Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“Pandangan Ulama Fiqih Tentang Metode Penentuan Awal


Ramadhan”

Untuk memenuhi mata kuliah Fiqih Muqarin

Dosen pengampu : Muhammad Izhar, Lc., M.H

Anggota :

Jibril Nashem Al Hamed 1921508024


Lalu Muhammad Ilham 1921508045

FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada Baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. yang kita nantikan
syafaatnya di hari kiamat.

Tidak lupa, penulis juga mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT .
atas limpahan nikmat sehatnya, baik berupa fisik maupun akal pikiran
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini
sebagai tugas kelompok dari mata kuliah “Fiqih Muqarin” yang diampu oleh
“Bapak Muhammad Izhar” dengan judul “Pandangan Ulama Fiqih Tentang
Metode Penentuan Awal Ramadhan”.

Penulis tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Dan masih banyak yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari para pembaca guna
menjadikan makalah ini lebih baik kedepannya.

Demikian, kami harap makalah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya.


Sekian dan terima kasih.

Samarinda, 21 November 2021

Hormat kami,

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
a. LATAR BELAKANG..........................................................................................1
b. RUMUSAN MASALAH......................................................................................2
c. TUJUAN MASALAH..........................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
a. Metode-Metode Yang Digunakan Dalam Penentuan Awal Waktu Ramadhan
.................................................................................................................................3
b. Pendapat Ulama-Ulama Fiqih Terhadap Metode Yang Digunakan Dalam
Penentuan Awal Waktu Ramadhan...........................................................................9
c. Pendapat Ulama-Ulama Indonesia Terhadap Metode-Metode Yang
Digunakan Dalam Penentuan Awal Waktu Ramadhan..........................................13
d. Mathla’ Hilal Menurut Ulama Mazhab Dan Ulama-Ulama Indonesia..........16
BAB III...........................................................................................................................20
PENUTUP.......................................................................................................................20
KESIMPULAN...........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG

Kita sebagai umat muslim dan juga umat muslim yang ada di seluruh
penjuru dunia bersepakat bahwa kalender Hijriyah adalah kalender umat
Islam. Yang mana pelopor dari terbentuknya kalender Hijriyah ini adalah
sahabat sekaligus khalifah umat muslim Sayyidina Umar bin Khattab.dan
yang menjadi acuan untuk dimulainya kalender Hijriyah berjalan adalah
hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah menuju Madinah. Dan kalender
Hijriyah ditetapkan pada tahun 17 H pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar
bin Khattab.

Dan setiap tahunnya di dalam perhitungan kalender Hijriyah ada 1 momen


yang mana apabila momen itu tiba, maka terjadi polemik yang belum juga
habis-habisnya, berbagai perbedaan pendapat hingga membuat umat Islam
sendiri menjadi bingung kepada siapa mereka akan berpegang atau kepada
siapa mereka mengikuti pendapat yang benar. Momen itu adalah penentuan
awal waktu bulan Ramadhan yang mana itu merupakan bulan yang sangat
ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Karena keistimewaannya yang salah
satunya perbuatan baik sekecil apapun akan bernilai pahala yang berlipat
gandakan dibulan ini.

Selama berjalannya waktu ini terdapat beberapa metode tentang penentuan


awal waktu Ramadhan. Yang mana belum juga ditemukan kesepakatan
berarti bahwa metode apa dan bagaimana yang bisa disepakati untuk
digunakan sebagai metode penentuan awal waktu Ramadhan. Maka dari itu,
terjadinya perbedaan-perbedaan terhadap metode penentuan awal waktu
Ramadhan ini tidak terlepas juga dari pandangan-pandangan para ulama fiqih
yang berperan dan juga menjadi salah satu penemu metode penentuan awal
waktu Ramadhan.

1
b. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang akan diselesaikan oleh penulis adalah :

1. Apa saja metode-metode yang digunakan dalam penentuan awal


waktu Ramadhan ?
2. Bagaimana pandangan ulama-ulama fiqih tentang metode-metode
penentuan awal waktu Ramadhan ?

c. TUJUAN MASALAH

Adapun tujuan masalah yang akan diselesaikan oleh penulis adalah :

1. Dapat mengetahui dan memahami metode-metode yang digunakan


dalam penentuan awal waktu Ramadhan.
2. Dapat mengetahui dan memahami pandangan ulama-ulama fiqih
tentang metode-metode penentuan awal waktu Ramadhan.

2
BAB II

PEMBAHASAN
a. Metode-Metode Yang Digunakan Dalam Penentuan Awal Waktu
Ramadhan

Adapun metode-metode yang digunakan dalam penentuan awal waktu


Ramadhan diantaranya adalah :

a) Rukyah

Pengertian rukyah menurut istilah adalah melihat hilal (bulan sabit atau
bulan muda yang terlihat pada awal bulan dalam sistem kalender Qamariyah) 1
pada saat matahari terbenam pada akhir bulan atau pada tanggal 29
Qamariyah. Untuk itu, jika rukyah sudah berhasil melihat hilal pada saat
matahari terbenam, maka pada hari besok itu sudah dihitung memaasuki
bulan baru, tetapi sebaliknya bila belum dapat dilihat, maka sejak matahari
terbenam itu sudah dihitung bulan baru, akan tetapi sebaliknya jika tidak
terlihat, maka malam itu dan hari berikutnya merupakan bulan yang berjalan
dengan digenapkan atau istikmal2. Dasar-dasar hukum yang menimbulkan
perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariyah adalah sebagai berikut :

