Anda di halaman 1dari 18

ASWAJA

AMALIYAH SEPUTAR PUASA

Dosen Pengampu :
Abdul Rohim, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Rishta Umu Habibah
Nur’Ain Iron Talib
Siti Nur Kamila

Pendidikan Agama Islam


Institut Pesantren KH. Abdul Chalim
Fakultas Tarbiyah
Mojokerto 2020/2021
Kata pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dari mata kuliah aswaja.

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Abdul Rohim, M.Pd.I yang telah
membantu kami dan teman-teman dari prodi PAI baik secara moral maupun materi. Terima
kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah saling mendukung
sehingga kami semua bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna
baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan
agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah aswaja ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

II
Daftar isi

Kata pengantar....................................................................................................................................II
Daftar isi..............................................................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................IV
A. Latar Belakang.......................................................................................................................IV
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................IV
C. Tujuan.....................................................................................................................................IV
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................V
A. Keistimewaan dan Keutamaan Puasa....................................................................................V
B. Puasa dan Keistimewaannya..................................................................................................V
C. Amaliyah Seputar Puasa.......................................................................................................VII
BAB III PENUTUP.........................................................................................................................XVII
A. Kesimpulan..........................................................................................................................XVII
B. Saran....................................................................................................................................XVII
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................XVIII

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari tiang agama. Ibnu Abbas r.a.
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; “Pondasi Islam ada tiga
macam, di atas ketiganyalah ditegakkan dasar Islam, barangsiapa yang meninggalkan
salah satu daripadanya, sesungguhnya dia telah kafir (keluar) dari padanyadan
darahnyapun menjadi halal, yaitu; Bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah,
mendirikan shalat yang diwajibkan (5 waktu), dan berpuasa di Bulan ramadhan. Masa
waktu pelaksanaan puasa ramadhan adalah satu bulan penuh selama bulan Ramadhan,
yang biasanya berjumlah 29 hari atau 30 hari.

Pahala dalam bulan Ramadhan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Oleh karena
itu umat muslim berlomba-lomba melaksanakan amaliyah saat puasa dalam bulan
Ramadhan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja amaliyah yang dianjurkan saat melaksanakan puasa ?
2. Apa saja keistimewaan dan keutamaan puasa ?
3. Apa saja dasar hukum dan dalil-dalil yang dapat menguatkan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja amaliyah yang dianjurkan dalam berpuasa
2. Untuk mengetahui apa saja keistimewaan dan keutamaan dalam berpuasa
3. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum dan dalil-dalil yang dapat menguatkan

IV
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keistimewaan dan Keutamaan Puasa


Bulan Ramadhan adalah satu bulan yang agung dan utama dalam ajaran agama
islam. Pada bulan ini banyak sekali keistimewaan yang diberikan Allah SWT kepada
umat islam. Keagungan bulan ini dapat kita temukan pada berbagai keistimewaan
yang dimilikinya. Keagungan yang dapat kita temukan yang utama adalah Allah telah
menjadikan bulan itu sebagai bulan yang penuh berkah dan rahmat.

Melihat banyak keagungan yang dimiliki pada bulan ini maka tidak berlebihan
apabila, Allah memberikan beberapa fadhilah (keutamaan) yang dimiliki bulan ini.
Keagungan yang dimiliki oleh bulan ini, semuanya itu terangkum dalam sebutan
Sayyidus Syuuhur (bulan yang utama). Banyak sebutan yang melekat dalam bulan ini,
oleh para ulama bulan Ramadhan bisa disebut Syahrul Mubarok (bulan penuh
berkah). Syahrut Tarbiyah (bulan pembinaan), Syahrul Qur’an (bulan Al-Qur’an) dan
lain sebagainya.

B. Puasa dan Keistimewaannya


Ada lima keistimewaan yang diberikan Allah SWT sebagai nikmat khusus
bagi umat islam yang tidak diberikan kepada orang-orang yang berpuasa dizaman
sebelumnya.Secara rinci dapat di jelaskan secara singkat keistimewaan-keistimewaan
yang terkandung sebagai berikut.

