Anda di halaman 1dari 13

URGENSI PENYATUAN KALENDER HIJRIYAH SEBAGAI SARANA

PENGUAT UKHUWAH ISLAMIAH DI INDONESIA

Muhammad Lukman Nul Hakim

m.lukmannh32@gmail.com

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah


Institut Agama Islam Negeri Palangkaraya
Abstrak

Artikel ini ingin memberikan informasi kepada umat muslim bahwa penyatuan
kalender hijriyah dapat mempererat ukhuwah islamiah. Perbedaan yang terjadi
pada golongan-golongan umat muslim di Indonesia, dapat disatukan kembali pada
penyatuan kalender Islam. Karena selama ini, dalam prakteknya penerapan awal
bulan hijriah selalu terjadi perbedaan pendapat. Sering terjadi perselisihan
terhadap hal tersebut, yang menyebabkan masing-masing golongan tetap
berpegang teguh pada pendiriannya Umumnya perbedaan ini terjadi pada metode
yang digunakan. Dengan adanya perbedaan metode tersebut membuat hasil yang
berbeda pula. Sehingga, sudah seharusnya perbedaan tersebut ditiadakan demi
memperkuat dan meningkatkan ukhuwah umat Islam di Indonesia.

Kata Kunci : Ukhuwah, Penyatuan, Kalender.

