Anda di halaman 1dari 30

MANAJEMEN PERUBAHAN SEKOLAH

Makalah ini memuat 3 (tiga) hal berikut: (1) Konsep Dasar Perubahan; (2)
Manajemen Perubahan; dan (3) Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar
Konsep Dasar Perubahan
Metapora Perubahan

Mengawali uraian ini, izinkan penulis menyampaikan metapora perubahan berjudul


“Dinosaurus & Kecoa” dan “Tikus dan Kurcaci”

Pertama, Boast & Martin (2001) dalam bukunya yang berjudul “Masters of Change”
menceritakan sebuah metapora Dinosaurus & Kecoa yang hidup jutaan tahun yang
lalu di bagian barat Colorado. Di tempat itu terdapat sebuah rawa yang dihuni oleh
bermacam-macam jenis mahluk hidup diantaranya Dinosaurus dan Kecoa.

Dinosaurus sangat berhasil, mereka adalah makhluk terbesar yang pernah


menghuni dunia, tidak hanya besar dalam ukuran, juga besar dalam jumlah dan
varietas, sebagian mereka bahkan ada yang dapat terbang. Dinosaurus menjadi
sangat mampu beradaptasi tinggal di rawa, ia menjadi lambang kesuksesan.
Pada suatu hari rawa mengering, Dinosaurus menjadi punah, seluruh kebijaksanaan
dan prosedur manual yang dibuat dalam sistem genetik Dinosaurus telah menjadi
sumber kegagalannya Dinosaurus yang kononnya binatang raksasa yang maha
hebat ternyata hanya mampu hidup di rawa. Kepunahan Dinosaurus tidak diikuti
oleh kematian si Kecoa. Si Kecoa tetap ada meskipun di saat jayanya Dinosaurus si
Kecoa terkadang mengambil upah sebagai buruh kasar dari majikannya yang
bernama Dinosaurus.

Keberhasilan si Kecoa dengan rentangan toleransi yang luas apapun perubahan


yang ada, kemampuan si Kecoa beradaptasi dengan perubahan lingkungan adalah
modal utama keberhasilannya untuk bertahan hidup.

Kedua, Spencer Johnson (2001) dalam bukunya yang berjudul “Who Moved My
Cheese ? “ menceritakan empat tokoh imajiner yang hidup di Labirin. Mereka adalah
dua ekor tikus, (Sniff & Scurry) dan dua ekor kurcaci (Hem dan Haw).

Sniff adalah seekor tikus yang hanya mampu berfikir sejauh otak binatang, namun
dikaruniai naluri yang tajam, berteman dengan Scurry yang suka melacak dan
bertindak sehingga mereka mampu dengan cepat mencium setiap adanya
perubahan dan bergegas mengambil tindakan sebagai sebuah “trial and error”.

Kebiasaan bangun pagi dan langsung berlari masuk ke dalam Labirin untuk mencari
cheese, setelah cheese ditemukan, dimakan dan sebelum habis cheese tersebut ia
bergegas mencari cheese yang lain, keyakinan atau asumsi mereka, bahwa cheese
tersebut tidak selalu ada.

Sebaliknya Hew adalah seekor kurcaci sebesar tikus yang berpenampilan dan
bertingkah laku sama seperti manusia saat ini.

1
Dalam kehidupannya menggunakan otak yang pintar, dipenuhi dengan dogma, dan
emosi berteman dengan seekor kurcaci lainnya yang bernama Haw atau orang
sering memanggilnya “ Si Aman”. Ia dipanggil dengan sebutan itu karena sikap yang
mengingkari adanya perubahan karena takut perubahan akan mendatangkan
sesuatu yang buruk. Haw baru mencoba beradaptasi jika ia melihat perubahan
mendatangkan sesuatu yang lebih baik.

Predikat pintar dan terpelajar yang disandangnya memberikan pengaruh pada cara
ia menyelesaikan masalah, anehnya terkadang masalah sederhana menjadi rumit
hanya karena persoalan landasan teoritis yang tidak kuat atau lemah. Kesulitan
mereka menemukan cheese karena metode berfikir dan keterlambatan bertindak.
Namun akhirnya kurcaci tahu dimana letak cheese dan jalan menuju ke sana. Tapi
mereka tidak tahu dari mana datangnya dan siapa yang menempatkannya di sana.

Kurcaci merasa sangat berbahagia dan sukses serta berfikir bahwa sekarang
mereka sudah aman dan nyaman. Sejak itu mereka merasa tidak perlu lagi bekerja
lebih keras dan serius untuk mendapatkan cheese, mereka telah terjebak kedalam
“Zona Kenyamanan” sehingga tidak terlalu perduli dengan perubahan yang sedang
terjadi. Sementara waktu sniff dan scurry tetap melakukan kegiatan rutin mereka.
Betapa terkejutnya Hew dan Haw ketika melihat telah terjadi perubahan dan cheese
yang mereka cari sudah tidak ada, dua ekor kurcaci tersebut berteriak sekeras
mungkin “Who moved my cheese ?” dalam kondisi lapar, haus dan gundah, akhirnya
sambil berkacak pinggang wajahnya berubah merah padam layaknya seperti wajah
seseorang yang sedang marah, ia pun meraung keras sekali, “Ini tidak adil”
(berulang-ulang).

Melihat kondisi kurcaci yang sudah tidak berdaya itu sniff membenarkan apa yang
pernah scurry sampaikan sebagai peringatan kepadanya : (1) ide, and than action ;
(2) Awas, zona kenyamanan, dan (3) perhatikan perubahan-perubahan kecil sejak
awal, sebab ia akan membantu anda menghadapi perubahan besar yang akan
muncul. “Anda benar Scurry, dan saya ucapkan banyak terima kasih”. Demikian kata
Sniff.

Terdapat pelajaran yang menarik dari kedua metapora tersebut. Dinosaurus yang
gagah perkasa dan sangat berjaya di masa lalu, belum dijamin akan tetap besar dan
jaya di saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam kehidupan kontemporer saat
ini sepertinya metafora tersebut ada benarnya, misalnya organisasi, perusahaan,
partai politik dan lain sebagainya yang dulu pernah besar dan jaya dapat menjadi
kecil dan kerdil, bahkan musnah di saat ini dan di masa yang akan datang karena
tidak mau dan tidak mengerti bagaimana seharusnya berubah.

Begitu pula kurcaci yang pintar dan terpelajar, harus berguru kepada tikus yang
otaknya setingkat otak binatang namun berhasil mengelola perubahan. Jadi kepada
siapa saja kita boleh belajar. Orang tua dan guru yang baik adalah mereka yang
menjadi guru dan sekaligus menjadi murid.

Demikianlah dalam kehidupan keseharian kita ada kalanya yang menjelma seperti
Dinosaurus, Kecoa, Tikus atau Kurcaci Tampaknya untuk menemukan jalan menuju
tujuan yang diinginkan dan untuk sukses mengelola perubahan, manusia dan

2
institusi masih terlalu banyak yang lebih bodoh dari kecoa dan tikus, dan bahkan
masih banyak dari mereka berkepribadian dinosaurus dan kurcaci.

Beberapa konsep penting disampaikan berikut ini: (1) Di dunia tidak ada yang abadi,
semua mengalami perubahan. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri; (2) Hidup
adalah sebuah pilihan, yakni: ”Berubah atau Mati”; (3) Tuhan tidak merubah nasib
suatu kaum, jika mereka tidak mau ”mengakui” dan belajar dari kesalahannya.
Pendidikan yang terbaik dan termurah adalah belajar dari kesalahan diri sendiri;
Jadi, Perubahan adalah keniscayaan. Heraclitus, filsuf dari Yunani mengatakan
“There is nothing permanen exept change”, artinya di dunia tidak ada yang abadi,
semua mengalami perubahan. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itulah
sebabnya Jeck Welch menegaskan, “Change before you have to”, artinya
berubahlah sebelum Anda dipaksa untuk berubah”, dikutip dari Renald Kazali (2014)
dalam bukunya “Agility”. Al-Qur’an Surah An-Nahl ayat 114 berbunyi, “Dan Allah
SWT telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulu aman
lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat,
tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah SWT, karena itu Allah SWT
merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan itu meliputi mereka,
seperti halnya pakaian meliputi tubuh mereka disebabkan oleh apa yang selalu
mereka perbuat.” Di ayat lain Allah Swt berfirman, “tidak kamu perhatikan orang
yang telah menukar nikmat Allah SWT dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya
kelembah kebinasaan (QS. Ibrahum:28). Dalam survey yang melibatkan 1.000 orang
eksekutif di Amerika Utara, Erofa, Amerika Latin dan Asia menyimpulkan terdapat
86% menyatakan setuju bahwa inovasi lebih penting dari pada penekanan biaya
untuk keberhasilan jangka panjang; () Banyak yang telah berusaha melakukan
perubahan, telah menghabiskan banyak sumber daya (pikiran, tenaga, uang dan
waktu), namun tidak membuahkan hasil. (5) Iqbal dalam sebait puisinya
mengungkapkan akan pentingnya mengelola perubahan. Puisi yang dimaksud
berbunyi sebagai berikut; ”Berhenti, tiada tempat di jalan ini. Sikap lamban berarti
mati. Mereka yang bergerak, merekalah yang maju ke depan. Mereka yang
menunggu, sejenak sekalipun pasti tergilas”; (6) Kurt Lewin, ”Perubahan diawali dari
penghancuran”. Nabi Nuh as; (7) Pepatah Romawi, ”Crescit in Cundo”, artinya
perubahan adalah esensi dan pertanda adanya kehidupan (Change is the only
evidence of life)”; (8) Tidak semua ingin berubah, terdapat beberapa kategori;
Inovator (penggagas) sebanyak 2,5%, early adopters sebanyak 13,5%, early
mayority sebanyak 34%, late mayority sebanyak 34%, dan laggard atau
pembangkang atau monster perubahan sebanyak 16% atau jauh lebih besar dari
innovator perubah. Hukum Pareto adalah 20/80, artinya perubahan bisa berhasil
sebesar 80% melalui 20% agen perubahan; (9) Charles Darwin; ”Eksistensi atau
keberadaan manusia tidak ditentukan dari power atau kekuatan yang dimilikinya,
melainkan ditentukan dari kemampuannya beradaptasi sebagai dampak dari proses
belajar yang dialaminya” atau memperbaharui diri mereka secara terus menerus,
baik secara formal maupun nonformal’; (10) Semua orang di dunia ini
mempersoalkan “sulitnya merubah kebiasaan buruk atau menjadi kebiasaan baik
dan benar”. Rekomendasi Fransisco University memberikan jawabannya, meliputi;
(a) adanya komitmen, niat atau janji; Komitmen sejati; (a.1) harus didasarkan pada
nilai kebenaran; (a.2) diusahakan melalui kerja keras dan kerja cerdas, dan (a.3)
setiap komitmen mengandung resiko; (b) modifikasi lingkungan (lingkungan yang
kondusif), dan (c) monitoring dan evaluasi sebagai suatu konsekwensi dari
perubahan yang direncanakan; (11) Kardinal John Hendry Newman mengingatkan,

3
”Jangan takut memulai perubahan. Orang bijak berkata, ”Jangan takut hidupmu tidak
berakhir dengan kebaikan dan kesuksesan, melainkan takutlah bahwa kehidupanmu
yang baik itu tidak bermula”. Dan jangan mencela, mereka yang ”Mencoba Gagal”.
Celalah mereka yang ”Gagal Mencoba”. Soichirio Honda mengatakan, seorang
pengusaha otomotif dunia, dikenal melalui statemennya, “Yang dilihat orang pada
kesuksesan saya hanya 1%, tetapi apa yang tidak mereka lihat dari saya adalah
99%, yaitu kegagalan-kegagalan saya”. Beliau juga mengatakan, “Saat diwawancara
beliau mengatakan, “Saya tidak terkesan pada diploma (ijazah atau sertifikat) karena
kertas-kertas itu tidak mengenyam asam-garam praktik. Saya memasuki sekolah
teknik tapi dikeluarkan. Saya hanya menghadiri kelas-kelas yang saya inginkan dan
tidak mengikuti ujian akhir. Kepala sekolah memanggil saya dan memberi tahu
bahwa saya harus keluar. Saya katakan padanya bahwa saya cuma tak ingin
diploma atau ijasah. Di negeri kami, nilai kertas-kertas itu tidak lebih berharga dari
tiket bioskop. Tiket dapat menjamin kita bisa masuk sekalipun seorang jenderal
bintang lima menjaga pintunya. Sedangkan selembar diploma atau ijasah tidak
menjamin apa-apa”.

