Anda di halaman 1dari 12

Berawal dari sinilah Sallis mengurai hubungan keterkaitan mutu dengan konsep absolut dan

relatif yang kemudian menjadi teori awal pembahasan selanjutnya mengenai manajemen mutu
terpadu (TQM).

inilah yang digunakan dalam penerapan TQM. Bebarapa gambaran umum


tentang mutu dalam konsep relatif, antara lain (Sallis, 2012: 53-54):
a) Mutu bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang
dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut.
b) Mutu dapat dikatakan ada apabila sebuah layanan memenuhi spesifikasi yang
ada.
c) Mutu merupakan sebuah cara yang menentukan apakah produk terakhir sesuai
dengan standar atau belum.
d) Produk atau layanan yang memiliki mutu dalam konsep relatif ini tidak harus
mahal dan eksklusif, dengan kata lain produk atau layanan tadi tidak harus
spesial, tetapi ia harus asli, wajar dan familiar.
e) Mutu harus mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan, dan mengerjakan apa
yang diinginkan oleh pelanggan.

Dari beberapa gambaran umum tentang mutu tersaebut, kemudian Edward


Sallis menyimpulkannya bahwa pengertian mutu dalam konsep relatif memiliki 2
sudut pandang, yaitu:

1) Mutu adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi.


Pengertian tentang penyesuaian diri terhadap spesifikasi ini sering
disimpulkan sebagai “sesuai dengan tujuan dan manfaat”. Kadangkala definisi ini
sering dinamai definisi “Produsen tentang Mutu” (Sallis, 2012: 54). Para produsen
menunjukkan bahwa mutu memiliki sistem, yang bisa disebut Sistem Jaminan
Mutu (quality assurance system), yang memungkinkan roda produksi menghasilkan
produk-produk yang secara konsisten sesuai dengan standar atau spesifikasi
tertentu. Pendapat tentang mutu yang sedemikian seringkali disebut dengan istilah
“mutu dalam arti yang sesungguhnya (quality in fact)” (Sallis, 2012: 55), yang
dalam perkembangnnya kemudian memunculkan beberapa istilah tentang standar-
standar mutu lainnya, antara lain BS5750, ISO9000 dan lain-lainnya. Contoh dalam
definisi ini, mobil Range Rover dan Rolls-Royce adalah produk yang memiliki
mutu. Kemewahan, keindahan, eksklusifitas, dan harga tidak termasuk dalam
kategori ini, karena para pelanggan tentu akan merelekan berapapun besarnya harga
produk yang dibeli selama produk tersebut sesuai dengan spesifikasi dan standar
pabriknya, maka produk tersebut adalah produk yang memiliki mutu.

2) Mutu adalah memenuhi kebutuhan pelanggan.


Definisi mutu dalam hal ini kita awali dengan beberpa antitesa sebagai
berikut (Sallis, 2012: 55):
a) Siapa sebenarnya yang bisa menentukan sebuah produk atau layanan sudah bisa
dikatakan bermutu? Produsen ataukah Pelanggan?
b) Terkadang terjadi penolakan konsumen terhadap produk dan layanan yang
menurut produsen sudah sempurna dan bermanfaat.
c) Produk yang telah memenuhi spesifikasi terkadang tidak menjamin jumlah
penjualan.

