Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PROBLEMATIKA KALENDER HIJRIAH

Dosen pengampu :
Hasna Tuddar Putri S.HI M.SI

Disusun oleh :
Devina Ramadhani Damanik (202213029)
Cut ulfa millah (202213048)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUD AGAMA ISLAM NEGRI LHOKSEUMAWE
TAHUN 2022/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis munajatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Semoga Allah SWT meridhoi-Nya. Amin
Makalah ini membahas tentang “Problematika Kalender Hijriah”.Semoga
makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah
yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang
membaca dan mempelajarinya.
Sebelumnya penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang dapat
membangun demi perbaikan di masa depan.

Lhokseumawe,20 desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang............................................................................................
1.2 Rumusan masalah.......................................................................................
1.3 Tujuan penulisan.........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mazhab Hisab dan Rukyah dalam penentuan kalender Hijriah..................
2.2 Kedudukan pemerintah dalam penentuan kalender....................................
2.3 Kalender Hijriah dalam Qanun aceh...........................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................
3.2 Saran .........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam literatur klasik maupun kontemporer istilah kalender biasa disebut
dengan tarikh, takwim, almanak1, dan penanggalan. Istilah-istilah tersebut pada
prinsipnya memiliki makna yang sama2. Salah satu sumber yang menarik adalah
karya P.J. Bearman, The Ensyiclopedia of Islam (2000).
Dalam buku ini pengarang sebuah studi etimoligis kecil tentang berbagai
istilah yang berkaitan dengan makna Kalender Hijriah. Menurutnya, Kalender
Hijriah adalah kalender yang terdiri dari dua belas bulan kamariah ; setiap bulan
berlangsung sejak penampakkan berikutnya ( 29 hari atau 30 hari), sementara itu
Leksikon Islam menyebutkan bahwa Kalender Hijriah atau Tarikh Hijriah adalah
penggalan Islam yang dimuali dengan peristiwa hijrah Rasulullah.3
Moedji Raharjo dalam artikelnya yang berjudul “ Dibalik Persoalan Awal
Bulan Islam” menjelaskan bahwa Kalender Hijriah atau penanggalan Islam adalah
sebuah kalender yang tidak memerlukan pemikiran koreksi, karena betul-betul
mengandalkan fenomena masa bulan, 4
dalam bahasa Djamaludin, Kalender
Kamariah merupakan kalender yang paling sederhana yang mudah dibaca alam.
Awal bulan ditandai oleh penampakan hilal (visibilitas hilal) sesudah
matahari terbenam (magrib). 5
Seseorang tokoh dari Yogyakarta, H.Basit Wahid
yang menaruh perhatian terhadap kalender Hijriah menyatakan bahwa Kalender

1
Ahmad Warson Munawair kamus almunawir, Kamus Almunawir Arab-Indonesia
terlengkap (Surabaya ; pustaka progresiv) h.1263.kata almanak juga sering dipakai kalangan
Muhammadiyah dan almanak PB NU.a
2
Baca Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II
(Jakarta ; Balai Pustaka, 1989) h. 380 dan 904
3
Baca Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II
(Jakarta ; Balai Pustaka, 1989) h. 380 dan 904
4
Moedji Raharto,” Dibalik Persoalan Awal bulan Islam” dimuat dalam Majalah Forum
Dirgantara, No.02/TH.I/Oktober/1994 hal. 25
5
T.Djamaludin Kalender Hijriah, Tuntunan Penyeragaman Mengubur Kesederhanaannya
dimuat dalam Harian REPUBLIKA, jum’at 10 juni 1994, h.4
Hijriah adalah kalender kamariah semata. Satu tahun ditetapkan 12 bulan, sedang
perhitungan bulan dilakukan berdasarkan fase-fase bulan dan manazilnya. 6
Muhammad Basil at-Tai dalam bukunya yang berjudul “Ilmu falak wa at-
Taqawim” menyatakan bahwa Kalender Hijriah adalah kalender kamariah yang
mulai digunakan pada masa khalifah Umar bin Khattab dengan mendasarkan pada
hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah. 7Sementara itu Mohammad Ilyas yang
dianggap sebagai penggagas Kalender Islam Internasional menjelaskan, Kalender
Hijriah atau kalender Islam adalah kalender yang berdasar atas perhitungan
kemungkinan hilal atau bulan sabit terlihat pertama kali dari sebuah tempat pada
suatu Negara.8dengan kata lain yang menjadi dasar Kalender hijriah adalah
visibillitas hilal disuatu Negara.
Dari rumusan–rumusan diatas juga dapat diperoleh keterangan bahwa pada
mulanya yang menjadi patokkan Kalender Hijriah adalah hijrah Nabi dari mekah
ke Madina dan penampakan hilal bukan hisab atau rukyat. Namun, bila
penampakan hilal menjadi standar dan diapllikasikan di wilayah Indonesia akan
menemukan kesulitan karena fenomena alam yang tidak mendukung, maka perlu
paradigm baru Kalender Hijriah.