Keistimewaan Pertama,bau mulut orang yang berpuasa,yang terjadi karena


rasa lapar akibat tidak adanya makanan yang masuk kedalam perut,Lebih disenangi
oleh Allah SWT daripada harumnya minyak kasturi.Rasulullah SAW bersabda bahwa
Allah SWT berfirman,

“Setiap amalan baik,para malaikat akan memberikan ganjaranya,tetapi mengenai


pahala puasa,Aku (Allah SWT) sendiri yang memberikanya,karena ia benar-benar
dikerjakan untuk-ku.”

V
Keistimewaan kedua,Ikan-ikan beristigfar dan memintakan ampunan bagi
orang yang berpuasa hingga saatnya berbuka.Maksud dari keterangan itu adalah
bahwa banyak makhlik lain yang mendoakan orang yan berpuasa.

Maulana Muhammad Ilyas ra mengatakan bahwa dengan sangat jelas


keistimewaan yang dimili oleh orang yang berpuasa sehingga ikan-ikan dilautan pun
ikut berdoa baginya.Dan semuanya itu karena Allah SWT sendiri berfirman, “Yang
maha rahman akan berkasih sayang kepada orang yang beriman dan beramal shalih”.

Keistimewaan ketiga,surga dihiasi oleh orang-orang yang berpuasa.Tentang


keterangan ini banyak riwayat yang menyebutkannya.

Keistimewaan yang keempat,syaitan akan dirantai sehingga berakibat


berkurangnya kemaksiatan.Sebaliknya rahmat dan semangat ibadah akan tumbuh
subur dimana-mana Sebagai bukti adalah disetiap ramadhan tiba,akan timbul
kesadaran dari semua pihak termasuk orang yang sering melakukan maksiat untuk
berusa sebisa mungkin meninggalkan perbuatan yang jelek.

Keistimewaan yang kelima,pada hari-hari terakhir bulan ramadhan,Allah SWT


melimpahkan maghfirah serta ampunan kepada semua orang yag berpuasa.

Demikian antara lain keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki ibadah puasa yang
terdapat dalam bulan Ramadhan sebagai satu kewajiban bagi umat islam dimanapun
berada.

VI
C. Amaliyah Seputar Puasa

1. Ru’yatul Hilal

a. Definisi Rukyat Al-Hilal


Kata “rukyat” berasal dari bahasa arab yang berarti melihat, mengerti,
menyangka, menduga, dan mengira. Rukyat, sebagaimana halnya observasi,
juga memiliki arti pengamatan. Secara harfiyah, rukyat berarti melihat secara
visual (melihat dengan mata kepala).
Pengertian kata rukyat secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama rukyat adalah melihat dengan mata. Hal ini dapat dilakukan siapa
saja. Kedua, rukyat adalah melihat melalui kalbu atau intuisi. Ada hal-hal yang
manusia hanya bisa mengatakan “tentang hal itu, Allah yang lebih
mengetahui” (Allahu a’lam). Ketiga, rukyat adalah melihat dengan ilmu
pengetahuan. Ini dapat dijangkau oleh manusia yang memiliki bekal ilmu
pengetahuan.
Kata “hilal” didefinisikan dengan sinar Bulan pertama ketika orang melihat
dengan nyata Bulan sabit pada awal sebuah bulan. Hilal juga diartikan sebagai
Bulan khusus yang hanya terlihat pada hari pertama dan kedua dalam setiap
bulannya. Setelah itu, maka dinamakan “Bulan” (Kamar) saja.

Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa ada proses melihat secara
visual. Definisi hilal atau Bulan sabit yang dalam astronomi dikenal dengan
nama Crescent adalah bagian Bulan yang tampak terang dari Bumi sebagai
akibat cahaya Matahari yang dipantulkan olehnya pada hari terjadinya ijtima’
sesaat setelah Matahari terbenam. Hilal ini dapat dipakai sebagai pertanda
pergantian bulan qamariah. Apabila setelah Matahari terbenam hilal tampak
maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan
berikutnya. Jadi, rukyat hilal adalah melihat atau mengamati hilal pada saat
Matahari terbenam menjelang awal bulan qamariah dengan mata atau teleskop.
Atau dapat diartikan suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau Bulan sabit di
langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal

VII
bulan baru, khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah, untuk
menentukan kapan bulan baru itu dimulai.

b. Dasar Hukum Rukyat Al-Hilal


Dasar hukum penentuan awal bulan qamariah sangat banyak dan
mudah ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Berikut ini adalah
sebagian dari dalil-dalil tersebut:

1. Dasar Hukum dari al-Qur’an.

a. Surat al- Baqarah ayat 185

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur” (Q.S al-Baqarah: 185).

