Anda di halaman 1dari 8

I.

PENDAHULUAN

A. Fenomena

Pada semua kehidupan agama, terdapat ketegangan (tension).


Penyebabnya terletak pada kesadaran beragama (religious conciousness)
itu sendiri, sejalan dengan garis pemisah antara Dhāt yang disembah
dengan manusia yang menyembahNya, antara perasaan suci dan perasaan
berdosa.1 Semua agama mengajarkan bahwa Tuhan itu berbeda dengan
sesuatu yang lain. Untuk memahami keyakinan pemeluk suatu agama,
dalam Islam lahirlah Teologi Islam atau Ilmu Kalam, yang mana para
mutakallimin berusaha mencari harmonisasi dari ketegangan itu.
Ilmu Kalam itu lahir didorong oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya, baik faktor intern maupun ekstern.2 Ketika perluasan
wilayah Islam telah berkembang, dimulai masa khalifah ‘Umar b. al-
Khaţţāb (13-23 H = 634-644 M), dan berlanjut pada masa al-khulafā’ al-
rāshidīn berikutnya dan berkelanjutan pula pada masa khilafah Bani
Umayyah (40-132 H = 660-750M), ummat Islam mulai bersentuhan
dengan tokoh-tokoh agama lain, yang sebagian dari mereka di kemudian
hari ada yang memeluk agama Islam.
Setelah pikiran mereka tenang dan tentram dengan Islam sebagai
agama baru baginya, mereka mulai memikirkan ajaran-ajaran agama
yang lama dan mengkajinya dengan corak baju ke-Islaman. Orang-orang
Mu‘tazilah mengawali melakukan studi filsafat Yunani, untuk membela
Islam dari serangan fihak yang berusaha menghancurkan Islam. Karena
itu golongan Mu‘tazilah dapat dikatakan sebagai pencetus Ilmu Kalam.3
Untuk menyebar luaskan fahamnya, Mu‘tazilah melakukan al-
miḥnah, yaitu melakukan uji keimanan dengan memaksakan kehendak,
tentang khalq al-Qur‘ān. Hal ini menyebabkan ketegangan di kalangan
ummat Islam. Mu‘tazilah berpendapat bahwa al-Qur‘ān adalah makhlūq,
sedangkan golongan Sunnī berpendapat ia adalah qadīm.
Dari ketegangan dan perbedaan pendapat tersebut, maka tampil
dua tokoh yang berusaha meluruskan hal-hal yang dipertentangkan antara

1
Gibb, H. A.R. Modern Trends In Islam, (Chicago: The University of Chicago Press,
1950), 17.
2
Ahmad Amin, Duha al-Islām, Juz III, (Kairo: Nahah al-Misriyah, t.t), 1-19.
3
Ibid., 229.
1
firqah-firqah kalam, berdasarkan pada sumber-sumber al-Qur‘an dan al-
Sunnah. Dua tokoh itu ialah Imam Abū al-Ḥasan al-Ash‘arī (260-324
H/873-935 M) dan Imam Abū Manşūr al-Māturīdī al-Samarkand (248-
333 H/862-944 M). Pemikiran kalam dua ulama ini masyhur disebut Ahl
al-Sunnah Wa al-Jamā‘ah, sebuah term yang mengoreksi terhadap
pemikiran kalam Mu‘tazilah dan firqah-firqah lainnya.4
Sikap Ahl al-Sunnah Wa al-Jamā’ah terhadap term-term teologi
yang diperdebatkan adalah bersikap moderat, mencari titik temu dan
menjadi mediator diantara mereka.5 Sunni bersikap: tawassuţ.6 Al-
Māturīdī (lahir 248 H/862 M) lebih tua umurnya dari pada al-Ash‘arī
(lahir 260 H/873 M). Dalam masalah fiqh al-Māturīdī bermadhzab
Hanafi. Oleh karena itu pemikirannya lebih rasional. Sedangkan al-
Ash‘arī, bermadhab Syāfi‘ī dan sampai berumur 40 tahun, dia masih
berfaham teologi Mu‘tazilah, kemudian ditinggalkannya.7
Penguatan faham Sunni terutama karena dukungan pemerintah
khalifah al-Mutawakkil (memerintah 232-247 H/847-461 M),
menggantikan faham Mu‘tazilah yang sejak awal kekuasaan Bani
‘Abbasiyyah memperoleh dukungan penguasa dan sering memaksakan
kehendak (al-mihnah). Terutama al-Ash‘arī memperoleh dukungan dari
ulama-ulama dari berbagai generasi, Diantaranya: al-Baqillānī (w. 403
H), Ibn Fawrak (w. 406 H), Ibn Ishāq al-Isfaraynī (w. 418 H), al-
Baghdādī (w. 429 H), al-Juwaynī (w. 478 H), Abd. Muẓaffar al-Isfarayni
(w. 478 H), al-Ghazālī (w. 505 H), Ibn Tumart (w. 524 H), al-Shahrastānī