Oleh karena itu, dalam buku ini dirumuskan bahwa Kalender Hijriah adalah
kalender yang berdasarkan system kamariah dan awal bulannya dimulai apabila
setelah terjadi ijtimak matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan
(moonset after sunset), pada saat itu posisi hilal diatas ufuk di seluruh wilayah
Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan Mazhab Hisab dan Rukyah dalam
penentuan kalender Hijriah?

6
Basit Wahid Kalender Hijriah tiada Mitos didalamnya dimuat dalam BAKTI, No 13
Tahun II/Juli 1992, h.13
7
Muhammad basil at-Tai. Ilmu al-Falaq wa at-taqwim. Cet I (kairo Darr an-Nafais
2003/1424) h.248
8
Mohammad Ilyas, Sistem Kalender Islam dari Perspektif Astronomi, cet. (Kuala Lumpur
: Dewan Bahasa dan Pustaka 1997) h.40-42
2. Apa yang di maksud dengan Kalender Hijriah dalam Qanun
aceh?

1.3 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Kalender Hijriah dalam Qanun aceh
2. Mengetahui Kedudukan pemerintah dalam penentuan kalender
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MAZHAB HISAB DAN RUKYAH DALAM PENENTUAN KALENDER


HIJRIAH
HISAB DAN RUKYAH
            HISAB adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk
menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender
hijriyah.Secara harpiyah Hisab berati perhitungan. Dalam dunia Islam  istilah
hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi
matahari dan bulan terhadap bumi.
Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan ummat Islam
dalam menentukan masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan
untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru
dalam kalender hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal
Ramadhan saat memulai berpuasa, awal Syawal (‘Idul Fithri), serta awal Dzul
Hijjah untuk menentukan saat jama’ah haji wuquf di ‘Arafah (9 Dzul Hijjah) dan
‘Idul Adha (10 Dzul Hijjah). Di dalam al Qur’an Surat Yunus (10) ayat 5
disebutkan bahwa Tuhan sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat
menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahmaan (55)
ayat 5 menyebutkan bahwa matahari dan bulan bredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan benda-benda
langit (khususnya matahari dan bulan), maka sejak awal peradaban Islam menaruh
perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim yang telah
mengembangkan methode Hisab modern adalah AL BIRUNI (973 – 1048 M ),
IBNU TARIQ, AL KHAWARIZMI , AL BATANI  dan HABASAH.
RUKYAT adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan
bulan tsabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya Ijtima’ (konjungsi),
rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti
teleskop Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah
matahari terbenam (maqhrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup
dibandingkan dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis.  Apabila hilal
terlihat, maka pada petang (maqhrib) waktu setempat telah memasuki bulan
(kalender) baru hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan
mulai maqhrib hari berikutnya.
Namun demikian dari pengalaman selama ini tidak selalu hilal dapat
terlihat. Dalam teori manakala selang waktu antara Ijtima’ dengan terbenamnya
matahari terlalu pendek, maka secara ilmiyah hilal mustahil terlihat, karena
iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram di bandingkan “ cahaya langit”
sekitarnya.
Muhammadiyah {Hisab Hakiki Wujudul Hilal}
Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang
disimbolisasikan dengan hisab. Menurut Muhammadiyah, hisab memiliki
kedudukan yang sama dengan rukyat dalam penentuan awal bulan hijriyah,
dengan kata lain, hisab dapat dijadikan sebagai alternatif rukyat dalam memenuhi
perintah Nabi saw untuk mengetahui eksistensi hilal terkait dengan penentuan
masuknya waktu ibadah. Sistem dan kriteri yang digunakan Muhammadiyah
dalam menentukan awal bulan baru yaitu dengan sistem hisab hakiki dengan
kriteria wujudul hilal. Menurut criteria ini bulan baru dimulai apabila pada sore
hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam dengan syarat sebagai
berikut secara komulatif, 1. Telah terjadi ijtimak, 2. Ijtimak terjadi sebelum
matahari terbenam, (di Indonesia} dan 3. Pada saat matahari terbenam Bulan
{piringan atasnya} masih di atas ufuk .  Apabila criteria tersebut terpenuhi maka
pada sore hari ijtimak, maka keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru,
apabila tidak maka keesokan harinya dinyatakan sebagai hari ke-30 bulan
berjalan, dan bulan baru akan dimulai lusa. Definisi hisab hakiki adalah “hisab
hakiki ialah hitungan yang sebenarnya, artinya hitungan berdasarkan peredaran
matahari atau bulan yang sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya. Hisab hakiki ini
berlaku untuk menentukan tanggal 1 bulan Ramadhan dan syawal dan hari-hari
besar Islam yang ada yang ada hubungannya dengan ibadah, terutama untuk
menentukan gerhana matahari atau Bulan ”. Kriteria wujudul hilal adalah “ yang
dimaksudkan bahwa hilal telah wujud, yaitu matahari terbenam lebih dahulu
daripada terbenamnya bulan {hilal} walaupun hanya sejarak 1 menit atau kurang.
Pendapatan dalam menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab dengan
tiada batasan tertentu, pokonya asal hilal sudah wujud, dalam kalangan ahli hisab
disebut: pendapatan berdasarkan hisab wujudul hilal.”