Pengertian dan Karakteristik Perubahan

Beberapa definisi tentang perubahan; (a) Perubahan (change) is; (1) a process, not
an event; (2) made by individuals first, then by institutionals, (3) highly personal
experience, and (4) entails developmental growth in feelings and skills; (b) Tony
Buzan (2009) dalam bukunya “Embracing Change” , mendefinisikan, “perubahan
adalah mengubah atau membuat berbeda, meletakkan atau memberikan bagi orang
lain, beralih dari satu keadaan menjadi keadaan lain: bertukar”; (c) Scott D. Anthony
(2013) dalam bukunya “The Little Black Book of Innovation” menyatakan bahwa
esensi perubahan adalah sesuatu yang berbeda dan berdampak (terukur) dan dapat
diprediksi, artinya harus direncakan; (d) Rhenald Kasali; Ciri-ciri perubahan; (1)
misterius; (2) memerlukan change maker (s); (3) tidak semua didukung; (4) terjadi
setiap saat; (5) lembut dan keras; (6) memerlukan power; waktu, biaya, kekuatan
lainnya; (7) menyentuh nilai dasar; (8) banyak diwarnai mitos; (9) ekspektasi; (10)
menakutkan dan menimbulkan kepanikan;

Secara umum, karakteristik atau ciri-ciri perubahan, antara lain semakin; cepat,
kompleks, merembes, tidak pasti atau tidak menentu;

Unsur Perubahan
Berbicara tentang perubahan, Michael Fullan mengatakan bahwa setidaknya
dihadapkan pada dua unsur utama; (a) proses perubahan dan (b) faktor perubahan;

Proses Perubahan

Hall dengan model CBAMnya membagi tahapan, proses atau fase perubahan
adalah sebagai berikut; (a) awareness; (b) information; (c) personal; (d)
management; (e) consequence; (f) collaboration, and (g) refocusing;
Menurut William Bridge proses perubahan mengikuti sebuah kurva normal, yakni; (a)
fase pertama atau fase akhir/pertaubatan; (b) fase transisi; dan (c) fase awal
perubahan yang sesungguhnya.

4
GAMBAR 2 : KURVA PERUBAHAN NORMAL

Fase Ketiga
Awal Baru

Fase Pertama
Fase Akhir

Fase kedua
Transisi

FASE PERTAMA, setiap perubahan merupakan bagian akhir dari masa lalu.
Bagian akhir adalah tempat berhenti melakukan apa yang biasa dilakukan, karena
apa yang dilakukan tidak memberikan perubahan terhadap organisasi, cukuplah
bagian akhir ini menjadi pelajaran yang berharga bagi fase perubahan berikutnya.

Bagi individu atau organisasi yang tidak terbiasa atau takut menghadapi perubahan,
maka itu adalah sesuatu yang sulit, sering kali membuat pusing. Lebih lagi bagi
mereka yang sulit keluar dari “zona kenyamanan”, demikian Staples, 1988.

Jadi sebelum menjalani fase kedua dari proses perubahan, maka individu atau
organisasi harus sudah mengakhiri segala bentuk kebiasaan dan perilaku yang tidak
bermakna terhadap proses perubahan.

Oleh karena itu fase ini disebut pula sebagai fase akhir atau fase pertaubatan, yakni
fase dimana seseorang menyesali atas dosa masa lalu dan berjanji tidak
mengulanginya, menutupi dosa masa lalu itu dengan cara melipat-gandakan
perbuatan baik dan benar di masa-masa yang akan datang (masa berikutnya).

FASE KEDUA, yakni fase transisi. Fase ini merupakan transisi dari cara lama
menuju cara baru yang ditandai oleh kebingungan, keraguan, kacau balau, gelisah
dan tidak nyaman, ongkosnya mahal, seringkali menurunkan semangat, muncul
budaya minta petunjuk dan konflik meningkat.

5
Kebiasaan lama yang kita kenal terhenti dan ketrampilan serta kebiasaan baru
belum terbentuk. Dalam kondisi yang demikian itu komunikasi yang efektif menjadi
penting.

Wall, Solum dan Sobol (1999) mengatakan bahwa berapa banyak organisasi telah
bersusah payah dan berapa lama tanpa memperoleh kemajuan bahkan
memperdalam dan memperlebar garis cekung fase transisi.

Kegagalan tersebut disebabkan manajemen membiarkan komunikasi macet, rumor


berlangsung tanpa dicegah, masalah berlangsung tanpa pemecahan dan sikap
skeptis tanpa diperiksa.

Sebaliknya ada pula individu dan organisasi yang berada pada fase transisi sangat
singkat, garis cekung transisi sangat dangkal dan sempit , bahkan hampir tidak
dirasakan ia berada pada fase transisi, karena lompatan yang sangat cepat
(quantum jump). Lompatan itu secara cepat terjadi karena individu dan organisasi
sudah sangat terlatih menghadapi kesulitan hidup;

Jika ingin berubah, maka; (a) mulailah dari sendiri; (b) mulailah dari yang kecil atau
sederhana sesuai kemampuan yang dimiliki; dan (c) mulailah dari sekarang juga.

Dikutip pendapat, Friel & Friel yang mengatakan bahwa “satu perubahan kecil yang
dilakukan secara konsistem dan dengan integritas, benar-benar bisa mengubah
keseluruhan sistem“.

Tentu saja perubahan sistem tidak akan terjadi dalam semalam, apapun yang
anda lakukan perlu waktu, waktu yang dibutuhkan untuk sebuah perubahan
pribadi menurut Jono & Davidson, (1994) dan Stoltz (2000) adalah dalam
waktu sekurang-kurangnya 21 hari; (12) di samping waktu untuk sebuah
berubah pribadi,

Stoltz (2000) menambahkan bahwa terdapat sebuah kecerdasan manusia yang


mempengaruhi sebuah perubahan. Cepat atau lambat perubahan tersebut sangat
ditentukan oleh tingkat kecerdasan tersebut sebagaimana dikatakan olehnya, bahwa
“kecerdasan “Adversity Qoutient” dapat mempercepat, memperkuat dan membuat
lompatan bagi perubahan. Individu atau organisasi yang memiliki kecerdasan
mengatasi kesulitan (Adversity Qoutient) yang tinggi diwujudkan sikap tekun, optimis
dan komunikasi yang efektif dapat mengurangi kedalaman dan lebarnya tahap
transisi ini”.

Mereka yang gagal atau sukses dalam hidupnya tidak dapat dipisahkan terhadap
bermacam ragam permasalahan.

Beberapa variabel kecerdasan menghadapi masalah menurut (adversity qoutient)


adalah sebagai berikut; (a) kontrol diri (self control); (b) asal usul atau pengakuan
(origin & Ownership); (c) jangkauan (reach); dan (d) daya tahan (endurance).

Sementara upaya untuk memperbaiki tingkat kecerdasan baru ini dilakukan melalui
tahapan sebagai berikut; (a) dengarkanlah (listen); (b) jajakilah (explore); (c)
analisislah (analysis); dan (d) lakukan (do);

6
FASE KETIGA, yakni perubahan awal baru; Sebagian besar manusia, ketika
memulai sebuah perubahan mengalami kegagalan, karena kembali atau kambuhnya
kebiasaan buruk atau kebiasaan salah (paradigma lama) yang semestinya harus
ditinggalkan. Dan kitapun jangan mencela jika terjadi kegagalan di awal perubahan
baru.

Penelitian Duke University menyimpulkan bahwa 46% yang terlihat dari seseorang
adalah kebiasaannya.

Kiester (1991) mengatakan bahwa ”menghentikan kebiasaan buruk cendrung 80%


kambuh dalam waktu 90 hari, dan 60% penyebab dari kekambuhan tersebut berawal
dari kesulitan emosional, seperti tidak sabar atau tidak tahan menahan amarah”;

John F. Kotter (1997) dalam bukunya ”Leading Change” mengemukakan 8 (delapan)


tahapan proses perubahan; (1) menetapkan rasa urgensi; (a) melakukan penelitian
pasar dan realitas kompetisi, (b) mengidentifikasi dan membicarakan krisis,
kemungkinan krisis, atau peluang-peluang besar; (2) membentuk koalisi pengarah;
(a) membentuk kelompok yang mempunyai cukup kekuatan untuk memimpinn
perubahan, (b) membuat kelompok tersebut bekerja sama seperti sebuah tim; (3)
mengembangkan visi dan strategi; (a) menciptakan visi untuk membantu
menentukan arah dari usaha-usaha perubahan, (b) mengembangkan strategi untuk
mencapai visi itu; (4) mengkomunikasikan visi perubahan; (a) menggunakan setiap
sarana yang tepat untuk terus menerus mengkomunikasikan visi dan strategi baru,
(b) membuat koalisi pengarah sebagai contoh perilaku yang diharapkan dari para
karyawan; (5) memberdayakan banyak orang untuk melakukan tindakan: (a)
mengatasi semua hambatan, (b) mengganti sistem atau struktur yang menghambat
visi perubahan, (c) mendorong pengambilan resiko dan gagasan-gagasan, aktivitas
serta tindakan baru; (6) menghasilkan keuntungan jangka pendek: (a)
merencanakan untuk meningkatkan kinerja yang jelas atau keuntungan secara
nyata, (b) menciptakan keuntungan-keuntungan tersebut, (c) secara terbuka
mengakui dan menghargai orang yang memungkinkan keuntungan tersebut
diperoleh; (7) mengkonsolidasikan pencapaian dan menghasilkan lebih banyak
perubahan: (a) menggunakan kredibilitas yang semakin meningkat, untuk menganti
semua sistem, struktur dan kebijakan yang tidak cocok satu sama lain dan tidak
sesuai dengan visi transformasi, (b) merekrut, mempromosikan dan
mengembangkan orang yang bisa mengimplementasikan visi perubhan, dan (c)
memperkuat kembali proses tersebut dengan proyek-proyek dan perilaku perubahan
baru; dan (8) mencanangkan berbagai pendekatan baru dalam kultur organisasi: (a)
menciptakan kinerja yang lebih baik melalui perilaku yang berorientasi pada
konsumen dan produktivitas, kepemimpinan yang lebih banyak dan lebih baik, dan
manajemen yang lebih efektif; (b) mengartikuasi hubungan antar perilaku baru dan
sukses organsasi; dan (c) mengembangkan sarana untuk memastikan
pengembaangan kepemimpinan yang sukses.