Dalam tafsirnya, al-Maraghi memaknai ayat ini dengan “Barang siapa


menyaksikan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilal sedang ia tidak
bepergian, maka wajib berpuasa”. Jadi, siapa pun yang melihat hilal atau
mengetahui melalui orang lain, hendaknya ia melakukan puasa. Adapun bagi
siapa saja yang tidak melihat hilal seperti di kutub utara maupun selatan, maka
kaum muslim yang menempati tempat-tempat tersebut, harus memperkirakan
waktu selama sebulan. Ukuran yang dipakai untuk wilayah ini adalah berdasarkan
keadaan yang sedang (sub tropis), seperti permulaan disyariatkannya puasa,
Makkah dan Madinah.

VIII
b. Surat al-Baqarah ayat 189.

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan sabit. Katakanlah: "Bulan


sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu adalah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumahrumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.” (Q.S. al-Baqarah : 189).

Ayat ini dijelaskan dalam Tafsir al-Maraghi tentang hikmah berbedabedanya


bentuk hilal, “Bahwasanya dengan melihat hilal, kita bisa menentukan awal
bulan Ramadan dan saat berakhirnya kewajiban puasa.” Hilal juga dapat
digunakan untuk menentukan apakah haji itu dilakukan secara ada’ (tepat pada
waktunya) atau qadha’(di luar waktu yang tidak sah melakukannya). Maka, hal
ini tidak mungkin bisa dimanfaatkan jika hilal itu tetap pada bentuknya.

2. Dasar Hukum dari al-Hadis

a. Hadis Riwayat Muslim

Artinya: “Bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah bercerita kepada
kami Abu Usamah bercerita kepada Kami Ubaidillah dari Nasi’ bin Umar
radiallahu anhu bahwa Rasulullah Saw menuturkan masalah bulan Ramadan
sambil menunjukkan kedua tangannya kemudian berkata;bulan itu seperti ini,
seperti ini, seperti ini, kemudian menelungkupkan ibu jarinya pada saat gerakan
yang ketiga. Maka berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena
melihat hilal pula, jika terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah tiga
puluh hari.” (HR. Muslim)

IX
b. Hadis Riwayat al-Bukhari

Artinya: “Bercerita kepada kami Adam bercerita kepada kami Syu’bah bercerita
kepada kami Muhammad bin Ziyad dia berkata saya menedengar Abu Hurairah
dia berkata Nabi Saw bersabda atau berkata Abu Qasim berpuasalah kamu karena
melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal pula, jika hilal terhalang oleh
awan terhadapmu maka genapkanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. al-
Bukhari).

Kandungan makna kedua hadis di atas menyatakan bahwa Nabi Saw.


Menyerukan supaya kaum muslimin melaksanakan ibadah puasa Ramadan, jika
telah menyaksikan hilal (rukyat tanggal 1 Ramadan), dan menyerukan supaya
mengakhiri puasanya jika telah menyaksikan hilal (tanggal 1 Syawal). Kedua
hadis tersebut juga dijadikan dasar oleh Imam Syafi’i, bahwasannya penentuan
awal Ramadan, Syawwal dan Dzulhijjah, adalah dengan rukyat al-hilal bil fi’li.

2. Tadarrus

a. Pengertian Tadarrus Al-Qur’an


Istilah tadarrus Al-Quran sebenarnya agak berbeda antara bentuk yang
kita saksikan sehari-hari dengan makna bahasanya. Tadarus atau tadarusan
biasanya berbentuk sebuah majelis di mana para pesertanya membaca Al-
Quran bergantian. Satu orang membaca dan yang lain menyimak. Dan
umumnya dilaksanakan di masjid atau mushalla di malam-malam bulan
Ramadhan. Padahal kata tadarrus berasal dari asal kata darasa yadrusu, yang
artinya mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji dan mengambil pelajaran.
Lalu ketambahan huruf ta’ di depannya sehingga menjadi tadarasa yatadarasu,
maka maknanya bertambah menjadi saling belajar, atau mempelajari secara
lebih mendalam.

