TENTANG PUASA
Dosen :
Oleh:
1. M.ANDI KHUSNUNNASIKIN
2. MOH.ROMADHONI
PAI – Semester 1
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
1.1 Rumusam Masalah.....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puasa.........................................................................................2
2.2 Macam-macam Puasa.................................................................................2
2.2.1 Puasa Wajib.............................................................................................2
2.2.2 Puasa Sunnah...........................................................................................4
2.2.3 Puasa Makruh..........................................................................................6
2.2.4 Puasa Haram............................................................................................7
2.3 Syarat-syarat Puasa.....................................................................................8
2.4 Rukun Puasa................................................................................................8
2.5 Sunat Puasa Dan Puasa Sunat....................................................................10
2.6 Hari-hari Yang Diharamkan Berpuasa.......................................................10
2.7 Hari-hari Yang Dimakruhkan Berpuasa.....................................................11
2.8 Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa………………………………………11
2.9 Ketetapan Hilal...........................................................................................15
2.10 Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Awal Dan Akhir Puasa
Ramadhan…………………………………………………………………….16
2.11 Hikmah Puasa...........................................................................................20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................22
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puasa
Sebelum kita mengkaji lebih jauh meteri tentang puasa, terlebih dahulu kita akan mempelajari
pengertian puasa baik itu menurut bahasa arab maupun menurut istilah. Pengertian puasa (Saum)
menurut bahasa Arab artinya menahan dari segala sesuatu seperti menahan makan, minum,
nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
Sedangkan puasa menurut istilah ajaran islam yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang
membatalkannya, lamanya satu hari, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan
niat dan beberapa syrat. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (QS. Al Baqarah . 183).
2.2 Macam-macam Puasa
2.2.1 Puasa wajib
Puasa wajib adalah puasa yang dilakukan untuk memenuhi kewajiban perintah allah SWT,
apabila ditinggalkan mendapat dosa.
Adapun macam-macam puasa adalah sebagai berikut:
1. Puasa di bulan Ramadhan
Puasa ramadhan adalah puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan yang dilaksanakan
selama 29 atau 30 hari. Puasa dimulai pada terbit fajar himgga terbenam matahari. Puasa
ramadhan ini ditetapkan sejak tahun ke-2 H. Puasa ini hukumnya wajib, yaitu apabila dikerjakan
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.
Bulan Ramadhan menurut pandangan orang-orang mukmin yang berfikir adalah merupakan
bulan peribadatan yang harus diamalkan dengan ikhlas kepada Allah SWT.
2
Harus kita sadari bahwa Allah Maha Mengetahui segala gerak-gerik manusia dan hati
mereka .Dalam pelaksanaannya, khusus puasa Ramadhan, kita akan menjumpai beberapa
masalah yang penting dipecahkan antara lain:
1. Cara penempatan waktu
Cara mengetahui puasa ini ada 2 macam yaitu: hisab dan rukyat. Kemajuan teknologi beakangan
ini dirasakan semakin mudahkan proses hisab dan rukiyah tersebut. Disiplin ilmu astronomi dan
kelengkapan teknologi semacam planetrium atau teleskop atau secara khusus ilmu falaq yang
berkembang di dunia Islam, semuanya mendukung vadilitas penetapan waktu puasa.
Rukyat : adalah suatu cara untuk menetapkan awal awal bulan Ramadhan dengan cara melihat
dengan panca indera mata timbulnya / munculnya bulan sabit dan bila uadara mendung atau
cuaca buruk. Sehingga bulan tidak bisa dilihat maka hendaknya menggunakan istikmal yaitu
menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari. Di Indonesia pelaksanaan rukyat untuk
penetapan puasa Ramadhan telah dikoordinasi oleh Departemen Agama (DEPAG) RI.
Hisab : adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dengan cara menggunakan
perhitungan secara atsronomi, sehingga dapat ditentukan secara eksak letak bulan. Seperti cara
rukyat yang telah dikoordinasikan oleh pemerintah, maka cara hisab pun sama. Di Indonesia
penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan ini dengan cara yang manapun memang telah diambil
kewenangan koordinatifnya oleh pemerintah.