Faktor Perubahan

Perubahan dapat berasal dari dalam (internal) seperti; pikiran, harapan (hope,
expectation), karakter, perasaan seperti ketidakpuasan terhadap status quo,

7
terhadap cara kerja yang berlaku, keinginan meningkatkan keefektifan. Faktor dari
luar (external) seperti teknologi, ekonomi, sosial, politik, budaya. (Utomo, 1996).

Faktor Pikiran

Mahatma Gandhi mengingatkan: “Perhatikan pikiran karena ia akan menjadi kata-


katamu. Perhatikan kata-katamu karena ia akan menjadi perbuatanmu. Perhatikan
perbuatanmu karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu
karena ia akan menjadi karaktermu, dan perhatikan karaktermu karena ia akan
menjadi taqdir”.

George Bernard Shaw, “Progress is impossible without change, and those who
cannot change their minds cannot change anything”;

Harun Yahya (2002) dalam bukunya “Ever Thought about The Truth”, memberi
tambahan penjelasan dengan sebuah pertanyaan utama, yakni; “Apakah dunia luar
benar-benar ada, atau ia hanya merupakan sesuatu yang diproduksi otak kita?.

Apa yang dipersepsi sebagai dunia luar sebenarnya merupakan serial dari sinyal-
sinyal elektrik. Kita sebenarnya bukan melihat dengan mata, namun dengan pusat
penglihatan, dan ini bertentangan dengan yang diketahui selama ini. Jadi, otak tak
pernah melihat objek itu sendiri, melain sinyal-sinyal elektrik dari objek.

Definisi kita terhadap realitas sering dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya dan
pengakuan orang lain tentang objek tersebut.

Demikian pula indera manusia lainnya dalam memahami realitas. Semua objek yang
kita lihat, sentuh dan raba, hanyalah sinyal-sinyal yang diproduksi dan diinterprestasi
dalam otak kita.

Dunia luar yang diperkenalkan kepada kita oleh indera kita adalah sekumpulan kopi
berbentuk sinyal elektrik. Kita tidak dapat mencapai objek yang sesungguhnya
melalui indera kita, jadi kita tak akan pernah bisa yakin apakah gambaran dunia
yang terbentuk di dalam otak benar-benar merupakan refleksi dari dunia yang
sesungguhnya.

Cara kita mempersepsi dunia luar didasari hanya oleh persepsi dan interpretasi otak
kita yang unik. Jadi penglihatan tergantung pada siapa yang mempersepsinya, dan
objek bukanlah apa yang kita lihat, sentuh dan dengar dari objek itu.

Semua sensasi yang datang dari salah satu indera kita bukan bagian dari dunia luar,
tetapi terjadi di dalam pikiran kita dimana sensasi itu diciptakan.

Dunia yang kita ketahui sebenarnya adalah dunia di dalam pikiran kita dimana ia
didesain, diberi suara dan warna atau dengan kata lain diciptakan. Jadi kita hidup di
dalam dunia ini yang ada di kepala kita, dimana kita tidak dapat melangkah
sedikitpun lebih jauh dan kita keliru dalam menganggap ini adalah dunia luar yang
sebenarnya.

8
Ini bukan interpretasi filosofis yang baru, ini adalah bukti nyata dari bidang ilmu
pengetahuan”.

Stephen Hawking (2010) dalam bukunya ”The Grand Design” mengatakan bahwa
”Tiada konsep realitas (kenyataan) yang independen dari gambaran atau teori yang
ada dalam pikiran atau persepsi kita”.

John Kehoe (2012) dalam bukunya ”Mind Power”: menyatakan bahwa pikiran
menciptakan realitas. Segala peristiwa dipengaruhi dari apa yang kita bayangkan,
kita visualisasikan, kita hasratkan, kita inginkan atau kita takutkan, serta mengapa
dan bagaimana gambar yang ditetapkan dalam pikiran bisa dibuat menjadi
kenyataan.

Peter F. Drucker mengatakan bahwa kesalahan berpikir sering kali terjadi ketika kita
berpikir tentang masa depan kita dengan cara berpikir kemarin, dan proses
pendidikan selama ini belum mampu menyekolahkan pikiran peserta didiknya.

Bapak manajemen modern mengatakan bahwa ”Masa Depan adalah Milik Mereka
yang Memikirkannya hari ini”. Beliau ingin menegaskan kembali bahwa apa yang
kita yakini, itulah yang kita dapatkan.

Ibrahim El Fiky menjelaskan hukum pikiran, dimana seseorang mendapat informasi


dari apa yang ada dalam pikirannya, ia tidak mampu memahami realitas yang tidak
sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya;

Goethe mengatakan, ”Semua pikiran yang bijaksana, telah dipikirkan ribuan kali,
tetapi untuk membuatnya benar-benar menjadi pikiran kita, maka kita harus
memikirkannya berulang-ulang dengan jujur, sampai pemikiran itu mengakar dalam
pengalaman pribadi kita.

Pikiran kita yang masih (90%) tertidur nyeyak karena ia belum disekolahkan,
demikian kata Gadner;

Orang bijak berkata; “Hidup kita adalah hasil pikiran kita dan kehidupan yang besar
selalu dimulai dengan impian-impian besar”.

Kalimat bijak di atas, memberikan gambaran kepada kita, bahwa sebenarnya diri kita
akan menjadi sosok sebagaimana yang kita pikirkan. Semua jalan pikiran kita yang
akan menjadi pengendali diri kita, kemana kita akan menuju dan akan menjadi
seperti apa diri kita.

Pikiran kitalah yang akan menjadi arah dan kendali dari perilaku diri kita. Tumbuhkan
kesadaran ini, agar selalu menjadi “pemilik, pengendali dan pengemudi” pikiran-
pikiran kita.

Dengan pikiran kita mampu membangun impian-impian besar bagi masa depan
kehidupan kita.
Pertanyaannya, sudahkah memiliki percaya diri (self confidence) yang tinggi untuk
membangun dan mengembangkan impian-impian besar hidup ke depan? Yakinkah

9
kita mampu mencapai impian-impian besar tersebut? Ini lagi-lagi sangat tergantung
dari cara berpikir yang dikembangkan.

Tidak ada sesuatu yang mudah, tidak juga instant. Semua harus melalui proses
yang kadang penuh dengan tantangan, hambatan yang melelahkan. Tidak ada
sesuatu yang hebat dicapai melalui cara yang mudah.

Diperlukan keyakinan diri dan semangat juang yang kuat & tangguh, untuk sampai
pada terwujudnya impian-impian besar tersebut.

Ada kalimat yang dapat kita jadikan spirit untuk mencapai cita-cita yang sudah kita
tetapkan, yakni: “Semua orang mampu mendaki setiap ketinggian, asalkan ia dapat
bertanggungjawab atas dirinya, dan menyadari kemana ia akan menuju”.

Tuhan telah memberikan kemampuan yang luar biasa kepada setiap manusia.
Masalahnya adalah, sadarkah bahwa diri kita memiliki kemampuan yang luar biasa,
dan tahukah kita kemana hidup kita ke depan?

Diperlukan kemauan dan kesadaran untuk bekerja cerdas, bekerja keras,


menyiapkan segala kemampuan yang kita miliki, dan terus sambil belajar tentang
berbagai hal yang belum kita miliki, sehingga kita terus berkembang dan berubah
seiring dengan meningkatnya kemampuan yang kita bangun.

Mulai dari sekarang. “Please, Define your dream! Mulailah dengan menggambarkan
kehidupan Anda, akan seperti apa yang diinginkan. Karena akan seperti itulah
jadinya Anda. Tidak ada batasan-batasan yang dapat Anda capai dalam kehidupan
Anda, kecuali batasan-batasan yang Anda terima dalam pikiran Anda sendiri.
Gunakan hak menyeleksi dengan sebaik-baiknya, kemampuan anda”, demikian
orang bijak kembali mengajarkan kepada kita semua.

Jeffrey H. Dyer, Hal B. Gregersen, and Clyton M. Christensen () The Innovator’s


DNA, Harvard Business Review, memuat: (1) inovatif dan kreatifitas merupakan
kompetensi kepemimpinan nomor satu masa depan. Sayangnya kebanyakan dari
kita hanya mengetahui sangat sedikit mengenai apa yang membuat seseorang lebih
inovatif dan kreatif dari pada yang lainnya; (2) Lima “Discovery Skill of True
Innovator”, yakni; associating; questioning, observing, experimenting, and
networking; (a) Ketrampilan pertama dan terpenting adalah berpikir asosiatif
(associating), yakni the ability to successfully connect seemingly unrelated question,
problems, or ideas from different fields; (b) Ketrampilan bertanya (questioning), Peter
F. Drucker lebih 50 tahun lalu mengatakan, “The power of provocative questions”.
Sebuah ungkapan, “The important and difficult job is never to find and right answers,
it is to find the right question”. Kemudian dalam manajemen dikenal formula 5W
(what, why, who, where, when) + 1H (how); (c) Melakukan pengamatan (observing),
seorang innovator carefully, intentionally, and consistenly look out for small
behavioral details; (d) Melakukan percobaan (experimenting), Edison mengatakan, “I
haven’t failed, I have found 10.000 ways that do not works; (e) Melakukan jejaringan

10
(networking), menghabiskan banyak waktu dan enerji untuk menemukan dan
menguji ide-ide melalui berbagai jaringan individu dan social yang berbeda latar
belakang dan prespektif, mencari secara aktif ide-ide baru dengan berbincang
bersama orang yang memberi pandangan tentang sesuatu yang secara radikal
berbeda.
Faktor Sikap

John P. Kotter dan Dan S. Cohen (2014) dalam bukunya “The Heart of Change”
menambahkan bahwa jantung perubahan bukan berada dalam pikiran, melainkan
pada “Sikap atau Perasaan”.

Dikatakan, “Orang mengubah apa yang mereka lakukan bukan karena mereka diberi
analisis yang mengubah pikiran mereka, namun lebih karena mereka ditunjukkan
sebuah kebenaran yang mempengaruhi perasaan mereka”.

Tantangan tunggal terbesar dalam setiap perubahan adalah mengubah sikap. Kunci
dan pergeseran sikap tersebut tampak jelas dalam transformasi yang sukses, tidak
terlalu banyak kaitannya dengan analisis dan pertimbangan, namun lebih cendrung
terkait dengan melihat dan merasakan.

Perasaan itu mengubah sikap kita. Orang dapat bergerak melewati setiap fase atau
tahapan perubahan kendati mereka sering kali dihadapkan pada berbagai kesulitan
yang sangat besar.
Sementara alat analisis menuntut parameter yang pasti, namun tidak begitu
berfungsi dalam situasi yang tidak pasti dan tidak menentu.

Secara singkat ia mengatakan tiga kata kunci; “Melihat (yang benar dan dengan
cara benar), Merasakan, dan Perubahan”.

Kotter dan Cohen (2014) dalam bukunya “The Heart of The Change” menegaskan
bahwa “70% transformasi yang dilakukan gagal karena hanya menggunakan kepala
tanpa atau mengbaikan aspek hati”.

