Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HISAB DAN RUKYAT DALAM PENETAPAN 1 SYAWAL

Disusun untuk memenuhi tugas:


Mata Kuliah : Fiqh Kontemporer
Dosen Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno

Disusun Oleh:
1. Shinta Nurani 2031112002
2. Suci Hidayah` 2031112003

PROGAM STUDI ILM U AL-QUR’AN DAN TAFSIR


JURUSAN USHULUDDIN DAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Indonesia bukanlah negara yang tanpa konflik. Bahkan, Indonesia
merupakan salah satu negara yang sangat paham wajah konflik dalam segala
bentuk dan dimensinya. Dalam teori sosial ditegaskan bahwa semakin
homogen sebuah negeri, semakin rendah potensi konflik yang terjadi.
Sementara Indonesia, memiliki akar heterogenitas yang cukup tinggi.1
Berdasarkan hal tersebut, maka sangatlah wajar jika dalam beberapa
permasalahan seperti halnya ketika menentukan awal bulan Ramadhan ataupun
menentukan awal bulan Syawal terjadi perbedaan.
Selain itu, di negara yang sangat majemuk ini juga ditemukan berbagai
aliran (madzhab) tertentu seperti madzhab hisab dan rukyat. Madzhab tersebut
akan sangat nampak ketika dalam penentuan awal puasa Ramadlan ataupun
penentuan hari Raya Id. Permasalahan ini hampir selalu terjadi setiap tahun
walaupun pemerintah sudah berusaha untuk melakukan berbagai usaha-usaha
penyatuan hisab dan rukyah di Indonesia, misalnya dengan menggunakan
sistem imkanurrukyah dan melakukan sidang itsbat dengan semua organisasi
masyarakat dan juga para pakar ahli berbagai ilmu. Meskipun demikian,
perbedaan masih sering terjadi dalam madzhab hisab dan rukyat dalam
penentuan 1 Syawal.
Berdasarkan dari uraian tersebut, maka makalah ini mencoba membahas
tentang historisitas fiqh hisab rukyat, sketsa problem hisab rukyat, dasar yang
menjadi pijakan hisab rukyat, akar perbedaan antara madzhab hisab dan rukyat,
serta usaha-usaha penyatuan antara kedua madzhab ini.

1
Irwan Abdullah, dkk, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana UGM, 2008), h. 6.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Historisitas Fiqih Hisab Rukyah


1. Dalam Lintasan Sejarah Dunia
Merujuk pada penemu pertama ilmu hisab atau astronomi yakni Nabi
Idris, sebagaimana disebutkan dalam setiap mukadimah kitab-kitab falak,
tampak bahwa wacana hisab rukyah sudah ada sejak zaman itu, atau bahkan
lebih awal. Hal ini karena suatu temuan baru biasanya merupakan suatu
respons atau tanggapan dari suatu persoalan yang muncul dalam suatu
masyarakat sehingga kemunculan fiqih hisab rukyah dalam telusuran
sejarah, dapat diyakini muncul sebelum temuan ilmu falak itu sendiri.
Sekitar abad ke-28 SM embrio ilmu falak mulai tampak. Ia digunakan untuk
menentukan waktu bagi saat-saat penyembahan berhala.
Kemudian berlanjut ada asumsi Pytagoras (580-500 SM) bahwa bumi
berbentuk bola bulat, dilanjutkan Heraklitus dari Pontus (388-315 SM) yang
mengemukakan bahwa bumi berputar pada sumbernya. Kemudian temuan
tersebut dipertajam Aristarchus dari Samos (310-230 SM) dengan hasil
pengukuran jarak antara bumi dan matahari, dan pernyataaanya bumi
beredar mengelilingi matahari. Lalu Eratosthenes dari Mesir (276-196 SM)
juga sudah dapat menghitung keliling bumi.
Kemudian pada masa masehi, perkembangan ilmu astronomi ditandai
dengan temuan Claudius Ptalomeus (140 M) berupa catatan-catatan tentang
bintang-bintang yang diberi nama Tabril Magesthi.
Selanjutnya di masa awal Islam (masa Rasulullah SAW), ilmu hisab
memang belum masyhur di kalangan umat Islam, sebagaimana terekam
dalam hadis Nabi SAW: inna umati umiyyatun la naktubu wala nahsibu.
Secara formal, wacana hisab rukyah di masa ini baru tampak dari
adanya penetapan hijrah Nabi SAW dari Mekah ke Madinah sebagai
pondasi dasar kalender hijriah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin

2
Khatatab tepatnya pada tahun ke-17 Hijriah dan dengan berbagai
pertimbangan bulan Muharram ditetapkan sebagai awal bulan Hijriah.
Di masa Khalifah al-Makmun, naskah Tabril Magesthi diterjemahkan
dalam bahasa Arab. Dari sinilah lahir istilah ilmu hisab sebagai salah satu
dari cabang ilmu keislaman dan tumbuhnya ilmu hisab tentang penentuan
awal waktu shalat, penentuan gerhana, awal bulan Qamariah, dan penentuan
arah kiblat.2
2. Dalam lintasan sejarah Indonesia
Dalam lintasan sejarah Indonesia, selama pertengahan pertama abad
ke-20, peringkat kajian Islam yang paling tinggi hanya dapat dicapai di
Mekah, yang kemudian beralih ke Kairo. Kajian Islam termasuk di
dalamnya kajian tentang hisab rukyah tidak lepas dari adanya jaringan
Ulama. Ini membuktikan adanya jaringan Ulama yang dilakukan oleh
Ulama-Ulama hisab rukyah di Indonesia seperti Muhammad Manshur al-
Batawi, diketahui bahwa kitab monumentalnya, Sullam al-Nayyirain, adalah
hasil rihlah ‘ilmiyyah yang beliau lakukan selama di Jazirah Arab.
Berdasarkan atas itu, maka pemikiran hisab rukyah di Jazirah Arab seperti
di Mesir, sangat berpengaruh terhadap pemikiran hisab rukyah di Indonesia.
Menurut Taufik, dari beberapa kitab hisab rukyah yang berkembang di
Indonesia, sebagian merupakan hasil cangkokan dari kitab karya Ulama
Mesir yakni al-Mathla’ al-Sa’id ‘ala Rashdi al-Jadid.
Sejarah mencatat bahwa sebelum kedatanagan agama Islam di
Indonesia, telah tumbuh perhitungan tahun yang ditempuh menurut kalender
Jawa Hindu atau tahun Saka yang dimulai pada hari Sabtu, 14 Maret 78 M,
yakni tahun penobatan Prabu Syaliwohono. Namun sejak tahun 1043 H/
1633 M, bertepatan dengan 1555 Tahun Saka, tahun Saka diasimilasikan
dengan Hijriah. Kalau mulanya tahun Saka berdasarkan peredaran matahari,
lalu diubah menjadi tahun Hijriah yakni berdasarkan peredaran bulan,
sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Saka tersebut.