A. Pendahuluan
Umumnya setiap orang membutuhkan kalender untuk menjadi pengatur,
pengingat dan juga sebagai pembagi waktu. Kehadiran kalender hijriyah
bagi umat Islam sangat diperlukan karena terkait dengan persoalan ibadah,
seperti puasa Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, haul zakat dan haji.
Penggunaan kalender hijriyah dalam historinya sudah digunakan di
kalangan masyarakat Arab jauh sebelum datangnya Islam.
Dalam sejarah dan peradaban kalender dunia, kemunculan sebuah kalender
pada dasarnya dilatari pertimbangan-pertimbangan praktis seperti
pertanian, ekonomi, perjalanan bisnis dan ritual keagamaan. 1 Kebutuhan
kalender juga muncul dilatari atas tuntunan sosio-politik masyarakat ketika
itu. Sebuah kalender menjadi popular di suatu masyarakat berawal dari
satu pengamatan satu atau beberapa fenomena secara berkala dan dalam
waktu yang lama dan merupakan fenomena yang berulang. Pengulangan
fenomena alam ini pada akhirnya dijadikan standar sebuah aktivitas,
bahkan dijadikan ritual dan keyakinan dan pada akhirnya menjadi sebuah
penjadwalan waktu yang dikenal dengan Kalender.2
Lahirnya sebuah kalender sangat berhubungan erat dengan telaah
astronomi, dan majunya peradaban sebuah bangsa dengan segenap
kompleksitas sosialnya pada akhirnya melahirkan kalender sebagai penata
dan penjadwal waktu baik sosial administratif maupun ritual keagamaan.
Kemajuan ilmu astronomi pada saat itu juga sudah sangat maju, ini
ditandai dengan munculnya seorang ahli astronomi yang bernama
Erastothenes yang dapat menghitung keliling lingkaran bumi sekitar
40.000 km.3 Di peradaban Mesir silam misalnya, perulangan banjir sungai
Nil yang bersamaan dengan munculnya bintang Sirius di langit Mesir
dijadikan basis penanggalan Fenomena banjir Nil dan bintang Sirius ini
sendiri terjadi secara berulang dan dalam waktu yang lama. Dalam
kenyataannya, fenomena Nil dan Sirius ini tidak hanya melahirkan
kalender, namun secara bersamaan melahirkan tradisi astronomi.
Dalam konteks dunia global, ketiadaan penertiban penjadwalan waktu
(kalender) menyebabkan kekacauan berbagai momen sosio-religius dan
administratif dunia, dan pada saat bersamaan akan menyebabkan kerugian
secara ekonomis. Khususnya umat Islam, yang mana Kalender Hijriah
sudah menjadi kebutuhan untuk menentukan waktu ibadah tahunan,
seperti salat Idul fitri, Idul Adha, puasa Ramadhan dan sebagainya Umat
Islam di seluruh dunia akan serentak melaksanakan ibadah pada bulan-
1
M. Arbisora Angkat, 2020, Urgensi Kalender Hijriyah Sebagai Haul Zakat Maal di Baznas
Provinsi Kepulauan Riau, Jurnal Syariah dan Hukum: Teraju, Vol. 2, No. 1, h. 66
2
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, KALENDER : Sejarah dan Arti Pentingnya Dalam
Kehidupan, (Semarang : Bisnis Mulia Konsultama, t.t), h. 14.
3
A. Ramdan, Islam dan Astronomi, (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2009), h. 52.
bulan tertentu, akan tetapi telah banyak terjadi perbedaan pendapat di
seluruh dunia dalam menentukan awal bulan Hijriah, sehingga
menimbulkan polemik di tengah umat Islam yang berujung perpecahan
umat Islam dalam hal peribadatan. Perbedaan pendapat ini juga terjadi di
Negara Indonesia, yang mana perbedaan tersebut paling signifikan
terdapat dalam pemahaman mengenai hisab rukyat. Dalam pandangannya,
Nadhlatul Ulama disimbolkan sebagai mazhab ru’yah (visibilitas hilal) dan
Muhammadiyah disimbolkan sebagai mazhab hisab (wujudul hilal).4
Terjadinya perbedaan yang ada pada masyarakat muslim Indonesia dalam
menentukan awal bulan hijriah, membuat adanya perbedaan dalam
pelaksanaan ibadah. Hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan puasa
ramadhan dan pelaksanaan hari raya idul Fitri, yang mana salah satunya
bisa melaksanakannya lebih cepat atau lebih lambat. Perbedaan ini lah
yang menyebabkan umat muslim di Indonesia kurang selaras dalam
menjunjung ukhuwah keagamaan secara bersama-sama. Sehingga
diperlukan untuk menentukan metode yang akan digunakan nantinya, agar
umat muslim di Indonesia memiliki keselarasan dalam pelaksanaan
ibadah, terutama pada era moderenisasi saat ini.
B. Pembahasan
1. Sejarah Kalender
Pembahasan tentang sejarah pengkalenderan terfokus pada sistem
Kalender Hijriyah atau lunar calendar, karena berkenaan dengan
Kalender Islam. Dalam menentukan kapan terjadinya hijrah Nabi,
ternyata diantara para sejarawan terdapat perbedaan pendapat, padahal
sudah jelas bahwa peristiwa tersebut tidak mungkin terjadi pada waktu
yang berlainan, antara lain:
Ibnu Ishaq yang membawakan riwayat Ibnu Hisyam, menyatakan
bahwa peristiwa hijrah (dalam hal ini Rasulullah SAW memasuki
Quba‟) terjadi pada 12 Rabiul Awal pertama hijriyah bertepatan pada