Adapun variable Adversity Qoutient adalah sebagai berikut; (1) kontrol diri (self
control); (2) asal usul atau pengakuan (origin & Ownership); (3) jangkauan (reach);
dan (4) daya tahan (endurance). Disingkat CORE.

Sementara upaya untuk memperbaiki tingkat kecerdasan baru ini dilakukan melalui
tahapan sebagai berikut; (1) dengarkanlah (listen); (2) jajakilah (explore); (3)
analisislah (analysis); dan (4) lakukan (do). Disingkat LEAD.

Kardinal John Hendry Newman mengatakan; “jangan takut hidupmu akan berakhir,
tetapi takutlah bahwa ia tidak akan bermula atau janganlah mencela orang yang
mencoba dan gagal, tetapi nilailah orang yang gagal mencoba”.

11
Kiester (1991) mengatakan bahwa ”menghentikan kebiasaan buruk cendrung 80%
kambuh dalam waktu 90 hari, dan 60% penyebab dari kekambuhan tersebut berawal
dari kesulitan emosional, seperti tidak sabar atau tidak tahan menahan amarah”.

Charles Duhigg (2014) dalam bukunya “The Power of Habit” mengutip hasil
penelitian seorang peneliti Duke University pada tahun 2006 menemukan bahwa
“40% lebih tindakan yang dilakukan orang setiap hari bukanlah keputusan
sungguhan melainkan kebiasaan”.

Ketika kebiasaan muncul, otak berhenti turut serta penuh dalam pengambilan
keputusan. Otak berhenti bekerja keras atau mengalihkan fokus ke tugas-tugas lain.

Di bagian lain, Charles Duhigg mengatakan menumbuhkan kebiasaan baik dan


meninggalkan kebiasaan buruk melalui fokus pada satu kebiasaan saja.

Untuk mencapai sesuatu yang besar, kadang kita harus memulainya dari hal-hal
kecil. Lakukanlah dengan sungguh-sungguh dan tekun. Kadang kehidupan yang
besar dirangkai dari hal-hal kecil tadi, yang terus menerus kita lakukan dan
kembangkan. Lagi-lagi tidak ada sesuatu yang mudah untuk mencapai hal terbaik.

Hidup ini ibarat kunci kombinasi, tugas kita adalah menemukan angka-angka yang
tepat, dalam urutan yang tepat, sehingga dapat membuka pintu sukses apapun yang
kita inginkan. Tidak ada formula khusus, yang ada hanya usaha keras, bersungguh-
sungguh, tak kenal lelah, dan terus bekerja.
Kita memiliki cadangan potensi yang besar yang belum termanfaatkan di dalam diri
kita. Tugas kita adalah untuk mengeluarkan potensi-potensi tersebut.

Harta kita yang paling berharga adalah keinginan untuk mau bertahan lebih lama
dari pada orang lain, ketika menghadapi kesulitan di depan saudara.

Bagaimana agar kita semua menjadi para pemenang dalam kehidupan? “Para
pemenang tidak melakukan hal-hal berbeda, Mereka hanya melakukan hal-hal
biasa, dengan cara yang berbeda”.

Dengan demikian tugas kita adalah mencari cara yang memungkinkan kita menjadi
pemenang. Cara yang kita tempuh tidak harus seragam, yang terpenting adalah
“ending” dari proses itu adalah sukses, positif dan konstruktif. Pembicaraan para
pemenang selalu memiliki tujuan.

Biasanya kelompok orang-orang sukses selalu berbicara di seputar kegiatan yang


sedang dan akan mereka lakukan untuk mewujudkan gagasannya. Para pemenang
tidak pernah menyalahkan orang lain atas keadaan mereka, mereka selalu menatap
ke depan dan mengejar hal terbaik. Mereka bertanggungjawab atas posisi mereka,
dan tahu serta sadar ke arah mana mereka akan menuju.

12
Untuk mewujudkan impian-impian tersebut, disarankan agar menjalani hidup dengan
antusiasme, keceriaan, ketulusan, kejujuran, ketekunan, kreativitas, dinamis, dan
produktif. Itu hanya beberapa kekayaan dalam gudang sikap positif.

Sikap merupakan pembeda antara pemenang dan pecundang, antara emas dan
loyang.

Yang perlu kita sadari selanjutnya adalah bahwa “Sikap kita akan menentukan
ketinggian jelajah hidup kita” Kita sadari bahwa dengan titik start yang sama, lulusan
diploma, sarjana, magister atau doctor, kadang-kadang setelah sama-sama
menyusuri liku kehidupan, yang satu lebih berhasil dari pada yang lainnya.
Persoalan apa yang membedakan, pada hal mereka berangkat dari kondisi yang
sama? Sekali lagi dari ‘SIKAP’ positif kita, disamping ada takdir dari Tuhan Yang
Maha Kuasa. Iya, Tuhan penentu segalanya.

Faktor Kepemimpinan

Kotter (1997) mengatakan bahwa perubahan yang sukses melibatkan antara 70%
sampai 90% kepemimpinan. Kurangnya kepemimpinan membuat tidak adanya
kekuatan di dalam organisasi untuk mengatasi berbagai kekacauan.

Larry Greiner penggagas Dynamic Model of Organizational Social Structure


sebagaimana dikutip oleh Hatch (1997) mengatakan bahwa pada setiap fase
perubahan selalu terjadi krisis dan krisis kepemimpinan merupakan awal dari
keseluruhan krisis yang akan terjadi pada perubahan organisasi.

Senada dengan pendapat tersebut Mitchell and Larson (1987) mengatakan bahwa
faktor kepemimpinan merupakan inisiator bagi perubahan perilaku kelompok.

Dalam hukum kepemimpinan ditegaskan, ”Jika sebuah institusi tidak ada perubahan
atau kemajuan, maka segera gantilah pemimpinnya”.

Di bidang pendidikan Sallis (1993) menyatakan bahwa kepemimpinan sangat


penting bagi perubahan menuju kualitas menyeluruh, tanpa kepemimpinan pada
semua level lembaga, proses perbaikan tidak dapat tercapai di dunia pendidikan.

Pendapat lain, Perkins (1978); Baldridge & Deal (1975) dan Cohen & Marck (1974)
menyatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan dari upaya perubahan organisasi
pendidikan terfokus pada kemampuan menejerial dan kepemimpinan.

Tetapi tidak sedikit para pemimpin yang justru takut melakukan perubahan selain
karena alasan termakan usia, tidak punya harga diri dan takut jabatannya digantikan
oleh orang lain. Terkait akan ketakutan tersebut ada baiknya dikemukakan nasehat
dari pakar kepemimpinan yang terkemuka abad ini,

John C. Maxwell (2002) yang menyatakan bahwa “satu-satunya cara untuk


menjadikan diri anda tak tergantikan adalah dengan menjadikan diri anda dapat
digantikan”.

13
Dengan kata lain, jika anda terus dapat memberdayakan orang lain dan membantu
mereka berkembang agar mereka menjadi mampu mengambil alih tugas anda, anda
akan menjadi sedemikian berharga bagi mereka dan organisasi sehingga anda tak
tergantikan (tetap mereka pertahankan).

Jika kita melihat posisi kepemimpinan seseorang sering diganggu, digoyang dan
digantikan, sesungguhnya itu sebuah tanda bahwa anda sebagai pemimpin ia belum
melakukan upaya pemberdayaan terhadap bawahannya;

Monster Perubahan

Riuh rendah negeri ini, atas nama sebuah perubahan. Banyak yang lahir dan
mengklim atau mengaku diri mereka sebagai agen perubahan (change agent) yang
sedang dan telah membuat sebuah perubahan. Mencermati apa yang mereka
lakukan, meminjam istilah Jeanie Daniel Duck (2001) dalam bukunya “The Change
Monster” ternyata mereka lebih tepat disebut “Monster Perubahan”. Yasraf Amir
Piliang menyebut mereka adalah “Hantu Politik”.

Monster perubahan adalah segala kekuatan manusia dalam berbagai wujudnya,


baik secara individu maupun berkelompok berupaya memperkeruh dan
menggagalkan transformasi atau perubahan.

Everet Rogers menyatakan disetiap institusi selalu ada setidaknya 16% monsters
perubahan.

Sebagai ilustrasi, penulis kutip pernyataan John Kenneth Galbraith, seorang ekonom
ternama dari Harvard University melakukan penelitian di empat benua untuk
menjawab sebuah pertanyaan “Mengapa beberapa peradaban tetap miskin
berabad-abad lamanya?”.

Ia menyimpulkan bahwa “masyarakat miskin yang selalu mengakomodasi


kemiskinan mereka”, dikutip dari Devidson (2005) dalam bukunya “Change
Management”.

Pertanyaan yang sama, mengapa masyarakat tetap saja bodoh?. Jawabnya,


“karena mereka mengakomodasi kebodohannya”.

Be Wary mengatakan bahwa orang menolak perubahan hampir disepanjang waktu,


bahkan di era dimana orang dianggap telah terbiasa dengan perubahan.

Dan penolakan sering terjadi karena kecemasan terhadap hal yang tak dikenal.

Everet Rogers menambahkan bahwa mereka yang sulit menerima perubahan


karena mempertimbangkan alasan berikut ini, diantaraanya; (1) keuntungan relatif;
(2) compatibility dengan nilai, keyakinan, dan kebutuhan; (3) kompleksitas; dan (4)
dapat tidaknya diterapkan dan diamati atau dipahami.

Rhenald Kazali, seorang pakar perubahan di negeri ini memberikan beberapa


catatan penting tentang perubahan, khususnya perubahan di Indonesia, yakni
sebagai berikut.

14
Perubahan di Indonesia bersifat sporadis atau semua ingin diubah, liberalis, dan
sangat terbuka, semua (100%) terbuka, sementara perubahan di China bertahap,
tidak semua terbuka (40-60%), karena keteraturan dipelihara dan dipertahankan,
mereka berubah ke arah kapitalisme tanpa merubah sosialisme. Jepang juga
demikian, berkembang maju tanpa meninggalkan budaya, terutama budaya local;

Perubahan tidak selalu membawa ke arah positif, terkadang negatif. Oleh karena itu
yang terpenting bukan perubahannya, melainkan kemampuan beradaptasi
(adaptable) sebagaimana sering dimetaforakan sebagai sebatang bambu dalam
filosofi China. Charles Darwin menegaskan, “Bukan spesies yang paling kuat yang
akan tetap bertahan hidup, bukan pula yang paling cerdik, melainkan yang mampu
menyesuaikan diri (adaptable) terhadap perubahan sebagai dampak dari
pembelajaran yang dialaminya.

Tak peduli berapa jauh jalan salah (kegagalan) yang telah anda lalui. Putar arah
sekarang juga.

Manusia terdiri dari; 20% visioner atau mampu melihat apa yang belum dan akan
terjadi, intuisinya tajam dan wawasannya sangat luas, antara lain karena ia senang
berfikir dan membaca. Bahkan orang buta dan tuli dapat melihat masa depannya
dengan baik dan cermat seperti Helen Keller, dan John Robinson seorang aspergian
dapat mengetahui secara akurat apa yang terjadi dua puluh tahun sebelumnya.
Sementara 80% manusia tidak mampu melihat apa yang ada di sekitarnya dan tidak
tahan banting.