2
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah; Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul fitri, dan Idul Adha, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 48-51.

3
Kemudian semenjak penjajahan Belanda di Indonesia, terjadi
pergeseran penggunaan kalender resmi pemerintah, yang semula kalender
Hijriah diubah menjadi kalender Masehi. Meskipun demikian, umat Islam
tetap menggunakan kalender Hijriah, terutama daerah kerajaan-kerajaan
Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh pemerintah kolonial bahkan
penetapannya diserahkan kepada penguasa kerajaaan-kerajaan Islam yang
masih ada, terutama penetapan terhadap hari-hari yang berkaitan dengan
persoalan ibadah seperti 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah.3

B. Sketsa Problem Hisab dan Rukyah


Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya
adalah sejarah aliran, mazhab, atau firqah. Sejarah fiqh hisab rukyah (termasuk
penetapan awal bulan Qamariyah) juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan
aliran pemikiran tersebut. Penetapan bulan Qamariah merupakan salah satu
lahan ilmu hisab rukyah yang lebih kerap diperdebatkan dibanding dengan
lahan-lahan lain seperti penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
Menurut Ibrahim Husein, persoalan ini dikatakan sebagai persoalan “klasik”
yang senantiasa “aktual” karena persoalan ini selalu mengundang polemik
berkenaan dengan pengaplikasian pendapat-pendapat tersebut sehingga nyaris
mengancam persatuan dan kesatuan umat.4
Melihat fenomena seperti itu, kiranya tidak luput apa yang dikatakan
Snouck Hurgronje, seorang Orientalis dari Belanda yang menyatakan dalam
suratnya kepada gubernur jenderal Belanda:
“Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan
tentang awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara
kampung-kampung yang berdekatan”.5

3
Ibid., hlm. 54-60.
4
Ibid., hlm. 2.
5
Komentar Snouck Hurgronje tersebut sebagaimana dikutip majalah Tempo, 26 Maret
1994 ketika kolom Tanggap-menanggapi adanya perbedaan 1 Shawal 1414/1994 walaupun
pemerintah sudah berusaha keras, dalam Tempo, 26 Maret 1994, hlm. 35.

4
C. Dasar Hukum Awal Bulan Qamariyah
1. Surat al-Baqarah [2] ayat 189

‫ْس ْال ِب ُّر بِأَن تَأْتُوا‬ َ ‫اس َو ْال َحجِ َولَي‬


ِ َّ‫ي َم َواقِيتُ ِللن‬ َ ‫ع ِن اْأل َ ِهلَّ ِة قُ ْل ِه‬
َ ‫يَ ْسئَلُون ََك‬
َ ‫ورهَا َولَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ِن اتَّقَى َوأْتُوا ْالبُي‬
َ‫ُوت ِم ْن أَب َْوا ِب َها َواتَّقُوا هللا‬ ِ ‫ظ ُه‬ ُ ‫ُوت ِمن‬َ ‫ْالبُي‬
َ‫لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji dan
bukanlah kebajikan itu ialah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. Masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 189).
2. Surat al-Taubah [9] ayat 36

ِ ‫سما َ َوا‬
‫ت‬ َّ ‫ب هللاِ َي ْو َم َخلَقَ ال‬ ِ ‫ش ْه ًرا فِ ْي ِكتَا‬ َ ‫عش ََر‬ َ ‫ش ُه ْو ِر ِع ْندَ هللاِ اثْنَا‬ ُّ ‫إِ َّن ِعدَّة َ ال‬
‫س ُك ْم َوقَا ِتلُوا‬ ْ َ‫الدي ُْن ْالقَيِ ُم فَالَت‬
َ ُ‫ظ ِل ُم ْوا فِ ْي ِه َّن أ َ ْنف‬ ِ ‫ض ِم ْن َهآ أ َ ْر َبعَةٌ ُح ُر ٌم ذَ ِل َك‬ َ ‫َواْأل َ ْر‬
َ‫ْال ُم ْش ِر ِكيْنَ َكآفَّةً َك َما يُقَا ِتلُ ْونَ ُك ْم َكآفَّةً َوا ْعلَ ُم ْوا أ َ َّن هللاَ َم َع ْال ُمت َّ ِقيْن‬
“Bahwasanya bilangan bulan itu di sisi Allah dua belas bulan di dalam
kitab Allah dari hari ia menjadikan segala langit dan bumi.” (QS. Al-
Taubah: 36).
3. Hadis Nabi SAW
َّ ‫ي‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫س ِم ْعتُ أَبَا ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ش ْعبَةُ َحدَّثَنَا ُم َح َّمد ُ ب ُْن ِزيَا ٍد قَا َل‬ُ ‫َحدَّثَنَا آدَ ُم َحدَّثَنَا‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم أ َ ْو قَا َل قَا َل أَبُو ْالقَا ِس ِم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ع ْنهُ يَقُو ُل قَا َل النَّ ِب‬
َ
َ ‫علَ ْي ُك ْم فَأ َ ْك ِملُوا ِعدَّة‬
َ ‫ي‬ ُ ‫صو ُموا ِل ُرؤْ يَتِ ِه َوأ َ ْف ِط ُروا ِل ُرؤْ يَتِ ِه فَإ ِ ْن‬
َ ‫غ ِب‬ ُ ‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
َ‫ش ْعبَانَ ثَ َالثِين‬َ
"Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami
Syu'bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata,
aku mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu 'alaihi
wasallam telah bersabda: "Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal)

5
dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh
awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi
tiga puluh". (HR. Bukhari).