4
Amirah Himayah Husna, 2021, Penyatuan Kalender Hijriah Nasional dalam Perspektif Ormas
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), Jurnal Al-Afaq, Vol. 3, No. 2, h. 172
tanggal 28 Juni 622 M.5 Zainal Arifin Abbas dalam bukunya “Peri
Hidup Muhammad” menulis pendapat Mahmud Pasha al-Falaki,
seorang astronom kenamaan dari Mesir yang menetapkan dengan
perhitungan hisab, bahwa Rasulullah Saw tiba di Quba‟ pada tanggal
12 Rabiul Awal 1 H, bertepatan dengan 12 September 622 M.
Anwar Kasir dalam bukunya “Matahari & Bulan dengan Hisab”
mengemukakan juga pentahqiqan Mahmud Pasha al-Falaki, bahwa
Rasulullah SAW memasukii Quba‟ pada hari Senin, 12 Rabiul Awal
tahun baru bertepatan dengan tanggal 4 Oktober 621 M, yang tahun ini
pun belum dikoreksi kebenarannya, hanya diperkirakan saja pada
tahun nol Hijriyah.6 Dalam “Encyclopaedia Indonesia” ditulis bahwa
peristiwa hijrah tepat pada tanggal 8 Rabiul Awal, bertepatan pada
tanggal 20 September 622 M.7
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam menyebutkan lain lagi terutama
peristiwa hijrah Nabi SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal
bertepatan dengan 26 September 622 M, berjarak sekitar 62 sampai 64
hari dari perhitungan awal tahun hijriyah (1 Muharram) yang jatuh
pada tanggal 15 Juli 622 M.8 Lain lagi yang disebutkan dalam dalam
Ensliklopedi Islam Indonsia yang ditulis oleh Harun Nasution,dkk
bahwa hijrah Nabi SAW jatuh pada 16 Rabiul Awal bersamaan dengan
tanggal 2 Juli 622 M.9
Penelitian tentang tanggal hijriyah Nabi SAW dalam buku
Ensiklopedia Islam yakni menurut The Encyclopedia of Islam yang
diterbitkan oleh E.J. B menyebutkan bahwa hijrah Nabi SAW sampai
ke Madinah ialah jatuh pada tanggal 16 Juli 622 M. 10 Berdasarkan
penelitian terhadap empat buku ensiklopedi di atas mengenai hijrahnya
Nabi disepakati waktunya dihitung jika sesampainya beliau di
5
Abdur Rachim, Arti dan Makna Tahun Hijriyah (Yogyakarta: Lembaga Pengadilan pada
Masyarakat IAIN Sunan Kalijaga, 1986), h. 11.
6
Anwar Kasir, Matahari dan Bulan dengan Hisab (Surabaya: Bima Ilmu,1979), h. 50.
7
Ibid., h. 53.
8
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam indinesia, (Jakarta : Djambatan, 2002), h. 38.
9
Ibid., h. 40.
10
Ibid., h. 42.
Madinah, akan tetapi penanggalannya sangat beragam tidak ada satu
pun yang sama. Hal ini perlu ada peninjauan ulang terhadap penulisan
ensklopedia, masih diperlukan kesahihannya di antara mereka.
Dari sekian banyak pendapat itu, Abdur Rachim dalam bukunya “Arti
dan Makna Tahun Hijriyah” sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Mahmud Pasya al-Falaki yakni tanggal 2 Rabiul
Awal 1 H. bertepatan dengan tanggal 20 September 622 M, karena
disamping ia ahli falak pendapatnya juga sesuai dengan pendapat Ibnu
Ishaq Abu Ma‟raz al-Baradi dan Muslim. Serta didukung sepenuhnya
oleh sejarawan kenamaan Muhammad Hudhari.11 Hanya saja mengenai
pendapat Mahmu Pasya al-Falaki itu sendiri diambil dari keterangan
yang berbeda-beda, seperti yang dikemukakan oleh Hasbi ash-
Shiddieqy dan Anwar Katsir. Untuk memperkuat pendapatnya, Abdur
Rachim mengutip sebuah hadist Nabi SAW yang artinya :
“Ibnu „Abbas berkata: Nabi SAW dilahirkan pada hari Senin, diangkat
menjadi nabi pada hari Senin, mengangkat Hajar Aswat pada hari
Senin, wafat pada hari Senin, dan tarikh Islam dimulai dari hijrah
Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Orang yang mula-mula
memiliki tarikh dengan tahun Hijriyah adalah “Umar Ibn al-Khattab
Ra, pada tahun 17 hijriyah. Hanya saja tahun tarikh hijriyah itu di
mulai dua bulan sebelum peristiwa hijrah. Dengan demikian memulai
perhitungan tarikh bulan Muharram pada tahun itu, sedang Nabi SAW
pada waktu itu masih berada di Makkah, dan peristiwa hijrah terjadi
sesudah itu, yaitu pada bulan Rabiul Awal”.
Selanjutnya Abdur Rachim memberikan kesimpulan bahwa dari
ketetapan Ibnu „Abbas (hadist di atas) jelaskan bahwa Rasulullah Saw
melakukan hijrah pada bulan Rabiul Awal, dan perhitungan tahun
hijriyah dimulai dua bulan sebelumnya yaitu pada bulan Muharram.