4
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1972), 61. Shaykh Muhammad Abu
Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islamiyah, al-Juz‘u al-Awwal, Fi al-Siyāsah Wa
al-‘Aqāid, (Mesir: Dār al-Fīkri, t.t.), 180.
5
Abū Zahrah, Ibid., 188 menerangkan:
.‫و قد سلك االشعرى فى االستدالل فى العقائد مسلك النقل و مسلك العقل‬
6
Jalal al-Dīn Abd. Hamīd Mūsa, Nasy’ah al-Asy’ariyah Wa Tatawwuruhā, (Beirut : Dār
al-Kitāb al-Lubuāni, t.t.), 461.
.‫أن االشعرى التزم فى كل ابحاثه التوسط بين االراء‬
7
Zahrah, Tarikh al-Madhāhib,181 menerangkan, pada hari Jum’at dia berpidato di
masjid Basrah:
‫كنت‬،‫ا فالن بن فالن‬x‫ ان‬،‫ى‬x‫ه بنفس‬xx‫ا اعرف‬xx‫ فان‬،‫ ومن لم يعرفنى‬،‫ياايها الناس من عرفنى فقد عرفنى‬
‫ائب مقلح‬x‫ا ت‬x‫ا وان‬x‫ا افعله‬x‫ر ان‬x‫ال الش‬x‫ار وان افع‬x‫رى باالبص‬x‫الى ال ي‬x‫اقول بخلق القرأن وان هللا تع‬
.‫متصد للرد على المعتزلة مخرج‬
2
(w. 548 H), al-Rāzī (w. 1209 M), al-Ijī (w. 756 H), al-Sanūsī (w. 895 H).8
Pada abad XIX M, muncul tokoh bernama Shaykh Nawawī Banten,
sebagai pendukung al-Ash‘āriyah
Shaykh Nawawī dilahirkan di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa
kawedanan Banten. Mula-mula belajar agama kepada ayahnya sendiri,
dan beberapa ulama di wilayah Banten dan Purwarkarta. Ketika dia
masih remaja, baru berumur 15 tahun, dia menunaikan ibadah haji,
kemudian terus mukim selama tiga tahun di tanah suci. Sepulangnya dari
mukim di Makkah, beberapa tahun lamanya dia membantu tugas
ayahnya. Namun penguasa Belanda mencurigai dan membidik gerak-
geriknya. Merasa tidak nyaman, maka kemudian dia memutuskan untuk
berangkat lagi ke Makkah untuk mukim, sampai akhir hidupnya (w. 1897
M di Mekah).
Shaykh Nawawī mengisi hidupnya belajar agama pada ulama-
ulama terkemuka, mulai tahun 1855 M dan baru tahun 1860 M menjadi
pengajar di Masjid al-Harām dan tahun 1870 M menulis kitab-kitab
berbagai disiplin ilmu ke-Islaman.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konteks sosial-religius Shaykh Nawawī semasa
hidupnya?
2. Bagaimana konsistensi dan relevansi pemikiran kalam Shaykh
Nawawī dalam berbagai perspektifnya?
3. Bagaimana corak pemikiran kalam Shaykh Nawawī ?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaannya


Tujuan penelitian yang hendak dicapai, sebagai berikut:
1. Untuk memahami konteks sosial-religius Shaykh Nawawī.
2. Untuk memahami konsistensi dan relevansi pemikiran kalam
Shaykh Nawawī dalam berbagai perspektifnya.
3. Untuk menelusuri pemikiran kalam Shaykh Nawawī.
Dengan penulisan disertasi ini, diharapkan akan diperoleh
manfaat dan kegunaannya, sebagai berikut:
1. Menjadi rujukan banyak pihak mengenai pemikiran kalam
Shaykh Nawawī. Penelitian terdahulu belum membahas secara
tuntas tentang pemikiran kalamnya.
8
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), 110.
3
2. Menjadi “pintu gerbang” bagi pemikiran-pemikiran lain mengenai
pemikiran kalam Shaykh Nawawī, secara lebih detail dan
mendalam. Oleh karenanya penelitian ini merupakan pengantar
penemuan awal tentang corak pemikiran kalamnya.
3. Menjadi penelusuran awal bagi kajian tentang pemikiran kalam
Shaykh Nawawī. Oleh karena itu, diharapkan terdapat
penelusuran lain yang juga akan melengkapi penelusuran awal
ini.

D. Pendekatan Penelitian dan Perspektifnya


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang akan
menghasilkan data deskriptif, berupa ucapan atau tulisan dan prilaku
yang dapat diamati dari orang (subjek) itu sendiri. Melalui metode
kualitatif, kita dapat mengenal orang (subjek) secara pribadi dan melihat
mereka mengembangkan definisi mereka sendiri tentang dunia ini.
Metode kualitatif juga memungkinkan kita menyelidiki konsep-konsep.9
Pertimbangan menggunakan penelitian kualitatif, karena yang
akan diteliti bukan berupa angka-angka, melainkan tulisan karya-karya
Shaykh Nawawī tentang kalam. Adalah tepat, jika penelitian ini
menggunakan kepustakaan sebagai sumber datanya.
Sesuai dengan fokus masalah, penelitian ini menggunakan
pendekatan sejarah yang bertumpu pada empat kegiatan pokok, meliputi :
a. Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun jejak Shaykh Nawawī
pada masa lampau
b. Hermeneutik, yaitu menyelidiki teks dan makna sebagaimana
diungkapkan dalam kitab-kitab karyanya tentang kalam
c. Interpretasi, yaitu melakukan analisis hubungan antar teks
dengan konteks dari tulisan-tulisan karya Shaykh Nawawī,
dan
d. selanjutnya disajikan dalam laporan yang diperoleh dalam
satu bentuk kisah sejarah.10
Ketika melakukan interpretasi, harus mengenal pesan dan
kecondongan sebuah teks, kemudian harus meresapi isi teks, sehingga
9
Robert Bongdan J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan
Fenomologi Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, terjemah Arief Furchan, (Surabaya : Usaha
Nasional, 1992), 21-22.
10
Nugroho Noto Susanto, Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah,
(Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1974), 17.
4
sesuatu yang pada mulanya “asing”, kini menjadi “aku” penafsir sendiri,
yang memahami teks seutuhnya.