Pendidikan kita selama ini masih berbasis menghapal dan mendengar belum
berbasis berpikir, Guru lebih banyak bercerita dan memberi catatan, belum untuk
kompetensi bergerak dan berbuat. Yang diberikan oleh guru hanya untuk ditanam
dalam pikiran, belum pada untuk kepentingan atau kompetensi bertindak.
Sementara sebuah perubahan tidak terbatas hanya pada pikiran (inisiasi, regulasi
dan formulasi) melainkan harus dilanjutkan pada implementasi atau tindakan, dan ini
yang sering gagal dilakukan. Saat ini sedang dikembangkan “Learning to Teach”.
Sebuah ungkapan, “Guru terbaik ketika di saat yang sama ia menjadi murid yang
baik”.

Memperbaiki system pendidikan yang salah ini dari rumah dan sekolah, hal tersebut
juga yang menjadi alasan didirikannya “Sekolah Perubahan”. Bukanklah orang tua
sekarang ini lebih banyak yang membayangkan atau hanya berandai-andai,
anaknya kerja, tidak dengan tindakan nyata dalam kehidupan.

Jangan andal-andalan orang lain, tetapi yang benar adalah andalkan diri anda
sendiri, tidak mulai dari atas melainkan dari bawah sebagaimana pernah dipesankan
oleh Ali bin Abi Thalib yang menyatakan “jangan membanggakan milik orang lain,
tetapi banggalah karya diri anda sendiri, oleh karena itu sejelek apapun karya kita
dimata orang lain, karena kita hasilkan sendiri dengan kerja dan sungguh-sungguh,
maka orang pertama yang harus menghargai dan menghormatinya adalah diri kita
sendiri, demikian pesan JK Rawling penulis “Harry Porter”.

15
Kunci keberhasilan adalah “spirit persatuan”, akan tetapi manusia masih
mendewakan kekuasaan atau merasa diri penting (padahal itu adalah virus penyakit
gila), manajemen kekuasaan bersifat transaksional, yakni bayar apa, mendapat apa
atau sering kita dengar “Aku Dapat Apa”.

Pencitraan diri dengan bermodalkan uang. Masalah besar bangsa ini adalah
manajemen pemerintahan.

Kegiatan ekonomi semestinya untuk kemakmuran rakyatnya. Sebaliknya “social


enpreneurshif” harus didukung oleh kegiatan ekonomi atau antara ekonomi dan
social terjadi interdependensi atau saling ketergantungan positif. Buktinya beberapa
perusahaan besar dan bertahan lama, selalu menjalankan “Cooperation Social
Responsibility (CSR)”, seperti Bil Gate, Donard Trump, Buffet, Soros, dan banyak
yang lainnya. Belum lagi apa yang dilakukan oleh mantan pemimpin dunia.

Daya saing diciptakan oleh perusahaan bukan oleh Negara.Dan perubahan


bermodalkan “Trust atau kepercayaan”.

Perubahan ibarat sebuah spiral, yakni naik tiga tingkat, turun satu tingkat. Hanya
mereka yang trampil menghadapi kesusahan hidup akan lebih mampu menghadapi
atau menjalai perubahan. Oleh karena belajar gagal penting.

Akhirnya, penulis kutip pendapat Viktor Frankl, seorang penemu logotrafi dimana ia
sendiri saat ditahan Nazi membuktikan bahwa kebenaran ilmu tidak objektif
sebagaimana Harus Yahya dan Godwell dalam kasus suku Roseta di Roma Italia
yang membuktikan panjang umur karena menaruh rasa hormat yang tinggi kepada
orang yang lebih tua dan bersilaturrahmi.
Menurut Frankl, dalam hidup ini yang terpenting adalah kehidupan yang bermakna
atau “Meaning of Life”, dalam bahasa agama “Kehidupan Yang Bermanfaat” bagi
semua makhluk.

Manajemen Perubahan
Pengertian Manajemen
Peter F. Drucker (1982) dalam bukunya “An Inroductory View of Management”
mengingatkan, “Untuk kelangsungan hidupnya, organisasi memerlukan manajer dan
manajemen. Tanpa manajemen, keadaan tidak dapat dikendalikan, rencana tidak
dapat dirubah menjadi tindakan. Lebih buruk lagi, bagian yang berlainan dari
rencana berjalan dengan kecepatan yang berbeda, waktu yang berbeda dan
sasaran maupun tujuan yang berbeda. Kebaikan hati dari atasan menjadi lebih
penting dari karya. Giliran berikutnya organisasi mulai kacau, tidak maju, dan segera
akan bangkrut”.
Tanpa manajemen hanya akan ada gerombolan orang banyak, dan bukannya
sebuah lembaga tanpa ada manajemen;
Hakikat manajemen adalah untuk memotivasi dan mengkoordinasikan orang lain
untuk menghadapi berbagai tantangan yang kompleks;
Manajemen diperlukan dalam semua bentuk, jenis organisasi (komersil dan nirlaba)
dan ukuran organisasi (kecil, sedang dan besar), pada setiap jenjang organisasi
16
(dasar, menengah dan atas/puncak), pada semua bidang kerja organisasi (seperti;
manufaktur, pemasaran, SDM, akuntan, SIM) dan diorganisasi manapun di seluruh
dunia;
Seseorang disebut manajer adalah mereka yang melakukan sesuatu “DENGAN
BENAR”, yakni; (1) menetapkan sasaran dan merencanakan; (2) mengorganisir dan
mengatur; (3) memimpin dan memotivasi; dan (4) mengevaluasi. Sementara
kepemimpinan berintikan melakukan sesuatu “YANG BENAR”;
Manajemen bekerja dengan otak kiri, sementara kepemimpinan bekerja dengan otak
kanan.
Ada 5 (lima) operasi utama secara formal dalam pekerjaan manajer; (1) menetapkan
sasaran yang memberikan gambaran apa yang harus dikerjakan; (2)
pengorganisasian; (3) memberi motivasi dan mengadakan komunikasi; (4)
pengukuran dan (5) mengembangkan orang termasuk dirinya sendiri;
Mary Parker Follet mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan
pekerjaan melalui orang lain;
Tolok Ukuran manajemen adalah “Efisien”, penggunaan sumber daya (pikiran, uang,
tenaga) sedikit mungkin tetapi hasil tercapai.
Jadi efektif berkenaan dengan hasil/tujuan/sasaran, sedangkan efisien berkaitan
dengan cara dan penggunaan sumber daya;
Woodrow Wilson mengatakan, “If you want to make enemies, try to change
something”.

Manajemen perubahan memahami bahwa perubahan harus direncanakan karena


manajemen perubahan pada dasarnya adalah sebuah perubahan yang
direncanakan, diorganisir, dipimpin, dan dikendalikan.

Penelitian menemukan bahwa manajemen perubahan akan lebih mudah berhasil


dengan menggunakan pendekatan yang “bermula dari hasil” dari pada “bermula dari
mekanisme”.

Kebutuhan organisasi untuk berubah (need assessment for change) dan bukan
karena keharusan politik untuk berubah (order to change)

Para ahli manajemen mengemukakan fungsi manajemen yang beragam. Pada


makalah ini dikutip pendapat Richard L. Daft (2010) dalam bukunya “New Era of
Management” mendefinisikan manajemen adalah pencapaian tujuan-tujuan (goals
and objective) organisasi secara efektif melalui; (1) perencanaan (planning); (2)
pengelolaan (organizing); (3) kepemimpinan (leading); dan (4) pengendalian
(controlling) sumber daya-sumber daya organisasi, yakni; manusia dan bukan
manusia.

17
Perhatikan, persamaan pendapat dari semua pakar di atas, yakni; (1) planning
sebagai fungsi pertama; (2) controlling sebagai fungsi terakhir; (3) sebagian besar
pakar manajemen mengemukakan fungsi organizing setelah planning.
Secara lebih rinci dan singkat fungsi manajemen diuraikan berikut;

Change Planning

Richard L. Daft mengemukakan perencanaan (planning) adalah mengidentifikasi


berbagai tujuan untuk kinerja organisasi di masa mendatang serta membutuhkan
tugas dan penggunaan sumber daya yang diperlukan untuk mencapainya; 5W
(what, why, who, when, where) +1 H (how).
Formula sederhana, sesuatu yang direncanakan selalu lebih baik dari sesuatu yang
tidak direncanakan (P > O);
Masa depan adalah milik mereka yang memikirkan dan merencanakannya hari ini,
Peter F. Drucker.
Memulai atau Mengawali Perubahan

Semua orang ingin berubah, tetapi sedikit orang yang melakukannya karena alasan
yang sama, yakni sulit memulainya. Kemampuan individu dan institusi menerima,
merespons dan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi menjadi kunci
terpenting bagi mereka yang memulai dan berhasil melakukan perubahan.
Jonatan Back, ”Lakukan perubahan sekalipun engkau tidak punya apa-apa untuk
orang aalain menyempurnakannya kemudian”.

18
Arnold Toynbee menyimpulkan bahwa; “Kebangkitan (berubah, maju dan
sejenisnya) umat manusia ini bergantung pada kemampuannya merespons atau
menanggapi secara cepat, tepat atau akurat dan pantas terhadap tantangan atau
masalah yang dihadapinya”.

Orang bijak berkata ”Jangan mencela mereka yang ”mencoba gagal”, tetapi celalah
mereka yang ”gagal mencoba”.

Sukses memulai perubahan, dimulai dari; (1) diri sendiri, (2) hal-hal kecil, dan (3)
sekarang.

PERTAMA, Mulai Dari Diri Sendiri. John Maxwell mengatakan, “Di kala kita bodoh,
kita memang ingin menguasai orang lain, tetapi kala kita bijak, kita ingin menguasai
diri sendiri”. Pendapat lain mengatakan, “Semua orang ingin mengubah dunia, tetapi
mereka lupa mengubah atau menguasai diri mereka sendiri”, demikian Leo Trostoy.
Walt Emerson menyatakan hal senada bahwa, “Yang ada di belakang dan yang di
depan tidak ada artinya dibanding dengan yang terdapat di dalam dirinya”, dan
“cepat atau lambat, pemenang adalah mereka yang menganggap diri mereka bisa”.

Pendapat yang sama disampaikan Harun Yahya (2002) dalam bukunya “Ever
Thought about The Truth”, ia menjelaskan bahwa “Dunia yang kita ketahui
sebenarnya adalah dunia di dalam pikiran kita dimana ia didesain, diberi suara dan
warna atau dunia yang diciptakan oleh pikiran kita”.

Selanjutnya, Stephen Hawking (2010) bapak teori relativitas dalam bukunya ”The
Grand Design” mengatakan bahwa ”Tiada konsep realitas (kenyataan) yang
independen dari gambaran atau teori yang ada dalam pikiran atau persepsi kita”.

Demikian pula, John Kehoe (2012) dalam bukunya ”Mind Power” menyatakan
bahwa pikiran menciptakan realitas. Segala peristiwa dipengaruhi dari apa yang kita
bayangkan, kita visualisasikan, kita hasratkan, kita inginkan atau kita takutkan, serta
mengapa dan bagaimana gambar yang ditetapkan dalam pikiran bisa dibuat menjadi
kenyataan.