Adapun lembaga-lembaga keagamaan seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PERSIS,
Jami’at al-Khair dan sebagainya berfungsi sebagai pemberi masukan hasil rukyat dan hisabnya
dalam rangka pengambilan ketetapan awal dan akhir Ramadhan oleh pemerintah.
Firman Allah SWT surat Yunus ayat 5:
Artinya:“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan
hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui”.(QS.
Yunus :5)
3
Sabda Nabi SAW
Artinya:“Dari Abu Umar ra: bahwasanya Rasulullah SAW, menceritakan bulan Ramadhan lalu
memukul kedua tangannya lalu bersabda: “Bulan adalah itu sekian dari sekian bulan,kemudian
beliau melengkungkan ibu jarinya pada perkataan yang ketiga kali (termasuk menunjukkan
bahwa bulan itu jumlahnya terdiri dari 29 hari), maka berpuasalah kamu karena melihat bulan.
Jika kamu sekalian tidak dapat memelihatnya karena tertutup awan / mendukung, maka
pastikanlah bilangan itu menjadi 30 hari.(HR. Muslim).
1. Puasa Nazar (karena berjanji untuk berpuasa)
Puasa nazar adalah orang yang bernazar puasa karena mengiginkan sesuatu, maka ia wajib puasa
setelah yang diinginkannya itu tercapai, dan apabila puasa nazar itu tidak dilaksanakannya maka
ia berdosa dan ia dikenakan denda / kifarat.
Misalnya bernazar untuk lulus keperguruan tinggi, maka ia wajib melaksanakan puasa nazar
tersebut apabila ia berhasil.Ibnu Majjah meriwayatkan, bahwa seorang wanita bertanya kepada
Nabi Muhammad SAW.
Artinya:“Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Ia mempunyai nazar berpuasa sebelum
dapat memenuhinya. Rasulullah SAW menjawab: “Walinya berpuasa untuk mewakilkannya”.
2. Puasa Kifarat
Puasa kifarat adalah puasa untuk menembus dosa karena melakukan hubungan suami isteri
(bersetubuh) disiang hari pada bulan Ramadhan, maka denda (kifaratnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut.
Puasa sunnah adalah puasa yang bila dikerjakan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak
mendapat dosa. Adapun puasa sunnah adalah sebagai berikut:
1. Puasa enam hari pada bulan syawal
Disunnahkan bagi mereka yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan untuk mengikutinya
dengan puasa enam hari pada bulan Syawal.
4
Pelaksanaannya tidak mesti berurutan, boleh kapan saja selama masih dalam bulan Syawal,
karena puasa enam hari pada bulan Syawal ini sama dengan puasa setahun lamanya. Akan tetapi
diharamkan pada tanggal 1 syawal karena ada chari raya Idul Fitri. Dalam sebuah hadits
dikatakan yang artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan
Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka sama dengan
telah berpuasa selama satu tahun" (HR. Muslim).
2. Puasa Arafah
Orang yang tidak melaksanakan ibadah haji, disunnatkan untuk melaksanakan puasa pada
tanggal sembilan Dzulhijjah atau yang sering disebut dengan puasa Arafah. Disebut puasa
Arafah karena pada hari itu, jemaah haji sedang melakukan Wukuf di Padang Arafah. Sedangkan
untuk yang sedang melakukan ibadah Haji, sebaiknya tidak berpuasa. Nabi Muhammad SEW
bersabda:
Dari Abu Qotadah al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam pernah ditanya mengenai puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab: "Ia menghapus dosa-
dosa tahun lalu dan yang akan datang.: (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
untuk berpuasa hari raya arafah di Arafah. (Riwayat Imam Lima selain Tirmidzi. Hadits shahih
menurut Ibnu Khuzaimah dan Hakim. Hadits munkar menurut Al-'Uqaily.)
3. Puasa Senin Kamis
Rasulullah saw bersabda yang Artinya dari Aisyah : Nabi Muhammad SAW memilih waktu
puasa hari senin kamis.