Hilal menurut Muhammadiyah ialah yaitu hilal yang sudah wujud di atas
ufuk, yang biasa disebut dengan “Wujudul Hilal”. Kedudukan hilal di atas ufuk
hakiki yang menjadi acuan Muhammadiyah ketika kedudukan hilal di atas ufuk
setelah terjadinya ijtimak dan setelah terjadinya waktu ghurub, berapapun
ketinggian hilal tersebut, maka awal bulan baru telah tiba . Muhammadiyah
memahami hilal bukan sebagai sebuah tradisi, namun pada substansi hilal yaitu
sebagai pentunjuk waktu bagi manusia, sehingga wasilah (sarana) dalam
mengetahui hilal dapat dilakukan dengan cara hisab. Fakta astronomis, matematis
dan sisi kemanusian memastikan bahwa metode hisab lebih mampu
meminimalisir kesalahan, lebih akurat, dan dapat diaplikasikan dengan mudah
serta lebih bermanfaat untuk jangka panjang.
 Nahdalatul Ulama {Rukyat Faktual}
Nahdalatul Ulama {NU} adalah salah satu ormas Islam terbesar di
Indonesia yang disimbolisasikan dengan rukyat faktualnya. Di Indonesia,
Muhammadiyah dan NU merupakan ormas terbesar dan dalam menentukan awal
bulan selalu ada perbedaan. Perbedaan dalam menentukan awal bulan inilah yang
selalu diperdebatkan dan selalu hangat setiap menjelang dan sesudah penentuan
awal bulan hijriyah. NU dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah menggunakan rukyat. NU memiliki tiga asas dalam menentukan awal
bulan tersebut; 1. Asas ta’abbudi {kepatuhan), 2. Asas ta’aqquli {penalaran}, 3.
Asas thabi’I {akhlak}.
Sikap NU dalam menentukan awal bulan kamariah harus berdasarkan pada
rukyat {melihat hilal dengan mata kepala} dan istikmal. Hilal menurut NU ialah
bulan sabit yang cahayanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dari
Bumi dengan mata di awal bulan, sessat setelah terbenamnya Matahari di hari
telah terjadinya ijtimak atau konjungsi, sebagai tanda datangnya awal bulan baru.
Untuk mengetahui adanya hilal, diperlukan upaya-upaya seperti; observasi,
pengamatan, atau rukyat dilapangan. Prinsip NU dalam melakukan rukyat hilal
harus menggunakan mata telanjang sedangkan untuk menggunakan alat bantu
masih memerlukan beberapa persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam
buku pedoman rukyat& hisab Nahdalatul Ulama bab 2.5 tentang rukyat dengan
alat sebagai berikut;
1.Alat tersebut memperjelas obyek yang dilihat, bukan pantulan
2.Sepanjang ahli hisab tidak sepakat bahwa posisi hilal masih berada di
bawah ufuk.
Hisab dalam pendangan NU tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam
penentuan awal bulan hijriah karena hadis-hadis Nabi Muhammad saw terkait
penentuan awal bulan hijriyah bersadarkan dhurul hilal  bukan
berdasarkan wujudul hilal, dengan pengertian lain hilal dalam penentuan awal
bulan hijriyah itu berdasarkan terlihat atau tidak terlihatnya hilal. Nahdalatul
Ulma dalam menentukan awal bulan hijriyah khususnya Ramadan-Syawal dan
Dzulhijah berpegang tegus kepada prinsip rukyat al-hilal bi al-
fi’li dan istikmal, yang mana   NU mengijinkan hisab untuk mengontrol hasil
rukyat dalam penentuan awal bulan tersebut . Hal ini bersadarkan kepada
pengetahuan atau penafsiran  bahwa nash-nash tentang rukyat tersebut bersifat
tunduk dan patuh (ta’abbudy). Karena NU memegang prinsip rukyat itu sebagai
tunduk dan patuh maka sebagai konsekuensinya, NU harus selalu mengadakan
pengamatan hilal (rukyatul hilal) di lapangan betapapun menurut hisab hilal masih
di bawah ufuk.  Hal tersebut dilaksanakan supaya dalam membuat keputusan hilal
terlihat atau istikmal selalu bersadarkan kepada sistem rukyat di lapangan, bukan
atas perhitungan (hisab).
Dalam memamahami politik sebagai sarana dakwah, ada kesamaan antara
muhammadiyah dengan NU, dalam arti keduanya sama melihat (panggung)
politik sebagai sarana yang cukup efektif untuk menyebarluaskan ajaran agama.
Hal ini bisa dimengerti karena panggung politik memiliki keshahan secara
objektif (melalui perundang-undangan) untuk memaksakan kehendak. Namun
karena berangkat dari pemahaman dan interpretasi doktrin yang berbeda,
artikulasi politik diantara keduanya pun berbeda. Data historis membuktikan,
sejak zaman orde lama, hingg kini artikulasi politik Muhammadiyah dan NU
senantiasa bersimpang jalan.
