Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PROBLEM PUASA

(Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Masailul Fiqhiyyah)

Dosen Pengampu

Dr Mu’amar , M.Ag.

Disusun Oleh :

Anis Amalia

NIM : 5200027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

PEMALANG

2023

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
semua nikmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah dengan baik
dan tepat pada waktunya. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Pak
Mu’amar , M.Ag. selaku dosen pengampu. Makalah ini saya susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Masailul Fiqhiyyah.

Dalam penulisan makalah ini, saya menyadari masih banyak terdapat


kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi Masailul Fiqhiyyah
karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya. Walaupun demikian,
inilah usaha maksimal saya selaku penyusun.

Saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak serta dapat menambah pengetahuan.

Cirebon, 04 November 2023

Anis Amalia

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

A. Latar Belakang...................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.............................................................................................5

C. Tujuan Penulisan...............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6

A. Pengertian Sidang Isbat.......................................................................................6

B. Metode Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal...........................................11

C. Perbedaan Daerah Normal dan Abnormal......................................................13

D. Ketentuan Melakukan Sholat dan Puasa didaerah Abnormal.......................15

BAB III PENUTUP..............................................................................................16

A. Kesimpulan.........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sidang Itsbat adalah proses resmi dalam Islam yang digunakan untuk
menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, serta untuk mengatur tata
cara beribadah seperti Shalat dan Puasa di daerah di mana perhitungan
waktu siang dan malam tidak normal atau tidak seimbang, seperti wilayah
kutub utara atau selatan. Sidang Itsbat adalah komite yang terdiri dari para
ulama dan cendekiawan agama yang bertugas memonitor dan
mengumumkan tanggal-tanggal penting dalam kalender Islam.

Metode penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal serta tata cara ibadah
seperti Shalat dan Puasa di daerah yang waktunya tidak normal melibatkan
pengamatan visual hilal (sabit) atau penggunaan perhitungan astronomi.
Beberapa metode yang umum digunakan termasuk pengamatan Hilal,
pengamatan astronomi dan metode global (metode yang mengikuti
pengumuman resmi dari lembaga atau otoritas Islam global).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sidang istbat ?
2. Metode apa saja yang digunakan dalam penentuan awal Ramadhan dan
Syawal?
3. Apa perbedaan daerah normal dan abnormal?
4. Bagaimana ketentuan melakukan sholat dan puasa di daerah
abnormal ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Sidang Isbat
2. Mengetahui metode apa saya yang digunakan dalam penentuan awal
Ramadhan dan Syawal
3. Mengetahui perbedaan Daerah Normal dan Abnormal
4. Mengetahui ketentuan melakukan sholat dan puasa di daerah normal
dan abnormal

4
5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sidang Isbat


Sidang isbat adalah penentuan untuk menentukan awal bulan
dalam kalender hijriyah.
Dalam sejarah pelaksanaan sidang isbat terdokumentasi dengan
baik melalui Surat Keputusan Menteri Agama RI. Sidang isbat
(penetapan) awal Ramadhan dan Syawal biasa dipimpin langsung oleh
Menteri Agama secara resmi. Sidang isbat sendiri sudah mulai
diterapkan sejak tahun 1950-an. Saat pelaksanaan sidang isbat hasil
hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) dikaji bersama-sama agar
mendapatkan keputusan yang tepat dan terbaik.
Saat sidang isbat tidak terlalu membahas perbedaan hisab dan
rukyat hilal melainkan menampung dan berdiskusi untuk menjadi
pertimbangan Menteri Agama dalam mengambil keputusan penetapan
awal Ramadhan dan Syawal.
Sejak awal sidang isbat dilaksanakan, sistem dan prosedur
pelaksanaannya masih sangat terbatas dan belum berjalan dengan
sempurna. Hingga saat ini, sidang isbat sudah berjalan dengan
sempurna dan sudah menggunakan badan khusus di bawah Kemenag
yang diberi nama Badan Hisab Rukyat (BHR).
Tahapan sidang isbat biasanya meliputi, pengamatan Hilal,
pelaporan pengamatan, pemeriksaan kelayakan pengamatan,
pengumuman hasil dan hasil implementasi.
Namun demikian, proses sidang isbat dapat berbeda-beda di setiap
negara atau wilayah tergantung pada kebijakan dan aturan yang
berlaku.

