Anda di halaman 1dari 11

Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’

PERIODISASI PERKEMBANGAN FIQIH PADA ZAMAN


SIGHAR SAHABAT DAN TABIIN

Rofi’atul Hasanah
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Nahdlotul
Ulama’ Tuban
rofiatulhasanah2003@gmail.com

Abstrak:
Penelitian kepustakaan ini bertujuan untuk menyusun dan mendeskripsikan periodesasi mengenai
perkembangan fiqih era sighar sahabat dan tabi’in. Metode yang digunakan adalah metode penelitian
kepustakaan (Library Research). Penelitian pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai
informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber seperti catatan, buku, ataupun artikel dan penelitian
terdahulu untuk dikaji dan dianalisis. Untuk menjaga ketepatan pengkajian dan mencegah kesalahan
informasi dalam analisis data maka dilakukan pengecekan antar pustaka dan membaca ulang pustaka. Hasil
studi ini adalah menunjukkan bahwa periodesasi perkembangan pada era sighar sahabat dan tabi’in
mengalami perbedaan sudut pandang dalam pembukuan hadis. Sighar Sahabat adalah sahabat yang hidup
pada masa Rasul namun pada masi itu Ia masih kecil. Sedangkan Tabi’in adalah orang Islam awal yang masa
hidupnya setelah Para sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup di masa Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
Kata Kunci: Perkembangan fiqih, Sighar Sahabat, Tabi’in

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Klasifikasi perkembangan fiqih ke dalam era sighar sahabat dan tabi'in sebenarnya masih
membingungkan banyak pengamat Kebingungan itu dapat dipahami dengan melihat munculnya
pergolakan-pergolakan yang terjadi selama kekhalifahan Utsman dan Ali, dan memuncak pada
pemerintahan Daulah Ummayah, yang melahirkan agitasi teologis cukup tajam. Karena itu, banyak
pengamat sejarah Islam berkesimpulan bahwa periode ini lebih merupakan masa munculnya
persoalan-persoalan teologis, sedangkan kajian-kajian fiqih tenggelam di bawah perpecahan
kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan politik pada masa-masa awal dari pemerintahan Daulah Ummayah telah
melahirkan agitasi teologis adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, tetapi pergolakan itu sendiri
juga membawa pengaruh besar terhadap perkembangan fiqih hingga menghantarkan fiqih menuju
era kodifikasi dan munculnya para aimmah mazhahib (para imam mazhab). Pada pembahasan
"Fiqih Dalam Era Keemasan" akan kita temukan bahwa puncak keemasan perkembangan fiqih dari
masa ke masa memiliki kesinambungan kesejarahan yang bermata-rantai dari satu periode ke
periode berikutnya.
Periode ketiga dari perkembangan fiqih ini bermula ketika peme- rintahan ummat Islam diambil-
alih oleh Muawiyah bin Abi Sufyan (tahun 41 H). Setelah melalui pergumulan politik yang panjang
Jurnal Tarikh Tasyri’| 1
Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib yang berakhir dengan terbunuhnya Ali dan penyerahan
pemerintahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah. Periode ketiga ini berlangsung hingga awal
abad kedua Hijriah.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai informasi
yang dibutuhkan dari berbagai sumber seperti catatan, buku, ataupun artikel dan penelitian
terdahulu untuk dikaji dan dianalisis oleh Marjuni dalam Idah Suaidah. Pada penelitian ini, penulis
mengumpulkan informasi terkait perkembangan fikih era sighar sahabat dan tabi’in pada artikel
penelitian dan berbagai buku yang membahas hal tersebut. Informasi yang telah ditemukan
merupakan data yang akan dikelola, selanjutnya dianalisis untuk mengetahui periodesasi
perkembangan fikih era sighar sahabat dan tabi’in.

PEMBAHASAN
Fikih pada Masa Sighar Sahabat dan Tabi’in
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir, fase selanjutnya adalah masa sighar sahabat dan
tabi’in. Fase ini dipimpin oleh Bani Umayyah (41 H-awal abad II H) dengan pemimpin pertamanya
adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.1 Sahabat yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib
dalam bukunya Ushul al-Hadis adalah setiap orang muslim yang hidup semasa dengan Rasul,
bergaul serta menimba ilmu (meriwayatkan hadis) dari Rasulullah. Sighar Sahabat adalah sahabat
yang hidup pada masa Rasul namun pada masa itu Ia masih kecil, yang memang pada saat itu
mereka jarang bergaul bersama Nabi, disebabkan tempat tinggalnya jauh dari Nabi. 2 Sedangkan
Tabi'in artinya pengikut, adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah Para sahabat Nabi
dan tidak mengalami masa hidup di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan
demikian, Tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah SAW. Selain itu juga tidak diisyaratkan
harus bertemu dengan sahabat seperti yang dikuatkan oleh ulama hadis. 3 Generasi Tabi’in
mengambil dan penerimaan pelajaran dari sahabat mengenai tafsir Al-Qur’an, hadis. fatwa-fatwa
mereka dan lebih khususnya pengetahuan penetapan hukum serta metode-metode penetapan-
penetapan hukum. Keberadaan Tabi’in ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat (At-Taubah 100).

1
Abdul majid kon, ikhtisar tasyri’ sejarah pembinaan hukum islam dari masa ke masa. Hal 64-65
2
https://ikhwanmr.blogspot.com/2016/02/tasyrik-pada-masa-sighar-sahabat-dan.html?m=1
3
Munadi usman, pembinaan fikih masa tabi’in. Hal 191
Jurnal Tarikh Tasyri’ | 2
Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
‫َّٰن‬
‫َو ٱلَّٰس ِبُقوَن ٱَأۡلَّو ُلوَن ِم َن ٱۡل ُم َٰه ِج ِر يَن َو ٱَأۡلنَص اِر َو ٱَّلِذ يَن ٱَّتَبُعوُهم ِبِإۡح َٰس ٖن َّرِض َي ٱُهَّلل َع ۡن ُهۡم َو َر ُض وْا َع ۡن ُه َو َأَعَّد َلُهۡم َج ٖت َتۡج ِري َتۡح َتَها‬
١٠٠ ‫ٱَأۡلۡن َٰه ُر َٰخ ِلِد يَن ِفيَهآ َأَبٗد ۚا َٰذ ِلَك ٱۡل َفۡو ُز ٱۡل َعِظ يُم‬
Artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar. (At-Taubah: 100).
Fitnah besar yang dihadapi umat pada akhir pemerintahan Ali adalah tahkim (perdamaian) antara
pendukung Ali sebagai khalifah dan pendukung Mu’awiyah sebagai gubernur Damaskus.
Pendukung Ali yang tidak menyetujui tahkim, membelot dan tidak lagi mendukungnya. Mereka
disebut kelompok Khawarij. Kelompok ini disebut-sebut yang merencanakan pembunuhan terhadap
Ali dan Mu’awiyah, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh. Mu’awiyah mengambil alih
kepemimpinan di kala umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syiah, dan
Sunni.
Pada masa ini banyak sahabat yang sudah wafat. Namun, beberapa orang di antara mereka yang
masih hidup, menjadi guru. Pada masa ini, pemerintahan memperhatikan perkembangan ilmu,
sehingga terlaksanalah pembukuan ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah. Pada masa ini
juga, para cendekiawan muslim mampu memberikan penerangan. Hukum tidak hanya dipandang
secara tekstual, tetapi juga kontekstual berdasarkan situasi dan kondisi perkembangan sosial
masyarakat. Periode ini disebut ‘am al-jama’ah (tahun persatuan) karena bersatunya pendapat
jumhur untuk melegalkan Mu’awiyah sebagai Khalifah.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fiqih pada Periode Ini


a) Penggunaan Rasio
Ada kecenderungan baru dari beberapa fuqaha, khususnya yang berada di Irak untuk memandang
hukum sebagai timbangan rasionalitas. Mereka tidak saja banyak menggunakan rasio dalam
memahami hukum dan menyikapi peristiwa dan persoalan yang muncul, tetapi juga
memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya. Aliran pemikiran ini
dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid An-Nakh'ie, seorang ahli fiqih Irak guru Hammad bin Abi
Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fiqih rasionalis kepada Abu Hanifah. Konon, Ibrahim
sendiri banyak dipengaruhi oleh 'Alqamah bin Qais yang tertarik pada metodologi pemikiran Umar
bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.

Jurnal Tarikh Tasyri’ | 3


Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
Dalam aliran ini tidak berjalan mulus, tetapi banyak mendapat tanggapan dan tantangan.
Reaksi paling keras berasal dari ulama-ulama Hijaz (Madinah) yang menganggap aliran ini telah
"menyeleweng" dari manhaj sahabat dan bahkan, berpaling dari ajaran Rasulullah. Ibnu Syihab
Zuhri, seorang ahli hadis pada saat itu, pernah mengatakan. "Sesungguhnya orang-orang Yahudi
dan Nasrani kehilangan ilmu yang mereka miliki ketika mulai di sibukkan dengan pendapat rasio
dan pemikiran."
Dalam beberapa pertemuan dan dialog yang mereka adakan untuk mendiskusikan berbagai
persoalan yang muncul dan dimunculkan di Irak atau Hijaz dapat ditangkap beberapa isyarat yang
memungkinkan kedua belah pihak saling melengkapi, saling mengisi antara satu dengan lainnya.
Ulama-ulama Hijaz yang kaya dengan hadis dan fatwa-fatwa sahabat "dipaksa" menjawab berbagai
persoalan yang belum timbul pada zaman Nabi saw. dan sahabat. Demikianlah, kebiasaan ulama-
ulama Irak memprediksikan suatu peristiwa yang belum muncul itu menuntut ulama- ulama Hijaz
untuk menggali tujuan-tujuan moral, illah dan hikmah yang menjadi tujuan disyariatkannya suatu
hukum. Sebaliknya ulama- ulama Irak juga seringkali mencabut pendapatnya yang diketahui,
setelah melalui dialog dengan ulama-ulama Hijaz, bertentangan dengan Sunnah Nabi. 4
b) Meluasnya Ruang Ikhtilaf
Konsekuensi lain dari munculnya kontroversialisme pemahaman fiqih tadi adalah meluasnya ruang
ikhtilaf pada periode ini. Berbeda dengan tradisi ikhtilaf sahabat, pada periode ini ikhtilaf juga
diperluas dengan menyebarnya sahabat ke beberapa daerah dan perpecahan kesatuan agama dan
negara akibat pergolakan-pergolakan politik selama pemerintahan Daulah Ummayah. Dr. Thaha
Jabir dalam bukunya Adabul Ikhtilaf Fil Islam menyebutkan bahwa "benih-benih" meluasnya
ikhtilaf itu sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin Affan.
Utsman adalah khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk meninggalkan Madinah dan
menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari 300 sahabat pergi ke Bashrah dan Kufah, sebagian lagi ke
Mesir dan Syam.
Penyebaran sahabat berbagai tempat, memiliki pengaruh tersendiri terhadap perkembangan
fiqih, meluasnya ruang ikhtilaf di kalangan tabi'ien. Itu dapat dipahami karena masing-masing
daerah punya perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, di samping perbedaan kapasitas
pemahaman para fuqaha dalam mengantisipasi masalah yang muncul

4
Mun’im a sirry , Sejarah fikih islam. Hal 50
Jurnal Tarikh Tasyri’ | 4
Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
Ibnu Qayyim mencatat bahwa fiqih periode sighar sahabat dan tabi'ien ini disebarkan
oleh pengikut empat fuqaha sahabat terkemuka, yaitu pengikut Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang Madinah, misalnya, banyak
mendapat fiqih dari pengikut-pengikut Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar, orang-orang
Mekkah dari Abdullah bin Abbas dan di Irak diwarisi oleh fiqih Ibnu Mas'ud.
Dalam batas-batas tertentu, karena perbedaan teori, formulasi, ke- adaan dan kondisi
masyarakat, mereka sering berbeda dalam satu masa- lah yang sama. Namun persoalannya
tidak hanya sampai di situ, pergolak- an-pergolakan politik sejak terbunuhnya Utsman,
pindahnya markas ke- khilafahan ke Kufah kemudian ke Syam dan berbagai konfrontasi
yang banyak memakan korban jiwa, juga faktor yang harus disebut dari me- luasnya ikhtilaf
pada periode ini.
Ketika untuk pertama kalinya markas kekhalifahan pindah ke Irak (pada masa
pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib), yang di sana ter- dapat Ibnu Mas'ud, Sa'ad bin
Abi Waqqas, Ammar bin Yasir, Abu Mu- sa al-Asy'ari dan Mughirah bin Sya'bah, sudah
muncul ikhtilaf di sekitar kecenderungan pemahaman fiqih ulama Irak. Ikhtilaf ini semakin
mele- bar dan sekaligus meruncing ketika konfrontasi politik antara Ali dan Muawiyah dan
penyelewengan Daulah Ummayah menimbulkan berbagai aliran dan sekte. Pada saat itu
muncul aliran Syi'ah, Khawarij, Jahmiyah, Mu'tazilah dan lain sebagainya yang memecah
belah kesatuan ummat Islam. Sekalipun aliran-aliran ini lebih merupakan sekte teologis,
tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan fiqih. Misalnya, a tara Khawarij dan
Syi'ah, mereka tidak mau menerima hadis kecuali yang diriwayatkan oleh ulama-ulama
mereka sendiri.5
c) Periwayatan Hadis
Selain terjadi perbedaan pemahaman antara fuqaha Irak dan Hijaz dan munculnya
berbagai aliran dan sekte dalam Islam, periode ini juga dikenal dengan banyaknya
periwayatan hadis. Jika pada periode kedua para sahabat melakukan seleksi yang sangat
ketat terhadap penerimaan periwayatan hadis, justru pada periode ini para tabi'ien
menampakkan kesungguhan dalam mencari dan meriwayatkan hadis.
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa seorang sahabat, Jabir bin Abdullah al-Anshari
pernah menceritakan perjalanannya selama satu bulan hanya untuk mendengarkan
Hadis tentang qisas." Dalam Shahih Bukhari, dari Jabir bin Abdullah disebutkan bahwa
ia berjalan satu bulan untuk mendengar satu hadis. Cerita ini dibenarkan oleh Abdul Qadir

5
Mun’im A Sirry, Sejarah fikih islam. Hal 52
Jurnal Tarikh Tasyri’ | 5
Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
Arnaut, se- orang ahli hadis yang mentahqiq buku Jami'ul Ushul karya agung Ibnu Atsir,
bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari tadi berasal dari Abdullah bin Muhammad bin
'Uqail, ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata: "Saya mendengar kabar ada seorang yang
mendengar hadis dari Nabi Muhammad saw. Saya khawatir akan mati sebelum sempat
mendengar hadis itu.6

Sumber-sumber Fikih pada Periode Ini


Sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat, yaitu Alquran, sunnah, ijma'
sahabat, dan qiyas. Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada Alquran.
Mereka memerhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud dan
memahaminya. Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitab Allah mereka baru
beralih memerhatikan sunnah Rasulullah. Jumhur berpendapat bahwa sunnah
menyempurnakan pembinaan hukum sekaligus berfungsi menerangkan Alquran.
Di kalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Jika mereka tidak
mendapatkan pula dalam nash-nash hadis barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan
qiyas, memerhatikan ruh syariat, dan memerhatikan kemaslahatan umat. Apabila ijtihad para
sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan bersama, maka disebut
ijma' sahabat. Pada periode ini ada dua hal yang dapat memengaruhi Alquran, yaitu
penelitian dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat, ada yang
bersungguh-sungguh menghafal Alquran dan memperbaiki bentuk penulisannya.
Perkembangan pemeliharaan Alquran yang berkaitan dengan penulisan- nya yaitu
dengan memberikan tanda bunyi (harakat) dan canda diakritis (canda titik pada huruf
['ajam]). Ajam memang sudah mulai dikenal sebelum masa Islam, namun masih jarang
dipergunakan. Manuskrip Alquran generasi pertama tidak memiliki kedua tanda tersebut.
Tanda-tanda ini barulah dimasukkan ke dalam penulisan Alquran pada masa pemerintahan
khalifah Bani Umayyah yang kelima, yaitu Abdul Malik bin Marwan (66-86 H 685- 705 M)
dan masa pemerintahan Gubernur Al-Hajjaj di Irak ketika semakin banyak orang yang ingin
belajar membaca Alquran terutama dari mereka yang tidak
Berlatar belakang budaya Arab. Diriwayatkan bahwa orang per- tama yang
memperkenalkan tanda titik (ajam) ke dalam naskah Alquran adalah seorang tabi'in yang
bernama Abu Al-Aswad. Al-Du'ali. Selanjutnya, diperbaiki oleh Al-Hasan Al-Bashri. Yahya
bin Ya'mar, dan Nashr bin Ashim Al-Laitsi.

6
Mun’im A Sirry, Sejarah fikih islam. Hal 54
Jurnal Tarikh Tasyri’ | 6
Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
Perbaikan penulisan dilakukan secara berangsur-angsur. Pada masa awal, sebagaimana
yang dilakukan oleh Abu Al-Aswad Al-Du'ali, fathah dilambangkan dengan titik di depan
atas huruf, dhammah berbentuk titik di akhir huruf, dan karsah berbentuk titik di depan
bawah huruf. Perbaikan berikutnya dilakukan oleh Nashr bin Ashim atas perintah Al-Hajjaj
dengan memberikan titik pada suatu huruf untuk membedakan huruf lain. Perbaikan
berikutnya dilakukan Al-Khalil bin Ahmad. Ia mengubah sistem penulisan Al-Du'ali dengan
mengubah fathah menjadi sebuah garis panjang di atas huruf, kasrah menjadi sebuah garis
panjang di bawah huruf, dan dhammah menjadi seperti huruf wau kecil di atas huruf.
Demikian juga lambang tanwin dengan memberikan dua garis; tanwin fathah berupa dua
garis panjang di atas huruf, tanwin kasrah berupa dua garis panjang di bawah huruf, dan
tanwin dhammah seperti dua huruf wau kecil di atas huruf. Perbaikan tulisan Alquran terus
berjalan dengan pesat; misalnya dengan pemberian tanda tasydid, iqlab, ikhfa, dan idgham.
Perkembangan hadis pada masa pasca-masa Khulafaur Rasyidin adalah masa mencari
hadis dari para sahabat dan tabi'in yang telah pindah ke berbagai wilayah setelah terjadi
ekspansi besar-besaran. Masa ini adalah masa pembukuan hadis pertama kali dalam sejarah
yang diinstruksikan oleh Umar bin Abdul Aziz pada awal abad II Hijriah. Berikut ini
suratnya kepada gubernur di Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (w.
117 H).

‫انُظُر وا َح ِد يث َر ُس وِل هللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلم َفَأْج ُعوُه َأكتب إلي بما يثبت اْلَح ِد يِث َعْن َر ُس وِل هللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫َفِإِّني َخ ِش يْت ِع ْنَدَك ِم َن اْلَح ِد يِث ُد ُرْو َس اْلِع ْلِم َو َذ َهاَب اْلُعَلَم اِء‬

Lihatlah hadis-hadis Rasulullah yang ada. Tulislah, karena sesungguhnya saya takut
terhapusnya ilmu dan meninggalnya ulama. (HR. Malik dan Muhammad bin Hasan)7

Para Mufti pada Masa Shigar Sahabat dan Tabi’in


Cukup banyak mufti pada periode ini yang tinggal diberbagai kota, baik di kalangan
sighar sahabat maupun tabi’in. Berikut penjelasannya:8
NO
KOTA MUFTI
.
1 Madinah Kalangan sahabat yang terkenal adalah Aisyah,
Abdullah bin Umar, dan Abu Hurairah. Kalangan
7
Abdul Majid, Khon Ikhtisar Tarikh Tasyri’. Hal 70-72
8
Ibid, Hal 78-80
Jurnal Tarikh Tasyri’ | 7
Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
tabi'in yang mengambil ilmu dari sahabat di
Madinah adalah Sa'id bin Al-Musayyab, Urwah bin
Zubair bin Al- Awwam Al-Asadi, Abu Bakar bin
Abdurrahman bin Al-Haris bin Hisyam Al-
Makhzumi, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
Al-Hasyimi, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin
Mas'ud. Salim bin Abdillah bin Umar, Sulaiman
bin Yasar (maula ummul mukminin, Maimunah),
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Nafi'
(manda Abdullah bin Umar), Muhammad bin
Muslim yang terkenal dengan panggilan Ibnu Al-
Syihab Al-Zhuhri. Abu Ja'far bin Muhammad bin
Ali bin Al-Anshari, dan Rubai'ah bin Abi
Abdirahman Farruh.
2 Mekkah Dari kalangan sahabat yang berada di Mekkah
adalah Abdullah bin Abbad bin Abdil Muthalib,
Mujahid bin Jabr (maula bani Makhzum), Ikrimah
(maula Ibnu Abbas), Atha bin Abi Rabah (maula
Quraisy), dan Abu Al-Zubair Muhammad bin
Muslim Bin Tadrus (maula Hakim bin Hizam).
3 Kufah Di kota ini antara lain Alqamah bin Al-Nukha's
(ulama fiqh Irak). Muradi, Al-Aswad bin Yazid Al-
Nukha'i, Syuraih bin Al-Haris AlKindi, Ibrahim bin
Yazid Al-Nukha'i, Sa'id bin Jubair (maula
Walibah), dan Amir bin Syarahil Al-Sya'bi.
4 Bashrah Di antara mufti di Bashrah adalah Anas bin Malik
Al-Anshari, Abu Al-Aliyah Rafi' bin Mahran Al-
Rayahi, Al-Hasan bin Abi AlHasan Yasar (maula
Zaid bin Tsabit), Abu Al-Sya'tsa' Jabir bin Zaid
(teman Ibnu Abbas), dan Muhammad bin Sirin
(maula Anas bin Malik)
5 Syam Di antara mufti di Syam adalah Abdurrahman bin
Ghanim Al-Asy'ari, Abu Idris Al-Khaulani,

Jurnal Tarikh Tasyri’ | 8


Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
Abdullah bin Abdillah, Qabishah bin Dzuaib,
Makhul bin Abi Muslim (maula seorang wanita
dari Hudzail), Raja' bin Hayah Al-Kindi, dan Umar
bin Abdul Aziz bin Marwan.
6 Mesir Di Mesir antara lain Abdullah bin Amr Al-Ash,
Abu Al-Khair Murtsad bin Abdillah Al-Yazani
(mufti mesir), dan Yazid bin Abi Hubaib (maula
Al-Azdi).
7 Yaman Di Yaman antara lain Thawus bin Kisan Al-Jundi,
Wahab bin Munabbih Al-Shan’ani (ulama Yaman),
dan Yahya bin Abi Katsir (maula Thayyi’)

Penerapan Tasyri’ Pada Masa Sahabat Junior Dan Tabi’in


Pada masa ini, wewenang untuk menetapkan tasyri dipegang oleh generasi sahabat junior.
Mereka mempunyai keahlian dalam bidang tasyri’ dan berfatwa. Dari para sahabat yang ahli
itulah, tabi'in mempelajari Alquran, hadis, dan fatwa sahabat. Generasi ini memakai khiththah
yang telah dilalui oleh para sahabat. yaitu memerhatikan prinsip-prinsip umum dalam menetapkan
hukum. Mereka memberikan fatwa terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi dan karena itulah
perselisihan paham di antara mereka belum meluas. Pada masa ini pula mulai timbul perselisihan
paham karena berbagai macam perbedaan, seperti:
1. perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum;
2. perbedaan cara berijtihad
3. perbedaan pandangan tentang maslahat
4. perbedaan tingkat pemahaman;
5. perbedaan tempat tinggal (tidak satu wilayah);
6. perbedaan cara menggunakan rayu:
7. perbedaan zaman serta struktur masyarakat.
Perbedaan perbedaan itu memengaruhi timbulnya sistem baru di kalangan pemuka tasyr,
Perbedaan dalam hal furu' (cabang) menjadi tidak terelakkan. Meskipun demikian, mereka tetap
sepakat dalam hal ushul (pokok). Selanjutnya pada pertengahan abad II Hijriah, kekuasaan tasyr'
dikendalikan oleh mujtahidin (para imam mazhab dan muridmuridnya). Pada abad ini, perbedaan
pun meluas; tidak hanya pada cacaran furu', tetapi juga tataran ushul. Hal ini menyebabkan para
pemuka tasyr menjadi terpecah-pecah.

Jurnal Tarikh Tasyri’ | 9


Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’

Pengaruh Politik Terhadap Perkembangan Fikih


Periode Tabi’in dimulai setelah lepas kekuasaan Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 hijriah sebagai
khalifah dan kemudian tampuk kekuasaan di pegang olehpemerintahan Dinasti Umayyah yang
berakhir tahun 132 hijriah. Tokoh-tokoh fiqh pada masa ini adalah murid-murid dari sahabat Nabi.
Beberapa fenomena yang berkembang pada waktu itu. Pertama, kaum muslimin terpecah menjadi
beberapa firqoh karena motif politik. Kedua, Ulama-ulama muslimin telah menyebar ke beberapa
negara besar Islam. Ketiga, Tersiar riwayat hadist yang sebelumnya hal itu dilarang dan belum
dibukukan. Keempat, Terjadi manipulasi hadist karena motif politik. Zaman ini dipenuhi dengan
berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqh, dan pergolakan politik karena sejak zaman
awal berdirinya dinasti ini kaum muslimin terpecah kepada tiga golongan :
1. Syiah, yaitu orang-orang yang sangat fanatik dengan Ali Bin Abi Thalib. Mereka
menganggap khilafah hanya untuk Ali dan keturunannya sehingga urusan khilafah menurut
mereka sama dengan warisan dari Nabi Muhammad SAW dan bukan dengan cara bai’at.
2. Khawarij, yaitu mereka yang kecewa dengan adanya proses tahkim (perdamaian) pada
zaman Khalifah Muawiyah lalu mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah, dan mayoritas
mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan
keras, dan tidak harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab.
3. Jumhur kaum muslimin, yaitu kaum moderat yang memilki sifat adil dan tidak radikal.
Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun harus dipilih oleh
kaum muslimin dengan cara bai’at. Perbedaan politik ini telah memberikan pengaruh yang
besar terhadap perjalanan aliran fiqh yang berkembang pada zaman berikutnya.