4. Puasa pada bulan sya’ban
Dalam berbagai keterangan disebutkan bahwa Rasulullah saw berpuasa pada bulan Sya'ban
hampir semuanya. Beliau tidak berpuasa pada bulan tersebut kecuali sedikit sekali . Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini yang artinya: Siti Aisyah berkata: "Adalah
Rasulullah saw seringkali berpuasa, sehingga kami berkata: "Beliau tidak berbuka". Dan apabila
beliau berbuka, kami berkata: "Sehingga ia tidak berpuasa".
5
Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan
Ramadhan. Dan saya juga tidak pernah melihat beliau melakukan puasa sebanyak mungkin
kecuali pada bulan Sya'ban" (HR. Bukhari dan Muslim).
5. Puasa As-Syura’
Puasa ini dikerjakan pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram. Hadist Rasulullah Saw yang
berbunyi: "Rasulullah saw bersabda: "Puasa Asyura itu (puasa tanggal sepuluh Muharram),
dihitung oleh Allah dapat menghapus setahun dosa yang telah lalu" (HR. Muslim). Demikian
juga sunnah hukumnya melakukan puasa pada tanggal sembilan Muharram. Hadist Rasulullah:
Ibn Abbas berkata: "Ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari Asyura', dan beliau
memerintahkan untuk berpuasa pada hari tersebut, para sahabat berkata: "Ya Rasulullah,
sesungguhnya hari Asyura itu hari yang dimuliakan oleh orang Yahudi dan Nashrani".
Rasulullah saw menjawab: "Jika tahun depan, insya Allah saya masih ada umur, kita berpuasa
bersama pada tanggal sembilan Muharramnya". Ibn Abbas berkata: "Belum juga sampai ke tahun
berikutnya, Rasulullah saw keburu meninggal terlebih dahulu" (HR. Muslim).
2.4 Rukun Puasa
Rukun puasa ada tiga, dua diantaranya telah disepakati, yaitu waktu dan menahan diri (imsak)
dari perkara yang membatalkan, sedangkan rukun satu lainnya masih diperselisihkan yaitu niat.
1. Waktu
Waktu dibagi menjadi dua, yaitu waktu wajibnya puasa yakni bulan Ramadhan, dan Waktu
menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa yaitu waktu-waktu siang hari bulan
ramadhan. Bukan waktu-waktu malamnya.
2. Menahan diri dari perkara yang membatalkan
Meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar shidiq hingga terbenam
matahari.
- Hal-Hal yang membatalkan puasa
1. Memasukkan sesuatu kedalam lubang rongga badan dengan sengaja.
2. Muntah dengan sengaja.
8
3. Haid dan Nifas.
4. Jima’ pada siang hari dengan sengaja.
5. Gila walau sebentar.
6. Mabuk atau pinsan sepanjang hari.
7. Murtad.
Disamping itu, ada keringanan yang diberikan oleh islam kepada umat muslim untuk tidak
berpuasa, yakni mencakup dua golongan :
- Beleh meninggalkan puasa tetapi wajib mengqadha
Yang termasuk dalam golongan ini yaitu :
a. Orang yang sedang sakit dan sakitnya akan memberikan mudharat baginya apabila
mengerjakan puasa.
b. Orang yang berpergian jauh atau musafir sediktnya sejauh 81 KM.
c. Orang yang hamil dan di khawatirkan akan mudharat baginya dan kandungannya.
d. Orang yang sedang menyusui anak yang dapat mengkhawatirkan/memudharatkan baginya
dan anaknya.
e. Orang yang sedang haid, melahirkan atau nifas.
f. Orang-orang yang tidak wajib qadha namun wajib membayar fidyah
g. Orang yang sakit dan tidak ada harapan untuk sembuh.
h. Orang yang lemah karna sudah tua.
Yaitu memberi makanan kepada fakir miskin sebanyak hari yang telah di tinggalkan puasanya,
satu hari satu mud (576 Gram) berupa makanan pokok.
3. Niat
Niat, yaitu menyengaja puasa ramadhan setelah terbenam matahari hingga sebelum fajar shadiq.
Artinya pada malam harinya dalam hati telah tergetar (berniat) bahwa besok harinya akan
mengerjakan puasa ramadhan.
