Anda di halaman 1dari 14

Studi Taklid dalam Legislasi Hukum Fikih;

Historis & Metodologis

Oleh: Azka Sabili


Mahasiswa Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir
Fakultas Syariah wa Qonun
Asal: Pati, Jawa Tengah

Kajian Intensif
Forum Alumni Sarang (FAS) Mesir
Kamis, 7 Oktober 2021
Prolog
Dr. Rasyad Hasan Khalil dalam kitabnya Tarikh at-Taysri’ al-Islami1 membagi
sejarah legislasi hukum Islam menjadi empat periode: Pertama, periode pendirian dan
pembetukan hukum syariat Islam, kedua, periode pengembangan dan penyempurnaan hukum
syariat Islam, ketiga, periode taklid dan kejumudan, dan yang ke empat, periode kebangkitan
ilmu fikih.

Dari pembagian empat periode diatas, sejarah legislasi hukum Islam tercatat
terjadinya perkembangan secara signifikan di setiap periodenya, misal di fase awal periode
pembentukan hukum syariat Islam yang mana terjadi pada zaman kenabian menjadi titik awal
terbentuknya legislasi hukum syariat itu sendiri yang berasal dari dua sumber utama yaitu
Alquran dan Hadis. Diikuti fase berikutnya, di fase sahabat hingga masa dinasti Umayyah dan
Abbasiyah juga merupakan fase yang sangat penting dan fase paling panjang bagi
perkembangan legislasi hukum Islam. Di fase sahabat sumber legislasi Islam tumbuh menjadi
empat; Alquran, Hadis, Ijmak, dan Qiyas. Dibukukannya Alquran dan mushaf yang
disentralisasikan dengan kaum muslimin agar terhindar dari pertikaian tentang sumber utama
bagi syariat Islam juga menjadi salah satu prestasi dalam perkembangan legislasi Islam pada
zaman sahabat.

Di periode ini juga muncul Ijtihad baru dari para sahabat yang berlandaskan
pemahaman tentang illat hukum baik ada atau tidaknya. Hal tersebut sudah tentu memberikan
pengaruh di mana sebagian hukum yang pernah diamalkan di zaman Rasulullah tidak
digunakan lagi di fase Khulafa’ ar-Rasyidin, seperti mereka sepakat menggugurkan hak
seorang muallaf dari zakat pada zaman Abu bakar.

Di fase Umayyah yang diawali setelah terbunuhnya sahabat Ali bin Abi Thalib pada
tahun 41 H hingga berakhir pada tahun 132 H, legislasi hukum Islam juga mengalami
perkembangan yang cukup kompleks, karena, di fase ini ketika berdirinya dinasti Umayyah
umat Islam terpecah menjadi tiga golongan: Syi’ah, Khowarij, dan Jumhur Musilimin.
Perpecahan politik dan aliran pemikiran yang terjadi diantara kelompok-kelompk tersebut
berimbas kepada hukum-hukum fikih, hal ini disebabkan perbedaan mereka tentang sumber-
sumber hukum fikih itu sendiri.

Namun, di tengah-tengah pergolakan politik di fase Umayyah, muncul kelompok


yang bisa disebut Jumhur Muslimin ini lebih cenderung apolitis, tidak ikut campur terhadap
perpolitikan yang ada. Kelompok ini menempuh jalur ilmu serta yang benar dan manhaj yang
lurus serta kajian yang tepat dalam memahami ilmu Allah. Sehingga dari kelompok inilah
legislasi hukum Islam megalami peningkatan kreatifitas fikih pada masa bani Umayyah.
Seperti contoh meunculnya dua aliran dalam mengistinbat hukum syariat: Pertama, kelompok
yang berpegang teguh terhadap dzohir-dzohir nya hadits saja dan pengikut aliran ini
dinamakan ahli hadis (kaum literalis), kedua, aliran yang mencari illat-illat hukum dan
hikmahnya dari nash-nash baik Alquran maupun Sunah dan kelompok ini dinamakan ahli
ra’yi (kaum rasionalis).

Lebih lagi di fase Abbasiyah, fase di mana Islam mencapai puncak kejayaannya, di
mulai dari runtuhnya dinasti Umayyah 132 hijriah hingga pertengahan abad keempat, legislasi
hukum Islam mencapai tahap sempurna dalam keluasaan kajian, sempurna dan terinci hingga
menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha’.

1
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Maktabah Kuliah, Kairo, 2020, hal. 42
1|Kajian Intensif FAS Mesir
Kebangkitan ilmiah yang menyertai tahap ini tidak terbatas pada yurisprudensi Islam saja,
tetapi juga mengkodifikasi banyak ilmu yang berbeda, seperti: tafsir, hadis, ilmu bahasa dan
sastra.

Di periode terakhir atau keempat yaitu periode kebangkitan ilmu fikih di mulai akhir
abad 13 hijriah sampai pada tahun ini, perkembangan legislasi hukum Islam yang disebutkan
Dr. Rasyad Hasan Khalil juga mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain;
dapat menghadirkan fikih ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman. Indikasi
kebangkitan fikih pada periode ini dapat dilihat dari pembahasan fikih yang semakin marak,
perhatian para fukaha terhadap kajian fikih tematik, kajian fikih komparasi dan kajian khusus
terhadap mazhab-mazhab utama juga menjadi perhatian khusus yang dilakukan oleh para
fukaha pada periode ini. Di antara bentuk kreatifitas yang berhasil dilahirkan di bidang ini
adalah; terbentuknya lembaga kajian Islam di al-Azhar Mesir (1961 M), Ensiklopedia Fikih di
Kuwait dan Ensiklopedia Fikih di Mesir.

Dari urairan singkat tentang perkembangan legislasi hukum fikih dari periode satu,
dua dan empat, menunjukkan bahwa legislasi hukum fikih mengalami perubahan dan
perkembangan di setiap periodenya. Namun, di periode ketiga yaitu periode taklid dan jumud
mengalami kondisi yang berbeda dengan periode-periode lainnya, kondisi di mana para
cendikiawan fikih tidak dapat membuat sesuatu yang baru yang ditambahkan kepada
kandungan mazhab yang sudah ada di periode sebelumnya, seperti; madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali.

Periode yang berawal dari pertengahan abad ke empat hijriah sampai runtuhnya
baghdad (656 H) ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk mengurai lebih lanjut
megenai sejarah dan sebab terjadinya kemandekan legislasi hukum fikih pada fase ini
sehingga memunculkan istilah Jumud dan Taklid. Istilah taklid yang hampir dibahas di semua
kitab ushul fikih juga menjadi kajian yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut lagi mengenai
pendapat para ulama tentang disiplin metode taklid, apakah taklid sebuah metode yang
terlarang atau justru menjadi suatu kewajiban di dalam kondisi tertentu? Poin-poin inilah
yang akan penulis coba urai di lembaran-lembaran berikutnya.

Periode Taklid; Kemandekan Legislasi Hukum Fikih


Jika di periode sebelumnya2 dalam perjalanan legislasi hukum Islam kita bisa melihat
para fukaha yang sibuk menggali fikih, mencari illat dan berijtihad, maka pada periode ini
kita akan mendapati bahwa jiwa kemandirian fukaha sudah mati dan beralih kepada Taklid 3.
Seperti apa yang dijelaskan oleh syeikh Ali Jum’ah dalam kitabnya al-Madkhal ila Dirasatil
Madzahib al-Arba’ah4 bahwa para fukaha pada era ini menunjukkan semangat mereka yang
mulai melemah, mereka menganggap diri mereka lalai, dan tidak mampu mencapai derajat
para mujtahid pendahulu.

Hilangnya semangat dalam diri mereka untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru
tentu tidak timbul begitu saja, sejarah mencatat terjadinya periode Taklid yang berakibat fikih
2
Fase pengembangan dan penyempurnaan hukum syariat Islam (dimulai dari periode Khulafa ar-Rasyidin hingga
pertengahan abad ke empat hijriah)
3
Definisi Taklid memiliki banyak ragam pendapat dari para ulama, meskipun para ulama mendefinisikan secara
berbeda-beda, namun intinya memiliki makna yang senada. Salah satunya menurut imam Haramain dalam Syarah
Waroqot nya, Taklid adalah: Menerima pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang disebutkan orang tersebut.
Sedangkan menurut syaikh Tahaa Habib dalam tulisannya berjudul al-Ijtihad wa at-Taqlid yang dikutip dalam
kitab al-Azhar wa al-Ijtihad adalah: Mengikuti pendapat orang lain yang berlandaskan hujjah dan pendapatnya
tersebut tidak termasuk salah satu bagian dari hujjah (Alquran, Hadits dan Ijma’).
4
Ali Jum’ah, al-Madkhal ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyah, Dar as-Salam, Kairo, 2016, cet 5, hal. 440
2|Kajian Intensif FAS Mesir
mengalami kemunduran ini disebabkan oleh beberapa faktor dibelakangnya, salah satunya
adalah faktor politik. Pergolakan politik yang terjadi dalam tubuh Islam meberikan efek
negatif terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan, menghambat pergerakan para fukaha untuk
melakukan perjalanan ilmiah dalam rangka mencari ilmu ke berbagai negeri, yang mana
sebelumnya perjalanan ilmiah ini telah menjadi kebiasaan para pendahulunya dan
memberikan andil yang sangat besar dalam sejarah legislasi hukum Islam.

Pergolakan politk telah berhasil menyebabkan negara Islam terpecah menjadi negara-
negara kecil, dimana setiap negeri mempunyai penguasa tersendiri yang diberi gelar amirul
mukminin (pemimpinnya para mukmin). Seperti contoh bangkitnya dinasti Umayyah di
Andalusia (929-961 M) di tangan seorang raja terjaya dalam sejarah Andalusia, Abdurrahman
an-Nashir, yang mana dimasa raja sebelumnya bani Umayyah mengalami kemunduran.

Di bagian Afrika utara berdirinya Syi’ah Isma’liyah (909-1171 M) atau dinasti


Fatimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi al-Fatimi. Konstelasi politik yang terjadi
dalam dinasti Abbasiyah menjadi penyebab lahirnya dinasti ini, dan juga sebagai bentuk
tandingan bani Abbasiyah, penguasa dunia muslim yang kala itu berpusat di Baghdad.

Di Mesir muncul dinasti Ikshyidiyah (935-969 M) yang di dirikan oleh Muhammad


bin Tughj al-Ikhshid, berdirinya negara Ikhsyidiyah ini merupakan bagian dari desentralisasi
Abbasiyah karena perluasan wilayah serta sebagai bentuk kampanye menaklukan Mesir yang
di saat itu dinasti Fatimiyah merupakan ancaman utamanya.

Di Bahgdad sendiri muncul negara baru yang bernama daulah Dailim (934-105 M)
atau sering disebut dinasti Buwaih (pengaruh persia 2), yang bermula dari tiga orang putera
Abu Syuja’ Buwaih yang telah berhasil melakukan ekspansi ke beberapa daerah di Persia,
kemudian dari prestasi itulah mereka meminta legalitas dari khalifah Abbasiyah, al-Radi
Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara, yang pada akhirnya
lahirnya negara ini.5

Terpecahnya dinasti Abbasiyah menjadi negara-negara kecil menyebabkan para


penguasa sibuk memikirkan urusan politik dan peperangan, sehingga kurang memberikan
perhatian kepada ilmu dan ulama. Kondisi seperti ini jauh berbeda dibandingkan yang terjadi
di fase sebelumnya, di mana pada fase awal kepemimpinan dinasti Abbasiyah perhatian para
khalifah sangatlah tinggi terhadap fikih dan para fukaha, legislasi hukum Islam terus tumbuh
hingga mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini kehidupan,
prinsip-prinsip dasarnya meyentuh semua aspek humanity, religi dan duniawi. Sampai pada
akhirnya, lahirnya mazhab-mazhab fikih yang beragam, seperti empat mazhab besar; mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali juga menjadi salah satu karateristik yang berhasil
ditunjukkan di fase ini.6

Dari kondisi di atas kita bisa menyadari bahwa betapa lemahnya negara Islam ketika
sudah dihadapi dengan penyakit perpecahan, mempertaruhkan persaudaraan dan tumpah
darah demi sebuah kekuasaan. Islam yang di saat itu terpecah-pecah menjadi negara-negara
kecil yang saling bermusuhan memudahkan musuh Islam untuk menghancurkan negara Islam
dan pada akhirnya terjadilah perang Salib. Pergolakan politik telah berhasil meredupkan
semangat para fukaha yang dulunya kreatif menciptakan sesuatu yang baru dalam legislasi
hukum Islam menjadi pribadi yang merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh
pendahulunya yaitu para ulama mazhab, yang dulunya membuka ruang kebebasan berfikir
5
Ahmad al-Baquri, Ma’alim as-Syariah, Majlis Hukama al-Muslimin, Kairo, 2019, cet. 2, hal. 223
6
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Maktabah Kuliah, Kairo, 2020, hal. 154
3|Kajian Intensif FAS Mesir
dalam berinovasi menjadi pribadi yang cenderung menutup celah untuk menimbulkan
kreatifitas baru, yang dulunya memiliki semangat dalam berijtihad menjadi pribadi yang ikut-
ikutan (taklid), padahal taklid merupakan suatu sikap yang dilarang oleh para imam mazhab
yang mereka anut sendiri.7

Periodisasi Taklid; Perjalanan Hukum Taklid


Sejauh penulis membaca, Istilah periodisasi taklid memang belum pernah secara
spesifik di bahas di kitab sejarah legislasi hukum fikih maupun di kitab ushul fikih, namun
melihat pembahasan para ulama mengenai taklid itu sendiri, secara umum mereka
memberikan warna hukum yang beragam, mulai dari pelarangan taklid oleh para imam
Mazhab hingga pendapat ulama kontemporer yang mewajibkan taklid. Pembahas taklid akan
semakin kompleks jika diurai dengan mendalam dan rinci, karena berubahnya hukum taklid
dari zaman ke zaman tidak terlepas dari beberapa syarat yang sifatnya akan mengikat dari
hukum satu ke hukum yang lain.

Agar pembahasan hukum taklid tidak panjang dan melebar, penulis berusaha
menyederhanakannya dengan membagi perjalanan hukum taklid menjadi dua periode; periode
Mutaqoddimin yang isinya menjelaskan bagaimana nuansa hukum taklid di masa awal Islam
hingga pendapat ulama-ulama terdahulu dan periode Mutaakhhirin yang artinya
menggambarkan nuansa hukum Taklid menurut pandangan ulama akhir serta pendapat para
ulama yang memperbolehkan.

Periode Mutakaddimin, sebagaimana diketahui bahwa para ulama tidak sepakat


dalam satu pendapat dalam menentukan hukum taklid. Di saat tumbuh kembangnya madrasah
fikih pada masa periode pembangunan dan penyempurnaan legislasi hukum fikih, ulama pada
saat itu lebih cenderung berpendapat atas keharaman taklid.

Hal ini diperkuat dengan perkataan para imam mazhab empat, misalnya Abu Hanifah
dan Abu Yusuf pernah berkata: “Tidak halal bagi seseorang untuk berpendapat dengan
pendapat kami, hingga dia tahu dari mana kami berpendapat”. Dan Malik bin Anas berkata:
“Sesungguhnya aku manusia, aku pun pernah berbuat salah dan benar. Setiap apa yang
sesuai dengan kitab dan sunnah maka ambillah, dan setiap apa-apa yang belum sesuai
dengan kitab dan sunnah maka tinggalkanlah”. Imam Syafi’i mengisyaratkan orang yang
bertaklid dalam Risalahnya dengan mengatakan: “Permisalan orang yang menuntut ilmu
tanpa hujjah seperti orang yang mencari kayu di malam hari, ia membawa seikat kayu yang
di dalamnya ada ular yang akan mematuknya, namun ia tidak mengetahuinya.” Dari Ibnu
Hanbal sesungguhnya ia berkata: “Janganlah bertaqlid pada agama seorangpun diantara
kalian. Apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya maka ambillah, kemudian tabi’in
setelahnya disuruh untuk memilih.”.8

Tidak hanya para imam mazhab empat yang berpendapat atas pelarangan taklid,
pelarangan ini juga bisa dilihat dari semangat para ulama mazhab lainnya yang mewajibkan
ijtihad. Seperti yang ada dalam mazhab adz-Dzohiriyah yang mengharuskan ijitihad kepada
semua orang. Sama halnya pendapat al-Qarafi al-Maliki yang mengatakan: “Sesungguhnya
mazhab Maliki dan mayoritas ulama berkata wajibnya ijtihad dan membatalkan taklid.”. 9

7
Ibid., hal. 161
8
Yahya Muhammad, Al-Ijtihad Wat- Taqlid Wal- Ittiba’ Wan-Nadhor, pdf: Muassasah Al-Antasyaar Al-‘Aroobiy,
Beirut, 2000, Cet.1, hal.94
9
Ibid,. Hal. 95
4|Kajian Intensif FAS Mesir
Periode mutaakhhirin, jika dalam mazhab empat kita bisa menyimpulkan pendapat
mereka atas pelarangan taklid, di masa setelahnya, tepatnya di awal abad ke empat yang mana
para fukaha sudah mulai merasa cukup atas apa yang telah dicapai oleh ulama-ulama mereka
terdahulu, kita bisa mendapati para fukaha di masa itu telah membuka ruang taklid dan
menutup diri dalam berijtihad sehingga menjadikan mereka gagal dalam melahirkan
kreatifitas baru sejarah legislasi hukum Islam.

Terlepas dari pergelokan politik yang menjadi penyebab atas kemunduran legislasi
hukum Islam di masa itu, yang menjadikan pribadi para fukaha menjadi pribadi yang
muqollidin atau ikut-ikutan, mereka juga berdalih karena kurang perhatiannya para penguasa
terhadap ilmu dan ulama pada saat itu, sehingga jiwa kemandirian para fukaha dalam mencari
ilmu telah mati dan menutup celah untuk melakukan istinbat hukum. 10

Hal tersebut menurut pandangan penulis, mundurnya semangat para fukaha dalam
mencari ilmu inilah yang menyebabkan mereka sulit mencapai derajat mujtahid. Alasan ini,
bagi penulis juga sangat bisa diterima untuk dijadikan landasan atas diperbolehkannya taklid,
terlebih lagi hukum taklid bagi orang awam, taklid justru menjadi sesuatu yang wajib bagi
mereka yang tidak mengetahui hukum dasar Islam. Karena, seperti apa yang telah kita ketahui
syarat untuk mencapai derajat seorang mujtahid tidaklah mudah, seseorang harus memenuhi
kriteria11 yang ketat untuk memiliki legalitas Ijtihad.

Diperkuat lagi dengan pendapat ulama ushuliyyin yang mengatakan


diperbolehkannya taklid, mereka berkata: “Sesungguhnya seorang mujtahid adakalanya
benar atau salah, maka dipebolehkan mengikuti mereka, bahkan wajib bagi orang awam
untuk mengikuti pendapat para mujtahid, karena orang awam dibebankan untuk
melaksanakan hukum-hukum syariat”.12 Lanjut lagi, para ulama ushul juga berpendapat, jika
semua orang awam dibebankan untuk mencapai derajat seorang mujtahid, maka yang terjadi
hanya akan menyebabkan kerusakan, kerobohan ekonomi, terputusnya keturunan,
menurunnya hasil produksi, karena kesibukan mereka hanya akan terfokus untuk menggali
lebih dalam hukum-hukum Islam saja dari pada melaksanakan aspek sosial lainnya.

Tidak hanya itu, meskipun pelarangan taklid bersandar terhadap mayoritas ulama
mutakoddimin, namun jika kita melihat beberapa perkataan ulama mutaqaddimin yang
lainnya, kita akan mendapati pendapat yang berbeda, seperti perkataan Muhammad bin Hasan
yang mengatakan; “Boleh bagi seorang yang ‘alim mengikuti (pendapat) orang lain yang
lebih ‘alim darinya dan tidak boleh mengikuti yang (ilmunya) sama dengannya”, hal ini juga
senada dengan perkataan ibnu Siraj yang mana beliau memperbolehkan taklid kepada yang
lebih alim jika ia tidak mampu untuk berijtihad.

Bahkan sebagian imam mazhab juga ditemukan beberapa pendapatnya yang


memperbolehkan taklid, seperti pendapat imam Syafi’i yang ditemukan dalam Risalah Qodim
nya, beliau memperbolehkan taklid kepada siapa saja di antara para sahabat. Misal dalam
masalah “Menjual hewan yang bebas dari cacat” imam Syafi’i mengungkapkan pendapatnya
yang taklid kepada sahabat Ustman, dalam permasalah “Kumpulnya kakek dan saudara

10
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Maktabah Kuliah, Kairo, 2020, hal. 161-162’
11
Syarat menjadi mujtahid menurut al-Baghowi adalah harus mampu menguasai lima-ilmu; pertama, Ilmu
Alquran, kedua, Ilmu Hadis, ketiga, mengetahui pendapat para ulama-ulama terdahulu baik kesepakatan maupun
perselisihan diantara mereka, keempat Ilmu bahasa, dan yang kelima ilmu tentang QIyas. Masih banyak lagi
syarat-syarat mujtahid yang lainnya, seperti; mengetahui ilmu Alquran tentang nasikh mansukh, mujmal
mufasshol, khos ‘amm dan lain sebagainnya. (Lihat lebih jauh: Ahmad Abdur ar-Rahim ad-dahlawi, ‘Aqdul Jaid fii
Ahkam al-Ijtihad wa at-Taklid, pdf, Hal. 21)
12
‘Ali bin nayis Syuhud, al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid, pdf, hal. 246
5|Kajian Intensif FAS Mesir
dalam hal warisan” beliau Taklid terhadap Zaid. Begitupun juga dengan sikap Abu Hanifah
di dalam permasalahan “sumur” beliau tidak ada yang beliau ikuti selain para pendahulunya
dari golongan tabiin. Sikap imam Malik dalam beramal mengikuti perbuatannya penduduk
Madinah juga menjadi satu sikap dari taklid.13

Jika kita runtut pendapat para ulama dalam dua periode di atas, kita akan mendapati
pendapat ulama mazhab yang berbeda tentang hukum taklid di dua periode di atas. Di sisi lain
dalam periode mutakoddimin perkataan ulama mazhab empat dijadikan dalil hukum
pelarangan taklid, namun di dalam periode mutaakkhirin juga para ulama di dalamnya
mengutip pendapat sebagian imam mazhab untuk dijadikan sebagai dalil pembenaran atas
dipebolehkannya taklid.

Tentu hal ini menjadi petanyaan tersendiri mengenai sebenarnya apa sikap ulama
mazhab tentang hukum taklid ini, apakah mayoritas ulama di masa awal Islam khususnya
para imam mazhab mutlak melarangan taklid atau memperbolekannya? jika taklid itu dilarang
kenapa kemudian ditemukan pendapat-pendapat mereka tentang dibolehkannya taklid? Tentu
hal ini dibutuhkan penengah untuk menjawab kerancuan permasalahan di atas.

Imam Muzani (264 H) dalam Mukhtashornya beliau berkomentar tentang apa yang
dimaksud perkataan imam Syafii atas pelarangan Taklid: “Dan diantara makna perkataanya
adalah larangan beliau untuk bertaqlid kepada dirinya atau taqlid kepada orang lain, itu
hanya sebagai bentuk peringatan dalam hal agama dan bentuk kehati-hatian terhadap
dirinya sendiri”,14 artinya sekelas mujtahid imam Syafi’i dan juga imam mujtahid lainnya
dalam beristinbat hukum saja bisa jadi benar atau salah, maka dari itu, perkataan mereka yang
melarang taklid tidak lain hanya untuk menyeru kepada umat Islam agar berusaha kembali ke
hukum dasar Islam secara langsung, yaitu Alquran dan Hadits, bukan mengandalkan
perkataan para imam mujtahid seutuhnya.

Begitu juga komentar ibnu Qoyyim (751 H) atas pendapat para ulama dalam
pelarangan taklid, beliau berkata: “Sesungguhnya yang berpendapat taklid itu dilarang
adalah taklid yang bermakna: Mengambil pendapat seseorang dengan menganggap
pendapatnya sejajar dengan nash-nash syariat, dan tidak melihat kepada pendapat yang lain
bahkan kepada nash syariat itu sendiri”.15 Dan ini lah definisi taklid yang haram menurut
kesepakatan ulama, lanjutnya.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan setidaknya ada dua hukum besar terhadap
taklid, pertama haram artinya seseorang tidak boleh taklid dan yang kedua mubah atau hukum
turunnya sampai ke wajib, yang artinya taklid adalah suatu sikap yang diperbolehkan.
Pendapat yang menjadi pilihan di dalam makalah pendek ini adalah pendapat yang kedua
yaitu mubah, selain dalil diatas yang menjadi dasar dipilihnya hukum mubah bagi taklid,
penulis juga merujuk di kitab al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid karya ‘Ali bin
Nayif as-Syuhud16, pada pembahasan “Bantahan terhadap pendapat yang melarang Taklid”
ditemukan banyak sekali dali-dalil yang membatalkan keharaman taklid, salah satunya
ditemukannya fakta bahwa para sahabat yang jumlahnya ribuan, ternyata tidak semua dari
mereka yang memiliki perangkat untuk mencapai derajat seorang mujtahid, bahkan ibnu
13
Ibn Qoyyim al-Jauziyah, i’lamul al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin, pdf, juz. 2, Hal. 142-143
14
‘Ali bin nayis Syuhud, al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid, pdf, hal. 246
15
Ibid., hal. 246
16
Seoang ulama kenamaan di abad 20 yang memilki ratusan karya di berbagai bidang ilmu agama. Beliau lahir di
suriah pada tahun 1956 M, besar dengan berbagai prestasi dan menempati jabatan penting di beberapa universitas
dam Madrasah di Damaskus, beliau juga belajar dengan ulama-ulama terkenal pada zamannya, seperti syaikh
Wahbah Zuhaili dan Sayyid Ramadhan al-Buthi. (lihat lebih jauh: https://al-maktaba.org/author/2284)
6|Kajian Intensif FAS Mesir
Hazm mengaku tidak mampu menghitung para sahabat yang berfatwa atau berijtihad lebih
dari 120 sahabat saja, selain itu banyak dari beberapa masalah hukum Islam yang mana para
sahabat masih saling taklid satu sama lain. 17

Oleh karena itu, jika para sahabat saja yang dekat dengan Rasululah, menjadi saksi
turunnya Alquran, yang bersih hatinya, serta tinggi ilmunya masih bersikap taklid satu sama
lain, bagaimana dengan umat setelahnya? Bagaimana dengan orang awam yang tidak
mengetahui hukum-hukum dasar Islam? Bagaimana dengan umat Islam yang hidup jauh dari
zaman Rasulullah dan para sahabat? Tentu kebolehan taklid ini tidak mutlak begitu saja, yang
mana hukum kebolehannya tidak terlepas dari beberapa disiplin yang mengikat di dalamnya.

Disiplin Taklid
Berbicara tentang disiplin taklid banyak sekali objek pembahasan yang terkandung di
dalamnya, baik dari sisi hukumnya, apa kaitannya taklid dengan ijtihad, apa perbedaan taklid
dengan ittiba’, apa saja rambu-rambu yang perlu diperhatikan di dalam masalah taklid, hingga
pembahasan siapa yang diperbolehkan untuk taklid dan kepada siapakah seseorang tersebut
harus taklid.

Jika di awal pembahasan kita mendapati hukum taklid diperbolehkan bahkan wajib
bagi orang awam yang tidak mampu untuk berijtihad, maka menurut ‘Ali bin Nayif as-
Syuhud dalam kitabnya al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid, diperbolehkannya
taklid tidak hanya terbatas untuk orang awam saja melainkan seorang yang memiliki
kemampuan untuk berijtihad dia diperbolehkan untuk taklid ke seorang mujtahid, dengan
syarat dia merasa kurang dan tidak memiliki waktu yang cukup jika melakukan ijtihad
terhadap suatu hukum. Berbeda jika seorang mujtahid yang hendak bertaklid kepada seorang
mujtahid lain sedangkan dirinya memliki kapasitas ilmu dan waktu yang cukup untuk
berijitihad, maka hukum taklid baginya haram.18

Setelah mengetahui hukum taklid dan siapa saja yang diperbolehkan untuk taklid,
maka pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah kepada siapakah yang berhak dijadikan
sebagai seorang muqollad (orang yang diikuti pendapatnya)? Apa saja disiplin taklid yang
perlu diperhatikan bagi orang awam? Bagaimana sikap seorang muqollid ketika mendapati
pendapat yang berbeda-beda dari para mazhab atau dari para mufti? Bolehkah seorang taklid
berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain? Inilah beberapa petanyaan dasar yang mana
penulis akan mencoba mengurai secara ringkas di paragraf-paragraf berikutnya.

Taklid Mazhab
Dalam dunia intelektualitas hukum praktis Islam menurut Thaha Habib 19 setidaknya
ada empat tingkatan yang selama ini mewarnai keberlangsungan legislasi hukum Islam:
Pertama kelompok Mujtahid Mutlaq yaitu para imam mujtahid yang menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan terkait Alquran dan Sunah, dan mempunyai metodologi  ijtihad
sendiri sehingga mereka bisa mengeluarkan hukum fikih secara mandiri. Seperti contoh imam
mazhab empat; imam Hanafi, imam Malik, imam Syafi’i, imam Hambali, dan lain
sebagainya.

17
‘Ali bin nayis Syuhud, al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid, pdf, hal. 256
18
‘Ali bin nayis Syuhud, al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid, pdf, hal. 267
19
Seorang intelektual Azhar dan anggota mahkamah tinggi syariah. W. 1352 H/1933 M. Merujuk di kitab al-
Azhar wal-Ijitihad dalam artikelnya beliau yang berjudul al-Ijtihad wa-Taklid, hal. 86
7|Kajian Intensif FAS Mesir
Kedua, kelompok Mujtahid fii al-Mazhab yaitu adalah orang-orang yang mampu
mengeluarkan hukum-hukum dan dalil-dalil menurut kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh
imam mereka dalam persoalan hukum. Para mujtahid yang berusaha sekuat tenaga untuk
menggali hukum fikih, namun secara metodologi terikat dengan mazhab tertentu.  Hasil
fikihnya bisa jadi berbeda dengan imam mazhab, namun metodologi yang dipakai adalah
metodologi sang Imam. Contohnya dalam mazhab Syafii adalah imam Muzani, imam
Buwaithi, imam ar-Rabi’ al-Jizi.20 Sebagian pendapat lain ada yang menambahkan kelompok
yang dinamakan Mujtahid Fatawa yaitu orang-orang yang mengeluarkan pendapat paling
unggul (mentarjih) dari pendapat imamnya. Ulama yang termasuk kelompok ini seperti imam
Nawawi, imam Rafi’i dan lain sebagianya.21

Ketiga, kelompok Mujtahid Muqoyyad yaitu seorang yang berijtihad dalam


persoalan-persoalan yang tidak ada nasnya yang dapat diambil dari pendiri mazhab atau dari
mereka yang mengeluarkan hukum (dari dalil-dalil menurut kaidah-kaidah madzhabnya). 22
Tokoh-tokoh yang termasuk imam Mujtahid Muqayyad: Al-Kurkhi dan at-Thahawi dari
mazhab Hanafi, Al-Bhari dari mazhab Maliki, Abu Ishak Al-Syirazi dari mazhab Syafi'i, Al-
Qadhi Abu Ya'la dari mazhab Hambali.23

Keempat, kelompok Muqollidin yaitu kelompok yang tidak mampu mencapai derajat
yang bisa dicapai oleh kelompok-kelompok sebelumnya atau kelompok ini bisa disebut orang
awam yang tidak mengetahui hukum-hukum dasar Islam dan cara beristinbat, sehingga yang
hanya bisa mereka lakukan dalam menjalankan hukum syariat Islam yaitu dengan cara
bertanya dan mengikuti pendapat kepada orang yang berkompeten dalam bidang hukum
Islam. Hal ini dari keempat hingga lima pembagian kelompok di atas, yang memiliki legalitas
untuk diikuti pendapatnya (Muqollad) oleh orang awam adalah tiga kelompok yang pertama:
Mujtahid Mutlaq, Mujtahid fii al-Mazhab dan Mujtahid Muqoyyad.

Di zaman akhir ini tentu tidak ditemukan lagi seseorang yang memenuhi syarat untuk
menjadi salah satu dari mujtahid di atas, ketatnya syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk
menjadi mujtahid menjadikan derajat mujtahid sulit untuk dicapai bagi ulama kekinian.
Bahkan imam Ghozali (505 H) dan imam Qoffal (336 H) jauh hari pernah berkata:
“Sesungguhnya zaman ini tidak adalagi seorang mujtahid”, yang dimaksud mujtahid di sini
adalah mujathid yang merepresentasikan hukum Islam, menggali dan menetapkan hukum
yang diambil dari Alquran dan Hadis atau dikenal dengan Mujtahid Mutlaq.24

Menurut Syeikh Rifa’ah at-Thohthowi 25 dalam tulisannya yang berjudul al-Qoul


Sadid fi al-Ijtihad wa-Tajdid beliau menyebutkan bahwa sebagian ulama berpendapat
terputusnya Mujtahid Mutlaq berakhir di tahun 300 an Hijriah, begitupun juga terputusnya
generasi Mujtahid Fatawa yang diakhiri dengan wafatnya imam Nawawi (676 H). Jika
generasi mujtahid yang paling akhir di masa imam Nawawi tentu masalah timbul bagi umat
Islam yang hidup di generasi akhir seperti zaman ini untuk merujuk secara langsung kepada

20
Thaha Habiib, al-Ijtihad wa-Taklid, dalam kitab al-Azhar wa al-Ijtihad juz 2, Majlis Hukama al-Muslimin,
Kairo, 2020, cet. 1, hal. 86
21
Rifa’ah at-Thohthowi, al-Qoul Sadid fi al-Ijtihad wa-Tajdid, dalam kitab al-Azhar wa al-Ijtihad juz 2, Majlis
Hukama al-Muslimin, Kairo, 2020, cet. 1, hal; 137
22
Thaha Habiib, al-Ijtihad wa-Taklid, dalam kitab al-Azhar wa al-Ijtihad juz 2, Majlis Hukama al-Muslimin,
Kairo, 2020, cet. 1, hal, 86
23
https://www.abusyuja.com/2019/11/6-tingkatan-mujtahid-dalam-fiqih.html
24
Rifa’ah at-Thohthowi, al-Qoul Sadid fi al-Ijtihad wa-Tajdid, dalam kitab al-Azhar wa al-Ijtihad juz 2, Majlis
Hukama al-Muslimin, Kairo, 2020, cet. 1, hal; 140
25
Pelopor Gerakan Kebangkitan dan Pembaruab di Era Modern (Wafat 1260 H/1873 M)
8|Kajian Intensif FAS Mesir
ulama-ulama yang hidup jauh di masa munculnya Mujtahid Fatawa seperti imam Nawawi,
apalagi merujuk langsung kepada imam Mujtahid Mutlaq seperi imam empat mazhab.
Dengan demikian diperlukaan adanya suatu perangkat penting untuk menyambungkan sanad
keilmuan dari para imam Mujtahid kepada para Muqollidin.26

Dari sinilah penulis berpendapat pentingnya posisi para ulama untuk aktif menjadi
perangkat sanad keilmuan. Ulama merupakan pewaris ilmu dalam menjaga keberlangsungan
legalitas hukum Islam dari masa ke masa, mereka yang bertugas menyampaikan apa saja yang
menjadi persoalan dan kebutuhan umat Islam dengan bertendensi terhadap perangkat hukum
Islam yang telah disampaikan dari guru-guru nya, melalui karya-karya para ulama dari
generasi ke generasi yang pada akhirnya sampai kepada ulama-ulama mujtahid.

Posisi ulama di tengah-tengah masyarakat awam di rasa menjadi jawaban dari segala
keresahan selama ini atas keraguan terhadap keabsahan ilmu yang mereka bawa. Hadirnya
ulama cukup menjadi rujukan bagi orang awam yang hendak mengetahui hukum-hukum
praktis Islam, menjadikan tempat aduan untuk memberikan solusi bagi umat pada umumunya
dalam beberapa aspek kehidupan. Tentu amanah yang di emban seorang ulama dalam
menjembatani sanad keilmuan ini tidak terlepas dari beberapa syarat yang mengikat kepada
dirinya.

Hal ini menurut Syaikh Thaha Habib beliau memberikan kriteria khusus bagi seorang
ulama atau seorang mufti dalam menaruh posisinya sebagai pemeran keberlangsungan
legalitas hukum Islam. Beliau menyebutkan, setidaknya seorang Ulama ia harus teliti dan
hafal semua permasalahan dari beberapa permasalahn yang ada dalam suatu mazhab dan juga
secara bersamaan ia faham permaslaahan tersebut di mazhab lain. Jika ia ditanya tentang
suatu masalah, maka ia mampu untuk menyebutkan pendapat yang paling diunggulkan di
dalam mazhab tersebut. Begitupun juga syarat yang diberikan kepada seorang mufti yaitu
(seorang yang berfatwa dengan apa yang ia hafal dan yang ia temukan dari beberapa nas-nas
dalam kitab-kitab mazhab) yaitu tidak ada syarat bagi seorang mufti kecuali apa yang menjadi
syarat sebagai seorang perawi; adil, hafal dan kuat hafalannya. 27

Memahami pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa golongan Muqallidin


tidak hanya terbatas orang awam saja, seorang ulama dan mufti juga termasuk sebagai
Muqallidin, karena posisi mereka hanya mengikuti dan mengambil pendapat para ulama
Mujtahidin dalam berfatwa. Seperti apa yang dikatakan Syeikh Rifa’ah at-Thohthowi bahwa
para pengikut mazhab yang pendapat-pendapat mereka mu’tabar dalam hal perselisihan,
misal ar-Ramli, ibn Hajar hingga as-Syibramilisi, mereka ini menurutnya tidak sampai ke
derajat Mujtahid Fatawa akan tetapi sebatas Muqallidiin atau orang yang bertaklid, meskipun
ada juga yang berpendapat mereka ini termasuk Mujtahid Fatawa dalam beberapa masalah
saja. Meskipun yang dinamakan Muqollid atau Muqollidin tidak terbatas pada satu golongan
saja. Tentu orang awam yang tidak faham akan dalil hukum Islam dengan para ulama yang
belajar kelimuan Islam secara mendalam tidak bisa disamaratakan derajatnya begitu saja
dalam sisi keilmuannya.

Menentukan Mazhab & Pindah Mazhab


Metodologi beristinbat yang berbeda di antara para ulama mujtahid menjadikan
hukum praktis Islam mengalami pengayaan ragam hukum yang bermacam-macam. Ikhtilaf

26
bid,. hal. 140
27
Thaha Habiib, al-Ijtihad wa-Taklid, dalam kitab al-Azhar wa al-Ijtihad juz 2, Majlis Hukama al-Muslimin,
Kairo, 2020, cet. 1, hal. 84-86
9|Kajian Intensif FAS Mesir
yang terjadi antara para ulama dalam berijtihad ini merupakan bukti nyata dari kekayaan
syariat Islam, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan
kaidah-kaidah yang diambil dalam istinbatnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan
dalilnya, kemudian ditarjih dan melahirkan suatu hukum siap saji, yang memudahkan umat
Islam yang tidak mampu berijtihad untuk mengambil pendapatnya dan menerapkan ke praktik
fikih di kehidupan sehari-hari.

Menurut Rasyad Hasan Khalil 28 tercatat ada 13 mujtahid29 yang telah ditetapkan oleh
mayoritas umat Islam atas kepemimpinannya menjadi imam mazhab. Ditetapkannya mereka
ditandai dengan terbukuannya hasil istinbat dan pendapat-pendapat mereka yang diikuti oleh
para pengikutnya. Terbukuannya hasil ijtihad para ulama ini memberikan generasi umat
setelahnya kemudahan serta pilihan untuk mengikuti pendapat mana saja yang telah di sajikan
oleh mereka tanpa susah payah untuk menggali sendiri dalil-dalil dari pada Alquran dan
Hadis.

Tentu kemudahan ini tidak bisa difahami secara radiks yang artinya seseorang bebas
mengambil pendapat para imam mazhab begitu saja, mencomot pendapat suatu mazhab di
beberapa masalah saja dan meninggalkan mazhab tersebut di permasalahan yang lain,
mencampuradukkan satu mazhab dengan mazhab lain dan memilih pendapat yang paling
ringan dari para imam mazhab. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam disiplin
bermazhab, baik untuk para mujtahid mazhab, mujtahid fatawa, para ulama dan muffti hingga
disiplin bagi seorang pelajar ilmu dan umat Islam pada umumnya.

Bagi para pelajar atau orang yang mampu meniliti dan mentarjih dalil-dalil yang ada
dalam suatu mazhab, maka wajib baginya mengamalkan apa yang menurutnya paling rajih
dan dalilnya paling kuat,30 karena pada dasarnya kewajiban dibebankan kepada seluruh
mukalaf untuk mengetahui hukum-hukum syariat beserta dalil-dalilnya. Sama halnya dengan
seorang mujtahid muqoyyad, wajib bagi mereka untuk mengikuti mazhab mujtahid mutlak
dalam pengunaan kaidah-kaidah mazhabnya untuk beristinbat. Sedangkan mujtahid mutlak
tidak boleh taklid atau mengikuti pendapat selain dirinya sendiri melainkan wajib
mengamalkan sesuai apa yang telah ia usahakaan. 31

Berbeda dengan orang awam yang tidak memiliki kemampuan meneliti suatu dalil,
boleh bagi mereka untuk taklid kepada salah satu imam mujtahid dan tidak harus menentukan
salah satu mazhab dari beberapa mazhab yang ada, karena bagi orang awam mereka tidak
memiliki mazhab atau bisa dikatakan mazhab mereka adalah mazhabnya para mufti atau
ulama yang mereka mintai pendapat suatu hukum.

Orang awam yang diartikan sebagai orang yang menjaga hukum-hukum syariat tanpa
mengetahui dalilnya ini lebih mendapatkan keluasaan dan kemudahan dalam menjalankan
syariat Islam. Contoh bentuk kemudahan bagi orang awam adalah; misal di suatu daerah
ditemukannya dua mufti yang sama-sama ahli ilmu maka boleh bagi orang awam untuk
mengikuti salah satu pendapat dari mereka tanpa harus mencari tau mana yang paling alim di
antara mereka.32

28
Pengajar fikih perbandingan mazhab dan mantan dekan kuliah Syariah wa Qonun universitas al-Azhar, Cairo,
Mesir.
29
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Maktabah Kuliah, Kairo, 2020, hal. 255
30
‘Ali bin nayis Syuhud, al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid, pdf, hal. 292
31
Ibid., hal. 290
32
Ibid., hal. 269
10 | K a j i a n I n t e n s i f F A S M e s i r
Diperkuat lagi dengan pendapat yang telah di rangkum oleh ulama ushuliyyin, bahwa
kebanyakan ulama tidak mewajibkan bagi orang awam untuk menentukan satu mazhab
tertentu, akan tetapi boleh baginya untuk taklid kepada mujtahid siapapun yang ia inginkan.
Jika ia telah menetapkan salah satu imam sebagai mazhabnya, seperti; bermazhab Abu
Hanifah, mazhab Syafi’i dan lain-lain, maka tidak wajib baginya untuk selalu menetap di
mazhab tersebut, boleh baginya untuk pindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain.

Al-Amidi dan Kamal bin Himam lebih merincinya lagi, jika seseorang beramal di
sebagian masalah dengan bertendensi mazhab tertentu, maka ia tidak boleh mengikuti
pendapat mazhab lain di dalam masalah yang sama. Ketika ia tidak mengikuti pendapat
mazhab tersebut di bagian masalah yang lainnya, maka boleh menggunakan mazhab lain
untuk menjadi tendensi dalam masalah lain tersebut. 33

Meskipun ada kelonggaran bagi awam dalam hal mengambil fatwa, namun seperti
apa yang telah penulis singgung di awal, mereka tidak boleh secara bebas begitu saja.
Kebebasan mereka terbatas pada hal-hal yang menyebabkan tatabu’ ar-Rukhas (mengikuti
keringanan dalam mengambil pendapat) dengan tujuan bermain-main seperti contoh
mengambil pendapat yang paling mudah dari setiap mazhab tanpa adanya darurat atau
dalasan, dan juga tidak diperbolehkan talfiq (mencampuradukkan mazhab) yang
menyebabkan bisa membatalkan keputusan hakim, karena keputusan seorang hakim dapat
menghilangkan segala perselisihan. Begitipun juga tidak boleh talfiq yang menyebabkan
seorang jatuh ke dalam syari’at yang diharamkan, seperti contoh menikahi perempuan tanpa
wali, mahar dan saksi.34

Sebagai akhir dari pembahasan bab ini, pendapat yang paling unggul dan paling benar
adalah; tidak adanya kewajiban untuk menentukan mazhab tertentu bagi orang awam, ia boleh
berselisih terhadap pendapat imamnya dan mengikuti pendapat lain. Begitupun juga perkataan
dari ulama kontemporer dari golongan syafi’iyah seperti ibnu Hajar yang mengatakan boleh
bagi seseorang untuk pindah dari satu mazhab satu ke mazhab yang lain, baik berpindah
secara terus menerus maupun pindah di sebagian masalah saja selama perbuatannya tersebut
tidak menimbulkan adanya talfiq.35

Epilog
Perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam baik dari sisi politik, sosial, ekonomi
hingga perbedaan pendapat dalam persoalan agama seharusnya bukan menjadi pemantik
perpecahan antara satu golongan dengan golongan lain. Khusunya dalam melihat hasil hukum
praktis Islam yang sangat identik dengan perbedaan pendapat di antara para ulama. Ikhtilaf
yang terjadi di antara mereka seharusnya membuat seseorang yang melihatnya sebagai bukti
nyata dari kekayaan syariat Islam, bukan sesuatu yang harus dipertentangkan, dan di adu
domba satu pendapat dengan pendapat lain hingga menimbulkan persepsi bahwa pendapat
dari satu kelompok merupakan pendapat yang paling benar sedangkan pendapat di luar
kelompoknya adalah salah.

Selain itu, hal yang bisa kita ambil dari pembahasan taklid kali ini, setidaknya ada
dua poin penting yang dapat penulis rangkum; pertama, dari periode taklid yang terjadi dari
pertengahan abad ke empat hijriah sampai runtuhnya baghdad (656 H) ini, merupakan bukti

33
Ibid., hal. 293
34
Ibid., hal. 292
35
Syauqi Ibrahim ‘Alam, Nahwa Fahmin Manhaji li Idaroh al-Khilaf al-Fiqhi, Dar Ifta’ al-Misriyyah,
hal. 116
11 | K a j i a n I n t e n s i f F A S M e s i r
nyata akan lemahnya umat Islam jika bertemu dengan yang namanya perpecahan. Pergolakan
politik yang terjadi di antara penguasa Islam pada saat itu telah berhasil menjadikan negara
Islam terpecah belah menjadi negara-negara bagian, yang mana antara satu sama lain saling
berambisi untuk menguasai suatu wilayah tertentu. Kesibukan politik menjadikan umat Islam
khususnya para penguasa Islam kurang dalam memperhatikan kondisi keberlangsungan
hukum fikih dan para ulama nya, sehingga mengakibatkan kreatifitas fikih yang telah
dibangun oleh para ulama di periode sebelumnya menjadi lemah dan kemandirian fukaha
dalam menggali dalil-dalil menjadi mati dan beralih kepada taklid.

Dari sikap taklid inilah para ulama pada saat itu berbondong-bondong untuk
menyebarkan pendapat imam nya seluas-luasnya. Semangat mereka dalam menyebarkan
mazhab Imam nya sampai pada batas fanatik buta, mereka tidak bisa sedikitpun berselisih
terhadap imamnya, mereka menganggap apa saja yang keluar dari lisan imam nya menjadi
kebenaran yang mutlak. Dan ini lah poin kedua yang dapat di ambil dai pembahasaaan kali
ini, yaitu fanatisme golongan. Fanatisme golongan masih kental sekali terlihat di zaman
sekarang, dimana dewasa ini umat Islam masih sulit menerima suatu perbedaaan di luar
golongannya, mereka menganggap apa yang dikatakan gurunya menjadi kebenaran yang
mutlak dan menolak pendapat ulama lain yang tidak sesuai dengan pendapat gurunya. Sama
persis apa yang terjadi satu abad yang lalu, sifat fanatisme yang timbul dari kondisi taklid ini
selayakanya menjadi satu pembalajaran bagi umat Islam yang hidup setelahnya agar tidak
jatuh ke lubang yang sama.

Oleh karena itu pembahasan ulama tentang taklid ini memberikan kejelasan tentang
disiplin taklid yang benar. Jika dulu taklid di fahami sebagai sumber momok terjadinya
degradasi dalam berfikih, justru ulama setelahnya sampai ulama kekinian memandang dengan
cara yang berbeda. Taklid menjadi suatu keharusan bagi umat Islam secara umum, taklid
bukanlah satu tindakan yang ingin menjadikan umat Islam fanatik seperti dulu lagi, melainkan
menjadikan umat Islam yang taklid terhadap hasil-hasil ijtihad para ulama tetap dalam
disiplin-disiplin yang telah ditetapkan para ulama, salah satunya dengan cara tidak
menerapkan taklid buta (mengambil pendapat seseorang dengan menganggap pendapatnya
sejajar dengan nas-nas syariat, dan tidak melihat kepada pendapat yang lain bahkan kepada
nash syariat itu sendiri), karena taklid yang buta akan melahirkan fanatisme dalam golongan.

Daftar Pustaka

12 | K a j i a n I n t e n s i f F A S M e s i r
1. Ad-dahlawi. Ahmad Abdur ar-Rahim, ‘Aqdul Jaid fii Ahkam al-Ijtihad wa at-Taklid,
pdf).
2. Al-Baquri, Ahmad, Ma’alim as-Syariah, (Kairo, Majlis Hukama al-Muslimin, 2019).
3. Al-Jauziyah, Ibn Qoyyim, i’lamul al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin, pdf).
4. At-Thohthowi, Rifa’ah, al-Qoul Sadid fi al-Ijtihad wa-Tajdid, kitab: al-Azhar wa al-
Ijtihad (Kairo, Majelis Hukama al-Muslimin, 2020).
5. Habiib, Thaha, al-Ijtihad wa-Taklid, kitab: al-Azhar wa al-Ijtihad, (Kairo, Majelis
Hukama al-Muslimin 2020).
6. https://al-maktaba.org/author/2284)
7. https://www.abusyuja.com/2019/11/6-tingkatan-mujtahid-dalam-fiqih.html
8. Jum’ah, Ali, al-Madkhal ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyah, (Kairo, Dar as-Salam,
2016).
9. Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Maktabah Kuliah, 2020).
10. Muhammad,Yahya, Al-Ijtihad Wat- Taqlid Wal- Ittiba’ Wan-Nadhor, (Beirut,
Muassasah Al-Antasyaar Al-‘Aroobiy, pdf, 2000).
11. Syuhud, ‘Ali bin Nayis, al-Khulashoh fii ahkam al-Ijtihan wa at-Taklid, pdf).

13 | K a j i a n I n t e n s i f F A S M e s i r

Anda mungkin juga menyukai