Pembukuan Hadis
Pada periode ketiga ini, penulisan dan pencatatan hadis berlangsung secara formal. Ia
memerintahkan gubernur Madinah saat itu, Abu Bakr Muhammad Amr ibn Hazm, untuk
menulis dan mencatat hadis, yang kemudian mengikuti kebijakannya melalui para ulama di
beberapa daerah. Upaya Khalifah Umar bin Abdul Aziz antara lain :
1) Al-Qur'an telah dihafal oleh ribuan orang, dikumpulkan dan dicatat pada masa Utsman,
namun pembukuan tidak dilarang. Oleh karena itu, Al-Qur'an dan Hadits jelas berbeda dan
tidak dapat dicampuradukkan.
2) Para ulama menyebar ke seluruh penjuru negara-negara Islam setelah memperluas wilayah
mereka, dan meskipun masing-masing dari mereka memiliki pengetahuan, ingatan kuat yang

Jurnal Tarikh Tasyri’ | 10


Institut Agama Islam Nahdlotul Ulama’
mendukung orang-orang Arab semakin melemah, dan mereka khawatir akan hilangnya
hadis. Jagalah Hadist Nabi agar tidak hilang.
3) Munculnya pemalsuan Hadis akibat konflik politik dan sektarian pasca pencemaran nama
baik, serta terpecahnya umat Islam menjadi penganut Ali, pengikut Mu’awiyah, dan pengikut
Khawarij yang lahir dari keduanya.
Ibnu Shihab dilaporkan berkata, ``Jika tidak ada hadits Timur yang tidak kita ketahui, saya
tidak akan menulisnya dan tidak akan mengizinkannya ditulis. '' Namun Umar bin Abdul Aziz
belum lengkap dan sempurna karena beliau meninggal sebelum Abu Bakar bin Hazm
mengirimkan kepadanya hasil pembukuan hadis tersebut. Para ahli hadis meyakini bahwa
upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dalam akuntansi hadis. Mereka
mengatakan, ``Catatan hadis ini disusun pada akhir tahun ke-100 masa Khalifah Umar bin
Abdul Aziz, atas perintahnya.'' Pada awal-awal pembukuan hadis, dibuatlah urutan bab dan
pembahasannya. Cabang masing-masing ilmu pengetahuan tidak tersusun secara sistematis.
Imam Muhammad ibn Shihab al-Zuuri berusaha melakukan pencatatan secara sistematis
dengan menggunakan berbagai metode, sedangkan para ulama hadis secara sistematis
menyusun kitab-kitab hadis berdasarkan sanad dan juz. Buku-buku yang ditulis pada waktu
itu dan masih dicetak antara lain: a) Al-Muwasa karya Imam Malik bin Anas.
b) Al-Mushanaf, ditulis oleh Abdulrazaq bin Hammam Ash-Shanani.
c) As Sunan karya Saeed bin Mansour.
d) Al-Mushanaf dari Abu Bakar bin Abu Shaiba.
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadis Nabi SAW, namun
merupakan campuran dari hadis Nabi Muhammad SAW, sabda Ikhwanul Muslimin, dan
Fatwa para musafir. Kemudian pada era-era berikutnya, para ulama memisahkan kisah-
kisah tersebut hanya berdasarkan hadis Nabi SAW.

DAFTAR PUSTAKA
https://ikhwanmr.blogspot.com/2016/02/tasyrik-pada-masa-sighar-sahabat-dan.html?m=1
Khon, Abdul Majid. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri' Sejarah pembinaan Hukum Islam dari
Masa ke Masa. Jakarta: AMZAH.
Sirry, Mun'im A. 1996. Sejarah Fikih Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Usman, Tgk. Munadi. 2018. "Pembinaan Fikih Masa Tabi'in ." 191.

Jurnal Tarikh Tasyri’ | 11

Anda mungkin juga menyukai