9
2.5 Sunat puasa dan puasa sunat
Sunat puasa :
1. Makan sahur meski sedikit.
2. Mengakhirkan makan sahur.
3. Menyegerakan berbuka.
4. Membaca doa ketika berbuka puasa.
5. Menjauhi dari ucapan yang tidak senonoh.
6. Memperbanyak amal kebajikan.
7. Memperbanyak I’tikaf di masjid.
Puasa Sunat :
Puasa sunnat (nafal) adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila
tidak dikerjakan tidak berdosa. Adapun puasa sunnat itu antara lain :
1. Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah/ selain mereka yang berhaji)
2. Puasa 6 hari dalam bulan syawal
3. Puasa tanggal 13,14, dan 15 pada tiap-tiap bulan Qamariah
4. Puasa hari senin dan kamis
5. Puasa pada bulan Dzulhijjah, Dzulqaidah, Rajab, Sya’ban dan 10 Muharram
6. puasa nabi Daud As.
10
2.7 Hari-hari yang di makruhkan berpuasa
1. Hari jum’at, kecuali telah berpuasa sejak hari sebelumnya.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu shaum pada hari Jum'at, kecuali ia
shaum sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." Muttafaq Alaihi.
Yang artinya:
“…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...”
(QS. Al-Baqarah : 187)
Berdasarkan ayat tersebut menjelaskan bahwa kita boleh makan dan minum apa saja sebelum
terbitnya fajar. Nah, jika sudah masuk waktu fajar, tentu saja sudah tidak diperbolehkan lagi
untuk makan dan minum.
Selain itu, juga terdapat sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa makan dan
minum secara sengaja itu tentu dapat membatalkan puasa. Berbeda lagi jika karena lupa. Hal
tersebut ditunjukkan pada hadis berikut,
11
Yang artinya:
“Dari Abu Hurairah ra: Nabi Muhammad SAW bersabda: Siapa saja yang makan karena lupa,
padahal ia sedang berpuasa, maka hendaknya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya
Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari Muslim)
2. Merokok
Seluruh ulama telah sepakat bahwa seseorang yang menghisap rokok ketika melaksanakan
ibadah puasa tentu saja puasanya akan menjadi batal. Hal tersebut karena merokok adalah sama
saja dengan makan dan minum.
Sebenarnya, terdapat perdebatan mengenai apakah perokok pasif yang hanya menghirup asap
rokok itu juga termasuk batal puasanya. Nah, jawabannya adalah tidak batal, karena perokok
pasif sama sekali tidak menghirup asap rokok dari sumbernya, melainkan dari asap yang
beterbangan di udara dan terhirup ketika tengah bernafas.
3. Muntah
Sama halnya dengan makan dan minum, muntah dapat membatalkan puasa apabila dilakukan
secara sengaja. Maka dari itu, apabila tengah sakit, dianjurkan untuk tidak melaksanakan puasa
terlebih dahulu.
Yang artinya:
12
”Orang yang muntah tidak perlu mengqadha’, tetapi orang yang sengaja muntah wajib
mengqadha.” (HR. Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
4. Mengeluarkan Mani
Para ulama telah sepakat apabila seseorang mengeluarkan mani secara tidak sengaja, maka
puasanya tidak batal. Hal itu didasarkan pada hadis berikut:
Yang artinya:
Dari Ali bin Abi Thalib ra: Rasulullah SAW bersabda: ”Telah diangkat pena dari tiga orang:
Dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga waras dan dari orang tidur hingga
terbangun.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy)
5. Berhubungan Seksual
Berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan secara sadar tentu saja menyebabkan puasa
yang dijalaninya menjadi batal. Definisi dari berhubungan seksual tersebut yakni:
Yang artinya:
Masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. (An-Nihayah, Ibnul Atsir, jilid 5
hal. 200)
Jika kemaluan laki-laki masuk ke dalam kemaluan wanita, maka tentu saja puasa yang tengah
dijalani keduanya menjadi batal, meskipun tidak keluar mani.
Namun, bagaimana jika orang melakukan hubungan seksual tersebut di siang hari bulan
Ramadhan karena lupa bahwa dirinya tengah berpuasa? Menurut ulama, hal tersebut tidak
menjadikan batal puasanya. Dengan syarat, keduanya benar-benar lupa, bukan pura-pura lupa.