11
M. Arbisora Angkat, Kalender Hijriyah Global Dalam Perspektif Fiqh, (Medan : Pascasarjana
UIN Sumatera Utara, 2017), h. 45.
Jelaskan pula bahwa tahun hijriyah dimulai pada tahun terjadinya
peristiwa hijrah.
Sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa oleh Nabi SAW
masyarakat arab memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar
(bulan) yang sesuai dengan Matahari. Tahun baru (Ra‟s as-Sanah =
kepala tahun) selalu berlangsung setelah berakhirnya musim panas,
sekitar September. Bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada
bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabiah
menyepakati untuk mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober,
daun-daun menguning sehingga bulan itu dinamai shafar (kuning),
bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi‟) berturut-
turut dinamai Rabi‟ul Awal dan Rabi‟ul Akhir. Januari dan Februari
adalah musim dingin (jumad atau beku) sehingga dinamai Jumadil
Awal dan Jumadil Akhir. Kemudian salju mencair (Rajab) pada bulan
Maret. Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya‟ban (syi‟b =
lembah) saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah lahan pertanian
atau mengembara ternak. Pada bulan Mei suhu mulai membakar kulit,
lalu suhu meningkat pada bulan Juni. Itulah bulan Ramadan
(pembakaran) dan Syawal (peningkatan). Bulan Juli merupakan
puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat
duduk di rumah dari pada berpergian, sehingga bulan ini dinamai
Dzulqa‟dah(qa‟id = duduk) akhirnya Agustus dinamai Zulhijjah sebab
pada bulan ini masyarakat Arab menunaikan haji ajaran nenek moyang
mereka, Nabi Ibrahim AS.12
Setiap bulan dimulai saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29
hari, sehingga 354 hari dalam setahun, 11 hari lebih cepat dari
Kalender Masehi (matahari) yang setahunnya 365 hari. Agar kembali
sesuai dengan perjalanna matahari dan awal tahun baru selalu jatuh
pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh
buah tahun yang jumlah bulannya 13 bulan (satu tahunnya 384 hari).

12
Ibid., h. 49.
Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi‟ yang ditambah
pada akhir tahun sesudah Dzulhijjah.
Kalender Islam disusun berdasarkan kalender bulan qomariyah atau
lunar-mount yang dimulai pada saat bulan sabit yang tipis di horizontal
barat dapat dilihat dengan mata manusia normal setelah matahari
tenggelam yaitu dalam selang waktu satu atau dua hari setelah ijtima‟
(after the new moon), satu bulan bisa berumur 29 hari atau 30 hari.
Satu tahun Islam terdiri dari 12 bulan, yaitu jumlah harinya bisa 354
hari atau 355 hari, bila dibandingkan dengan kalender sipil (Gregarian
Calender) sebanyak 365 atau 366 hari.
Karena kalender Islam itu terdiri dari 12 bulan lunar (bukan
berdasarkan lunar-matahari), maka rata-rata satu tahun Islam lebih
pendek 11 hari dibandingkan dengan rata-rata Gregorian. Tahun Islam
bergeser ke depan,(lebih awal atau lebih pendek) sekitar 11 hari
dibandingkan dengan tahun Gregorian.
Sedangkan hari-hari dalam Islam telah mengikuti urutan agama
sebenarnya (Yahudi dan Nasrani) dan dimulai dengan Minggu dan
berakhir dengan Sabtu. Dengan demikian meskipun Jum‟at adalah hari
libur bagi umat Islam Jum‟at sendiri tidak menunjukkan hari pertama
atau hari terakhir dalam satu minggu menurut kalender Islam hari-hari
tersebut adalah :
Menurut penelitian hijrah Nabi SAW dimulai pada tanggal 12 Rabiul
Awal bertepatan pada tanggal 14 September 622 M, dan apabila
penghitungan itu dimulai dari bulan Muharram, maka 01 Muharram 1
H itu diketahui pada tanggal 16 Juli 622 M. Inipun apabila permulaan
bulan didasarkan pada rukyat. Bagi yang berpegangan pada hisab
karena pada tanggal 14 Juli 622 M itu petang harinya tinggi hilal 5⁰57⁰
maka ditetapkan malam itu dan keesoknya hari Kamis tanggal 15 Juli
622 M, sebagai permulaan tahun hijriyah. Bulan setinggi itu memang
sulit untuk dirukyat, itulah sebabnya terjadi dua pendapat tentang
permulaan tahun hijriyah. Sistem penghitungannya ini berdasarkan
pada peredaran bulan mengelilingi bumi yang lamanya 29 hari 12 jam
44 menit 2,4 detik Setelah dilakukan penghitungan secara cermat
diketahuilah pada 12 bulan atau 1 tahun sama dengan 354 hari 8 Jam
48,5 menit yang kalau disederhanakan diketahui selama setahun sama
dengan 354 11/30 hari. Untuk menghindar terjadinya pecahan tersebut
diciptakanlah tahun-tahun panjang dan tahun-tahun pendek, yaitu
dalam tiap-tiap 30 tahun terdapat 11 tahun panjang dan 19 tahun
pendek. Tahun panjang umurnya 355 hari, dan tahun pendek umurnya
354 hari. Tambahan satu hari untuk tahun panjang ini diletakkan pada
bulan terakhir, yaitu bulan Dzulhijjah.13
Dalam hisab „urfi bulan-bulan gazal ditentukan umurnya 30 hari,
sedangkan bulan-bulan genap 29 hari. Dengan demikian satu tahun
umumnya 354 hari, kecuali tahun panjang umurnya ditetapkan 355
hari. Tambahan 1 hari diletakkan pada bulan Dzulhijjah, sehingga
menjadi 30 hari. Akan tetapi dalam hisab kontemporer (haqiqi), tidak
selalu bulan-bulan gazal 30 hari dan bulan genap 29 hari.Kadang
setiap bulan bisa berturut 29 hari atau 30 hari. Terkadang berganti
(antara 29 dan 30). Penghitungan hisab haqiqi berdasarkan observasi
terhadap fenomena alam yang sebenarnya..
2. Gambaran Umum Ukhuwah Islamiah di Indonesia
Kata ukhuwah secara etimologi berasal dari kata dasar akhun ( ُ‫)خَ ا‬.
Kata akhun (ُ‫ ) َخا‬ini dapat berarti saudara kandung/seketurunan atau
dapat juga berarti teman. Bentuk jamaknya ada dua, yaitui (ٌ‫ )ةَوْ إخ‬yang
berarti saudara kandung dan (ٌ‫ )انَوْ إخ‬yang berarti teman. Jadi ukhuwah
secara etimologi bisa diartikan “persaudaraan”.14
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini dinisbatkan pada arti orang
yang seibu dan sebapak, atau hanya seibu atau sebapak saja. Arti
lainnya adalah orang yang bertalian sanak keluarga, orang yang