X
b. Tadarrus Di masa Nabi
Tadarrus dalam arti yang sebenarnya, yaitu mempelajari isi dan
kandungan al-Quran di masa nabi SAW adalah dengan cara mempelajari
beberapa ayat, setelah mendalam dan mengerti, baru diteruskan lagi beberapa
ayat.

Dari Ibnu Mas’ud ra berkata: “Adalah seorang dari kami jika telah
mempelajari 10 ayat maka ia tidak menambahnya sampai ia mengetahui
maknanya dan mengamalkannya”
Bahwa mereka yang menerima bacaan dari Nabi SAW(menceritakan)
adalah mereka apabila mempelajari 10 ayat tidak pernah meninggalkannya
(tidak menambahnya) sebelum mengaplikasikan apa yang dikandungnya,
maka kami mempelajari ilmu Al-Qur’an dan amalnya sekaligus. Utsman bin
Affan alaihi sallam biasa mengkhatamkan tadarrus Alquran setiap hari sekali.
Malaikat Jibril pun menyimak tadarrus Al-Quran Rasulullah setiap bulan
Ramadhan. Dan Imam Syafii mengkhatamkan tadarrus Al-Quran sebanyak
enam puluh kali di bulan Ramadhan, Al-Aswad setiap dua hari sekali, Qatadah
setiap tiga hari sekali, serta tiap malam pada sepuluh malam akhir bulan
Ramadhan.

c. Keutamaan Tadarrus Al-Qur’an


Al-Quran disebut sebagai “Ma`dubatullah” (hidangan Allah SWT),
sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah
hidangan Allah, maka kalian terimalah hidangan-Nya itu semampu kalian.”
(HR. Hakim)

Berikut keutamaan dalam tadarrus al-qur’an :


Pertama, menjadi sebaik-baiknya manusia. Tidak ada manusia yang
lebih baik daripada orang yang mau belajar dan mengajarkan Alquran. Oleh
karena itu, profesi pengajar Al-Quran - jika dimasukkan sebagai profesi -
adalah profesi terbaik di antara sekian banyak profesi. Sabda Nabi saw.,

XI
“Sebaik-baik kamu sekalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Kedua, memperoleh kebaikan berlipat. Sabda Nabi SAW.,


“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu
kebaikan, dan setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Saya tidak
mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu
huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)

Ketiga, memberi syafaat di hari kiamat. Sabda Nabi SAW., “Bacalah


olehmu Al-Quran karena sesungguhnya Al-Quran itu akan datang pada hari
kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim)

Keempat, dikumpulkan di surga bersama para Malaikat. Sabda Nabi


SAW., “Orang yang mahir membaca Al-Quran kelak (mendapat tempat di
surga) bersama para malaikat yang mulia lagi taat. Sementara orang yang
kesulitan dan berat jika membaca Al-Quran, maka ia mendapatkan dua
pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, mengangkat derajat. Nabi SAW. bersabda, “Sesungguhnya


Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Alkitab (Al-Quran),
dan Ia akan merendahkan derajat suatu kaum yang lain dengannya.” (HR.
Muslim)

Keenam, menjadi pembeda. Sabda Nabi SAW., “Perumpamaan orang


mukmin yang membaca Al-Quran seperti buah limau yang harum baunya dan
lezat rasanya. Perumpamaan orang mukmin yang tidak suka membaca Al-
Quran seperti buah kurma yang tidak berbau, tetapi rasanya manis.
Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Quran seperti buah yang
harum baunya, tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang
tidak membaca Al-Quran seperti buah handhalah yang tidak ada baunya dan
rasanya pahit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian kita semua dianjurkan bertadarus, karena tadarrus


Al-Quran merupakan amalan mulia yang dianjurkan Nabi saw, terutama pada
bulan Ramadhan.

