adalah adanya tuntutan terhadap pekerjaan yang tinggi dan rendah terhadap orang-orang
relasi, maka pemimpin yang berorientasi pada pekerjaan yang lebih tinggi lebih
dibutuhkan, kadang kala kecendrungan untuk sedikit otoriter, karena pada situasi seperti
ini pekerjaan lebih penting untuk dikerjakan, dari pada membangun relasi dengan orang-
orang.
Pada kuadran kedua (high task and high relationship) di mana kondisi yang dihadapi
memerlukan perhatian yang tinggi terhadap pekerjaan sekaligus orang-orang, gaya
kepemimpinan demokratis dan berorientasi pada kemajuan dan perubahan sangat
diperlukan.
Pada kuadran ketiga (high relationship and low task), pekerja memiliki karateristik tim
kerja yang baik dan mereka termotivasi dengan baik untuk berada dalam organisasi, akan
tetapi belum banyak diarahkan pada pekerjaan yang memberikan tantangan kepada
mereka, sehingga orientasi pada pekerjaannya masih rendah.
Pada kuadran keempat (low relationship and low task) di mana orientasi terhadap
pekerjaan dan orang-orang rendah, manajer perlu bekerja keras untuk motivasi para
pekerja sekaligus memberikan panduan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan.
Seorang pemimpin yang baik akan mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat
dalam menyikapi situasi yang dimiliki oleh para pengikutnya. Dan situasi tersebut diatas akan
melahirkan empat kondisi yang berada dalam kepemimpinan situasi, seperti gambar 11.2.
Situasi 1 (S1)
Pada situasi 1 (S1) ini, pengikut (follower) memiliki kompetensi yang rendah (tidak
menguasai pekerjaan/kurang pengalaman/karyawan baru), namun masih memiliki
keinginan/komitmen tinggi (pada posisi Development Level 1-D1). Dalam
menghadapi situasi ini (S1),cara yang diterapkan kepada para pengikut adalah dengan
cara pemberian instruksi (directing). Artinya tugas harus disampaikan dengan jelas,
dengan member beberapa alternative kemungkinan apa saja yang biasa terjadi dalam
penyelesaian.
Situasi 2 (S2)
Pada situasi 2 (S2) ini, pengikut (follower) memiliki kompetensi yang sedang-sedang
saja, sudah memiliki pengetahuan/baru lulus pendidikan, dan memiliki
keinginan/komitmen rendah (pada posisi Development Level 2-D2). Dalam
menghadapi situasi ini (S2), cara yang diterapkan adalah pelatihan (coaching).
Situasi 3 (S3)
Pada situasi 3 (S3) ini, pengikut (follower) memiliki kompetensi tinggi, namun
memiliki keinginan/komitmen yang sedang-sedang saja (Pada posisi Development
Level 3-D3). Dalam menghadapi situasi seperti ini (S3), cara yang diterapkan adalah
dengan member dorongan (supporting).
Situasi 4 (S4)
Pada situasi 4 (S4) ini, pengikut (follower) memiliki kompetensi tinggi, dan
keinginan/komitmen yang harus tinggi (pada posisi Development Level 4-D4). Dalam
menghadapi situasi ini (S4), pemimpin cukup member kepercayaan dan kesempatan
kepadanya (ddelegating).
Model kepemimpinan situasional lainnya adalah Fielder’s Contigency Model. Model ini
menjelaskan bahwa gaya kepemimipinan yang sebaiknya digunakan beragam,
disesuaikan/tergantung dengan kondisi/pada kecendrungan situasi yang terjadi. Fiedler
menyimpulkan ada 3 (tiga) faktor kontigensi yang perlu dipertimbangkan yaitu:
Model situasi menurut Fieder disamping situasi, juga ditentukan atas dasar pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki oleh pemimpin atau pengikutnya, seperti yang disajikan beriku
ini :
1. Gaya Otoriter digunakan pada karyawan baru yang belajar. Karyawan termotivasi untuk
belajar keterampilan baru, situasi adalah lingkungan yang baru bagi karyawan. Dia tampil
laksana pemimpin yang kompeten dan pelatih yang baik.
2. Gaya paternalistik, yang kemudian dikenal dengan paternalisme bermakna sebuah system
dimana wewenang menyanggupi untuk mengatur perilaku orang-orang dibawah kendali
dalam masalah-masalah yang mempengaruhi mereka sebagai individu maupun dalam
hubungan mereka kepada penguasaan dan kepada satu sama lain. Gaya patternalisme
identik dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan menganggap bawahan sebagai
anak sendiri yang perlu dikembangkan, dan bahkan terkadang terlalu melindungi, tetapi
terkadang tidak member kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan
imajinasi/kreativitas.