B. Metode Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal


Sebagaimana diketahui bahwa untuk menentukan awal bulan
Qomariyah, khususnya yang berkaitan dengan prosesi ibadah yakni
Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah, terdapat pada empat metode, yakni

6
metode ru’yah bî al-fi’lî, hisab imkân al-ru’yah, hisab wujûd al-hilâl, dan
Ru’yah global (Maskufa dan Widiana, 2012: 72).

Dari keempat metode tersebut yang sering mengemuka dalam sidang


itsbat dan diikuti mayoritas umat Islam ru’yah bî al-f’lî, hisab Imkân al-
ru’yah, dan hisab wujûd al-hilâl.Ru’yah bi al-fi’li adalah metode
penetapan awal bulan dengan melihat langsung hilal di ufuk barat.

Hisab Imkan ar-ru’yah adalah metode penetapan awal bulan dengan


mempertimbangkan ketinggian hilal untuk bisa di-ru’yah. Sedangkan
Hisab wujud al-hilal adalah metode penetapan awal bulan berdasarkan
perhitungan terjadinya ijtima’ dan posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa
memperhitungkan ketinggian hilal. Dengan demikian, berapapun tinggi
Hilal sepanjang sudah di atas ufuk, meskipun tidak memungkinkan
diru’yah, maka akan ditetapkan bahwa hari berikutnya, di malam itu juga,
sudah masuk awal bulan. Melihat konsep tersebut, pada praktiknya metode
ru’yah dan hisab imkan ar-ru’yah lebih memungkinkan haasilnya akan
sama. Dengan demikian, dalam sidang itsbat kedua metode ini saling
menguatkan. Hisab digunakan sebagai dasar ru’yah dan hasil Ru’yah
membuktikan kebenaran hisab.

Adapun metode hisab wujud al-hilal dinilai menjadi penyebab


perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadhan maupun Syawal. Hal
ini karena metode hisab wujud al-hilal hanya berdasar pada terjadinya
Ijima’ dan posisi hilal di atas ufuk meski posisi hilal rendah dan tidak
mungkin diru’yah. Sehingga saat hasil hisabnya menunjukkan posisi hilal
di atas ufuk rendah bisa dipastikan penetapan awal Ramadhan dan Syawal
akan berbeda dengan metode ru’yah maupun hisab imkan ar-
Ru’yah.Kemungkinan terjadinya kesamaan dalam menetapkan awal
Ramadhan dan Syawal adalah saat metode hisab wujud al-hilal
menunjukkan posisi hilal di bawah ufuk atau posisi hilal berada pada
ketinggian 3 derajat lebih.

C. Perbedaan Daerah Normal dan Abnormal?

7
Di musim panas di bagian bumi utara akan terasa waktu siang teramat
lama. Waktu untuk berpuasa pun akan terasa lama, begitu pula waktu
antara shalat lima waktu. Nah, sekarang bagaimana jika kita tinggal di
negeri yang waktu siangnya sangat panjang atau di negeri yang bahkan
tidak pernah mendapati waktu siang atau sepanjang hari adalah malam?
1. Bagi yang bermukim di negeri yang malam dan siangnya bisa
dibedakan dengan terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari,
walau waktu siang lebih lama di musim panas dan singkat di
musim dingin, maka wajib baginya mengerjakan shalat lima waktu
di waktunya masing-masing. Hal ini berdasarkan keumuman
firman Allah Ta’ala,

‫َأِقِم الَّص اَل َة ِلُد ُلوِك الَّشْم ِس ِإَلى َغ َس ِق الَّلْيِل َو ُقْر َآَن اْلَفْج ِر ِإَّن ُقْر َآَن اْلَفْج ِر َك اَن َم ْش ُهوًدا‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat
subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra’: 78).

