Anda di halaman 1dari 17

NAMA: Muhammad syukron abidin

NIM: 202110010311089
KELAS: B
Mata Pelajaran: Fiqih ibadah

1).Tahapan Sejarah Perkembangan Fiqih

Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh, pada hakikatnya tumbuh dan berkembang dimasa Nabi
itu sendiri. Karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyrihkan hukum, dan
berakhir dengan wafatnya Nabi pada tahun 11 hijriah. Dalam perkembangan Ilmu Fiqh
disini terdapat beberapa periode yang diantara seperti: Periode Pertumbuhan, Periode
Pembinaan, Periode Perkembangan, Periode Kemunduran, Periode Kebangkitan.

A.Periode pertumbuhan

Periode ini berlangsung selama fase kenabian, yang lamanya itu kurang lebih dari 23
tahun,. Yang dimulai sejak turunnya wahyu dan berahir dengan wafatnya Nabi Muhammad
SAW, yaitu pada tahun 11 hijriah. Pada era ini merupakan masa pertumbuhan dan
pembentukan fiqh Islam, dan suatu masa syari'atnya Islam dalam pengertian yang
sesungguhnya.

Turunnya syari'at yaitu dalam arti proses munculmya hukum-hukum sar'iyah yang hanya
terjadi pada masa kenabian ini, sebab syari'at itu turun dari Allah dan berahir dengan
turunnya wahyu setelah Nabi wafat. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak punya kekuasaan
untuk membuat hukum-hukum sar'iyah, karena tugas seorang rosul hanya menyampaiakn
hukum-hukum sar'iyah itu kepada ummatnya.

Jadi sumber fiqh pada periode ini adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (termasuk ijtihad Nabi)
saja. Sedangkan ijtihad para sahabat belum dapat dianggap sebagai sumber, walaupun Nabi
yang meyuruh sahabat untuk berijtihad, tetapi ijtihad mereka pada umumnya berkisar pada
cara penerapan hukum dalam memberikan keputusan dan peradilan atau memberi fatwa.
Dan apabila mereka berijtihad mengenai suatu hukum, maka hasilnya ijtihadnya itu
dikembalikan kepada Nabi dan diminta pengesahan dari beliau.

B. Periode pembinaan

Pada periode ini berlangsung selama masa Khulafaur Rosyidin. Bermula sejak wafatnya
Nabi Muhammad, dan berahir ketika Muawwiyah bin Abi Sofyan menjabat sebagai
khalifah pada tahun 41 hijriah (661 M). Pada periode ini, didaerah Islam semakin.
bertambah luas sehingga meliputi Mesir, Syiria, Irak dan yang lainnya. Maka timbullah
banyak persoalan hukum baru yang belum pernah terjadi dimasa Nabi.

Dengan demikian Fiqh telah mempunyai dua sumber utama yaitu al-Qur'an dan As-sunnah,
dan satu sumber pelengkap yaitu ijtihad. Karena ijtihad dan beberapa faktor lain, maka para
mujtahidin terbagi kedalam dua aliran yaitu aliran Ahlul hadist dan aliran Ahlu Ra'yi.

Aliran ahlul hadist yaitu aliran yang dalam melakukan ijtihad sangat terikat dengan dengan
bukti-bukti nash, mereka tidak mencari illat hukum dan dasar-dasar yang digunakan syara'
dalam menetapkan suatu hukum. Dan aliran ini berkembang diHijaz.

Aliran ahlu Ra'yi yaitu aliran yang mempergunakan pikiran dalam berijtihad , dan mereka
menganalisa illat, maksut ayat syar', dan dasar-dasar penentapan hukum. Dan aliran ini
berkembang dikota Irak.

C. Periode perkembangan

Dalam periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan bani Umayyah dan Abbasyiah .
Yang dimulai pada tahun 41 hijriah (661M) sampai (656 H) (1523 M). Pada periode ini
Ilmu Fiqh mencapai kemajuan yang sangat amat pesat, dan oleh sebab itu para ulama' giat
dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai persoalan, sehingga diantara mereka sering
berijtihad dengan menggunakan metode mereka sendiri.

Dalam perkembangan pesat ini terjadi karena besarnya perhatian para khalifah terhadap
Ilmu Fiqh, yaitu adanya kebebasan dalam memberikan pendapat, semakin banyaknya
persoalan yang timbul, dan adanya referensi sumber hukum, karena al-Qur'an sebagian
besar Hadist, fatwa para sahabat dan fatwa para tabi'in yang telah dilakukan.

Dengan fase perkembangan ini, fiqh telah memenuhi syarat menjadi suatu disiplin Ilmu dan
para fuqoha terus menerus mengembangkannya, sehingga Ilmu hukum syari'atnya ini
menjadi 18 mahdzab yaitu, mahdzab Hanafi, Hambali, Maliki, Syi'ah, Zaidiah, ibadi, Syi'ah
Ilmiah, sedangak yang lainnya seperti Auza'i, Tsauri, dan yang laimnya sudah tidak
berpengikut lagi.

D. Periode kemunduran

Periode ini dikenal juga dikalangan para penulis dengan periode taklid, jumud, penutupan
pintu ijtihad, abad pertengan dan lain sebagainya. Periode ini berlangsung sejak rubuhnya
daulat Abbasiyah dan leburnya khilafah Utsmainyah. Daulah Abbasiyah rubuh pada tahun
656 hijriah, yaitu dengan jatuhnya kota Bagdad ke tangan tentara Mongolia dibawah
pimpinan Hulaku. Sesudah itu dunia Islam sudah dalam keadaan terpecah belah, dan saling
merebutkan kekuasaan, sehingga dalam bidang politik dapat dianggap kemunduran.
E. Periode kebangkitan

Pada peeiode ini, para ummat Islam telah menyadari kemunduran dan kelemahaja mereka
yang telah berlangsung semakin lama itu, para ahli sejarah mencatat bahwa kesandaran
muncul ketika seorang Napolion Bonoparte menduduki Mesir pada tahun 1789. Kejatuhan
Mesir pada saat itu menginsafkan ummat Islam betapa lemahnya mereka,.

Sedangkan didunia barat telah timbul perdaban baru yang lebih tinggi yang merupakan
ancaman bagi dunia Islam ini. Para tokoh-tokh Islam sudah berfikir bagaimana cara
meningkatkan mutu dan kekuatan para ummat Islam kembali, termasuk pembaruan dalam
bidang Fiqh. Dan fenomena-fenomena yang muncul pada ahir abad ke 13 hijriah
merupakan wujud kesadaran dari kembalinya kenagnkitan fiqh Islam.

Bagi banyak pengamat, sejarah pada umumnya dan fiqh pada khususnya adalah sejarah
pada dampak barat terhadap masyarakat Islam, yang khususnya pada masa abad ke 13
hijriah.

Mereka memandang bahwasannya Islam sebagai suatu masa semi mati yang menerima
pukulan-pukulan yang deskruktif terhadap pengaruh yang formatif dari Barat. Dalam fase
merupakan fase meluasnya pengaruh Barat dalam dunia Islam, akibatnya kekalahan-
kekalahan dalam lapangan politik yang diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan
dan intelektual, melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan
intesintasnya. Secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:

Tahap awal (abad 3H)

Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian
timur, khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(w.218H), Al-
Mu’tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka
inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan
Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya
metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.

Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh
para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i
dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan
Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu ‘Arud”.

Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya
pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan
dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjihkanya, maka
datanglah As-Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum
yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun
ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi’i, mereka tetap
bergantung pada Asy-Syafi’i karena As-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama
kalinya.(Ahmad Amin, II : 227-229)

Selain kitab Ar-Risalah, pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya.
Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, Ijtihad Ar-
ra’yu, Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan
sebagainya.

Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak
mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya
kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-
permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian para Fuqoha pada zaman itu.

Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab
fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa
Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut.

Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama


ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah
dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits
shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasullulah pada saat yang sama, Imam Malik
menolaknya dengan tegas, karena ia berprinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam
satu hadits saja. (Rahmat Syafi’I, 1998: 30-32)

2. Tahap perkembangan (abad 4 H)

Pada masa ini abad (4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty Abbasiyah dalam
bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-
masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap
perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing
penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum
intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq
berhenti pada abad ini. Mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari
kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas,
terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap
eksistensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan
adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan perpindahan
madzhab sewaktu-waktu.

Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid,
karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya dengan melakukan usaha
antara lain:

Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut
ulama takhrij

Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan
dirayah. Setiap golongan mendukung madzhabnya sendiri dan mentarjihkanya dalam
berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusun kitab al-khilaf, yang didalamnya
diungkapkan masalah-masalah yang diperselisihkan dan mentarjihkan pendapat atau
pendirian madzhab yang dianutnya.

Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup,
akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut: Kegiatan para ulama
terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya
mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.Menghimpun
masalah-masalah furu’ yang sekian banyaknya dalam uaraian yang singkat.Memperbanyak
pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.Keadaan tersebut sangat
jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha
untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya justru
memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh. (Rahmat Syafi’I, 1998: 32-
35)

Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan
munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqh diantara
kitab yang terekenal adalah:

Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal
Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
Kitab Al–Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim
yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)

Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu
Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H
yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak
sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang
membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.

Selain itu materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya
Abu Bakar ar-Razi hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh
pada awal abad 4 H ini. Dalam abad 4 H ini pula mulai juga tampak adanya pengaruh
pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam
ilmu ushul fiqih.

3. Tahap Penyempurnaan ( Abad 5 – 6 H )

Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi
berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan
Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.

Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-
Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al
Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain.
Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di
kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul
fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah
sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan
minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.

Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan
periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi
kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab
ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya aliran ushul fiqih,
yakni aliran Hanafiah yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin.

Kitab-kitab ushul fiqih yang paling penting antara lain :

Kitab Al- Mughni fi al abwah al-Adl wa at-Tawhid, ditulis oleh al Qadhi Abd. Al Jabbar
(w. 415 H/1024 M).

Kitab Al Mu’ammad fi al-Ushul fiqh, ditulis oleh Abu Husain Al Bashri (w. 436H/1044
M).

Kitab Al Iddaf fi Ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Qodhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad
Al Husaini Ibnu Muhammad ibnu Khalf Al Farra (w. 458 H/1065 M)

Kitab Al Burhan fi Ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Al Ma’ali Abd. Al Malik ibnu Abdillah
ibnu Yusuf Al juwaini Imam Haramain (w. 478 H/1094 M).

Kitab Al Musthafa min Ilm Al Ushul, di tulis oleh Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H/ 1111
M)

2). Kata fiqih )‫ ) فقه‬secara bahasa punya dua makna.Makna pertama adalah al-fahmu al-
mujarrad )‫المجرد‬
ّ ‫ )الفهم‬yang artinya kurang lebih adalah mengerti secara langsung atau
sekedar mengerti saja.Makna yang kedua adalah al-fahmu ad-daqiq( ,‫ )الفهم الدقيق‬yang
artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas. Fiqih di dalam
islam banyak ragam nya. Tujuan fiqih adalah menerangkan berbagai hukum Syara yaitu
tentang bagaimana amal atau hukum dari segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
fikih menurut bahasa artinya adalah paham dan secara istilah adalah pengetahuan dalam
memahami hukum-hukum yang di tetapkan Allah ke hambanya,ilmu fikih mengkaji hukum
suatu perkara yaitu misalnya hukum wajib, sunnah,mubah,haram,halal dll. Fungsi dari fiqih
itu sendiri adalah untuk memahamkan kepada kita sebagai umat muslim agar dapat
memahami, mengerti serta melaksanakan pokok-pokok hukum islam (syariat islam) dan
tata cara pelaksanaannya.

-Pengertian syariah adalah jalan atau agama yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa
ta’ala untuk ditempuh oleh hamba yang didalamnya terdapat hukum-hukum dan aturan –
aturan serta ketentuan dalam menjalani agama ini. Dengan kata lain syariah sama dengan
agama. Sumber dari syariah adalah dari Allah subhanahu wa ta’ala lewat Al quran dan
Rasulullah Muhammad lewat hadist.objek syariah adalah menyeluruh, yaitu lahir dan
batinnya manusia, termasuk didalamnya urasan ibadah. hukum dalam syariah tidak bisa
dirubah bersifat universal bagi yang melanggar ada balasan Allah pada hari perhitungan
amal. Kemudian perbedaan fiqih dan syariah adalah syariah bersumber dari wahyu dan
kesimpulannya sedangkan fikih bersumber dari pemikiran manusia yang kemudian
dijadikan peraturan. syariah dan fiqih mengandung prinsip yang sama sebagai panduan
umat muslim.Perbedaany yitu

1. Ketentuan syariah terdapat dalam Al Quran dan kitab-kitab hadits. Syariah yang
dimaksud adalah wahyu Allah dan sunah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Sedangkan
fiqih adalah sebuah pemahaman manusia yang memenuhi tentang syariah dan terdapat
dalam kitab-kitab fiqih.

2. Syariah bersifat fundamental dan cakupannya lebih luas. Bahkan meliputi akhlak dan
akidah. Sedangkan fikih bersifat instrumental dan cakupannya terbatas pada hukum yang
mengatur perbuatan manusia.

3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-nya sehingga berlaku abadi.
Sementara, Fiqih merupakan karya manusia dan sangat dimungkinkan mengalami
perkembangan zaman.

4. Syariah hanya satu, sedang fikih berjumlah banyak karena merupakan pemahaman
manusia, seperti terlihat dalam mazhab-mazhab fikih.

5. Syariah menunjukkan konsep kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan


keragaman pemikiran yang memang dianjurkan dalam Islam.

3.) Perbedaan mazhab atau pandangan dalam menjalankan Islam tidak perlu dibesar-
besarkan sehingga menghalangi kita untuk berbuat baik. Kita sebagai orang awam hanya
perlu mengikuti ulama yang kita yakini kebenarannya. Tidak harus memaksa orang lain
untuk juga mengikuti apa yang kita anggap benar.dan saling menghargai sesama muslim .
Madzhab adalah pandangan ulama terkait dengan kehidupan manusia yang bersumberkan
dari Al-Qur'an dan hadis. di dunia ini terdapat empat imam besar yang memiliki mazhab
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali. dari keempat imam tersebut, mereka memiliki
pendapat yang berbeda-beda dari hukum-hukum islam.
Walaupun berbeda-beda, keempat mazhab tersebut benar semua dan tidak ada yang salah.
Mengapa demikian, karena imam-imam tersebut dalam memutuskan suatu hukum tetap
bersumber pada sumber utama islam yaitu Qur’an dan Hadist. Dan imam-imam tersebut
adalah seorang mujtahid, dan menjadi mujtahid tidaklah mudah. Ada banyak syarat yang
harus dilakukan sebagai mujtahid misalnya hafal Qur’an dan Hadist.

Jadi kita tidak bisa menganggap bahwa mazhab yang kita ikuti adalah yang paling benar
dan menyalahkan mazhab yang diikuti orang lain. Karena keempat mazhab tersebut
semuanya benar. Maka dari itu kita harus saling bertoleransi dan tidak saling membenarkan
diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Bermazhab itu sangat penting bagi orang
beragama agar pemahaman dan praktik agamanya benar.

Dalam Islam, sumber ajaran agama adalah Al-Qur'an. Lalu Nabi Muhammad SAW
menerjemahkan Al-Qur-an dalam ucapan, tindakan, dan ketetapannya, itulah yang
kemudian kita kenal sebagai hadis.

Sepeninggal Rasulullah SAW, maka umat Islam dalam memahami ajaran Islam tidak cukup
bersumber Al-Qur'an dan hadis saja. Mereka juga ingin mendengar pandangan para
sahabat, orang-orang yang hidup semasa dengan Rasulullah SAW.

Sehingga, imam-imam mazhab itu dalam memahami ajaran Islam tidak bisa begitu saja
langsung kepada Al-Qur'an, tapi juga harus melihat hadis dan melihat pandangan para
sahabat nabi.

Bagi seorang muslim, di dalam menjalankan syariat Islam harus berpedoman dengan Al-
Qur’an dan as-Sunnah dan juga sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Namun
kenyataannya membuktikan bahwa tidak semua orang Islam mampu mengambil hukum
secara langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikarenakan keterbatasan ilmu dan
kemampuan mereka dalam hal itu. Dan ternyata hanya sekelompok orang yang memiliki
kemampuan dan kelayakan melakukannya dari setiap generasi umat ini. Sekelompok orang
seperti inilah yang disebut para Mujtahid.

Mengingat karena hanya orang-orang pilihanlah yang memiliki kualifikasi sampai kepada
level mujtahid yang bisa meng-istinbath-kan sebuah hukum syar’i. tentunya bagi yang
bukan mujtahid tidak ada pilihan lain selain mengambil hukum-hukum yang telah
disimpulkan orang para mujtahid atau harus mengikuti imam mujtahid yang biasa disebut
dengan bermadzhab.

Maka dari itu bermazhab sangatlah penting karena kita sendiri tidak bisa melakukan
penafsiran Al-Qur’an dan hadist. Kita masih membutuhkan para ulama untuk menafsirkan
Qur’an dan Hadist untuk memutuskan suatu hukum islam. Agar kitab isa menjadi lebih
nyaman dan tenang untuk melakukan sesuatu jika kita tau hukum dari suatu hal. Karena
bermazhab merupakan metode untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi
dengan merujuknya pada fiqih mazhab tertentu yang dianut atau upaya penyimpulannya
dilakukan berdasarkan ushul al-quran

4.) Tanpa diharuskan pun, mau tidak mau, sadar maupun tidak, terutama dalam persoalan
fikih ibadah yang tidak mudah dipahami hukumnya, kenyataannya kita mengikuti
metodologi mazhab yang ada. Yang sangat penting diperhatikan adalah memastikan
metode mazhab yang kita ikuti benar-benar sesuai tuntunan al Qur’an dan sunah yang
shahihah. Sehingga kita mengambil pilihan paling rajih dan paling sesuai tuntunan Nabi
saw.

Bagi seorang muslim, di dalam menjalankan syariat Islam harus berpedoman dengan Al-
Qur’an dan as-Sunnah dan juga sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Namun
kenyataannya membuktikan bahwa tidak semua orang Islam mampu mengambil hukum
secara langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikarenakan keterbatasan ilmu dan
kemampuan mereka dalam hal itu.

Dan ternyata hanya sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kelayakan
melakukannya dari setiap generasi umat ini. Sekelompok orang seperti inilah yang disebut
para Mujtahid.

Mengingat karena hanya orang-orang pilihanlah yang memiliki kualifikasi sampai kepada
level mujtahid yang bisa meng-istinbath-kan sebuah hukum syar’i. tentunya bagi yang
bukan mujtahid tidak ada pilihan lain selain mengambil hukum-hukum yang telah
disimpulkan orang para mujtahid atau harus mengikuti imam mujtahid yang biasa disebut
dengan bermadzhab.

Maka dari itu bermazhab sangatlah penting karena kita sendiri tidak bisa melakukan
penafsiran Al-Qur’an dan hadist. Kita masih membutuhkan para ulama untuk menafsirkan
Qur’an dan Hadist untuk memutuskan suatu hukum islam. Agar kitab isa menjadi lebih
nyaman dan tenang untuk melakukan sesuatu jika kita tau hukum dari suatu hal.

5.- IMAM ABU HANIFAH, IMAM MALIK, IMAM SYAFI'I, IMAM AHMAD, IMAM
JA'FAR ASH-SHADIQ) 5 biografi imam mazab 1) Imam Abu Hanifa

Imam abu hanifa adalah seorang ulama yang dikenal dalam bidang ilmu fikih. Ia bahkan
disebut-sebut sebagai tokoh pertama yang menyusun kitab fikih. Selain itu, Imam Hanafi
adalah pendiri dari Mazhab Hanafi, yang berkembang di kalangan umat Muslim Sunni di
kawasan Afghanistan, Irak, Persia, Mesir, Turki, China, Rusia, dan sebagian Afrika Barat.
Mazhab Hanafi juga sempat berkembang di Maroko, tetapi tergeser oleh Mazhab Maliki.

Imam Hanafi lahir di Kufah, Irak, pada tahun 699 dengan nama lengkap Abu Hanifah bin
Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi. Ia lahir di keluarga yang telah memeluk Islam, dan
sejak kecil kerap mendampingi sang ayah berdagang kain sutra. Oleh karena itu, ia kerap
melakukan perjalanan ke berbagai wilayah dan pernah belajar di Mekah serta Madinah di
masa mudanya. Imam Hanafi dikenal sebagai anak yang cerdas.

Bukti kecerdasannya dapat dilihat ketika ia mampu menghafal Alquran serta ribuan hadis.
Ia kemudian tumbuh mengikuti jejak sang ayah, menjadi pedagang. Di samping itu, ia juga
terus memperdalam ilmu agamanya. Dalam perjalanannya, Imam Hanafi memilih untuk
fokus pada bidang fikih dan terus memperdalam ilmunya dengan berguru kepada salah satu
syaikh ternama di Kufah, yaitu Syaikh Hammad bin ABu Sulaiman.

Imam Hanafi berguru kepada Syaikh Hammad selama 18 tahun. Setelah gurunya itu
meninggal, ia ditunjuk untuk menggantikan sebagai ulama. Selama menjadi ulama,
diketahui bahwa Imam Hanafi sudah menyelesaikan sebanyak 600.0000 perkara tentang
fikih. Berkat wawasannya yang luas, Hanafi dijuluki sebagai Imam Al-A'dzhom oleh
masyarakat dan selalu dijadikan rujukan oleh para ulama pada masa itu.

Imam Hanafi kemudian mendirikan Mazhab Hanafi, yang merupakan salah satu mazhab
fikih dalam Islam Sunni. Mazhab ini diamalkan dan berkembang di berbagai kawasan,
seperti Afghanistan, Persia, Mesir, dan beberapa daerah lainnya. Imam Hanafi cukup
dikenal atas penggunaan rasionalitas (ra'yi) dalam metode pengambilan fatwanya. Dasar-
dasar metodologi yang digunakan Hanafi dalam membuat suatu hukum fikih adalah
Alquran, Sunnah, pendapat para Sahabat Nabi, Ijmak, Qiyas, dan Istihsan. Sepanjang
hidupnya, Imam Hanafi diketahui memiliki ratusan murid.

Pada tahun 763, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur sedang mencari seorang hakim yang dapat
menegakkan keadilan di Irak. Khalifah pun segera mengutus orang untuk bertemu Imam
Hanafi dan menawarkan posisi hakim tersebut karena dinilai sangat cocok untuknya.
Sewaktu tawaran tersebut ditolak, khalifah murka dan kemudian mengurung Imam Hanafi
di dalam penjara. Imam Hanafi wafat pada tahun 767 ketika masih dipenjara.

Disebutkan bahwa ia dipukul hingga meninggal. Tetapi ada riwayat lain yang menyatakan
bahwa ia mengonsumsi makanan yang telah diracun. Meninggalnya Imam Hanafi menjadi
kehilangan yang amat besar bagi umat Islam. Bahkan salat jenazahnya dilakukan sebanyak
enam gelombang, di mana masing-masing gelombang diikuti sebanyak 50.000 jamaah.

2) Imam Malik

Pada masa dinasti Bani Umayyah, lahir seorang tokoh cendekiawan Muslim yang sangat
terkenal di bidang fikih, buku karangannya adalah Al-Muwaththa. Beliau adalah Imam
Malik bin Anas. Kitab Al-Muwaththa yang ia tulis berisikan 5.000 hadis sahih yang
dikumpulkannya bersama para sahabatnya. Selain itu, Imam Malik juga dikenal sebagai
pakar ilmu fikih dan hadis yang mendirikan Mazhab Maliki.

Malik bin Anas lahir di Madinah pada 93 H atau 711 M dengan nama lengkap Abdullah
Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amr bin al-Harrits. Ia adalah putra dari Anas bin Malik dan
Aaliyah binti Shurayk al-Azdiyya. Keluarganya berasal dari suku al-Asbahi Yaman, tetapi
kakek buyutnya memindahkan mereka ke Madinah setelah Islam masuk pada 623 M.

Selama tinggal di Madinah, Malik menghabiskan waktunya untuk menghafal Alquran. Ia


belajar bacaan dari gurunya yang bernama Abu Suhail Nafi bin Abd ar-Rahman. Selain itu,
ia juga belajar di bawah bimbingan berbagai ulama terkenal, termasuk Hisham bin Urwah
dan Ibn Shihab al-Zuhri. Selama menjalani bimbingan, Malik dikenal sebagai anak yang
sangat cerdas. Ia pernah dibacakan 31 hadis Rasulullah dan mampu mengulanginya dengan
baik, tanpa kesalahan.

Berkat kepiawaiannya, Imam Malik pun menyusun kitabnya sendiri yang bernama Al-
Muwaththa (kitab hadis dan fiqih). Malik membutuhkan waktu selama 40 tahun untuk
menyelesaikan susunan kitabnya ini. Al-Muwaththa sendiri memiliki arti "yang disepakati"
atau "tunjang" atau "panduan". Isi kitab ini membahas mengenai ilmu serta hukum-hukum
dalam agama Islam. Selain itu, Al-Muwaththa juga memuat hadis-hadis yang dikumpulkan
oleh Imam Malik bersama para sahabatnya.

Di dalamnya juga membahas mengenai berbagai permasalahan tentang agama yang


merangkum ilmu hadis, fiqih, dan sejenisnya. Semua hadis yang ditulis di dalam kitab
tersebut sahih atau benar, karena Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang sangat tegas
dalam menerima sebuah hadis. Imam Malik sangat berhati-hati saat membahas, menerima,
atau menolak tentang hadis yang diberikan kepadanya. Dari 100.000 hadis yang dihafal
Imam Malik, hanya ada 10.000 saja yang diakui sah dan hanya 5.000 saja yang disahkan
sahih.

Mazhab Maliki merupakan bagian kedua dari empat mazhab fikih atau hukum Islam dalam
Sunni. Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas dianut oleh sebagian
besar umat Muslim yang dominan tinggal di kawasan Hijaz, bagian dari Arab Saudi,
terutama di Madinah. Selain itu, mazhab ini juga tersebar hingga ke Afrika Utara dan
Eropa.

Salah satu faktor yang mendukung perkembangan Mazhab Maliki di Afrika ialah
kepemimpinan Al-Mu'izz ibn Badis di Ifriqiya, sekarang bagian dari Tunisia. Pada waktu
itu, Mu'izz memerintahkan rakyatnya untuk menganut Mazhab Maliki. Sementara itu,
murid-murid dari Mesir juga diminta kembali ke negaranya untuk menyebarkan Mazhab
Maliki.
Pada tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 H, Imam Malik mulai jatuh sakit. Ia kemudian wafat di
usia 83 atau 84 tahun di Madinah pada 795 M. Jenazahnya kemudian dimakamkan di
pemakaman Al-Baqi di seberang Masjid Nabawi di Madinah.

3) Imam Syafi’i

Imam Syafi’I merupakan seorang mufti besar umat Islam yang juga pendiri dari mazhab
Syafi'i. Ia masih kerabat Rasulullah, dari Bani Muthalib atau keturunan Al-Muthalib,
saudara dari Hasyim yang merupakan kakek Nabi Muhammad SAW. Sebelum menjadi ahli
fikih besar, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik, pendiri
Mazhab Maliki. Imam Syafi'i mengembangkan mazhabnya pada awal abad ke-9, yang
kemudian populer di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia.

Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-
Muththalibi al-Qurasyi. Ia lahir pada tahun 150 H atau 767 M. Ada perbedaan pendapat di
kalangan ahli sejarah terkait tempat lahir Imam Syafi'i. Ada yang mengatakan di Gaza, ada
juga yang berpendapat di Asqalan, dekat Gaza. Ketika berumur dua tahun, Imam Syafi'i
dibawa ke tanah leluhurnya di Mekkah oleh sang ibu, setelah ayahnya meninggal. Sejak
kecil, Imam Syafi'i pandai dalam sastra Arab, di mana ia mampu menghafal berbagai syair-
syair Arab. Berkat bimbingan ibunya, Fatimah, ia mampu membaca dan menghafal Al
Quran. Setelah itu, ia berguru kepada Sufian bin Uyainah, salah satu ahli hadis di Mekkah.
Imam Syafi'i juga berguru kepada Muslim bin Khalid Al-Zanji, yang merupakan ahli fikih
di Mekkah. Pada 780, ketika berusia 13 tahun, ia berangkat ke Madinah untuk berguru
kepada Imam Malik, yang merupakan ahli fikih dan hadis sekaligus pendiri Mazhab Maliki.

Dari Madinah, Imam Syafi'i sempat mendapatkan pekerjaan di kantor pemerintah di


Yaman. Namun, ia ditangkap oleh polisi Kekhalifahan Abbasiyah karena dituduh berafiliasi
dengan organisasi ilegal. Imam Syafi'i lantas dikirim ke Bagdad, Irak, untuk diadili
langsung di depan Khalifah Harun al-Rasyid. Beruntung, ia mampu membela diri dan
akhirnya dilepaskan. kemudian pindah ke Bagdad pada 801 untuk berguru kepada
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tentang fikih Hanafi.

Setelah bebas, Imam Syafi'i kembali ke Mekkah untuk kemudian mengisi kajian fikih serta
memberikan fatwa di Masjidil Haram. Pada periode inilah, Imam Syafi'i sering melakukan
perjalanan dari Mekkah ke Bagdad untuk mulai merintis mazhabnya sendiri, yakni Mazhab
Syafi'i.

Selama mengembangkan mazhabnya di Bagdad, Imam Syafi'i mulai muak dengan


Kekhalifahan Abbasiyah yang kerap terlibat dalam perang saudara. Di saat yang sama, ia
mulai menyusun kitab dalam bidang Ushul Fikih yang berjudul Al-Risalah. Selain itu, ia
juga mengarang kitab di bidang fikih yang berjudul Al-Hujjah atau yang dikenal dengan
Mazhab Qadim. Karena tidak mau lagi berurusan dengan Kekhalifahan Abbasiyah, pada
816, Imam Syafi'i meninggalkan Bagdad menuju Mesir. Di Mesir, Imam Syafi'i terus
mengembangkan dan menyebarkan mazhabnya yang didasarkan pada empat sumber
hukum, yaitu Al Quran, Sunnah, pendapat hukum masyarakat, dan elaborasi hukum dari
teks aslinya dengan menggunakan analogi.

Di Mesir, Imam Syafi'i diketahui mempunyai beberapa murid, seperti Abu Yaqub al-
Buwaithi, Ismail al-Muzani, dan Rabi’ al-Muradi. Imam Syafi'i juga banyak merevisi
fatwanya dengan yang baru atau lebih dikenal dengan Mazhab Jadid. Fatwa revisinya
tersebut dicantumkan dalam kitab Imam Syafi'i yang berjudul Al-Umm. Seiring
berjalannya waktu, Mazhab Syafi'i menyebar dari Mesir kemudian populer di kalangan
ulama Islam Sunni. Imam Syafi'i menghabiskan sisa hidupnya di Mesir hingga meninggal
pada 204 H atau 821 M.

4) Imam Ahmad

Imam Hambali adalah ahli hadis yang berasal dari Turkmenia. Semasa hidupnya, ia dikenal
sebagai cendekiawan yang sangat berpengaruh, khususnya dalam dunia Islam Sunni. Karya
terbesarnya adalah Al-Musnad, yaitu kitab hadis Nabi yang terkenal dan kedudukannya
menempati posisi yang diutamakan. Selain itu, Imam Hambali juga mengemukakan dan
mengembangkan Mazhab Hambali.

Nama lengkap Imam Hambali adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin
Asad bin Idris. Ia lahir pada tahun 780 di Turkmenia. Imam Hambali merupakan putra dari
seorang perwira tentara Abbasiyah. Ketika baru berusia 15 tahun, ia sudah menguasai
Alquran dan hafal setiap surat di dalamnya. Imam Hambali juga mulai mempelajari ilmu
hadis di usia remaja.

Untuk mendalami hadis lebih lanjut, ia pergi merantau ke Suriah, Hijaz, Yaman, dan
negara-negara Arab lainnya. Usai mendalami ilmu hadis, Imam Hambali belajar di
Baghdad. Ia kemudian belajar ilmu fikih di bawah bimbingan Abu Yusuf, hakim agung di
era Abbasiyah. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mulai melakukan perjalanan ke
Irak, Suriah, dan Arab, guna mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad.

Kala itu, total hadis yang berhasil dihafal telah berjumlah ratusan. Dengan keahlian ini,
Imam Hambali pun dikenal sebagai ahli hadis terkemuka. Setelah banyak menghabiskan
waktu untuk belajar dan melakukan perjalanan, ia kembali ke Baghdad untuk melanjutkan
belajar bersama gurunya, Imam Syafi'i.

Diriwayatkan bahwa Imam Hambali mendapatkan gelar Al Hafidh, yaitu gelar untuk ulama
yang sudah hafal lebih dari 100.000 hadis. Pasalnya, selama hidupnya, Imam Hambali
diperkirakan telah menghafal setidaknya 750.000 hadis. Pencapaian itu melebihi
Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, dan Abu Dawud al-Sijistani.

Selain itu, Imam Hambali disebut sebagai ahli fikih yang sederajat dengan gurunya, Imam
Syafi'i, Laits, dan Abu Yusuf. Hal ini sangat mungkin, karena sepanjang hidupnya, Imam
Hambali belajar kepada ratusan ulama dari berbagai negeri, mulai dari Mekkah, Kufah,
Baghdad, Yaman, dan masih banyak lainnya.

Imam Hambali dikenal dengan karya tulis kitabnya yang bertajuk al-Musnad al-Kabir, yang
ditulis pada sekitar tahun 227 H atau 841 Masehi. Karya terbesar Imam Hambali ini
termasuk dalam salah satu kitab hadis Nabi yang terkenal dan kedudukannya menempati
posisi yang diutamakan serta dijadikan induk rujukan bagi kitab-kitab lain. Disebutkan
bahwa ada kurang lebih 40.000 hadis yang ditulis sesuai urutan nama para sahabat Nabi
Muhammad. Kitab Musnad terdiri dari 18 bagian. Bagian awal mengisahkan tentang
sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surga dan ditutup dengan sahabat Nabi yang
perempuan.

Imam Hambali mengembangkan Mazhab Hambali, yang pinsip-prinsip dasarnya hampir


sama dengan Mazhab Syafi'i. Hal itu karena Imam Hambali memang berguru pada Imam
Syafi'i. Mazhab Hambali pertama kali berkembang di Bagdad, Irak. Namun, mazhab ini
tidak begitu berkembang luas, karena Imam Hambali begitu tegas dalam berpegang teguh
pada riwayat dan tidak mau berfatwa jika tidak berlandaskan Alquran dan hadis marfuk.

Kendati demikian, mazhab ini pernah mendapatkan kedudukan istimewa di kalangan


masyarakat Arab Saudi. Imam Hambali wafat pada 2 Agustus 855 di Bagdad, Irak.
Berdasarkan sejarah, pemakamannya dihadiri oleh ratusan ribu orang. Makamnya berada di
lokasi kuil Imam Ahmad bin Hanbal di Distrik Ar-Rusafa.

5) Imam Ja’far ash-Shadiq

Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib merupakan ahli ilmu
agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Beliau adalah guru dari imam Abu Hanifah (pendiri
mazhab Hanafi) dan imam Malik (pendiri mazhab maliki), Jabir bin Hayyan (Kimiawan)
dan Wasil bin Atta (pendiri mazhab Muta'zilah). Keilmuannya mencakup esoteris dan juga
eksoteris, ilmu Isyarah dan juga ilmu Ibarah, ilmu kalam dan ilmu hadis, sunnah, ilmu alam
dan ilmu-ilmu sejarah.

Dia adalah al-Hakim, orang bijaksana sejati sesuai Alquran, seorang alim yang lengkap
yang mengerti bahwa Syariah diterapkan tidak hanya untuk dunia manusia tetapi juga untuk
dunia semesta alam. Beliau menerapkan pengetahuan yang tajam untuk menciptakan pola
Ilahi di dunia manusia melalui Fiqh, tetapi beliau juga melihat pola-pola di alam dan dalam
sejarah dan beliau mengajarkannya kepada murid-muridnya.

Beliau adalah pewaris dua rahasia, satu dari Abu Bakar as Siddiq, dan yang lain dari Ali bin
Abi Thalib Imam Ja'afar lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20
April 702 Masehi (M). Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah merupakan
anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa
riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu bakar, karena al-Qasim menikahi
putri pamannya, Abdullah bin Abu Bakar. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-
Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah. Beliau memiliki saudara satu ibu yang bernama
Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim
dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab
beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.

Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar.
Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari
keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah SAW adalah orang yang paling
murah hati.

Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal 'Abidin,
yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul
sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan
kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah,
tanpa diketahui jati dirinya.

Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah
memberikan kepada mereka bantuan. Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang
terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada
pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.

Imam Ja'far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama
besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin
Sa'id as Sa'idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu
Tabi'in 'Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, 'Urwah bin az Zubair,
Muhammad bin al Munkadir dan 'Abdullah bin Abi Rafi' serta 'Ikrimah maula Ibnu 'Abbas.

Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr. Mayoritas
ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor,
tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.

Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa'id al Anshari, Aban
bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu 'Amr bin al 'Ala`. Juga Imam Darul
Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syu’bah bin ‘Uyainah, Muhammad
bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.

Para imam hadits -kecuali Al Bukhari - meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab


mereka. Sementara Imam Al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di
ash Shahih. Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah
kepada Imam Ja'far ash Shadiq.
Imam Ja'afar as Sadiq menjauhkan diri dari ketegangan politik pada masanya, dan berfokus
pada mengajar dan mendidik masyarakat. Pilihan ini merupakan keuntungan besar bagi
peradaban Islam. Ada kebijaksanaan dalam strategi ini. Sejarah berhutang budi kepada
Imam Ja'afar as Sadiq atas dedikasi beliau bagi pengetahuan dan pengajaran yang
menghasilkan tokoh-tokoh besar di bidang fikih, tasawuf, sains dan matematika.

Di bawah penguasa Umayyah, Ja'far as Sadiq dianggap oleh banyak pengikut Syiah sebagai
imam Syi'ah keenam, dan bagaimanapun, Syiah dianggap bid'ah dan pemberontak oleh para
khalifah Umayyah. Banyak kerabat Ja'far as Shadiq telah tewas di tangan Umayyah.

Tak lama setelah kematian ayahnya, paman Ja'far as Sadiq, Zaid bin Ali memimpin
pemberontakan melawan Bani Umayyah. Ja'far as Sadiq tidak berpartisipasi, tetapi banyak
dari sanak saudaranya, termasuk pamannya tewas, dan lainnya dihukum oleh Khalifah
Umayyah.

Ada pemberontakan lain selama tahun-tahun terakhir dari Bani Umayyah, sebelum Bani
Abbasiyah berhasil merebut kekhalifahan dan mendirikan dinasti Abbasiyah pada tahun
750 Masehi, ketika Ja'far as Shadiq berusia 48 tahun. Ja'far bin Muhammad bin 'Ali Zainal
'Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib meninggal pada tanggal 25 Syawal 148
Hijriyah / 13 Desember 765 M. Beliau dimakamkan di Pekuburan Baqi'.

Anda mungkin juga menyukai