3. Gaya partisipatif digunakan pada sebuah tim pekerja yang mengetahui pekerjaan mereka.
Pemimpin tahu masalah, tetapi tidak memiliki semua informasi. Karyawan mengetahui
pekerjaan mereka dan ingin menjadi bagian dari tim.
4. Gaya kepemimpinan Delegatif digunakan seseorang dengan pekerja yang tahu lebih
banyak tentang pekerjaan dari pada pemimpinya sendiri. Pemimpin tidak dapat
meakukan semuanya. Kebutuhan karyawan untu mengambil andil besar dari
pekerjaannya. Selain itu, tuntutan situasi mungkin memaksa pimpinan berada di tempat
atau melakukan hal-hal lain.
5. Gaya kepemimpinan Demokratisasi mengedepankan musyawarah untuk mencapai
mufakat,memberikan bimbingan yang efisien kepada bawahannya, penekanannya pada
rasa tanggung jawab dan kerja sama yang baik, pendekatan kerja dari, oleh, dan untuk
kepentingan bersama. Gaya ini dipakai jika tersedia wahana dan waktu untuk itu.
Melihat tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling efektif untuk semua organisasi,
maka kepemimpinan yang efektif itu adalah perilaku kepemimpinan yang efektif itu adalah
perilaku kepemimpinan yang sesuai dengan karakteristik organisasi, terutama kematangan
bawahan. Keberhasilan kepemimpinan tidak hanya menekankan pada perilaku yang ditampilkan
pimpinan dalam kelompok, tetapi perlu ditelaah dari sisi perilaku yang ditampilkan
‘mentransformasikan nilai’ kepada bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Maka muncul
tipe kepemimpinan lain, yaitu kepemimpinan transformasional. James MacGregor Burn, (1978)
mengatakan bahwa pada kepemimpinan transformasional ini para pemimpin dan pengikut saling
menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi, sehingga menaikkan diri
ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi, sehingga dimensi dari kepemimpinan
transformasional itu adalah;
1. Idealiced influence, perilaku yang menghasilkan respect rasa hormat dan trust (rasa
percaya diri) dari yang dipimpinnya.
2. Inspirational motivation, menyediakan tantangan bagi pekerjaan yang dilakukan staf dan
memperhatikan makna pekerjaan bagi staf.
3. Intellectual stimulation, pemimpin yang mempratekkan inovasi-inovasi.
4. Individualized consideration, pemimpin merefleksasikan dirinya sebagai yang penuh
perhatian dalam mendengarkan dan menindaklanjuti keluhan, ide, harapan-harapan, dan
segala msukan yang diberikan staf.
Latihan Soal :
DASAR-DASAR PENGONTROLAN
(CONTROLLING)
Bab ini menguraikan hal-hal yang terkait dengan fungsi pengawasan dan pengendalian.
Pembahasan akan dimulai dari pentingnya kegiatan pengawasan, langkah-langkah pengawasan,
hingga fungsi pengawasan dalam praktik.
(CONTROLLING)
Fungsi manajemen yang diarahkan untuk melakukan atas apa yang telah direncanakan
dan bagaimana langkah-langkah koreksinya, dinamakan dengan fungsi control, yang dalam
terminology bahasa inggris fungsi ini dinamakan fungsi controlling. Kendati pengawasan dengan
pengendalian memiliki perbedaan yang mendasar,perbedaan mendasar antara pengawasan dan
pengendalian adalah pengawasan dilakukan secara periodic/berkala,sedang pengendalian
dilakukan setiap saat. Namun, secara umum istilah itu memiliki arti yang hampir sama, yaitu
mengontrol,mengawasi,atau mengendalikan. Tetapi, karena fungsi manajemen yang diperlukan
tidak hanya pengawasan, namun mencakup juga penetapan stamdar kinerja perusahaan,
pengukuran kinerja yang juga penetapan standar kinerja perusahaan, pengukuran kinerja yang
dicapai perusahaan, dan pengambilan tindakan koreksi sekiranya standar kinerja menyimpang,
maka penamaan fungsi controlling lebih banyak dipergunakan. Sedang fungsi pengawasan
diperlukan untuk memastikan apakah apa yang telah direncanakan dan diorganisasikan serta
actuating itu berjalan sebagaimana mestinya ataukah tidak. Jika tidak berjalan dengan
sebagaiman mestinya, maka fungsi pengawasan juga melakukan proses untuk mengoreksi
kegiatan yang sedang berjalan agar dapat tetap apa yang telah direncanakan.