Ada dua jenis wilayah politik yang potensial memunculkan konflik antara
Muhammadiyah dan NU. pertama di parpol dan yang kedua di pemerintahan,
yaitu Departemen Agama. Dalam wilayah pertama sebenarnya umat Islam
(Muhammadiyah dan NU) pernah memperlihatkan ukhuwah yang
mengembirakan ketika bersatu dalam Masyumi. Namun ukhuwah dalam politik
tidak dapat berlangsung abadi kareana satu persatu kekuatan politik yang
menyokong masyumi seperti NU menyatakan keluar dari Masyumi disebabkan
kekecewaan NU terhadap dominasi kubu modrenisme yang di sokong
Muhammadiyah.9 Boleh jadi trauma sejarah yang dialami NU, mendorong
kalangan Nahdliyin mendirikan partai sendiri di era reformasi ini di beri nama
PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).10 Dengan begitu NU dapat memainkan peran-
peran politik secara independen dan signifikan daripada hanya menjadi unsur
subordinat jika bergabung dalam parpol lain.11 Kaitannya dengan persoalan hisab
rukyat hubungan Muhammadiyah dan NU juga tak lepas dengan persoalan politik.
Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Din Syamsuddin yang mengatakan organisasinya tidak akan
memenuhi undangan sidang isbat dari Kementerian Agama pada 7 Agustus
201312. Menurutnya, hadir dalam sidang adalah sia-sia karena pendapat dari
Muhammadiyah tidak akan didengarkan. “Ada politisasi,” kata dia di Gedung
Dakwah Muhammadiyah di Jakarta, Selasa 6 Agustus 2013.
Din Syamsuddin mengatakan ada tiga alasan Muhammadiyah tidak
menghadiri sidang itu. Pertama, Din Syamsuddin menilai Kementerian Agama
selalu mengundang pakar yang hanya memberikan penilaian buruk pada
Muhammadiyah. Kemudian, sidang isbat akan menimbulkan perdebatan

9
Greg fealy, Ijtihad Politik Ulama sejarah NU 1952-1967, cet. (yokyakarta : LKIS, 2003)
hal.104-105
10
Untuk lebih mengenal PKB baca Zainal Abidin Amir.Peta Politik Islam pasca Soeharto,
cet. I ( Jakarta LP3ES, 2003) h. 106-131.
11
Erros Djarot , “Gusdur dan Politik Tebar Jala” dimuat dalam Harian KOMPAS, Jumat,
14 Mei 2004, h. 4-5
12
www.tempo.co//news2013/08/06, 6 agustus 2013
antartokoh yang hadir. Terlebih, sidang ini dihadiri oleh banyak perwakilan
organisasi kemasyarakatan.
Terakhir, penggunaan metode rukyat atau penghitungan derajat bulan oleh
Kementerian Agama tidak sesuai dengan Muhammadiyah yang menggunakan
cara penghitungan hilal. Secara penghitungan hilal, pada 7 Agustus 2013 akan
terjadi konjungsi yang menempatkan bulan, bumi, dan matahari pada garis lurus.
Konjungsi ini akan berlangsung sebentar, karena segera disusul kemunculan bulan
baru yang menunjukkan berakhirnya Ramadan tahun ini. Muhammadiyah
menentukan Lebaran akan jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013 13. Ketidakhadiran
Muhammadiah pada sidang isbat, menurut Din Syamsuddin, justru akan
memudahkan pengambilan keputusan.
Pasalnya, Kementerian Agama tidak perlu mempertimbangkan pendapat
dari Muhammadiyah. Tahun ini menjadi kali ketiga Muhammadiyah tidak
menghadiri sidang isbat. “Kalau hadir di sana, hanya jadi pemanis,” kata dia.
Meski tidak hadir, Din Syamsuddin mengaku gembira bila antara Muhammadiyah
dan pemerintah merayakan Lebaran pada hari yang sama. Majelis Ulama
Indonesia juga memprediksi Lebaran akan jatuh pada 8 Agustus 2013, sama
seperti Muhammadiyah. Meski demikian, penentuan Lebaran MUI akan tetap
melakukan rukyat dan melewati sidang isbat.
2.2 KEDUDUKAN PEMERINTAH DALAM PENENTUAN KALENDER
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, merupakan yang memiliki
otoritas kenegaraan, memiliki kriteria dalam penentuan awal bulan hijriyah
dengan menggunakan hisab rukyat. Kriteria imkan rukyat, yang menjadi dasar
pemerintah ini merupakan sebuah upaya didalam memadukan hisab dan rukyat.
Dengan demikian kriteria pemerintah ini menjadi sebuah kelompok khusus diluar
para mazhab hisab dan rukyat. Sebagaimana kita ketahui kriteria pemerintah ini
merupakan hasil dari perpaduan antara hisab dan rukyat, dan kritriteria ini
bertujuan sebagai penengah bagi mazhab hisab dan rukyat  atau yang sering kita
dengar Muhammadiyah dan NU. Imkan rukyat yaitu ialah {batas} kemungkinan
hilal dapat dirukyat, imkan rukyat juga sering disebut dengan visibilitas

13
Ibid
hilal. Imkan rukyat bagi pemerintah hanya dijadikan sebagai parameter kebenaran
hasil rukyat, apabila rukyat berada di atas batas imkan rukyat maka kemungkinan
hasil rukyat akan di terima dan pengumuman finalnya akan diumumkan melalui
sidang isbat. Kriteria pemerintah yang dipakai saat ini yaitu 2-3-8 artinya tinggi
hilal 2 derajat, jarak bulan-matahari 3 derajat dan umur bulan lebih dari 8 jam.