Namun dalam kenyataan hidup ini, seseorang tidak tepat waktu dalam
menggunakan pikirannya untuk memulai perubahan sebagaimana disinyalir oleh

Peter F. Drucker bahwa kesalahan berpikir sering kali terjadi ketika kita berpikir
tentang masa depan kita dengan cara berpikir kemarin. Bukti lain, pikiran kita hingga
sat ini belum tersekolahkan”, demkian Gardner (2012) dalam bukunya ”Unschool
Mind”.

Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa selain pikiran, faktor diri yang sangat
mempengaruhi saat memulai perubahan adalah sikap dan perasaan

John P. Kotter dan Dan S. Cohen (2014) dalam bukunya “The Heart of Change”
menambahkan bahwa jantung perubahan bukan berada dalam pikiran, melainkan
pada “Sikap atau Perasaan”.

19
Dikatakan, “Orang mengubah apa yang mereka lakukan bukan karena mereka diberi
analisis yang mengubah pikiran mereka, namun lebih karena mereka ditunjukkan
sebuah kebenaran yang mempengaruhi perasaan mereka”. Tantangan tunggal
terbesar dalam setiap perubahan adalah mengubah sikap. Kunci dan pergeseran
sikap tersebut tampak jelas dalam transformasi yang sukses, tidak terlalu banyak
kaitannya dengan analisis dan pertimbangan, namun lebih cendrung terkait dengan
melihat dan merasakan.

KEDUA, Mulai dari Hal-Hal Kecil, Rhenald Kasali (2007) dalam bukunya “Re-Code
Your Change DNA” mengatakan bahwa dunia berubah bukan dimulai dengan
banyak orang, tetapi selalu dimulai dari sedikit orang. Nabi Muhammad Saw
bersama empat orang khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) dalam waktu 20
tahun mampu merubah peradaban arab dari biadab menjadi beradab. Demikian pula
Nabi Isa as bersama tujuh orang rasulnya mampu membuat perubahan besar pada
zamannya. Menjadi tidak aneh, jika Bung Karno diawal kemerdekaan mengatakan,
“Serahkan kepadaku sepuluh orang pemuda, akan kuubah Indonesia ini”. Uraian di
atas mendapat penguatan dari Hukum Pareto atau hukum 20/80 yang diperkenalkan
oleh Vilvredo Pareto, yakni yang sedikit (20%) akan memberi hasil yang terbesar
(80%). Berdasarkan hukum ini menunjukkan segala hal-kecil, berbiaya kecil, dan
dengan jumlah terbatas mampu memberi dampak yang luar biasa. Gladwell (2010)
dalam bukunya “Triping Point” menegaskan bahwa ,”How Little Thing Can Make a
Big Difference”.

Friel & Friel mengatakan hal yang sama bahwa “satu perubahan kecil yang
dilakukan secara konsisten dan dengan integritas, benar-benar bisa mengubah
keseluruhan sistem“. Dalam banyak pendapat dikatakan bahwa ”tidak jarang
kelompok kecil mampu atau dapat mengalahkan kelompok besar karena kelompok
kecil itu terorganisir dengan baik.

Tidak hanya itu, jika kita memulai perubahan dari hal-hal yang kecil, kemudian
ternyata gagal melakukan perubahan itu, maka perubahan yang gagal tersebut tidak
memberi dampak yang merusak keseluruhan sistem yang ada, dan bahkan
kegagalan itu menjadi pembelajaran yang bermakna bagi perubahan yang lebih
besar. Orang bijak mengatakan, ”Jika kita tidak segera menangani atau
menyelesaikan perkara-perkara kecil, maka kitapun tak akan mampu menangani
atau menyelesaikan perkara-perkara besar” dan ”Banyak orang yang tidak
menyadari bahwa setiap kerusakan nilai-nilai selalu dimulai dari hal-hal kecil”.
Sebaliknya, sering terjadi kegagalan dalam memulai perubahan karena suka
meributkan ha-hal kecil,

KETIGA, Mulai Dari Sekarang, Orang sukses adalah orang yang segera
melaksanakan idenya, tidak menunggu atau menunda pekerjaannya karena suka
menunda pekerjaan terbukti 64% menjadi faktor kegagalan”, demikian Frans Bruno.

Albert Einstein kembali menasehati melalui kalimat pendek, ”Ideas and than action”,
artinya jika ada ide, maka segera ambil tindakan. Maxwell menambahkan,
”kesalahan terbesar yang diperbuat seseorang adalah tidak berbuat apa-apa”.
Sudah tepat jika Jokowi-Jusuf Kalla pemimpin bangsa ini mengatakan ”Kerja, Kerja,
Kerja” karena bangsa ini memelukan manusia gesit dan cepat bertindak. Dikatakan,

20
”Tidak peduli seberapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga”,
demikian Rhenald Kasali dalam bukunga berjudul ”Change”.

Hall, seorang pakar perubahan yang dikenal sebagai pencetus “Concern Based
Adoption Model” memberikan pemahaman tentang proses awal perubahan harus
dimulai oleh individu, kemudian institusi melalui fase awareness, dilanjutkan
pemberian informasi. Sementara, faktor utama di setiap awal perubahan adalah
dipengaruhi oleh pola pikir (mindset) dan semangat atau kesungguhan (rigors).

Anatole France seorang penulis Prancis mengatakan; “Semua perubahan, bahkan


yang sangat dinantikan memiliki suasana sedih tersendiri, karena apa yang kita
tinggalkan adalah bagian dari kita sendiri, kita harus mati untuk satu kehidupan
sebelum kita dapat memasuki kehidupan lainnya”.

Kesimpulan penelitian tersebut seringkali dijadikan bingkai teoretik untuk mengawali


setiap perubahan yakni memberi respons yang tepat dengan dukungan data yang
akurat tentang persoalan dan masalah yang dihadapi sebuah bangsa, kemudian
diimplementasikan ke dalam rencana tindak (action plan). Penulis amati selama ini,
seringkali rencana tindak disusun tidak berdasarkan data, fakta dan permasalahan
yang sedang dihadapi, bahkan tidak jarang copy paste atau menciplak.

James L. Peacock (1986) menyatakan bahwa “keberhasilan para pembaharu


memulai aktivitasnya atas kesadaran teosentrisme dan selalu dimulai dari kampung
asalnya, bergerak dari dalam, bukan dari luar”. Ia mengambil contoh dari seorang
Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah 1912 di kampungnya Kauman
Yogyakarta. Keberhasilan Haji Ahmad Dahlan karena dorongannya untuk tidak
hanya menjadi “man of thought and man of teach” tetapi juga menjadi “man of
action” atau tidak hanya ingin pandai ngomong dan menggurui orang lain tapi lebih
mengutamakan mengajari masyarakatnya melalui beramal sholeh. Demikian pula
Haji Hasyim Asyari, seorang ulama besar dan dikenal sebagai pendiri Nahdatul
Ulama (NU) di negeri ini, berasal dari desa Tabuireng Jombang.

Satu sisi kehidupan mereka adalah sekembalinya dari menuntut ilmu di Timur
Tengah dan berbagai negara, beliau pulang ke kampung asalnya bermodalkan
sedikit harta yang dimiliki, seperti; lemari, meja dan kursi tua miliknya untuk
mendirikan sebuah sekolah atau pesantren. Mereka tahu pintu masuk membangun
peradaban dan kemajuan adalah melalui pendidikan.

Dan tak terbayangkan peristiwa yang bermula dari kampung yang oleh masyarakat
sekarang terasa sangat aneh dan memilukan itu jusru membuahkan karya besar
dalam pembangunan peradaban Indonesia. Tampaknya para pembaharu lain yang
berhasil membangun masyarakatnya selalu memulai sesuatu dari dirinya sendiri,
dari yang kecil dan dari sekarang juga dengan perbuatan nyata bukan hanya
berpidato atau ngomong. Rene de Clerque, penyair Belanda di akhir abad ke-19
mengatakan bahwa; “Hanya ada satu negara yang menjadi negaraku, ia tumbuh
dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku”,

1. Change Organizing (Mengorganisasi Perubahan)

21
Kelompok yang besar dikalahkan oleh kelompok yang kecil, karena mereka
terorganisir dengan rapid an baik, Ali ra.

Godwell, “David dan Goliat” yang kecil mengalahkan yang besar. Kekuatan besar vs
Kekuatan besar lainnya, maka kekuatan besar yang dimilikinya menjadi tidak besar
lagi.

Richard L. Daft mendefinisikan pengelolaan (organizing) mencakup; (a) menentukan


tugas. Siapa melakukan apa; (b) mengelompokkan tugas; (c) mendelegasikan
otoritas; dan (d) mengalokasikan sumber daya di seluruh organisasi;
Stephen P. Robbins dan Mary Coulter mendefinisikan organizing adalah
menentukan apa yang harus diselesaikan, bagaimana caranya dan siapa yang akan
mengerjakannya;
Pengelolaan biasanya dilakukan setelah perencanaan dan mencerminkan keinginan
mewujudkan perencanaan;
Organisasi adalah penataan (organizing) sekumpulan orang secara sengaja guna
mencapai tujuan tertentu. Artinya setiap organisasi haruslah mencerminkan; (a)
memiliki tujuan yang jelas (terdefinisi); (b) terdiri dari sekumpulan orang; dan (c)
memiliki struktur yang mengatur hak dan kewajiban para anggotanya dalam
melaksanakan pekerjaan organisasi;
Jumlah yang sedikit dapat mengalahkan jumlah yang besar karena kemampuannya
mengorganisir atau mengelola, kasus Yahudi dan Cina;

2. Change Leading

Ketika lebih dari dari satu orang, maka harus ada seorang pemimpin. Charles
Maurice de Telleyrand, seorang diplomat Prancis mengatakan, “Seratus kambing
yang dipimpin oleh se ekor singa akan lebih berbahaya atau lebih menakutkan dari
pada seratus singa yang dipimpin se ekor kambing”, artinya seorang pemimpin
haruslah seorang yang lebih kuat dan tepercaya dari yang lainnya.

Dan setiap kamu adalah pemimpin diantara lainnya dan dimintakan pertanggung
jawabannya. Jika organisasi apapun namanya, tidak ada kemajuan, maka gantilah
pemimpinnya.

