Dosen pengampu :
Hasna Tuddar Putri S.HI M.SI
Disusun oleh :
Devina Ramadhani Damanik (202213029)
Cut ulfa millah (202213048)
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang............................................................................................
1.2 Rumusan masalah.......................................................................................
1.3 Tujuan penulisan.........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mazhab Hisab dan Rukyah dalam penentuan kalender Hijriah..................
2.2 Kedudukan pemerintah dalam penentuan kalender....................................
2.3 Kalender Hijriah dalam Qanun aceh...........................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................
3.2 Saran .........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ahmad Warson Munawair kamus almunawir, Kamus Almunawir Arab-Indonesia
terlengkap (Surabaya ; pustaka progresiv) h.1263.kata almanak juga sering dipakai kalangan
Muhammadiyah dan almanak PB NU.a
2
Baca Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II
(Jakarta ; Balai Pustaka, 1989) h. 380 dan 904
3
Baca Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II
(Jakarta ; Balai Pustaka, 1989) h. 380 dan 904
4
Moedji Raharto,” Dibalik Persoalan Awal bulan Islam” dimuat dalam Majalah Forum
Dirgantara, No.02/TH.I/Oktober/1994 hal. 25
5
T.Djamaludin Kalender Hijriah, Tuntunan Penyeragaman Mengubur Kesederhanaannya
dimuat dalam Harian REPUBLIKA, jum’at 10 juni 1994, h.4
Hijriah adalah kalender kamariah semata. Satu tahun ditetapkan 12 bulan, sedang
perhitungan bulan dilakukan berdasarkan fase-fase bulan dan manazilnya. 6
Muhammad Basil at-Tai dalam bukunya yang berjudul “Ilmu falak wa at-
Taqawim” menyatakan bahwa Kalender Hijriah adalah kalender kamariah yang
mulai digunakan pada masa khalifah Umar bin Khattab dengan mendasarkan pada
hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah. 7Sementara itu Mohammad Ilyas yang
dianggap sebagai penggagas Kalender Islam Internasional menjelaskan, Kalender
Hijriah atau kalender Islam adalah kalender yang berdasar atas perhitungan
kemungkinan hilal atau bulan sabit terlihat pertama kali dari sebuah tempat pada
suatu Negara.8dengan kata lain yang menjadi dasar Kalender hijriah adalah
visibillitas hilal disuatu Negara.
Dari rumusan–rumusan diatas juga dapat diperoleh keterangan bahwa pada
mulanya yang menjadi patokkan Kalender Hijriah adalah hijrah Nabi dari mekah
ke Madina dan penampakan hilal bukan hisab atau rukyat. Namun, bila
penampakan hilal menjadi standar dan diapllikasikan di wilayah Indonesia akan
menemukan kesulitan karena fenomena alam yang tidak mendukung, maka perlu
paradigm baru Kalender Hijriah.
Oleh karena itu, dalam buku ini dirumuskan bahwa Kalender Hijriah adalah
kalender yang berdasarkan system kamariah dan awal bulannya dimulai apabila
setelah terjadi ijtimak matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan
(moonset after sunset), pada saat itu posisi hilal diatas ufuk di seluruh wilayah
Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan Mazhab Hisab dan Rukyah dalam
penentuan kalender Hijriah?
6
Basit Wahid Kalender Hijriah tiada Mitos didalamnya dimuat dalam BAKTI, No 13
Tahun II/Juli 1992, h.13
7
Muhammad basil at-Tai. Ilmu al-Falaq wa at-taqwim. Cet I (kairo Darr an-Nafais
2003/1424) h.248
8
Mohammad Ilyas, Sistem Kalender Islam dari Perspektif Astronomi, cet. (Kuala Lumpur
: Dewan Bahasa dan Pustaka 1997) h.40-42
2. Apa yang di maksud dengan Kalender Hijriah dalam Qanun
aceh?
1.3 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Kalender Hijriah dalam Qanun aceh
2. Mengetahui Kedudukan pemerintah dalam penentuan kalender
BAB II
PEMBAHASAN
9
Greg fealy, Ijtihad Politik Ulama sejarah NU 1952-1967, cet. (yokyakarta : LKIS, 2003)
hal.104-105
10
Untuk lebih mengenal PKB baca Zainal Abidin Amir.Peta Politik Islam pasca Soeharto,
cet. I ( Jakarta LP3ES, 2003) h. 106-131.
11
Erros Djarot , “Gusdur dan Politik Tebar Jala” dimuat dalam Harian KOMPAS, Jumat,
14 Mei 2004, h. 4-5
12
www.tempo.co//news2013/08/06, 6 agustus 2013
antartokoh yang hadir. Terlebih, sidang ini dihadiri oleh banyak perwakilan
organisasi kemasyarakatan.