Kriteria tersebut disebut dengan kriteria MABIMS {Menteri Agama Brunei,
Indonesia, Malaysia dan Singapura} meskipun didalam pelaksanaannya dalam
penentapan awal bulan hijriyah saling berbeda. Berbagai kelompok memberikan
penilaian terhadap kriteria ini dikarenakan kurang ilmiah dan ada keberpihakan
atau lebih tepatnya mengabaikan ilmu pengetahuan.
Penetapan bulan baru dalam kalender hijriah hingga saat ini masih
menimbulkan permasalahan. Penafsiran yang berbeda terhadap lafadz “Shûmû
liru„yatihî, waftirû liru„yatihî” menghasilkan dua metode yang selalu
diperselisihkan untuk digunakan. Kemudian ditambah dengan penafsiran yang
disesuaikan dengan kebudayaan di sebuah lokal atau wilayah tertentu, dan juga
fanatisme terhadap pola metode tertentu, menjadikan perbedaan selalu mewarnai
dalam sidang itsbat.
Perbedaan dalam penafsiran lafadz “liru‟yatihî” menghasilkan dua pola
dalam penetapan awal bulan, yaitu Hisab dan Ru‟yah. Secara garis besar, pola
Hisab menekankan bahwa apabila hilâl sudah terlihat secara matematis, maka
dihukumi sudah memasuki bulan baru, sedangkan pola ru‟yah berpegang teguh
bahwa apabila hilâl sudah terlihat secara matematis namun belum terlihat oleh
mata di hari terakhir bulan tersebut, maka belumlah dihukumi masuk kepada
bulan yang baru. Walaupun sudah memasuki abad hijriah yang ke-XIV, belum
ada tanda untuk adanya kata sepakat antara dua pola tersebut. Perbedaan dari
hisab ru‟yah kemudian melebar karena ada percampurannya dengan budaya lokal.
Seperti yang terjadi di Indonesia, contohnya adalah perhitungan kalender
“Aboge”. Hal ini terjadi karena kuatanya budaya masa pra islam di wilayah
tersebut. Perbedaan kalender hijriyah yang ada di Dunia bila diperhatikan pokok
permasalahannya, khususnya kasus yang terjadi di Indonesia, tidak terlepas
daripada perbedaan pendapat dalam menggunakan metode penetapannya. Satu sisi
menganggap Ru‟yah adalah metode paling tepat dalam menentukan awal dan
akhir bulan hijriyah, sedangkan sisi lainnya berpendapat bahwa Hisâb lah yang
paling tepat. Fanatisme golongan atau madzhab juga membuat perbedaan ini
semakin terlihat. Dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia mewakili dua
metode tersebut.
Muhammadiyah berpegang teguh kepada metode hisab, sedangkan
Nahdhatul Ulama (NU)) berpegang teguh terhadap ru‟yah. Sehingga setiap
menjelang datangnya bulan-bulan penting dan hari raya dalam Islam, khususnya
Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagian besar umat Islam di Indonesia
dihantui oleh perbedaan pendapat mengenai kapan jatuhnya awal bulan tersebut
untuk memulai ibadah puasa dan mengakhirinya. Bagi masyarakat muslim yang
awam, perbedaan tersebut cukup membingungkan, disebabkan ketidaktahuan
tentang pendapat mana yang harus diikuti. Perbedaan tersebut bukan tanpa dalil,
semua tetap dalam pendiriannya karena memahami sebuah hadits nabi yang
menyebutkan bahwa seseorang yang melihat hilâl, maka dia wajib untuk
melaksanakan perhitungannya atau apa yang disaksikannya.
Hal ini sebenarnya ada dalam ranah khilafiyah. dan menurut kaidah
Ushuliyah, dalam masalah persatuan maka persatuan ummat-lah yang harus
diutamakan. Pemerintah sebagai pemangku kewenangan dalam hal inipun tidak
bisa menyatukan perbedaan yang ada. Fakta membuktikan, dalam kurun waktu
sepuluh tahun kebelakang (2002- 2012 / 1413-1433), ketetapan awal bulan
Syawwal yang seragam tercatat hanya Empat kali, yaitu pada tahun 2003/1424 14 ,
2004/142515 , 2008/1429, dan 2012/143316 .
Selain itu ketetapan penentuan awal dan akhir bulan hijriyah selalu berbeda.
Walaupun pada tahun 2012/1433 ini akhir bulan Ramadhan semua sepakat,
namun perlu diketahui bahwa awalnya tidak semua sepakat. Kenyataan tersebut
cukup menarik untuk dikaji ulang karena ada beberapa faktor yang diantaranya

14
Semua sepakat bahwa 1 Syawwal 1424 jatuh pada hari selasa, tanggal 25 November
2003
15
Semua sepakat bahwa 1 Syawwal 1425 jatuh pada hari minggu, tanggal 14 November
2004.