‫ب قَا َل أ َ ْخبَ َر ِني‬


ٍ ‫ع ْن اب ِْن ِش َها‬
َ ‫ع َق ْي ٍل‬
ُ ‫ع ْن‬ ُ ‫َحدَّثَنَا يَ ْحيَى ب ُْن بُ َكي ٍْر قَا َل َحدَّثَنِي اللَّي‬
َ ‫ْث‬
ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬
‫سو َل‬ َ ‫َّللاُ َع ْن ُه َما قَا َل‬
َّ ‫ي‬َ ‫ض‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ ُ َ‫ع َم َر أ َ َّن ابْن‬ُ ‫َّللا ب ِْن‬ِ َّ ‫سا ِل ُم ب ُْن َع ْب ِد‬ َ
‫صو ُموا َوإِذَا َرأ َ ْيت ُ ُموهُ فَأ َ ْف ِط ُروا‬ُ َ‫سلَّ َم يَقُو ُل إِذَا َرأ َ ْيت ُ ُموهُ ف‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ َّ
‫س ِل ِه َال ِل‬
ُ ُ‫ع َق ْي ٌل َويُون‬ ِ ‫ع ْن اللَّ ْي‬
ُ ‫ث َحدَّث َ ِني‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم فَا ْقد ُُروا لَهُ َوقَا َل‬
َ ُ‫غي ُْره‬ ُ ‫فَإ ِ ْن‬
َ ‫غ َّم‬
َ‫ضان‬
َ ‫َر َم‬

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah


menceritakan kepada saya Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata,
telah mengabarkan kepada saya Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bahwa
Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu melihatnya maka
berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila
kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari
disempurnakan) ". Dan berkata, selainnya dari Al Laits telah menceritakan
kepada saya 'Uqail dan Yunus: "Ini maksudnya untuk hilal bulan
Ramadhan". (HR. Bukhari).

‫ع ْن اب ِْن‬ َ ٍ‫ع ْن نَافِع‬ َّ ُ‫ع َب ْيد‬


َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫سا َمةَ َحدَّثَنَا‬ َ ُ ‫ش ْي َبةَ َحدَّثَنَا أَبُو أ‬ َ ‫َحدَّثَنَا أَبُو َب ْك ِر ب ُْن أَ ِبي‬
َ‫ضان‬ َ ‫سلَّ َم ذَ َك َر َر َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْن ُه َما أ َ َّن َر‬
َ ُ‫َّللا‬َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ ُ
‫عقَدَ إِ ْب َها َمهُ ِفي الثَّا ِلث َ ِة‬َ ‫ش ْه ُر َه َكذَا َو َه َكذَا َو َه َكذَا ث ُ َّم‬ َّ ‫ب بِيَدَ ْي ِه فَقَا َل ال‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫ف‬
ُ
‫ي َعلَ ْي ُك ْم فَا ْقد ُِروا لَهُ ث َ َالثِينَ و‬ َ ‫صو ُموا ِل ُرؤْ َيتِ ِه َوأ َ ْف ِط ُروا ِل ُرؤْ يَتِ ِه فَإ ِ ْن أ ْغ ِم‬ ُ َ‫ف‬
‫علَ ْي ُك ْم‬ ِ ْ ‫َّللا ِب َهذَا‬
ُ ‫اْل ْسنَا ِد َوقَا َل فَإ ِ ْن‬
َ ‫غ َّم‬ ُ ‫َحدَّثَنَا اب ُْن نُ َمي ٍْر َحدَّثَنَا أ َ ِبي َحدَّثَنَا‬
ِ َّ ُ‫ع َب ْيد‬
‫س ِعي ٍد َحدَّثَنَا يَ ْح َيى‬ َ ‫َّللاِ ب ُْن‬
َّ ُ ‫ع َب ْيد‬ ُ ‫سا َمةَ و َحدَّثَنَا‬ َ ُ ‫ث أَبِي أ‬ ِ ‫فَا ْقد ُِروا ث َ َالثِينَ ن َْح َو َحدِي‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫اْل ْسنَا ِد َوقَا َل ذَ َك َر َر‬ ِ ْ ‫َّللاِ ِب َهذَا‬
َّ ‫عبَ ْي ِد‬ ُ ‫ع ْن‬ َ ‫س ِعي ٍد‬ َ ‫ب ُْن‬
‫ش ْه ُر َه َكذَا َو َه َكذَا َو َه َكذَا َوقَا َل فَا ْقد ُِروا‬ َّ ‫ش ْه ُر تِ ْس ٌع َو ِع ْش ُرونَ ال‬ َّ ‫ضانَ فَقَا َل ال‬ َ ‫َر َم‬
َ‫لَهُ َولَ ْم َيقُ ْل ث َ َالثِين‬