ِ َ‫ت ِّمن ٱل ُْه َد ٰى وٱلْ ُفرق‬


ۚ ‫ان‬ ْ َ
ٍ ِ ‫ى ُأن ِز َل ِف ِيه ٱلْ ُق ْر َءا ُن ُه ًدى لِّلن‬
َ َ‫َّاس َو َبِّي ٰن‬ ٓ ‫ضا َن ٱلَّ ِذ‬
َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
ُ‫ص ْمه‬ َّ ‫ۖ فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم‬
ُ َ‫ٱلش ْه َر َفلْي‬
Terjemahnya : "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,

1
https;//www.suara.com/news/2021/04/11/125320/hilal-pengertian-fungsi-dan-jadwal-
pemantauan-hilal, diakses pada tanggal 21 November 2021, Pukul 14.30 WITA
2
Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah Di Indonesia (Telaah Sistem Penetapan Awal Bulan
Qamariyah)”, Jurnal Yudisia, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, H. 404

3
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..."3

Dan untuk memprediksi perhitungan jatuhnya tanggal satu atau awal bulan
Qamariyah maka diperlukan langkah-langkah, diantaranya mengetahui persis
di mana posisi matahari pada saat terbenam, kemudian langkah selanjutnya
mengetahui posisi bulan yang berada di atas ufuk saat matahari terbenam,
apakah sudah berkedudukan di atas ufuk (garis yang memisahkan bumi dan
langit. Atau dalam KBBI adalah kaki langit : cahaya merah mulai terbentang
di-barat)4, maka berarti sudah berada di sebelah timur garis-garis ufuk dan
sekaligus di sebelah timur matahari. Kedua hisab dalam awal bulan
Qamariyah yang harus dilakukan bukanlah menentukan tinggi bulan di atas
ufuk mar’i, tetapi yang penting adalah meyakini apakah pada pertukaran
siang ke malam, bulan sudah berkedudukan di sebelah timur matahari ataukah
belum.

Adapun hadis-hadis yang menjadi sebab terjadinya perbedaan dalam


penetapan awal waktu Ramadhan atau awal bulan Qamariyah adalah sebagai
berikut :

‫حد ثنا عبد الرمحن بن سالم اجلمحي حدثنا الربيع يعين ابن مسلم عن‬
‫حممد وهو ابن زايد عن ايب هريرة رضي ﷲعنه ان النيب صل ﷲعليه وسلم‬
‫قال صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غمي عليكم فاكملوا العدد‬
Artinya : “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Salam al-Jumahi, dari al-
Rabi’ (Ibn Muslim), dari Muhammad (Ibn Ziyad), dari Abu Hurairah r.a.
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Berpuasalah kamu karena melihat
tanggal (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat tanggal (hilal). Apabila
pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan
Sya’ban (menjadi 30 hari). H.R. Muslim5

3
https://tafsirweb.com/691-surat-al-baqarah-ayat-185.html, diakses pada tanggal 21 November
Pukul 16.00 WITA
4
https;//kbbi.web.id/ufuk, diakses pada tanggal 21 November 2021, Pukul 17.00 WITA
5
Muhammad Nurkhanif, “Nalar Kritis Hadits Rukyat Al-Hilal : Kajian Hermeneutika Dan
Dekonstruksi Hadis”, Jurnal Studi Hadis, Vol. 4, No. 2, 2018, H. 268

4
Dan di hadis lain yang disanadkan kepada Ibnu Umar dan diriwayatkan
oleh Imam Muslim :

‫عن ابن عمر رضي ﷲعنهما قال قال رسول ﷲصلى ﷲعليه وسلم امنا الشهر‬
‫تسع وعشرون فال تصوموا حىت تروه وال تفطروا حىت تروه فان غم‬
‫عليكم فاقدروا له‬
Artinya : “Diriayatkan dari Ibnu Umar r.a. Berkata Rasulullah saw
bersabda : satu bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum
melihat bulan, dan jangan berbuka sebelum melihatnya dan jika tertutup
awal maka perkirakanlah”. (H.R. Muslim)6
Adapun secara garis besar. Rukyatul hilal dapat dikategorikan menjadi 2,
yaitu :

1. Rukyah bil Fi’li

Rukyah bil Fi’li adalah upaya melihat hilal dengan mata (tanpa
menggunakan alat) yang dilakukan secara langsung atau dengan
menggunakan alat, pada saat akhir bulan Qamariyah (tanggal 29) ketika
matahari terbenam. Jika hilal berhasil dilihat, kemudian langkah berikutnya
mengetahui posisi bulan yang berada di atas ufuk atau belum. Apabila sudah
berkedudukan di atas ufuk, berarti sudah berada di sebelah timur garis-garis
ufuk dan sekaligus di sebelah timur matahari. Kedua hisab dalam awal bulan
Qamariyah yang harus dilakukan bukanlah menentukan tinggi bulan di atas
ufuk mar’i. Tetapi yang penting adalah meyakini apakah pada pertukaran
siang kepada malam, bulan sudah berkedudukan d sebelah timur matahari
ataukkah belum. Sebab penyusunan kalender harus diperhitungkan jauh
sebelumnya dan tidak tergantun kepada hasil rukyat7.