16
http://www.badilag.net/component/content/article/315-berita-kegiatan/12239-sidang-
itsbat-awal-syawal1433-h-188.html, diakses pada tanggal 1 Oktober 2012, pukul 10.30.
ialah; Pertama, para ulama telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan
Qamariah dapat ditempuh melalui empat metode:
1) ru‟yatu al-hilâl.
2) kesaksian orang yang adil.
3) menggenapkan (istikmâl) bilangan sya„ban 30 hari. dan
4) hisâb. 17
Sesungguhnya semua metode tersebut saling bekaitan erat dan tidak
mungkin dipisahkan, namun penggunaan keseluruhan metode tersebut masih
belum maksimal dikarenakan di Indonesia, sebagian ormas mempunyai cara
pandang tersendiri dalam menggunakan metode sehingga pada akhirnya seringkali
berbeda dalam penetapan. Perbedaan ini tentunya bagi masyarakat awam,
menimbulkan kekhawatiran karena dinilai dapat mengganggu keharmonisan
ukhuwah Islamiyah di kalangan umat, dan menimbulkan anggapan-anggapan
yang kurang baik dari penganut agama lain. Kedua, Faktor lain yang
menyebabkan masalah ini perlu dikaji ulang ialah mengenai berpuasa di hari ied.
Rasûlullâh mengharamkan bepuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri, dan Idul
Adha, matannya adalah sebagaimana berikut.
“….Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah
menghadiri shalat „ied bersama „Umar bin Al Khatab. „Umar pun mengatakan” ;
Dua hari ini adalah hari yang Rasûlullâh SAW larang untuk berpuasa di dalamnya
yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian. Begitu pula beliau
melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan
hasil sesembelihan kalian.” \18
Hadits tersebut derajatnya shahîh, dan telah disepakati oleh Rawi yang
empat, dengan jelas menerangkan tentang keharaman berpuasa di hari ied. Namun
ketika terjadi perbedaan penetapan awal bulan syawwal, maka akan ada
implikasinya yaitu perbedaan di masyarakat dalam hal masih berpuasa untuk
menggenapkan bulan Ramadhan menjadi tiga puluh hari dan berbuka karena
perhitungannya sudah pasti bahwa hari tersebut sudah memasuki bulan Syawwal,
17
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Da>r al-Fath, Juz I, 2003), hal. 613-615
18
Ibid., hal. 625, Hadits No. 1990. Abû Abdillah Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhâri,
Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Da>r Ibn Katsir, 2002), hal. 478-479
dengan kata lain implikasi perbedaan tersebut menyebabkan ada sebagian umat di
suatu daerah yang berpuasa dikala sebagian lain sudah berbuka dan melaksanakan
shalat ied. Seperti halnya yang terjadi di Kota Bandung pada tahun 2009 / 1430,
ada beberapa ormas yang berbeda dalam menentukan awal bulan Syawwal, satu
ormas telah berbuka dan melakukan shalat ied, satu kelompok masih berpuasa.
Hal ini sungguh menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena hal tersebut
rentan dalam menimbulkan perpecahan.
Oleh karena dua faktor tersebut, peneliti berusaha mengungkap penyebab
terjadinya perbedaan pendapat tentang awal bulan Ramadhan, juga pandangan
fiqh mengenai perbedaan masalah ini jika terjadi dalam satu tempat, serta
implikasi yang terjadi dari perbedaan tersebut

2.3 KALENDER HIJRIAH DALAM QANUN ACEH


Kriteria Kalender Hijriah dalam Qanun Aceh Kalender Hijriah sudah
dikenal dan dipakai di Aceh semenjak Kerajaan Samudera Pasai yang berdiri
sejak abad ke 7 H/13 M sampai abad ke 10 H/16 M sebagaimana terlihat pada
ukiran batu nisan tinggalan Kerajaan Samudera Pasai yang mencatat tanggal
kematian para pemimpin kerajaan masa itu dengan penanggalan Hijriah (Ismail,
2018: 101-122). Kalender Hijriah terus terlihat dipakai sampai Kerajaan
Darussalam yang berakhir akibat penjajahan.
Kalender Hijriah dalam setiap periode pemerintahan dalam Kerajaan Aceh
Darussalam dapat dilihat dari setiap surat yang tertulis dari kerajaan yang juga
selalu menggunakan penanggalan Hijriah. Selain dari bukti surat, kitab falak yang
membahas tentang kalender Hijriah juga sudah ada pada masa itu yang ditulis
oleh Abbas Kuta karang (Putri, 2020: 52-72).
Jadi, kalender Hijriah bagi masyarakat Aceh sudah begitu familier dan
terbiasa dalam kehidupan nya, ditambah dengan banyaknya ritual adat, pantangan
dan ritual keagamaan yang masih berkaitan erat dengan perhitungan kalender
Hijriah. Adat khanduri apam (serabi) yang telah menjadi ritual masyarakat Aceh
dalam menyambut malam Isra Mikraj pada bulan Rajab (Tumeang, 2018).