13
6. Murtad
Hal ini tentu saja dapat membatalkan puasa karena syarat sah dari puasa yakni beragama Islam.
Namun, jika seseorang melakukan murtad, tentu saja dirinya sudah bukan beragama Islam lagi
dan tidak sah puasa yang dijalaninya.
Seandainya, seseorang yang telah murtad (keluar dari agama Islam), pada hari itu juga dirinya
kembali masuk Islam, maka puasanya akan tetap batal. Hal yang perlu dirinya lakukan adalah
mengqadha puasanya pada hari itu meskipun belum sempat makan dan minum.
Yang artinya,
“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu
pasti jadi orang yang rugi.” (QS Az-Zumar )
Hal ini akan dialami oleh para wanita yang tengah berpuasa, lalu tiba-tiba dirinya mendapatkan
haid, maka otomatis puasa yang dijalaninya akan batal. Meskipun, haid tersebut terjadi
menjelang terbenamnya matahari atau hampir waktu berbuka.
Sama halnya dengan wanita yang tengah hamil dan tiba-tiba keluar darah nifas, maka puasa yang
dijalaninya akan menjadi batal. Terdapat dua dalil Nabi Muhammad SAW terkait hal ini, yakni:
Yang artinya:
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah bila wanita
mendapat haidh dia tidak boleh shalat dan puasa?“. (HR Muttafaq ‘alaihi)
14
Yang artinya:
‘Dari Aisyah r.a berkata : “Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haidh lalu kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha’ salat” (HR.
Jama’ah).
Para ulama telah sepakat bahwa seseorang yang dalam kondisi gila tidak diwajibkan untuk
berpuasa. Hal ini karena syarat wajib puasa adalah berakal dan tidak gila. Nah, jika seseorang
yang tengah gila ini menjalani puasa, maka puasanya tidak sah. Dirinya diperbolehkan puasa
dengan mengqadha pada hari lain jika telah sadar dan sembuh dari penyakit gila tersebut
2.9 Ketetapan Hilal
Hilal ramadhan ditetapkan dengan cara–cara sebagai berikut:
a. Penglihatan Mata (Rukyah)
Yaitu cara menetapkan awal bulan qomariah dengan jalan melihat atau menyaksikan dengan
mata lahir munculnya bulan sabit (hilal) beberapa derajat di ufuk barat.
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau
sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah."
Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga
puluh hari." Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh
hari.
b. Syiya’ (Ketenaran)
Yang dimaksud dengan syiya adalah hilal dapat ditetapkan dengannya , bukanlah berpuasanya
sekelompok orang atau penduduk suatu tempat berdasarkan pada keputusan seseorang yang baik
bahwa besok masih ramadhan, atau tidak berpuasanya mereka itu berdasarkan ketentuan itu
15
bahwa besok sudah syawal. Tetapi syiya adalah hendaknya hilal dilihat oleh umum, bukan satu
orang saja.
c. Menyempurnakan Bilangan
Diantara cara menetapkan hilal, ialah menyempurnakan bilangan. Bulan Qamariyah manapun,
apabila awal harinya telah diketahui maka dia akan habis dengan berlalunya 30 hari. Hari
berikutnya berarti sudah masuk bulan berikutnya, sebab jumlah hari bulan Qamariyah tidak akan
lebih dari 30 dan tidak kurang dari 29 hari. Jika awal Syaban telah diketahui maka hari ke-31 nya
pasti sudah masuk satu ramadhan . Demikian pula jika telah kita ketahui awal ramadhan maka
hari ke-31 nya bisa kita pastikan sebagai tanggal 1 syawal.
d. Bayyinah Syar’iyyah(Bukti Syar’i)
Hilal bisa juga dipastikan dengan kesaksian dua orang lelaki yang adil (inilah yang disebut
bayyinah syar’iyyah), dan juga kesaksian para perempuan yang terpisah dengan lelaki ataupun
bergabung dengan mereka. Siapa saja yang yakin akan keadilan dua orang saksi tersebut maka ia
harus mengamalkannya.
2.10 Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Awal Dan Akhir Puasa Ramadhan
Mayoritas Ulama sepakat bahwa penentuan awal Ramadhan ditetapkankan melalui
Rukyah (melihat hilal), diantaranya pendapat empat Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,
Ahmad) dan tidak boleh menggunakan hisab dengan menghitung peredaran bulan, maka dalam
syareat penetapan puasa, haji, I’dain (dua hari raya) dengan cara rukyah. (Al fiqh Al Islami wa
Adillatuhu, 2:600). Dalilnya:
ُ فَِإنْ ُأ ْغ ِم َي َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ِد ُروا لَه: فَِإنْ ُأ ْغ ِم َي َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ِد ُروا لَهُ» و في رواية،ُ َواَل تُ ْف ِط ُروا َحتَّى تَ َر ْوه،صو ُموا َحتَّى ت ََر ُوا ا ْل ِهاَل َلُ َاَل ت
َثَاَل ثِين
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi,
jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR.
Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080)
16
َ َ فَِإنْ ُغبِّ َي َعلَ ْي ُك ْم فََأ ْك ِملُوا ِع َّدة،صو ُموا لِ ُرْؤ يَتِ ِه َوَأ ْف ِط ُروا لِ ُرْؤ يَتِ ِه
َش ْعبَانَ ثَالَثِين ُ
“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan. Jika
bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga-puluh
hari.”(HR. Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan
melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya
disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh “faqduru lahu”
dalam hadits di atas setelah menjama’ beberapa riwayat yang ada.
Hal ini telah menjadi kesepakatan diantara ulama’, namun setelah masa abad ke 3 Hijriyyah,
munculah pendapat yang membolehkan hisab untuk menentukan awal Ramadhan, dan ini
pendapat tidak kuat yang menyelisihi mayoritas ulama’ (Majmu’ Fatawa 25:135)
Mutharrif bi Sakhir inilah yang berpendapat bolehnya hisab sebagai penentu awal Ramadhan
apabila hilal tidak nampak dan bukan menggenapakan hitungan bulan menjadi 30 hari, dalilnya,
17
Artinya hadits di atas adalah untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk
mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa
dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat.
Ini bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah Ta’ala telah
memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu
membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini
mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.
Wihdatul Mathali’
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hanbal. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu 2: 605-606).
Prinsip pendapat adalah bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah
negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya.
Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul mathali‘, yaitu bahwa mathla‘ (tempat terbitnya bulan) itu
merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka
seluruh dunia wajib mengikutinya. Mereka berdalil dengan beberapa hadits :
Lafal hadist ini adalah ‘aam (umum/global) artinya adalah umum terhadap semua kaum
muslimin. Dan keumuman/keglobalan hukum ini harus tetap dijaga-sebagaimana diterangkan di
ilmu ushul fiqh- sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Dan disini tidak ada yang
mengkhususkan dari ayat, hadist marfu’, maupun ijma’ ulama.
18
Berkata Ibnu Taimiyyah, “barangsiapa yang sampai padanya kabar bahwa hilal telah terlihat
maka telah tetap baginya (puasa) tanpa batasan jarak.” (Majmu’ Fatawa 25:107).
Berkata Ibnu Hammam,”jika hilal terlihat di suatu negri, maka wajib bagi semua manusia. Maka
wajib bagi penduduk negeri belahan timur untuk berpuasa dengan ru’yah penduduk negri bagian
barat. Dan inilah yang jelas di madzhab hanafi.” (Fathul Qadir 2:313).
Ta’adudul Mathali’.
Pendapat kedua adalah pendapat madzhab As-Syafi‘iyah. Prinsipnya bila ada seorang melihat
hilal, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh
memiliki mathla’ sendiri, sehingga hukumnya pun mungkin berbeda. Ini didasarkan pada prinsip
ikhtilaful mathali‘ atau beragamnya tempat terbitnya bulan.