6
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami
Ubaidullah dar Nafi' dari Ibnu Umar radliallahu 'anhumaa bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan bulan Ramadlan dan
beliau menepukkan kedua tangannya seraya bersabda: "Hitungan bulan itu
begini, bigini dan begini (beliau menekuk jempolkan pada kali yang ketiga).
Karena itu, berpuasalah kalian setelah melihat (hilal) -nya, dan berbukalah
pada saat kaliat melihatnya (terbit kembali). Dan jika bulan tertutup dari
pandanganmu, maka hitunglah menjadi tiga puluh hari." Dan Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair Telah menceritakan kepada kami
bapakku Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dengan isnad ini dan
Ibnu 'Abbas RAa menyebutkan; "Dan apabila (hilal itu) tidak tampak atas
kalian (terhalang mendung), maka sempurnakanlah menjadi tiga puluh
hari." Yakni sebagaimana haditsnya Abu Usamah. Dan Telah menceritakan
kepada kami Ubaidullah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Sa'id dari Ubaidullah dengan isnad ini. Dan berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan bulan Ramadlan seraya
bersabda: "Hitungan bulan itu adalah dua puluh sembilan. Hitungan bulan
itu adalah begini, begini dan begini." Dan ia juga menyebutkan:
"Sempurnakanlah." Dan tidak menyebutkan: "Tiga puluh." (HR. Muslim).

D. Pemikiran dan Mazhab Hisab Rukyah di Indonesia


Akar dari lahirnya aliran dan mazhab dalam penetapan awal bulan
Qamariah adalah perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis hisab rukyah
sebagaimana hadis di atas.6 Secara garis besar hadis-hadis rukyat
membicarakan tentang persaksian, matlak, teori istikmal dan rukyat (hisab),
teori istikmal diwakili oleh hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Ibnu Abbas, dan Siti ‘Aisyah, sedangkan hisab diwakili oleh hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Dua hadis yang dimaksud yakni sebagai berikut:

6
Ahmad Musonnif, Ilmu Falak; Metode Hisab Awal Waktu Shalat, Arah Kiblat, Hisab Urfi
dan Hisab Hakiki Awal Bulan, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 133-134.

7
‫حدثنا يحيى بن بكير قال حدثنى الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال أخبرنى‬
‫ سمعت رسول هللا‬:‫سالم بن عبدهللا بن عمر أن ابن عمر رضى هللا عنهما قال‬
‫صلى هللا عليه وسلم يقول إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فافطروا فإن غم‬
‫عليكم فاقدروا له وقال غيره عن الليث حدثنى عقيل ويونس لهالل رمضان‬
)‫(رواه البخارى‬

‫أخبرنى قتيبة قال حدثنا أبو األلوص عن سماك عن عكرمة عن ابن عباس‬
‫ صوموا للرؤية وافطروا للرؤية فإن‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫قال‬
)‫غاب عليكم فأكملوا عدة شعبان ثالثين (رواه البخارى‬

Secara lahiriah hadis-hadis tersebut menunjukan bahwa perintah


melakukan rukyat itu ditujukan bagi setiap umat Islam. Namun dalam
realitasnya tidak demikian, tidak semua orang Muslim memulai puasa dengan
melihat hilal terlebih dahulu, bahkan mayoritas orang berpuasa berdasarkan
berita tentang terlihatnya hilal dari orang lain. Dengan kata lain, berdasarkan
persaksian seseorang atau beberapa orang yang mengaku melihat hilal.
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sabda Rasulullah SAW itu
tidaklah mewajibkan rukyat untuk setiap orang yang hendak memulai puasa
Ramadhan, akan tetapi hanyalah ditujukan kepada salah seorang atau sebagian
orang dari mereka. Rukyat hilal cukup dilakukan oleh orang yang adil,
demikian pendapat jumhur ulama. Pendapat yang lain mengharuskan dua orang
yang adil dan tidak di isyaratkan setiap orang harus melakukan rukyat.
Patut diketahui hadis pertama juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
dengan lafadz idza roaitum. Dalam memahami hadis-hadis di atas, para ulama
berbeda pendapat. Mutharrif bin Abdullah (tabi’in) dan Ibnu Qutaibah (ahli
hisab) berpendapat bahwa lafadz faqduru lahu berarti hisab. Ibnu Ruysd
menyatakan bahwa lafadz faqduru lahu harus diartikan dengan fa akmilu al-
‘Iddata tsalatsina. Sementara itu Imam Abu al-‘Abbas ibnu Suraij (360 H/ 918
M) sepeti yang dikutip oleh Ibn al-‘Arabi, mengajukan cara pengkompromian

8
antara hadis-hadis yang menggunakan frase faqduru lahu (maka kadarkanlah
ia) dengan hadis-hadis yang menggunakan frase fa akmilu al-‘iddah (maka
sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan mengatakan:
...bahwa sesungguhnya sabda Nabi saw., faqduru lahu merupakan
khitab yang ditujukan pada orang-orang yang khusus memiliki kemampuan
ilmu hisab, sedangkan sabda Nabi saw., fa akmilu al-‘iddah adalah yang
ditujukan bagi masyarakat umum.7
Menurut penelitian Syihabbudin al-Qalyubi, hadis-hadis hisab rukyah
tersebut mengandung sepuluh interpretasi yang beragam, diantaranya:
1. Perintah berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak
berlaku atas orang yang tidak melihatnya.
2. Melihat disini melalui mata karenanya tidak berlaku atas orang buta.
3. Melihat (rukyah) secara ilmu bernilai mutawatir dan merupakan berita dari
orang yang adil.
4. Nash tersebut mengandung juga makna zhan sehingga mencakup ramalan
dalam nujum (astronomi).
5. Ada tuntutan puasa secara kontinu jika terhalang pandangan atas hilal
manakala sudah ada kepastian hilal sudah dapat dilihat.
6. Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walaupun
menurut ahli astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.
7. Perintah hadis tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin secara
menyeluruh. Namun pelaksanaan rukyah tidak diwajibkan kepada
seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.
8. Hadis ini mengandung makna berbuka puasa.
9. Rukyah itu berlaku terhadap hilal Ramadhan dalam kewajiban berpuasa,
tidak untuk ifthar-nya (berbuka).
10. Yang menutup pandangan ditentukan hanya oleh mendung bukan
selainnya.8

7
Susiknan Azhari, Hisab & Rukyat; Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah
Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 55-57.
8
Ahmad Izzuddin, Op. Cit., hlm. 3-4.