XII
3. I’tikaf

A. Pengertian I’tikaf dan Hukumnya


secara literal kata I’tikaaf berarti Ihtibaas(memenjarakan). Ada juga yang
mendefinisikannya dengan, menghasung diri dari berbagai kegiatan yang rutin
dikerjakan. Dalam terminologi syar’i para ulama berbeda-beda dalam
mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat
dan rukun i’tikaf. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf
adalah “Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang
dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu.”

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’.


Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

1. Dalil dari Al Quran


a. Firman Allah ta’ala
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah
rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan
yang sujud.” (QS al-Baqarah: 125).

b. Firman Allah ta’ala


“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf
dalam masjid.” (QS al-Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan
perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf
merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.

2. Dalil dari sunnah

a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah RA, beliau mengatakan,

XIII
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir

bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau


beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar RA, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari


terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Dalil Ijma’
Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah
berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara
mereka adalah:

a. Ibnul Mundzir r.a. dalam kitab Al Ijma’. Beliau mengatakan, “Ulama


sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang
bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk
menunaikannya.”
b. An Nawawi r.a. mengatakan, “Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan
ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali
seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”
c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani r.a. mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib
berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan
I’tikaf.”

B. Hukum I’tikaf
Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda nabi
Muhammad SAW; “Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal
Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya
beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril
mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah
dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun
beri’tikaf bersama beliau.” (HR. Muslim).

XIV
Dalam hadits di atas, nabi Muhammad SAW memberikan pilihan
kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi
bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib. Status sunnah ini dapat menjadi wajib
apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau
mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda; “Barangsiapa bernadzar
untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.” (HR.
Bukhari). Umar RA pernah bertanya kepada nabi Muhammad SAW, “Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu
malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu
itu!” (HR. Bukhari).
Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid menyatakan bahwa imam
Malik menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak
ada sahabat yang melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa
pendapat beliau tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan
.

C. Hikmah I’tikaf
Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki
hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah
i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya
berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim r.a. dalam kitab beliau Zaadul
Ma’ad. Beliau mengatakan, “Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan
menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah
dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya,
-karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati
kepada Allah ta’ala secara menyeluruh, sedangkan makan dan minum secara
berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-
faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus
perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan
menghentikannya.
(Dengan demikian), rahmat Allah yang maha perkasa dan maha
penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu
menyebabkan hilangnya makan dan minum yang berlebih.

XV
(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan
menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang
memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering
bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu)
memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan
menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada
hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu
mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari
campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah
mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat
bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus
kemaslahatan dunia dan akhiratnya.
Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang
bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya,
berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan
hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan
menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu
memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan
terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih
ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri
kepada-Nya.
Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap
makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena
(mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur,
tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada
lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf
yang agung itu.”

XVI
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kemuliaan bulan Ramadan terlukis dalam sabda Nabi Muhammad, "Telah


datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah wajibkan puasa
Ramadan. Pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup, setan dibelenggu. Di dalamnya
(bulan Ramadan) ada lailatul qadar.” (H.R. Nasai)

Selama menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan, dianjurkan pula


melaksanakan amalan-amalan yang lainnya seperti ru’yatul hilal, tadarrus dan iktikaf
di dalam masjid.

B. Saran

Dalam melaksanakan ibadah puasa menurut kelompok kami banyak amalan yang
dapat kita lakukan, bukan hanya yang dapat kita sampaikan di atas. Termasuk amalan
wajib ataupun sunnah dalam melaksanakan ibadah puasa akan dinilai pahala oleh
Allah SWT.

XVII
DAFTAR PUSTAKA

Thaib, Hasballah dan Zamakhsyari Hasballah. 2013. Amaliyah Ramadhan (dalam


pembahasan Al-Qur’an dan Sunnah). Bandung : Citapustaka Media Perintis.

Islam.nu.or.id. (2019, 5 Mei). 10 Amalan Sunnah Saat Berpuasa. Diakses pada 04 Februari
2020. Dari https://islam.nu.or.id/post/read/53006/10-amalan-sunnah-dalam-berpuasa/

XVIII

Anda mungkin juga menyukai