2. Rukyah al-Hilal bil Ilmi

6
Muhammad Nurkhanif, H. 268
7
Jaenal Arifin, H. 407

5
Rukyah al-hilal bil ilmi adalah rukyah yang mana dengan menggunakan
metode hisab. Dalam pengertian lain rukyah al-hilal bil ilmi ini adalah
melihat hilal tidak dengan menggunakan mata telanjang atau secara langsung,
akan tetapi dalamm perspektif ini adalah melihat hilal dengan mengetahui
lewat ilmu hisab dengan tanpa dibuktikan di dunia empiris. Maka untuk
melihat rukyah al-hilal bil ilmi ini secara gambling kita harus menelaah
kembali tentang metode hisab yang mempunyai ragam yang banyak dan
bervariasi tersebut8.

b) Hisab

Hisab secara etimologi adalah hitungan, arithmetic (ilmu hitung),


reckoning (perhitungan), estimation (penilaian) dan appraisal (penaksiran).
Adapun definisi hisab menurut istilah adalah suatu ilmu pengetahuan yang
membahas tentang seluk beluk perhitungan. Sedangkan hisab menurut istilah
ulama hisab atau para ahli ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang perhitungan benda-benda langit pada orbitnya untuk
diketahui kedudukannya antara satu dengan lainnya supaya diketahui waktu-
waktu yang ada di bumi. Adapun nama lain dari ilmu hisab ini ada beraneka
ragam, yaitu ilmu astronomi, ilmu falak karena ia adalah ilmu yang
mempelajari tentang benda-benda langit. Ia disebut juga ilmu rashd yang
artinya pengamatan, karena ilmu ini erat kaitannya dengan pengamatan. Dan
juga ia disebut ilmu miqat karena ilmu ini juga mebahas tentang batas-batas
waktu9. Adapun hisab ini terbagi menjadi dua yaitu :

1. Hisab ‘Urfi

Hisab ‘Urfi adalah metode perhitungan kalender Hijriyah berdasarkan


peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara
konvensional. Acuan untuk menyusun kalender dengan hisab ‘urfi ini adalah
sejak ditetapkannya tahun Hijriyah oleh Khalifah Umar bin Khattab pada
tahun 17 H. Sistem yang dipakai hisab ‘urfi ini hampir sama dengan sistem
8
Jaenal Arifin, H. 409
9
jaenal Arifin, H. 409-410

6
kalender Masehi. Jumlah bilangan hari tiap-tiap bulannya adalah tetap,
kecuali bulan-bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih
panjang satu hari. Sistem perhitungan dengan hisab ‘urfi ini tidak dapat
digunakan untuk menentukan awal bulan Hijriyah dalam kaitannya dengan
pelaksanaan ibadah seperti penentuan awal dan akhir Ramadhan. Hal ini
dikarenakan menurut hisab ‘urfi, umur bulan Sya’ban selalu 29 hari dan umur
bulan Ramadhan selalu 30 hari10.

2. Hisab Haqiqi

Hisab haqiqi adalah sistem hisab yang berlandaskan pada peredaran bulan
dan bumi yang sebenarnya. Dalam sistem ini, umur tiap bulan tidaklah selalu
sama ataupun konsisten, dan tidak beraturan. Umur bulan tergantung kepada
posisi hilal setiap awal bulan. Oleh karena itu, bisa jadi dua bulan secara
berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari. Ataupun juga bisa jadi umur
bulannya bergantian, seperti pada sistem hisab ‘urfi. Dalam prakteknya,
metode hisab haqiqi ini menggunakan data-data astronomi tentang gerakan
bulan dan bumi serta kebanyakan menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur
segitiga bola11. Kemudian sistem hisab haqiqi ini diklasifikasikan lagi
menjadi 3 bagian, diantaranya :

1) Hisab Haqiqi Taqribi

Hisab haqiqi taqribi ini adalah sistem hisab yang berlandaskan pada data-
data yang sudah disusun oleh Ulugh Beik al-Samarqhandi. Atau dikenal Zeij
Ulugh Beik. Observasi dari penelitian ini menggunakan teori Geosentris yaitu
teori yang memiliki asumsi bahwa bumi adalah pusat peredaran benda-benda
langit. Adapun kelebihan yang adaa pada teori ini adalah data-data dan tabel-
tabelnya dapat digunakan secara terus-menerus tidak mengalami perubahan.
Kemudian kitab-kitab yang menggunakan sistem hisab haqiqi taqribi ini

10
Shofwatul Aini, “Disparitas Antara Hisab Dan Rukyat : Akar Perbedaan Dan Kompleksitas
Percabangannya”, Jurnal Muslim Heritage, Vol. 2, No. 1, Mei-Oktober 2017, H. 35
11
Shofwatul Aini, H. 36

7
diantaranya Tadzkirah al-Ikhwan, Qawaid al-Falakiyah, Risalah al-
Qomarain, dan Sullam al-Nayirain.

2) Hisab Haqiqi Tahqiqi

Pengertian sistem perhitungan hisab ini didasarkan pada data-data


astronomi yang sudah disusun oleh Syeikh Husein Zaid Alauddin Ibnu Syatir.
Pengamatan beliau didasarkan pada teori Nicolas Copernicus, yaitu teori
Heliosentris yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat peredaran benda-
benda langit. Perhitungannya dengan menggunakan rumus Spherical
Trigonometri (rumus ilmu ukur segitiga bola)dengan koreksi data gerakan
bulan maupun matahari yang dilakukan dengan teliti dan membutuhkan
bantuan alat hitung eletronik berupa kalkulator, komputer, dan daftar-daftar
logaritma. Adapun kitab-kitab yang menggunakan sistem ini diantaranya al-
Khalashah al-Wafiyah, dan Hisab Haqiqi Nur Anwar.