9
Berdasarkan hal itu, di Indonesia terdapat banyak aliran karena adanya
ketersinggungan Islam sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little
tradition yang melahirkan corak perilaku keagamaan tersendiri. Begitu pula
dalam permasalahan hisab dan rukyah, muncul banyak aliran dalam hisab dan
rukyah, diantaranya:
1. Mazhab Tradisional ala Islam Jawa
Aliran Aboge, yakni aliran yang berpedoman pada tahun jawa lama
dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Rabu wage Pemikiran ini sering
disebut dengan pemikiran aboge yakni cara penentuan awal Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah dengan bersandarkan pada perhitungan tahun Jawa
lama (Khuruf aboge) dan ru’yah al-hilal (observasi dengan mata telanjang
saat tenggelamnya matahari). Aliran ini sebagaimana diikuti oleh
masyarakat muslim dusun Golak Ambarawa Jawa Tengah.9
Dalam pemikiran aboge ada beberapa prinsip utama. Pertama, prinsip
penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-Muslim-Jawa adalah
hari itu lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya. Kedua, jumlah hari
dari bulan puasa menurut cara perhitungan aboge selalu genap 30 hari, tidak
pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan hari falak (versi pemerintah).
Adapun istilah aboge dapat dirinci bahwa a berasal dari alip, salah
satu dari delapan tahun siklus windu, bo mengacu pada rebo (hari rabu, dan
ge berasal dari wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti
bahwa tahun Alip selalu dimulai pada hari Rabu Wage. Ketiga, dalam
penentuan awal bulan puasa dan awal bulan syawal digunakan istilah pletek
yang berarti terbukti atau semua masyarakat telah melihat bulan dengan
mata telanjang, sebagaimana dasar dari hadis-hadis hisab rukyah.10
2. Aliran Asapon, yakni aliran yang berpedoman pada kalender jawa Islam
yang sudah diperbaharui dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Selasa
pon, sebagaimana yang diikuti oleh lingkungan keraton Yogyakarta.
3. Madzhab Rukyah

9
Kementrian Agama Republik Indonesia, Ilmu Falak Praktik, (Jakarta: Sub Direktorat
Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat, 2013), hlm. 155.
10
Ahmad Izzuddin, Op. Cit., hlm. 82-84.

10
Mazhab ini menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan
berdasarkan rukyah atau melihat bulan yang dilakukan pada hari ke-29.
Apabila rukyah tidak berhasil, baik karena posisi hilal memang belum dapat
dilihat maupun karena terjadi mendung, maka penetapan awal bulan harus
berdasarkan istikmal (penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari).11
Menurut mazhab ini term rukyah dalam hadis-hadis hisab rukyah
adalah bersifat ta’abudi-ghair ma’qul al-ma’na, artinya tidak dapat
dirasionalkan pengertiannya, sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat
dikembangkan. Dengan demikian, madzhab ini berpegang pada makna
hadis secara harfiah dan rukyah hanya diartikan sebatas melihat dengan
mata kepala (mata telanjang-tanpa alat), dan hisab hanya sebagai alat bantu
dalam melakukan rukyah. 12 Aliran ini dipegang oleh Nahdlatul Ulama.
4. Pemikiran mazhab hisab
Menurut mazhab ini, term rukyah yang ada dalam hadis-hadis hisab
rukyah dinilai bersifat ta’aqquli-ma’qul al-ma’na, dapat dirasionalkan,
diperluas dan dikembangkan. Maksudnya, dalam mengartikan ru’yah dapat
juga dalam makna melihat dengan mata ilmu yaitu melalui bantuan hitungan
peredaran bulan pada garis edarnya dengan menggunakan ilmu falak. Pihak
ini berdalih bahwa ilmu pengetahuan harus diikutsertakan dalam
menetapkan awal bulan dan tidak perlu sibuk-sibuk mencari tempat tinggi
atau ke laut untuk dapat menyaksikan terbit awal bulan. Kalau dahulu pada
masa Nabi SAW, bulan harus dapat dilihat dengan mata telanjang, karena
pada waktu itu cara melalui perhitungan (ilmu astronomi) belum lagi lazim.
Mereka mendasarkan pada hadis “Anda lebih mengetahui tentang dunia
Anda”. Mereka memahami makna, “dunia Anda (dunyakum)” dalam hadis
tersebut adalah situasi dunia pada masanya. Kini ilmu astronomi sudah
sangat popular. Selain itu, mereka berdalih bahwa mata ilmu lebih
menjamin kebenaran daripada mata kepala. Hal ini berarti rukyah dapat

11
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta:
Putaka Pelajar, 1997), hlm. 192.
12
Susiknan Azhari, Hisab & Rukyat; Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah
Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 69-70.

11
diartikan (antara lain) mengetahui sekalipun zhanni (dugaan kuat) tentang
adanya hilal, meskipun tidak mungkin dapat dilihat misalnya berdasarkan
hisab falaki.13 Inilah pendapat yang dipakai oleh madzhab Hisab.
Dalam khazanah ilmu hisab dikenal beberapa metode untuk
menentukan ijtima (konjungsi) dan posisi hilal dan awal pada akhir
Ramadhan. Metode-metode tersebut yakni sabagai berikut:
a. Metode hisab haqiqi taqribi. Kelompok ini mempergunakan data bulan
dan matahari berdasarkan data dan tabel Ulugh Bek dengan proses
perhitungan yang sederhana. Hisab ini dilakukan hanya dengan cara
penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa
mempergunakan ilmu ukur segitiga bola.
b. Metode hisab haqiqi tahqiqi. Metode ini dicangkok dari kitab al-Mathla’
al-Said Rushd al-Jadid yang berakar dari sistem astronomi serta
matematika modern yang asal muasalnya dari sistem hisab astronom-
astronom Muslim tempo dulu dan telah dikembangkan oleh stronom-
astronom modern (Barat) berdasarkan penelitian baru. Inti dari sistem ini
adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan, dan titik
simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem koordinat
ekliptika.
c. Metode hisab haqiqi kontemporer. Metode ini menggunakan hasil
penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah
dikembangkan. Metode ini sama dengan metode hisab haqiqi tahqiqi
hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan
kemajuan sains dan teknologi.14
Ada juga sistem hisab yang mendasarkan pada posisi hilal, yakni
penentuan awal bulan Qomariah tidak hanya didasarkan pada ijtima’
melainkan harus diperhatikan posisi hilal di atas ufuk saat terbenam setelah
terjadinya ijtima’.

13
Slamet Hambali dan Ahmad Izzuddin, “Awal Ramadlan 1418 H dan Validitas Ilmu
Hisab Rukyah”, Wawasan, 30 Desember 1997, hlm. 2.
14
Ahmad Izzuddin, Op.Cit., hlm. 7-8.

12
5. Aliran Hisab Imkanurrukyah, yakni penentuan awal bulan berdasarkan
hisab yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Aliran ini yang
dipegangi pemerintah. Sistem imkan al-ru’yah menggunakan kriteria yakni:
a. Penentuan awal bulan Qamariah didasarkan pada sistem hisab hakiki dan
atau rukyah.
b. Penentuan awal bulan Qamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah
mahdhah, yakni awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah ditetapkan
dengan memperhitungkan hisab hakiki dan rukyah.
c. Kesaksian rukyah dapat diterima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan
jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam.
d. Kesaksian rukyah hilal tidak dapat diterima apabila ketinggian hilal
kurang dari 2 derajat, maka awal bulan ditetapkan berdasarkan istikmal.
e. Aapabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat
ditetapkan.
f. Dalam melaksanakan itsbat, pemerintah mendengarkan pendapat-
pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli.15
6. Aliran Rukyah Internasional (Rukyah Global). Aliran ini berprinsip di
manapun tempat di muka dunia ini, jika ada yang menyatakan berhasil
melihat hilal, maka waktu itu pula mulai tanggal satu dengan tanpa
mempertimbangkan jarak geografisnya. Aliran ini diikuti oleh Hizbut
Tahrir.
7. Aliran mengikuti Mekkah, di mana penetapannya atas dasar kapan Mekah
menetapkannya.16

E. Langkah-Langkah Hisab dan Rukyah


Rukyah hilal (melihat bulan baru) untuk mengetahui pergantian bulan
dapat dilakukan dengan menggunakan teropong atau menggunakan gawang
lokasi atau gabungan keduanya. Rukyah umumnya dilakukan di tepi pantai

15
Ibid., hlm. 91-92.
16
Kementrian Agama Republik Indonesia, Loc. Cit., hlm. 155.

13
atau di atas dataran tinggi seperti gunung atau bukit, karena kedua tempat
tersebut merupakan lokasi bebas halangan untuk melihat hilal di ufuk bagian
barat, misalnya di daerah Pelabuhan Ratu Kabupaten Ciamis, Tugu Monas
Jakarta, Pantai Kuta Bali, dan lainnya.
Dalam melakukan rukyah, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan
diantaranya:
1. Membentuk tim rukyah yang terdiri dari unsur pemerintah, dalam hal ini
Departemen Agama, Ormas Islam, tokoh agama, dan unsur masyarakat
lainnya.
2. Menentukan lokasi rukyah, merupakan lokasi yang bebas halangan untuk
memandang ke arah barat dalam rangka melihat hilal, baik di dataran tinggi
atau perbukitan atau di pinggir pantai.
3. Melakukan hisab awal bulan untuk mengetahui waktu dan posisi matahari
terbenam, posisi dan ketinggian hilal pada saat matahari terbenam, lama
hilal di atas ufuk saat hilal terbenam.
4. Membuat gawang lokasi jika rukyah menggunakan gawang lokasi.
5. Menyiapkan dan memasang alat bantu rukyah yang akan digunakan,
misalnya teropong atau gawang lokasi.
6. Melakukan pengamatan terhadap hilal (rukyah) dengan memfokuskan
pandangan serta perhatian ke titik fokus posisi hilal pada orbit bulan, sejak
matahari terbenam sampai saat hilal terbenam.
7. Menyusun laporan rukyah dan menyampaikan kepada Pemerintah
Departemen Agama untuk selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah Pusat.
Laporan yang dibuat akan dijadikan bahan dan pertimbangan oleh dewan
Itsbat dalam menentukan awal bulan.17
Sedangkan langkah-langkah hisab awal bulan, yaitu:
1. Menentukan bulan dan tahun yang akan dilakukan hisab. Misalnya 1
Muharram 1428 Hijriyah ini berarti yang dicari ijtima’ akhir Dzulhijjah
1427 H (29 Dzulhijjah 1427 H).

17
Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2004), hlm. 214.