Di atas sudah disinggung, bahwa kepemimpinan berintikan pada melakukan “YANG


BENAR”;
Hersey dan Blanchard mendefinisikan kepemimpinan (influence atau pengaruh)
adalah “fungsi Pemimpin (P), pengikut (p) dan situasi (s). Dalam formula
matematika; K = f (P,p,s);
Richard L. Daft mendefinisikan kepemimpinan (leading) adalah menggunakan
pengaruh (influence) untuk memotivasi guna mencapai tujuan organisasi;

22
Stephen P. Robbins dan Mary Coulter mendefinisikan kepemimpinan adalah
memotivasi, memimpin, dan tindakan-tindakan lainnya yang melibatkan interaksi
dengan orang lain;
Jadi Inti dari kepemimpinan adalah pengaruh (influence), tidak lain tidak bukan.
Untuk memahami kepemimpinan, maka setidaknya pahami hukum dan level
kepemimpinan.
Kouzes dan Posner (1996) dalam bukunya “Credibility atau kepercayaan” dan
Stephen M.R. Covey (2010) dalam bukunya “The Speed of Trust” mengemukakan
bahwa pengaruh seorang pemimpin diawali dari adanya kepercayaan atau
kredibilitas, dibangun mulai dari: (a) kepercayaan diri; (b) kepercayaan dalam
hubungan; (c) kepercayaan dalam organisasi; (d) kepercayaan pasar; dan (e)
kepercayaan masyarakat;
Kredibilitas muncul dari adanya; (a) integritas atau kejujuran; (b) visioner atau
memiliki wawasan jauh ke depan; (c) memberi inspirasi; dan (d) cakap;
Aristoteles, “Sampaikan (1) sebuah kebenaran; (2) diperlukan; (3) untuk kebaikan;
dengan penuh (4) bertanggung jawab
Pemimpin sekarang ini harus memiliki; (a) kredibilitas; (b) kapabilitas. Kalangan
kapitalis dan pragmatis menambahkan “financial”;
Kepemimpinan berarti menciptakan nilai dan budaya bersama, mengkomunikasikan
tujuan kepada seluruh anggota organisasi dan menyuntikkan semangat untuk
memperlihatkan kinerja tertinggi kepada anggota organisasi;
Dapat disimpulkan, Segalanya sesuatunya jatuh atau bangun tergantung pada
kepemimpinan; (1) Semakin banyak yang ingin Anda coba lakukan dalam hidup
Anda, semakin akan Anda temukan bahwa Kepemimpinanlah yang akan membuat
perbedaaan; (2) Sumber daya manusia menentukan potensi organisasinya; (3)
Hubungan-hubungan menentukan moral organisasi; (4) Visi menentukan arah
organisasi, sedangkan struktur menentukan besar kecilnya organisasi, dan (5)
Kepemimpinan menentukan sukses organisasi

Pemimpin Perubahan Sejati

Sebagai orang yang beriman kepada Rasulullah SAW semestinya mereka tidak
melupakan petunjuk/sabdanya, “Barang siapa memilih seseorang, sedangkan ia
mengetahui bahwa ada orang lain yang lebih layak dari yang dipilihnya, maka ia
telah mengkhianati Allah, Rasul, dan amanat kaum muslimin”, dikutip dari M.
Quraish Shihab (1994) dalam bukunya “Lentera Hati”;

Kotter (1997) dalam bukunya “Leading Change” mengatakan bahwa “perubahan


yang sukses melibatkan antara 70% hingga 90% kepemimpinan. Kurangnya
kepemimpinan membuat tidak adanya kekuatan di dalam organisasi untuk
mengatasi berbagai kekacawan dan ketidakpastian”.

Larry Greiner, penggagas Dynamic Model of Organizational Social Structure dalam


sebuah artikelnya berjudul “Evolution and Revolution as Organizations Grow”

23
sebagaimana dikutip dari Harvard Business Review, Edisi 1991 bertema
“Management of Change”, mengatakan bahwa “pada setiap perubahan organisasi
selalu mengalami lima fase perubahan yang bersifat konstan, keberhasilan
perubahan pada fase awal atau fase ke-1 mempengaruhi perubahan pada fase
berikutnya, dan setiap fase memiliki ciri atau karakteristik perubahan dan
menghadapi krisis yang berbeda, yakni; (fase ke-1) adalah perubahan melalui
kreativitas dan menghadapi krisis kepemimpinan; (fase ke-2) adalah perubahan
melalui pengarahan (direction) dan menghadapi krisis otonomi; (fase ke-3) adalah
perubahan melalui delegasi dan menghadapi krisis kontrol, monitoring, dan evaluasi;
(fase ke-4) adalah perubahan melalui koordinasi, dan menghadapi red-tape crisis;
dan (fase ke-5) perubahan melalui kolaborasi, dan menempatkan spontanitas
kolaboratif yang lebih besar dengan bercirikan; fokus pemecahan masalah secara
tim, matrix team, partisipasi, dan tujuan yang saling menguntungkan.

Mitchel and Larson (1987) dalam bukunya “People in Organization” menyatakan hal
yang sama, bahwa “perubahan atau pertumbuhan organisasi sangat ditentukaan
oleh perilaku anggota kelompoknya. Faktor kepemimpinan merupakan inisiator bagi
perubahan perilaku kelompok. Di bidang pendidikan,

Edward Sallis (1993) dalam buknya “TQM in Education” menyatakan bahwa,


“kepemimpinan sangatlah penting bagi perubahan menuju kualitas menyeluruh,
tanpa kepemimpinan yang kuat dan kredibel di semua jenjang institusi, maka proses
perbaikan tidak akan tercapai”.

Berdasarkan asumsi teoretik di atas, sejak lama, semua bahwa perubahan berawal
dari sebuah kreativitas dan mengalamai krisis kepemimpinan. Oleh karena itu setiap
ingin melakukan perubahan, maka faktor kepemimpinan atau memilih pemimpin
haruslah menjadi perhatian yang sungguh-sungguh, jangan seolah-olah serius,
bermain-main, dan jangan pula berfikir jangka pendek untuk kesenangan sekejap.
Pertanyaannya adalah seperti apa sosok seorang pemimpin perubahan sejati itu?.
Karakteristik pemimpin sejati tidak cukup populer, melainkan juga sempurna
(melankolis). Kuat (koleris), dan phlegmatis (damai).

Joh R. Ketzenbach (1998) dalam bukunya “Real Change Leaders” mengemukakan


ciri utama atau terpenting dari pemimpin perubahan sejati adalah, seorang pemimpin
yang rela hidup di “Masa Delta”, yakni masa pertumpahan darah, berkeringat dan
mengucurkan air mata, siap merasakan luka pedih akibat adanya perubahan peran
orang dan perubahan struktur kelembagaan organisasi. Pemimpin perubahan sejati
belajar untuk bertahan dan menang pada masa delta tersebut. Semua cobaan,
fitnah, tantangan dan sejenisnya harus diasumsikan dan diyakini oleh setiap
pemimpin perubahan sejati sebagai malaikat yang menjemput si pemimpin
perubahan sejati agar ia menjadi lebih kuat, kokoh, bersinar, dan bersayap, dan
jangan sebaliknya, berfikir negatif atas kedatangannya.

Pemimpin perubahan sejati adalah seseorang pemimpin yang rela miskin demi
kesejahteraan rakyatnya. Jika ada pemimpin yang tidak siap untuk miskin demi
rakyatnya, maka jangan berharap banyak kepada pemimpin tersebut dapat
membuat perubahan bermakna bagi pengikut. Oleh karena itu, prinsip menjadi dan
memilih pemimpin bagi penulis sudah jelas. Jika ada seseorang memohon
dukungan untuk menjadi pemimpin, maka penulis selalu mengajukan setidaknya tiga

24
pertanyaan pokok yang oleh anak muda sekarang ini disebut “kontrak politik”. Tiga
pertanyaan yang dimaksud adalah: (1) apa motivasi anda menjadi pemimpin?. Jika
jawabannya untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat/pengikutnya, maka
pertanyaan penulis lanjutkan; (2) anda rela miskin?. Mengefektifkan dan
mengefesiensikan sarana dan prasarana yang ada saat ini, kecuali sangat dan
sangat diperlukan?. Jika jawabannya; YA. Pertanyaan penulis selanjutnya; (2) action
apa-apa saja yang akan anda lakukan?. Maksud penulis adalah action yang terfokus
dan terukur.

Penulis takut jika menemukan sebuah jawaban, setiap ingin menjadi pemimpin
karena alasan ingin memperoleh sebuah prestise dan disebut orang penting,
menjadi kaya, dan akan lebih berbahaya jika teritorial wilayah negara dan daerah
yang dipimpinnya dirasakan sebagai milik pribadi dan keluarganya, nanti pastilahlah
tidak mau digantikan, tetap ingin menjadi pemimpin untuk selama-lamanya, setiap
orang berbicara tentang “suksesi kepemimpinan”, akan dijadikan musuhnya dan
mesti dibumi hanguskannya. Jangan sampai dosa masa lalu terulang kembali di
negeri ini

Pidato Pemimpin Perubahan

Taufik Bahaudin seorang pakar perilaku yang dijuluki Peter F. Drucker Indonesia,
mengatakan bahwa pidato yang disampaikan merupakan representasi dari apa yang
dipikirkan dan berdampak pada perilaku dan tindakannya. Mahatma Ghandi
mengatakan hal yang sama, “Bahasa kita adalah cermin dari diri kita. Oleh karena
itu, perhatikan apa yang kamu pikirkan karena ia akan menjadi kata-katamu dan
perhatikan kata-katamu karena ia akan menjadi perbuatanmu”,

Teori kepemimpinan mengatakan bahwa memimpin adalah bertindak dan pemimpin


adalah pekerja (leader in action).

Disamping itu, hukum kekuasaan justru menyatakan bahwa berbicara lebih sedikit
dari pada yang diperlukan. Ketika Anda membuat orang lain terkesan dengan kata-
kata Anda, semakin banyak kata-kata yang Anda ucapkan, maka Anda akan tampak
semakin biasa-biasa saja dan semakin terkendali, Bunda Teresa dalam satu
kesempatan mengatakan “seribu kali kau berkhotbah belum tentu lebih baik dari
pada satu kali kau bekerja menyapu di halaman rumah saudaramu”. Raja Thailand
dihormati rakyatnya karena tidak banyak dan santun berbicara, demikian juga bapak

Suharto presiden RI dikenal seorang pemimpin yang santun berbicara. Tidak pernah
beliau menyebut dirinya “Saya” dalam setiap pidatonya.
Syekh Ahmad Atailah (1995) dalam kitabnya “Al-Hikam” mengingatkan bahwa
“Barang siapa melihat orang yang suka menjawab segala sesuatu yang diajukan
kepadanya. Menceritakan segala sesuatu yang pernah disaksikannya, menyebut
semua yang pernah diketahuinya, perbuatan seperti itu termasuk perbuatan orang
bodoh atau tolol”.

Montefiore (2008) dalam pengantar sebuah buku berjudul “Speeches that Changed
The World” mengatakan bahwa “pidato yang hebat tidak saja mengungkapkan
kebenaran di masanya, namun bisa juga menyebarkan kebohongan besar.
Kesederhanaan bahasa menandai pembuatan atau penyampaian pidato itu hebat

25
sebagaimana pidato yang disampaikan oleh para rasul, orang shaleh dan orang
bijak lainnya. Demikian sebaliknya, pidato dengan kalimat serba indah dan membuai
bisa juga disampaikan oleh para tokoh jahat yang nilai pidatonya tidak lebih dari
pidato yang disampaikan oleh binatang-binatang politik yang hebat”.

Namun banyak diantara calon pemimpin dan/atau pemimpin melupakan peringatan


Abraham Lincoln seorang pemimpin sejati dari Amerika Serikat yang menyatakan
bahwa “ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpinannya tidak dapat
disembuhkan melalui pidato atau retorika sehebat apapun bahasa yang
digunakannya”. Dunia takkan lama atau tak banyak mengingat apa yang kita
katakan di sini, namun dunia takkan pernah melupakan apa yang dilakukan
pahlawan di sini”.