Begitu pula dengan firman Allah Ta’ala,

‫ِإَّن الَّص اَل َة َكاَنْت َع َلى اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِكَتاًبا َم ْو ُقوًتا‬

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan


waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 103).

Ini berkenaan dengan waktu shalat. Adapun berkenaan dengan


waktu puasa di bulan Ramadhan, maka tetap seorang muslim yang
dikenai kewajiban puasa untuk menahan diri dari makan dan
minum serta dari segala pembatal setiap harinya dimulai dari
terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari di negerinya. Hal ini
berlaku selama waktu siang dan waktu malam bisa dibedakan di
negerinya, dan total malam dan siang tetap 24 jam. Dan halal bagi
mereka untuk makan, minum, berhubungan intim di malam harinya

8
walau waktu malamnya begitu singkat. Karena seperti dipahami
bahwa syari’at Islam itu umum untuk seluruh manusia di berbagai
negeri. Dan Allah Ta’ala berfirman,

2. ‫َو ُك ُلوا َو اْش َر ُبوا َح َّتى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخ ْيُط اَأْلْبَيُض ِم َن اْلَخ ْي ِط اَأْلْس َوِد ِم َن اْلَفْج ِر ُثَّم َأِتُّم وا الِّص َياَم ِإَلى‬
‫الَّلْيِل‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Siapa yang tidak kuat berpuasa karena waktu siang begitu panjang atau
berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah atau info dari dokter yang
amanat, atau jika ia puasa bisa binasa atau mendapati sakit yang parah,
atau sakitnya bertambah riskan, atau kesembuhannya jadi bertambah
lama, maka ia boleh tidak berpuasa, namun tetap mengqodho’
(mengganti) puasanya di hari lainnya di saat ia mampu di bulan mana
saja. Allah Ta’ala berfirman,

‫َفَم ْن َش ِهَد ِم ْنُك ُم الَّش ْهَر َفْلَيُص ْم ُه َوَم ْن َك اَن َم ِريًضا َأْو َع َلى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر‬

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat


tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

‫اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًسا ِإاَّل ُو ْس َعَها‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286).

‫َوَم ا َجَعَل َع َلْيُك ْم ِفي الِّديِن ِم ْن َح َر ٍج‬

“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan” (QS. Al Hajj: 78)

9
3. Adapun bagi yang bermukim di daerah yang matahari tetap terus
ada di musim panas atau tidak terbit di musim dingin, atau waktu
siang berlangsung terus hingga enam bulan, begitu pula waktu
malamnya terus berlangsung selama enam bulan misalnya, maka
wajib baginya melaksanakan shalat lima waktu setiap 24 jam.
Nantinya diperkirakan batasan waktu masing-masing dengan
berpatokan pada negeri yang dekat dengan negerinya di mana
negeri yang dekat tersebut telah terbedakan waktu shalat lima
waktu satu dan lainnya.

Diantara dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan pada


para sahabatnya mengenai Dajjal. Lalu mereka bertanya pada beliau, berapa lama
Dajjal berada di muka bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Empatpuluh hari. Satu harinya terasa setahun, satu harinya lagi terasa sebulan,
satu harinya lagi terasa satu Jum’at dan hari-hari lainnya seperti hari-hari kalian.”
Mereka bertanya, “Apakah untuk satu hari yang terasa setahun cukup bagi kami
shalat sehari?” Beliau menjawab, “Tidak, kalian harus memperkirakan waktu-
waktu shalat tersebut.” (HR. Muslim no. 2937). Hadits ini menunjukkan bahwa
satu hari yang terasa setahun tidaklah dianggap cukup shalat satu hari, namun
tetap diwajibkan shalat lima waktu setiap 24 jam dan diperintahkan bagi mereka
untuk memperkirakan waktu shalat seperti waktu biasa yang mereka jalani di
negeri mereka.