Terakhir, penggunaan metode rukyat atau penghitungan derajat bulan oleh
Kementerian Agama tidak sesuai dengan Muhammadiyah yang menggunakan
cara penghitungan hilal. Secara penghitungan hilal, pada 7 Agustus 2013 akan
terjadi konjungsi yang menempatkan bulan, bumi, dan matahari pada garis lurus.
Konjungsi ini akan berlangsung sebentar, karena segera disusul kemunculan bulan
baru yang menunjukkan berakhirnya Ramadan tahun ini. Muhammadiyah
menentukan Lebaran akan jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013 13. Ketidakhadiran
Muhammadiah pada sidang isbat, menurut Din Syamsuddin, justru akan
memudahkan pengambilan keputusan.
Pasalnya, Kementerian Agama tidak perlu mempertimbangkan pendapat
dari Muhammadiyah. Tahun ini menjadi kali ketiga Muhammadiyah tidak
menghadiri sidang isbat. “Kalau hadir di sana, hanya jadi pemanis,” kata dia.
Meski tidak hadir, Din Syamsuddin mengaku gembira bila antara Muhammadiyah
dan pemerintah merayakan Lebaran pada hari yang sama. Majelis Ulama
Indonesia juga memprediksi Lebaran akan jatuh pada 8 Agustus 2013, sama
seperti Muhammadiyah. Meski demikian, penentuan Lebaran MUI akan tetap
melakukan rukyat dan melewati sidang isbat.
2.2 KEDUDUKAN PEMERINTAH DALAM PENENTUAN KALENDER
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, merupakan yang memiliki
otoritas kenegaraan, memiliki kriteria dalam penentuan awal bulan hijriyah
dengan menggunakan hisab rukyat. Kriteria imkan rukyat, yang menjadi dasar
pemerintah ini merupakan sebuah upaya didalam memadukan hisab dan rukyat.
Dengan demikian kriteria pemerintah ini menjadi sebuah kelompok khusus diluar
para mazhab hisab dan rukyat. Sebagaimana kita ketahui kriteria pemerintah ini
merupakan hasil dari perpaduan antara hisab dan rukyat, dan kritriteria ini
bertujuan sebagai penengah bagi mazhab hisab dan rukyat atau yang sering kita
dengar Muhammadiyah dan NU. Imkan rukyat yaitu ialah {batas} kemungkinan
hilal dapat dirukyat, imkan rukyat juga sering disebut dengan visibilitas
13
Ibid
hilal. Imkan rukyat bagi pemerintah hanya dijadikan sebagai parameter kebenaran
hasil rukyat, apabila rukyat berada di atas batas imkan rukyat maka kemungkinan
hasil rukyat akan di terima dan pengumuman finalnya akan diumumkan melalui
sidang isbat. Kriteria pemerintah yang dipakai saat ini yaitu 2-3-8 artinya tinggi
hilal 2 derajat, jarak bulan-matahari 3 derajat dan umur bulan lebih dari 8 jam.
Kriteria tersebut disebut dengan kriteria MABIMS {Menteri Agama Brunei,
Indonesia, Malaysia dan Singapura} meskipun didalam pelaksanaannya dalam
penentapan awal bulan hijriyah saling berbeda. Berbagai kelompok memberikan
penilaian terhadap kriteria ini dikarenakan kurang ilmiah dan ada keberpihakan
atau lebih tepatnya mengabaikan ilmu pengetahuan.
Penetapan bulan baru dalam kalender hijriah hingga saat ini masih
menimbulkan permasalahan. Penafsiran yang berbeda terhadap lafadz “Shûmû
liru„yatihî, waftirû liru„yatihî” menghasilkan dua metode yang selalu
diperselisihkan untuk digunakan. Kemudian ditambah dengan penafsiran yang
disesuaikan dengan kebudayaan di sebuah lokal atau wilayah tertentu, dan juga
fanatisme terhadap pola metode tertentu, menjadikan perbedaan selalu mewarnai
dalam sidang itsbat.
Perbedaan dalam penafsiran lafadz “liru‟yatihî” menghasilkan dua pola
dalam penetapan awal bulan, yaitu Hisab dan Ru‟yah. Secara garis besar, pola
Hisab menekankan bahwa apabila hilâl sudah terlihat secara matematis, maka
dihukumi sudah memasuki bulan baru, sedangkan pola ru‟yah berpegang teguh
bahwa apabila hilâl sudah terlihat secara matematis namun belum terlihat oleh
mata di hari terakhir bulan tersebut, maka belumlah dihukumi masuk kepada
bulan yang baru. Walaupun sudah memasuki abad hijriah yang ke-XIV, belum
ada tanda untuk adanya kata sepakat antara dua pola tersebut. Perbedaan dari
hisab ru‟yah kemudian melebar karena ada percampurannya dengan budaya lokal.