Pantangan turun sawah di setiap hari Rabu di akhir bulan dalam kalender Hijriah,
pantangan tersebut dikenal dalam masyarakat Aceh sebagai hari nahah (naas)
(Maulida, 2017: 59-79).
Ritual keagamaan juga sangat banyak di Aceh, seperti peringatan 1
Muharram, maulid Nabi yang dirayakan sampai 4 bulan (Rabiul Awal, Rabiul
Akhir, Jumadil Awal, dan Jumadil Akhir). Khanduri Asyura yang selalu
dilakukan pada tanggal 10 Muharram dan khanduri buruat atau khanduri nisfu
Syakban yang selalu dilakukan pada malam 15 Syakban (Cut Zahrina 2013).
Semua aktivitas ini sangat erat kaitannya dengan penanggalan Hijriah.
Sampai di sini bisa dipahami bahwa sangat wajar dan layak bagi masyarakat
Aceh bila kalender Hijriah digunakan dalam lembaran daerah Provinsi Aceh. Atas
dasar fenomena ritual keagamaan, ritual adat dan pantangan tersebut di atas,
sangat wajar bila dalam Qanun syariat Islam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam terdapat
beberapa poin yang mengatur secara khusus tentang pemberlakuan kalender
Hijriah di Aceh dalam kategori syiar Islam. “Pasal 14 Ayat (3) Setiap instansi
Pemerintah/Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan
Hijriah dan penanggalan Masehi dalam surat-surat resmi. Ayat (4) Setiap
dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib
mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masehi.” (Gubernur
Aceh, 2002).
Dinamika Kalender Hijriyah dalam Qanun Syariat Islam Provinsi Aceh –
Ismail dan Bastiar | 261 Kriteria kalender Hijriah dalam Qanun syariat Islam di
Aceh tidak tersebut secara jelas, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) juga
belum ada fatwa tentang kriteria kalender Hijriah untuk wilayah Aceh. Untuk
menganalisis tentang kriteria kalender Hijriah yang dipakai dalam Qanun syariat
Islam di Aceh penulis mencoba mengambil beberapa tanggal Hijriah yang tertera
dalam Qanun Aceh yang dikeluarkan setelah keluarnya Qanun syariat Islam tahun
2002.
Dalam pengesahan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam terdapat tanggal Hijriah
yang disandingkan dengan tanggal Masehi, yaitu 14 Oktober 2002 yang
bertepatan degan tanggal 07 Syakban 1423 H. Dalam pengesahan Qanun Nomor 8
Tahun 2014 tentang Pokok-pokok syariat Islam terdapat tanggal Hijriah dan
Masehi, yaitu tanggal 22 Oktober 2014 yang bertepatan dengan 27 Zulhijjah 1435
H. Dan dalam Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2015 tentang pembagian urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan syariat Islam antara pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten atau kota juga terdapat tanggal Masehi beriringan dengan
kalender Hijriah, yaitu 31 Desember 2015 bertepatan dengan 19 Rabiul Awal
1437 H. Untuk menemukan kriteria yang dipakai dalam kalender Hijriah yang
telah tertera dalam Qanun Aceh tentunya harus dilihat kondisi hilal secara
perhitungan dalam penentuan tanggal satu dalam setiap awal bulan Hijriah yang
telah tersebut dalam Qanun Aceh: 1. 14 Oktober 2002/07 Syakban 1423 H.
Konjungsi geosentris bulan Rajab dengan bulan Syakban terjadi pada
tanggal 6 Oktober 2002 pukul 18.17.23 Wib. Tinggi hilal saat matahari terbenam
di Lhokseumawe pada pukul 18.22.32 Wib adalah 00 derajat 27 menit 30 detik
busur di atas ufuk mari’y. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa 1 Syakban
1423 H menurut kriteria Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI)
jatuh pada hari Selasa 8 Oktober 2002 dengan menyempurnakan bilangan bulan
Rajab 30 hari dan 07 Syakban 1423 H bertepatan 14 Oktober 2002. Sedangkan
bila mengacu pada kriteria wujudul hilal, maka 1 Syakban 1423 H jatuh hari
Senin 7 Oktober 2002. 2. 22 Oktober 2014/27 Zulhijjah 1435 H. Konjungsi
geosentris bulan Zulkaidah dengan Zulhijjah terjadi tanggal 24 September 2014
pukul 13.13.49 Wib.