13
Ibid., h. 53.
14
Hadiyyin, Ikhwan, “Merajut Pendidikan Ukhuwah Islamiah Di Indonesia”, (Banten: Luma’ Al-
Misykat, 2016), h. 70-71.
segolongan, sepaham, seagama, sederajat.15 Sehingga tampak sekali
bahwa kata akhun tersebut semakin meluas artinya, yakni bukan saja
saudara sebapak dan seibu, tetapi juga berarti segolongan, sepaham,
seagama, dan seterusnya.
Oleh karena itu, maka ukhuwah dalam konteks bahasa Indonesia,
memiliki arti sempit seperti saudara sekandung, dan arti yang lebih
luas yakni hubungan pertalian antara sesama manusia, dan hubungan
kekerabatan yang akrab di antara mereka. Selanjutnya dalam
masyarakat muslim, berkembang istilah ukhuwah Islamiyah yang
berarti persaudaraan antar sesama muslim, atau persaudaraan yang
dijalin oleh sesama umat Islam.
Ukhuwah islamiyah mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam
agama Islam, karena akan membentuk kesatuan masyarakat yang
islami. Maka agama Islam sangat memperhatikan hal ini dengan
perhatian yang sungguh-sungguh. Sedangkan menurut Abdullah
Nashih Ulwan, ukhuwah islamiyah adalah ikatan kejiwaan yang
melahirkan perasaan yang mendalam dengan kelembutan, cinta dan
sikap hormat kepada setiap orang yang sama-sama diikat dengan
akidah islamiyah, iman dan takwa.16 Ukhuwah Islamiyah merupakan
suatu ikatan akidah yang dapat menyatukan hati semua umat Islam,
walaupun tanah tumpah darah mereka berjauhan, bahasa dan bangsa
mereka berbeda, sehingga setiap individu di umat Islam senantiasa
terikat antara satu sama lainnya, membentuk suatu bangunan umat
yang kokoh.17 Terkait dengan ukhuwah (persaudaraan) ini, Imam al-
Ghazali, menegaskan bahwa persaudaraan harus didasari oleh rasa
saling mencintai.Saling mencintai karena Allah SWT dan persaudaraan
dalam agama-Nya merupakan pendekatan diri kepada Allah SWT.18
15
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), h. 1003.
16
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1990), h. 5
17
Musthafa al-Qudhat, Mabda’ul Ukhuwah fil Islam, (terj. Fathur Suhardi),Prinsip Ukhuwah
dalam Islam, (Solo: Hazanah Ilmu, 1994), h. 14.
18
Al Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Mizan, 1997), h. 152-154.
Salah satu masalah yang dihadapi umat Islam saat ini adalah
rendahnya rasa kesatuan dan persatuan. Hal tersebut memicu lemahnya
sektor kehidupan umat Islam. Kelemahan umat Islam terjadi hampir di
semua sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, maupun
budaya. Kelemahan ini tidaklah disebabkan oleh sedikitnya jumlah
umat Islam, melainkan rendahnya kualitas sumber daya manusianya.
Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan
secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi
sebab perpecahan umat. Hal yang menjadi sebab perpecahan pada
umumnya bukanlah hal yang bersifat mendasar. Perpecahan itu
biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan
muslim terhadap sesuatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan
umat Islam misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat atau
penafsiran mengenai suatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai
pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran pada
dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi. Karena itu,
menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai
penafsiran. Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat Islam
dan memantapkan ukhuwah Islamiyah para ahli menetapkan tiga
konsep, yaitu :19
a. Konsep tanawwu al’ibadah (keragaman cara beribadah)
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi
dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan
akan kebenaran semua praktik keagamaan selama merujuk kepada
Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari
interpretasi terhadap perilaku Rasulullah yang ditemukan dalam
riwayat (haditst). Interpretasi bagaimanapun melahirkan
perbedaan-perbedaan, karena itu menghadapi perbedaan ini
hendaknya disikapi dengan cara mencari rujukan yang menurut