Organisasi-organisasi yang menganut konsep TQM melihat mutu sebagai


sesuatu yang didefinisikan oleh pelanggan-pelanggan mereka. Pelanggan adalah wasit
terhadap mutu dan institusi sendiri tidak akan mampu bertahan tanpa mereka. Dalam
hal ini Sallis (2012: 56) mengutip pendapat Edwin L. Artzt, CEO Proctor and Gamble
Company, mengatakan:
“pelanggan-pelanggan kami adalah mereka yang menjual dan juga
menggunakan produk kami, karena tujuan mutu terpadu adalah
memahami kebutuhan mereka yang selalu berkembang, serta
menggunakan pengetahuan tersebut untuk diterjemahkan ke dalam
produk-produk dan pendekatan bisnis baru yang inovatif”.
Dari semua gambaran umum di atas mengenai mutu, Sallis (2012: 56) mendefinisikan mutu
sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi
ini disebut juga dengan istilah mutu sesuai persepsi (quality in perception). Mutu ini bisa disebut
sebagai mutu yang hanya ada di mata orang yang melihatnya. Menurut Tom Peters bahwa mutu
yang didefinisikan oleh pelanggan jauh lebih penting dibandingkan harga dalam menentukan
permintaan barang dan jasa (Sallis, 2012: 57). Peters menemukan kenyataan bahwa pelanggan
akan selalu membayar lebih untuk mutu yang baik, tanpa menghiraukan tipe produknya, di sisi
lain, para karyawan juga menjadi jauh lebih berenergi ketika mereka memiliki kesempatan untuk
memberikan layanan yang bermutu atau menghasilkan produk yang bermutu.

Adapun tiga fokus implementasi prinsip-prinsip TQM pendidikan tersebut antara

lain meliputi:

a. Komitmen Pemimpin

Kepemimpinan merupakan seni untuk mempengaruhi aktifitas individu atau

kelompok untuk mencapai tujuan organisasi (Mulyadi, 2010: 8). Pemahaman

sementara tentang arti kepemimpinan menghendaki adanya unsur utama

kepemimpinan, yaitu unsru mempengaruhi dari atasan ke bawahan untuk

melaksanakan tugas, karena tujuan akhir dari kepemimpinan adalah memaksimalkan

semua potensi yang dimiliki organisasi supaya target yang dikehendaki dapat tercapai

dengan efektif dan efisien.

Perlu adanya kejelasan pemahaman antara kepemimpinan dan manajemen,

karena masing-masing orang yang berada dipucuk tanggung jawab memiliki

karakteristik tugas dan jabatan yang berbeda. Sebagaimana penjelasan Bennis W. dan

Nanus B., kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang pemimpin, merupakan setiap

orang yang melakukan tugasnya dengan benar, sedangkan manajemen yang dipimpin

oleh seorang manajer, merupakan orang yang melakukan setiap tugasnya yang benar.

Lebih lanjut, Rivai memberikan penjelasan tentang beberapa perbedaan antara

pemimpin dengan manajer, sebagai berikut (Mulyadi, 2010: 8):

1) Pemimpin tidak selalu berada dalam organisasi, sedangkan manajer selalu dalam

organisasi tertentu baik formal maupun non-formal.


2) Pemimpin bisa ditunjuk atau diangkat oleh anggotanya, sedangkan manajer selalu

ditunjuk.

3) Pengaruh kepribadian seorang pemimpin melebihi manajer, karena kemampuan

pribadi manajer hanya sebatas lingkup otoritas formal saja.

4) Pemimpin memikirkan organisasi secara luas dan jangka panjang, sedangkan

manajer berpikir secara jangka pendek saja berdasarkan tugas dan tanggung

jawabnya saja.

5) Pemimpin memiliki ketrampilan politik dalam menyelesaikan konflik, sementara

manajer menggunakan pendekatan formal-legal.

6) Pemimpin berpikir untuk kemajuan dan perbaikan organisasi secara luas, sementara

manajer berpikir untuk kepentingan diri dan kelompok secara sempit.

7) Pemimpin memiliki kuasaan secara lebih luas, sedangkan manajer hanya memiliki

wewenang saja.

Kepemimpinan yang berlangsung pada lembaga pendidikan merupakan bentuk

kepemimpinan yang sifatnya mempengaruhi sumberdaya anggotanya (guru dan staf)

agar melakukan tugas serta pekerjaan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan

pendidikan sesuai yang diharapkan. Oleh karenanya, fungsinya kepemimpinan dalam

manajemen sekolah adalah sebagai pengelola mutu.