Hadist Kuraib yang dikeluarkan oleh Imam Muslim yang isinya bahwa Ummu Fadhl binti al-
Harits mengutusnya untuk pergi menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata : Aku memasuki
kota Syam dan aku menyelesaikan urusanku di kota itu dan ternyata telah masuk bulan
Romadhon sedang aku masih berada di Syam. Dan aku melihat hilal (bulan sabit sebagai
pertanda awal bulan) pada hari Jum’at malam. Kemudian aku kembali ke Madinah di akhir
bulan. Kemudia Ibnu Abbas RA bertanya kepadaku dan menanyakan hilal ,”kapan kalian melihat
hilal”?Maka aku mengatakan, “kami melihatnya di hari jum’at malam.” Ia berkata,”apakah
engkau benar-benar menyaksikannya?” maka aku jawab, “Ya, dan orang semua melihatnya dan
mereka semua berpuasa dan Muawiyah pun juga berpuasa.”Ia berkata,”akan tetapi kami
melihatnya hari Sabtu malam. Dan kami akan tetap berpuasa sampai sempurnya 30 hari atau
kami melihat hilal.” Maka aku mengatakan, “apakah kita tidak cukup dengan ru’yat Muawiyah
dan puasanya?” Maka ia menjawab, “bukan seperti ini yang diperintahkan Rosulullah
SAW.”(HR Muslim : 1819)
Sebagian orang memahami dari hadist ini bahwa Ibnu Abbas berpegang pada ru’yat penduduk
Madinah dan meninggalkan ru’yat penduduk Syam adalah sebagai dalil adanya ikhtilaf matholi’
atau perbedaan waktu dan tempat terbitnya bulan. Maka tidaklah penduduk suatu negri itu
berpuasa dengan ru’yat negeri lain. Begitu juga dengan Idul Fitri.
Padahal perkataan Ibnu Abbas, ”bukan seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah,” itu
bertentangan dengan hadist marfu’ dari Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ibnu Umar,
dan bahkan di dalam Muwattha’ Imam Malik disebutkan juga riwayat Ibnu Abbas. Artinya itu
bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh dirinya.
19
Meski perkataan Ibnu Abbas ra bisa dihukumi marfu’ akan tetapi di dalam hal ini tidak shorih
karena ada kemungkinan beliau hanya memahami dari perkataan Rasulullah (artinya bukan
meriwayatkan, tetapi menyimpulkan dan berijtihad).
Semoga Allah merahmati Imam Syaukani yang mengatakan, ”ketahuilah bahwa hujjah itu hanya
berada di hadist marfu’ (dari Rasulullah ) yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Bukan dari ijtihad
pribadi Ibnu Abbas yang difahami oleh orang. Dan ia melanjutkan ‘padahal perintah itu ada dari
Rasulullah yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya yaitu hadist janganlah
kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (beridul fitri) sampai
kalian melihat hilal pula, jika tertutup oleh kalian maka sempurnakanlah bilangan itu menjadi 30
hari.” (Nailul Author 4:230).
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut bahasa (etimologis) Shyam atau puasa berarti menahan diri dan menurut syara’ (ajaran
agama), puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkanya dari mulai terbit fajar
hingga terbenam matahari karena Allah SWT semata-mata dan disertai niat dan syarat tertentu “.
Adapun hikmah dari berpuasa yaitu :
a. Menumbuhkan nilai-nilai persamaan selaku hamba Allah, karena sama-sama
memberikan rasa lapar dan haus serta ketentuan-ketentuan lainnya.
b. Menumbuhkan rasa perikemanusian dan suka member, serta peduli terhadap orang-orang
yang tak mampu.
c. Memperkokoh sikap tabah dalam menghadapi cobaan dan godaan, karna dalam berpuasa
harus meninggalkan godaan yang dapat membatalkan puasa.
d. Menumbuhkan sikap amanah (dapat dipercaya), karna dapat mengetahui apakah
seseorang melakukan puasa atau tidak hanyalah dirinya sendiri.
e. Menumbuhkan sikap bersahabat dan menghindari pertengkaran selama berpuasa
seseorang tidak diperbolehkan saling bertengkar.
f. Menanamkam sikap jujur dan disiplin.
g. Mendidik jiwa agar dapat menguasai diri dari hawa nafsu, sehingga mudah menjalankan
kebaikan dan meninggalkan keburukan.
h. Meningkatkan rasa syukur atas nikmat dan karunia Allah.
i. Menjaga kesehatan jasmani.
22