19
Hadiyyin, Ikhwan, “Merajut Pendidikan Ukhuwah Islamiah Di Indonesia”, (Banten: Luma’ Al-
Misykat, 2016), h. 254-255
kita atau menurut ahli yang kita percayai lebih dekat kepada
maksud yang sebenarnya. Terhadap orang yang berbeda
interpretasi, kita kembangkan sikap hormat dan toleransi yang
tinggi dengan tetap mengembangkan silaturahim.
b. Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun (yang salah dalam
berijtihad pun mendapat ganjaran).
Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti
pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi
ganjaran oleh Allah, walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu
keliru. Perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang
benar dan salah bukan manusia melainkan Allah SWT yang baru
akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula
diperhatikan bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang
yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritas
keilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad. Perbedaan-
perbedaan dalam produk ijtihad adalah sesuatu yang wajar. Karena
itu, perbedaan yang ada hendaknya tidak mengorbankan ukhuwah
Islamiyah yang terbina di atas landasan keimanan yang sama
c. Konsep laa hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum
menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang
mujtahid).
Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan
yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-
Quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan
hukumnya. Oleh karena itu umat Islam, khususnya para mujtahid,
dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad yang
dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi setiap mujtahid,
walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.
C. Penutup
Penyatuan kalender Hijriyah bagi umat muslim di dunia, terkhusus di
Indonesia sangatlah diperlukan agar dapat memperkuat Ukhuwah umat
Islam. Perbedaan dalam menggunakan metode penentuan awal bulan harus
diakhiri, dan hanya berfokus pada satu metode mutlak yang digunakan.
Dalam hal ini, seluruh ulama dari berbagai Mazhab harus meniadakan
kepentingannya masing-masing, agar dapat mencapai kesepakatan
sempurna. Kegiatan ini perlu di dukung oleh pemerintah agar dapat
memperkuat legalitas dari hasil yang di dapat.
Kepentingan untuk meningkatkan ukhuwah islamiah di Indonesia, melalui
penyatuan kalender harus diutamakan. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar
menghasilkan produk berupa penyatuan kalender Hijriyah bagi umat Islam
Indonesia. Besar kemungkinan produk yang dihasilkan nanti, akan
menjadi pemicu bagi ulama di seluruh dunia untuk melakukan hal yang
sama. Apabila terjadi yang demikian, maka diperlukannya Kongres besar-
besaran yang harus diadakan di Mekkah, sebagai kiblat umat muslim.

Daftar Pustaka

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990.
Abdur Rachim, Arti dan Makna Tahun Hijriyah, Yogyakarta: Lembaga Pengadilan pada
Masyarakat IAIN Sunan Kalijaga, 1986.
Al Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Bandung: Mizan, 1997.
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, KALENDER : Sejarah dan Arti Pentingnya Dalam Kehidupan,
Semarang : Bisnis Mulia Konsultama, t.t.
Amirah Himayah Husna, 2021, Penyatuan Kalender Hijriah Nasional dalam Perspektif Ormas
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), Jurnal Al-Afaq, Vol. 3, No. 2.
Anwar Kasir, Matahari dan Bulan dengan Hisab, Surabaya: Bima Ilmu,1979.
A. Ramdan, Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indonesia, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Hadiyyin, Ikhwan, Merajut Pendidikan Ukhuwah Islamiah Di Indonesia, Banten: Luma’ Al-
Misykat, 2016.
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam indinesia, Jakarta : Djambatan, 2002.
M. Arbisora Angkat, Kalender Hijriyah Global Dalam Perspektif Fiqh, Medan : Pascasarjana UIN
Sumatera Utara, 2017.
M. Arbisora Angkat, 2020, Urgensi Kalender Hijriyah Sebagai Haul Zakat Maal di Baznas
Provinsi Kepulauan Riau, Jurnal Syariah dan Hukum: Teraju, Vol. 2, No. 1.
Musthafa al-Qudhat, Mabda’ul Ukhuwah fil Islam, (terj. Fathur Suhardi), Prinsip Ukhuwah dalam
Islam, Solo: Hazanah Ilmu, 1994.

Anda mungkin juga menyukai