rukyat . Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam.

Djamaluddin, T. (t.t.). Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah. Retrieved
from http://t-djamaluddin.space.live.com

Habibie, B. J. (t.t.). Rukyah dengan Teknologi. Jakarta: Gama Insani Press.

Ham, M. (2009). Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum. Semarang: Walisongo Press.

Ibn Rusyd, A. W. M. B. A. B. M. (1989). Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jakarta: Pustaka

Amani. Izzuddin, A. (2006). Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi
Permasalahannya) . Semarang: Komala Grafika.

Izzuddin, A. (2007). Fiqh Hisab Rukyah, Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam


Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Jakarta: Erlangga.

Khazin, M. (t.t.). Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik (cet. IV). Yogyakarta: Buana Pustaka.

Khazin, M. (2005). Kamus Ilmu Falak. Jogjakart: Buana Pustaka.

Komaruddin Hidayat. (1994). Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina Mulia.

Munawwir, A. W. (1997). Kamus al-Munawir . Surabaya: Pustaka Progressif.

12

Anda mungkin juga menyukai