Pemimpin dalam organisasi sekolah dituntut untuk mengerti dan paham benar

tentang tugas pokok TQM, yaitu suatu proses kerja yang saling bersinergi dan terdiri

dari prinsip-prinsip serta komponen-komponen pendukung yang harus dikelola dengan

baik dan benar agar mencapai perbaikan mutu secara berkesinambungan sebagai kunci

keunggulan bersaing (Tim Dosen, 2009: 302). Keberadaan komitmen dalam hal ini
sangat penting, karena berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan dan

kebijakan, pemilihan serta pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan

pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini, tidak mungkin diciptakan dan

dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang berorientasi pada kualitas

produk dan pelayanan umum.

Graeme Knowles (2011: 178) dalam bukunya “Quality Management”

berpendapat: “No Quality Management initiative ever succeeded without the genuine

commitment of the senior team. This needs to be informed and active commitment.

The senior team will need to be role models for the new attitudes and behaviours as

well as committing resources to the initiative; they must realise how much effort they

are personally responsible for putting in, without active involvement the programme

will falter when people notice their leaders behaving incongruently with their words.”

Seorang pemimpin juga harus bisa menetapkan kesatuan tujuan dan arah

organisasi, karena konsep dasar dari kepemimpinan adalah proses mempengaruhi

dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai

tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya,

pengorganisasian dan aktifitas-aktifitas untuk mencapai sasaran, serta memelihara

hubungan kerjasama dan kerja kelompok, baik dari dalam maupun dari luar organisasi

(Mulyadi, 2010: 1). Oleh karena itu, seorang pemimpin perlu memiliki karakteristik

pribadi yang mumpuni dan dapat memberikan inspirasi pada semua jajaran

manajemen agar mampu menunjukkan kualitas kinerja kepemimpinan yang sama

sesuai dengan yang diperlukan dalam pengembangan budaya TQM di sekolah. Berikut
ini ada 13 karakteristik yang perlu dimiliki oleh seorang pimpinan dalam TQM (Tim

Dosen, 2009: 304-305), yaitu:

1) Pemimpin membuat setiap keputusan didasarkan pada data, bukan hanya pendapat

saja.

2) Pemimpin berperan sebagai pelatih dan fasilitator bagi setiap anggota organisasi.

3) Pemimpin terlibat secara aktif dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh

bawahan melalui berbagai pendekatan.

4) Pemimpin harus berupaya membangun komitmen, yang menjamin setiap orang

memahami visi, misi, nilai, dan target perusahaan dengan jelas.

5) Pemimpin harus berupaya membangun dan memelihara kepercayaan anggotanya

untuk berkomitmen terhadap pembangunan mutu organisasi.

6) Pemimpin harus paham betul bagaimana mengapresiasi terima kasih kepada

anggota organisasi yang berhasil/ berjasa.

7) Secara aktif mengadakan kaderisasi melalui pendidikan dan pelatihan yang

terprogram.

8) Perilaku dalam organisasi diorientasikan kepada pelanggan internal/ eksternal.

9) Memiliki ketrampilan dalam menilai situasi dan kemampuan orang lain secara

tepat.

10) Memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana kerja yang sangat

menyenangkan.

11) Mau mendengarkan dan menyadari berbagai kekurangan dan kesalahan anggota

organisasi.
12) Selalu berusaha memperbaiki sistem dan banyak berimprovisasi secara terus

menerus.

13) Bersedia belajar kapan saja dan di mana saja secara terus menerus.

b. Sumber Daya Manusia (SDM)

Manmohan Joshi (2013: 9) berpendapat bahwa “the ‘human resource’ of an

organization is composed of all the efforts, skills or capabilities of all the people who

work for that organization. Some organizations may call this ‘human resource’ as

‘staff’ or ‘workforce’ or ‘personnel’ or ‘employees,’ but the basic meaning remains

the same. All those who work for an organization are workers. However, the

organizations may call those who do manual work as ‘workers’ and describe others

who do non-manual work as ‘staff’”. Pendapat lain tentang Sumber Daya Manusia

adalah semua orang atau pelaku yang terlibat dalam proses penyampaian jasa kepada

konsumen serta mempengaruhi persepsi konsumen, seperti para personal penyedia

jasa, pelanggan dan para pelanggan lain yang terkait dengan jasa tersebut (Umiarso,

2010: 175). Adapun yang dimaksudkan SDM dalam pembahasan ini, merupakan

personalia atau pegawai atau karyawan yang bekerja di sebuah lingkungan organisasi

non-profit, yaitu sekolah. Sebagai salah satu komponen utama dalam sistem

pendidikan, sekolah sudah selayaknya memberikan kontribusi yang nyata dalam

meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terlebih untuk tujuan

peningkatan mutu pengelolaan pendidikan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari

seberapa baik sekolah itu dikelola.