3) Hisab Haqiqi Tathqiqi (Kontemporer)

Di dalam perhitungan sistem hisab tathqiqi ini menggunakan data-data


astronomi modern yang merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi
tahqiqi yang mana merupakan penggabungan dari beberapa sistem ilmu
astronomi modern, yaitu dengan beberapa cara seperti menggunakan,
mengembangkan, dan memperluas, serta menambahkan koreksi gerak bulan
dan matahari dengan Spherical Trigonometri, sehingga menghasilkan
perolehan data yang sangat teliti dan akurat. Kemudian sistem ini memiliki
karakteristik yang dinamis karena menggunakan GPS untuk mengetahui
koordinat lintang dan bujur. Adapun buku-buku yang berpedoman pada
sistem hisab tathqiqi ini diantaranya Newcomb, Almanak Nautika, The
American Ephemeris, dan Jean Meuus12.

b. Pendapat Ulama-Ulama Fiqih Terhadap Metode Yang Digunakan


Dalam Penentuan Awal Waktu Ramadhan

12
Jaenal Arifin, H. 411-412

8
Secara umum, ulama mazhab sepakat bahwa penentuan awal bulan
Qamariyah ialah menggunakan metode rukyatul hilal dan apabila hal itu tidak
berhasil melakukan rukyatul hilal. Maka dilakukanlah istikmal atau
penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari. Namun para ulama mazhab
juga mempunyai perbedaan pendapat yang berkutat pada persyaratan
diterimanya rukyat. Untuk itu, akan dipaparkan beberapa pandangan atau
pendapat para ulama mazhab tentang penentuan awal bulan Qamariyah atau
Hijriyah :

1. Mazhab Hanafi

Dalam menentukan metode penetapan awal bulan terdapat sebuah


keterangan yang artinya : “Wajib bagi seseorang untuk mencari (melihat)
hilal pada hari ke 29 bulan Sya’ban saat Ghurub (matahari terbenam), maka
jika mereka melihat hilal maka mereka berpuasa, dan jika terhalang
mendung maka mereka menyempurnakannya menjadi 30”. Dan juga ada
keterangan lain dari mazhab Hanafi di didapat dari sebuah kutipan yang
artinya : “Penjelasan untuk mengetahui waktu bulan Ramadhan, maka jika
langit cerah dapat diketahui dengan rukyatul hilal, dan jika langit mendung
dapat diketahui dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari”.

Dan dari dua keterangan di atas, bisa ditangkap bahwa dalam penetapan
awal bulan Ramadhan. Ulama Hanafiyah berpegang pada dua hal yaitu
rukyatul hilal Ramadhan pada saat matahari terbenam pada tanggal 29
Sya’ban, jika hilal terlihat, maka keesokan harinya dilakukan puasa. Tetapi,
jika hilal tidak terlihat, atau terhalang oleh mendung, maka bulan Sya’ban
digenapkan menjadi 30 hari (istikmal).

Dan dalam persaksian melihat hilal, ulama Hanafiyah tidak memberikan


syarat yang ketat, persaksian satu orang yang adil, baik itu perempuan atau
laki-laki, mau ia merdeka atau hamba sahaya tetap diterima oleh kalangan
ulama Hanafiyah. Kemudian, metode hisab dalam kalangan ulama Hanafiyah
mereka melarang penentuan awal waktu Ramadhan menggunakan metode

9
hisab, dan tidak menjadikannya sebagai kesepakatan (ijma’), dan untuk ahli
hisabnya sendiri, ia tidak boleh menggunakan metode hisab sebagai penentu
awal Ramadhan13.

2. Mazhab Maliki

Dalam menentukan metode penentuan awal bulan para kalangan ulama


Maliki memberika keterangan yang artinya : “Ditetapkan bulan Ramadhan
dengan menggenapkan Sya’ban atau dengan rukyat dua orang yang adil”.
Kemudian dalam keterangan lain yang diterangkan oleh kalangan ulama
Maliki yang artinya : “Menurut jumhur ahli ilmu, bahwasannya tidak
berpuasa di bulan Ramadhan kecuali atas dasar keyakinan telah selesainya
bulan Sya’ban. Keyakinan itu didasarkan atas rukyatul hilal atau
penyempurnaan 30 hari pada bulan Sya’ban, dan begitu pula selesainya
bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan keyakinan yang sama”.

Singkatnya, ulama Malikiyah juga memiliki pendapat yang sama dengan


ulama Hanafiyah, yang menetapkan pada dua hal, yaitu rukyatul hilal dan
istikmal. Kemudian, selain dari kedua metode tersebut ulama Malikiyah juga
memberikan pendapat tentang penggunaan metode hisab. Mereka melarang
metode hisab untuk dijadikan penentu masuknya awal bulan.

Adapun penetapan syarat rukyatul hilal dari kalangan ulama Malikiyah,


mereka memiliki syarat yang lebih ketat dibandingkan kalangan ulama
Hanafiyah dalam persaksian melihat hilal. Mereka mensyaratkan rukyatul
hilal oleh dua orang Islam, laki-laki yang adil dan merdeka, dan tidak
diperbolehkan persaksian rukyatul hilal sekumpulan wanita atau hamba
sahaya atau kafir mukattab, bahkan juga tidak diterima persaksian seorang
laki-laki meskipun ia adil.

3. Mazhab Syafi’i

13
Muhammad Faishol Amin, “Metode Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Empat
Mazhab”, Jurnal Hayula, Vol. 2, No. 1, Januari 2018, H. 21-23

10
Dalam menentukan penetapan metode awal bulan bagi kalangan ulama
Syafi’iyah terdapat dua keterangan yang artinya : “Dan apabila seseorang
berpuasa pada bulan Ramadhan berdasarkan rukyat atau berdasarkan
persaksian 2 orang yang adil atas rukyat, kemudian berpuasa pada hari ke
30, kemudian hilal terhalang pada (tanggal 30) maka seseorang tersebut
berbuka dan tidak membutuhkan persaksian. Dan apabila seseorang
berpuasa pada hari ke 29. Kemudian hilal terhalang, maka seseorang
tersebut tidak berbuka sampai sempurnanya bulan 30 atau sampai ada 2
orang saksi adil yang bersaksi”. Dan juga dari keterangan lain yang
dikemukakan kalangan ulama Syafi’iyah yang artinya : “Apabila satu orang
atau dua orang bersaksi dengan rukyatul hilal sementara berdasarkan hasil
hisab hilal tidak mungkin dirukyat. Menurut Subki, tidak diterima persaksian
ini disebabkan hisab itu bersifat qat’i (pasti) dan rukyat itu bersifat zanni
(dugaan), dan zanni tidak dapat mengalahkan qat’i.

Dari dua keterangan di atas, memiliki sedikit perbedaan dari kalangan


ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Persamaannya terdapat pada keterangan
pertama bahwa metode yang digunakan adalah rukyatul hilal dan melakukan
istimak apabila terjadi mendung yang menghalangi hilal. Perbedaannya
terdapa pada keterangan kedua yang terdapat dalam kitab kalangan ulama
Syafi’iyah, yakni jika ada rukyatul hilal berhasil dilakukan, sementara secara
hisab tidak ada kemungkinan hilal dapat dilihat, maka keputusan hisab yang
lebih diutamakan dan rukyat ditolak. Karena hisab bersifat pasti sedangkan
rukyat bersifat dugaan. Dan hal yang pasti tidak dapat dikalahkan dengan hal
yang tidak pasti.

Namun, keterangan kedua itu merupakan pendapat dari sebagian kecil


ulama Syafi;iyah. Akan tetapi jumhur ulama Syafi’iyah melarang dipakainya
hisab sebagai penentu awal bulan. Dan ada juga satu pendapat yang berupaya
menjembatani kedua metode tersebut, dalam hal ini al-Qalyubi mengartikan
rukyat dengan imkanur rukyat (posisi hilal mungkin dapat dilihat). Menurut
al-Qalyubi, awal bulan dapat ditetapkan pada hisab qat’i, sehingga kaitannya

11
dengan rukyat, hisab harus berdasar pada 3 keadaan, yakni : pasti tidak
mungkin dilihat (istilahah al-rukyah), mungkin dapat dilihat (imkanur
rukyat), dan pasti dapat dilihat (al-qat’u bil-rukyah).

Adapun syarat yang ditentukan oleh kalangan ulama Syafi’iyah dalam


persaksian rukyatul hilal sama seperti ulama Hanafiyah, ia tidak terlalu ketat.
Tidak diharuskan dua orang laki-laki yang adil, dan merdeka. Boleh juga
yang memberi kabar itu anak-anak atau hamba sahaya atau perempuan atau
fasiq. Keterangan tersebut terdapat dalam sharah kitab Raudh al-Thalib.

4. Mazhab Hambali

Dalam menentukan metode penetapan awal bulan oleh ulama Hambali,


tedapat keterangan yang artinya : “Diwajibkan puasa Ramadhan bagi setiap
muslim yang baligh, berakal, dan mampu untuk berpuasa, dan diperintahkan
untuk berpuasa bagi anak kecil apabila dia kuat untuk melaksanakannya.
Dan diwajibkan puasa Ramadhan atas 3 hal : menyempurnakan bulan
Sya’ban menjadi 30 hari, rukyah hilal Ramadhan, dan ketika ada mendung
atau awan maka pada malam ke 30 dipindahkan kepada yang lebih kecil dari
30 (dipersempit menjadi 29 hari). Dan terdapat pada keterangan lain juga
oleh kalangan ulama Hanabilah yang artinya : “(Jumlah) bulan adalah sekian
dan sekian : maknanya adalah sesungguhnyya keyakinan itu berada pada
hari ke 29. Dan keraguan itu pada hari ke 30. Dan asalnya sebuah bulan itu
adalah 29 hari, kemudian sempurnanya bulan adalah dengan 29 hari, dan
hari ke 30 adalah keraguan. Dan dikatakan : maka wajib bagi seseorang
berpuasa pada hari ke 29”.

Ada sedikit perbedaan metode yang ditetapkan oleh ulama kalangan


Hanabilah, mereka berpendapat bahwa penetapan awal bulan didasarkan pada
3 hal : Pertama, rukyatul hilal, jika rukyat tidak berhasil, maka : Kedua,
dilihat terang atau tidaknya cuaca, jika terang maka hari digenapkan 30 hari,
namun jika mendung maka : Ketiga, dipersempit menjadi 29 hari. meskipun
memiliki perbedaan konsep dalam metode penentuan awal bulan dan syarat

12
rukyatul hilal. Ulama Hanabilah mempunyai pendapat yang sama dengan
jumhur ulama, yakni menolak penentuan awal bulan dengan metode hisab.

Untuk peryaratan rukyatul hilal yang ditetapkan oleh ulana Hanabilah itu
terdapat 2 kondisi, yakni rukyatul hilal bulan Ramadhan hanya membutuhkan
1 saksi, dan rukyatul hilal syawal membutuhkan 2 saksi14.

c. Pendapat Ulama-Ulama Indonesia Terhadap Metode-Metode


Yang Digunakan Dalam Penentuan Awal Waktu Ramadhan

Beberapa pendapat ulama-ulama di Indonesia terkait metode yang


digunakan dalam penentuan awal waktu Ramadhan ialah sebagai berikut :

1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Majelis Ulama Indonesia dalam keputusan Ijtima’ Komisi Fatwa se-


Indonesia ke-1 Tahun 2003, telah menetapkan metode penetapan awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sebagai berikut :

1) Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan


berdasarkan metode rukyat dan hisab
2) Seluruh umat Islam di Indonesia wajib mentaati ketetapan pemerintah
Republik Indonesia tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah.
3) Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah Menteri
Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI),
ormas-ormas Islam, dan instansi terkait15.