14
2. Menentukan lokasi dimana rukyat akan dilakukan, sebab tidak semua lokasi
dapat dilakukan rukyat.
3. Menyiapkan, mengambil, dan mengolah data astronomis dari almanak
ephemeris.
4. Memperkirakan ijtima’ dengan perbandingan tarikh atau dikenal juga
dengan istilah hisab ‘urfi dan juga yang menyebutnya dengan konversi
tanggal dari hijriyah ke masehi.
5. Mencari dan menghitung saat terjadinya ijtima’ akhir bulan.
6. Menghisab perkiraan saat matahari terbenam di lokasi rukyat.
7. Mencari ketinggian hilal.
8. Mencari ketinggian hilal (hakiki).
9. Mencari ketinggian hilal (mar’i).
10. Mencari lama hilal di atas ufuk.
11. Mencari saat hilal ghurub.
12. Mencari azimut matahari.
13. Mencari azimut bulan.
14. Menentukan posisi hilal.
15. Menghitung lebar cahaya hilal.
16. Menghitung kemiringan hilal.
17. Kesimpulan.18

F. Usaha Penyatuan Hisab dan Rukyat


Usaha-usaha yang dilakukan untuk menyatukan penentuan awal bulan
Qamariyah terus dilakukan. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut yaitu:
1. Membentuk Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, pusat dan daerah,
yang anggotanya terdiri dari unsur Departemen Agama, Peradilan Agama,
MUI, dan ormas Islam lainnya, instansi teknis terkait seperti Badan
Meteorologi dan Geofisika, Planetarium dan Observatorium Jakarta,
Observatorium Bosscha Lembang, perguruan tinggi dan perorangan yang
ahli. Kegiatan dari badan ini antara lain menghimpun data dan pendapat

18
A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi), (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 136-137.

15
serta melakukan musyawarah menjelang dan saat sidang itsbat awal
Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah.
2. Melakukan temu kerja dan musyawarah untuk menentukan data hisab bagi
kepentingan rukyat dan penetapan awal bulan Qamariyah termasuk hari-hari
libur nasional yang berhubungan dengan hari besar Islam. Temu kerja ini
diadakan setiap tahun diikuti oleh unsur-unsur tersebut.
3. Mengadakan musyawarah dan rukyat bersama dengan negara-negara Brunei
Darussalam, Malaysia, dan Singapura.
4. Melakukan konsultasi dengan Majlis Ulama Indonesia, terutama dalam
menghadapi situasi kritis.
5. Mengadakan pelatihan yang diikuti oleh unsur instansi pemerintah dan
masyarakat (pesantren dan ormas).
6. Melakukan kajian-kajian terhadap sistem dan referensi hisab yang
berkembang di masyarakat, kemudian menyusun suatu sistem dan data
hisab yang relatif sederhana yang disebut Ephemeris Hisab Rukyat untuk
digunakan oleh semua pihak. Sistem hisab kontemporer ini menyajikan data
astronomis bulan dan matahari harian, bahkan tiap jam, diterbitkan setiap
tahun oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Ephimeris ini
disebarkan kepada seluruh Peradilan Agama se-Indonesia dan beberapa
pesantren serta para peminat hisab rukyat. Dalam pelatihan-pelatihan baik
yang diselenggarakan oleh Departemen Agama maupun ormas dan
pesantren, sistem ini selalu disosialisasikan dan dikaji.
7. Menerbitkan Taqwim Standar Indonesia setiap tahun. Taqwim ini berupa
kalender dinding yang memuat penanggalan hijriyah yang telah disepakati
oleh temu kerja dari para ahli berbagai instansi pemerintah terkait dan unsur
masyarakat.
8. Melakukan rukyat bersama, baik untuk kepentingan penetapan awal
Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah, maupun menjelang awal bulan lainnya.
9. Melakukan observasi gerhana sebagai pengecekan hasil hisab.19

19
Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2004), hlm. 12-14.

16
Dalam wacana fiqih hisab rukyat di Indonesia terdapat fenomena yang
menarik, di mana pada dasarnya pemerintah RI (Menteri Agama) berusaha
untuk menyatukan (memfasilitasi) perbedaan dalam penetapan awal bulan
Ramadhan dengan menggunakan sistem hisab dan imkan al-rukyah atau
perhitungan dan rukyah. Jadi, hisab tetap dipakai, tetapi karena secara “hisab”
hasil perhitungannya ijtimak (konjungsi) berkisar -0 derajat 34 menit untuk
Merauke dan +0 derajat 31 menit untuk Sabang, juga tidak mungkin atau
sangat sulit dilihat, maka tetap menunggu rukyah.20
Selain itu, pemerintah juga sudah memfasilitasi penyatuan dalam bentuk
sidang itsbat yang diikuti oleh semua pihak yang terkait termasuk dari ormas-
ormas Islam. Akan tetapi, dalam tataran praktis sering terbawa oleh iklim
politik. Sebagaimana ketika masa Orde Baru, pemerintah nampak tidak
konsisten dalam penetapan awal dan akhir Ramadlan. Dari sinilah
menimbulkan kekurangpercayaan sebagian kelompok masyarakat terhadap
ketetapan Pemerintah sebagai ulil amri yang semestinya ditaati sehingga
muncul adanya ketetapan awal-akhir Ramadlan dari ormas-ormas sendiri-
sendiri dengan bahasa hanya sekedar instruksi maupun ihbar.
Padahal seharusnya antara hisab dan rukyah bagaikan dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, dua metode yang saling
melengkapi, saling melekat, dan saling menguatkan. Metode hisab sebagai
prediksi sebelum statusnya masih sebatas hipothesis verifikatif tentu masih
memerlukan pembuktian observasi (rukyah) di pantai sehingga kontinuitas
rukyah dengan dibuktikan hasil hisab harus selalu dilakukan setiap akhir bulan
Qamariyah. Dalam term hukum dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan
saksi, di mana hisab yang akurat diperlukan untuk acuan (persaksian)
pelaksanaan rukyah yang akurat sedangkan eksistensi rukyah sebagai alat bukti
(pembuktian di lapangan realitas) atas hasil perhitungan (hisab). Pada akhirnya
standarisasi ketinggian hilal (irtifa’ul hilal) dapat dihasilkan sebagai hasil
kompromi metode hisab dan rukyah secara empiris ilmiah.