E. Prosedur Penelitian
Dalam pelaksanaannya, penelitian ini menggunakan prosedur
sebagaimana urutan berikut:
a. Tahap menentukan masalah
Sebagaimana telah disebutkan di muka, terdapat beberapa fokus
masalah yang menurut hemat penulis layak untuk dipecahkan,
menyangkut pemikiran kalam Shaykh Nawawī. Setidaknya, akan
ditemukan jawaban yang komprehensip mengenai masalah-masalah
tersebut.
b. Tahap pelaksanaan penelitian
Tahap ini, akan dilakukan beberapa langkah sebagaimana berikut:
1). Penelusuran Sumber Data
Adapun tempat dan keadaan yang memungkinkan menyediakan
data, sesuai dengan jenis penelitian berdasarkan tempatnya, yaitu
penelitian pustaka. Yaitu kitab-kitab karya Shaykh Nawawī
sendiri dan kitab-kitab atau buku-buku yang berhubungan
dengannya. Dari sekitar 40 kitab karangannya,11 terdapat delapan
buah kitab yang membahas masalah kalam, sedangkan selebihnya
membahas masalah tafsir, hadits, fiqh, akhlaq, tasawwuf, nahwu,
şaraf, tarikh, madāih nabawī, balāghah dan campuran. Sumber data
primeir akan diperoleh dari kitab-kitab karangan Shaykh Nawawī
yang isinya khusus membahas kalam. Yaitu kitab: al-Majīd, Tijān
al-Dararī, F̣ath Nur al-Ẓalām, Qaţr al-Qayth, dan Qāmi’ al-
Ṭughyān.12 Di samping itu terdapat beberapa kitab yang merupakan
gabungan antara kalam dengan fiqh dan kalam gabungan dengan
11
Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan jumlah kitab karangan Shaykh
Nawawī ini. Menurut Karel A. Stenbrink mendasarkan pendapat Snouch Hungronye,
karya Shaykh Nawawī hanya berjumlah 20 kitab saja (Kitab Kuning, 1999, 143).
Dhofīr mengutip pendapat Sarkis, berjumlah 38 kitab (Tradisi Pesantren, 1982, 88) dan
Muslim Ibrahim Abd. Rauf dalam thesisnya berpendapat 80 kitab. Penyebutan jumlah
karya Shaykh Nawawī ini lebih banyak karena memasukkan risalah, makalah atau
artikel-artikel yang tidak diterbitkan (Thesis: Asy Shaykh Muhammad Nawawī Al-Jāwī,
1397 H/1977 M), 82-89).
12
Dari kitab-kitab kalangan yang tidak penulis temukan yaitu: Dharī’at al-Yaqīn, al-
Nahjah al-Jayyidah dan Naqāwat al-‘Aqīdah.

5
tasawwuf, antara lain: Sullam al-Tawfīq, Bahjat al-Wasā’il,
Nihayat al-Zayn, dan Al-Nahjah al-Jayyidah Li Ḥilli Naqāwah
al-‘Aqīdah.
Sumber data sekundeir adalah tulisan orang lain tentang kalam dan
Shaykh Nawawī berupa buku, makalah, artikel, hasil-hasil
penelitian yang berkenaan dengannya. Jumlah sumber data
sekundeir ini tentu lebih banyak daripada sumber primernya.
2). Pengumpulan Data
Telah disebutkan bahwa data primeir akan dijadikan sebagai
sumber data utama, dengan alasan bahwa sumber utama tersebut
merupakan teks pemikiran Shaykh Nawawī tentang kalam yang
dapat ditemukan. Tentang sumber data sekundeirnya digunakan
untuk mengetahui sejarah hidup, latar belakang dan perjuangan
Shaykh Nawawī menurut pendapat orang lain. Perlu diketahui
bahwa dia tidak menulis biografinya. Tulisan pihak lain dipandang
perlu, karena tulisan itu berupa uraian, ulasan dan bahkan kritikan
terhadapnya, dapat dipandang sebagai bahan informasi.
Pengumpulan data primeir dilakukan dengan beberapa langkah:
a), menelusuri kata-kata atau konsep dan pendefinisian tentang
kalam. Hal itu dipandang penting, karena akan berpengaruh
terhadap operasionalnya.
b), menghimpun masalah dan dalil-dalil yang dipakai sebagai
argumentasi dalam memecahkan masalah. Dari sini, akan
terlihat bagaimana Shaykh Nawawī mengemukakan dan
memecahkan masalah dalam penggunaan dalil-dalil yang
dipeganginya.