Tinggi hilal saat matahari terbenam di Lhokseumawe pukul 18.28.06 Wib
adalah 00 derajat 07 menit 56 detik busur di atas ufuk mari’y. Atas dasar data hilal
tersebut bisa dipastikan tanggal 1 Zulhijjah 1435 H secara kriteria Kemenag
Republik Indonesia jatuh hari Jumat 26 September 2014 dengan menggenapkan
jumlah bulan Zulkaidah 30 hari dan 27 Zulhijjah 1435 H bertepatan dengan
tanggal 22 Oktober 2014. Sedangkan bila merujuk pada kriteria wujudul hilal,
maka 1 Zulhijjah 1435 H jatuh hari Kamis 25 September 2014. 3. 31 Desember
2015/19 Rabiul Awal 1437 H. Konjungsi geosentris bulan Safar dan Rabiul Awal
1437 H terjadi tanggal 11 Desember 2015 pukul 17.29.20 Wib. Tinggi hilal untuk
kota Lhokseumawe saat matahari terbenam pukul 18.20.50 WIB adalah 00 derajat
1 menit 15 detik busur di atas ufuk mari’y. Dari data hilal tersebut dapat
dipastikan tanggal 1 Rabiul Awal 1437 H secara kriteria Kemenag RI jatuh pada
hari Minggu 13 Desember 2015 dengan menggenapkan 30 hari bulan Safar dan 19
Rabiul Awal 1437 H bersamaan dengan 31 Desember 2015. Sedangkan secara
kriteria wujudul hilal, 1 Rabiul Awal 1437 H jatuh pada hari Sabtu 12 Desember
2015. Dari tiga data tanggal Hijriah yang tertulis dalam Qanun Aceh di atas, bisa
dipastikan kriteria kalender Hijriah yang dimaksud dalam Qanun Nomor 11 tahun
2002 adalah kriteria yang dipakai oleh Kementerian Agama Republik Indonesia,
yaitu bulan baru Hijriah dianggap sudah masuk bila secara perhitungan kondisi
hilal saat Matahari terbenam tinggi hilal minimal 2 derajat, sudut elongasi Bulan-
Matahari minimal 3 derajat, atau umur hilal saat Matahari terbenam sudah
melebihi 8 jam setelah konjungsi terjadi. Aceh sebagai provinsi yang berstatus
“Daerah Istimewa” dalam menjalankan syariat Islam sudah sewajarnya menyusun
kriteria sendiri dalam menyusun kalender Hijriah untuk dipedomani oleh seluruh
lembaga dan struktur masyarakat Aceh, baik untuk keperluan adat maupun
keperluan ibadah.
Dalam penyusunan kriteria kalender Hijriah untuk Provinsi Aceh tentunya
harus dilihat sisi yang mampu menyatukan masyarakat Aceh dalam beribadah,
khususnya dalam mengawali bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah yang
sampai saat ini masih sering terjadi perbedaan pada penetapannya dalam
masyarakat Aceh.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Masyarakat Aceh sangat butuh dan ketergantungan dengan kalender Hijriah,
hal ini disebabkan banyak adat istiadat, pantangan, larangan dalam masyarakat
Aceh yang mengacu pada penanggalan Hijriah dan banyak ritual ibadah
masyarakat Aceh yang dilakukan berdasarkan pada penanggalan Hijriah.
Hadirnya Qanun syariat Islam di Provinsi Aceh yang mengakomodir kalender
Hijriah sebagai syiar Islam menjadi gerbang awal bagi masyarakat Aceh dalam
menyiarkan syariat Islam yang dianutnya dan menjadi sebuah harapan
terbentuknya kalender Hijriah yang mapan untuk dipedomani bersama. Formulasi
kalender Hijriah dalam Qanun syariat Islam di Aceh belum terbangun dan
tersusun dengan sempurna, hal ini bisa dilihat dari sisi belum adanya fatwa MPU
Aceh, Qanun Aceh, Peraturan Gubernur, atau Surat Edaran Gubernur Aceh yang
mengatur tentang konsep kalender Hijriah yang mapan untuk acuan dalam
keperluan administrasi sebagaimana diamanahkan dalam Qanun Aceh Nomor 11
Tahun 2002.
3.2 SARAN
Setelah mempelajari problematika kalender hijriah maka sebagai seorang
calon pendidik seharusnya mampu memahami dan kelak mampu menerapkan
ilmunya.
Untukitu, apabila dalam penulisan dan penyusunan makalah ini terdapat
kekurangan dan kelebihan,kritik dan saran dari pembaca kami butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Sabda. 2019. Ilmu Falak, Rumusan Syar’i dan Astronomi. 2. Bandung: Persis
Pers.
Ahmad Izzuddin. 2015. Sistem Penanggalan. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Angkat, Arbisora. 2017.
“Kalender Hijriah Global Dalam Perspektif Fikih.” AlMarshad: Jurnal Astronomi
Islam Dan Ilmu-Ilmu Berkaitan 3 (2).
https://doi.org/10.30596/jam.v3i2.1524 Arkanudin, Mutoha, dan Ma’rufin
Sudibyo. 2017. “Kriteria Visibilitas Hilal Rukyatul Hilal Iindonesia (RHI)
(Konsep, Kriteria, Dan Implementasi).”
Al-Marshad: Jurnal Astronomi Islam Dan Ilmu-Ilmu Berkaitan 1 (1).
https://doi.org/10.30596/jam.v1i1.737. Cut Zahrina. 2013.
Al-Manak Hijriah di Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya. Fahmi,
Chairul. 2012.
“Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat Di Aceh (Kajian Terhadap UU No.11
Tahun 2006).” TSAQAFAH 8 (2): 295–310.
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v8i2. 27. Firdaus. 2019.
“Peran Organisasi Teungku Dayah Dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.”
Disertasi, Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Gubernur Aceh. 2002. Qanun Provinsi Nanggro Aceh Darussalam Nomor 11
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan
Syiar Islam.

Anda mungkin juga menyukai