20
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 224.

17
Dalam permasalahan fiqh sosial seperti awal penetapan bulan Ramadlan
ini, seharusnya demi terciptanya kemaslahatan umum, keseragaman, dan
bersatunya umat, maka keputusan ada di tangan pemerintah seperti Menteri
Agama dengan kaidah hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf (keputusan
Hakim/Pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat).
Pemerintah sebagai ulil amri yang diserahi wewenang penetapan ini idealnya
harus aspiratif selektif dan persuasif dengan dasar ilmiah bukan atas dasar
pertimbangan politis. Berdasarkan hal itu, jika pemerintah telah menetapkan
dan memutuskan dengan baik berdasarkan laporan kesaksian rukyah maka
seluruh masyarakat Indonesia harus mematuhinya. Dengan demikian umat
Islam Indonesia akan dapat serempak dalam mengawali dan mengakhiri ibadah
Puasa Ramadlan.21
Di dalam terminologi al-Quran (al-Nisa [4]: 59), pemerintah atau uli al-
amr juga wajib dipatuhi selama apa yang dilakukannya sejalan dengan
kebenaran, termasuk di dalam menentukan 1 Syawal. Tentu saja pemerintah
dalam memutuskannya setelah melalui rukyah. Dalam konteks ini, pemerintah
memfasilitasi agar iklim dan persaudaraan tetap berjalan dengan baik dan
kondusif dengan tidak memaksakan semua orang sama.
Namun, di dalam hukum Islam, berbeda pendapat adalah suatu
keniscayaan. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa
perbedaan pendapat adalah rahmah. Sebagaimana Rasulullah bersabda,
ikhtilafu ummati rahmah. Jika hanya karena berbeda di dalam berlebaran,
kemudian melahirkan “olok-olok” yakni munculnya ungkapan lebarannya
orang-orang yang di lapangan dan orang-orang yang biasa di masjid. Maka,
marilah dijalankan apa yang kita yakini dengan sepenuh kekhusyukan dengan
tetap mengedepankan tasamuh, toleran, dan saling menghormati.22
BAB III
PENUTUP

21
Kementrian Agama Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 147-149.
22
Ahmad Rofiq, Op. Cit., 227-229.

18
A. Kesimpulan
Persoalan hisab dan rukyah merupakan persoalan “klasik” yang
senantiasa “aktual” karena persoalan ini selalu mengundang polemik berkenaan
dengan pengaplikasian pendapat-pendapat tersebut sehingga nyaris
mengancam persatuan dan kesatuan umat. Terdapat beberapa aliran (madzhab)
dalam penetapan awal bulan Qamariyah yaitu aliran aboge, aliran asapon,
madzhab hisab, madzhab rukyah, aliran hisab imkanurrukyah, Aliran Rukyah
Internasional (Rukyah Global), dan aliran mengikuti makkah. Adapun akar
dari lahirnya berbagai aliran tersebut adalah perbedaan pemahaman terhadap
hadis-hadis hisab rukyah. Meskipun demikian, pemerintah RI (Menteri Agama)
berusaha untuk menyatukan (memfasilitasi) perbedaan dalam penetapan awal
bulan Ramadhan dengan menggunakan sistem hisab dan imkan al-rukyah,
sidang itsbat, dan usaha penyatuan lainnya.
Padahal seharusnya antara hisab dan rukyah bagaikan dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, saling melengkapi, saling
melekat, dan saling menguatkan. Hisab sebagai keterangan saksi, di mana
hisab yang akurat diperlukan untuk acuan (persaksian) pelaksanaan rukyah
yang akurat sedangkan eksistensi rukyah sebagai alat bukti (pembuktian di
lapangan realitas) atas hasil perhitungan (hisab). Adapun salah satu solusi
dalam menyatukan hisab rukyah ialah dengan menggunakan keputusan yang
ada di tangan pemerintah seperti Menteri Agama dengan kaidah hukmul hakim
ilzamun wa yarfa’ul khilaf (keputusan Hakim/Pemerintah itu mengikat dan
menyelesaikan perbedaan pendapat) sehingga umat Islam Indonesia akan dapat
serempak dalam mengawali dan mengakhiri ibadah Puasa Ramadlan. Lebih
dari itu, marilah dijalankan apa yang kita yakini dengan sepenuh kekhusyukan
dengan tetap mengedepankan tasamuh, toleran, dan saling menghormati.

DAFTAR PUSTAKA

19
Abdullah, Irwan dkk. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global.
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
Izzuddin, Ahmad. 2007. Fiqih Hisab Rukyah; Menyatukan NU dan
Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul fitri, dan Idul
Adha. Jakarta: Erlangga.
Musonnif, Ahmad. 2011. Ilmu Falak; Metode Hisab Awal Waktu Shalat, Arah
Kiblat, Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan. Yogyakarta: Teras.
Azhari, Susiknan. 2007. Hisab & Rukyat; Wacana untuk Membangun
Kebersamaan di Tengah Perbedaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2013. Ilmu Falak Praktik. Jakarta: Sub
Direktorat Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat.
Shiddiqi, Nourouzzaman. 1997. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya.
Yogyakarta: Putaka Pelajar.
Hambali, Slamet dan Ahmad Izzuddin. “Awal Ramadlan 1418 H dan Validitas
Ilmu Hisab Rukyah”. Wawasan. 30 Desember 1997.
Yusuf, Choirul Fuad dan Bashori A. Hakim. 2004. Hisab Rukyat dan
Perbedaannya. Jakarta: Departemen Agama RI.
Jamil, A. 2011. Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi). Jakarta: Amzah.
Rofiq, Ahmad. 2012. Fiqh Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

20

Anda mungkin juga menyukai