Jadi, wajib bagi kaum muslimin yang berada di negeri yang waktu siangnya
seperti disebutkan di atas untuk menetapkan waktu shalat dengan
berpatokan pada negeri yang lebih dekat dengan negeri mereka yang
memiliki waktu malam dan waktu siang bisa terbedakan dalam waktu 24
jam.

Begitu pula dalam hal puasa, wajib bagi mereka berpuasa Ramadhan dengan
memperkirakan waktu mulainya puasa dan berakhirnya puasa, juga waktu
menahan diri untuk berpuasa dan berbuka setiap harinya dengan memperhatikan

10
terbit fajar dan tenggelamnya matahari pada negeri yang dekat dengan negeri
mereka yang waktu malam dan siangnya bisa terbedakan dan total waktu siang
dan malamnya adalah 24 jam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits tentang
Dajjal tadi, tidak ada beda antara puasa dan shalat dalam hal ini.

D. Ketentuan Dan Tata Cara Sholat dan Puasa Di Daerah Abnormal


Karena melaksanakan kewajiban agama tak ada alternatif lain yang
memang tidak sukar dilaksanakan dan dapat mendatangkan faedah yang
diharapkan yaitu memperkirakan hari malam dan bulan di daerah-daerah
kutub itu dengan waktu di negara-negara yang biasa atau normal.

Tentunya penduduk daerah-daerah ini dapat mengambil suatu cara dalam


memperkirakan hari dan malam serta bulan untuk kepentingan kehidupan
mereka, seperti untuk pekerjaan dan kepentingan hidup yang lainnya. Oleh
sebab itu untuk menentukan waktu-waktu ibadah bagi penduduk yang
berada di daerah kutub dapat disesuaikan dengan waktu-waktu didaerah
yang normal yang berdekatan dengan daerah tersebut, karena itu bagi
masyarakat islam yang tinggal misalnya di Belanda, Inggris mengikuti
waktu shalat dan puasanya dengan waktu Bordeaux (Prancis bagian
selatan), yang ter letak di garis paralel 45°, dan masyarakat islam yang
tinggal di amerika utara mengikuti waktu shalat dan puasa dengan
waktuhalifax dan Portland (Canada) dan demikian mereka dapat
melaksanakan kewajiban shalat dan puasa dengan cara yang telah
ditentukan dan sempurna dengan tidak ada kesukaran.4 Majelis Majma Al-
Fiqh Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H
bertepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M. telah menerbitkan ketetapan
tentang masalah ini. Selain itu juga ada ketetapan dari Hai`ah Kibarul
Ulama di Mekkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12
Rabiul Akhir 1398 H. Kedua majelis ini membagi masalah ini menjadi tiga
kasus yaitu:
1) Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari
pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama

11
24 jam dalam sehari. Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa
dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat
wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian
siang dan malam setiap harinya.
2) Wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah
(syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga
tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan
mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang
dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat ‘isya’nya saja
dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih
mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu
untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan
wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega
merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega
itu.
3) Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang
dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali
atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga
shalat tetap sesuai dengan aturanbaku dalam syariat Islam.
Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam
02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari
tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00
malamSedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa
selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat,
kelemahan dan membawa kepada penyakit dimana hal itu
dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka
dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban
menggantinya di hari lain. Dalam hal ini berlaku hukum orang
yang tidak mampu atau orang yang sakit, dimana Allah
memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka. Wahbah
Zuhaily dalam kitabnya Al-fiqhul Islami wa adillatuhu yang
menyatakan bahwa dimana daerah yang mengalami perubahan

12
waktu malam terus atau waktu siang terus maka waktu
shalatnya adalah mengikuti daerah terdekat.
Dalam buku Fiqh As-Sunnah, Sheikh Sayyed Sabiq
mengatakan:

‫ في‬، ‫دير‬vv‫ الختالف الفقهاء في التق‬: ‫التقدير في البالد التي يطول نهارها ويقصر ليها‬
‫ ويطول ليلها‬، ‫ والبلكة التي يقصر نهارها‬، ‫ ويقصر ليلها‬، ‫البالد التي يطول نهارها‬
‫دير على البالد المقبلة التي وقع فيها‬vv‫ يكون التق‬: ‫ على أي الَبالء َيكون ؟ فقيل‬،
‫ على القرب بالد مقبلة إليهم‬: ‫ وقيل‬، ‫ كمكة والمدينة‬،‫التاريخ‬

Para Ulama berbeda pendapat tentang penentuan waktu yang


berada di daerah di mana hari sangat panjang dan malam
sangat pendek. Waktu mana yang harus mereka ikuti? Ada
yang mengatakan mereka harus mengikuti norma-norma dari
daerah di mana hukum Islam itu disyariatkan (yaitu Mekah
atau Madinah). Sedangkan yang lain mengatakan bahwa
mereka harus mengikuti timing dari daerah yang normal
terdekat dengan mereka dalam hal hari dan malam.

Majelis ulama Indonesia juga mengatakan bahwa shalat dan


puasa di daerah yang malam dan siangnya tidak seimbang
disesuaikan dengan waktu daerah mu’tadilah (seimbang
terdekat).
185. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur kepadaNya. (QS. Al-
Baqarah: 185).

Adapun dalil-dalil syar’i yang memberikan dispensasi (hukum


rukhsah) bagi nasyarakt islam yang tinggal di daerah-daerah

13
yang abnormal untuk mengikuti waktu shalat dan puasa di
daerah normal terdekat, antara lain:

1. Al-Qur’an Surah Al-Haj ayat 78


“Dan Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama untuk
kesempatan Al-Baqarah ayat 286
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.

2. Hadist Nabi saw riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah


Radhiyallahu Anhu:
‫الدين يستر ولن يغالب الدين أحد االغلية‬
Agama islam itu mudah. Tiada seorangpun yang akan bisa
mengalahkan/menguasai agama, bahkan agamalah yang
mengalahkan ia.
Hadist Nabi riwayat Bukhari, uslim, Al-Nasa’i, dan Ahmad:

Hendaklah kanu mempermudah, janganlah kamu persulit. Dan


hendaklah kamu gembirakan jangan kamu bikikn mdereka lari
menjauhi!.
‫يُروا َو اَل ْلَعَبُروا َو َيَس ُرْو ا َو اَل ُتنِفُروا‬

3. Kaidah-kaidah hukum islam


‫المشقة تجلب التيس‬
Keropotan/kesulitan itu membawa kemudahan.

‫الَّضُروَر ة تبيح المحظورات‬.


Keadaan darurat (terpaksa) itu membolehkan hal-hal yang
terlarang.
Hal-hal yang diperbolehkan karena keadaan terpaksa im
diperkirakan menurut kadar/seperlunya saja.

14
4. Asas-asas hukum islam islam yang fleksibel,pratis tidak
sulit dan menyulitkan dalam batas jangkauan manusia yang
normal, sejalan dengan kemaslahatan umum dan kemajuan
zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Shalat dan Puasa di daerah abnormal adalah permasalahan pengukur
waktu yang hanya berdasarkan dengan terbit dan terbenamnya matahari
yang hanya bisa digunakan pada daerah nomal. Jadi dalam menentukan
waktu di daerah abnormal untuk menjalankan ibadah dalam hal ini adalah
ibadah shalat dan puasa cara yang digunakan ialah dengan menyamakan
dengan daerah normal yang berada dekat dengan daerah tersebut. Metode
ini berdasar pendapat ulama dan dalil-dalil syar’i yang memberikan
keringanan dan kaidah- kaidah hukum fiqih.

B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

16

Anda mungkin juga menyukai