F. Teknik Analisis Data


Penelitian ini adalah mengkaji karya-karya Shaykh Nawawi
tentang kalam dengan pendekatan hermeneutika. Tugas pokok
hermeneutika adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks
yang asing sama sekali mejadi milik kita yang hidup di zaman, tempat
dan suasana kultural yang berbeda. Proses pemahaman dan penafsiran ini
tidak dengan metode induksi maupun deduksi, melainkan dengan metode
alternative yang disebut dengan abduksi, yaitu menjelaskan data
berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang
memiliki berbagai kemungkinan kebenaran. Di sini, pra-konsepsi dan
6
pra-disposisi seorang mufassir dalam memahami teks memiliki peran
yang besar dalam membangun makna. Dalam tradisi hermeneutika,
sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan
berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya.
Namun demikian, tidak berarti hermeneutika mendukung paham
relativisme-nihilisme, melainkan justru hendak mencari pemahaman yang
benar atas sebuah teks yang hadir pada kita sebagai pengkaji. Sebagai
teks asing sama dengan menginterogasi orang asing yang sama sekali
belum dikenal. Tujuannya adalah untuk melakukan rekonstruksi
seobyektif mungkin, sebagaimana pengarangnya.
Dengan kata lain, sebagaimana dalam metodologi ilmu pada
umumnya, hermeneutika berusaha menemukan gambaran dari sebuah
bangunan makna yang benar yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan
pada kita dalam sebuah teks. Dalam prosesnya,intuisi penafsir sangat
diperlukan, disamping juga sikap "curiga" dan "waspada" agar tidak
tertipu oleh sistim tanda atau struktur gramatika bahasa yang ada
dipermukaan sehingga mengaburkan makna yang lebih objektif. Dalam
tradisi hermeneutika modern, dikenal tiga orang yang disebut “three
masters of prejudies” yaitu Sigmund Freud, Karl Marx dan Friedrich
Nietche.13 Dari Freud, kita belajar bahwa menurutnya, bawah sadar
(subconcious). Setiap pengarang, juga pembaca, pasti turut berperan
dalam memandang dan menafsirkan realita. Isi bawah sadar yang paling
dominan, kata Freud, adalah dorongan dan ilusi libido. Sementara, dari
Karl Marx, kita diajak untuk mewaspadai kesadaran pengarang dan
pembaca yang mudah sekali dipengaruhi status ekonomi dan politik
seseorang. Teks jenis apapun, termasuk teks keagamaan, tidak luput dari
pengaruh ekonomi dan politik. Dari Nietzsche, kita belajar bahwa pada
dasarnya setiap orang memiliki dorongan untuk menguasai orang lain.14
Terhadap beberapa kecenderungan diatas, baik asumsi atau peringatan
yang dikemukakan baik oleh Freud, Marx maupun Nietzsche,
hermeneutika sebagai sebuah metodologi penafsiran berusaha
memperingatkan pembaca untuk bersikap curiga pada teks agar faktor-
faktor subjektif, baik pembaca atau pengarang bisa ditekan sekuat-
kuatnya sehingga gambaran teks tentang sebuah kebenaran objektif bisa
13
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika,
(Jakarta, Paramadina, 1996), 18.
14
Ibid, 18-20.
7
muncul ke permukaan. Lebih dari itu, metode analisa hermeneutika
mengangankan dialog tiga variable, yaitu the world of the teks (dunia
teks), the world of the author (dunia pengarang), the world of the reader
(dunia pembaca). Masing-masing merupakan titik pusaran tersendiri,
meskipun kesemuanya saling mendukung dalam memahami teks.15

15
Ibid, 3.
8

Anda mungkin juga menyukai