Adapun ruang lingkup SDM ini meliputi penempatan personil dalam struktural,

job description (paparan tugas), jalur instruksi dan kordinasi, pola interaksi serta
komunikas, mekanisme kenaikan karir, pengembangan kompetensi dan lain-lain

(Jamal, 2013: 87). Sedangkan yang dimaksud dengan pengembangan adalah suatu

usaha untuk meningkatkan kemapuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan

sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau jabatan melalui pendidikan dan pelatihan

(Fatah, 2012: 105). Oleh sebab itu, sukses tidaknya implementasi TQM sangat

ditentukan oleh kesiapan, kesediaan dan kompetensi sumber daya manusia dalam

lembaga pendidikan yang bersangkutan untuk merealisasikannya secara sungguh-

sungguh.

Berikut ini 14 komponen strategi sumber daya manusia (SDM) yang dapat

memfasilitasi penerapan TQM dalam pendidikan (Eti, 2010: 121-122):

1) Manajemen puncak bertanggung jawab memprakarsai dan mendukung visi

budaya TQM.

2) Visi tersebut diklarifikasi dan dikomunikasikan kepada semua insan organisasi.

3) Berbagai sistem yang memungkinkan terjalinnya komunikasi ke atas dan lateral

dikembangkan, dilaksanakan dan diperkokoh.

4) Pelatihan TQM disediakan bagi semua karyawan, dan manajemen puncak

mendukung secara aktif pelatihan seperti itu.

5) Tersedia program keterlibatan atau partisipasi karyawan.

6) Organisasi wajib mengembangkan proses-proses yang melibatkan berbagai

macam perspektif untuk menangani isu-isu kualitas.

7) Para karyawan diberdayakan guna mengambil keputusan yang berkualitas

menurut kebijakan mereka dan rancangan pekerjaan harus menyatakannya dengan

jelas.
8) Penilaian kinerja difokuskan ulang dari sekedar evaluasi kinerja masa lalu,

menjadi tekanan pada apa yang dapat dilakukan manajemen untuk membantu para

karyawan melakukan usaha-usaha kualitas yang berkaitan dengan pekerjaan di

masa depan.

9) Sistem kompensasi mencerminkan kontribusi kualitas yang berkaitan dengan tim,

termasuk penguasaan keterampilan-keterampilan tambahan.

10) Sistem pengakuan non-finansial bagi individual maupun kelompok kerja, yang

mendukung upaya pencarian kualitas total.

11) Berbagai sistem yang ada memungkinkan para karyawan di semua jenjang

organisasi untuk menyampaikan perhatian, gagasan dan reaksi mereka terhadap

inisiatif kualitas.

12) Isu-isu keamanan dan kesehatan dikembangkan secara pro-aktif, bukan secara re-

aktif.

13) Berbagai program rekruitmen, seleksi, promosi, dan pengembangan karier

karyawan mencerminkan realitas baru dalam mengelola dan bekerja dalam

lingkungan TQM.

14) Meskipun membantu pihak lain untuk mengimplementasikan proses-proses yang

mendukung TQM, profesionalisme SDM tidak boleh melupakan pentingnya

manajemen dengan pedoman yang sama.

c. Inovasi Kurikulum

Inovasi adalah perubahan ke arah yang baru. Menurut Everett M. Rogers,

inovasi adalah suatu ide, gagasan, praktik atau objek/ benda yang disadari, dan

diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi
(Tim MKDP, 2012: 222). Dengan demikian kata kunci inovasi adalah gagasan, benda

atau proses adopsi yang dilakukan perorangan ataupun kelompok masyarakat terhadap

inovasi yang ditawarkan, termasuk di bidang pendidikan.