Seperti yang terjadi di Indonesia, contohnya adalah perhitungan kalender
“Aboge”. Hal ini terjadi karena kuatanya budaya masa pra islam di wilayah
tersebut. Perbedaan kalender hijriyah yang ada di Dunia bila diperhatikan pokok
permasalahannya, khususnya kasus yang terjadi di Indonesia, tidak terlepas
daripada perbedaan pendapat dalam menggunakan metode penetapannya. Satu sisi
menganggap Ru‟yah adalah metode paling tepat dalam menentukan awal dan
akhir bulan hijriyah, sedangkan sisi lainnya berpendapat bahwa Hisâb lah yang
paling tepat. Fanatisme golongan atau madzhab juga membuat perbedaan ini
semakin terlihat. Dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia mewakili dua
metode tersebut.
Muhammadiyah berpegang teguh kepada metode hisab, sedangkan
Nahdhatul Ulama (NU)) berpegang teguh terhadap ru‟yah. Sehingga setiap
menjelang datangnya bulan-bulan penting dan hari raya dalam Islam, khususnya
Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagian besar umat Islam di Indonesia
dihantui oleh perbedaan pendapat mengenai kapan jatuhnya awal bulan tersebut
untuk memulai ibadah puasa dan mengakhirinya. Bagi masyarakat muslim yang
awam, perbedaan tersebut cukup membingungkan, disebabkan ketidaktahuan
tentang pendapat mana yang harus diikuti. Perbedaan tersebut bukan tanpa dalil,
semua tetap dalam pendiriannya karena memahami sebuah hadits nabi yang
menyebutkan bahwa seseorang yang melihat hilâl, maka dia wajib untuk
melaksanakan perhitungannya atau apa yang disaksikannya.
Hal ini sebenarnya ada dalam ranah khilafiyah. dan menurut kaidah
Ushuliyah, dalam masalah persatuan maka persatuan ummat-lah yang harus
diutamakan. Pemerintah sebagai pemangku kewenangan dalam hal inipun tidak
bisa menyatukan perbedaan yang ada. Fakta membuktikan, dalam kurun waktu
sepuluh tahun kebelakang (2002- 2012 / 1413-1433), ketetapan awal bulan
Syawwal yang seragam tercatat hanya Empat kali, yaitu pada tahun 2003/1424 14 ,
2004/142515 , 2008/1429, dan 2012/143316 .
Selain itu ketetapan penentuan awal dan akhir bulan hijriyah selalu berbeda.
Walaupun pada tahun 2012/1433 ini akhir bulan Ramadhan semua sepakat,
namun perlu diketahui bahwa awalnya tidak semua sepakat. Kenyataan tersebut
cukup menarik untuk dikaji ulang karena ada beberapa faktor yang diantaranya
14
Semua sepakat bahwa 1 Syawwal 1424 jatuh pada hari selasa, tanggal 25 November
2003
15
Semua sepakat bahwa 1 Syawwal 1425 jatuh pada hari minggu, tanggal 14 November
2004.
16
http://www.badilag.net/component/content/article/315-berita-kegiatan/12239-sidang-
itsbat-awal-syawal1433-h-188.html, diakses pada tanggal 1 Oktober 2012, pukul 10.30.
ialah; Pertama, para ulama telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan
Qamariah dapat ditempuh melalui empat metode:
1) ru‟yatu al-hilâl.
2) kesaksian orang yang adil.
3) menggenapkan (istikmâl) bilangan sya„ban 30 hari. dan
4) hisâb. 17
Sesungguhnya semua metode tersebut saling bekaitan erat dan tidak
mungkin dipisahkan, namun penggunaan keseluruhan metode tersebut masih
belum maksimal dikarenakan di Indonesia, sebagian ormas mempunyai cara
pandang tersendiri dalam menggunakan metode sehingga pada akhirnya seringkali
berbeda dalam penetapan. Perbedaan ini tentunya bagi masyarakat awam,
menimbulkan kekhawatiran karena dinilai dapat mengganggu keharmonisan
ukhuwah Islamiyah di kalangan umat, dan menimbulkan anggapan-anggapan
yang kurang baik dari penganut agama lain. Kedua, Faktor lain yang
menyebabkan masalah ini perlu dikaji ulang ialah mengenai berpuasa di hari ied.
Rasûlullâh mengharamkan bepuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri, dan Idul
Adha, matannya adalah sebagaimana berikut.