2. Nahdlatul Ulama (NU)

Dasar-dasar penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah bagi


kalangan NU tercantum dalam Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

14
Muhammad Faishol Anwar, H. 23-28
15
Fuad Thohari, “Fatwa MUI Tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, Dan Dzul Al-Hijjah
(Upaya Rekonstruksi Metodologi)”, Jurnal Al-‘Adalah, Vol. X, No. 2, Juli 2011, H. 184

13
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rukyat bil Fi’li Nomor :
311/A.II.04.d/I/1994 Pasal 1 :

a) Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU tetap berpegang kepada putusan


Muktamar NU ke 27 tahun 1405 H/tahun 1984 M di Situbondo dan
Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/tahun 1987 M.
Bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah wajib
didasarkan atas rukyatul hilal bil fi’li atau istikmal. Sedangkan
kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan
rukyat.
b) Bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah yang
berlaku mum bagi seluruh kaum muslimin di Indonesia dilakukan
oleh Pemerintah (Itsbatul Hakim). Oleh sebab itu agar diupayakan
semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yag disaksikan
oleh petugas pemerintah dalam hal ini yang dimaksud Dep. Agama.
c) Bila hal ini tidak dimungkinkan karena satu atau lain hal, maka agar
supaya Itsbatul Hakim dilakukan atas dasar Hasil Rukyat atau
istikmal, maka hasil rukyat yang telah dilakukan oleh kalangan NU
supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada pemerintah dalam hal ini
Dep. Agama RI untuk diistbat. Pelaporannya lewat PA (Pengadilan
Agama) setempat atau langsung kepad Dep. Agama Pusat (Badan
Hisab dan Rukyat).
d) Apabila Pemerintah dalam hal ini Dep. Agama menolak untuk
melakukan itsbat atau istikmal, maka hasil rukyat yang telah
dilakukan oleh kalangan NU tersebut menjadi wewenang
PBNU/Lajnah Falakiyah untuk menginformasikan kepada segenap
warganya di seluruh penjuru tanah air, melalui jaringan organisasi
maupun saluran informasi yang ada.
e) Dalam melaksanakan tugas penyebaran informasi hasil-hasil rukyat ke
daerah-daerah, PBNU/PWNU/PCNU/MWC-NU menekankan
perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana, santun, dan simpatik.

14
f) Rukyat bil fi’li dengan menggunakan alat (nadzarah) itu diizinkan
baik dalam keadaan cuaca cerah maupun dalam keadaan ghaym,
kecuali bila posisi hilal berada di bawah ufuk menurut kesepakatan
para ahli hisab16.

3. Muhammadiyah

Di beberapa kalangan, termasuk Muhammadiyah, beralih kepada


penggunaan mmetode hisan dan tidak lagi menggunakan metode rukyat,
mereka beralasan :

1) Rukyat itu sendiri bukan termasuk maqasid as-syar’iah dari nash-nash


yang memerintahkan melakukan pengintaian hilal. Rukyat hanyalah
wasilah (jalan), dan satu-satunya jalan/sarana yang tersedia di zaman
Rasulullah saw, untuk menentukan awal bulan Qamaiyah khususnya
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
2) Rukyat lebih lanjut sebagaimana telah ditegaskan oleh Muhammad
Rasyid Ridha dan Mustfa az-Zarqa ia bukanlah ibadah, tetapi hanya
sarana yang tersedia padda zaman itu dan karena hanya sarana, ia
dapat mengalami perubahan sepanjang zaman dan dapat ditinggalkan
apabila ia tidak lagi mampu memenuhi tuntutan zaman.
3) Penggunaan hisab sebagai alternatif dari rukyat untuk menentukan
masuknya awal bulan Qamariyah, khusunya pada bulan-bulan ibadah,
lebih mudah, murah biaya, dapat memprediksi tanggal jauh ke depan,
lebih memberi kepastian, dapat menyediakan kalender yang akurat,
dan dapat menyatukan kalender bahkan untuk seluruh dunia, serta
satu-satunya cara untuk menghindari terjadinya perbedaan jatuhnya
hari Arafah antara Mekah dan tempat-tempat lain yang jauh.
4) Hisab memiliki landasan al-Qur’an dan hadis, salah satunya terdapat
pada ayat al qur’an :

16
https://aswajanucenterjatim.com/metode-penentuan-awal-bulan-menurut-nahdlatul-ulama.html ,
diakses pada tanggal 22 November Pukul 10.12 WITA

15
‫ورا َوقَ َّد َرهۥُ َمنَا ِز َل لَِت ْعلَ ُمو ۟ا َع َد َد‬
ً ُ‫ٓاء َوٱلْ َق َم َر ن‬
ِ ‫ٱلشم‬
ً َ‫س ضي‬
ِ َّ
َ ْ َّ ‫ُه َو ٱلذى َج َع َل‬
‫ت لَِق ْوٍم‬ ِ ‫ٱلء ٰاي‬
َ َ ْ ‫ص ُل‬ ِّ ‫ْح ِّق ۚ ُي َف‬ َ ِ‫اب ۚ َما َخلَ َق ٱللَّهُ َٰذل‬
َ ‫ك ِإاَّل بِٱل‬ َ ‫س‬
ِ
َ ‫ين َوٱلْح‬
ِ ِّ
َ ‫ٱلسن‬
‫َي ْعلَ ُمو َن‬
Terjemahnya : "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya) kepada orang-orang yang mengetahui"17.

dalam ayat ini menunjukkan bahwa bulan dan matahari memiliki


sistem peredaran yang ditetapkan oleh Sang Pencipta sedemikian rupa
sehingga peredaran tersebut dapat dihitung. Penegasan bahwa
peredaran matahari dan bulan dapat dihitung bukanlah sebuah
informasi belaka. Melainkan itu adalah sebuah isyarat bahwa kita
harus bisa memanfaatkan penentuan bilangan tahun dan perhitungan
waktu secara umum18.