Namun tidak terbantahkan pidato pemimpin mampu merubah dunia. Berikut ini
penulis sampaikan cuplikan inti sari pidato 20 orang pemimpin yang mengubah
dunia, yakni; (1) Muhammad Saw bersabda, “Allah Swt tidak lengah terhadap apa
yang kamu kerjakan; (2) Yesus dari Nazareth mengatakan “berbahagilah orang
miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya kerajaan surga”; (3) Musa
diantara sepuluh perintah Tuhan, mengingatkan agar; hormatilah ayah dan ibumu,
jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, dan jangan berdusta; (4) Abu
Bakar Siddiq ra saat dilantik menjadi khalifah pengganti Rasulullah Saw
menegaskan, “Saya bukanlah yang terbaik diantara kalian, oleh karena itu, jika saya
keliru dalam memimpin kalian, maka luruskanlah saya. Sebaliknya, jika saya benar
memimpin kalian, ikuti dan taatilah saya; (5) Ratu Elizabert I, “Aku tahu tubuhku
adalah tubuh perempuan yang lemah dan rapuh, tetapi aku memiliki hati dan
semangat seorang raja”; (6) Raja Charles I berpidato di tiang gantungan, “Aku pergi
dari kerajaan yang bisa dirusak ke kerajaan yang kekal abadi”; (7) George
Washington, “Persatuan sesungguhnya merupakan syarat utama bagi
terpeliharanya kebebasan. Cinta Anda harusnya membuat Anda menjaga orang lain.
Jalinlah hubungan baik yang adil dengan semua bangsa lain, ciptakanlah
perdamaian dan harmoni semua”; (8) Thomas Jefferson, “Kebebasan beragama,
kebebasan pers dan kebebasan individu akan dilindungi oleh pengadilan, dimana
keputusan akan ditentukan oleh juri yang tidak memihak; (9) Vlademir I.. Lenin,
“Kelas mana yang memegang kekuasaan, dialah yang menentukan segalanya”; (10)
Woodrow Wilson, “Dunia harus dibuat aman bagi demokrasi”; (11) Joseph Stalin,
“Kita harus memperkuat propaganda kita di negara-negara yang berperang sebagai
persiapan begitu perang berakhir”; (12) Winston Churchill mengatakan,”Saya tidak
bisa memberikan apa-apa kecuali darah, perjuangan, air mata, dan keringat”; (13)
Vyacheslav Molotov, “Jika kita berperang atas dasar alasan yang benar, maka
musuh akan mudah dikalahkan”; (14) Franklin Roosevelt, “Satu-satunya hal yang
harus kita takuti adalah rasa takut itu sendiri dan bangsa yang tidak punya visi akan
musnah. Bangsa ini membutuhkan tindakan, maka bertindaklah. Tugas utama kita
adalah membuat warga bekerja”; (15) Jawaharlal Nehro, “Kemerdekaan dan
kekuasaan menuntut tanggung jawab”; (16) John F. Kennedy, “Jangan tanya apa
yang bisa dilakukan negara untukmu, tanyalah apa yang bisa kamu berikan untuk
negaramu”; (17) Martin Luther King, “Saya punya mimpi”; (18) Mikhail Gorbachev,
Kebebasan memilih adalah prinsip universal yang tidak ada pengecualiannya; (19)
pesan suksesi kepemimpinan dari Ir. Soekarno presiden RI Pertama, “Daun-daun
tua harus bersedia gugur dan menjadi pupuk yang subur bagi tumbuh kembang

26
kuncup-kuncup muda”; (20) Jenderal Sudirman, “Kami sanggup mempertahankan
kedaulatan dan kemerdekaan sampai titik darah yang penghabisan”.

Apapun dan bagaimanapun sebuah pidato itu disampaikan oleh calon pemimpin
dan/atau pemimpin, bagi penulis, kualitas sebuah pidato ditentukan dengan
menggunakan 4 (empat) parameter sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles,
yakni: pesan yang disampaikan adalah (1) sebuah kebenaran universal, (2) yang
diperlukan, (3) untuk kebaikan bersama, dan (4) penuh tanggung jawab.

3. Change Controling

Setiap satu kesalahan diperbaiki adalah sebuah kemajuan


Anak tangga berfungsi untuk memperkuat kaki untuk bertinjak, bukan tempat untuk
berhenti sejenak;

Richard L. Daft mendefinisikan pengendalian (controlling) adalah memonitor aktivitas


anggota organisasi, menentukan apakah organisasi sejalan dengan tujuannya dan
membuat koreksi jika diperlukan. Para manajer harus memastikan bahwa organisasi
mereka bergerak menuju tujuannya;

Stephen P. Robbins dan Mary Coulter mendefinisikan controlling adalah mengawasi


berbagai aktivitas demi memastikan segala sesuatunya terselesaikan sesuai
rencana;

Setiap kali melakukan perubahan, maka fungsi monitoring dan evaluasi adalah
penting;

Perhatikan dalam praktek kenegaraan, lembaga pengontrol masih diragukan


kredibilitasnya, terutama dalam bidang KKN. Oleh karena itu, presiden selaku kepala
pemerintahan membentuk KPK sebagai badan pengawasan yang bersifat ad hock.
Titik lemah pendidikan kita juga terdapat pada lemahnya pengawasan, terutama
pengawasan atau kontrol pembelajaran.

Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar


Sekolah sebagai satu institusi pendidikan diharapkan mampu beradaptasi terhadap
perubahan yang dari waktu ke waktu semakin cepat dan tidak menentu.
Kemampuan beradaptasi sangat menentukan sekolah untuk tetap bertahan hidup
atau eksis dan mengalami kemajuan.
Dan sekolah yang mampu beradaptasi adalah sekolah yang belajar atau sekolah
yang selalu berupaya memperbaharui dirinya. Oleh karena itu, semua usaha
pemberdayaan sekolah bermuara pada sekolah kelas pembelajar.
Peter Senge (2000) dalam bukunya “Schools that Learn” menyatakan bahwa,
“Sebuah sekolah disebut sekolah pembelajar jika ruang kelas dengan segala unsur
yang ada di dalamnya mengalami proses pembelajaran, terutama pendidik atau guru

27
harus menjadi manusia pembelajar dan komunitas pembelajar yang terkontrol
dengan baik, misalnya setiap kali terjadi kekurang- capaian materi dan hasil
pembelajaran, segera terantisipasi dan memperoleh perbaikan dan umpan balik
pembelajaran, ketidak- mampuan peserta didik dalam menguasai materi
pembelajaran tidak menumpuk sehingga menimbulkan ketidakberdayaan yang lebih
bersifat permanen.
Diyakini bahwa ruang kelas sebagai satuan terkecil dari organisasi sekolah adalah
tempat terjadinya proses pembelajaran yang kemudian efektifitasnya mempengaruhi
mutu pendidikan. Ada pendapat menyatakan bahwa jika ruang kelas tidak dikelola
secara efektif, maka ruang kelas tersebut akan menjadi kotak hitam atau blackbox
pendidikan.
Di bagian lain, Peter Senge menyatakan bahwa sekolah pembelajar adalah sekolah
yang memiliki setidaknya lima unsur berikut; (1) berpikir sistem; (2) keahlian pribadi;
(3) model mental; (4) membangun visi bersama; (5) pembelajaran tim.
Fakta menunjukkan berbagai usaha telah dilakukan dalam rangka meningkatkan
mutu akademik siswa, seperti memberikan pendidikan lanjut dalam jabatan dan
sertifikasi guru dengan menghabiskan dana yang tidak sedikit, Namun belum
membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini karena kesadaran diri
untuk belajar belum tumbuh dan kontrol terhadap kinerja tenaga pendidik dan
kependidikan masih berada di luar dirinya sehingga seringkali menyulitkan untuk
tumbuh dan berkembang dalam profesinya.

Peter Senge (1995) selaku pakar pembelajaran organisasi dalam bukunya “Fifth
Discipline” mengatakan bahwa keberadaan dan kemajuan sekolah bermuara pada
pembelajaran terus menerus. Semakin sering pembelajaran terjadi, maka akan
semakin sadar ketidaktahuan. Setiap anggota organisasi atau sekolah pembelajar
harus melakukan bagaimana berpikir, apa yang sungguh-sungguh diinginkan dan
bagaimana diantara anggota organisasi tersebut berinteraksi belajar satu dengan
yang lain.
Sekolah pembelajar adalah sekolah yang setidaknya memiliki lima unsur berikut;
berpikir sistem, keahlian pribadi, model mental, membangun visi bersama dan
pembelajaran tim.
Berpikir Sistem, sekolah harus dipahami bukan sebuah ruang kosong atau vakum,
melainkan sebuah sistem dimana terdapat berbagai unsur atau sub-sistem di
28
dalamnya, diantara mereka tidak hanya dimakna saling berhubungan, melainkan
saling ketergantungan dan semua bertanggung jawab.
Berpikir sistem menjadi penting karena mengintegrasikan dan menggabungkan
menjadi satu secara koheren dan praktis semua unsur yang ada dalam organisasi.
Keahlian Pribadi merupakan suatu kedisiplinan dalam mengklarifikasi secara
kontinu dan memperdalam visi pribadi, memfokuskan energi atau mengembangkan
kesabaran dan melihat realitas secara objektif.
Di sekolah terdapat sejumlah orang dengan berbagai keahliannya, diharapkan dapat
secara konsisten mewujudkan hasil dari segala sesuatu yang mempunyai efek
mendalam bagi semua, mereka melakukan aktifitasnya dengan tekun dan berjangka
panjang pada pembelajaran mereka sendiri.
Terjadi hubungan antar pembelajaran pribadi dan pembelajaran sekolah berada
dalam hubungan timbal balik sebagai dampak dari semangan pembelajaran
Model Mental, adalah asumsi yang sangat dalam melekat yang sangat berpengaruh
terhadap bagaimana stakeholder sekolah mengambil tindakan. Model mental kita
menentukan pikiran dan tindakan seseorang. Keberhasilan luar biasa berasal dari
pembelajaran bagaimana melicinkan menantang model mental mereka.
Membangun Visi Bersama, Banyak pemimpin atau kepala sekolah memiliki visi
pribadi yang tidak pernah dapat diterjemahkan ke dalam visi bersama yang melapisi
suatu organisasi sekolah. Dan banyak orang memilih untuk mengejar tujuan yang
hebat, tidak hanya dalam saat kritis, tetapi di sepanjang waktu. Yang kurang adalah
kedisiplinan untuk menterjemahkan visi individu ke dalam visi bersama.
Pembelajaran Tim, Orang bijak mengatakan semua keberasan hanya dapat
diperoleh karena meminjam otak orang lain. Intelegensi tim jauh lebih tinggi dari
pada intelegensi individu yang terdapat dalam tim tersebut.
Pembelajaran tim penting karena ia merupakan dasar pembelajaran unit dalam
organisasi modern, Tim mengembangkan kapasitas untuk mengkoordinir tindakan.
Ketika tim benar-benar belajar, tidak hanya mereka mewujudkan hasil yang hebat,
tetapi anggota individu yang mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding bisa
terjadi dalam bentuk lainnya.
Dialog adalah strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran tim.
Adapun inti dari organisasi atau sekolah pembelajar adalah peralihan berpikir. Dari
melihat diri mereka sebagai bagian yang terpisah dari dunia ke bentuk keterkaitan
dunia. Dari melihat masalah disebabkan oleh seseorang atau sesuatu di luar sana
29
menjadi melihat bagaimana tindakan kita sendiri menciptakan masalah seperti yang
kita alami.
Organisasi atau sekolah pembelajar merupakan suatu tempat dimana orang secara
berkesinambungan menemukan cara bagaimana mereka menciptakan realitas
mereka dan bagaimana mereka bisa mengubahnya.

30

Anda mungkin juga menyukai