“….Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah
menghadiri shalat „ied bersama „Umar bin Al Khatab. „Umar pun mengatakan” ;
Dua hari ini adalah hari yang Rasûlullâh SAW larang untuk berpuasa di dalamnya
yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian. Begitu pula beliau
melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan
hasil sesembelihan kalian.” \18
Hadits tersebut derajatnya shahîh, dan telah disepakati oleh Rawi yang
empat, dengan jelas menerangkan tentang keharaman berpuasa di hari ied. Namun
ketika terjadi perbedaan penetapan awal bulan syawwal, maka akan ada
implikasinya yaitu perbedaan di masyarakat dalam hal masih berpuasa untuk
menggenapkan bulan Ramadhan menjadi tiga puluh hari dan berbuka karena
perhitungannya sudah pasti bahwa hari tersebut sudah memasuki bulan Syawwal,
17
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Da>r al-Fath, Juz I, 2003), hal. 613-615
18
Ibid., hal. 625, Hadits No. 1990. Abû Abdillah Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhâri,
Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Da>r Ibn Katsir, 2002), hal. 478-479
dengan kata lain implikasi perbedaan tersebut menyebabkan ada sebagian umat di
suatu daerah yang berpuasa dikala sebagian lain sudah berbuka dan melaksanakan
shalat ied. Seperti halnya yang terjadi di Kota Bandung pada tahun 2009 / 1430,
ada beberapa ormas yang berbeda dalam menentukan awal bulan Syawwal, satu
ormas telah berbuka dan melakukan shalat ied, satu kelompok masih berpuasa.
Hal ini sungguh menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena hal tersebut
rentan dalam menimbulkan perpecahan.
Oleh karena dua faktor tersebut, peneliti berusaha mengungkap penyebab
terjadinya perbedaan pendapat tentang awal bulan Ramadhan, juga pandangan
fiqh mengenai perbedaan masalah ini jika terjadi dalam satu tempat, serta
implikasi yang terjadi dari perbedaan tersebut
3.1 KESIMPULAN
Masyarakat Aceh sangat butuh dan ketergantungan dengan kalender Hijriah,
hal ini disebabkan banyak adat istiadat, pantangan, larangan dalam masyarakat
Aceh yang mengacu pada penanggalan Hijriah dan banyak ritual ibadah
masyarakat Aceh yang dilakukan berdasarkan pada penanggalan Hijriah.
Hadirnya Qanun syariat Islam di Provinsi Aceh yang mengakomodir kalender
Hijriah sebagai syiar Islam menjadi gerbang awal bagi masyarakat Aceh dalam
menyiarkan syariat Islam yang dianutnya dan menjadi sebuah harapan
terbentuknya kalender Hijriah yang mapan untuk dipedomani bersama. Formulasi
kalender Hijriah dalam Qanun syariat Islam di Aceh belum terbangun dan
tersusun dengan sempurna, hal ini bisa dilihat dari sisi belum adanya fatwa MPU
Aceh, Qanun Aceh, Peraturan Gubernur, atau Surat Edaran Gubernur Aceh yang
mengatur tentang konsep kalender Hijriah yang mapan untuk acuan dalam
keperluan administrasi sebagaimana diamanahkan dalam Qanun Aceh Nomor 11
Tahun 2002.
3.2 SARAN
Setelah mempelajari problematika kalender hijriah maka sebagai seorang
calon pendidik seharusnya mampu memahami dan kelak mampu menerapkan
ilmunya.
Untukitu, apabila dalam penulisan dan penyusunan makalah ini terdapat
kekurangan dan kelebihan,kritik dan saran dari pembaca kami butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sabda. 2019. Ilmu Falak, Rumusan Syar’i dan Astronomi. 2. Bandung: Persis
Pers.
Ahmad Izzuddin. 2015. Sistem Penanggalan. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Angkat, Arbisora. 2017.
“Kalender Hijriah Global Dalam Perspektif Fikih.” AlMarshad: Jurnal Astronomi
Islam Dan Ilmu-Ilmu Berkaitan 3 (2).
https://doi.org/10.30596/jam.v3i2.1524 Arkanudin, Mutoha, dan Ma’rufin
Sudibyo. 2017. “Kriteria Visibilitas Hilal Rukyatul Hilal Iindonesia (RHI)
(Konsep, Kriteria, Dan Implementasi).”
Al-Marshad: Jurnal Astronomi Islam Dan Ilmu-Ilmu Berkaitan 1 (1).
https://doi.org/10.30596/jam.v1i1.737. Cut Zahrina. 2013.
Al-Manak Hijriah di Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya. Fahmi,
Chairul. 2012.
“Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat Di Aceh (Kajian Terhadap UU No.11
Tahun 2006).” TSAQAFAH 8 (2): 295–310.
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v8i2. 27. Firdaus. 2019.
“Peran Organisasi Teungku Dayah Dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.”
Disertasi, Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Gubernur Aceh. 2002. Qanun Provinsi Nanggro Aceh Darussalam Nomor 11
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan
Syiar Islam.