d. Mathla’ Hilal Menurut Ulama Mazhab Dan Ulama-Ulama


Indonesia

Mathla’ dalam Studi Kalender Islam adalah batas geografis keberlakuan


rukyat. Secara bahasa mathla’ adalah tempat terbitnya benda-benda langit.
Adapun mathla’ berasal dari bahasa Arab, yaitu al-mathla’ atau al-mathli’.
Asal kata mathla’ diambil dari kata tha’a’la-a’ yang bermakna tempat terbit
atau tempat muncul. Kemudian mathla’ dalam istilah ilmu falak adalah batas
daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya Hilal, batas geografis keberlakuan
hasil rukyat atau tentang terbitnya hilal untuk menentukan awal dan akhir

17
https://tafsirweb.com/3279-surat-yunus-ayat-5.html, diakses pada tanggal 22 November Pukul
14.15 WITA
18
Jaenal Arifin, “Dialektika Hubungan Ilmu Falak Dan Penentuan Awal Ramadhan, Syawal,
Dzhulhijjah Di Indonesia (Sinergi Antara Independensi Ilmuwan Dan Otoritas Negara)”, Jurnal
Penelitian, Vol. 13, No. 1, Februari 2019, H. 54-56

16
bulan Qamariyah. Dari sini dapat dibagi 2 pengertian mathla’ yakni mathla’
global dan mathla’ lokal. Mathla’ lokal adalah setiap negeri atau minimal
negeri-negeri yang memiliki kesejajaran melakukan rukyat sendiri hanya
berlaku untuk wilayah tersebut. Sedangkan mathla’ global adalah seluruh
umat muslim diseluruh dunia sudah layak dijadikan landasan untuk
pelaksanaan ritual terkait dengan rukyat19.

Adapun pandangan atau pendapat imam mazhab dan fatwa ulama-ulama


Indonesia terkait pemberlakuan mathla’ adalah sebagai berikut :

1. Mathla’ menurut Imam Hanafi

Mathla’ menurut imam Hanafi adalah apabila penduduk wilayah barat


melaksanakan puasa karena sudah melihat hilal, maka penduduk di wilayah
timur pun diwajibkan melaksanakan puasa. Hal ini berlaku apabila penduduk
yang berada di wilayah timur telah menerima dan mengetahui informasi
munculnya hilal secara pasti dengan adanya laporan dari dua orang saksi
penduduk wilayah barat.

Abdurrahman al-Jaziri telah menjelaskan di dalam kitabnya yang berjudul


Al-Fiqhu ‘Ala Madzhabil Arba’ah telah dijelaskan bahwa apabila sudah
ditetapkan rukyat di suatu wilayah, maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh
wilayah. Dan menurut Hasan Ayyub di dalam kitab yang dikarang beliau
dengan judul Fiqhul ‘Ibadaat Biadillatiha fil Islam juga memberikan
penjelasan bahwa apabila suatu negara telah melihat hilal Ramadhan, maka
seluruh negara Islam diwajibkan ikut melaksanakan puasa.

2. Mathla’ menurut Imam Maliki

Menurut mazhab imam Maliki mereka berpendapat apabila hilal terlihat,


maka puasa wajib dilaksanakan di seluruh negeri baik yang letaknya jauh
maupun dekat, jarak qashar sholat dan perbedaan mathla’ tidak termasuk
dalam hitungan. Dalam hal ini puasa wajib dilaksanakan oleh orang-orang

19
Putri Aulia Oktavia, “Penentuan Mathla’ Hilal (Tempat Terbit Atau Tempat Munculnya), Jurnal
Al-Falaq, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, H. 90-91

17
yang telah menerima berita tentang munculnya hilal dan berlaku apabila
kemunculan hilal tersebut terbukti dengan adanya dua orang saksi atau lebih
yang adil.

Mathla’ menurut imam Maliki dalam kitab Hasyisyah Ad-Dasuqi ‘Alas


Syahril Kabir juga menjelaskan, jika rukyat di suatu negeri berlaku untuk
seluruh umat muslim di negeri-negeri yang lain. Baik negeri tersebut jauh
dari negeri yang melakukan rukyat maupun negeri yang dekat dengan negeri
yang melakukan rukyat.

3. Mathla’ menurut Imam Syafi’i

Para ulama Syafi’iyah memiliki pendapat bahwa apabila rukyatul hilal


telah ditetapkan di suatu wilayah, maka wilayah yang dekat dengan wilayah
yang sudah melakukan rukyatul hilal wajib melaksanakan puasa. Dengan
catatan wilayah yang dekat tersebut memiliki garis geografis yang sama
dengan wilayah yang sudah melakukan rukyatul hilal dengan batasan jarak 24
farsakh (133 km). Sedangkan wilayh yang jauh dari wilayah yang ditetapkan
rukyatul hilal tidak diwajibkan berpuasa karena terdapat perbedaan garis
geografis (mathla’)

Pendapat imam Syafi’i ini juga dikuatkan dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh
Madzhab al-Imam Asy-Syafi’i karya Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid
al-Ghazali yang memberikan penjelasan apabila terlihat hilal di suatu tempat,
maka tidak diharuskan berpuasa bagi tempat yang lain serta ukuran jauh
dekatnya hilal dengan tempat-tempat yang lain dan ukuran jauh dekatnya hilal
dengan tempat-tempat lain yakni dengan jarak diperbolehkannya qhasar
sholat.

4. Mathla’ menurut Imam Hambali

Menurut pandangan dari mazhab imam Hambali terhadap mathla’ sama


seperti pendapat dari mazhab imam Hanafi dan imam Maliki, yakni apabila
suatu wilayah atau tempat telah melakukan rukyatul hilal maka wilayah yang
lainnya baik yang jaraknya dekat ataupun jauh wajib mengikutinya. Ibnu

18
Qudamah dalam kitab karangannya Al-Mughni menjelaskan bahwasannya
umat muslim sepakat tentang wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan setelah
ditetapkannya rukyatul hilal berdasarkan kesaksian orang-orang yang
terpercaya. Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh umat muslim di penjuru
dunia.

5. Mathla menurut Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 2


Tahun 2004

Fatwa MUI mengenai mathla’ hilal adalah bahwa hasil rukyat dari daerah
yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang
mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman untuk Menteri
Agama RI. Hal ini memberikan pengertian bahwa mathla’ yang di mana pun
ada kesaksian hilal yang mungkin dirukyat dalam wilayah hukum Indonesia,
maka kesaksian tersebut bisa diterima. Dan juga kesaksian lain di wilayah
yang negaranya di sekitar Indonesia yang juga sudah disepakati satu mathla,
yaitu negara MABIMS (Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, dan
Singapura) bisa diterima kesaksiannya. Fatwa-fatwa tersebut ditujukan untuk
keseragaman dalam penetapan awal bulan Qamariyah, sehingga bisa
menciptakan kerukunan dan kesatuan bagi umat Islam20.

20
Putri Aulia Oktavia, H. 96-100

19
BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN
Metode-metode yang digunakan dalam penentuan awal waktu Ramadhan
selama ini secara garis besar ada 2 yaitu rukyah dan hisab. Rukyah sendiri
adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam pada akhir bulan atau pada
tanggal 29 Qamariyah. Dan rukyah sendiri dikategorikan kepada 2 bagian
yaitu rukyah bil fi’li dan rukyatul hilal bil hilmi. Sedangkan hisab adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang perhitungan benda-benda langit pada
orbitnya untuk diketahui kedudukannya antara satu dengan lainnya supaya
diketahui waktu-waktu yang ada di bumi. Hisab sendiri terbagi menjadi 2
bagian, yakni hisab ‘urfi dan hisab haqiqi. Hisab haqiqi senidir
diklasifikasikan lagi menjadi 3 yaitu hisab haqiqi tahqiqi, hisab taqribi, dan
hisab tathqiqi (kontemporer). Adapun metode penentuan awal waktu
Ramadhan yang disepakati oleh ulama mazhab adalah metode rukyatul hilal
dan mathla’nya mereka sepakat menggunakan mathla’ global, terkecuali ada
pendapat dari beberapa ulama kalangan Syafi’iyah ada yang berpendapat
menggunakan mathla’ lokal. Kemudian MUI menyepakati bahwa metode
yang digunakan adalah rukyat dan hisab. Dan NU menyepakati bahwa metode
yang digunakan adalah rukyatul hilal bil fi’li atau istikmal, sedangkan
Muhammadiyah menggunakan metode hisab karena memberikan kepastian.
Adapun mathla’ yang digunakan oleh MUI adalah mathla’ lokal karena fatwa
MUI mengenai mathla’ hilal adalah bahwa hasil rukyat dari daerah yang
memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang
mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman untuk Menteri
Agama RI.

20
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Shofwatul. 2017. “Disparitas Antara Hisab Dan Rukyat : Akar
Perbedaan Dan Kompleksitas Percabangannya”. Jurnal Muslim Heritage.
Vol. 2, No. 1,

Amin, Faishol Muhammad. 2018. “Metode Penentuan Awal Bulan


Kamariah Perspektif Empat Mazhab”. Jurnal Hayula. Vol. 2, No. 1,

Arifin, Jaenal. 2019. “Dialektika Hubungan Ilmu Falak Dan Penentuan


Awal Ramadhan, Syawal, Dzhulhijjah Di Indonesia (Sinergi Antara
Independensi Ilmuwan Dan Otoritas Negara)”. Jurnal Penelitian. Vol. 13, No.
1,

Arifin, Jaenal. 2019. “Dialektika Hubungan Ilmu Falak Dan Penentuan


Awal Ramadhan, Syawal, Dzhulhijjah Di Indonesia (Sinergi Antara
Independensi Ilmuwan Dan Otoritas Negara)”. Jurnal Penelitian. Vol. 13, No.
1,

Arifin, Jaenal. 2014. “Fiqih Hisab Rukyah Di Indonesia (Telaah Sistem


Penetapan Awal Bulan Qamariyah)”. Jurnal Yudisia. Vol. 5, No. 2,

Nurkhanif, Muhammad. 2018. “Nalar Kritis Hadits Rukyat Al-Hilal :


Kajian Hermeneutika Dan Dekonstruksi Hadis”. Jurnal Studi Hadis. Vol. 4,
No. 2,

Oktavia, Aulia Putri. 2020. “Penentuan Mathla’ Hilal (Tempat Terbit


Atau Tempat Munculnya)”. Jurnal Al-Falaq. Vol. 2, No. 1,

Thohari, Fuad. 2011. “Fatwa MUI Tentang Penentuan Awal Ramadhan,


Syawal, Dan Dzul Al-Hijjah (Upaya Rekonstruksi Metodologi)”. Jurnal
Al-‘Adalah. Vol. X, No. 2,

https;//www.suara.com/news/2021/04/11/125320/hilal-pengertian-fungsi-
dan-jadwal-pemantauan-hilal,

21
https://aswajanucenterjatim.com/metode-penentuan-awal-bulan-menurut-
nahdlatul-ulama.html,

https://tafsirweb.com/3279-surat-yunus-ayat-5.html,

https://tafsirweb.com/691-surat-al-baqarah-ayat-185.html,

https;//kbbi.web.id/ufuk.

22

Anda mungkin juga menyukai