Pelaksanaan inovasi mensyaratkan 3 hal dalam setiap pelaksanaannya, antara

lain (Tim MKDP, 2012: 222):

1) Adanya gagasan baru (new ideas) dari suatu olah pikir dalam mengamati suatu

fenomena yang sedang terjadi, termasuk dalam bidang pendidikan.

2) Adanya produk dan jasa, yaitu hasil langkah lanjutan dari adanya gagasan baru

yang ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas, kajian, penelitian, dan percobaan,

sehingga melahirkan konsep yang lebih nyata, yang siap dikembangkan dan

diimplementasikan, termasuk hasil inovasi pendidikan, yaitu kurikulum.

3) Adanya usaha sistematis untuk melakukan penyempurnaan dan perbaikan

(improvement) secara terus-menerus, sehingga hasil inovasi itu bisa dirasakan

manfaatnya dan berguna.

Sedangkan pengertian dari kurikulum adalah seperangkat rencana dan

pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan

sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu (Rusman, 2009: 3). Perkembangan pendidikan yang dinamis selalu

menuntut pengelola pendidikan untuk lebih cerdas dan cekatan dalam menyikapi

setiap isu baru yang berkembang, terlebih lagi jika isu tersebut merupakan sebuah

kebijakan dari pemerintah pusat yang harus segera ditindak lanjuti, maka dengan

menerapkan prinsip inovasi kurikulum ini, diharapkan pengelola pendidikan dan juga

pihak pimpinan sekolah untuk segera menindaklanjutinya dengan cepat dan tepat,
supaya mutu pendidikan yang diharapkan tetap terjaga dan bahkan meningkat lebih

baik.

Berikut ini beberapa indikator untuk karakteristik Inovasi Kurikulum dalam

implementasi TQM Pendidikan (Mulyasa, 2011: 83-84):

1) Pengembangan kurikulum memperhatikan aspek kecerdasan intelektual,

emosional dan spiritual secara proporsional.

2) Penjabaran kurikulum dilaksanakan atas inisiatif, usaha mandiri dan kreatifitas

setiap guru.

3) Guru konsisten mengacu kepada kurikulum dalam mengembangkan perangkat

pembelajaran.

4) Kurikulum dapat dipahami dengan mudah oleh guru dalam merencanakan

pembelajaran di kelas.

5) Unit pelajaran diringkas untuk mempermudah peserta didik mempelajari dan

disediakan lengkap dengan jadwal waktunya.

6) Rencana pembelajaran secara berkala diperiksa oleh kepala sekolah, baik isi

maupun kecocokannya, dan dikomunikasikan kepada peserta didik.

7) Sumber belajar cukup memadai dalam mendukung pembelajaran.

8) Pembelajaran IPTEK dikaitkan dengan pembelajaran IMTAQ.

9) Program remedial dilaksanakan bagi peserta didik yang berkemampuan rendah.

10) Program pengayaan diberikan kepada peserta didik yang berkemampuan di atas

rata-rata peserta didik lainnya.

11) Tersedia sumber-sumber dan sentra-sentra belajar, baik di ruang perpustakaan,

ruang kelas, taman maupun tempat tertentu di lingkungan sekolah.


12) Tersedia jaringan kerja sama dengan sumber dan sentra belajar di luar sekolah,

termasuk kerja sama dengan lembaga, tempat atau program tertentu dalam rangka

pembelajaran berbasis lingkungan.

13) Memanfaatkan tenaga berpengalaman seperti akademisi perguruan tinggi, pekerja

profesional, pengusaha, atau orang-orang yang berpengalaman lainnya sebagai

narasumber baik untuk penguatan maupun kapasitas guru dalam mengajar

maupun membagi pengalaman sukse terkait dengan kompetensi dasar tertentu

yang perlu dimiliki peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai