AGAMA DI DUNIA
DAN INDONESIA
KELOMPOK 2
ANNISA TASYA A
DENI HAMDANI
ISNINA KAMILA
PERKEMBANGAN
AGAMA DI DUNIA
DAN INDONESIA
2. Faktor Penyebutan Nama Sang Ilahi. Pada agama selalu ada pribadi yang supra natural yang menjadi pusat
serta tujuan penyembahan umat serta sumber segala sesuatu. Penyebutan nama Sang Ilahi ini biasanya sesuai
dengan konteks sosio-kultural [terutama bahasa] yang ada pada komunitas masyarakat. Misalnya, masyarakat
Timur Tengah Kuno menyebut-Nya dengan sebutan El; masyarakat Yahudi menyebut-Nya dengan sebutan
Tuhan [Yhwh]; masyarakat Arab menyebut-Nya sebagai Allah; masyarakat Yunani menyebut-Nya sebagai Theos;
masyarakat berbahasa Inggris menyebut-Nya sebagai God; bahkan ada kelompok masyarakat yang menyebut-
Nya dengan sebutan Debata, Deo, Gusti, Dewa, Sang Hyang, dan lain-lain. Dalam banyak hal, perbedaan
penyebutan nama, diikuti dengan cara-cara atau bentuk penyembahan. Misalnya, cara menyembah kepada El
tentu saja sangat berbeda dengan pola penyembahan kepada Debata; ataupun cara menyembah kepada TUHAN,
tentu saja berbeda ketika membawa korban untuk para kepada Dewa/i; dan seterusnya.
3. Faktor Perbedaan Memaknai Kata Agama.
Pemahaman tentang kata agama tidak lagi terbatas pada maknanya
[yaitu tidak kacau], tetapi telah diisi dengan berbagai muatan yang
memperkaya pengertiannya. Agama tidak lagi dimengerti sebagai pagar
pembatas sehingga tidak kacau ketika menyembah Ilahi, namun diisi
penuh dengan unsur-unsur yang membuat perbedaan satu sama lain,
[lihat Aneka Pengertian Agama]. Misalnya, jika agama dimengerti sebagai
cara-cara yang dilakukan manusia ketika menyembah sesuatu yang
dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan manusia serta alam
semesta; maka perbedaan agama terletak pada cara-cara penyembahan
yang dilakukan manusia. Demikian juga, jika agama dipahami sebagai
yang diturunkan Allah, maka akan berbeda dengan pemahaman bahwa
agama merupakan upaya manusia menanggapi penyataan Tuhan, ataupun
sebagai salah satu hasil kebudayaan, dan seterusnya.
4. Faktor Pengaruh Luar ke dalam Ajaran Agama.
Harus diakui bahwa ajaran-ajaran agama telah berkembang menjadi sesuatu yang bernilai sakral. Umat beragama atau para
penganutnya memahami dan mengikuti ajaran-ajaran tersebut sebagai kata-kata atau Firman dari Sang Maha Suci yang mereka sembah.
Oleh sebab itu, sepatutnya ajaran-ajaran agama imun dari pengaruh apapun. Akan tetapi dalam perkembangannya, ternyata umat
beragama [terutama para pemimpim keagamaan] membuka diri terhadap berbagai hal dan memasukannya sebagai bagian ajaran agama.
Hal-hal yang sangat berpengaruh pada ajaran agama adalah
a. Demikian juga pengaruh kekuasaan politik ke dalam ajaran-ajaran agama. Ajaran agama yang seharusnya melintasi batas-batas yang
dibangun manusia [termasuk perbedaan politik], menjadi sangat rentan terhadap pengaruh dan tujuan politik dan kekuasaan. Dalam hal
ini, umat beragama menggunakan agama sebagai alat legitimasi untuk mendapat kedudukan dan berkuasa terhadap manusia yang lain.
b. Pengaruh lain pada agama adalah faktor sejarah agama-agama [Sejarah Penyebaran Agama dan Sejarah Masuknya Agama] ke dalam
komunitas masyarakat. Indonesia sebagai contoh, tahun 400 Masehi, telah ada komunitas Kristen [dari Gereja Khaldea Timur] di
Pancur [Sumatera Utara Bagian Barat]. Komunitas ini mengalami berbagai rintangan intern dan ekstern, sehingga tidak berkembang dan
hilang. Kemudian, masuknya agama Islam; serta Katolik dan Protestan seiring dengan mobilitas bangsa-bangsa Eropah [dengan berbagai
kepentingan] ke Asia, termasuk Nusantara. Karena berbagai kepentingan politis serta alasan tertentu, terjadi pengaburan, penutupan,
penghilangan, fakta-fakta sejarah sesuai kepentingan kekuasaan. Akibatnya, ada agama yang dianggap asli milik rakyat dan
diindentifikasikan dengan suatu kelompok suku serta sub-suku. Kemudian, ada agama disebut sebagai agama pendatang, agama asing,
bahkan agama kolonial. Indentifikasi agama sebagai salah satu indentitas komunitas masyarakat suku serta sub-suku seperti itulah,
membawa dampak perbedaan pada umat beragama. Jadi, bukan saja agama itu sendiri yang berbeda, tetapi manusia yang beragama
itupun mempunyai perbedaan. Dengan adanya perbedaan seperti ini, maka sangat rentan terjadinya konflik antar umat beragama.
Misalnya, jika terjadi pertikaian antara anggota suku atau sub-suku yang [yang kebetulan berbeda agama], maka akan mudah
terprovokasi menjadi konflik antar umat beragama. Bahkan ada agama memakai konflik masa lalu [pada konteks ruang dan waktu atau
masa lalu di luar Indonesia] sebagai bagian perbedaan pada masa kini.
c. Unsur-unsur atau hasil kebudayaan serta adat istiadat.
Misalnya, pakaian dan cara berpakaian, yang tadinya merupakan kebiasaan pada suatu bangsa, suku, sub-suku, ataupun komunitas
masyarakat tertentu, dimasukkan sebagai busana keagamaan; corak tempat [gedung] ibadah, yang merupakan hasil karya manusia,
diidentifikasikan sebagai bentuk milik agama tertentu; bahasa-bahasa [termasuk istilah-istilah] rakyat disamakan dengan bahasa
keagamaan dan tidak boleh dipakai oleh agama lain.
Dengan demikian, faktor-faktor luar tersebutlah yang membuat agama berbeda; atau lebih tepatnya menjadikan umat beragama semakin
berbeda satu sama lain.
5. Faktor Ikon atau Lambang Keagamaan.
Agama sebagai pengembangan dari bentuk penyembahan sederhana dalam komunitas suku dan sub-suku, juga
mempunyai benda-benda sebagai lambang keagamaan. Lambang-lambang keagamaan tersebut digunakan sebagai
tanda atau indentitas yang membedakan agama-agama; dan kadangkala diberlakukan sebagai benda suci serta
sakral yang harus dihormati oleh umat beragama. Misalnya, salib hanya digunakan dalam agama Kristen; gambar
bulan-bintang serta aksara Arab, hanya digunakan oleh agama Islam; gambar atau lambang Kaabah, hanya
digunakan dalam agama Islam; rosario hanya digunakan pada agama Kristen Katolik; demikian juga tasbih, hanya
digunakan dalam agama Islam, dan lain-lain. Namun, lambang-lambang keagamaan digunakan oleh umat
beragama bukan sekedar sebagai tanda beragama, melainkan simbol-simbol perbedaan dalam hidup dan
kehidupan sehari-hari.
2. Hampir semua agama [dalam persamaannya] mengajar adanya Tuhan, Allah yang Maha Kuasa,
Allah Yang Maha Esa.
Ia adalah Pribadi yang Maha Kuasa dan Maha Esa, maka manusia yang menyembah-Nya tidak bisa
membatasi kemahakuasaan dan keesaan-Nya. Karena kemahakuasaan dan keesaan itu, Ia bisa
dikenal, disapa, disembah, dipuji, dihormati, oleh umat beragama sesuai konteksnya masing-masing.
Jadi, umat beragama tidak bisa menyatakan bahwa hanya dalam agamanyalah, mereka menyembah
Yang Esa dan Maha Kuasa itu; karena Ia yang Maha Kuasa dan Maha Esa adalah milik semua
agama dan disembah oleh segenap umat beragama.
3. Persamaan Memaknai Makna Agama.
Makna paling sederhana dari agama adalah tidak kacau. Makna tersebut diakui oleh semua agama.
Walaupun ada pengembangan makna [sesuai sikon umat beragama], namun semuanya menunjukkan
bahwa agama mengatur hubungan manusia dengan TUHAN Allah Yang Maha Esa serta sesamanya.
Pemaknaan agama yang sama bukan berarti menyamakan ajaran, formula, credo, serta cara-cara
penyembahan pada agama-agama. Walaupun ada persamaan makna agama dalam agama-agama, tetapi
ada hal-hal esensial yang memang tetap berbeda serta dipertahankan perbedaanya. Misalnya, setiap
agama mempunyai Kitab Suci yang berbeda; cara atau tata ibadah yang berlainan; tempat beribadah
yang tidak sama, dan lain sebagainya.
4. Persamaan pengakuan bahwa Tuhan Allah adalah pencipta. Agama-agama, mengakui bahwa
ada kekuatan supra natural, dan tidak terjangkau oleh akal budi.
Ia adalah penyebab utama adanya hidup dan kehidupan manusia serta segala sesuatu. Ia yang
disembah tersebut sekaligus merupakan Pencipta segala sesuatu. Sebagai Pencipta, Ia mendapat
tempat istimewa dalam hidup dan kehidupan manusia. Semuanya itu, menyadarkan manusia bahwa
dirinya ada karena Sang Pencipta, yaitu Tuhan Allah. Oleh sebab itu, manusia mempunyai keterkaitan
erat dengan Tuhan Allah. Bahkan ada agama yang mengajarkan bahwa, jika TUHAN Allah sebagai
Pencipta segala sesuatu, maka Ia pun menciptakan agama untuk manusia.